Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, April 28, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 7 : Ajaran Pemikiran Politik > Environmentalisme


Di luar pertikaian etis-tradisional mengenai kehidupan yang baik bagi umat-manusia dan situasi-politik apa yang paling sesuai dengan perkembangan kita sebagai manusia, yang lain mengambil konsepsi-alternatif tentang umat-manusia dan hubungannya dengan dunia-kehidupan.

Secara luas diistilahkan sebagai environmentalisme, filsafat-politik ini tidak memusatkan perhatiannya pada hak-hak orang atau masyarakat, tetapi tentang hak-hak planet dan spesies-lain.

Filosofi-politik liberalisme, sosialisme, konservativisme dan anarkisme --dan semua variannya-- setuju bahwa kehidupan-yang-baik yang dikejar oleh filsafat-politik seharusnya menjadi kehidupan-yang-baik bagi umat-manusia.

Masing-masing kritik mereka terhadap praktik-politik dan adat-istiadat berasal dari standar-bersaing tentang apa yang seharusnya menjadi bentuk kehidupan-yang-baik bagi umat-manusia.

Kaum-feminis, misalnya, dalam teori-politiknya yang pro-manusia lebih-banyak berargumen tentang hak dan kewajiban terhadap perempuan juga perbedaannya. Para intervensionis yang menetap/berdiri dalam kelompok liberal dan konservatif berpendapat bahwa kontrol-politik atas sejumlah alat-produksi dapat meningkatkan peluang bagi sejumlah-orang/masyarakat yang selama ini kurang-terwakili/terpinggirkan atau tidak-berdaya. Demikian pula, kaum-welfaris mengusulkan standar-hidup-universal untuk semua-orang, agar terjamin oleh keyakinan masing-masing terhadap hubungan asosiasi kolektif-atau-sukarela mereka dengan orang-lain.

Namun, environmentalisme dimulai pada premis yang berbeda, manusia bukanlah pusat-politik kita tetapi alam.

Pada bagian awal artikel ini, telah dicatat bahwa demi argumen filosofi-politik yang lengkap, filosofi-politik berdasar teologi harus disertakan ke dalam terma-bahasan atau mengusulkan-standar yang digunakan untuk menilai kehidupan seseorang di bumi ini. Oleh karena itu mereka memasuki perdebatan-tradisional tentang bagaimana orang Kristen, Muslim, Yahudi, Sikh, Hindu, dan sebagainya harus berhubungan dengan sesama-manusia dan melalui institusi seperti apa.

Namun demikian, environmentalisme menganggap tempat-kita di bumi ini memiliki tingkat-kepentingan-sekunder dari pada dunia-alam itu sendiri. Dalam bentuknya yang lebih lemah, environmentalisme berpendapat bahwa manusia adalah penjaga-alam, kepada alam kita harus menunjukkan rasa-hormat dan bahkan mungkin kewajiban etis-dan-politik tertentu kepada dunia-alam ini (kewajiban yang mirip dengan pendirian-teologis yang dipegang oleh seseorang kepada Tuhan-nya). Ini berimplikasi bahwa orang/manusia diberikan status-etis yang setara dengan spesies-hidup lain-nya, ia dipandang sebagai primus-inter-pares.

Namun dalam bentuknya yang lebih kuat, environmentalisme mengutuk eksistensi-kemanusiaan sebagai noda terhadap pemandangan-alam, sebagai perusak-abadi dari semua-yang-baik, karena semua-yang-tidak-baik, menurut pendirian ini, merupakan produk-manusia. Orang/manusia adalah sumber-kejahatan tak berujung yang dilakukan terhadap dunia-alam.

Dalam konteks sejarah-intelektual yang besar, environmentalisme bermula dari beberapa tradisi anti-manusia atau anti-sekuler yang kembali mencapai-puncak selama tiga-milenium ini.

Agama-agama timur mengembangkan teori tentang kejahatan-bawaan atau kebaikan-bawaan manusia yang kemudian disaring ke dunia-barat melalui mistisisme-Pythagoras dan kemudian asketisme-Kristen dan variasi-Fransiskan pada tema-tema pro-alam. Isu-isu yang diterapkan memprovokasi kemarahan/ketidaksukaan termasuk terhadap polusi, penggunaan makhluk-hidup untuk eksperimen, perburuan, domestikasi-hewan, makan-daging, dan penodaan-pemandangan-alam.

Umumnya, para-environmentalis membedakan dirinya dari para konservasionis yang --dari berbagai posisi dalam spektrum teori-politik-- berpendapat bahwa pemandangan-alam atau hewan harus dilindungi dari kepunahan hanya jika bermanfaat atau menyenangkan bagi umat-manusia dalam beberapa bentuk-atau-lainnya.

Environmentalisme menolak utilitarianisme yang berpusat-pada-manusia seperti itu terkait dengan sebuah intrinsikisme-etis yang luas, yaitu teori bahwa semua-spesies memiliki nilai-bawaan yang tidak bergantung pada hubungan-nya dengan entitas-lain dengan mereka.

Kritik yang dilontarkan terhadap argumen ini rata-rata menanyakan :

Apa hubungan-moral atau bagaimana seharusnya hubungan-moral antara pemangsa dan korbannya ?

Apakah seekor-tikus memiliki hak untuk tidak-ditangkap oleh kucing ?

Apakah kucing itu disebut pembunuh karena membunuh tikus ?

Dan jika hal itu tidak dapat dijustifikasi atau bahkan dijelaskan secara-etis, bukankah itu berarti bahwa ketika orang/manusia yang berdiri/berada dalam hubungan-yang-sama dengan hewan yang diburu dan dijinakkan maka dia juga tidak boleh dinilai sebagai pembunuh karena makan-daging dan memakai-bulu ?

Isu utama para-environmentalis dan pendapat mereka terhadap hak-hak binatang mendukung persaudaraan adalah untuk menjelaskan hubungan-moral antara manusia dan binatang dan hasil pembenaran-asimetris dan penilaian yang ditujukan terhadap kemanusiaan.

Menurut posisi-etis para-environmentalis pada umumnya, adalah pantas/memadai secara-moral, bagi singa untuk memburu kijang atau semut untuk memakan ulat, tetapi tidak bagi orang/manusia untuk memburu rubah atau memerah susu sapi. Oleh karena itu juga, dapat ditanyakan :

Apakah memadai-secara-moral bagi singa-liar atau beruang menyerang orang/manusia tetapi tidak-bermoral bagi orang/manusia untuk membela-diri ?

Filosofi politik dari environmentalisme kemudian berubah pada penciptaan-struktur yang tepat untuk kehidupan sosial-manusia dalam konteks ini. Misalnya, bentuk yang lebih lemah menuntut untuk berhenti menjarah sumber-daya bumi dengan melarang eksploitasi lebih lanjut atau setidaknya memperlambat laju-ekploitasi yang saat ini dilakukan. Pengelolaan sumber-daya berkelanjutan adalah pusat dari environmentalisme tersebut, meskipun itu adalah teori politik-ekonomi yang juga diambil oleh filosofi-politik pro-Manusia lainnya.

Para-environmentalis secara teoritis dapat berbeda tentang sistem politik-ekonomi yang paling sesuai dengan tuntutan mereka, tetapi salah satu yang menyuarakan itu adalah tulisan Stewart Brand dalam karyanya The Whole Earth Catalog, ia berpendapat bahwa orang/manusia harus kembali ke zaman-batu, di mana kita mungkin hidup seperti para Indian di lembah mereka, dengan lokalisme mereka, teknologi tepat mereka, kebun mereka dan agama buatan mereka sendiri.

Akan tetapi, implikasi demografi dan ekonomi nampaknya terlewat oleh advokasi seperti itu : untuk kembali ke keadaan neolitik, umat-manusia harus melepaskan-diri dari pembagian-kerja yang rumit, yang dihasilkannya dengan ekspansi populasi-dan-pendidikannya. Secara efektif, ini akan menyiratkan pengurangan populasi-manusia ke angka-jutaan dalam keadaaan neolitik atau lebih untuk seluruh planet.

Kenyataan bahwa ini akan menuntut kematian lima miliar orang harus diatasi dengan menjawab :

Apa yang menjadi justifikasi untuk kembali ke surga yang seharusnya (keadaan zaman-batu) ?

Metode apa yang tepat untuk mencapai itu ?

Oleh karena itu, Brand memulai argumennya sebagai berikut :

"Kami berharap ... agar bencana atau perubahan-sosial datang dan mengebom/meledakkan kita untuk kembali ke zaman-batu ..."

Kampanye Genosida dapat dibenarkan menurut mereka yang menyatakan bahwa populasi mereka (budaya, bangsa, ras, agama) seharusnya menjadi satu-satunya kelompok yang ada di planet ini, sebuah pernyataan yang sangat dibicarakan oleh kelompok-kelompok lain tentu saja dan mereka yang menjelaskan hak-hak individu untuk mengejar kehidupan-yang-bebas dari paksaan, yang meninggalkan environmentalisme untuk menjelaskan mengapa orang harus menderita dan bahkan mati untuk tujuannya. Pembenaran yang disodorkan seringkali berasal dari penolakan terhadap hak apa pun bagi umat-manusia.

Environmentalisme memperluas hak dan kewajiban terhadap spesies-lain yang jangkauannya melampaui hewan-hewan yang paling dekat dengan simpati manusia terhadap alam dan budaya. Tikus, serangga, dan siput telah diperjuangkan oleh berbagai lobi yang berusaha melindungi hewan dari serangan manusia.

Kaum utilitarian dari ajaran politik-tradisional mungkin setuju dengan usulan tersebut sebagai berguna untuk kemanusiaan, katakanlah untuk generasi mendatang. Tetapi environmentalis lebih memilih untuk menghapus umat-manusia dari persamaan dan menyerahkan hak-hak yang tidak-dapat-dicabut kepada entitas-non-manusia terlepas dari hubungan mereka dengan manusia.

Karena hewan bukan-makhluk-etis, environmentalis memiliki tugas yang sulit untuk menjelaskan mengapa bekicot memiliki hak yang lebih besar untuk hidup di planet ini daripada manusia.

Solusinya adalah bahwa kapasitas etika-dan-politik kita, pada kenyataannya menegasikan status-moral kita. Fakta bahwa kita dapat-menalar dan karenanya memahami datangnya implikasi dari tindakan kita bahwa kita tidak dapat dipercaya karena kita dapat dengan sukarela melakukan kejahatan.

Hewan bermoral dalam hal itu : membunuh, memakan entitas lain, beradaptasi dengan dan mengubah lingkungannya, berkembang-biak dan membuat polusi, tetapi ia tidak-memiliki konsep tentang apa yang dilakukannya.

Bagi para-environmentalis ini memberikan spesies-non-manusia status-moral yang lebih-tinggi. Hewan bertindak dan bereaksi dan tidak-ada kejahatan dalam hal ini, tetapi orang-orang berpikir dan di situlah letak sumber-kebejatan moral kita. Dari premis ini, semua-ciptaan manusia dapat secara-universal dikutuk sebagai tidak-etis.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H3
Pemahaman Pribadi



Tuesday, April 24, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 6 : Ajaran Pemikiran Politik > Anarkisme


Anarki berasal dari kata Yunani, anarkos yang berarti tanpa-pemimpin.

Makna politiknya adalah sebuah sistem sosial-dan-politik tanpa-negara atau lebih-luas lagi sebuah masyarakat yang dicirikan oleh ketiadaan struktur-hierarkis-kekuasaan atau kekuasaan-tunggal.

Pendekatan umum kaum-anarkis adalah menekankan bahwa kehidupan yang baik hanya dapat dijalani tanpa-dibatasi oleh struktur.

Setiap institusi-atau-moralitas apapun yang tidak-konsisten dengan kehidupan yang dipilih secara-bebas akan diserang, dikritik, dan ditolak.

Oleh karena itu, apa yang menjadi masalah-krusial bagi kaum-anarkis adalah menentukan :

Apa yang sesungguhnya-menyusun struktur-dan-hambatan artifisial dari hal-hal yang merupakan produk-alamiah atau aktivitas-sukarela.

Yang termasuk para pemikir-utama anarkis adalah William Godwin, Max Stirner, Leo Tolstoy, Proudhon, Bakunin, Kropotkin, dan pemikir-pemikir libertarian-dan-konservatif yang condong kepada anarkisme seperti Hans Hermann Hoppe dan Murray Rothbard.

Berbagai cabang anarkisme menekankan pada aspek-yang-berbeda dari masyarakat-tanpa-pemimpin yang berjalan/dapat-dicapai dalam jangka-waktu yang panjang :

Anarkisme-versi-utopis mengejar egalitarianisme-universal di mana setiap-orang harus bertanggung-jawab terhadap diri masing-masing dan tidak-lebih dari dirinya-sendiri, dengan demikian nilai-nilai pada setiap-orang memiliki bobot moral-dan-politik yang sama. Anarkis-utopis pada abad ke-19 melakukan uji-coba dengan berbagai komunitas-kecil yang memiliki kehidupan yang pendek secara keseluruhan sebagai suatu komunitas.

Tetapi gagasan egalitarianisme ditolak oleh para anarkis yang lebih bersimpati kepada individualisme-kasar dari wilayah Amerika-barat dan dari individu yang mencari kehidupan-pribadi yang sunyi, mengasingkan-diri dari kehidupan-ramai dan menjalani hidup dekat dengan alam.

Max Stirner misalnya, menolak segala jenis pembatasan pada tindakan-individu, termasuk dari struktur-sosial yang berkembang secara spontan misalnya, otoritas-orang-tua, uang, lembaga-hukum (misalnya, hukum-pidana-umum), dan hak-milik.

Di sisi lain, Proudhon berpendapat tentang sebuah masyarakat dengan usaha-koperasi dalam skala-kecil. Gerakan koperasi sering menarik mereka yang memiliki kecenderungan-kolektif tetapi berusaha untuk menjauh dari model-sosialisme khas yang otoriter.

Sebaliknya, para pemikir libertarian yang mendukung pasar-bebas telah mengajukan solusi-anarkis terhadap masalah ekonomi-dan-politik. Mereka menekankan sifat-sukarela dari sistem-pasar sebagai moral serta sarana-efisien untuk mendistribusikan sumber-daya dan oleh karenanya mengutuk kegagalan-negara untuk menyediakan sumber-daya yang memadai (perawatan kesehatan dan pendidikan, juga layanan keamanan dan pertahanan). Apa yang disebut barang-dan-jasa-publik, mereka menegaskan, harus disediakan secara-privat melalui pasar-bebas.

Terlepas dari arah-politik yang cenderung dituju oleh kaum-anarkis yaitu kolektivisme atau individualisme, bagaimana komunitas anarkis menyesuaikan-diri dengan masalah-filosofis yang ada sekarang ini, yang menuntut sebuah perhatian terhadap kemungkinan-inkonsistensi.

Anarkis-historisis percaya bahwa anarki adalah keadaan-tertinggi dimana umat-manusia (pasti) naik menuju ke arahnya. Mereka setuju dengan teori umum sejarah dari Marx bahwa sejarah (dan masa-depan) terbagi kedalam era-nyaman yang dicirikan oleh sebuah gerak menuju berkurangnya-otoritas dalam kehidupan. Sebuah gerak perpindahan-bertahap meninggalkan kekuasaan-otoriter atau struktur yang memecah-belah secara sosial, dan bahwa gerak-ini tidak-dapat dihindari.

Anarkis-radikal berpendapat bahwa masa-depan hanya dapat diperjuangkan dan tekanan-apapun dari otoritas atas tindakan-seseorang harus dilawan, seruan mereka meluas kepada kaum-anarkis yang secara aktif merongrong, mengacaukan, dan membongkar aparat-negara yang koersif (melakukan kekerasan untuk menekan). Mereka yang berada di sayap libertarian menekankan bahwa hanya-pemerintah yang dapat-melakukan tindakan-memaksa, sedangkan mereka yang lebih bersimpati pada kritik-moral sosialisme terhadap kapitalisme menekankan sifat sewenang-wenang perusahaan multinasional dan kapitalisme-global.

Sementara beberapa anarkis bersikap pasif dalam penolakan mereka terhadap otoritas (mengambil dari perilaku Gandhi melawan pemerintahan Inggris di India), yang lain memaklumi penggunaan-kekerasan untuk mengamankan kebebasan-mereka dari paksaan-eksternal.

Sama dengan liberal-modern dan dengan beberapa sosialis dan konservatif, beberapa cabang anarkisme menolak dunia-material dan kemajuan-ekonomi sebagai sesuatu yang berharga dalam-dirinya. Kaum-anarkis yang menentang kemajuan-ekonomi (atau kapitalisme-global) karena menurutnya membatasi pilihan mencari alternatif bagi utopia-politik mereka, yang memiliki banyak kesamaan dengan teori-politik environmentalisme.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H3
Pemahaman Pribadi



Sunday, April 22, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 5 : Ajaran Pemikiran Politik > Sosialisme


Istilah sosialis mendeskripsikan beragam-ide yang luas dan mengajukan gagasan-gagasan yang disatukan oleh prinsip-utama yang melingkupi :

1. Kepemilikan-dan-kontrol alat-produksi yang terpusat, karena kepemilikan-terpusat dianggap lebih-efisien dan/atau lebih-bermoral.

2. Kaum-sosialis setuju bahwa kapitalisme (konservativisme atau liberalisme-pasar-bebas) secara-moral dan karenanya secara-politik memiliki cacat.

3. Beberapa penganut sosialis dengan pendekatan-marxis berpendapat bahwa sosialisme adalah era-sejarah-terakhir yang menggantikan kapitalisme sebelum komunisme yang sesungguhnya terwujud (sebuah konsepsi-historis).

Selanjutnya akan fokus membahas pada dua-prinsip yang pertama di atas.


i. Kepemilikan Terpusat

Secara politis, kaum-sosialis berpendapat bahwa sistem-pasar-bebas (kapitalisme) harus diganti atau direformasi, yang paling-diperdebatkan adalah untuk sebuah redistribusi-yang-radikal terhadap sumber-daya (biasanya kepada pekerja yaitu yang-dianggap oleh kaum-sosialis, mereka yang tidak-memiliki apa-apa sekarang ini) dan untuk negara atau bentuk lembaga-demokratis, dengan maksud untuk mengambil-alih jalannya/pengelolaan perekonomian.

Setelah keruntuhan komunisme ---yang merupakan titik-bahas-teoritis di antara sayap marxis-yang-historis, seperti menjawab pertanyaan : apakah sistem-soviet benar-benar komunis atau sosialis--- banyak penganut sosialis meninggalkan pandangan kepemilikan-dan-kontrol-negara atas sumber-daya-ekonomi dan lebih-tertarik kepada proyek-alternatif yang mengajukan sistem lebih-fleksibel, demokratis dan terdesentralisasi.

Para ekonom dari sekolah Austria (terutama Ludwig Mises dan Friedrich Hayek) telah lama memperkirakan runtuhnya sosialisme yang tidak dapat ditawar-tawar yang disebabkan oleh ketidakmampuannya, yaitu karena tidak-adanya-pasar yang menciptakan mekanisme-harga untuk merencanakan distribusi-dan-konsumsi sumber-daya secara efisien-atau-efektif.

Ekonom sosialis seperti Oskar Lange menerima kritik dan tantangan penting itu, tetapi ditekankan pada kebijakan yang dikendalikan-negara dengan keyakinan bahwa secara teoritis prioritasisasi-pasar terhadap nilai melalui harga dapat diganti oleh pemodelan-ekonomi yang kompleks : misalnya, model input-output Leontieff di mana prioritas adalah nilai-tertentu yang diberikan oleh otoritas-pusat, atau dalam perubahan yang lebih-modern dari gerakan-sosialis, oleh institusi yang lebih terdesentralisasi seperti koperasi-pekerja.

Terlepas dari tantangan-empiris dari keruntuhan sistem-soviet, dan lebih-penting-lagi kegagalan ekonomi yang dikendalikan secara terpusat di seluruh dunia-barat dan dunia-ketiga, kaum-sosialis telah bersatu untuk menyemarakkan konsepsi-alternatif kepemilikan-komunal dan kontrol terhadap penguasaan sumber-daya.

Sosialisme-pasar misalnya, mentolerir sebuah sistem-pasar yang dominan tetapi menuntut sumber-daya esensial tertentu dikendalikan oleh negara. Hal ini kemudian dapat berperan mengarahkan ekonomi-umum berjalan di sepanjang-jalur yang diinginkan secara politik, misalnya memperluas perusahaan-teknologi, layanan pendidikan-dan-kesehatan, atau pembangunan infrastruktur ekonomi-dan-fisik dari sebuah bangsa.

Sementara yang-lain berpendapat bahwa meskipun pasar harus mendominasi, negara juga harus mengendalikan investasi-industri.

Meskipun demikian, kritik para-ekonom bahwa intervensi-negara tidak-hanya menghasilkan ouput yang tidak-efisien tetapi juga hasil yang tidak-diinginkan oleh para-perencana dapat berlaku pada semua-bentuk-intervensi, dan terutama setiap intervensi-apapun dalam investasi, di mana kompleksitas mekanisme-harga tidak-hanya berkaitan dengan konsumen-dan-produsen dalam preferensi-yang-ada tetapi juga preferensi inter-temporal mereka yang lebih cerdik demi konsumsi sekarang dan masa-depan.

Di depan tuduhan yang semakin berkembang (dan ketidak-populeran) dari perencanaan-terpusat, sebagai gantinya, banyak sosialis lebih-memilih berkonsentrasi untuk perubahan yang menyertai hubungan-kepemilikan yang menuntut kepemilikan-perusahaan diberikan kepada para-pekerja, daripada kepada kelas-kapitalis yang diasumsikan eksploitatif. Pendapat sebagian besar kaum-sosialis adalah sumber-daya perlu untuk diredistribusikan secara radikal.

Kontrol-pekerja menurut sosialisme (kontrol-pekerja terhadap kapitalisme) melihat cara ke depan melalui bisnis/usaha yang dimiliki-dan-dijalankan oleh para-pekerja, biasanya dalam skala-kecil dan berjalan di atas sebuah dasar demokratis.

Gagasan-gagasan yang diajukan oleh legislatif yang menuntut lebih-banyak diskusi dan kesepakatan antara manajemen dan staf/pekerja merupakan cerminan dari keyakinan tersebut.

Namun, kebijakan untuk memberi kontrol kepada para-pekerja memerlukan prasyarat :

(a) Para-pekerja adalah kelas yang dapat didefinisikan layak mendapat bantuan-moral yang lebih-besar dan karenanya status-politik daripada yang sekarang-ini diasumsikan telah dinikmati mereka (yang secara etis harus ditetapkan)

(b) Bahwa para-pekerja berada dalam kondisi dipekerjakan-dan/atau-dieksploitasi secara permanen dan bahwa mereka sendiri tidak-menghendaki untuk atau benar-benar membangun bisnis-mereka sendiri atau berpindah di antara perusahaan/organisasi yang mempekerjakan mereka.

Seorang individu pada saat-yang-sama dapat menjadi seorang majikan, buruh, karyawan dan kapitalis dan karena individu-individu dapat berpindah di antara kelas-ekonomi, ketepatan-ilmiah menjadi direduksi bahkan diabaikan.

Kritik terkuat terhadap rencana kaum-sosialis untuk melakukan redistribusi-pendapatan --datang dari dalam dan tanpa diskusi kelompok-- adalah pertanyaan : pada kriteria moral-atau-politik apa, sumber-daya menjadi harus didistribusikan ?

Seruan keras dari Marx yang menyebar dan diterima oleh kaum-sosialis bahwa sumber-daya harus didistribusikan dari masing-masing orang sesuai-kemampuannya kepada orang-lain sesuai dengan kebutuhannya, tidak menawarkan panduan apa-pun mengenai apa yang seharusnya menjadi komponen sebuah-kebutuhan.

Sosial-demokrat dapat menunjuk kepada para penyandang-cacat sebagai penerima sumber-daya yang mereka dalam posisi ---bukan karena kesalahan mereka sendiri--- tidak-mampu untuk meraihnya, tetapi para-individu yang mengalami gangguan-mental-psikologis juga sama dalam keadaan-lemah. Yang lainnya menghasilkan argumen yang lebih kompleks. Misalnya, yang pantas adalah mereka yang secara historis-dianiaya atau dipersekusi. Tetapi hal ini menimbulkan masalah tentang seberapa-jauh kembali ke-dalam sejarah yang harus ditempuh seseorang, demikian juga sejumlah konsekuensi-etika dari terlahir dalam keadaan-salah/lemah (dan entah bagaimana mendapat penolakan moral-dan-ekonomi) atau yang dalam keadaan-kekurangan (dan entah bagaimana layak mendapatkan sumber-daya secara sukarela ---yang tentunya menyajikan sebuah-paradoks bagi sebagian besar sosialis, yang di Eropa pada abad ke-19 mencela kelas-aristokrat terhadap penghasilan mereka yang diterima-tanpa-bekerja).

Kritikan yang paling parah meratakan semua argumen redistribusi sumber-daya, bahkan terhadap asumsi kriteria yang dapat disepakati, yaitu dengan tidak-adanya kontrol sumber-daya yang terus-menerus dan ketat pada akhirnya akan terdistribusi tidak-merata.

Robert Nozick menyodorkan tantangan yang kuat bagi kaum-sosialis dalam karyanya Anarchy, State, and Utopia, dia menanyakan : apa yang salah dengan redistribusi-sukarela ? dalam hal, katakanlah mendukung pemain bola-basket yang sangat-berbakat, yang pada-gilirannya akan menghasilkan distribusi yang tidak-merata.

Oleh karena itu, kaum-sosialis harus menerima kegigihan-upaya redistribusi-berkelanjutan dari pendapatan dan sumber-daya dalam rentang-toleransi tertentu, atau untuk menerima ketimpangan-permanen dari kepemilikan pendapatan dan sumber-daya setelah menyepakati pertukaran-sukarela. Dihadapkan dengan kritik semacam itu, kaum-sosialis dapat menggunakan/mengadopsi argumen-argumen yang menentang moralitas-kapitalisme atau pasar-bebas.


ii. Kritik Moral Terhadap Kapitalisme

Distribusi awal-kodrati bakat, energi, keterampilan, dan sumber-daya yang tidak-merata bukanlah sesuatu yang menjadi pusat-kritik dari kaum-sosialis. Tetapi mereka lebih mengomentari perkembangan-sejarah yang menyebabkan distribusi-kesejahteraan yang tidak-merata pada beberapa individu atau bangsa.

Pendapat mereka terhadap perang dan eksploitasi oleh yang-kuat adalah membentangkan distribusi-tidak-bermoral, yang membuat para-reformis lebih-tertarik untuk melakukan koreksi sehingga membangun masyarakat dengan basis yang lebih-bermoral.

Meskipun demikian, tidak-semua berpendapat bahwa sosialisme kemudian menjadi keharusan atau sosialisme menyediakan satu-satunya evaluasi terhadap ketidakadilan-sejarah. Tetapi kaum-sosialis sering mengacu pada ketidakadilan-sejarah yang telah membuat orang miskin-dan-lemah diinjak-injak dan ditindas sebagai pembenaran untuk mereformasi atau mengkritik terhadap status-quo.

Gagasan-gagasan yang diajukan adalah membentang-luas mengenai bagaimana masyarakat harus mendistribusikan sumber-daya, seperti usulan-gagasan untuk memastikan generasi sekarang-dan-mendatang setidaknya dapat memperoleh akses yang sama terhadap standar hidup-dan-kesempatan tertentu, di sini pandangan sosialis-moderat tumpang-tindih dengan sayap-kiri atau liberal-demokratik-sosial dan konservatif-pragmatis, yang percaya pada keutamaan-kebebasan tetapi dengan sedikit-redistribusi untuk memastikan bahwa semua-anak mendapatkan awal-yang-adil dalam kehidupan.

Meskipun demikian, mendefinisikan keadilan adalah problematik bagi semua sosialis : hal itu mengangkat persoalan yang diuraikan di atas --mengenai standar, kebijakan dan justifikasi yang memadai.

Jika kaum-sosialis berangkat dari seluk-beluk seperti itu mereka dapat menyatakan bahwa kapitalisme secara-moral cacat pada inti-nya, katakanlah dari dasar-dasar motivasi atau etika-nya.

Kritik paling-populer yang dilontarkan terhadap kapitalisme (atau liberalisme-klasik) adalah pengejaran kesejahteraan-dan-kekayaan yang tidak-etis atau egois. Kaum-sosialis sering mengutuk kekurangan-etis dari nilai-nilai material atau nilai-nilai yang dianggap mencirikan dunia-kapitalis yaitu persaingan dan pengejaran-keuntungan serta individualisme yang berlebihan.

Sosialis lebih memilih aksi-kolektif daripada tindakan-individu, atau setidaknya tindakan-individu yang mendukung kelompok daripada nilai-nilai pribadi-atau-egois. Meskipun demikian, sebagian besar sosialis menghindar untuk menganut filosofi anti-materialis, tidak seperti penganut environmentalisme, kaum-sosialis kebanyakan mendukung pengejaran-kekayaan tetapi hanya ketika diciptakan oleh-dan-untuk kelas-pekerja (atau dalam terminologi Marxis : golongan yang-kurang, yang-kurang-terwakili, yang-tidak-diunggulkan, yang-tersisih, yang-tertindas, atau kaum-miskin-umum).

Mereka sering didorong oleh visi dari sebuah zaman-keemasan-baru tentang kekayaan yang akan dihasilkan oleh sosialisme-murni (bagaimana hal itu terjadi tanpa-mekanisme-harga adalah subjek dari ekonomi-sosialis). Meskipun demikian, beberapa benar-benar meghendaki standar-hidup yang lebih-rendah bagi-semua - kembali ke sebuah kehidupan-kolektif yang lebih-sederhana seperti masa-masa awal-kehidupan, pandangan sosialis terhadap kehidupan yang lebih-baik ini dipegang oleh sosialisme abad-pertengahan dalam pola perdagangan dan gilda-lokal. Kecenderungan-askestis kaum-sosialis ini memiliki banyak kesamaan dengan pandangan environmentalisme.

Terlepas dari masalah moral tentang distribusi-yang-tidak-seimbang yang abadi, kaum-sosialis memiliki visi-optimis tentang apa yang dapat kita wujudkan ---mungkin bukan apa yang dia ketahui (eksploitatif atau tertindas), tetapi tentang apa yang dia mampu satu-masyarakat direformasi sepanjang jalur-sosialis.

Kaum-marxis misalnya, berasumsi bahwa nilai-nilai borjuis yang tidak-konsisten atau munafik akan hilang. Pendirian mereka, setiap moralitas-berbasis-kelas akan hilang karena perbedaan-kelas akan hilang tetapi secara-faktual, apa yang akan memandu perilaku-etis tidak mudah untuk dieksplorasi. Marx menghindari topik tersebut, kecuali untuk mengatakan bahwa laki-laki akan menganggap satu-sama-lain sebagai laki-laki-saja dan tidak sebagai kelas-pekerja atau borjuis.

Sebagian besar beranggapan bahwa sosialisme akan mengakhiri kebutuhan akan keluarga, agama, kepemilikan-pribadi dan keegoisan ---semua candu bagi massa-yang-tidak-sadar yang membuat mereka tetap/terus dalam kesadaran-yang-salah. Selaras dengan itu, cinta-yang-bebas, sumber-daya, makanan-untuk-semua, talenta-yang-tak-terhalangi dan pengembangan-pribadi, dan kolektivisme yang tercerahkan akan berkuasa. Penolakan terhadap segala-otoritas yang diramalkan oleh beberapa kubu-sosialis adalah sesuatu yang memiliki kesamaan dengan pandangan kaum-anarkis.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H3
Pemahaman Pribadi



Saturday, April 14, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 4 : Ajaran Pemikiran Politik > Konservatisme


Pendekatan di sini mengesampingkan penyatuan atau melihat segala-implikasi dari liberalisme dan terhadap penyatuan-nya dengan rasionalisme sehingga memberi status lembaga-lembaga atau pola-perilaku yang mengalami perubahan warna-dan-bentuk selama berbad-abad menjadi lebih-dihormati daripada kebebasan itu sendiri.

Secara politis, filosofi-konservatif bersikap hati-hati dalam merubah bentuk perilaku-dan-institusi politik. Pandangan-pandangan-nya terutama skeptis terhadap reformasi dengan skala-besar-dan-menyeluruh.

Kaum-konservatif melakukan kesalahan pada sisi tradisi, bukan dari segi mempertahankan tradisi-tradisi itu, namun dari pandangan-skeptis mereka terhadap kemampuan yang dimiliki kita sebagai manusia untuk merancang-ulang seluruh bentang nilai-sosial yang telah berevolusi-melalui dan diadaptasi-oleh banyak generasi. Konservatif beralasan, nilai-nilai yang cenderung merugikan akan jatuh ke dalam keadaan tak-berguna dengan sendirinya.

Masalah pertama yang dihadapi kaum konservatif adalah :

Apa yang harus diselamatkan ---katakanlah, dari sesuatu yang populer tetapi salah-dimengerti--- sebuah pemberontakan yang kadang terjadi ?

Berapa lama sebuah-lembaga harus-tetap-ada atau bertahan sebelum ia mendapat rasa-hormat dari filosofi-konservatif ?

Di sini, para-filsuf harus mengacu pada tingkat-analisis yang lebih-dalam dan meneruskan dengan mempertanyakan sifat-dan-tujuan dari lembaga-lembaga melalui sorotan sejumlah-standar.

Liberalisme menjadi sebuah-alasan masuk-akal, yang secara-luas diterima sebagai elemen-pemersatu bagi masyarakat-manusia, tetapi kalangan konservatif percaya, bahwa alasan-itu sangat-berlebihan karena bergantung pada individu-tunggal dan oleh karena itu bergantung pada motif-politik mereka, kesalahan, prasangka dan sebagainya.

Kaum-konservatif biasanya memiliki sebuah visi-pesimistik tentang sifat-manusia, mengambil tradisi-modern dari keyakinan Hobbes, bahwa jika tidak-ada institusi yang kuat, manusia akan terus bertengkar-keras satu sama lain dan akan terus-menerus saling menatap dengan kecurigaan-mendalam. Oleh karena itu, penekanan mereka bukan pada-hasil menentramkan yang terjadi kemudian dari hipotesis kontrak-sosial, tetapi pada adanya ketakutan-umum dalam masyarakat-manusia sendiri.

Kaum-konservatif sangat-skeptis terhadap kekuasaan dan nafsu-manusia menggunakan kekuasaan, karena mereka percaya bahwa pada-waktunya kekuasaan akan mengalami kerusakan/penyalahgunaan bahkan terjadi juga pada sebagian-besar pemegang kekuasaan yang menjunjung kebebasan-yang-penuh-cinta.

Oleh karena itu, akses-potensial kepada posisi kekuasaan-tertinggi atas orang-lain, baik dalam samaran ruang nasional-atau-internasional, harus-ditolak karena menjadi sebuah-keadaan yang sama-berbahayanya seperti pandangan Hobbes tentang keadaan-alamiah yang anarkis.

Kaum-konservatif dengan demikian menghargai lembaga-lembaga yang mengontrol-kecenderungan terhadap seorang yang lebih-kuat atau megalomaniak untuk memegang-kekuasaan : konservatif melipat-gandakan kecurigaan seseorang mungkin mencengkeram orang-yang-dekat dengan-nya. Kritik ---misalnya, dari seorang yang berpendirian anarkis-atau-sosialis--- berpendapat bahwa ketakutan semacam itu adalah produk dari lingkungan-sosial yang ada dan nilai-nilai yang menyertainya dan bukan-hanya produk dari sifat-manusia atau dari komunikasi-sosial.

Yang tidak-sepakat dengan pendapat itu, menekankan perlunya-reformasi pada masyarakat untuk membebaskan orang-orang dari sebuah kehidupan yang menakutkan, yang oleh kaum-konservatif pada gilirannya dianggap sebuah saluran impian-utopis yang tidak-mendukung suatu filsofi-politik yang realistik.

Bagi kaum-konservatif, nilai-nilai dalam lembaga tidak-selalu dapat diperiksa/diuji sesuai dengan analisis-rasional generasi sekarang. Ini membebankan sebuah tuntutan pada konservatisme untuk menjelaskan atau melakukan justifikasi pada rasionalitas dukungan terhadap lembaga-lembaga bersejarah.

Pada masa-lalu, kaum-konservatif secara implisit-atau-eksplisit kembali kepada mitos-mitos manusia atau asal-usul budaya tertentu untuk memberikan status-sakral kepada lembaga-lembaga yang ada atau setidaknya status yang pantas-dihormati. Namun, pemikir-evolusioner dari masa pencerahan-Skotlandia misalnya Adam Ferguson, yang pandangannya menggaris-bawahi sifat-coba-coba (trial and error) dari perkembangan-budaya dan karenanya juga moral-dan-institusional menghasilkan pemeriksaan lembaga-dan-moral yang lebih tepat dan secara historis dapat diratifikasi (baca karya dari Friedrich Hayek).

Dengan demikian, berbeda dengan banyak kaum-liberal, kaum-konservatif mencela gagasan tentang kontrak-sosial, atau bahkan kemungkinannya dalam sebuah konteks-modern. Karena masyarakat berevolusi dan berkembang sepanjang-waktu, generasi-sekarang memiliki tugas dan tanggung-jawab yang asal-usul dan alasan-aslinya mungkin telah hilang dari diri-kita sekarang ini, tetapi bagi sebagian pemikir, masih membutuhkan penerimaan kita.

Melakukan justifikasi hal ini, adalah bermasalah bagi kaum-konservatif : adanya xenofobia-budaya mungkin memancar dari agresi terhadap wilayah-negara pada masa-lalu dan mungkin tidak-mampu-melayani pencapaian tujuan-tujuan saat ini dalam suasana yang lebih komersial, atau adanya-rasisme dapat muncul dari mitologi yang menakutkan selama berabad-abad atau sekali-lagi dari serangan-serangan kejam yang sudah tidak sesuai lagi dengan jaman.

Tetapi kaum-konservatif menjawab, bahwa karena institusi-dan-moral berevolusi, kelemahan dan cacat mereka akan menjadi tampak-nyata dan dengan demikian secara bertahap akan direformasi (atau dibuang-begitu-saja) ketika terjadi perubahan tekanan-publik terhadap-nya.

Apa yang ditentang oleh pihak-konservatif adalah potensi-posisi-absolutis baik liberal atau sosialis yang menganggap bentuk perilaku-atau-institusi menjadi valid/sah dan karenanya secara-politis mengikat sepanjang waktu.

Karena itu, konservatif tidak-menolak reformasi, tetapi sepenuhnya-skeptis terhadap generasi sekarang atau kemampuan-nya untuk memahami dan karenanya untuk membentuk kembali banyak-bangunan yang mengesankan tentang perilaku-dan-lembaga yang telah berkembang dengan kebijaksanaan dari ribuan-generasi.

Mereka dengan demikian skeptis terhadap perencanaan skala-besar, apakah itu bersifat konstitusional atau ekonomis atau budaya.

Terhadap kaum-sosialis yang menjadi tidak-sabar dengan cacat masa-kini, kaum-konservatif menasihati kesabaran : bukan demi kepentingannya sendiri, tetapi karena banyaknya bermacam-institusi yang bersatu/berbaris melawan (termasuk kodrat-manusia), tidak dapat direformasi tanpa disertai efek yang sangat-merugikan. Kaum-konservatif ---mengikuti pendapat Edmund Burke--- dengan demikian biasanya mengutuk revolusi-dan-kudeta sebagai mengarah ke lebih-banyak pertumpahan darah dan kekerasan daripada apa yang diproduksi oleh rezim-lama.

Beberapa konservatif berpendapat bahwa redistribusi-yang-cukup diperlukan untuk menjamin masyarakat damai-non-revolusioner. Sementara kaum-liberal-modern membenarkan redistribusi atas dasar menyediakan sebuah dasar-awal yang sama bagi perkembangan-manusia, kaum-konservatif memiliki ketakutan-pragmatis terhadap massa-miskin yang bangkit untuk menggulingkan status-quo dan hirarkinya berasal dari reaksi-kaum-konservatif terhadap Revolusi-Prancis.

Kritik konservatif oleh Edmund Burke sangat akurat dan saksama, namun revolusi juga berfungsi untuk mengingatkan hierarki-politik terhadap kewajiban-nya (noblesse oblige) kepada massa yang berpotensi melakukan kekerasan yang ditimbulkan oleh sebuah pemberontakan.

Pelajaran-itu tidak hilang pada pemikir konservatif-modern yang berpendapat bahwa negara memiliki kewajiban tertentu kepada orang-miskin ---termasuk mungkin penyediaan fasilitas pendidikan-dan-kesehatan, atau setidaknya sarana untuk memberi kenyamanan mereka---.

Berbeda dengan pemikiran sosialis yang dengan-nya beberapa konservatif mungkin sepakat dengan sistem yang disosialisasikan untuk melepaskan kemiskinan), konservatif umumnya lebih-memilih untuk menekankan skema redistribusi-lokal-dan-didelegasikan (mungkin bahkan yang bersifat sepenuhnya sukarela) daripada skema-pusat, yang diarahkan oleh negara.

Dalam kedekatan dengan liberal-klasik, konservatif sering menekankan sangat-pentingnya hak-milik (properti) dalam hubungan-sosial.

Kaum-liberal cenderung bersandar pada manfaat-utilitarian yang diperoleh dari hak-milik, misalnya sebuah distribusi sumber-daya yang lebih-baik daripada kepemilikan-umum atau sebuah metode pemberian-insentif terhadap inovasi-dan-produksi yang lebih-lanjut, sedangkan kaum-konservatif menekankan peran hak-milik-pribadi dalam hal-kemampuannya untuk mengontrol kekuasaan-negara atau individu-lain yang mengejar kekuasaan.

Konservatif melihat kepemilikan-pribadi sebagai suatu landasan yang sakral, secara intrinsik berharga bagi masyarakat yang bebas-dan-makmur.

Distribusi luas hak-milik pribadi melengkapi prinsip-konservatif bahwa individu-dan-komunitas-lokal adalah penilai yang lebih-baik atas kebutuhan dan masalah mereka sendiri daripada birokrat-yang-jauh. Karena kaum-konservatif pada dasarnya skeptis terhadap negara, mereka lebih memilih alternatif asosiasi-sosial untuk mendukung, mengarahkan, dan membantu pematangan manusia-beradab, misalnya keluarga, kepemilikan pribadi, agama, serta kebebasan-individu untuk melakukan-kesalahannya sendiri. .

Konservatif dari tradisi-Whig-Inggris (Locke, Shaftesbury) memiliki banyak-kesamaan dengan liberal-klasik, sedangkan konservatif dari tradisi-Tory-Inggris memiliki lebih-banyak kesamaan dengan kaum liberal-modern, sepakat sampai batas-tertentu terhadap kebutuhan akan intervensi-negara tetapi dari sudut pragmatis daripada dasar-dasar yang diperlukan.

Mereka yang berasal dari tradisi-Whig dengan sendirinya lebih-condong kepada individualisme dan rasionalisme daripada konservatif-Tory, yang menekankan politik komunitas-dan-satu-bangsa serta tugas dan tanggung-jawabnya yang terkait dengan individu.

Keduanya, pada awalnya merupakan doktrin-doktrin yang bertentangan, kemudian bergabung secara politis di akhir abad ke-19 ketika liberalisme menggeser-landasannya untuk memasukkan kebijakan-kebijakan sosialis : kedua pihak konservativisme menikmati sebuah pertarungan yang terlihat dan vokal pada akhir abad ke-20 dalam pemerintahan politik Margaret Thatcher dalam Kerajaan-Inggris.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H3
Pemahaman Pribadi