Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, April 28, 2018

Filsafat Politik-Metodologi 7 : Ajaran Pemikiran Politik > Environmentalisme


Di luar pertikaian etis-tradisional mengenai kehidupan yang baik bagi umat-manusia dan situasi-politik apa yang paling sesuai dengan perkembangan kita sebagai manusia, yang lain mengambil konsepsi-alternatif tentang umat-manusia dan hubungannya dengan dunia-kehidupan.

Secara luas diistilahkan sebagai environmentalisme, filsafat-politik ini tidak memusatkan perhatiannya pada hak-hak orang atau masyarakat, tetapi tentang hak-hak planet dan spesies-lain.

Filosofi-politik liberalisme, sosialisme, konservativisme dan anarkisme --dan semua variannya-- setuju bahwa kehidupan-yang-baik yang dikejar oleh filsafat-politik seharusnya menjadi kehidupan-yang-baik bagi umat-manusia.

Masing-masing kritik mereka terhadap praktik-politik dan adat-istiadat berasal dari standar-bersaing tentang apa yang seharusnya menjadi bentuk kehidupan-yang-baik bagi umat-manusia.

Kaum-feminis, misalnya, dalam teori-politiknya yang pro-manusia lebih-banyak berargumen tentang hak dan kewajiban terhadap perempuan juga perbedaannya. Para intervensionis yang menetap/berdiri dalam kelompok liberal dan konservatif berpendapat bahwa kontrol-politik atas sejumlah alat-produksi dapat meningkatkan peluang bagi sejumlah-orang/masyarakat yang selama ini kurang-terwakili/terpinggirkan atau tidak-berdaya. Demikian pula, kaum-welfaris mengusulkan standar-hidup-universal untuk semua-orang, agar terjamin oleh keyakinan masing-masing terhadap hubungan asosiasi kolektif-atau-sukarela mereka dengan orang-lain.

Namun, environmentalisme dimulai pada premis yang berbeda, manusia bukanlah pusat-politik kita tetapi alam.

Pada bagian awal artikel ini, telah dicatat bahwa demi argumen filosofi-politik yang lengkap, filosofi-politik berdasar teologi harus disertakan ke dalam terma-bahasan atau mengusulkan-standar yang digunakan untuk menilai kehidupan seseorang di bumi ini. Oleh karena itu mereka memasuki perdebatan-tradisional tentang bagaimana orang Kristen, Muslim, Yahudi, Sikh, Hindu, dan sebagainya harus berhubungan dengan sesama-manusia dan melalui institusi seperti apa.

Namun demikian, environmentalisme menganggap tempat-kita di bumi ini memiliki tingkat-kepentingan-sekunder dari pada dunia-alam itu sendiri. Dalam bentuknya yang lebih lemah, environmentalisme berpendapat bahwa manusia adalah penjaga-alam, kepada alam kita harus menunjukkan rasa-hormat dan bahkan mungkin kewajiban etis-dan-politik tertentu kepada dunia-alam ini (kewajiban yang mirip dengan pendirian-teologis yang dipegang oleh seseorang kepada Tuhan-nya). Ini berimplikasi bahwa orang/manusia diberikan status-etis yang setara dengan spesies-hidup lain-nya, ia dipandang sebagai primus-inter-pares.

Namun dalam bentuknya yang lebih kuat, environmentalisme mengutuk eksistensi-kemanusiaan sebagai noda terhadap pemandangan-alam, sebagai perusak-abadi dari semua-yang-baik, karena semua-yang-tidak-baik, menurut pendirian ini, merupakan produk-manusia. Orang/manusia adalah sumber-kejahatan tak berujung yang dilakukan terhadap dunia-alam.

Dalam konteks sejarah-intelektual yang besar, environmentalisme bermula dari beberapa tradisi anti-manusia atau anti-sekuler yang kembali mencapai-puncak selama tiga-milenium ini.

Agama-agama timur mengembangkan teori tentang kejahatan-bawaan atau kebaikan-bawaan manusia yang kemudian disaring ke dunia-barat melalui mistisisme-Pythagoras dan kemudian asketisme-Kristen dan variasi-Fransiskan pada tema-tema pro-alam. Isu-isu yang diterapkan memprovokasi kemarahan/ketidaksukaan termasuk terhadap polusi, penggunaan makhluk-hidup untuk eksperimen, perburuan, domestikasi-hewan, makan-daging, dan penodaan-pemandangan-alam.

Umumnya, para-environmentalis membedakan dirinya dari para konservasionis yang --dari berbagai posisi dalam spektrum teori-politik-- berpendapat bahwa pemandangan-alam atau hewan harus dilindungi dari kepunahan hanya jika bermanfaat atau menyenangkan bagi umat-manusia dalam beberapa bentuk-atau-lainnya.

Environmentalisme menolak utilitarianisme yang berpusat-pada-manusia seperti itu terkait dengan sebuah intrinsikisme-etis yang luas, yaitu teori bahwa semua-spesies memiliki nilai-bawaan yang tidak bergantung pada hubungan-nya dengan entitas-lain dengan mereka.

Kritik yang dilontarkan terhadap argumen ini rata-rata menanyakan :

Apa hubungan-moral atau bagaimana seharusnya hubungan-moral antara pemangsa dan korbannya ?

Apakah seekor-tikus memiliki hak untuk tidak-ditangkap oleh kucing ?

Apakah kucing itu disebut pembunuh karena membunuh tikus ?

Dan jika hal itu tidak dapat dijustifikasi atau bahkan dijelaskan secara-etis, bukankah itu berarti bahwa ketika orang/manusia yang berdiri/berada dalam hubungan-yang-sama dengan hewan yang diburu dan dijinakkan maka dia juga tidak boleh dinilai sebagai pembunuh karena makan-daging dan memakai-bulu ?

Isu utama para-environmentalis dan pendapat mereka terhadap hak-hak binatang mendukung persaudaraan adalah untuk menjelaskan hubungan-moral antara manusia dan binatang dan hasil pembenaran-asimetris dan penilaian yang ditujukan terhadap kemanusiaan.

Menurut posisi-etis para-environmentalis pada umumnya, adalah pantas/memadai secara-moral, bagi singa untuk memburu kijang atau semut untuk memakan ulat, tetapi tidak bagi orang/manusia untuk memburu rubah atau memerah susu sapi. Oleh karena itu juga, dapat ditanyakan :

Apakah memadai-secara-moral bagi singa-liar atau beruang menyerang orang/manusia tetapi tidak-bermoral bagi orang/manusia untuk membela-diri ?

Filosofi politik dari environmentalisme kemudian berubah pada penciptaan-struktur yang tepat untuk kehidupan sosial-manusia dalam konteks ini. Misalnya, bentuk yang lebih lemah menuntut untuk berhenti menjarah sumber-daya bumi dengan melarang eksploitasi lebih lanjut atau setidaknya memperlambat laju-ekploitasi yang saat ini dilakukan. Pengelolaan sumber-daya berkelanjutan adalah pusat dari environmentalisme tersebut, meskipun itu adalah teori politik-ekonomi yang juga diambil oleh filosofi-politik pro-Manusia lainnya.

Para-environmentalis secara teoritis dapat berbeda tentang sistem politik-ekonomi yang paling sesuai dengan tuntutan mereka, tetapi salah satu yang menyuarakan itu adalah tulisan Stewart Brand dalam karyanya The Whole Earth Catalog, ia berpendapat bahwa orang/manusia harus kembali ke zaman-batu, di mana kita mungkin hidup seperti para Indian di lembah mereka, dengan lokalisme mereka, teknologi tepat mereka, kebun mereka dan agama buatan mereka sendiri.

Akan tetapi, implikasi demografi dan ekonomi nampaknya terlewat oleh advokasi seperti itu : untuk kembali ke keadaan neolitik, umat-manusia harus melepaskan-diri dari pembagian-kerja yang rumit, yang dihasilkannya dengan ekspansi populasi-dan-pendidikannya. Secara efektif, ini akan menyiratkan pengurangan populasi-manusia ke angka-jutaan dalam keadaaan neolitik atau lebih untuk seluruh planet.

Kenyataan bahwa ini akan menuntut kematian lima miliar orang harus diatasi dengan menjawab :

Apa yang menjadi justifikasi untuk kembali ke surga yang seharusnya (keadaan zaman-batu) ?

Metode apa yang tepat untuk mencapai itu ?

Oleh karena itu, Brand memulai argumennya sebagai berikut :

"Kami berharap ... agar bencana atau perubahan-sosial datang dan mengebom/meledakkan kita untuk kembali ke zaman-batu ..."

Kampanye Genosida dapat dibenarkan menurut mereka yang menyatakan bahwa populasi mereka (budaya, bangsa, ras, agama) seharusnya menjadi satu-satunya kelompok yang ada di planet ini, sebuah pernyataan yang sangat dibicarakan oleh kelompok-kelompok lain tentu saja dan mereka yang menjelaskan hak-hak individu untuk mengejar kehidupan-yang-bebas dari paksaan, yang meninggalkan environmentalisme untuk menjelaskan mengapa orang harus menderita dan bahkan mati untuk tujuannya. Pembenaran yang disodorkan seringkali berasal dari penolakan terhadap hak apa pun bagi umat-manusia.

Environmentalisme memperluas hak dan kewajiban terhadap spesies-lain yang jangkauannya melampaui hewan-hewan yang paling dekat dengan simpati manusia terhadap alam dan budaya. Tikus, serangga, dan siput telah diperjuangkan oleh berbagai lobi yang berusaha melindungi hewan dari serangan manusia.

Kaum utilitarian dari ajaran politik-tradisional mungkin setuju dengan usulan tersebut sebagai berguna untuk kemanusiaan, katakanlah untuk generasi mendatang. Tetapi environmentalis lebih memilih untuk menghapus umat-manusia dari persamaan dan menyerahkan hak-hak yang tidak-dapat-dicabut kepada entitas-non-manusia terlepas dari hubungan mereka dengan manusia.

Karena hewan bukan-makhluk-etis, environmentalis memiliki tugas yang sulit untuk menjelaskan mengapa bekicot memiliki hak yang lebih besar untuk hidup di planet ini daripada manusia.

Solusinya adalah bahwa kapasitas etika-dan-politik kita, pada kenyataannya menegasikan status-moral kita. Fakta bahwa kita dapat-menalar dan karenanya memahami datangnya implikasi dari tindakan kita bahwa kita tidak dapat dipercaya karena kita dapat dengan sukarela melakukan kejahatan.

Hewan bermoral dalam hal itu : membunuh, memakan entitas lain, beradaptasi dengan dan mengubah lingkungannya, berkembang-biak dan membuat polusi, tetapi ia tidak-memiliki konsep tentang apa yang dilakukannya.

Bagi para-environmentalis ini memberikan spesies-non-manusia status-moral yang lebih-tinggi. Hewan bertindak dan bereaksi dan tidak-ada kejahatan dalam hal ini, tetapi orang-orang berpikir dan di situlah letak sumber-kebejatan moral kita. Dari premis ini, semua-ciptaan manusia dapat secara-universal dikutuk sebagai tidak-etis.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/polphil/#H3
Pemahaman Pribadi



No comments:

Post a Comment