Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, July 15, 2023

Keadilan Ala Barat 12 : Modernisme - Mill


Mari kita tinjau sedikit tentang Karl Marx (dan teman-kerjasamanya Friedrich Engels) sebagai sebuah transisi singkat antara Kant dan Mill.

Kant mewakili semacam konsepsi-borjuis yang sesungguhnya mengenai keadilan yang dilawan oleh Marx dan Engel dalam seruan mereka, dalam "The Communist Manifesto" untuk suatu revolusi-sosial.

Marx menjelaskan kesetaraan sosio-ekonomi yang ideal, ia menyuarakan dengan slogan yang terkenal bahwa semua disyaratkan harus memberi kontribusi kepada masyarakat sampai tingkat kemampuan mereka dan semua harus dapat menerima apa-saja (semua) dari masyarakat sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan mereka.

John Stuart Mill, seorang filosof Inggris abad 19, menyadari sebuah seruan revolusi-komunis dan ia menyerukan reformasi-liberal yang progresif sebagai suatu jalur-alternatif untuk evolusi-politik.

Kant adalah deontologis terbesar pertama, sedangkan Mill berada di bawah tradisi utilitarianisme yang sudah mapan.

Meski para pemikir Inggris sebelumnya (termasuk Hobbes dan Hume) merupakan para pemikir penganut utilitarianisme awal, yang memadukan elemen-elemen teori utilitirianisme ke dalam pandangan-pandangan dunia mereka sendiri, gerakan semacam itu biasanya telah dipikirkan tumbuh (bersumber) dari publikasi karya Jeremy Bentham dalam tahun 1789 berjudul "Introduction to the Principles of Morals and Legislation".

Dalam karya itu Jeremy Bentham mengajukan "principle of utility (prinsip-kemanfaatan/utilitas)" yang kemudian juga ia sebut dengan prinsip "kebahagiaan-terbesar", sebagai dasar yang dapat diharapkan untuk pengambilan-keputusan individual dan kolektif.

"Dengan prinsip-kemanfaatan yang dimaksud adalah prinsip yang menyetujui atau menolak terhadap setiap tindakan apapun-itu, mengacu kepada kecenderungan yang muncul/tampak untuk menambah atau mengurangi kebahagiaan pada kelompok yang mempunyai kepentingan yang dipertanyakan (kelompok yang bersangkutan)."

Kalimat tunggal (kehagiaan-terbesar) itu menetapkan kriteria-akhir dalam penalaran para utilitirian dan merupakan akar dari suatu gerakan yang luar-biasa besar.

Seorang pengacara terkenal bernama John Austin kepadanya Mill belajar dibawah bimbingannya, telah menulis sebuah buku sistem-hukum (yurisprudensi) berdasar karya Bentham "Principle of General Utility (prinsip kemanfaatan-umum)".

Ayah Mill, James Mill ---adalah teman dan sekaligus murid Bentham--- juga mendidik anak satu-satunya menjadi seorang utilitarian.

Nyaris sampai akhir hidupnya, Mill mengamati bahwa utilitarianisme didikan sang-ayah adalah hal yang paling dekat dengan agama didalamnya sang-ayah membesarkan dirinya.

Dan, jika ia tidak menjadi pendiri agama sekuler ini (utilitiranisme), ia jelas menjadi penyiar kitab (penginjil) yang paling efektif.

Dalam "Utilitarianisme", karya esai Mill yang hebat dalam teori etika, ia memberi pernyataan sendiri mengenai prinsip-kemanfaatan (sekali lagi ia menggunakan kata-kata relijius yang tidak-umum) :

"Prinsip doktrin-agama yang menerima sebagai dasar-moral ---Prinsip Kemanfaatan atau Kebahagiaan Terbesar--- memegang kukuh pendapat bahwa tindakan-tindakan adalah benar sesuai dengan proporsi ketika doktrin-agama itu cenderung untuk meningkatkan kebahagiaan, sebaliknya tindakan adalah salah jika cenderung untuk menghasilkan sebaliknya (ketidak-bahagiaan)."

Mill segera melanjutkan untuk menafsirkan kebahagiaan dan ketidak-bahagiaan manusia (seperti yang telah dilakukan Bentham) dalam terma-terma hedonistik rasa-senang dan rasa-sakit (Utilitarianism, pp. 33-34, 329, 257).

Tafsiran itu menyajikan tampilan yang menipu pada sejumlah aturan arahan-sederhana yang sangat-dikenal untuk penilaian-praktis yaitu :

Jika sebuah tindakan menciptakan suatu ekses rasa-senang yang lebih-banyak dari rasa-sakit maka tindakan itu memberi kontribusi kepada kebahagiaan manusia, yang merupakan kebaikan-tertinggi bagi kita, yang membuat tindakan itu menjadi benar. Disisi lain, jika suatu tindakan menciptakan ekses rasa-sakit melebihi rasa-senang, tindakan itu memberi kontribusi kepada ketidak-bahagiaan manusia, yang merupakan kejahatan-tertinggi bagi kita, yang membuat tindakan menjadi salah.

Namun, apa yang menipu mengenai tafsir kebahagian diatas adalah pemahaman bahwa kita cukup-memadai untuk dapat mengantisipasi (mengetahui sebelumnya) konsekuensi-konsekuensi masa-depan sehingga menjadi mampu dalam memperkirakan kemana tindakan-tindakan kita akan mengarahkan kita (rasa-senang atau rasa-sakit).

(Juga perhatikan, bahwa tidak seperti deontologi Kantian, yang membuat apa-yang-benar lepas dari konsekuensi-konsekuensi kebaikan, utilitirianisme justru membuat apa-yang-benar sebagai suatu fungsi dari apa-yang-baik.)

Mill mengakui bahwa kekhawatiran terhadap suatu konflik antara "kemanfaatan-dan-keadilan" yang mungkin-ada selalu menjadi "salah-satu hambatan terbesar" terhadap penerimaan utilitarianisme.

Jika memperbudak suatu minoritas secara permanen dapat menghasilkan suatu mayoritas yang sangat-hebat-dan-kuat (Mill secara personal menentang perbudakan sebagai sebuah pelanggaran yang dapat tidak-disadari terhadap kebebasan-manusia), maka dengan kondisi seperti-itu "kemanfaatan" adalah suatu nilai-tertinggi diatas semua nilai-nilai yang lain, ketidak-adilan perbudakan seharusnya tidak-diterima sebagai suatu sarana yang dibutuhkan (disesali) untuk mencapai sebuah tujuan yang diinginkan secara sosial, namun demikian sialnya, mengapa karena alasan "kemanfaatan" menjadi dibenarkan ?

Mill berpikir bahwa kunci untuk menyelesaikan persoalan dugaan adanya konflik itu adalah dengan analisa-konseptual, bahwa bila kita cukup memahami pengertian tentang apa-itu "kemanfaatan" dan apa-itu "keadilan", kita seharusnya mampu untuk melihat bahwa adalah mungkin tidak-ada konflik antara "kemanfaatan-dan-keadilan" yang benar-benar murni.

Kita telah memahami apa arti konsep "kemanfaatan" dan sekarang perlu untuk membuat jelas dan mudah dimengerti mengenai konsep "keadilan".

Mill memetakan 5 dimensi tentang keadilan ketika kita menggunakan terma itu.

(1) menghormati "hak-hak hukum/legal" orang-lain dinilai adil sementara melanggarnya adalah tidak-adil.

(2) menghormati "hak-hak moral" yang dimiliki seseorang mengenai suatu hal adalah adil sementara melanggarnya adalah tidak-adil.

(3) Adalah dinilai adil untuk memberikan kepada seseorang apa yang layak diterimanya dan tidak-adil untuk menolaknya (tidak memberikan).

(4) Adalah dipikir tidak-adil untuk "mengkhianati kepercayaan orang-lain" sementara menjaganya adalah adil.

Dan (5) dalam beberapa situasi, ditimbang dengan cara-tertentu (khusus) dinilai tidak-adil "untuk berpihak (parsial)" dalam penilaian-penilaian yang dilakukan oleh seseorang dan adalah adil "untuk menjadi tidak-berpihak (imparsial)".

Masyarakat secara umum mengaitkan semua dimensi itu dengan keadilan, dan semua dimensi itu benar-benar tampak mewakili aspek-aspek keutamaan yang legitim.

(Menarik, Mill menolak gagasan tentang kesamaan/kesetaraan sebagai suatu yang esensial dalam pemahaman kita tentang keadilan, sebuah pendirian yang menjadi problematis bagi para Marksis)

Ketika ia mencari sebutan-umum bagi dirinya untuk bermacam dimensi keadilan ini, ia meneliti bahwa keadilan selalu melampaui benar dan salah karena melibatkan "sejumlah orang secara individual dapat mengklaim dari kita sebagai kebenaran/hak moralnya."

Ini mengikuti (sesuai-dengan) pengertian yang legitim (sah) bahwa siapapun yang bertindak tidak-adil bagaimanapun layak untuk dihukum (yang berhubungan dengan Kant).

Mill berpikir semua dimensi keadilan diatas adalah sebuah terma "untuk persyaratan moral-tertentu, yang dinilai/dihargai secara kolektif, berdiri lebih-tinggi dalam skala kemanfaatan-sosial", sehingga menjadi "lebih-wajib daripada yang lain."

Tetapi, ini berarti memadai bagi pemahaman, bahwa keadilan adalah sebuah sebutan untuk "kemanfaatan-sosial yang paling-penting", (ibid., pp. 296-301, 305, 309, 320-321).

Oleh karena itu, menurut pernyataan yang telah disebut sebelumnya tidak-ada konflik apapun antara "kemafaatan-dan-keadilan" yang benar-benar murni.

Jika pernah ada-kondisi dimana perbudakan benar-benar bermanfaat pada kemanusiaan, maka pada kondisi seperti-itu, perbudakan adalah adil, alasan bahwa perbudakan adalah tidak-adil (biasanya) disebabkan oleh perbudakan melanggar prinsip "kemanfaatan".

Tujuan utamanya disini adalah untuk mereduksi keadilan menjadi kemanfaatan-sosial, dengan cara sedemikian-rupa sehingga menyingkirkan ---sesuai definisi--- konflik apapun diantara keduanya (antara kemanfaatan dan keadilan).

Oleh karena itu peran-sosial yang dimainkan dalam pengertian kita mengenai keadilan adalah diduga demi melayani "kebaikan-bersama".

Karya luar biasa Mill yang lain adalah "On Liberty" yang memberi kita sebuah penghubung antara teori utilitarian dan penerapannya kepada soal-soal sosial yang nyata.

Disini, persoalan yang ditetapkan oleh Mill bagi dirinya adalah dimana menarik suatu garis yang masuk-akal antara area dimana masyarakat dapat melakukan pelarangan-perilaku dengan benar dan area dimana masyarakat harus mengijinkan kebebasan bagi warga melakukan tindakan sesuai keinginan mereka.

Kapan adalah adil untuk mencampuri tindakan-seseorang atas-dasar pilihan-personal ?

Untuk memecahkan masalah ini, yang masih relevan hingga hari ini, juga satu-setengah abad yang lalu, Mill mengajukan gagasan "satu prinsip yang sangat-sederhana" mengenai kebebasan, yang ia nyatakan dalam 2 cara yang sedikit-berbeda :

(1) Versi "perlindungan diri" berpendapat bahwa warga hanya dapat mencampuri secara sah kebebasan-bertindak orang-lain untuk melindungi dirinya sendiri dari orang-lain itu.

(2) Versi "serangan" berpegang kukuh bahwa dapat-dibenarkan bahwa kekuatan hanya dapat dipergunakan terhadap anggota komunitas yang lain untuk mencegah mereka menyerang warga yang lain.

Adalah tidak-dapat diterima, menggunakan kekuatan kepada orang-lain untuk menghentikan mereka (orang-lain itu) dari tindakan yang hanya melukai diri mereka sendiri.

Mill diam-diam mengakui bahwa prinsip diatas adalah layak-diterima secara akal-sehat, dapat diterapkan hanya kepada orang-dewasa, yaitu setiap warga yang bertanggung-jawab dalam suatu masyarakat-beradab, namun tidak kepada anak-anak atau orang-gila atau bahkan pasti tidak-layak untuk diterapkan kepada orang-orang primitif yang tidak-mampu melakukan penilaian tentang hakikat-kebaikan mereka-sendiri.

Ia dengan yakin menyatakan menolak daya-tarik-apapun dari hak-hak abstrak sebagai sebuah dasar bagi prinsip diatas, tetapi melandaskan prinsip itu hanya kepada "kemanfaatan dalam pengertian terbesar, berdasar pada kepentingan-permanen pada seorang manusia sebagai mahluk yang progresif."

Perhatikan posisi pra-pendapat (pre-suposisi) diatas, bahwa kita membedakan antara perilaku yang menimbang-orang-lain, yang mungkin-dapat dibenarkan untuk diatur, dan perilaku yang murni menimbang-diri-sendiri yang tidak-mungkin dapat diatur.

Jika pra-pendapat (pre-suposisi) itu berubah menjadi sebuah perbedaan yang salah (tidak-ada perbedaan), maka teori dari Mill dapat runtuh.

Pada setiap tingkatan, ia menyuarakan paling tidak 3 wilayah kehidupan-sosial dimana kebebasan seorang warga harus "mutlak dan tidak-dapat dikualifikasikan".
(a) Wilayah kebebasan berpikir dan berekpresi.
(b) Wilayah kebebasan menjalani gaya-hidup personal.
(c) Wilayah kebebasan memilih untuk mengasosiasikan diri dengan orang-lain, selama itu untuk tujuan damai.

Mill tampak yakin bahwa "kemanfaatan" selalu membutuhkan bahwa dalam wilayah-wilayah diatas kebebasan harus dilindungi.(ibid., pp. 135-138).

Dengan kata lain, dalam pandangan utilitarian-liberal, dalam suatu masyarakat-beradab akan selalu tidak-adil bagi seorang individual atau satu kelompok-sosial, dengan sengaja mencampuri suatu tindakan seseorang yang rasional dan bertanggung-jawab dengan kombinasi-apapun dalam wilayah-wilayah itu.

Sekarang mari kita lihat, bagaimana Mill menerapkan teori utilitarian-nya pada 3 persoalan tentang keadilan yang tetap relevan hingga saat ini.

Pertama-tama, soal hukuman adalah salah satu yang ditelaah olehnya dalam utilitarianisme, meski pembahasannya tertuju pada tinjauan penjelasan-alternatif daripada mengatakan kesimpulan-apa yang dipikirkan olehnya (kita juga dapat meneliti bahwa, dalam bagian bab pendek, Mill menyerang teori kontrak-sosial sebagai suatu fiksi yang tak-berguna) (ibid., pp. 311-313).

Sebagai seorang utilitarian, ia lebih tertarik kepada penggunaan hukuman yang rasional dan penilaian yang baik (bijaksana) untuk mencegah aktivitas kriminal.

Ia meyakini kemanfaatan/keadilan dalam pembelaan-diri dan melihat hak untuk menghukum berlabuh disana.

Pada tahun 1868, sebagai anggota Parlemen terpilih, Mill memberi sebuah pidato terkenal di the House of Commons yang mendukung hukuman-mati diatas dasar-dasar utilitarian.

Meskipun jelas bahwa sepertinya ia akan bersedia mendukung suatu rancangan undang-undang untuk pengampunan (penghapusan-hukuman), masyarakat yang berdasar hukum, sebuah kondisi yang harus ada dalam masyarakat yang sejahtera, membutuhkan sarana untuk pencegahan kriminal yang paling-kejam, seperti pembunuhan. Ia bahkan berpikir, hukuman-mati merupakan hukuman yang lebih cepat dan manusiawi daripada memasukan seseorang ke dalam penjara sepanjang hidupnya.

Mill benar-benar khawatir terhadap kemungkinan eksekusi hukuman kepada orang yang tidak-bersalah, namun ia berpikir merubah sebuah sistem-hukum dengan hati-hati dapat menyebabkan bahaya itu menjadi "sangat-jarang".(“Punishment,” pp. 266-272)

Oleh karenanya teori utilitariannya memberinya suatu dasar bagi dukungan kepada hukuman-mati sebagai dapat dibenarkan secara moral.

Penerapan yang kedua teori utilitarian dari Mill mengenai keadilan yang dikenal adalah kepada soal kesetaraan kesempatan bagi wanita.

Dalam peragraf paling awal tentang "The Subject of Women", Mill tetap mempertahankan pendapat bahwa "prinsip yang mengatur relasi-relasi sosial yang ada antara dua-jenis kelamin ---subordinasi-legal dari satu-jenis-kelamin kepada jenis-kelamin lainnya--- adalah salah dalam dirinya, dan sekarang salah satu penghindaran-utama pada kemajuan manusia. Dan prinsip itu harus diganti dengan sebuah prinsip kesetaraan-sempurna, yang mengakui tidak-adanya kekuasaan atau hak-hak-khusus pada salah-satu jenis-kelamin, tidak-ada juga ketidak-mampuan pada sisi yang lainnya."

Sehingga ia tidak menyeru kepada perlakuan-preferensial untuk "tindakan-persetujuan (affirmative-action)" namun hanya demi kesempatan-yang-sama. Tidak seperti para-feminis kontemporer, Mill tidak tertarik pada hak-asasi-manusia pada perempuan sebagai penalarannya, namun hanya untuk memaksimalkan "kebahagiaan-manusia" dan kebebasan "yang menjadikan hidup dapat bernilai" (Subjection, pp. 1, 26, 101).

Disini kembali, kita menghadapi sebuah masalah keadilan-sosial yang terhadapnya teori utilitariannya diterapkan, menciptakan kesimpulan-kesimpulan-kesimpulan yang liberal.

Soal terapan ketiga kita adalah tentang non-intervensi-internasional.

Prinsip umum Mill disini adalah penggunaan-kekuatan terhadap yang lain adalah penyebab-utama ketidak-adilan. Meskipun perang untuk mempertahankan diri dapat dibenarkan, sedang perang-yang-agresif adalah tidak dapat dibenarkan.

Dapat dibenarkan berperang tanpa diserang atau tanpa menerima serangan langsung, sebagai contoh untuk membantu suatu masyarakat barbar, atau yang semacam itu, yang diduga tidak memiliki hak-hak.

Dapat dibenarkan untuk menyelamatkan subjek populasi dari tekanan pemerintah (“Non-Intervention,” pp. 376-383).

Semua itu dapat dianggap suatu fungsi dari kesejahteraan-utilitarian. Sekali lagi, masalah moral yang tetap ada sepanjang waktu telah dibahas menggunakan teori keadilan utilitarian.

Penerapan-penerapan itu, semuanya tampak menggunakan nilai-nilai dan penalaran utiltarianisme dengan benar, yang dengan hakekat-sifat-alamiahnya, pastilah bersifat konsekuensialis.

Dari sudut-pandang itu, pendekatan pencegahan melalui hukuman, termasuk hukuman-mati, tampak cukup-memadai seperti yang dilakukan seruan Mill tentang kesamaan-kesempatan bagi wanita dan ukuran posisi intervensionisme-internasional.

Pastilah, kehormatan paling tinggi yang ia tempatkan untuk kebahagiaan-manusia adalah mengagumkan, sebagai sudut-pandang universalnya yang memandang semua manusia diperhitungkan.

Persoalan ada pada asumsi-asumsinya bahwa semua-nilai adalah relatif terhadap konsekuensi-konsekuensi, bahwa kebahagiaan-manusia adalah kebaikan-tertinggi, dan bahwa ini direduksi kepada memaksimalkan-rasa-senang dan meminimalkan-rasa-sakit.

Kesimpulan akhir dari posisi ini adalah bahwa secara prinsip, tidak ada yang terlarang secara kategoris, bahwa dengan tujuan-tujuan yang dinginkan, sarana apapun yang dipakai untuk mencapainya dapat dibenarkan.

Jika kita sungguh percaya bahwa tidak-ada konflik antara "keadilan-dan-kemanfaatan" yang benar-benar murni karena keadilan hanyalah bagian paling-penting dari kemanfaatan, kemudian aturan-aturan keadilan dapat direduksi menjadi hitungan-hitungan berdasar apa yang secara umum kondisif kepada kebahagiaan-terbesar bagi sebanyak mungkin orang ---hanya generalisasi induktif yang harus membolehkan pengecualian-pengecualian. Setidaknya ambiguitas pada Mill meninggalkannya terbuka terhadap tafsir ini. Disana tampak menjadi tegangan di dalam pemikiran Mill :

Disatu sisi, ia ingin menghargai kebebasan semua orang-orang yang bertanggung-jawab (beradab) sebagai pelaku/agen rasional, tetapi disisi lain, keterikatannya pada utilitarianisme tampak berada dibawah yang menjunjung tinggi prinsip kebaikan-terbesar bagi jumlah orang terbanyak, yang megijinkan kemungkinan mengorbankan kepentingan-kepentingan dari yamg-sedikit bagi mereka yang banyak.



Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Friday, April 14, 2023

Keadilan Ala Barat 11 : Modernisme - Kant


Berpindah dari salah satu filosof terbesar pada masa-pencerahan kepada filosof besar lainnya, kita harus memandang Kant membawa tantangan terhadap pernyataan "apa yang-adalah, apa yang-seharusnya" dengan lebih-serius daripada yang telah dilakukan oleh Hume.

Oleh karena keadilan adalah sebuah keutamaan moral dan politik, yang membantu menentukan karakter yang baik maupun perilaku yang benar, pertanyaan tentang bagaimana kewajiban-kewajiban untuk berlaku adil semacam itu muncul adalah krusial.

Bagi Hume, kita harus mengejar keutamaan (termasuk keadilan) karena keutamaan itu adalah (diduga) menyenangkan dan/atau bermanfaat untuk dilakukan.

Namun kemudian, apa hubungan logisnya ? Mengapa kita harus, berbicara moral, berarti berbicara tindakan demi untuk kesenangan dan/atau kemanfaatan ?

Bagi Kant, alasan bahwa kita harus memilih apa yang kita lakukan adalah benar, tidak-ada hubungannya dengan konsekuensi kebaikan dari tindakan yang dilakukan.

Melakukan tindakan-benar hanyalah karena tindakan itu adalah hal yang benar (menurut akal) untuk dilakukan.

Kant mengakui bahwa perintah apa yang "seharusnya" dilakukan (preskripitf) tidak-pernah dideduksi secara logis dari sejumlah pendapat deskripsi-faktual "adalah" apapun, Kant akan meninggalkan pendekatan-empiris terhadap keadilan (dari Hobbes dan Hume) menggantinya dengan jenis pendekataan-rasionalistik yang akan kembali melihat keadilan sebagai sebuah nilai-absolut, yang tidak bisa dikompromikan, terlepas dari keadaan dan konsekuensi-konsekuensi apapun yang mungkin.

Karena itu kita harus mencermati tanggapan dari para utilitarian terhadap hal itu, seperti yang dikembangkan oleh filosof --yang dapat dianggap sebagai konsekuensialis terbesar dalam masa modern--- John Stuart Mill sebagai seorang empirisis seperti Hobbes dan Hume, akan membuat apa-yang-benar merupakan fungsi dari apa-yang-baik.

Immanuel Kant, seorang profesor Jerman abad 18 dari Prussia Timur menemukan keyakinan filsafat-rasionalistik-nya karena sangat ditantang oleh skeptisisme Hume yang begitu mengagumkan dirinya (demikian juga ia sangat terpesona oleh gagasan-gagasan dari Rousseau)

Meskipun ia tidak diyakinkan oleh skeptisisme Hume, Kant cukup terganggu oleh itu dan ia menghabiskan puluhan tahun untuk berupaya menjawab itu, untuk melakukannya ia menciptakan sebuah sistem filsafat baru yang revolusioner.

Sistem Kant melingkupi, namun jauh dari batasan, suatu sistem yang sangat besar, filsafat praktis yang luas, terdiri dari banyak buku dan esai, termasuk sebuah teori keadilan.

Diketahui dengan baik bahwa filsafat praktis ini ---termasuk keduanya teori etika dan filsafat sosial-politik-nya--- adalah contoh yang paling dikenal baik dalam deontologi (dari bahasa Yunani, berarti ilmu yang mempelajari kewajiban)

Teori-teori teologikal atau konsekuensalis (seperti teori dari Hobbes dan Hume) memandang apa-yang-benar sebagai sebuah fungsi-dari dan relatif terhadap tujuan-tujuan yang baik, sedangkan suatu teori deontologis seperti teori Kant melihat apa-yang-benar lepas dari apa yang kita konsepsikan sebagai hal-yang-baik dan karenanya secara potensial adalah absolut

Keadilan secara kategori mensyaratkan penghargaan terhadap kebenaran, dengan mengabaikan kondisi/lingkungan yang tidak-nyaman dan mengabaikan konsekuensi-konsekuensi yang diinginkan dan tidak-diinginkan.

Kemudian soal "apa yang-adalah, apa yang-seharusnya", cara terbaik untuk melanjutkan bahasan adalah dengan menghindari pendekatan empiris yang pasti terikat kepada upaya untuk menurunkan kewajiban-kewajiban dari fakta-fakta yang diduga.

Ini persis merupakan pendekatan Kant dalam buku dasar mengenai sistem filsafat-praktisnya, dalam karyanya Grounding for the Metaphysics of Morals.

Ia berpendapat, dalam kata Pengantar karya itu bahwa karena hukum-moral "harus membawa serta bersamanya kepastian-absolut" dan karena empirisisme hanya memberikan hasil "kontingen dan tidak-pasti", kita harus melanjutkan tinjauan melalui cara "penalaran praktis murni", yang akan ---sampai derajat sejauh mungkin--- memurnikan hukum-moral dari "segala yang-empiris" seperti fisiologis, psikologis dan kondisi/lingkungan yang kontingen.

Dalam pandangan ini soal kebenaran akan sama, dapat-diterapkan kepada semua-orang sebagai agen/pelaku yang secara potensial bersifat otonom dan rasional, mengabaikan perbedaan yang kontingen apapun, mengabaikan identitas gender, ras, atau etnik, status kelas sosial-ekonomi dan lain-sebagainya.

Jika Kant mampu menarik hukum-moral lepas dari "segala-yang-empiris", maka akan membawa hukum-moral lebih-jauh menuju persamaan-kebenaran dibanding filosof lain siapapun yang telah ditinjau sebelumnya disini.

Untuk menetapkan sebuah konsep kebenaran yang tidak-bergantung pada kebutuhan, keinginan dan kepentingan empiris, Kant mengemukakan sebuah prinsip-tunggal untuk semua-kewajiban, yang ia sebut imperatif-kategori, karena memerintah kepada kita sebagai ---seorang manusia--- harus melakukan suatu kewajiban tanpa-syarat apapun.

Imperatif-kategori adalah sebuah ujian yang dapat digunakan untuk membantu kita membedakan secara rasional antara tindakan yang benar dan salah.

Dan Kant menawarkan 3 rumusan berbeda terhadap itu yang ia anggap merupakan 3 cara yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama.

(a) yang pertama adalah rumus dapat-di-universalisasi, bahwa kita harus berupaya melakukan tindakan, hanya-apa yang secara akal harus-dapat menjadi sebuah hukum-universal.

(b) yang kedua adalah sebuah rumus tentang menghargai semua-orang, bahwa kita harus selalu berupaya untuk bertindak dengan cara sedemikian rupa sehingga menghormati semua-orang, diri kita sendiri dan semua-orang-lain, karena mengandung nilai intrinsik "tujuan dalam dirinya-sendiri" dan tidak pernah memperlakukan siapapun hanya menjadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain.

(c) Dan yang ketiga adalah sebuah "prinsip otonomi", bahwa kita sebagai agen/pelaku rasional yang otonom secara moral, harus berupaya untuk bertindak dengan cara sedemikian rupa sehingga kita mampu membuat undang-undang yang masuk akal untuk suatu moral yang mewakili semua-orang.

Karena harga-diri bagi semua-orang ---menjadikan mereka bernilai secara intrinsik dan mendapat penghormatan--- adalah sebuah fungsi dari kapasitas otonomi-moral mereka.

Dalam karyanya Metaphysics of Morals, Kant mengembangkan sistem-etika-nya, melampaui landasan ini, menjadi sebuah doktrin tentang kebenaran dan keutamaan.

Doktrin tentang kebenaran terdiri dari tugas-kewajiban melakukan keadilan yang ketat, sementara doktrin keutamaan terdiri dari tugas-kewajiban melakukan tindakan-tindakan baik yang lebih luas.

Jelas, adalah kategori yang pertama (doktrin kebenaran), kita berhutang tugas-kewajiban yang harus ditunaikan kepada semua-orang-lain, mengabaikan kondisi dan konsekuensi, sekarang yang menjadi perhatian penting bagi kita adalah keadilan menjadi sebuah persoalan kebenaran yang ketat daripada satu keutamaan nilai-kebaikan.

Pada bagian terakhir dalam karyanya Metaphysics of Morals, Kant dengan singkat membahas "keadilan-Tuhan" dimana dengannya Tuhan secara sah menghukum manusia karena melanggar tugas-kewajiban mereka (Ethical, pp. 2-3, 30-44, 36, 48, 158-161).

Dalam karyanya Metaphysical Elements of Justice, yang menyusun bagian pertama karyanya Metaphysics of Morals, Kant mengembangkan teori keadilan-nya.

(Konsepnya tentang Rechtslehre --secara harafiah berarti "doktrin tentang kebenaran" juga diterjemahkan menjadi "doktrin tentang keadilan" dan doktrin tentang hukum)

Bagi Kant, keadilan terikat erat dengan tugas-kewajiban yang dengannya secara benar kita dituntut untuk menunaikan.

Dengan mengatakan bahwa kita memiliki tugas-kewajiban untuk menegakan keadilan kepada orang-lain adalah untuk menunjukan bahwa mereka memiliki hak-hak, yang dituntut kepada kita, bahwa kita harus menunaikan tugas-kewajiban itu, sehingga tugas-kewajiban menegakan keadilan dan hak-hak adalah korelatif.

Tiga syarat harus dipenuhi agar konsep-keadilan harus diterapkan :

(a) kita harus berurusan dengan perilaku eksternal interpersonal.

(b) berlaku adil harus berhubungan dengan niat-tindakan dan tidak hanya kepada harapan, keinginan dan kebutuhan.

(c) konsekuensi-konsekuensi yang dimaksud/diharapkan adalah tidak-relevan secara moral.

Seseorang tidaklah berlaku tidak-adil dengan pertimbangan karena mencuri harta-benda orang-lain semata atau hanya ingin melakukan pencurian, tetapi ia berlaku tidak-adil hanya oleh tindakan sengaja (dengan niat) memilih/memutuskan bertindak untuk mengambil tanpa ijin.

Dan tindakan itu tidak-dibenarkan apapun konsekuensi-konsekuensi kebaikan yang mungkin dimaksud/diharapkan.

Menurut Kant, hanya ada satu hak-bawaan-alamiah manusia yang dimiliki oleh semua-orang yaitu hak-kebebasan melakukan apapun yang dikehendaki seseorang, selama tindakan itu "sesuai dengan kebebasan orang-lain menurut hukum-universal."

Oleh karena itu, hak seseorang untuk bebas-bertindak tidak-dapat diperluas untuk menabrak/melanggar kebebasan orang-lain atau merusak hak-hak mereka.

Ini mengarah kepada prinsip keadilan universal tertinggi dari Kant, yang dengan sendirinya merupakan sebuah imperatif-kategori:

"Setiap tindakan adalah adil (benar), tindakan yang dalam-dirinya atau dalam-maksimnya sedemikian rupa, sehingga kebebasan-berkehendak dari masing-masing orang dapat ada bersama-sama dengan kebebasan setiap orang dalam kesesuaian dengan sebuah hukum-universal"

Meski penggunaan kekuatan-koersif (pemaksaan) terhadap orang lain melibatkan suatu upaya untuk membatasi kebebasan mereka, ini tidak-pasti selalu tidak-adil, jika pemakaian kekuatan itu digunakan untuk membalas tindakan mereka yang tidak-adil menyalah gunakan kebebasan ---sebagai contoh dalam pembelaan-diri atau menjalani hukuman atau bahkan dalam perang.

Kant sepakat dengan apa yang telah diungkapkan oleh tiga aturan-hukum keadilan kuno:

(1) Kita harus jujur ketika berurusan dengan orang lain.

(2) Kita harus menghindar untuk berlaku tidak-adil kepada orang-lain bahkan jika penghindaran itu perlu upaya kita untuk menghindari mereka semuanya sekaligus.

(3) Dan jika kita tidak dapat menghindari pergaulan dengan orang-lain, setidaknya kita harus berupaya menghormati hak-hak mereka.

Kant membedakan antara keadilan-alamiah atau privat di satu sisi dan keadilan-sipil atau publik di sisi yang lain.

Ia memiliki teori hak-milik-alamiah yang kompleks, yang hanya dapat kita sentuh di sini.

Kita dapat berpendapat, atas nama keadilan memiliki hak-hak untuk :

(a) Kepemilikan fisik seperti mobil anda.

(b) Memperoleh pelaksanaan-kerja tertentu yang dilakukan orang-lain seperti bengkel mobil yang menepati janjinya untuk memperbaiki mobil anda.

(c) Memperoleh karakteristik tertentu dalam hubungan interpersonal dengan mereka yang berada dibawah otoritas kita, seperti kepatuhan anak-anak dan para pelayan yang penuh hormat.

Seseorang yang mencuri mobil anda atau mekanik mobil yang telah setuju memperbaiki mobil anda dan kemudian gagal melakukan itu adalah memperlakukan anda dengan tidak-adil.

Anak-anak, yang sedang berkembang tetapi seorang pribadi yang independen, memiliki hak untuk didukung dan diperhatikan oleh orang-tua mereka, tetapi selanjutnya mereka berhutang kepatuhan kepada orang-tua mereka ketika berada dibawah otoritasnya.

Anak-anak bukanlah milik orang-tua mereka dan harus tidak-pernah diperlakukan seperti benda atau objek dan ketika mereka menjadi independen dari orang-tua mereka, mereka tidak berhutang apapun kepada orang-tua mereka kecuali membalas-jasa.

Demikian juga, seorang tuan harus menghargai pelayan sebagai pribadi seorang-manusia. Pelayan mungkin berada dibawah kontrak untuk melayani sang-tuan, namun kontrak itu tidak bisa permanen atau secara sah melibatkan kepasrahan pribadi si pelayan (dengan kata lain, seseorang tidak dapat dibenarkan masuk ke dalam perbudakan)

Meski sang-tuan memiliki otoritas atas si pelayan, hal itu harus tidak-pernah dipandang sebagai kepemilikan atau melibatkan penyimpangan.

Semua yang ditelaah mengenai keadilan-privat atau alamiah, berkaitan dengan mengamankan hak-hak kepemilikan.

Selanjutnya mari kita menelaah lebih lanjut bagaimana Kant menerapkan teori keadilan-nya pada persoalan kejahatan dan hukuman, dalam wilayah keadilan sipil atau publik yang melibatkan keadilan protektif, komutatif dan distributif, syarat-syarat yang dengannya dapat dipaksakan secara sah oleh masyarakat-sipil.

Ketika seseorang melakukan sebuah kejahatan, hal-itu melibatkan penyalahgunaan kebebasan untuk melanggar kebebasan orang-lain atau merusak hak-hak mereka.

Oleh karena itu, pelaku kriminal kehilangan hak-kebebasan-nya dan dapat menjadi seorang tahanan negara yang sah.

Kant berpikir aturan, bahwa para pelaku kriminal harus dihukum karena tindakan kriminal mereka menjadi "sebuah imperatif-kategori", suatu soal tentang "retribusi" keadilan bukan untuk ditolak atau bahkan dikurangi demi alasan utilitirian (kemanfaatan).

Perluasan hukuman ini menuju hukuman pamungkas, yaitu hukuman-mati : keadilan mensyaratkan bahwa para pembunuh, pelaku kriminal paling keji, harus menerima hukuman mati, karena tidak ada hukuman apapun yang akan membuat adil .

Penerapan ketiga untuk dipikirkan disini adalah penerapan keadilan dalam perang.

Keadilan dalam perang merupakan bagian dari keadilan publik-internasional yang disebut oleh Kant "Hukum Bangsa-Bangsa."

Ia mengambil sebuah versi non-empiris dari teori kontrak-sosial, menafsirkannya bukan sebagai sebuah fakta-sejarah yang secara misterius menciptakan kewajiban-kewajiban namun lebih sebagai sebuah gagasan-hipotetis tentang apa yang dapat disetujui secara rasional oleh pelaku/agen moral yang bebas dan setara melalui cara yang selaras dengan aturan/hukum-keadilan.

Tidak seperti Hobbes, Kant tidak melihat itu sebagai sebuah dasar untuk semua tugas-kewajiban moral. Namun merupakan penjelasan terhadap tugas-kewajiban yang kita miliki kepada bangsa/negara dan warga negara lain.

Negara memiliki tugas-kewajiban kepada negara-lain, dengan demikian ada suatu hukum internasional antar bangsa.

Meskipun negara-negara yang berbeda, dalam kondisi tidak-ada hukum internasional, berada dalam kondisi-alamiah keadaan perang, seperti yang dipikirkan oleh Hobbes, namun Hobbes salah berpikir bahwa dalam kondisi itu segalanya berjalan dengan benar sehingga tidak-ada keadilan di sana.

Perang adalah hal buruk, dan kita harus berusaha meminimalisir kebutuhan itu (perlunya berperang), meskipun Kant bukan seorang pasifis dan ia dapat membenarkan perang untuk tujuan pembelaan-diri.

Kant mengajukan sebuah "Liga Bangsa-Bangsa" internasional guna membantu menyediakan "saling-melindungi melawan agresi eksternal" dan karenanya meredam dan mengurangi kebutuhan untuk pergi berperang.

Tetap saja, ketika perang tidak dapat dihindari, perang harus dinyatakan/diumumkan daripada diluncurkan dengan serangan diam-diam.

Yang kedua, terdapat batasan-batasan yang sah yang melarang, misalnya berupaya membunuh semua warga masyarakat musuhnya. Yang ketiga, ketika perang telah selesai, kelompok pemenang tidak-dapat menghancurkan kebebasan-sipil pada kelompok yang kalah seperti dengan memperbudak mereka dan keempat, "hak-hak damai" tertentu harus dijamin dan dihormati bagi semua yang terlibat perang.

Sehingga tujuan-akhir dari relasi-relasi internasional dan Liga Bangsa-Bangsa haruslah "perdamaian abadi" yang ideal diantara berbagai negara-negara yang memiliki bersama planet kita.(Justice, pp. 41, 43, 91-95, 113, 136-141, 146, 151-158; for more on Kant’s version of the social contract theory, see Writings, pp. 73-85, and for more on his views on war and “perpetual peace,” see Writings, pp. 93-130).

Dengan demikian, kita melihat Kant menerapkan teori-keadilan-nya dalam 3 area :

Dalam area hukum-private berkaitan dengan keamanan hak-hak kepemilikan alamiah (harta-benda), dalam area hukum-publik berkaitan dengan pemungutan-hukuman bagi pelaku kriminal dan dalam area keadilan-internasional terkait dengan perang dan perdamaian.

Apa yang harus kita katakan dengan kritis mengenai teori ini ?

Pertama, teori-keadilan Kant berpendapat untuk sebuah pengertian keadilan dalam terma-objektivitas, tidak sewenang-wenang terhadap hak-hak katakanlah seperti pendapat Hobbes dan Hume.

Kedua, pengertian keadilan merupakan sebuah bagian dengan imperatif-kategori Kant, dalam hal aturan/hukum-keadilan dapat-di-universalisasi, dirancang untuk menghormati orang sebagai mengandung nilai-intrinsik dan sesuai dengan prinsip-otonomi.

Ketiga, jika hume benar dalam mengemukakan pendapat bahwa kita tidak-pernah dapat secara logis menarik kesimpulan apa-yang-harus-dilakukan dari apa-yang-sebenarnya-aktual, maka teori Kant adalah satu-satunya teori yang telah kita tinjau sejauh ini yang mampu melewati ujian itu.

Untuk fokus kepada persoalan, pertanyaan yang dikemukakan, mengapa kita harus menjadi adil ?

Bagi Plato, itu adalah jalan untuk mencapai pemenuhan sebuah jiwa yang teratur dengan baik.

Bagi Aristoteles, pencapaian dan pelatihan bagi keutamaan-moral adalah kondisi yang pasti dari perkembangan manusia.

Bagi Agustinus dan Aquinas, hukum kekal Tuhan mensyaratkan bahwa kita sebagai mahluk personal ciptaan Tuhan, harus menjadi adil, dengan pertaruhan keselamatan kita.

Bagi Hobbes, melakukan keadilan adalah diperlukan untuk kepentingan diri yang tercerahkan.

Bagi Hume, walaupun kita menjadi adil mungkin tidak memberi keuntungan kepada kita secara langsung sepanjang waktu, menjadi adil adalah kondusif bagi kemanfaatan-umum atau kebaikan bagi masyarakat didalamnya kita merupakan anggotanya

Namun kepada masing-masing pendapat itu, kita bisa mengajukan pertanyaan, lalu bagaimana ?

Jika ada kombinasi apapun dari pendapat-pendapat itu adalah benar, kita tetap sah bertanya mengapa kita oleh karena itu harus menjadi adil.

Apakah kita berasumsi bahwa kita harus melakukan apapun-itu untuk mencapai suatu jiwa yang teratur/tertata dengan baik, atau untuk perkembangan-jiwa atau untuk selaras dengan kehendak Tuhan atau untuk memenuhi kepentingan-kita sendiri atau kemanfaatan-umum ? Mengapa ?

Perhatikan jawaban dari Kant : kita harus berupaya menjadi adil karena itu adalah hal yang benar dan karena itu adalah tugas-kewajiban kita sebagai pelaku/agen moral yang rasional, untuk berusaha melakukan apa yang benar.

Analisis keadilan Kant berhasil dengan baik dan dengan begitu penerapannya kepada hak-hak kepemilikan, tindakan-kejahatan dan hukumannya, dan perang-dan-perdamaian juga mengesankan.

Namun teorinya secara umum ditolak karena terlalu idealistik untuk dapat diterapkan secara "realistik" dalam dunia yang disebut "dunia-nyata" karena mempertahankan sejumlah hal dapat menjadi benar-benar mutlak tidak-adil dan oleh karenanya secara kategoris tidak diijinkan dengan mengabaikan kepada konsekuensi yang mungkin.

Teorinya seperti yang telah dibahas disini adalah suatu contoh paradigma dari pandangan tentang keadilan yang disuarakan/diangkat dalam artikel ini, yaitu mensyaratkan secara mendasar penghargaan kepada orang sebagai agen/pelaku yang bebas dan rasional.

Namun ketidak-fleksibelan teori Kant dari sudut penerapan yang lain, seperti dalam larangan-mutlaknya terhadap 'berbohong' untuk suatu kemungkinan pembunuhan demi menyelamatkan hidup manusia yang tidak bersalah (Ethical, pp. 162-166), gagasannya bahwa para wanita dan pelayan hanyalah "warga-pasif" tidak sesuai kepada pemungutan suara, dan penolakan-kategoris-nya terhadap hak apapun untuk menolak atau revolusi melawan tekanan (Justice, pp. 120, 124-128) adalah probelamtik, yang mengundang suatu alternatif seperti yang diwakilkan oleh utilitirianisme Mill.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Thursday, February 23, 2023

Keadilan Ala Barat 10 : Modernisme Awal - Hume


Sebagai sebuah transisi antara Hobbes dan Hume, bahasan singkat mengenai John Locke dapat dilakukan, ia seorang filosof politik yang paling penting diantara mereka berdua. (Alasan John Locke tidak ditelaah dengan panjang-lebar di sini adalah ia tidak menawarkan suatu teori-umum keadilan yang berbeda)

Dalam karyanya Second Treatise of Government yang luar-biasa, Locke mendeskripsikan sebuah kondisi-alamiah yang diatur oleh hukum-Tuhan namun tidak-aman, oleh karena disana tidak-ada mekanisme untuk menegakan hukum itu, ketika hak-milik-alamiah seseorang ---yang terdiri dari hak hidup, hak kebebasan dan hak kepemilikan harta-benda--- dilanggar.

Guna melindungi hak-milik-alamiah seperti itu, warga-masyarakat menyetujui suatu kontrak-sosial yang merubah mereka dari kondisi-alamiah kepada kondisi masyarakat-politik, disertai dengan pemerintahan yang ditetapkan untuk menegakan hukum.

Teoritisi hebat kontrak-sosial yang lainnya diantara Hobbes dan Hume yang berguna untuk disebut disini adalah Jean-Jacques Rousseau (sekali lagi ia tidak memberi kita teori keadilan-umum yang berbeda).

Dalam karyanya Social Contract, ia menekankan bahwa, di dalam sebuah masyarakat yang telah teratur dengan baik (well-ordered society), kehendak-umum harus lebih berpengaruh/menentukan (daripada kehendak individual atau kelompok-individu apapun).

Hakekat kebebasan dalam sebuah masyarakat sesungguhnya harus mengikuti kehendak-umum, dan mereka yang tidak memilih melakukan-itu, maka secara-sah dapat dipaksa untuk melakukannya.

Seorang manusia bisa-jadi sangat berubah karena peralihan dari kondisi-alamiah kedalam kondisi-masyarakat-sipil sehingga kebebasan-murni seperti kehendak (will) mampu membuat setiap warga untuk menyetujui semua-hukum yang mengatasi perbedaan demi kebaikan bersama.

David Hume, seorang pemikir Scotlandia abad 18 ---yang sangat terpengaruh oleh Locke memusatkan perhatian kepada hak-milik-alamiah namun menolak teori kontrak-sosial dari Hobbes, Locke, dan Rousseau--- adalah seorang pemikir yang menarik untuk ditelaah dalam kaitannya dengan Hobbes.

Seperti Hobbes, Hume adalah seorang empiris-radikal dan seorang determinis yang bersikap skeptis terhadap keadilan sebagai sebuah keutamaan-objektif yang absolut.

Namun Hume tidak secara eksplisit menganut materialisme, ia juga bukan seorang penganut etika-psikologi atau etika-egoistik dan ia sangat-dikenal menyerang penjelasan teori-teori kontrak-sosial mengenai kewajiban moral dan politik baik berdasar landasan historis (menurutnya tidak ada bukti untuk itu, dan sejarah menunjukan bahwa kekuasaan/kekuatan menjadi dasar bagi pemerintahan daripada kesepakatan) maupun filosofis (bahkan jika nenek-moyang telah memberi kesepakatan mereka pada kita, itu tidak akan mengikat kita, dan kemanfaatan merupakan penjelasan kepada ketundukan untuk dikontrol yang lebih masuk-akal daripada kesepakatan murni) (Essays, pp. 186-201).

Pada bagian ketiga dalam karyanya Enquiry concerning the Principles of Morals, Hume mengemukakan pendapat bahwa "kemanfaatan-umum adalah satu-satunya asal-muasal keadilan"

Untuk meletakan pendapat itu dalam konteks, kita bisa mencatat bahwa ---seperti Hobbes--- Hume melihat semua nilai, termasuk keadilan bersumber dari emosi bukan dari akal kita (seperti yang dipikirkan Plato, Aristotle, Augustinus, dan Aquinas).

Setiap keutamaan apapun, Hume menekankan, adalah dikehendaki karena memberi perasaan-senang oleh sebab kesesuaian dengan keinginan kita, dan sebaliknya termasuk ketidak-adilan adalah tidak-dikehendaki karena memberi kita perasaan tidak-menyenangkan sakit/luka oleh sebab ketidak-sesuaian dengan keinginan.

Untuk mengkualifikasikan sebagai suatu keutamaan, suatu kualitas haruslah "bermanfaat atau menyenangkan bagi orang-itu sendiri atau orang-lain"

Adalah mungkin untuk beberapa keutamaan cukup layak bisa masuk ke dalam lebih-dari-satu dari empat-kategori ini (sebagai contoh, kemurah-hatian tampak sangat bermanfaat dan menyenangkan bagi keduanya baik orang yang murah-hati dan juga orang yang tidak murah-hati).

Namun keadilan bisa-jadi hanyalah sebuah keutamaan karena keadilan bermanfaat/menguntungkan bagi orang-lain, sebagai anggota masyarakat.

Hume menawarkan pada kita argumen yang unik dan mengagumkan untuk membuktikan pendapat itu.

Ia membayangkan 4 skenario hipotetis dimana sifat manusia akan menjadi sangat berbeda (yaitu menjadi benar-benar altruistik atau egois brutal) atau lingkungan kita yang menjadi begitu berbeda (yaitu untuk segala yang kita inginkan tersedia terus-menerus dan berlimpah atau begitu sedikit/miskin sehingga jarang seseorang dapat bertahan hidup), bisa-jadi menunjukan bahwa di dalam masing-masing keadaan itu, keadilan bukanlah suatu keutamaan sama-sekali.

Kesimpulannya adalah keadilan hanyalah menjadi sebuah keutamaan karena ---relatif terhadap realitas, berada di tengah-tengah diantara ekstrem-ekstrem itu--- keadilan menguntungkan bagi kita sebagai anggota masyarakat.

Dia juga menolak untuk mengidentifikasi keadilan dengan "kesamaan yang sempurna", Hume menekankan bahwa egalitarianisme yang ideal adalah "tidak dapat dipraktikkan" dan "sangat berbahaya bagi masyarakat manusia".

Bagi Hume, aturan-hukum tentang keadilan secara esensial melibatkan perlindungan hak-milik-alamiah pribadi, meskipun hak-milik harta-benda tidak absolut dan mungkin dapat dikurangi dalam kasus-kasus yang ekstrem dimana "keselamatan-umum" dan "kebaikan-bersama" membutuhkan itu.

Bahkan relasi-relasi internasional biasa mensyaratkan bahwa "aturan-hukum keadilan" ditimbang demi saling menguntungkan, meskipun kemanfaatan-umum dapat juga mensyaratkan itu, kemanfaatan-umum seharusnya ditanggalkan (Enquiry, pp. 20, 85, 72, 21-25, 28-35; see also Essays, pp. 20, 202).

Walau berbeda dengan teori Hobbes, teori Hume yang-satu-ini juga cenderung mengarah kepada pandangan keadilan dari kaum Sofis karena sifat konvensional dan relatif.

Dalam karya terbaiknya, A Treatise of Human Nature, Hume membuat pendapat yang mengejutkan, "Akal adalah, dan harus hanya-menjadi budak dari emosi (passions)" yang menyingkirkan semua bentuk-bentuk etika-rasionalisme.

Ia juga membuat suatu perbedaan mencolok antara bahasa deskriptif tentang "apa yang adalah dan bukan" pada satu-sisi dan bahasa preskriptif terkait dengan "apa yang seharusnya dan tidak-seharusnya" disisi yang lain, yang menantang kemungkinan terhadap klaim-klaim justifikasi nilai yang telah ada dengan menggunakan klaim-klaim yang faktual, menantang terhadap penarikan kesimpulan secara logis apa-yang-seharusnya dari apa-yang-adalah.

Bagian kedua dari Buku 3 Treatise karya Hume, membahas keadilan dengan sangat luas. Disini ia menyebut keadilan sebuah keutamaan "semu" namun "tidak-serampangan", karena kita mengkonstruksi keadilan sebagai sebuah keutamaan demi tujuan kita sendiri, relatif terhadap kebutuhan-kebutuhan dan lingkungan/kondisi ketika kita mengalaminya. Keadilan bernilai sebagai sebuah alat mencapai kerjasama-sosial yang saling menguntungkan.

Bisa disebut sebuah keuntungan istimewa, jika bukan keuntungan alamiah, konvensi adalah penghormatan kepada kepemilikan harta-benda orang-lain, apa yang secara esensial dituntut oleh aturan-aturan keadilan kepada kita.

Landasan psikologi terhadap pengertian kita tentang keadilan adalah sebuah kombinasi dari "kepentingan-diri" dan "simpati" kepada orang-lain.

Hume menggenggam suatu pandangan yang sangat konservatif terhadap hak-kepemilikan, dalam hal, biasanya seorang warga seharusnya diijinkan untuk memegang/mempertahankan apa yang sudah mereka peroleh (miliki).

Bahkan, keadilan normalnya tersusun dari 3 prinsip ---"mengenai stabilitas kepemilikan, pemindahan kepemilikan dengan persetujuan-bersama, dan pemenuhan janji-janji."

Ia menolak definisi tradisional keadilan sebagai memberi kepada orang lain semua hak-haknya, karena pendapat itu secara gegabah dan salah mengasumsikan bahwa "hak dan kepemilikan" sebelumnya memiliki realitas-objektif yang independen terhadap keadilan-konvensional.

Secara internasional, aturan-hukum keadilan menganggap status dari "hukum negara", mewajibkan pemerintah yang beradab untuk menghargai perwakilan negara-negara lain, wajib untuk menyatakan perang sebelum keterlibatan mereka dalam pertempuran, wajib tidak menggunakan senjata beracun kepada mereka dan lain sebagainya.

Penalaran prinsip keadilan internasional semacam itu adalah prinsip mengurangi perang yang mengerikan dan memperoleh keuntungan (manfaat) dari perdamaian.

Dengan menghargai kepemilikan masyarakat yang lain, para pemimpin meminimalkan kemungkinan perang, melalui penghormatan perpindahan milik dengan saling bersetuju, mereka memperluas kemungkinan perdagangan internasional, dan dengan menjaga/menepati janji-janji, mereka menciptakan suatu iklim bagi persekutuan penuh damai.

Tidak lama kemudian, Hume mengambil sebuah posisi yang dalam abad ke-20 disebut sebagai pandangan keadilan "aturan-utilitaran", menulis bahwa walaupun tindakan-tindakan individual yang adil mungkin berlawanan dengan kemanfaatan-umum, tindakan-tindakan itu harus dilakukan jika tindakan-tindakan itu adalah kondusif kepada "sebuah skema atau sistem umum" yang menguntungkan masyarakat secara keseluruhan (Treatise, pp. 266, 302, 311, 307, 312, 315, 320-321, 323, 337-338, 362-363, 370-371).

Namun aturan-hukum keadilan yang biasanya kondusif pada kemanfaatan-umum adalah tidak-pernah absolut dan dapat dilanggar dengan sah ketika mengikuti aturan-itu akan tampak lebih melukai/menyakiti daripada memberi kebaikan kepada masyarakat kita.

Hume menerapkan pandangan ini pada persoalan pembangkangan sipil, yang biasanya tidak-adil karena mengancam "kemanfaatan-umum" namun dapat dibenarkan sebagai upaya-terakhir "dalam keadaan-keadaan yang luar biasa" ketika kemanfaatan-umum itu sendiri berada di bawah ancamam yang sama (Essays, pp. 202-204).

Apakah merupakan kasus luar-biasa atau bukan pada suatu lingkungan spesifik perlu untuk melakukan sebuah penilaian/penghakiman.

Hume penting dalam pembahasan disini karena teori keadilan-nya merupakan pengerucutan dari beberapa faktor.

Pertama, seperti para Sofis dan Hobbes, ia membuat keadilan menjadi suatu kontrak-sosial yang adalah relatif kepada kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan-kepentingan manusia.

Kedua, seperti Hobbes, ia mengaitkan keadilan secara mendasar dengan emosi manusia daripada dengan akal.

Ketiga, keutamaan dari keadilan dan aturan-hukum mengenai keadilan secara esensial terhubung dengan perlindungan terhadap kepemilikan pribadi harta-benda.

Dan keempat, ia menimbang kemanfaatan-umum menjadi satu-satunya dasar dari keadilan.

Teori ini akan terbukti sangat berpengaruh, karena Kant akan membahas persoalan dengan teori ini, meski utilitarian seperti Mill akan membangun diatas sifat fleksibilitasnya.

Fleksibilitas semacam ini merupakan kekuatan sekaligus kelemahan pada teori keadilan dari Hume.

Meski fleksibilitas mungkin menarik untuk membolehkan pengecualian terhadap aturan-aturan, namun fleksibilitas juga menciptakan semacam ketidak-stabilan.

Apakah keadilan hanyalah sebuah kebaikan instrumental, tanpa mengandung nilai intrinsik ?

Andai demikian soalnya, maka akan masuk-akal untuk berkata bahwa peran dari akal hanyalah untuk menghitung alat/cara yang paling efektif guna mencapai tujuan-tujuan yang paling kita kehendaki.

Namun kemudian, dengan asumsi bahwa tujuan-tujuan kita cukup layak untuk diinginkan, alat/cara apapun yang pasti dibutuhkan untuk mencapai tujuan itu mungkin dapat dibenarkan ---sehingga secara moral dan politik, pada prisipnya apapun akan berjalan, mengabaikan betapa besar pelanggarannya.

Akhirnya, cermati bahwa Hume sendiri ---karena sifat empiris dari filosofi-praktisnya--- gagal untuk menghindari jebakan "apa yang adalah-seharusnya" terhadap apa yang dengan gesit ia peringatkan kepada kita : karena sejumlah tujuan layak diinginkan, apapun peralatan yang dibutuhkan, atau bahkan yang paling efektif untuk mencapainya haruslah dikejar.

Apakah ini terbaik yang mampu kita lakukan dalam perburuan kita kepada sebuah teori-keadilan yang memadai ?


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Tuesday, January 31, 2023

Keadilan Ala Barat 9 : Modernisme Awal - Hobbes


Sementara Plato, Aristoteles, Agustinus dan Aquinas semua menawarkan penjelasan tentang keadilan yang mewakili alternatif-lain melawan pandangan Sofisme, Thomas Hobbes seorang empiris-radikal Inggris, dapat dilihat sebagai sosok yang membangkitkan (menghidupkan) pandangan-pandangan kaum Sofis, bahwa kita tidak memiliki pengetahuan-objektif tentang keadilan sebagai sebuah nilai moral atau politik yang absolut.

Empirisisme-radikalnya tidak mengijinkan dirinya untuk berpendapat dapat-mengetahui apapun yang tidak-didasarkan pada pengalaman-indra yang kongkrit.

Hal ini mengarahkan Hobbes, dalam karya masterpiece-nya Leviathan untuk menyimpulkan, bahwa apapun yang nyata haruslah material atau jasmani di dalam alam, bahwa tubuh/badan adalah satu-satunya jenis realitas.

Pendapat ini adalah posisi pendirian filosofi dari monisme-materialistik yang membuang kemungkinan adanya substansi-spiritual apapun.

Dalam pandangan ini, ' seorang manusia adalah suatu tubuh/badan yang hidup ' hanya berbeda jenis dengan binatang yang lain, namun tanpa memiliki jiwa spiritual-murni yang memisahkannya/membedakannya dengan binatang-binatang buas.

Seperti binatang yang lain, seorang manusia dikendalikan oleh insting dan dorongan-dorongan nafsu-materialistik, pikiran-nya menjadi sebuah kemampuan dari otak untuk alat-perhitungan mencapai tujuan-tujuan akhir yang dikehendaki.

Pendapat kontroversial lainnya disini adalah bahwa semua tindakan, termasuk semua-tindakan manusia ditetapkan secara kausalitas agar terjadi seperti adanya, oleh kompleksitas dari kondisi-kondisi sebelumnya. Pendapat ini adalah deteminisme-kausal.

Apa yang kita pikir tindakan-tindakan sukarela hanyalah tindakan yang kita lakukan didalamnya kehendak memainkan suatu peran sebab-akibat yang signifikan, kebebasan manusia menjadi bagian dari totalitas yang tidak lebih tinggi daripada adanya batasan-batasan eksternal.

Seperti binatang lainnya, secara mendasar kita selalu didorong oleh suatu insting mempertahankan hidup dan pada akhirnya dikendalikan oleh kepentingan-pribadi di dalam semua tindakan-tindakan sukarela yang kita lakukan. Pendapat ini adalah egoisme-psikologi.

Adalah juga kontroversial, apakah Hobbes juga memegang pendapat bahwa kepentingan-pribadi harus selalu menjadi motivasi-dasar kita, yang merupakan pendapat egoisme-etis.

Pada Bab XIII dalam karyanya yang paling terkenal, Hobbes melukiskan sebuah potret-dramatis sekaligus mengusik mengenai kehidupan-manusia akan menjadi seperti-apa, dalam suatu kondisi-alamiah ---yaitu melampaui aturan-konvensional (hukum-kesepakatan) masyarakat-sipil.

Kita sebagai manusia secara rasional sepenuhnya tidak-saling-percaya satu sama lain, cenderung untuk menjadi anti-sosial, memandang yang-lain sebagai ancaman-ancaman terhadap pemuasan kebutuhan-diri dan kehidupan yang baik (sejahtera).

Antagonisme interpersonal menjadi alamiah, dan karena disana tidak-ada perbedaan moral antara benar dan salah, adil dan tidak-adil, daya-daya kekerasan dan penipuan-curang menjadi keutamaan yang lebih didamba daripada perilaku a-moral yang dapat ditolak lainnya.

Singkatnya, ini merupakan suatu kondisi ' perang antara setiap manusia melawan setiap manusia ', suatu kondisi didalamnya, secara rasional kita tidak-dapat berharap untuk bertahan hidup dalam waktu panjang untuk menikmati kualitas-kehidupan apapun selama kita menjalani hidup.

Kita cukup cerdas untuk menyadari bahwa kondisi itu akan menjadi suatu kondisi dimana ---seperti tulisan Hobbes yang terkenal--- ' kehidupan manusia ' tak terhindarkan menjadi ' tertutup, miskin, jorok, brutal dan pendek '.

Beruntunglah, dorongan emosi alamiah kita terhadap rasa-takut, keinginan dan harapan mendorong kita untuk menggunakan akal untuk berhitung bagaimana kita mungkin dapat bebas dari keadaan-neraka itu.

Akal menemukan sepasang hukum-dasar-alamiah, menunjukan bagaimana kita seharusnya bertindak hati-hati jika kita bermaksud memiliki sebuah kesempatan yang masuk-akal untuk bertahan hidup, membuat diri terus tumbuh dan berkembang.

Hukum-dasar-alamiah yang pertama memiliki dua-sisi :
sisi positif dalam pengertian bahwa kita harus berusaha untuk menetapkan perdamaian dengan yang-lain demi kebaikan diri kita sendiri, jika bisa. Sisi negatif, mengandung pengertian jika kita tidak mampu melakukan itu, maka kita harus melakukan apapun yang diperlukan untuk menghancurkan siapapun yang mungkin mengancam kepentingan-kepentingan kita.

Hukum-dasar-alamiah yang kedua, mempertahankan pendapat bahwa demi mencapai perdamaian dengan yang-lain, kita harus mampu melepaskan hak-kita untuk menyerang mereka, selama mereka juga-setuju melepaskan hak-mereka untuk menyerang kita.

' Saling tukar hak ' ini ditetapkan dengan perjanjian imbal-balik, karenanya disebut kontrak-sosial yang membangun dasar-dasar masyarakat-sipil. Dan perjanjian dapat dibuat secara eksplisit atau implisit. (Leviathan, pp. 261-262, 459-460, 79, 136, 82, 95, 74-78, 80-82; for comparable material, see Elements, pp. 78-84, 103-114, as well as Citizen, pp. 109-119, 123-124).


Apa yang jelas terlewati dalam penjelasan di atas adalah pengertian tentang keadilan-alamiah atau ketidak-adilan-alamiah

Dalam kondisi-alamiah, semua nilai-moral sangat-relatif kepada keinginan-keinginan kita : apapun yang terlihat seperti memuaskan keinginan kita tampak ' baik ', dan apapun yang terlihat mengecewakan keinginan, kita menilainya sebagai ' jahat/buruk '.

Semuanya relatif kepada apa yang kita asosiasikan secara imajinatif dengan dorongan nafsu-material dan kecenderungan rasa ketidak-sukaan kita sendiri.

Namun, ketika kita beralih dari kondisi-alamiah menuju kondisi masyarakat-sipil dengan menggunakan perangkat kontrak-sosial, kita menciptakan aturan-aturan tentang keadilan dengan menggunakan kesepakatan-kesepakatan yang berhasil kita capai antara satu sama lainnya.

Sebelum adanya kesepakatan-kesepakatan kontrak tersebut, kita bebas secara moral untuk melakukan apapun yang kita inginkan.

Namun, ketika sebuah perjanjian dibuat maka melanggar perjanjian menjadi tidak-adil dan definisi ketidak-adilan tidak lain adalah tidak mematuhi/menjalankan perjanjian itu.

Apa yang tidak-adil, mungkin menjadi adil dalam masyarakat-sipil. Hal ini kemudian berubah menjadi hukum-dasar-alamiah ketiga bahwa atas-nama keadilan, kita harus berusaha menjaga/mematuhi perjanjian yang kita buat.

Dalam masyarakat-sipil, kita mungkin adil melakukan tindakan apapun yang sesungguhnya tidak-adil menurut diri kita, atau setidaknya secara implisit, kita sudah mengikat diri untuk tidak melakukan tindakan itu.

Seorang yang adil biasanya melakukan tindakan-tindakan yang adil, namun demikian melakukan satu atau beberapa tindakan tidak-adil, tidak lantas secara otomatis menjadi seorang yang tidak-adil, khususnya jika perilaku tidak-adil itu berasal dari suatu kesalahan atau nafsu yang tiba-tiba datang. Di sisi lain, seseorang yang cenderung biasa untuk melakukan tindakan tidak-adil adalah seorang yang salah (tidak-adil).

Tetap saja, ketika kita didorong secara egoistik oleh keinginan-keinginan kita seperti yang terus ditekankan Hobbes, mengapa kita harus tidak-mengingkari perkataan kita dan dengan sukarela terikat dengan ketidak-adilan (melakukan tindakan tidak-adil), jika melakukan tindakan itu tampak memberi hasil/menguntungkan bagi kita dan membayangkan, kita mungkin bebas (tidak terkena hukuman) dengan melakukan tindakan itu. (Ingat persoalan yang disampaikan Glaucon dengan kisah tentang cincin Gyges ?)

Jelas satu elemen lagi diperlukan untuk mencegah kehancuran-kilat aturan/hukum keadilan yang dibangun begitu-semu dengan kesepakatan-kesepakatan interpersonal.

Elemen ini adalah kekuatan dari otoritas yang berdaulat. Kita butuh hukum-hukum yang mengkodifikasi aturan-aturan keadilan dan mereka harus terus menegakkannya dengan waspada dan tanpa-henti, dengan menggunakan kekuatan politik yang absolut sehingga tak seorangpun dengan akal warasnya berani mencoba melanggar.

Anggota masyarakat tidak dapat begitu saja dipercaya untuk menghargai komitmen-komitmen sosial mereka tanpa dipaksa untuk melakukan itu, karena ' perjanjian tanpa pedang tidak-lain hanyalah kata-kata dan sama sekali tanpa kekuatan untuk memberi keamanan bagi seorang manusia. '

Dengan kata lain, kita harus mengorbankan sejumlah kebebasan-alamiah yang kita miliki untuk memperoleh sebuah keamanan, yang tanpanya kehidupan tidak layak dijalani.

Dalam masyarakat-sipil, kebebasan kita adalah relatif terhadap tidak-adanya kewajiban-kewajiban tertentu, apa yang disebut oleh Hobbes dengan ' kesenyapan hukum '.

Jika kita khawatir bahwa hal ini menanamkan kekuatan terlalu besar kepada pemerintah, yang mungkin dapat menyalah-gunakan kekuatan itu dan menginjak kebebasan kita secara berlebihan, tanggapan (sinis) terhadap pendapat itu adalah ini lebih disukai daripada keadaan-alamiah yang chaos atau perang saudara yang menakutkan. (Leviathan, pp. 28-29, 89, 93, 106, 109, 143, 117; for comparable material, see Elements, pp. 88-89, Citizen, pp. 136-140, and Common, p. 34).


Salah satu persoalan paling krusial dalam filsafat politik adalah dimana/kapan mencapai keseimbangan antara kebebasan-personal dan ketertiban-umum.

Dibanding kebanyakan kita, Hobbes mungkin lebih menghendaki untuk melepas sejumlah kebebasan-personal untuk mengamankan/mencapai ketertiban-umum.

Seperti kita membahas para pemikir sebelumnya, mari kita lihat bagaimana Hobbes menerapkan teori keadilan ini, sekaligus sebagai sebuah pengantar untuk melakukan evaluasi secara kritis.

Ia membandingkan hukum-hukum masyarakat-sipil dengan ' rantai-rantai semu ' yang mengikat kita agar mematuhi otoritas yang berdaulat dalam negara atas-nama keadilan.

Hukum-dasar-alamiah ketiga, hukum-keadilan, mewajibkan kita untuk mematuhi hukum-hukum ' positif ' negara. Setiap pelanggaran dengan sengaja terhadap hukum-sipil adalah sebuah ' kejahatan '.

Sekarang persoalan sosial untuk ditelaah lebih lanjut adalah tentang hukuman bagi kriminal. Hukuman ini dengan sadar memberi semacam sifat ' jahat ' pada terduga-kriminal karena melanggar hukum sipil.

Pemikiran dasarnya adalah untuk memaksa kepatuhan kepada hukum itu sendiri dan karenanya untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban-umum.

Hobbes meletakkan berbagai syarat/kondisi yang harus dipenuhi agar pemberian sifat ' jahat ' semacam itu dikualifikasikan sebagai hukuman yang sah, termasuk bahwa tidak-ada hukuman retroaktif yang dapat dibenarkan.

Dia juga menganalisa lima-macam hukuman kriminal ---jasmani/badan/fisik, atau uang, atau celaan/aib, atau penjara, atau pengasingan, dan membolehkan suatu kombinasi diantaranya. Ia juga menentukan bahwa jenis hukuman jasmani/badan/fisik dapat berupa hukuman-mati.

Menjadi kesalahan bagi negara yang dengan sengaja/sadar menghukum seorang anggota masyarakat yang diyakini tidak-bersalah, bahkan dalam ungkapan ketat, hal itu tidak dikualifikasikan sebagai hukuman, karena gagal untuk memenuhi suatu bagian esensial dari definisi di atas.

Kerasnya hukuman seharusnya sebanding dengan beratnya tindakan kriminal yang dilakukan, karena dasar pemikirannya adalah untuk mencegah pelanggaran humum-sipil dimasa datang. (Leviathan, pp. 138, 173, 175, 185, 190, 203-208, 230; see, also, Elements, pp. 177-182, and Citizen, pp. 271-279; near the end of his verse autobiography—Elements, p. 264—Hobbes writes, “Justice I Teach, and Justice Reverence”).


Meskipun pandangan di atas merupakan suatu turunan dari teori konsekuensialis tindak-kejahatan dan hukuman, pandangan yang lebih universal tentang keadilan yang menjadi sumber-dasarnya, jauh lebih problematis.

Pandangan itu benar-benar berdiri berlawanan sangat tajam dengan teori Plato, Aristoteles, Agustinus dan Aquinas. Pandangan itu menghidupkan kembali sesuatu semacam teori para Sofis, yang justru kepada teori itu semua filsuf tersebut mengemukakan alternatif-lain. Dan pandangan itu benar-benar merefleksikan pendekatan naturalistik yang diwakili oleh pengetahuan-baru.

Namun demikian, semua elemen-dasar yang mendukungnya cukup meragukan, elemen itu adalah : empirisisme radikal, materialisme, determinisme, egoisme, relativitas moral dan konsepsi sempit dari akal-manusia.

Tanpa menimbang elemen-elemen dasar itu, teori keadilan ini, karena dibangun secara semu oleh kita dan murni sebuah fungsi dari perjanjian-interpersonal tampak sewenang-wenang sepenuhnya.

Tetapi selain ketidak-layakannya untuk dibenarkan, teori keadilan ini juga membenarkan terlalu banyak.

Sebagai contoh, apa yang mampu mencegah teori-itu terlibat untuk membenarkan perbudakan, jika alternatif-lain bagi budak adalah kematian seperti para-musuh dalam kondisi-alamiah ?

Bahkan terlepas dari soal perbudakan, tidak adanya hak-hak dasar manusia yang substantif, kaum minoritas dalam masyarakat-sipil mungkin tidak-diberi sejumlah hak kebebasan-sipil, seperti hak untuk menjalankan/mengadopsi praktik-praktik keagamaan yang kepadanya mereka merasa terpanggil dalam kesadaran nurani.

Konsepsi keadilan dari Hobbes adalah reduksionistik, mereduksi keadilan menjadi perjanjian-konvensional yang tampak menyimpang/cenderung untuk mengorbankan terlalu banyak kebebasan di atas altar hukum dan ketertiban.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Friday, January 20, 2023

Keadilan Ala Barat 8 : Modernisme Awal


Meskipun hanya separo panjang-waktu yang dihabiskan antara masa-hidup Aquinas dan Hobbes sama-dengan masa yang dilewati antara Agustinus dan Aquinas, dari perspektif sejarah-intelektual, periode modernisme mewakili sebuah lautan-perubahan yang mengejutkan.

Kita tidak memiliki waktu ataupun ruang untuk memikir rangkaian hubungan kausalitas yang kompleks untuk menjelaskan fakta ini. Namun, untuk tujuan kita, cukuplah untuk mengatakan bahwa reformasi-protestan, revolusi ilmu-pengetahuan baru dan semangat publik yang progresif untuk menantang otoritas (baik politik ataupun agama) mengerucut untuk membangkitkan sebuah mentalitas-filosofi berbeda yang menarik perhatian pada abad 17.

Dalam abad sebelumnya, reformasi-protestan telah menghancurkan hegemoni dari gereja katolik Roma sehingga para pemikir tidak perlu merasa terlalu terkekang untuk dilekatkan/dikaitkan kepada ortodoksi yang telah mapan.

Pandangan dunia naturalistik dari abad 16 dan awal abad 17 yang menghasilkan suatu metodologi empiris dan eksperimental (non-dogmatik) baik dalam ilmu alam maupun politik menjadi suatu contoh bagi para filosof.

Para pemikir era modern menjadi kian merasa nyaman bebas dari arus-utama untuk mengejar pikiran-bebas mereka sendiri.

Meskipun pengaruh dari para filosof-besar kuno seperti Plato dan Aristoteles dan dari para pemikir-besar abad pertengahan seperti Agustinus dan Aquinas masih bertahan, namun tidak ada yang kembali kepada perspektif-perspektif filosof-besar itu yang sudah berlalu.

Secara umum, ini sangat mempengaruhi moral dan teori politik, khususnya pandangan-pandangan terhadap keadilan. Seperti yang akan kita lihat dalam bagian ini, pandangan-pandangan terhadap keadilan sebagai pandangan yang relatif terhadap pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia menjadi penting yang tidak terjadi pada beberapa milenium sebelumnya.

Dalam filsafat, hal itu akan meletakan Hobbes dan Hume lebih dekat kepada kaum Sofis daripada yang sudah biasa-ada sejak jaman pra-Sokrates, dengan menimbang/menilai keadilan sebagai sebuah konstruksi-sosial.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi