Sementara Plato, Aristoteles, Agustinus dan Aquinas semua menawarkan penjelasan tentang keadilan yang mewakili alternatif-lain melawan pandangan Sofisme, Thomas Hobbes seorang empiris-radikal Inggris, dapat dilihat sebagai sosok yang membangkitkan (menghidupkan) pandangan-pandangan kaum Sofis, bahwa kita tidak memiliki pengetahuan-objektif tentang keadilan sebagai sebuah nilai moral atau politik yang absolut.
Empirisisme-radikalnya tidak mengijinkan dirinya untuk berpendapat dapat-mengetahui apapun yang tidak-didasarkan pada pengalaman-indra yang kongkrit.
Hal ini mengarahkan Hobbes, dalam karya masterpiece-nya Leviathan untuk menyimpulkan, bahwa apapun yang nyata haruslah material atau jasmani di dalam alam, bahwa tubuh/badan adalah satu-satunya jenis realitas.
Pendapat ini adalah posisi pendirian filosofi dari monisme-materialistik yang membuang kemungkinan adanya substansi-spiritual apapun.
Dalam pandangan ini, ' seorang manusia adalah suatu tubuh/badan yang hidup ' hanya berbeda jenis dengan binatang yang lain, namun tanpa memiliki jiwa spiritual-murni yang memisahkannya/membedakannya dengan binatang-binatang buas.
Seperti binatang yang lain, seorang manusia dikendalikan oleh insting dan dorongan-dorongan nafsu-materialistik, pikiran-nya menjadi sebuah kemampuan dari otak untuk alat-perhitungan mencapai tujuan-tujuan akhir yang dikehendaki.
Pendapat kontroversial lainnya disini adalah bahwa semua tindakan, termasuk semua-tindakan manusia ditetapkan secara kausalitas agar terjadi seperti adanya, oleh kompleksitas dari kondisi-kondisi sebelumnya. Pendapat ini adalah deteminisme-kausal.
Apa yang kita pikir tindakan-tindakan sukarela hanyalah tindakan yang kita lakukan didalamnya kehendak memainkan suatu peran sebab-akibat yang signifikan, kebebasan manusia menjadi bagian dari totalitas yang tidak lebih tinggi daripada adanya batasan-batasan eksternal.
Seperti binatang lainnya, secara mendasar kita selalu didorong oleh suatu insting mempertahankan hidup dan pada akhirnya dikendalikan oleh kepentingan-pribadi di dalam semua tindakan-tindakan sukarela yang kita lakukan. Pendapat ini adalah egoisme-psikologi.
Adalah juga kontroversial, apakah Hobbes juga memegang pendapat bahwa kepentingan-pribadi harus selalu menjadi motivasi-dasar kita, yang merupakan pendapat egoisme-etis.
Pada Bab XIII dalam karyanya yang paling terkenal, Hobbes melukiskan sebuah potret-dramatis sekaligus mengusik mengenai kehidupan-manusia akan menjadi seperti-apa, dalam suatu kondisi-alamiah ---yaitu melampaui aturan-konvensional (hukum-kesepakatan) masyarakat-sipil.
Kita sebagai manusia secara rasional sepenuhnya tidak-saling-percaya satu sama lain, cenderung untuk menjadi anti-sosial, memandang yang-lain sebagai ancaman-ancaman terhadap pemuasan kebutuhan-diri dan kehidupan yang baik (sejahtera).
Antagonisme interpersonal menjadi alamiah, dan karena disana tidak-ada perbedaan moral antara benar dan salah, adil dan tidak-adil, daya-daya kekerasan dan penipuan-curang menjadi keutamaan yang lebih didamba daripada perilaku a-moral yang dapat ditolak lainnya.
Singkatnya, ini merupakan suatu kondisi ' perang antara setiap manusia melawan setiap manusia ', suatu kondisi didalamnya, secara rasional kita tidak-dapat berharap untuk bertahan hidup dalam waktu panjang untuk menikmati kualitas-kehidupan apapun selama kita menjalani hidup.
Kita cukup cerdas untuk menyadari bahwa kondisi itu akan menjadi suatu kondisi dimana ---seperti tulisan Hobbes yang terkenal--- ' kehidupan manusia ' tak terhindarkan menjadi ' tertutup, miskin, jorok, brutal dan pendek '.
Beruntunglah, dorongan emosi alamiah kita terhadap rasa-takut, keinginan dan harapan mendorong kita untuk menggunakan akal untuk berhitung bagaimana kita mungkin dapat bebas dari keadaan-neraka itu.
Akal menemukan sepasang hukum-dasar-alamiah, menunjukan bagaimana kita seharusnya bertindak hati-hati jika kita bermaksud memiliki sebuah kesempatan yang masuk-akal untuk bertahan hidup, membuat diri terus tumbuh dan berkembang.
Hukum-dasar-alamiah yang pertama memiliki dua-sisi :
sisi positif dalam pengertian bahwa kita harus berusaha untuk menetapkan perdamaian dengan yang-lain demi kebaikan diri kita sendiri, jika bisa. Sisi negatif, mengandung pengertian jika kita tidak mampu melakukan itu, maka kita harus melakukan apapun yang diperlukan untuk menghancurkan siapapun yang mungkin mengancam kepentingan-kepentingan kita.
Hukum-dasar-alamiah yang kedua, mempertahankan pendapat bahwa demi mencapai perdamaian dengan yang-lain, kita harus mampu melepaskan hak-kita untuk menyerang mereka, selama mereka juga-setuju melepaskan hak-mereka untuk menyerang kita.
' Saling tukar hak ' ini ditetapkan dengan perjanjian imbal-balik, karenanya disebut kontrak-sosial yang membangun dasar-dasar masyarakat-sipil. Dan perjanjian dapat dibuat secara eksplisit atau implisit. (Leviathan, pp. 261-262, 459-460, 79, 136, 82, 95, 74-78, 80-82; for comparable material, see Elements, pp. 78-84, 103-114, as well as Citizen, pp. 109-119, 123-124).
Apa yang jelas terlewati dalam penjelasan di atas adalah pengertian tentang keadilan-alamiah atau ketidak-adilan-alamiah
Dalam kondisi-alamiah, semua nilai-moral sangat-relatif kepada keinginan-keinginan kita : apapun yang terlihat seperti memuaskan keinginan kita tampak ' baik ', dan apapun yang terlihat mengecewakan keinginan, kita menilainya sebagai ' jahat/buruk '.
Semuanya relatif kepada apa yang kita asosiasikan secara imajinatif dengan dorongan nafsu-material dan kecenderungan rasa ketidak-sukaan kita sendiri.
Namun, ketika kita beralih dari kondisi-alamiah menuju kondisi masyarakat-sipil dengan menggunakan perangkat kontrak-sosial, kita menciptakan aturan-aturan tentang keadilan dengan menggunakan kesepakatan-kesepakatan yang berhasil kita capai antara satu sama lainnya.
Sebelum adanya kesepakatan-kesepakatan kontrak tersebut, kita bebas secara moral untuk melakukan apapun yang kita inginkan.
Namun, ketika sebuah perjanjian dibuat maka melanggar perjanjian menjadi tidak-adil dan definisi ketidak-adilan tidak lain adalah tidak mematuhi/menjalankan perjanjian itu.
Apa yang tidak-adil, mungkin menjadi adil dalam masyarakat-sipil. Hal ini kemudian berubah menjadi hukum-dasar-alamiah ketiga bahwa atas-nama keadilan, kita harus berusaha menjaga/mematuhi perjanjian yang kita buat.
Dalam masyarakat-sipil, kita mungkin adil melakukan tindakan apapun yang sesungguhnya tidak-adil menurut diri kita, atau setidaknya secara implisit, kita sudah mengikat diri untuk tidak melakukan tindakan itu.
Seorang yang adil biasanya melakukan tindakan-tindakan yang adil, namun demikian melakukan satu atau beberapa tindakan tidak-adil, tidak lantas secara otomatis menjadi seorang yang tidak-adil, khususnya jika perilaku tidak-adil itu berasal dari suatu kesalahan atau nafsu yang tiba-tiba datang. Di sisi lain, seseorang yang cenderung biasa untuk melakukan tindakan tidak-adil adalah seorang yang salah (tidak-adil).
Tetap saja, ketika kita didorong secara egoistik oleh keinginan-keinginan kita seperti yang terus ditekankan Hobbes, mengapa kita harus tidak-mengingkari perkataan kita dan dengan sukarela terikat dengan ketidak-adilan (melakukan tindakan tidak-adil), jika melakukan tindakan itu tampak memberi hasil/menguntungkan bagi kita dan membayangkan, kita mungkin bebas (tidak terkena hukuman) dengan melakukan tindakan itu. (Ingat persoalan yang disampaikan Glaucon dengan kisah tentang cincin Gyges ?)
Jelas satu elemen lagi diperlukan untuk mencegah kehancuran-kilat aturan/hukum keadilan yang dibangun begitu-semu dengan kesepakatan-kesepakatan interpersonal.
Elemen ini adalah kekuatan dari otoritas yang berdaulat. Kita butuh hukum-hukum yang mengkodifikasi aturan-aturan keadilan dan mereka harus terus menegakkannya dengan waspada dan tanpa-henti, dengan menggunakan kekuatan politik yang absolut sehingga tak seorangpun dengan akal warasnya berani mencoba melanggar.
Anggota masyarakat tidak dapat begitu saja dipercaya untuk menghargai komitmen-komitmen sosial mereka tanpa dipaksa untuk melakukan itu, karena ' perjanjian tanpa pedang tidak-lain hanyalah kata-kata dan sama sekali tanpa kekuatan untuk memberi keamanan bagi seorang manusia. '
Dengan kata lain, kita harus mengorbankan sejumlah kebebasan-alamiah yang kita miliki untuk memperoleh sebuah keamanan, yang tanpanya kehidupan tidak layak dijalani.
Dalam masyarakat-sipil, kebebasan kita adalah relatif terhadap tidak-adanya kewajiban-kewajiban tertentu, apa yang disebut oleh Hobbes dengan ' kesenyapan hukum '.
Jika kita khawatir bahwa hal ini menanamkan kekuatan terlalu besar kepada pemerintah, yang mungkin dapat menyalah-gunakan kekuatan itu dan menginjak kebebasan kita secara berlebihan, tanggapan (sinis) terhadap pendapat itu adalah ini lebih disukai daripada keadaan-alamiah yang chaos atau perang saudara yang menakutkan. (Leviathan, pp. 28-29, 89, 93, 106, 109, 143, 117; for comparable material, see Elements, pp. 88-89, Citizen, pp. 136-140, and Common, p. 34).
Salah satu persoalan paling krusial dalam filsafat politik adalah dimana/kapan mencapai keseimbangan antara kebebasan-personal dan ketertiban-umum.
Dibanding kebanyakan kita, Hobbes mungkin lebih menghendaki untuk melepas sejumlah kebebasan-personal untuk mengamankan/mencapai ketertiban-umum.
Seperti kita membahas para pemikir sebelumnya, mari kita lihat bagaimana Hobbes menerapkan teori keadilan ini, sekaligus sebagai sebuah pengantar untuk melakukan evaluasi secara kritis.
Ia membandingkan hukum-hukum masyarakat-sipil dengan ' rantai-rantai semu ' yang mengikat kita agar mematuhi otoritas yang berdaulat dalam negara atas-nama keadilan.
Hukum-dasar-alamiah ketiga, hukum-keadilan, mewajibkan kita untuk mematuhi hukum-hukum ' positif ' negara. Setiap pelanggaran dengan sengaja terhadap hukum-sipil adalah sebuah ' kejahatan '.
Sekarang persoalan sosial untuk ditelaah lebih lanjut adalah tentang hukuman bagi kriminal. Hukuman ini dengan sadar memberi semacam sifat ' jahat ' pada terduga-kriminal karena melanggar hukum sipil.
Pemikiran dasarnya adalah untuk memaksa kepatuhan kepada hukum itu sendiri dan karenanya untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban-umum.
Hobbes meletakkan berbagai syarat/kondisi yang harus dipenuhi agar pemberian sifat ' jahat ' semacam itu dikualifikasikan sebagai hukuman yang sah, termasuk bahwa tidak-ada hukuman retroaktif yang dapat dibenarkan.
Dia juga menganalisa lima-macam hukuman kriminal ---jasmani/badan/fisik, atau uang, atau celaan/aib, atau penjara, atau pengasingan, dan membolehkan suatu kombinasi diantaranya. Ia juga menentukan bahwa jenis hukuman jasmani/badan/fisik dapat berupa hukuman-mati.
Menjadi kesalahan bagi negara yang dengan sengaja/sadar menghukum seorang anggota masyarakat yang diyakini tidak-bersalah, bahkan dalam ungkapan ketat, hal itu tidak dikualifikasikan sebagai hukuman, karena gagal untuk memenuhi suatu bagian esensial dari definisi di atas.
Kerasnya hukuman seharusnya sebanding dengan beratnya tindakan kriminal yang dilakukan, karena dasar pemikirannya adalah untuk mencegah pelanggaran humum-sipil dimasa datang. (Leviathan, pp. 138, 173, 175, 185, 190, 203-208, 230; see, also, Elements, pp. 177-182, and Citizen, pp. 271-279; near the end of his verse autobiography—Elements, p. 264—Hobbes writes, “Justice I Teach, and Justice Reverence”).
Meskipun pandangan di atas merupakan suatu turunan dari teori konsekuensialis tindak-kejahatan dan hukuman, pandangan yang lebih universal tentang keadilan yang menjadi sumber-dasarnya, jauh lebih problematis.
Pandangan itu benar-benar berdiri berlawanan sangat tajam dengan teori Plato, Aristoteles, Agustinus dan Aquinas. Pandangan itu menghidupkan kembali sesuatu semacam teori para Sofis, yang justru kepada teori itu semua filsuf tersebut mengemukakan alternatif-lain. Dan pandangan itu benar-benar merefleksikan pendekatan naturalistik yang diwakili oleh pengetahuan-baru.
Namun demikian, semua elemen-dasar yang mendukungnya cukup meragukan, elemen itu adalah : empirisisme radikal, materialisme, determinisme, egoisme, relativitas moral dan konsepsi sempit dari akal-manusia.
Tanpa menimbang elemen-elemen dasar itu, teori keadilan ini, karena dibangun secara semu oleh kita dan murni sebuah fungsi dari perjanjian-interpersonal tampak sewenang-wenang sepenuhnya.
Tetapi selain ketidak-layakannya untuk dibenarkan, teori keadilan ini juga membenarkan terlalu banyak.
Sebagai contoh, apa yang mampu mencegah teori-itu terlibat untuk membenarkan perbudakan, jika alternatif-lain bagi budak adalah kematian seperti para-musuh dalam kondisi-alamiah ?
Bahkan terlepas dari soal perbudakan, tidak adanya hak-hak dasar manusia yang substantif, kaum minoritas dalam masyarakat-sipil mungkin tidak-diberi sejumlah hak kebebasan-sipil, seperti hak untuk menjalankan/mengadopsi praktik-praktik keagamaan yang kepadanya mereka merasa terpanggil dalam kesadaran nurani.
Konsepsi keadilan dari Hobbes adalah reduksionistik, mereduksi keadilan menjadi perjanjian-konvensional yang tampak menyimpang/cenderung untuk mengorbankan terlalu banyak kebebasan di atas altar hukum dan ketertiban.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
Empirisisme-radikalnya tidak mengijinkan dirinya untuk berpendapat dapat-mengetahui apapun yang tidak-didasarkan pada pengalaman-indra yang kongkrit.
Hal ini mengarahkan Hobbes, dalam karya masterpiece-nya Leviathan untuk menyimpulkan, bahwa apapun yang nyata haruslah material atau jasmani di dalam alam, bahwa tubuh/badan adalah satu-satunya jenis realitas.
Pendapat ini adalah posisi pendirian filosofi dari monisme-materialistik yang membuang kemungkinan adanya substansi-spiritual apapun.
Dalam pandangan ini, ' seorang manusia adalah suatu tubuh/badan yang hidup ' hanya berbeda jenis dengan binatang yang lain, namun tanpa memiliki jiwa spiritual-murni yang memisahkannya/membedakannya dengan binatang-binatang buas.
Seperti binatang yang lain, seorang manusia dikendalikan oleh insting dan dorongan-dorongan nafsu-materialistik, pikiran-nya menjadi sebuah kemampuan dari otak untuk alat-perhitungan mencapai tujuan-tujuan akhir yang dikehendaki.
Pendapat kontroversial lainnya disini adalah bahwa semua tindakan, termasuk semua-tindakan manusia ditetapkan secara kausalitas agar terjadi seperti adanya, oleh kompleksitas dari kondisi-kondisi sebelumnya. Pendapat ini adalah deteminisme-kausal.
Apa yang kita pikir tindakan-tindakan sukarela hanyalah tindakan yang kita lakukan didalamnya kehendak memainkan suatu peran sebab-akibat yang signifikan, kebebasan manusia menjadi bagian dari totalitas yang tidak lebih tinggi daripada adanya batasan-batasan eksternal.
Seperti binatang lainnya, secara mendasar kita selalu didorong oleh suatu insting mempertahankan hidup dan pada akhirnya dikendalikan oleh kepentingan-pribadi di dalam semua tindakan-tindakan sukarela yang kita lakukan. Pendapat ini adalah egoisme-psikologi.
Adalah juga kontroversial, apakah Hobbes juga memegang pendapat bahwa kepentingan-pribadi harus selalu menjadi motivasi-dasar kita, yang merupakan pendapat egoisme-etis.
Pada Bab XIII dalam karyanya yang paling terkenal, Hobbes melukiskan sebuah potret-dramatis sekaligus mengusik mengenai kehidupan-manusia akan menjadi seperti-apa, dalam suatu kondisi-alamiah ---yaitu melampaui aturan-konvensional (hukum-kesepakatan) masyarakat-sipil.
Kita sebagai manusia secara rasional sepenuhnya tidak-saling-percaya satu sama lain, cenderung untuk menjadi anti-sosial, memandang yang-lain sebagai ancaman-ancaman terhadap pemuasan kebutuhan-diri dan kehidupan yang baik (sejahtera).
Antagonisme interpersonal menjadi alamiah, dan karena disana tidak-ada perbedaan moral antara benar dan salah, adil dan tidak-adil, daya-daya kekerasan dan penipuan-curang menjadi keutamaan yang lebih didamba daripada perilaku a-moral yang dapat ditolak lainnya.
Singkatnya, ini merupakan suatu kondisi ' perang antara setiap manusia melawan setiap manusia ', suatu kondisi didalamnya, secara rasional kita tidak-dapat berharap untuk bertahan hidup dalam waktu panjang untuk menikmati kualitas-kehidupan apapun selama kita menjalani hidup.
Kita cukup cerdas untuk menyadari bahwa kondisi itu akan menjadi suatu kondisi dimana ---seperti tulisan Hobbes yang terkenal--- ' kehidupan manusia ' tak terhindarkan menjadi ' tertutup, miskin, jorok, brutal dan pendek '.
Beruntunglah, dorongan emosi alamiah kita terhadap rasa-takut, keinginan dan harapan mendorong kita untuk menggunakan akal untuk berhitung bagaimana kita mungkin dapat bebas dari keadaan-neraka itu.
Akal menemukan sepasang hukum-dasar-alamiah, menunjukan bagaimana kita seharusnya bertindak hati-hati jika kita bermaksud memiliki sebuah kesempatan yang masuk-akal untuk bertahan hidup, membuat diri terus tumbuh dan berkembang.
Hukum-dasar-alamiah yang pertama memiliki dua-sisi :
sisi positif dalam pengertian bahwa kita harus berusaha untuk menetapkan perdamaian dengan yang-lain demi kebaikan diri kita sendiri, jika bisa. Sisi negatif, mengandung pengertian jika kita tidak mampu melakukan itu, maka kita harus melakukan apapun yang diperlukan untuk menghancurkan siapapun yang mungkin mengancam kepentingan-kepentingan kita.
Hukum-dasar-alamiah yang kedua, mempertahankan pendapat bahwa demi mencapai perdamaian dengan yang-lain, kita harus mampu melepaskan hak-kita untuk menyerang mereka, selama mereka juga-setuju melepaskan hak-mereka untuk menyerang kita.
' Saling tukar hak ' ini ditetapkan dengan perjanjian imbal-balik, karenanya disebut kontrak-sosial yang membangun dasar-dasar masyarakat-sipil. Dan perjanjian dapat dibuat secara eksplisit atau implisit. (Leviathan, pp. 261-262, 459-460, 79, 136, 82, 95, 74-78, 80-82; for comparable material, see Elements, pp. 78-84, 103-114, as well as Citizen, pp. 109-119, 123-124).
Apa yang jelas terlewati dalam penjelasan di atas adalah pengertian tentang keadilan-alamiah atau ketidak-adilan-alamiah
Dalam kondisi-alamiah, semua nilai-moral sangat-relatif kepada keinginan-keinginan kita : apapun yang terlihat seperti memuaskan keinginan kita tampak ' baik ', dan apapun yang terlihat mengecewakan keinginan, kita menilainya sebagai ' jahat/buruk '.
Semuanya relatif kepada apa yang kita asosiasikan secara imajinatif dengan dorongan nafsu-material dan kecenderungan rasa ketidak-sukaan kita sendiri.
Namun, ketika kita beralih dari kondisi-alamiah menuju kondisi masyarakat-sipil dengan menggunakan perangkat kontrak-sosial, kita menciptakan aturan-aturan tentang keadilan dengan menggunakan kesepakatan-kesepakatan yang berhasil kita capai antara satu sama lainnya.
Sebelum adanya kesepakatan-kesepakatan kontrak tersebut, kita bebas secara moral untuk melakukan apapun yang kita inginkan.
Namun, ketika sebuah perjanjian dibuat maka melanggar perjanjian menjadi tidak-adil dan definisi ketidak-adilan tidak lain adalah tidak mematuhi/menjalankan perjanjian itu.
Apa yang tidak-adil, mungkin menjadi adil dalam masyarakat-sipil. Hal ini kemudian berubah menjadi hukum-dasar-alamiah ketiga bahwa atas-nama keadilan, kita harus berusaha menjaga/mematuhi perjanjian yang kita buat.
Dalam masyarakat-sipil, kita mungkin adil melakukan tindakan apapun yang sesungguhnya tidak-adil menurut diri kita, atau setidaknya secara implisit, kita sudah mengikat diri untuk tidak melakukan tindakan itu.
Seorang yang adil biasanya melakukan tindakan-tindakan yang adil, namun demikian melakukan satu atau beberapa tindakan tidak-adil, tidak lantas secara otomatis menjadi seorang yang tidak-adil, khususnya jika perilaku tidak-adil itu berasal dari suatu kesalahan atau nafsu yang tiba-tiba datang. Di sisi lain, seseorang yang cenderung biasa untuk melakukan tindakan tidak-adil adalah seorang yang salah (tidak-adil).
Tetap saja, ketika kita didorong secara egoistik oleh keinginan-keinginan kita seperti yang terus ditekankan Hobbes, mengapa kita harus tidak-mengingkari perkataan kita dan dengan sukarela terikat dengan ketidak-adilan (melakukan tindakan tidak-adil), jika melakukan tindakan itu tampak memberi hasil/menguntungkan bagi kita dan membayangkan, kita mungkin bebas (tidak terkena hukuman) dengan melakukan tindakan itu. (Ingat persoalan yang disampaikan Glaucon dengan kisah tentang cincin Gyges ?)
Jelas satu elemen lagi diperlukan untuk mencegah kehancuran-kilat aturan/hukum keadilan yang dibangun begitu-semu dengan kesepakatan-kesepakatan interpersonal.
Elemen ini adalah kekuatan dari otoritas yang berdaulat. Kita butuh hukum-hukum yang mengkodifikasi aturan-aturan keadilan dan mereka harus terus menegakkannya dengan waspada dan tanpa-henti, dengan menggunakan kekuatan politik yang absolut sehingga tak seorangpun dengan akal warasnya berani mencoba melanggar.
Anggota masyarakat tidak dapat begitu saja dipercaya untuk menghargai komitmen-komitmen sosial mereka tanpa dipaksa untuk melakukan itu, karena ' perjanjian tanpa pedang tidak-lain hanyalah kata-kata dan sama sekali tanpa kekuatan untuk memberi keamanan bagi seorang manusia. '
Dengan kata lain, kita harus mengorbankan sejumlah kebebasan-alamiah yang kita miliki untuk memperoleh sebuah keamanan, yang tanpanya kehidupan tidak layak dijalani.
Dalam masyarakat-sipil, kebebasan kita adalah relatif terhadap tidak-adanya kewajiban-kewajiban tertentu, apa yang disebut oleh Hobbes dengan ' kesenyapan hukum '.
Jika kita khawatir bahwa hal ini menanamkan kekuatan terlalu besar kepada pemerintah, yang mungkin dapat menyalah-gunakan kekuatan itu dan menginjak kebebasan kita secara berlebihan, tanggapan (sinis) terhadap pendapat itu adalah ini lebih disukai daripada keadaan-alamiah yang chaos atau perang saudara yang menakutkan. (Leviathan, pp. 28-29, 89, 93, 106, 109, 143, 117; for comparable material, see Elements, pp. 88-89, Citizen, pp. 136-140, and Common, p. 34).
Salah satu persoalan paling krusial dalam filsafat politik adalah dimana/kapan mencapai keseimbangan antara kebebasan-personal dan ketertiban-umum.
Dibanding kebanyakan kita, Hobbes mungkin lebih menghendaki untuk melepas sejumlah kebebasan-personal untuk mengamankan/mencapai ketertiban-umum.
Seperti kita membahas para pemikir sebelumnya, mari kita lihat bagaimana Hobbes menerapkan teori keadilan ini, sekaligus sebagai sebuah pengantar untuk melakukan evaluasi secara kritis.
Ia membandingkan hukum-hukum masyarakat-sipil dengan ' rantai-rantai semu ' yang mengikat kita agar mematuhi otoritas yang berdaulat dalam negara atas-nama keadilan.
Hukum-dasar-alamiah ketiga, hukum-keadilan, mewajibkan kita untuk mematuhi hukum-hukum ' positif ' negara. Setiap pelanggaran dengan sengaja terhadap hukum-sipil adalah sebuah ' kejahatan '.
Sekarang persoalan sosial untuk ditelaah lebih lanjut adalah tentang hukuman bagi kriminal. Hukuman ini dengan sadar memberi semacam sifat ' jahat ' pada terduga-kriminal karena melanggar hukum sipil.
Pemikiran dasarnya adalah untuk memaksa kepatuhan kepada hukum itu sendiri dan karenanya untuk meningkatkan keamanan dan ketertiban-umum.
Hobbes meletakkan berbagai syarat/kondisi yang harus dipenuhi agar pemberian sifat ' jahat ' semacam itu dikualifikasikan sebagai hukuman yang sah, termasuk bahwa tidak-ada hukuman retroaktif yang dapat dibenarkan.
Dia juga menganalisa lima-macam hukuman kriminal ---jasmani/badan/fisik, atau uang, atau celaan/aib, atau penjara, atau pengasingan, dan membolehkan suatu kombinasi diantaranya. Ia juga menentukan bahwa jenis hukuman jasmani/badan/fisik dapat berupa hukuman-mati.
Menjadi kesalahan bagi negara yang dengan sengaja/sadar menghukum seorang anggota masyarakat yang diyakini tidak-bersalah, bahkan dalam ungkapan ketat, hal itu tidak dikualifikasikan sebagai hukuman, karena gagal untuk memenuhi suatu bagian esensial dari definisi di atas.
Kerasnya hukuman seharusnya sebanding dengan beratnya tindakan kriminal yang dilakukan, karena dasar pemikirannya adalah untuk mencegah pelanggaran humum-sipil dimasa datang. (Leviathan, pp. 138, 173, 175, 185, 190, 203-208, 230; see, also, Elements, pp. 177-182, and Citizen, pp. 271-279; near the end of his verse autobiography—Elements, p. 264—Hobbes writes, “Justice I Teach, and Justice Reverence”).
Meskipun pandangan di atas merupakan suatu turunan dari teori konsekuensialis tindak-kejahatan dan hukuman, pandangan yang lebih universal tentang keadilan yang menjadi sumber-dasarnya, jauh lebih problematis.
Pandangan itu benar-benar berdiri berlawanan sangat tajam dengan teori Plato, Aristoteles, Agustinus dan Aquinas. Pandangan itu menghidupkan kembali sesuatu semacam teori para Sofis, yang justru kepada teori itu semua filsuf tersebut mengemukakan alternatif-lain. Dan pandangan itu benar-benar merefleksikan pendekatan naturalistik yang diwakili oleh pengetahuan-baru.
Namun demikian, semua elemen-dasar yang mendukungnya cukup meragukan, elemen itu adalah : empirisisme radikal, materialisme, determinisme, egoisme, relativitas moral dan konsepsi sempit dari akal-manusia.
Tanpa menimbang elemen-elemen dasar itu, teori keadilan ini, karena dibangun secara semu oleh kita dan murni sebuah fungsi dari perjanjian-interpersonal tampak sewenang-wenang sepenuhnya.
Tetapi selain ketidak-layakannya untuk dibenarkan, teori keadilan ini juga membenarkan terlalu banyak.
Sebagai contoh, apa yang mampu mencegah teori-itu terlibat untuk membenarkan perbudakan, jika alternatif-lain bagi budak adalah kematian seperti para-musuh dalam kondisi-alamiah ?
Bahkan terlepas dari soal perbudakan, tidak adanya hak-hak dasar manusia yang substantif, kaum minoritas dalam masyarakat-sipil mungkin tidak-diberi sejumlah hak kebebasan-sipil, seperti hak untuk menjalankan/mengadopsi praktik-praktik keagamaan yang kepadanya mereka merasa terpanggil dalam kesadaran nurani.
Konsepsi keadilan dari Hobbes adalah reduksionistik, mereduksi keadilan menjadi perjanjian-konvensional yang tampak menyimpang/cenderung untuk mengorbankan terlalu banyak kebebasan di atas altar hukum dan ketertiban.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment