Meskipun hanya separo panjang-waktu yang dihabiskan antara masa-hidup Aquinas dan Hobbes sama-dengan masa yang dilewati antara Agustinus dan Aquinas, dari perspektif sejarah-intelektual, periode modernisme mewakili sebuah lautan-perubahan yang mengejutkan.
Kita tidak memiliki waktu ataupun ruang untuk memikir rangkaian hubungan kausalitas yang kompleks untuk menjelaskan fakta ini. Namun, untuk tujuan kita, cukuplah untuk mengatakan bahwa reformasi-protestan, revolusi ilmu-pengetahuan baru dan semangat publik yang progresif untuk menantang otoritas (baik politik ataupun agama) mengerucut untuk membangkitkan sebuah mentalitas-filosofi berbeda yang menarik perhatian pada abad 17.
Dalam abad sebelumnya, reformasi-protestan telah menghancurkan hegemoni dari gereja katolik Roma sehingga para pemikir tidak perlu merasa terlalu terkekang untuk dilekatkan/dikaitkan kepada ortodoksi yang telah mapan.
Pandangan dunia naturalistik dari abad 16 dan awal abad 17 yang menghasilkan suatu metodologi empiris dan eksperimental (non-dogmatik) baik dalam ilmu alam maupun politik menjadi suatu contoh bagi para filosof.
Para pemikir era modern menjadi kian merasa nyaman bebas dari arus-utama untuk mengejar pikiran-bebas mereka sendiri.
Meskipun pengaruh dari para filosof-besar kuno seperti Plato dan Aristoteles dan dari para pemikir-besar abad pertengahan seperti Agustinus dan Aquinas masih bertahan, namun tidak ada yang kembali kepada perspektif-perspektif filosof-besar itu yang sudah berlalu.
Secara umum, ini sangat mempengaruhi moral dan teori politik, khususnya pandangan-pandangan terhadap keadilan. Seperti yang akan kita lihat dalam bagian ini, pandangan-pandangan terhadap keadilan sebagai pandangan yang relatif terhadap pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia menjadi penting yang tidak terjadi pada beberapa milenium sebelumnya.
Dalam filsafat, hal itu akan meletakan Hobbes dan Hume lebih dekat kepada kaum Sofis daripada yang sudah biasa-ada sejak jaman pra-Sokrates, dengan menimbang/menilai keadilan sebagai sebuah konstruksi-sosial.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
Kita tidak memiliki waktu ataupun ruang untuk memikir rangkaian hubungan kausalitas yang kompleks untuk menjelaskan fakta ini. Namun, untuk tujuan kita, cukuplah untuk mengatakan bahwa reformasi-protestan, revolusi ilmu-pengetahuan baru dan semangat publik yang progresif untuk menantang otoritas (baik politik ataupun agama) mengerucut untuk membangkitkan sebuah mentalitas-filosofi berbeda yang menarik perhatian pada abad 17.
Dalam abad sebelumnya, reformasi-protestan telah menghancurkan hegemoni dari gereja katolik Roma sehingga para pemikir tidak perlu merasa terlalu terkekang untuk dilekatkan/dikaitkan kepada ortodoksi yang telah mapan.
Pandangan dunia naturalistik dari abad 16 dan awal abad 17 yang menghasilkan suatu metodologi empiris dan eksperimental (non-dogmatik) baik dalam ilmu alam maupun politik menjadi suatu contoh bagi para filosof.
Para pemikir era modern menjadi kian merasa nyaman bebas dari arus-utama untuk mengejar pikiran-bebas mereka sendiri.
Meskipun pengaruh dari para filosof-besar kuno seperti Plato dan Aristoteles dan dari para pemikir-besar abad pertengahan seperti Agustinus dan Aquinas masih bertahan, namun tidak ada yang kembali kepada perspektif-perspektif filosof-besar itu yang sudah berlalu.
Secara umum, ini sangat mempengaruhi moral dan teori politik, khususnya pandangan-pandangan terhadap keadilan. Seperti yang akan kita lihat dalam bagian ini, pandangan-pandangan terhadap keadilan sebagai pandangan yang relatif terhadap pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia menjadi penting yang tidak terjadi pada beberapa milenium sebelumnya.
Dalam filsafat, hal itu akan meletakan Hobbes dan Hume lebih dekat kepada kaum Sofis daripada yang sudah biasa-ada sejak jaman pra-Sokrates, dengan menimbang/menilai keadilan sebagai sebuah konstruksi-sosial.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment