Sementara Agustinus dapat dikatakan Platonis Kristiani yang terbesar, maka Thomas Aquinas berasal dari wilayah yang sekarang dikenal dengan Italia, adalah Aristotelian Kristiani terbesar.
Namun demikian, seperti bakal kita lihat, teori keadilannya juga cukup cocok dengan teori keadilan Agustinus.
Aquinas membahas empat keutamaan-moral 'cardinal' yang sama, termasuk didalamnya keadilan, dalam karya master-piecenya Summa Theologica yang terdiri dari banyak volume.
Tidak ada lagi suatu egalitarian sosial-politik yang melebihi Plato, Aristoteles, atau Augustinus, ia menganalisis egalitarian sebagai keharusan kepada kesetaraan-proposional atau persamaan bukan kepada semacam kesamaan-jumlah yang ketat apapun, dan sebagai sebuah fungsi dari kebenaran-alamiah daripada hukum-positif.
Kebenaran-alamiah pada akhirnya bersumber dari kehendak Tuhan yang kekal dan tidak-bisa dirubah, yang menciptakan dunia dan mengaturnya dengan pengaruh kuasa ilahi.
Keadilan-alamiah harus selalu berada sebelum kesepakatan-kontingen dari konvensi-konvensi kita sebagai manusia.
Hukum-manusia harus tidak-pernah berlawanan dengan hukum-alamiah, yang merupakan cara akal untuk memahami hukum-kekal-ilahi.
Ia menawarkan pada kita sebuah definisi Aristotelian, yang mempertahankan pendirian bahwa 'keadilan adalah sebuah kebiasaan dimana seorang manusia memberikan kepada setiap orang haknya dengan kehendak yang terus-menerus dan tetap'.
Sebagai pengikut Aristoteles, ia mendefinisikan konsep-konsep dalam pengertian pengelompokan secara umum dan khusus (genus dan spesies).
Dalam pengelompokan ini, kategori-umum yang mencakup keadilan didalamnya adalah bahwa kategori itu merupakan suatu kebiasaan-moral dari sebuah karakter keutamaan.
Apa yang spesifik membedakan keadilan dari keutamaan-moral yang lain adalah dengan keadilan, seseorang secara konsisten terikat untuk menghargai hak-hak orang lain sepanjang waktu.
Diutarakan dengan batasan-ketat yang tegas keutamaan-keadilan selalu memperhatikan hubungan interpersonal, sehingga hanya secara metaforis bahwa kita dapat menyatakan tentang seseorang yang adil untuk dirinya sendiri.
Sebagai tambahan kepada keadilan-hukum, ---dengannya seseorang terikat untuk melayani 'kebaikan-bersama' bagi seluruh komunitas--- terdapat 'keadilan-khusus' yang mensyaratkan bahwa kita perlu memperlakukan individu-individu dengan cara-cara tertentu.
Keadilan adalah sebuah rerata-rasional diantara ekstrim-ekstrim kekurangan dan kelebihan yang beracun, menyangkut tindakan-tindakan eksternal kita dengan memperhatikan orang-lain.
Seperti kebanyakan pendahulunya, Aquinas menilai keadilan lebih utama diantara keutamaan-moral lainnya.
Ia sepakat dengan Aristoteles dalam menganalisis keadilan-khusus menjadi dua jenis yang disebut keadilan-distributif dan keadilan-komutatif. Keadilan-distributif mengatur pembagian-proposional demi kebaikan-bersama, sedang keadilan-komutatif memperhatikan kesepakatan imbal-balik antar individu dalam transaksi-transaksi sukarela mereka (Law, pp. 137, 139, 145, 147, 155, 160, 163, 165).
Aquinas menerapkan teori keadilan ini kepada banyak persoalan sosial.
Ia tetap mempertahankan pendirian bahwa hukum-alamiah memberi kita hak kepemilikan pribadi atas harta-benda.
Dengan kodrat hak-alamiah ini, pencurian (pencurian harta-benda milik orang-lain tanpa sepengetahuan pemilik) dan perampokan (mengambil secara terbuka dengan paksa atau dengan perlakuan kekerasan) pasti menjadi tidak-adil, meskipun demikian sebuah pengecualian dapat muncul jika si-pencuri dan keluarganya kelaparan dalam lingkungan yang berlebihan, dalam kasus itu pencurian dibenarkan, dan dinyatakan dengan tegas tidak-ada pencurian atau perampokan sama sekali.
Yang kedua, Aquinas menyempurnakan taori perang-yang-adil dari Agustinus dengan mengutarakan tiga syarat yang harus dipenuhi secara berbarengan untuk mencapai perang agar menjadi adil :
(a) Harus dideklarasikan oleh seorang pemimpin dengan otoritas sosial-politik.
(b) Harus dinyatakan diatas alasan-keadilan bahwa orang yang diserang haruslah bersalah dan karenanya layak menerima serangan.
(c) Mereka yang pergi berperang harus bermaksud baik dan menghindari niat jahat.
Tidak dapat dibenarkan dengan sengaja membunuh orang tak-berdosa yang tidak-turut berperang. Adalah sah membunuh orang-lain dalam pembelaan-diri, meskipun demikian niat seseorang harus untuk menyelamatkan dirinya, pencabutan nyawa orang-lain hanyalah menjadi alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang baik itu (ini, adalah sumber dari apa yang kemudian berkembang menjadi prinsip moral 'efek-ganda')
Bahkan tindakan dalam pembelaan-diri harus dilakukan dalam proporsi yang masuk-akal terhadap situasi, sehingga adalah salah untuk menggunakan kekuatan berlebihan dari yang diperlukan untuk menghentikan agresi.
Bahkan membunuh orang-lain dengan tidak-sengaja bisa menjadi tidak-adil jika dilakukan dalam ikatan kejahatan yang lain atau kelalaian kriminal.
Yang ketiga, meski Aquinas berpikir kita harus mentoleransi keyakinan agama mereka yang tidak-pernah menjadi Kristen, sehingga menjadi tidak-adil mempersekusi mereka, dia berpikir adalah adil untuk menggunakan kekuatan melawan para penganut aliran-sesat namun yang menolak ortodoksi Kristen, bahkan sampai titik untuk melukai mereka, seperti dalam inkuisisi, demi untuk kebaikan jiwa mereka sendiri.
Dalam sebuah kasus ekstrim terhadap penganut aliran-sesat bandel yang tidak akan bisa dibujuk untuk kembali kepada kebenaran Kristianitas, adalah dianggap adil bahwa mereka harus dibasmi dengan eksekusi daripada dibiarkan merusak Kristen yang lain dengan aktivitas mendukung pandangan relijius heterodok mereka.
Keempat, seperti Agustinus, Aquinas menerima perbudakan, selama tidak-ada umat Kristiani yang menjadi budak non Kristiani (ibid., pp. 178-183, 186, 221, 224, 226, 228, 250, 256, 253), dan menilai adil bahwa perempuan harus menjadi 'subjek' secara ekonomi dan politik bagi para lelaki. Meskipun ia menilai perempuan merupakan manusia sepenuhnya, Aquinas setuju dengan Aristoteles bahwa para perempuan lemah dan memiliki kekurangan dengan konsekuensi dianggap inferior dalam pengambilan keputusan secara rasional (Summa, pp. 466-467).
Dari sebuah perspektif kritis, teori umumnya tentang keadilan cukup dikenal hingga sekarang ini, sebagai semacam campuran antara teori Aristoteles dan Agustinus dan ditandai oleh kesalahan yang sama seperti pendapat mereka.
Penerapan dari teori Aquinas itu dapat dinilai sebagai indikasi terhadap karakter problematis pendapat itu :
(a) Asumsi yang ada tentang suatu hak memiliki harta-benda pribadi, bahasannya tentang ketidak-adilan pada pencurian dan perampokan tampak cukup masuk-akal.
(b) Asumsi bahwa kita memiliki hak untuk membela-diri, analisisnya tentang legitimasi terhadap pembunuhan dalam sebuah perang-yang-adil juga sama masuk-akal.
(c) Upayanya mempertahankan persekusi kepada penganut aliran-sesat agama, bahkan hingga mati, mengundang kecurigaan merupakan bagian fanatisme, dogmatik, intoleren pada dirinya.
(d) Penerimaannya terhadap perbudakan dan subjek perempuan secara politis dan ekonomis sebagai adil adalah indikasi sebuah orientasi empiris yang sangat tidak kritis dengan menerima status-quo.
Disini sekali lagi, keyakinan Kristiani bahwa semua manusia adalah mahluk pribadi buah kasih Tuhan dirusak oleh komitmen yang tidak memadai terhadap implikasi keyakinan itu, dengan memperhatikan kesetaraan sosio politik, sehingga hanya sejumlah manusia yang dihargai penuh sebagai pelaku-pelaku yang bebas rasional.
Teori rasionalitas dari Plato dan Agustinus dan teori empiris klasik dari Aristoteles dan Aquinas semuanya meninggalkan harapan pada kita bahwa teori alternatif yang menarik akan segera hadir.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
Namun demikian, seperti bakal kita lihat, teori keadilannya juga cukup cocok dengan teori keadilan Agustinus.
Aquinas membahas empat keutamaan-moral 'cardinal' yang sama, termasuk didalamnya keadilan, dalam karya master-piecenya Summa Theologica yang terdiri dari banyak volume.
Tidak ada lagi suatu egalitarian sosial-politik yang melebihi Plato, Aristoteles, atau Augustinus, ia menganalisis egalitarian sebagai keharusan kepada kesetaraan-proposional atau persamaan bukan kepada semacam kesamaan-jumlah yang ketat apapun, dan sebagai sebuah fungsi dari kebenaran-alamiah daripada hukum-positif.
Kebenaran-alamiah pada akhirnya bersumber dari kehendak Tuhan yang kekal dan tidak-bisa dirubah, yang menciptakan dunia dan mengaturnya dengan pengaruh kuasa ilahi.
Keadilan-alamiah harus selalu berada sebelum kesepakatan-kontingen dari konvensi-konvensi kita sebagai manusia.
Hukum-manusia harus tidak-pernah berlawanan dengan hukum-alamiah, yang merupakan cara akal untuk memahami hukum-kekal-ilahi.
Ia menawarkan pada kita sebuah definisi Aristotelian, yang mempertahankan pendirian bahwa 'keadilan adalah sebuah kebiasaan dimana seorang manusia memberikan kepada setiap orang haknya dengan kehendak yang terus-menerus dan tetap'.
Sebagai pengikut Aristoteles, ia mendefinisikan konsep-konsep dalam pengertian pengelompokan secara umum dan khusus (genus dan spesies).
Dalam pengelompokan ini, kategori-umum yang mencakup keadilan didalamnya adalah bahwa kategori itu merupakan suatu kebiasaan-moral dari sebuah karakter keutamaan.
Apa yang spesifik membedakan keadilan dari keutamaan-moral yang lain adalah dengan keadilan, seseorang secara konsisten terikat untuk menghargai hak-hak orang lain sepanjang waktu.
Diutarakan dengan batasan-ketat yang tegas keutamaan-keadilan selalu memperhatikan hubungan interpersonal, sehingga hanya secara metaforis bahwa kita dapat menyatakan tentang seseorang yang adil untuk dirinya sendiri.
Sebagai tambahan kepada keadilan-hukum, ---dengannya seseorang terikat untuk melayani 'kebaikan-bersama' bagi seluruh komunitas--- terdapat 'keadilan-khusus' yang mensyaratkan bahwa kita perlu memperlakukan individu-individu dengan cara-cara tertentu.
Keadilan adalah sebuah rerata-rasional diantara ekstrim-ekstrim kekurangan dan kelebihan yang beracun, menyangkut tindakan-tindakan eksternal kita dengan memperhatikan orang-lain.
Seperti kebanyakan pendahulunya, Aquinas menilai keadilan lebih utama diantara keutamaan-moral lainnya.
Ia sepakat dengan Aristoteles dalam menganalisis keadilan-khusus menjadi dua jenis yang disebut keadilan-distributif dan keadilan-komutatif. Keadilan-distributif mengatur pembagian-proposional demi kebaikan-bersama, sedang keadilan-komutatif memperhatikan kesepakatan imbal-balik antar individu dalam transaksi-transaksi sukarela mereka (Law, pp. 137, 139, 145, 147, 155, 160, 163, 165).
Aquinas menerapkan teori keadilan ini kepada banyak persoalan sosial.
Ia tetap mempertahankan pendirian bahwa hukum-alamiah memberi kita hak kepemilikan pribadi atas harta-benda.
Dengan kodrat hak-alamiah ini, pencurian (pencurian harta-benda milik orang-lain tanpa sepengetahuan pemilik) dan perampokan (mengambil secara terbuka dengan paksa atau dengan perlakuan kekerasan) pasti menjadi tidak-adil, meskipun demikian sebuah pengecualian dapat muncul jika si-pencuri dan keluarganya kelaparan dalam lingkungan yang berlebihan, dalam kasus itu pencurian dibenarkan, dan dinyatakan dengan tegas tidak-ada pencurian atau perampokan sama sekali.
Yang kedua, Aquinas menyempurnakan taori perang-yang-adil dari Agustinus dengan mengutarakan tiga syarat yang harus dipenuhi secara berbarengan untuk mencapai perang agar menjadi adil :
(a) Harus dideklarasikan oleh seorang pemimpin dengan otoritas sosial-politik.
(b) Harus dinyatakan diatas alasan-keadilan bahwa orang yang diserang haruslah bersalah dan karenanya layak menerima serangan.
(c) Mereka yang pergi berperang harus bermaksud baik dan menghindari niat jahat.
Tidak dapat dibenarkan dengan sengaja membunuh orang tak-berdosa yang tidak-turut berperang. Adalah sah membunuh orang-lain dalam pembelaan-diri, meskipun demikian niat seseorang harus untuk menyelamatkan dirinya, pencabutan nyawa orang-lain hanyalah menjadi alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang baik itu (ini, adalah sumber dari apa yang kemudian berkembang menjadi prinsip moral 'efek-ganda')
Bahkan tindakan dalam pembelaan-diri harus dilakukan dalam proporsi yang masuk-akal terhadap situasi, sehingga adalah salah untuk menggunakan kekuatan berlebihan dari yang diperlukan untuk menghentikan agresi.
Bahkan membunuh orang-lain dengan tidak-sengaja bisa menjadi tidak-adil jika dilakukan dalam ikatan kejahatan yang lain atau kelalaian kriminal.
Yang ketiga, meski Aquinas berpikir kita harus mentoleransi keyakinan agama mereka yang tidak-pernah menjadi Kristen, sehingga menjadi tidak-adil mempersekusi mereka, dia berpikir adalah adil untuk menggunakan kekuatan melawan para penganut aliran-sesat namun yang menolak ortodoksi Kristen, bahkan sampai titik untuk melukai mereka, seperti dalam inkuisisi, demi untuk kebaikan jiwa mereka sendiri.
Dalam sebuah kasus ekstrim terhadap penganut aliran-sesat bandel yang tidak akan bisa dibujuk untuk kembali kepada kebenaran Kristianitas, adalah dianggap adil bahwa mereka harus dibasmi dengan eksekusi daripada dibiarkan merusak Kristen yang lain dengan aktivitas mendukung pandangan relijius heterodok mereka.
Keempat, seperti Agustinus, Aquinas menerima perbudakan, selama tidak-ada umat Kristiani yang menjadi budak non Kristiani (ibid., pp. 178-183, 186, 221, 224, 226, 228, 250, 256, 253), dan menilai adil bahwa perempuan harus menjadi 'subjek' secara ekonomi dan politik bagi para lelaki. Meskipun ia menilai perempuan merupakan manusia sepenuhnya, Aquinas setuju dengan Aristoteles bahwa para perempuan lemah dan memiliki kekurangan dengan konsekuensi dianggap inferior dalam pengambilan keputusan secara rasional (Summa, pp. 466-467).
Dari sebuah perspektif kritis, teori umumnya tentang keadilan cukup dikenal hingga sekarang ini, sebagai semacam campuran antara teori Aristoteles dan Agustinus dan ditandai oleh kesalahan yang sama seperti pendapat mereka.
Penerapan dari teori Aquinas itu dapat dinilai sebagai indikasi terhadap karakter problematis pendapat itu :
(a) Asumsi yang ada tentang suatu hak memiliki harta-benda pribadi, bahasannya tentang ketidak-adilan pada pencurian dan perampokan tampak cukup masuk-akal.
(b) Asumsi bahwa kita memiliki hak untuk membela-diri, analisisnya tentang legitimasi terhadap pembunuhan dalam sebuah perang-yang-adil juga sama masuk-akal.
(c) Upayanya mempertahankan persekusi kepada penganut aliran-sesat agama, bahkan hingga mati, mengundang kecurigaan merupakan bagian fanatisme, dogmatik, intoleren pada dirinya.
(d) Penerimaannya terhadap perbudakan dan subjek perempuan secara politis dan ekonomis sebagai adil adalah indikasi sebuah orientasi empiris yang sangat tidak kritis dengan menerima status-quo.
Disini sekali lagi, keyakinan Kristiani bahwa semua manusia adalah mahluk pribadi buah kasih Tuhan dirusak oleh komitmen yang tidak memadai terhadap implikasi keyakinan itu, dengan memperhatikan kesetaraan sosio politik, sehingga hanya sejumlah manusia yang dihargai penuh sebagai pelaku-pelaku yang bebas rasional.
Teori rasionalitas dari Plato dan Agustinus dan teori empiris klasik dari Aristoteles dan Aquinas semuanya meninggalkan harapan pada kita bahwa teori alternatif yang menarik akan segera hadir.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi