Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, April 15, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 7 : Kristianitas Abad Pertengahan - Aquinas


Sementara Agustinus dapat dikatakan Platonis Kristiani yang terbesar, maka Thomas Aquinas berasal dari wilayah yang sekarang dikenal dengan Italia, adalah Aristotelian Kristiani terbesar.

Namun demikian, seperti bakal kita lihat, teori keadilannya juga cukup cocok dengan teori keadilan Agustinus.

Aquinas membahas empat keutamaan-moral 'cardinal' yang sama, termasuk didalamnya keadilan, dalam karya master-piecenya Summa Theologica yang terdiri dari banyak volume.

Tidak ada lagi suatu egalitarian sosial-politik yang melebihi Plato, Aristoteles, atau Augustinus, ia menganalisis egalitarian sebagai keharusan kepada kesetaraan-proposional atau persamaan bukan kepada semacam kesamaan-jumlah yang ketat apapun, dan sebagai sebuah fungsi dari kebenaran-alamiah daripada hukum-positif.

Kebenaran-alamiah pada akhirnya bersumber dari kehendak Tuhan yang kekal dan tidak-bisa dirubah, yang menciptakan dunia dan mengaturnya dengan pengaruh kuasa ilahi.

Keadilan-alamiah harus selalu berada sebelum kesepakatan-kontingen dari konvensi-konvensi kita sebagai manusia.

Hukum-manusia harus tidak-pernah berlawanan dengan hukum-alamiah, yang merupakan cara akal untuk memahami hukum-kekal-ilahi.

Ia menawarkan pada kita sebuah definisi Aristotelian, yang mempertahankan pendirian bahwa 'keadilan adalah sebuah kebiasaan dimana seorang manusia memberikan kepada setiap orang haknya dengan kehendak yang terus-menerus dan tetap'.

Sebagai pengikut Aristoteles, ia mendefinisikan konsep-konsep dalam pengertian pengelompokan secara umum dan khusus (genus dan spesies).

Dalam pengelompokan ini, kategori-umum yang mencakup keadilan didalamnya adalah bahwa kategori itu merupakan suatu kebiasaan-moral dari sebuah karakter keutamaan.

Apa yang spesifik membedakan keadilan dari keutamaan-moral yang lain adalah dengan keadilan, seseorang secara konsisten terikat untuk menghargai hak-hak orang lain sepanjang waktu.

Diutarakan dengan batasan-ketat yang tegas keutamaan-keadilan selalu memperhatikan hubungan interpersonal, sehingga hanya secara metaforis bahwa kita dapat menyatakan tentang seseorang yang adil untuk dirinya sendiri.

Sebagai tambahan kepada keadilan-hukum, ---dengannya seseorang terikat untuk melayani 'kebaikan-bersama' bagi seluruh komunitas--- terdapat 'keadilan-khusus' yang mensyaratkan bahwa kita perlu memperlakukan individu-individu dengan cara-cara tertentu.

Keadilan adalah sebuah rerata-rasional diantara ekstrim-ekstrim kekurangan dan kelebihan yang beracun, menyangkut tindakan-tindakan eksternal kita dengan memperhatikan orang-lain.

Seperti kebanyakan pendahulunya, Aquinas menilai keadilan lebih utama diantara keutamaan-moral lainnya.

Ia sepakat dengan Aristoteles dalam menganalisis keadilan-khusus menjadi dua jenis yang disebut keadilan-distributif dan keadilan-komutatif. Keadilan-distributif mengatur pembagian-proposional demi kebaikan-bersama, sedang keadilan-komutatif memperhatikan kesepakatan imbal-balik antar individu dalam transaksi-transaksi sukarela mereka (Law, pp. 137, 139, 145, 147, 155, 160, 163, 165).


Aquinas menerapkan teori keadilan ini kepada banyak persoalan sosial.

Ia tetap mempertahankan pendirian bahwa hukum-alamiah memberi kita hak kepemilikan pribadi atas harta-benda.

Dengan kodrat hak-alamiah ini, pencurian (pencurian harta-benda milik orang-lain tanpa sepengetahuan pemilik) dan perampokan (mengambil secara terbuka dengan paksa atau dengan perlakuan kekerasan) pasti menjadi tidak-adil, meskipun demikian sebuah pengecualian dapat muncul jika si-pencuri dan keluarganya kelaparan dalam lingkungan yang berlebihan, dalam kasus itu pencurian dibenarkan, dan dinyatakan dengan tegas tidak-ada pencurian atau perampokan sama sekali.

Yang kedua, Aquinas menyempurnakan taori perang-yang-adil dari Agustinus dengan mengutarakan tiga syarat yang harus dipenuhi secara berbarengan untuk mencapai perang agar menjadi adil :

(a) Harus dideklarasikan oleh seorang pemimpin dengan otoritas sosial-politik.

(b) Harus dinyatakan diatas alasan-keadilan bahwa orang yang diserang haruslah bersalah dan karenanya layak menerima serangan.

(c) Mereka yang pergi berperang harus bermaksud baik dan menghindari niat jahat.

Tidak dapat dibenarkan dengan sengaja membunuh orang tak-berdosa yang tidak-turut berperang. Adalah sah membunuh orang-lain dalam pembelaan-diri, meskipun demikian niat seseorang harus untuk menyelamatkan dirinya, pencabutan nyawa orang-lain hanyalah menjadi alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang baik itu (ini, adalah sumber dari apa yang kemudian berkembang menjadi prinsip moral 'efek-ganda')

Bahkan tindakan dalam pembelaan-diri harus dilakukan dalam proporsi yang masuk-akal terhadap situasi, sehingga adalah salah untuk menggunakan kekuatan berlebihan dari yang diperlukan untuk menghentikan agresi.

Bahkan membunuh orang-lain dengan tidak-sengaja bisa menjadi tidak-adil jika dilakukan dalam ikatan kejahatan yang lain atau kelalaian kriminal.

Yang ketiga, meski Aquinas berpikir kita harus mentoleransi keyakinan agama mereka yang tidak-pernah menjadi Kristen, sehingga menjadi tidak-adil mempersekusi mereka, dia berpikir adalah adil untuk menggunakan kekuatan melawan para penganut aliran-sesat namun yang menolak ortodoksi Kristen, bahkan sampai titik untuk melukai mereka, seperti dalam inkuisisi, demi untuk kebaikan jiwa mereka sendiri.

Dalam sebuah kasus ekstrim terhadap penganut aliran-sesat bandel yang tidak akan bisa dibujuk untuk kembali kepada kebenaran Kristianitas, adalah dianggap adil bahwa mereka harus dibasmi dengan eksekusi daripada dibiarkan merusak Kristen yang lain dengan aktivitas mendukung pandangan relijius heterodok mereka.

Keempat, seperti Agustinus, Aquinas menerima perbudakan, selama tidak-ada umat Kristiani yang menjadi budak non Kristiani (ibid., pp. 178-183, 186, 221, 224, 226, 228, 250, 256, 253), dan menilai adil bahwa perempuan harus menjadi 'subjek' secara ekonomi dan politik bagi para lelaki. Meskipun ia menilai perempuan merupakan manusia sepenuhnya, Aquinas setuju dengan Aristoteles bahwa para perempuan lemah dan memiliki kekurangan dengan konsekuensi dianggap inferior dalam pengambilan keputusan secara rasional (Summa, pp. 466-467).


Dari sebuah perspektif kritis, teori umumnya tentang keadilan cukup dikenal hingga sekarang ini, sebagai semacam campuran antara teori Aristoteles dan Agustinus dan ditandai oleh kesalahan yang sama seperti pendapat mereka.

Penerapan dari teori Aquinas itu dapat dinilai sebagai indikasi terhadap karakter problematis pendapat itu :

(a) Asumsi yang ada tentang suatu hak memiliki harta-benda pribadi, bahasannya tentang ketidak-adilan pada pencurian dan perampokan tampak cukup masuk-akal.

(b) Asumsi bahwa kita memiliki hak untuk membela-diri, analisisnya tentang legitimasi terhadap pembunuhan dalam sebuah perang-yang-adil juga sama masuk-akal.

(c) Upayanya mempertahankan persekusi kepada penganut aliran-sesat agama, bahkan hingga mati, mengundang kecurigaan merupakan bagian fanatisme, dogmatik, intoleren pada dirinya.

(d) Penerimaannya terhadap perbudakan dan subjek perempuan secara politis dan ekonomis sebagai adil adalah indikasi sebuah orientasi empiris yang sangat tidak kritis dengan menerima status-quo.

Disini sekali lagi, keyakinan Kristiani bahwa semua manusia adalah mahluk pribadi buah kasih Tuhan dirusak oleh komitmen yang tidak memadai terhadap implikasi keyakinan itu, dengan memperhatikan kesetaraan sosio politik, sehingga hanya sejumlah manusia yang dihargai penuh sebagai pelaku-pelaku yang bebas rasional.

Teori rasionalitas dari Plato dan Agustinus dan teori empiris klasik dari Aristoteles dan Aquinas semuanya meninggalkan harapan pada kita bahwa teori alternatif yang menarik akan segera hadir.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Friday, April 8, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 6 : Kristianitas Abad Pertengahan - Agustinus


Aurelius Augustine terlahir dan dibesarkan di provinsi Afrika Utara yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi, selama hidupnya, ia mengalami ketidak-adilan, perilaku menindas dan merusak dari Kekaisaran Romawi.

Pengalaman personal ini, dalam tegangan-dialektikal dengan gagasan-gagasan Kristianitas, telah memberinya latar belakang yang dramatis terhadap nilai-nilai keagamaannya.

Secara filosofis, dia sangat dipengaruhi oleh pemikir neo-Platonis seperti Plotinus.

Pemikiran Platonisme Kristiani-nya terbukti dalam dialog filosofis pada karyanya berjudul 'Tentang Pilihan Bebas dari Kehendak' (On Free Choice of the Will), dalam karya itu ia menerima dengan antusias pandangan Plato tentang empat pusat keutamaan-moral (yang kemudian disebut 'cardinal' dari bahasa latin yang berarti 'engsel', ini dapat dibayangkan secara metaforis sebagai empat 'engsel' yang menjadi poros pintu moralitas)

Empat keutamaan-moral itu adalah kehati-hatian (pengganti untuk bijaksana), keberanian, pengendalian diri dan keadilan. Konsepsinya tentang keadilan adalah salah satu yang paling dikenal yaitu keadilan sebagai 'sebuah keutamaan dengannya memberi kepada semua orang hak-hak yang dimilikinya'.

Namun konsep keadilan itu terkait dengan sesuatu yang baru dan khas Kristen ---pandangan yang membedakan antara hukum-temporal, seperti hukum-negara dan hukum-kekal-ilahi.

Hukum-kekal-ilahi menetapkan perintah dari kuasa-ilahi. Dan karena semua hukum-temporal atau hukum-manusia harus selaras dengan hukum-kekal-ilahi, Agustinus menarik kesimpulan yang menarik, dan berbicara dengan nada menyerang dalam kalimat 'suatu hukum yang tidak-adil sama-sekali bukanlah hukum' sebuah frasa yang tampak bertentangan (Choice, pp. 20, 11, 8; cf. Religion, p. 89, for an analysis of justice that relates it to love).

Oleh karena itu, suatu hukum-sipil dalam negara yang melanggar hukum-kekal-ilahi tidaklah mengikat secara moral dan sah untuk tidak-dipatuhi dalam kesadaran demi kebaikan. Hal ini memiliki pengaruh yang dalam dan terus berlanjut dalam etika Kristiani.

Dalam karya master-piecenya, Kota Ilahi (The City of God), Agustinus menarik kesimpulan dramatis dari posisi itu, bahwa Kekaisaran Romawi tidak pernah merupakan sebuah masyarakat-politik yang benar-benar adil.

Ia mengekspresikan ketidak-sukaannya pada sejarah panjang kekuasaan Romawi dengan kalimat 'kemuakan pada ketidak-adilan'. Bangsa Romawi selalu menyembah dewa-dewa, termasuk kategori 'Kota Bumi' dan 'keadilan sesungguhnya' dapat ditemukan hanya dalam sebuah 'Kota Ilahi' Kristiani.

Seorang yang adil, bukan orang dengan kekuasaan-penuh harus memerintah untuk kebaikan-bersama bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi sendiri.

Ia membandingkan secara gamblang masyarakat yang tidak-adil, berdasar pada kekuasaan/kekuatan bukan berdasar pada kebenaran/hak, dalam kalimat 'gang para-kriminal dengan skala-besar', karena tanpa keadilan, suatu kerajaan atau kekaisaran hanya diatur dengan perintah sewenang-wenang dari otoritas beberapa pemimpin.

Sebuah masyarakat-adil yang asli harus didasarkan pada cinta Kristiani, keteraturan penuh damai ditetapkan dengan dua aturan dasar berikut ---bahwa orang tidak melukai siapapun dan mereka harus berusaha menolong setiap orang hingga tingkatan maksimal yang dapat dilakukan (City, pp. 75, 67, 75, 138-139, 873).


Disamping ikatan Kristiani-nya kepada cinta dan perdamaian, Agustinus bukanlah seorang pasifis dan mendukung 'perang-yang-adil' sebagai suatu yang diijinkan secara moral dan bahkan sebagai kewajiban moral.

Setiap perang bertujuan mencapai sebuah keteraturan di atas semacam perdamaian yang langgeng, sementara suatu perang-yang-tidak-adil bertujuan untuk menetapkan perdamaian-yang-tidak-adil di atas dominasi, perang-yang-adil bertujuan untuk menetapkan suatu 'perdamaian-yang-adil'.

Ia setuju dengan Cicero bahwa suatu perang-yang-adil haruslah defensif daripada agresif ibid., pp. 861-862, 866, 868-869, 1031).

Dalam sebuah surat (# 138) kepada Marcellinus, Agustinus menggunakan kitab-suci untuk menolak pendapat bahwa doktrin Kristen terikat kepada pasifisme, meskipun demikian bila perlu, perang harus dibayar/dibalas dengan cinta-tulus kepada musuh. Dalam sebuah surat (# 189) kepada Boniface, dia tetap bertahan bahwa orang yang saleh dan benar secara moral bisa menjadi anggota pasukan-perang, sekali lagi ia mengutip kitab-suci untuk mendukung posisinya

Ia mengulangi pandangan bahwa sebuah perang-yang-adil harus menuju keadilan dalam perdamaian yang kekal dan berpegang teguh bahwa seseorang harus memegang keyakinan bersama musuh dan sekutunya, meskipun dalam panasnya perang yang mengerikan.

Bahasan yang paling penting terhadap teori perang-yang-adil termaktub dalam tulisannya berjudul Against Faustus the Manichean, dimana ia menganalisa setan-setan perang dalam pengertian nafsu untuk melukai orang-lain dan berharap untuk mendominasi orang-lain.

Sebagai tambahan syarat bahwa suatu perang-yang-adil harus bertujuan pada sebuah perdamaian yang kekal dan adil, syarat kedua adalah bahwa perang-yang-adil harus dideklarasikan oleh seorang pemimpin atau bagian para pemimpin, dengan otoritas untuk melakukan itu, setelah bersepakat bhwa itu adalah keadilan. Sekali lagi Agustinus membuat jelas bahwa dia bukanlah seorang pasifis.(Political, pp. 209, 219-223).


Meskipun hal-itu merupakan penerapan teori-keadilannya yang sangat bernilai, doktrin tentang perang-yang-adil ini bertahan dari ujian-waktu hingga hari ini, namun teori-umum yang menjadi dasar lebih problematis.

Konsepsi keadilan yang tidak asli (dan tidak menginspirasi yaitu memberi kepada yang lain hak-haknya) dikenal telah menjadi basi.

Konsep itu masih tetap rapuh terhadap persoalan serius tentang kejelasan soal yang telah ditinjau sebelumnya : apa kriteria relevan yang harus menentukan siapa menerima apa, dan siapa yang cocok untuk melakukan penilaian itu.

Tetapi Agustinus juga memperoleh suatu manfaat dari konsep keadilan Yunani kuno ketika mencapai sebuah teori keadilan yang didasarkan pada kesamaan-universal dalam penjelasan tentang doktrin Kristianitas (tidak untuk disebutkan karena pengaruh-pengaruh dari Cicero, para Stoik dan Plotinus) bahwa semua manusia adalah sama-anak-ilahi.

Sayang, keinginan kuatnya dalam dakwah Kritiani mengarahkan dirinya melakukan identifikasi keadilan itu sendiri, dalam suatu cara yang mengundang polemik ketidaksetujuan, intoleran terhadap gagasan Kristianitas gereja yang disyaratkan Tuhan, sedemikian rupa sehingga menurutnya hanya suatu masyarakat Kristiani yang mungkin dapat dikualifikasikan adil, seolah jika sebuah masyarakat politik yang adil membutuhkan adanya bentuk pemerintahan teokrasi.

Sehingga, meski dia memiliki pengertian semacam kesamaan moral atau spiritual diantara manusia, itu bukanlah persoalan penghargaan-yang-sama bagi semua orang sebagai pelaku-pelaku (agen) yang bebas, sebagai contoh menerima institusi perbudakan sebagai sebuah hukuman yang adil untuk dosa ---di luar kepercayaan bahwa Tuhan aslinya menciptakan manusia dalam kodrat bebas-alamiah--- karena gagasan bahwa kita semua telah dirusak oleh dosa-asal (City, pp. 874-875).


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Saturday, April 2, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 5 : Kristianitas Abad Pertengahan


Ketika para pemikir Kristen melakukan pencarian untuk mengembangkan filsafat mereka sendiri di abad-pertengahan, mereka menemukan dasar-dasar yang sangat-berharga dalam pemikiran Yunani kuno ('medieval' berarti abad-pertengahan dan 'tengah-tengah' dalam pengertian berada diantara masa-kuno dan modernitas).

Namun dua jalur-dominan yang akan diikuti oleh filsafat abad-pertengahan nyaris selama seribu-tahun perjalanan sejarah sangat kuat diwarnai oleh pemikiran Plato dan Aristoteles.

Lebih spesifik, Augustinus menggunakan filsafat Platonik (dan neo-Platonik) hingga ke tingkatan yang mampu menggabungkan pemikiran Plato dan Aristoteles dengan pemikiran Kristen, beberapa abad kemudian Aquinas mengembangkan sebuah sintesa yang luar-biasa dari pemikiran Kristen (termasuk dari Agustinus) dan filsafat Aristotelian.

Meski demikian, perbedaan besar antara filsafat mereka dan filsafat dari para pemikir Hellenistik seperti Plato dan Aristoteles tumbuh dari keterikatan para pemikir Kristen itu kepada otoritas kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen.

Maka Aquinas kemudian sepakat dengan Agustinus (yang menerima perintah dari Isaiah 7:9) bahwa pencarian panjang terhadap pemahaman filosofis harus diawali dengan kepercayaan kepada tradisi-tradisi keagamaan (Choice, pp. 3, 32).

Keduanya baik Perjanjian-Lama dan Perjanjian-Baru menyebut perilaku-adil termasuk dalam bagian orang yang benar secara moral, dengan perilaku-tidak-adil berada pada seorang pendosa yang melawan hukum-ilahi, referensi yang ada terlalu banyak untuk dikutip (lihat Job 9:2, Proverbs 4:18, Proverbs 10:6-7, Ecclesiastes 7:20, Matthew 5:45, Philippians 4:8, and Hebrews 12:23).

Pendapat bahwa keadilan-ilahi akan ditetapkan dalam bentuk penghakiman-ilahi (saat hari pengadilan/pembalasan) merupakan suatu janji kepada orang yang berlaku-adil sekaligus sebuah ancaman bagi yang berlaku-tidak-adil.

Kebenaran secara moral diidentifikasikan dengan kasih-sayang begitu juga dengan keadilan (e.g., Micah 6:8 and Matthew 5:7) dan melibatkan hubungan-kita dengan sang-ilahi juga dengan sesama manusia.

Sepuluh perintah ilahi pada Perjanjian-Lama (Exodus 20:1-17) merupakan perintah-perintah yang terkait dengan bagaimana orang yang benar secara moral dihubungkan dengan sang-ilahi dan manusia-lain.

Dalam perjanjian baru, Yesus dari Nazareth melakukan interpretasi bagaimana orang yang benar secara moral menjalani hidup (Matthew 22:36-40) dalam pengertian cinta, baik kepada sang-ilahi maupun kepada para tetangga mereka, konsep tetangga dimaksudkan untuk memperluas pengertian bahkan termasuk orang-asing, seperti yang digambarkan dalam perumpamaan cerita pendek orang baik Samaria yang menolong (Luke 10:29-37).

Dalam Sabda yang mengawali khotbah di atas sebuah bukit, Yesus memperluas ajaran tentang cinta dengan menyuarakan bahwa para pengikutnya melampaui kewajiban menegakan keadilan dengan berperilaku dalam rasa belas-kasih yang kuat melalui cara-cara tertentu yang sangat ditekankan (Matthew 5:3-12).

Semua tradisi berdasar kitab-suci ini, secara mendasar mempengaruhi para pemikir abad-pertengahan seperti Augustinus dan Aquinas dalam hal cara yang membedakan mereka dari para filosof Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Saturday, March 26, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 4 : Yunani Kuno - Aristoteles


Setelah bekerja dengan Plato dalam Academy yang didirikan olehnya selama beberapa dekade, Aristoteles dapat dimengerti merupakan murid yang paling terpengaruh oleh gurunya, ia juga mengadopsi ajaran Plato, sebagai contoh, ia mengadopsi sebuah teori-keutamaan mengenai etika.

Namun, bagian 'kebesaran' yang dimiliki Aristoteles tumbuh dari kemampuannya untuk mengambil gagasan-kritis, dan ia dapat dikatakan menjadi kritikus yang paling cakap, begitu juga pengikut Plato yang paling terkenal dalam keinginan untuk mengembangkan filsafat-alternatif yang kredibel menyaingi filsafat Sofisme.

Buku V, tentang etika (Nicomachean Ethics) yang mengagumkan membahas dengan cukup dalam tentang keutamaan keadilan moral dan politik.

Pembahasan dimulai kurang meyakinkan dengan pendapat-sirkular bahwa kondisilah yang merubah kita menjadi pelaku-pelaku yang hanya-cenderung untuk menginginkan dan mempraktekan keadilan (tidak melakukan).

Namun analisanya segera menjadi lebih mencerahkan ketika ia menjelaskan keadilan dengan jernih dan tepat dalam pengertian keadilan sesuai aturan-hukum dan perlakuan-adil kepada orang-lain (fair).

Apa yang sesuai dengan hukum dalam suatu negara dipandang menyediakan lingkungan yang kondusif untuk kebaikan bersama dan/atau kebaikan para-penguasanya.

Secara umum, warga-negara harus mematuhi hukum semacam-itu agar menjadi adil (secara moral). Persoalannya adalah hukum-sipil sendiri dapat tidak-adil dalam pengertian menjadi perlakuan-tidak-adil (unfair) bagi sejumlah orang, sehingga kita perlu menimbang keadilan-khusus sebagai sebuah fungsi dari perlakuan-adil terhadap orang-lain (fairness).

Aristoteles melakukan analisis ini ke dalam dua-jenis keadilan :

Keadilan-distributif melibatkan pembagian keuntungan dan beban/kerugian dengan perlakuan-adil (fair) diantara anggota-anggota suatu komunitas, sedang keadilan-korektif ---dalam kondisi tertentu--- membutuhkan usaha kita untuk mengembalikan suatu perlakuan-adil yang seimbang dalam hubungan-hubungan interpersonal ketika perlakuan-adil (fairness) tidak-ditemukan.

Jika suatu anggota dari sebuah komunitas diuntungkan dan diberi beban/kerugian karena perlakuan-tidak-adil (unfair) sehingga menerima lebih atau kurang daripada yang sepantasnya-diterima melalui cara distribusi-sosial, maka keadilan-korektif diperlukan, sebagai contoh dengan melakukan persidangan menurut hukum.

Perhatikan bahwa Aristoteles tidak-lebih-egalitarian daripada Plato ---menurutnya ketika suatu imbal-balik sosial mungkin diperlukan, imbal-balik itu haruslah lebih kepada semacam proposionalitas daripada kesamaan.

Seperti semua keutamaan-moral, bagi Aristoteles keadilan adalah sebuah rerata-rasional diantara ekstrim-ekstrim yang buruk. Kesetaraan atau kesamaan secara proposional melibatkan 'posisi-tengah' antara seseorang yang memperoleh 'lebih-sedikit' dari sepantasnya karena perlakuan-tidak-adil dan seorang yang memperoleh lebih-banyak dengan mengorbankan orang-lain.

Rerata keadilan terletak diantara wakil yang menerima terlalu-banyak dan terlalu-sedikit, relatif terhadap apa yang sepantasnya diterima, keduanya merupakan dua-jenis yang berlawanan dengan keadilan, yang satu ekses berlebihan karena tidak-proposional sedang yang lain efek kekurangan/kerugian karena tidak-proposional (Nicomachean, pp. 67-74, 76; 1129a-1132b, 1134a).


Keadilan politik, dalam ketaatan-hukum dan perlakuan-adil (fair), keduanya dipegang untuk diterapkan hanya kepada mereka yang merupakan warga-negara dalam sebuah komunitas-politik (sebuah polis) dengan keutamaan menjadi 'bebas dan secara proposional ataupun kesamaan-jumlah', mereka yang memiliki hubungan-hubungan interpersonal diatur dengan aturan-hukum, karenanya hukum harus-ada terlebih dahulu (syarat-sebelum) dari sebuah keadilan dan ketidak-adilan.

Namun, karena individu-individu cenderung menjadi bias secara egoistik, hukum harus merupakan suatu produk dari akal (yang universal) daripada produk dari para-penguasa yang pertikular.

Aristoteles telah bersiap untuk membedakan antara pada satu-sisi apa itu adil dan tidak-adil secara alamiah seperti siapa yang boleh dibunuh secara sah, dan disisi-lain apa yang hanya adil atau tidak-adil secara konvensional, seperti sebuah sistem-pajak khusus bagi masyarakat tertentu.

Namun kaum Sofis melakukan kesalahan dalam berpendapat bahwa semua keadilan-politik adalah hasil-artifisial dari hukum-konvensi dan untuk memotong semua keadilan-alamiah yang menurutnya universal (ibid., pp. 77-78; 1134a-1135a; cf. Rhetoric, pp. 105-106; 1374a-b).

Apa yang belum dapat dipastikan kebenarannya, yang dipertaruhkan disini adalah perkembangan suatu keutamaan-moral yang mendasar bagi kesejahteraan masyarakat, begitu juga bagi tumbuh kembangnya setiap umat-manusia.

Dimensi lain yang bernilai dalam diskusi Aristoteles disini adalah bahasannya terhadap hubungan antara keadilan dan diterima baik-secara-sosial, karena terkadang mengikuti ketentuan-hukum akan melanggar kesamaan perlakuan-adil kepada orang-lain (fairness) atau akal-sehat.

Seorang yang diterima baik-secara-sosial mungkin memperoleh keuntungan-egois dari ketaatan mengikuti hukum dengan tepat, namun memutuskan untuk mengambil lebih-sedikit atau memberi lebih-banyak demi kebaikan-bersama. Dengan cara ini, seorang yang diterima baik-secara-sosial dapat meluruskan batasan-batasan hukum dan merepresentasikan kembali bentuk keadilan yang lebih-tinggi (Nicomachean, pp. 83-84; 1137a-1138a).


Dalam karyanya Politics, Aristoteles lebih jauh meninjau keadilan-politik dan relasinya dengan kesetaraan. Kita dapat mengakui bahwa keadilan-politik melibatkan kesetaraan tetapi harus hati-hati menentukan, dengan menjaga pengertian bahwa keadilan melibatkan kesetaraan 'tidak untuk setiap-orang namun hanya bagi mereka yang benar-benar setara'.

Dia sepakat dengan Plato, bahwa demokrasi-politik secara intrinsik adalah tidak-adil karena, dengan sifat alamiahnya, demokrasi berusaha memperlakukan mereka yang tidak-setara seolah setara. Keadilan lebih mensyaratkan ketidak-setaraan bagi rakyat yang memang tidak-setara.

Namun kemudian, oligarki juga secara intrinsik tidak-adil sejauh oligarki memperlakukan mereka yang-setara dengan tidak-setara karena sejumlah disparitas (kesenjangan) yang kontingen dari kelahiran, kemakmuran, kekayaan dll.

Sebaliknya, mereka yang berada di dalam sebuah masyarakat politik yang adil, siapapun yang memberikan kontribusi paling-besar kepada kebaikan-bersama akan menerima bagian yang lebih-besar, karena dengan demikian mereka menunjukan keutamaan-politik yang lebih-besar, dibanding mereka yang-inferior dari aspek yang sama. Mutlak akan menjadi salah dari perspektif keadilan-politik, bila mereka menerima bagian yang sama.

Sehingga keadilan-politik harus dipandang sebagai suatu fungsi dari kebaikan-bersama bagi sebuah komunitas.

Aristoteles mengakui, upaya untuk menetapkan kesetaraan atau ketidak-setaraan di antara rakyat, adalah yang membentuk sebuah persoalan kunci dalam 'filsafat-politik'

Dia berpikir, kita semua dengan gampang sepakat terhadap pendapat keadilan-politik lebih membutuhkan 'proporsionalitas' daripada kesamaan-jumlah (numerical-equality).

Namun mereka yang-inferior memiliki suatu kepentingan-pribadi dalam berpikir bahwa mereka yang-setara dalam beberapa-hal harus menjadi setara dalam segala-hal, sementara mereka yang-superior dibiaskan dengan arah yang berlawanan, untuk berpikir/membayangkan bahwa mereka yang-tidak-setara dalam beberapa-hal harus tidak-setara dalam semua-hal.

Sehingga, sebagai contoh, mereka yang-setara sebagai warga-negara tidak-selalu setara dalam keutamaan-politik, dan mereka yang lebih-kaya secara finansial tidak-selalu superior secara moral dan mental.

Kesetaraan apa yang relevan disini adalah 'kesetaraan sesuai kualitas', meski demikian Aristoteles tidak dapat menentukan secara tepat apa persisnya penjelasan 'kualitas' yang dimaksud, untuk apa dan bagaimana harus menghitungnya, siapa yang harus menghitung dan dengan standar apa menghitungnya.

Aristoteles hanya bisa menyarankan ---sebagai contoh dalam sejumlah komentar tentang pemerintahan-aristokratik yang didambakan--- 'kualitas' itu harus melibatkan keutamaan moral dan intelektual (Politics, pp. 79, 81, 86, 134, 136, 151, 153; 1280a, 1281a, 1282b, 1301a-1302a, 1307a, 1308a).


Sekarang mari kita tinjau bagaimana Aristoteles menerapkan teori-keadilannya sendiri kepada persoalan-sosial mengenai superior dan inferior yang sudah dinyatakan namun belum meyakinkan, sebelum mencoba melakukan kritik singkat terhadap teori itu.

Meski Plato menerima perbudakan sebagai institusi-sosial yang sah namun ia mengajukan pendapat untuk kesetaraan-kesempatan bagi perempuan, dalam karyanya Politics, Aristoteles menerima ketidak-setaraan jenis-kelamin (gender) namun ia juga membela perbudakan secara aktif.

Siapapun yang-inferior secara moral dan intelektual adalah layak menjadi inferior secara sosial dan politik dalam sebuah masyarakat-politik (polis) yang telah teratur dengan baik (beradab).

Secara alamiah seorang manusia bisa otomatis atau tidak, menjadi 'seorang budak-alamiah' yang kurang/lemah secara rasional dan moral, dan karenanya secara alami cocok untuk dikuasai oleh mereka yang-superior, manusia semacam itu cocok dinilai sebagai 'sebuah pendukung' atau 'alat untuk tindakan' bagi orang-lain.

Dengan adanya ketidak-setaraan alamiah manusia, membenarkan ketidak-layakan pendapat bahwa semua harus memerintah atau berbagi dalam pemerintahan. Aristoteles berpendirian bahwa sejumlah manusia ditandai sebagai superior dan pantas untuk memerintah dari sejak lahir, sementara yang-lain adalah inferior dan ditandai sejak lahir untuk menjadi manusia yang diatur oleh yang lain.

Hal itu harus diterapkan tidak-hanya kepada kelompok-kelompok etnis, tapi juga kepada jenis-kelamin (gender), dan Aristoteles menyatakan ketidak-setaraan dengan tegas bahwa kaum-lelaki secara alamiah-superior (naturally-superior) dan kaum-perempuan inferior secara alamiah (naturally-inferior).

Mereka yang-superior menjadi cocok untuk memerintah dan yang-inferior pantas diperintah. Pendapat itu menyatakan adalah lebih-baik bagi kaum-perempuan sendiri bahwa mereka diatur oleh kaum-lelaki, seperti juga adalah lebih-baik bagi 'budak-alamiah' bahwa mereka harus diperintah oleh mereka yang bebas secara alamiah.

Sekarang Aristoteles berpendapat khusus terhadap perbudakan-alamiah. Adalah adat/kebiasaan (perhatikan perbedaan istilah, yang digunakan disini, antara adat/kebiasaan dan alamiah) dalam masa-kuno untuk menjadikan budak terhadap musuh-musuh yang ditaklukan yang menjadi tahanan-perang.

Namun Aristoteles (seperti Plato) meyakini bahwa bangsa Yunani terlahir untuk bebas dan rasional mengatur-diri, tidak-seperti bangsa non-Yunani (kaum barbar) yang secara alamiah inferior dan tidak-mampu untuk itu.

Sehingga fakta bahwa seorang manusia yang dikalahkan dan ditangkap dia layak diperbudak tidak dijamin kebenarannya, karena sebuah perang yang tidak-adil mungkin telah dipaksakan kepada suatu masyarakat yang lebih-bermartabat oleh masyarakat yang lebih-primitif.

Meskipun menerima kebenaran tentang bangsa Yunani dan non-Yunani begitu juga dengan kaum lelaki dan perempuan, semuanya adalah manusia yang seutuhnya, Aristoteles membenarkan dugaan ketidak-setaraan diantara mereka berdasar pada apa yang disebut kapasitas memutuskan-secara-rasional (delibertif) dari jiwa-rasional mereka.

Jiwa-rasional pada budak-alamiah dianggap tidak memiliki kapasitas ini, seorang wanita memilikinya tapi tidak secara otomatis ada otoritas baginya untuk mampu memutuskan sendiri, seorang anak lelaki-bebas memilikinya pada tingkat perkembangan tertentu, dan seorang lelaki-bebas yang superior alamiah memilikinya dan siap bagi kepemerintahan (ibid., pp. 7-11, 23; 1254a-1255a, 1260a).


Penerapan ini menciptakan suatu jalur yang sangat membantu untuk sebuah kritik kepada teori keadilan Aristoteles.

jika kita merasa bahwa adalah tidak-adil untuk melakukan diskriminasi terhadap rakyat hanya dengan penjelasan/alasan mengenai jenis-kelamin (gender) dan/atau asal-muasal etnis mereka, sebagai filosof, kita berusaha mengidentifikasi akar-rasional dari persoalan itu.

Jika intuisi-moral kita benar terhadap pendapat Aristoteles (dan beberapa bahkan akan menyebut pandangannya disini seksis dan rasis), Aristoteles mungkin melakukan kesalahan terhadap persoalan-fakta atau keputusan (judgment) nilai atau keduanya.

Pastilah pendapat dia salah mengenai semua perempuan dan bangsa non-Yunani menjadi inferior secara esensial dibanding kaum lelaki atau bangsa Yunani dengan cara yang relevan, karena sejarah kebudayaan telah mendemonstrasikan bahwa, ketika diberi kesempatan, kaum perempuan dan bangsa non-Yunani telah menunjukan diri-mereka setara secara signifikan.

Namun tampak bahwa Aristoteles juga mungkin melakukan kesalahan, ia tiba-tiba melompat dari pendapat ketidak-setaraan faktual kepada keputusan (judgment) nilai dan karena penilaian itu, adalah benar bahwa mereka yang-inferior harus menjadi sub-ordinat secara sosial, hukum, politik dan ekonomi ---seperti Plato dan lainnya dalam kebudayaannya (untuk itu ia memohon maaf disini), Aristoteles tampak tidak memiliki konsepsi semacam hak-hak asasi manusia.

Seperti Plato, Aristoteles berpendapat tentang sebuah teori keadilan sosial atau personal yang objektif sebagai sebuah alternatif yang lebih menarik daripada teori yang relativistik dari kaum Sofis.

Meskipun terdapat suatu yang menarik dari pendekatan-empiris keadilan Aristoteles (dilawankan dengan pendekatan idealistik Plato), pendekatan-empiris membuatnya dikritik keras dalam keraguan posisinya terhadap perlunya memperoleh/menurunkan pendapat mengenai 'bagaimana sesuatu seharusnya ada' dari pendapat faktual tentang 'bagaimana sesuatu ada secara aktual'.

Pendekatan-empiris juga meninggalkan Aristoteles dengan perangkat yang sedikit dapat mencapai keberhasilan untuk menentukan sebuah perspektif universal, semacam hal yang akan menghargai kesetaraan kehormatan pada semua manusia

Sehingga teori Aristoteles, seperti teori Plato, cukup gagal untuk menghargai semua-orang sebagai pelaku-pelaku yang bebas dan rasional.

Mereka terlalu fokus dalam cara yang memandang rakyat tidak-setara, sehingga mereka tidak-dapat menilai kesetaraan moral apapun yang mendasar, yang mungkin menyediakan sebuah landasan bagi hak-hak asasi alamiah manusia.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Wednesday, March 9, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 3 : Yunani Kuno - Plato


Karya yang menunjukan kepiawaian terbaik dari Plato, buku Republic (kita telah mengacu kepadanya) merupakan sebuah analisis cermat terhadap konsep keadilan yang paling jelas serta mudah dipahami, meski buku itu jauh lebih-luas membahas konsep keadilan daripada yang seharusnya.

Socrates, guru Plato dan pembicara-utama dalam dialog, sangat-serius terlibat dalam sebuah diskusi tentang soal keadilan yang sesungguhnya dengan tiga lawan-bicara yang sudah disebutkan sebelumnya.

Socrates memancing reaksi Cephalus untuk mengeluarkan pendapat mengenai suatu hal, yang diputar olehnya menjadi pandangan bahwa keadilan pada pokoknya hanyalah melulu-soal tentang bicara kebenaran dan membayar kembali hutang-hutang seseorang.

Socrates, dengan mudah menghancurkan pandangan-simplistik itu menggunakan teknik-logika yang efektif dengan mengajukan sebuah contoh yang menentang pendapat (counter-example) :

"Jika seorang teman meminjamkan senjata kepada anda ketika ia dalam kondisi waras, tapi kemudian ia ingin mengambil kembali senjata itu untuk melukai banyak-orang karena telah menjadi gila, pasti anda seharusnya tidak mengembalikan senjatanya pada saat itu, dan bahkan seharusnya berbohong kepadanya jika perlu, untuk mencegah terjadinya serangan yang melukai banyak-orang."

Yang kedua, Polemarchus anak Cephalus masuk ke dalam arena diskusi dengan mendukung pandangan-tradisional yang sudah banyak-diketahui bahwa keadilan semuanya adalah tentang memberikan kepada orang apa hak-hak yang dimilikinya.

Namun persoalan dengan pendapat yang umum ini adalah terhadap penentuan 'siapa layak-menerima apa'.

Pendapat Polemarchus dapat mencerminkan pengaruh-budaya kaum Sofis, dalam hal menentukan 'siapa layak-menerima apa', ia membatasi bahwa itu tergantung pada apakah orang-itu 'teman' yang pantas menerima kebaikan kita atau 'musuh' yang layak untuk kita sakiti.

Perlu usaha keras bagi Socrates untuk menghancurkan teori-konvensi ini, namun ia mengembangkan lebih lanjut :

1. Kita semua dapat melakukan kesalahan untuk menentukan perihal 'siapa-kawan-sejati', sebagai lawan 'siapa-musuh- sebenarnya'. Sehingga 'apa-yang-tampak' disandingkan dengan 'kenyataan-sesungguhnya' menjadikan sulit untuk berpendapat bagaimana seharusnya kita memperlakukan orang-orang.

2. Setidaknya tampak sama-pentingnya antara 'apakah orang baik atau buruk' dengan 'apakah mereka teman atau musuh kita'.

3. Sama sekali tidak-jelas bahwa apakah keadilan harus memaklumi/memaafkan, tanpa tuntutan/syarat, terhadap tindakan kita yang sengaja menyakiti siapapun (Republic, pp. 5-11; 331b-335e).

Jika teori keadilan yang pertama tidak-memadai karena terlalu simplistik, maka yang kedua karena sangat berbahaya.


Yang ketiga dan terakhir, penjelasan konsep keadilan yang tidak-memadai, yang disajikan di sini adalah pendapat dari seorang Sofis, Thrasymachus.

Ia berteriak dalam diskusi, mengekpresikan sikap-melecehkan terhadap semua omong-kosong yang dihasilkan diskusi hingga sejauh ini, dan dengan berani, penuh keyakinan menegaskan bahwa keadilan adalah berkaitan dengan apapun yang menguntungkan bagi orang-orang yang lebih-kuat (apa yang sering kita sebut teori yang-kuat menciptakan kebenaran atau 'might makes right theory').

Tetapi siapa orang-orang yang 'lebih-kuat' ? Thrasymachus tidak-dapat bermaksud menunjuk secara fisik lebih-kuat, karena bila demikian manusia-manusia yang lemah (secara non-fisik misal kecerdasan) menjadi lebih-unggul di atas orang-orang biasa yang lebih-baik seperti mereka.

Ia menjelaskan gagasannya, bahwa ia mengacu kepada orang-orang yang memiliki kekuasaan-politik, yang menduduki posisi-posisi kepemimpinan.

Namun, selanjutnya, bahkan pemimpin-pemimpin yang paling-kuat sekalipun kadang melakukan kesalahan mengenai apa yang menguntungkan bagi rakyat, memunculkan pertanyaan tentang apakah rakyat harus melakukan apa yang diduga/disarankan oleh para-pemimpin merupakan keuntungan bagi mereka atau hanya melakukan apa yang memang nyata benar-benar menguntungkan bagi mereka.

(Andaipun Thrasymachus mengungkapkan kalimat itu dalam pengertian tentang apa yang memenuhi kepentingan/kebutuhan masyarakat itu sendiri, perbedaan yang sama antara 'apa-yang-tampak' disandingkan dengan 'kenyataan-sesungguhnya' tetap saja berlaku di sini).

Namun, diluar itu, Socrates menolak model-eksploitasi-kepemimpinan, yang melihat eksploitasi oleh orang-yang-unggul secara kekuasaan-politik kepada orang-yang-lemah sebagai suatu kepantasan (Thrasymachus menggunakan contoh tentang penggembala yang memelihara, menggemukkan dan melindungi sejumlah dombanya demi keuntungan pribadi), Socrates menggantinya dengan model-layanan (contoh yang dikemukakan adalah tentang dokter medis yang baik, yang mempraktekkan keahliannya terutama untuk kesehatan mental dan fisik bagi para pasien)

Sehingga, sekarang, andai saja apapun yang seperti itu (eksploitasi) diterima sebagai model bagi kita dalam hubungan-hubungan interpersonal, maka Thrasymachus dengan antusias-menerima pendapat bahwa 'ketidak-adilan' demi kepentingan-diri adalah lebih-baik daripada memenuhi/melayani kepentingan orang-lain atas nama 'keadilan'.

Namun kemudian, bagaimana kita melakukan interpretasi mana yang lebih-baik, antara hidup yang berkeadilan atau hidup dengan ketidak-adilan ?

Socrates menyarankan tiga-kriteria penjelasan untuk melakukan penilaian :

jalan-hidup yang lebih-cerdas, yang lebih-aman dan yang lebih-bahagia. Ia berpendapat bahwa hidup-yang-adil adalah lebih-baik di atas semua penjelasan tiga jalan hidup itu .

Dengan demikian, hingga akhir buku pertama, tampak seolah Socrates berhasil menjatuhkan ketiga pandangan tentang konsep keadilan yang tidak-memadai, meski dia sendiri berpendapat tidak-puas karena kita hanya menunjukkan apa yang bukan-keadilan, tanpa penjelasan yang menarik tentang hakekat-keadilan yang aktual (ibid., pp. 14-21, 25-31; 338c-345b, 349c-354c).

Begitu juga, dalam Gorgias, Plato berhadapan dengan Callicles yang mendukung pandangan bahwa, konvensi/kesepakatan apapun tampak mengatur ---keadilan-alamiah mengatur bahwa orang yang lebih-unggul harus berkuasa-atas dan mendapat keuntungan yang lebih-besar daripada orang yang lemah--- bahwa masyarakat merekayasa kesamaan orang-kebanyakan karena suatu bias yang cenderung kepada kesetaraan.

Socrates kemudian mengkritisi teori ini dengan melakukan analisis jenis-keunggulan apa yang relevan dan kemudian berpendapat bahwa Callicles secara-salah membela ketidak-adilan, yaitu sebuah nilai yang salah, daripada membela nilai yang murni dalam keadilan yang sesungguhnya (Gorgias, pp. 52-66; 482d-493c; see, also, Laws, pp. 100-101, 172; 663, 714 for another articulation of something like Thrasymachus’ position).


Dalam buku kedua Repulic, saudara-saudara Plato, Glaucon dan Adeimantus mengambil alih peran menjadi lawan-bicara utama Socrates. Dengan cepat mereka membuat jelas bahwa mereka tidak-puas terhadap argumen-argumen dari Socrates dalam mempertahankan konsep keadilan.

Glaucon mengingatkan kepada kita, bahwa terdapat tiga jenis-hal-baik yang berbeda ---yaitu hal yang bernilai-baik secara intrinsik seperti kesenangan, hal bernilai-baik hanya secara instrumental saja, seperti menghasilkan uang dan hal yang bernilai-baik secara intrinsik-juga-instrumental seperti kesehatan--- dengan maksud untuk bertanya, keadilan termasuk dalam jenis-hal-baik yang mana ? Socrates menjawab bahwa keadilan berada dalam kategori-ke-tiga, Socrates memberi penilaian yang paling banyak mengandung jenis-hal-baik.

Terhadap jawaban itu, Glaucon melakukan protes, bahwa Socrates telah gagal untuk membuktikan pokok-pendapatnya. Andai perdebatan Socrates melawan Thrasymachus mencapai sesuatu, apapun itu tidaklah menetapkan nilai-intrinsik apapun dalam keadilan.

Dengan demikian Glaucon mengambil peran sebagai pembela-kesesatan dan membangkitkan kembali posisi pendirian kaum Sofis, guna menantang Socrates demi menyanggah pendapatnya dalam bentuknya yang paling kuat.

Ia mengajukan pendapat untuk menjalankan peran itu dalam tiga langkah :

Pertama, ia berpendapat bahwa keadilan hanyalah kompromi-konvensional/kesepakatan melalui kompromi (antara mereka yang melukai orang-lain dengan kebal-hukum dan orang-orang yang menjadi korban yang tak-berdaya oleh mereka), yang disetujui oleh orang-kebanyakan demi kepentingan-egoistik untuk kebaikan-dirinya dan dipaksakan secara sosial (ini adalah versi-mentah dari apa yang kemudian menjadi teori keadilan kontrak-sosial dalam pendapat Hobbes).

Kedua, ia memberi ilustrasi dugaan fakta kecenderungan sifat-egois-alami kita untuk bersikap tidak-adil ---jika kita bisa menghindari ketidak-adilan itu, seperti pada sebuah kisah tentang cincin Gyges, yang memberi kekuatan kepada pemakainya untuk menghilang kapanpun diinginkan sehingga terhindar dari tindakan tidak-adil yang paling-menyakitkan--- yang merupakan godaan pada setiap orang yang menyebabkan segera atau lambat, akan menyerah secara rasional.

Dan yang ketiga, ia berupaya untuk menunjukkan adalah lebih-baik untuk menjalani hidup secara tidak-adil daripada adil, jika seseorang ---dengan membandingkan orang yang tidak-adil namun dinilai adil dengan orang yang adil namun dinilai tidak-adil--- dapat berpendapat bahwa, tentu akan lebih baik menjadi tidak-adil (yang pertama) daripada menjadi (yang kedua).

Nyaris segera setelah Glaucon mengakhiri pendapatnya, saudaranya Adeimantus melompat ke dalam diskusi untuk menambah dua-poin lagi pada persoalan melawan konsep keadilan yang dipertahankan Socrates :

Pertama, para orang-tua memerintahkan anak-mereka untuk bersikap adil bukan karena keadilan adalah hal-baik dalam dirinya-sendiri namun hanya karena keadilan cenderung memberi-keuntungan bagi mereka.

Dan kedua, ajaran-ajaran relijius tidak efektif mendorong kita untuk menghindari sikap tidak-adil dengan beralasan para-dewa akan menghukum tindakan tidak-adil dan agar mengejar keadilan dengan alasan para-dewa akan memberi balasan-imbalan, karena bahkan para-dewa mungkin tidak-ada atau jika mereka ada, para-dewa mungkin tidak-perduli dengan kita atau jika para-dewa mencermati perilaku manusia, mereka dapat meratakan (membuat-sama dengan mengabulkan doa atau memaafkan kesalahan) melalui permohonan doa dan pengorbanan agar menjauhkan kita dari tindakan-salah (Republic, pp. 33-42; 357b-366e).

Maka, tantangan bagi Socrates dari saudara-saudara Plato adalah untuk menunjukan hakekat-keadilan dan bahwa keadilan adalah bernilai-baik secara intrinsik daripada hanya dapat-diinginkan karena konsekuensi-konsekuensinya yang bersifat-kontingen.


Dalam mempertahankan konsepsi keadilan melawan kritik kaum Sofis ini, Plato menampilkan Socrates membangun teori-positifnya sendiri.

Teorinya disusun dengan menggunakan suatu analogi perbandingan konsep keadilan pada skala besar, seperti penerapannya pada sebuah masyarakat, dengan konsep keadilan pada skala yang lebih kecil, seperti diterapkan pada sebuah jiwa individual (soul).

Sehingga, keadilan dilihat sebagai suatu keutamaan paling-dasar (esensial), suatu hal-baik dalam sebuah negara-politik juga suatu hal-baik pada karakter personal.

Strategi penjelasannya disandarkan pada gagasan negara adalah mirip seperti individu dengan skala lebih-besar ---negara dan individu masing-masing tersusun oleh tiga bagian-utama sedemikian rupa, sehingga menjadi penting bagaimana bagian-bagian itu saling berhubungan--- dan bahwa menganalisa keadilan pada skala lebih besar akan mempermudah melakukan hal yang sama pada skala yang lebih kecil.

Dalam buku IV, setelah dengan cepat dan kurang hati-hati membuat cetak-biru republik-yang-ideal, Socrates bertanya kepada Glaucon, dimana keadilan dapat ditemukan, namun mereka setuju harus mencarinya bersama-sama. Mereka sepakat bahwa, jika mereka berhasil menetapkan dasar-dasar tentang sebuah masyarakat yang 'baik-sempurna', maka dasar-dasar itu harus terdiri dari empat keutamaan-penting yaitu kebijaksanaan, keberanian, kontrol-diri, dan keadilan.

Jika mereka mampu mengidentifikasi dengan memadai tiga-dasar yang lain dari empat-dasar itu, apapun satu-dasar tersisa, keadilan pasti tetap merupakan keutamaan paling-dasar yang mutlak-diperlukan (esensial) untuk melengkapi menjadi sebuah masyarakat yang 'baik-sempurna'.

Kebijaksanaan dipegang-teguh untuk menjadi penilaian yang hati-hati bagi para-pemimpin, keberanian adalah kualitas dalam mempertahankan atau melindungi, dengan keberanian mereka tetap kuat dalam keyakinan dan komitmen menghadapi rasa takut, dan pengendalian-diri (atau moderasi) adalah keutamaan yang harus ditemukan pada ke tiga kelas warga-negara ---namun lebih khusus pada kelas produsen--- yang membuat mereka (semua kelas warga-negara) mampu untuk bersepakat secara harmonis bahwa para-pemimpin harus memimpin dan yang-lainnya harus mengikuti.

Sehingga sekarang, dengan analisis proses-eliminasi ini, apapun yang tersisa, yang paling dasar dan diperlukan (esensial) bagi sebuah masyarakat yang 'baik-sempurna' diduga adalah keadilan

Konsepsi keadilan di atas selanjutnya berubah menjadi :

"Keadilan berarti melakukan pekerjaannya-sendiri dan tidak mencampuri pekerjaan yang bukan-pekerjaannya dan tanggung-jawabnya."

Sehingga sisi-positif keadilan sosial-politik adalah masing-masing orang melakukan tugas yang dibebankan kepadanya, sedang sisi-negatif adalah tidak mengganggu orang-lain melakukan tugas yang diberikan pada mereka

Sekarang kita bergerak dari level-makro masyarakat-politik ini menuju level-mikro psikologis dari jiwa-individual, dengan penekanan analogi yang telah disebutkan di atas.

Plato menampilkan Socrates menyajikan sebuah argumen yang dirancang dengan maksud menunjukan bahwa akal (reason) adalah bagian di dalam jiwa ---yang mirip dengan para pemimpin atau penjaga pada sebuah negara--- adalah berbeda dengan bagian nafsu-materialistik (appetives) ---yang mirip dengan kelas-produktif--- juga berbeda dengan roh (spirit) bagian dari jiwa yang lain ---yang mirip dengan para pembela atau 'pendukung' pada sebuah negara--- dan bahwa bagian nafsu-materialistik (appetives) dengan bagian roh (spirit) juga berbeda.

Dengan menetapkan kesetaraan secara paralel antara tiga bagian-negara dan tiga bagian-jiwa, analogi yang sama mengajukan pendapat bahwa sebuah jiwa yang 'baik-sempurna' juga harus memiliki empat keutamaan penting.

Sebuah jiwa yang baik adalah bijaksana, dengan memiliki penilaian yang baik yang diatur oleh akal (reason). Adalah keberanian yang berada di dalam roh (spirit) yang siap, berkehendak dan mampu berjuang demi untuk keyakinannya menghadapi ketakutan. Dan adalah pengendalian-diri (atau moderasi) yang mengintegrasikan secara harmonis karena semua-bagian ---khususnya nafsu-materlialistik (appetives) yang berbahaya--- sepakat selalu dibawah kendali akal (reason).

Dan, sekali lagi, apa yang tersisa adalah yang-paling-dasar yaitu keadilan, dengan begitu setiap bagian-jiwa melakukan kerja dengan tujuan-alamiah (sesuai sifatnya), tidak ada diantara bagian-bagian saling menganggu fungsi bagian lainnya

Satu pertanyaan penting perlu dijawab :

Dapatkah kita menunjukan keadilan yang dipahami sedemikian rupa sehingga lebih-baik daripada ketidak-adilan dalam dirinya-sendiri dan tidak hanya karena sekedar konsekuensi-konsekuensinya ? Jawabannya adalah tentu saja, kita mampu karena keadilan adalah kesehatan dari jiwa.

Adil sebagai kesehatan-jiwa adalah hal-baik secara intrinsik dan tidak-hanya secara instrumentalis, demikian juga keadilan. Sedang ketidak-adilan adalah sebuah penyakit-buruk dan dihindari, bahkan jika belum memiliki kosekuensi-konsekuensi yang tidak-diinginkan, bahkan jika tak seorangpun menyadari/mengetahui konsekuensi-konsekuensinya.

Sekarang, mari kita sekilas melihat bagaimana Plato menerapkan teori keadilan ini kepada sebuah persoalan sosial yang khusus, sebelum dengan ringkas membahas teorinya secara kritis.

Di dalam buku V Republic, Plato berdebat tentang kesempatan yang sama (kesetaraan) bagi perempuan.

Ia berpegang pendapat bahwa, meskipun kaum perempuan cenderung lebih lemah secara fisik dibanding lelaki, kondisi ini seharusnya tidak membuktikan adanya penghalang-besar bagi mereka untuk dididik fungsi-fungsi sosial-politik yang sama dengan para lelaki termasuk level-level atas untuk tanggung-jawab kepemimpinan.

Sementara tubuh memiliki suatu jenis kelamin, jiwa memiliki budi-luhur atau jahat.

Disamping perbedaan peran dalam prokreasi, melahirkan dan merawat bayi, tidak ada alasan secara prinsip, mengapa seorang perempuan harus menjadi tidak cerdas dan bijaksana ---termasuk adil--- seperti lelaki jika terlatih dengan memadai.

Sejauh mungkin, lelaki dan perempuan seharusnya berbagi beban kerja yang sama (Republic, pp. 125-131; 451d-457d).

Meski demikian, kita seharusnya mencatat bahwa alasannya adalah demi kebaikan-umum bagi komunitas bukan ketertarikan apapun kepada apa yang disebut hak-hak perempuan.

Namun, banyak diantara kita hari ini memiliki simpatik kepada penerapan keadilan ini untuk mendukung sebuah pandangan yang tidak menjadi populer untuk dua milenium ke depan.


Apa teori tentang keadilan dari Plato sendiri ?

Bagian negatif dari teorinya ---kritiknya terhadap pandangan-pandangan konsep keadilan yang tidak-memadai--- adalah sebuah rangkaian-argumen piawai melawan upaya untuk mereduksi konsep keadilan menjadi sepasang aturan-simplistik (Cephalus), untuk memperlakukan orang hanya sesuai dengan bagaimana-perasaan kita pada mereka (Polemarchus) dan untuk mentalitas kekuasaan-politik untuk melakukan ekploitasi kepada mereka demi mencapai tujuan kepentingan-egoistik kita sendiri (Thrasymachus).

Semua pandangan-pandangan mengenai seseorang atau masyarakat yang adil di atas, memadukan semacam relativisme atau/dan subjektivisme yang telah kita identifikasi/ketahui pada kaum Sofis.

Oleh karena itu, efek penyanggahan terhadap pandangan-pandangan itu, Plato juga membuktikan-kesalahan/menyanggah pandangan-pandangan kaum Sofis

Meski demikian, setelah membentuk bangunan-besar, bagian positif ---konsep keadilan yang dijaga dan dipertahankan olehnya--- berubah menjadi konsep yang mengecewakan. Konsepsinya tentang keadilan mereduksi keadilan menjadi keteraturan.

Meski beberapa pengertian-objektif keteraturan relevan terhadap keadilan, pereduksian ini tidak-menangkap cukup memadai terhadap gagasan tentang menghargai semua-orang, secara individual dan kolektif sebagai seorang agen-rasional yang bebas.

Analogi antara negara dan jiwa (soul) adalah jauh, terlalu rapuh untuk mendukung pendapat bahwa negara dan jiwa harus sesuai pada masing-masing tiga-bagian yang dimiliki.

Pendekatan proses-eliminasi untuk menentukan hakekat-keadilan hanya dapat berhasil jika ke-empat keutamaan itu disingkirkan dari daftar apa yang paling-mendasar (esensial) dari ke-empat-nya.

Namun apakah ke-empat keutamaan itu benar-benar hal-mendasar (esensial) ? Sebagai contoh bagaimana dengan keutamaan kristinianitas tentang cinta atau keutamaan sekuler dari kemurah-hatian.

Pada akhirnya, argumen dari analogi yang menunjukkan bahwa keadilan harus bernilai intrinsik dan tidak sekedar instrumentalis (karena keadilan seperti kesehatan yang memiliki kombinasi nilai-baik ), dalam pertimbangan secara kritis, terbukti menjadi gagal.

Teori dari Plato, jauh lebih mengesankan dibanding pandangan impresionis dari kaum Sofis, dan itu akan membuktikan pengaruh yang sangat kuat dalam mendukung dan mengangkat konsep keadilan sebagai nilai-objektif dan bebas-kepentingan

Namun demikian, seseorang tidak-dapat berhenti berharap bahwa sebuah teori yang kuat dan meyakinkan mungkin dapat dikembangkan.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Saturday, February 19, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 2 : Yunani Kuno


Terhadap segala orisinilitas-konsepsi mereka, bahkan filsafat-filsafat Plato dan Aristoteles tidaklah muncul dalam ruang-hampa. Karena jauh kebelakang dalam literatur Yunani kuno seperti Homer, konsep tentang 'dikaion' (keadilan) ---digunakan untuk mendeskripsikan seorang yang adil--- adalah penting.

Dari sana, muncul 'konsep-umum' tentang 'dikaiosune' atau keadilan sebagai sebuah keutamaan yang dapat diterapkan pada masyarakat-politik. Soal mengenai apa yang-dapat atau tidak-dapat dikualifikasikan sebagai keadilan secara logis dapat mengarah kepada kontroversi, terkait dengan perihal asal-muasal keadilan, begitu juga dengan esensinya.

Mungkin bantuan yang efektif untuk memahami kekuatan dari pemikiran mereka adalah dengan memandangnya dalam konteks ajaran-ajaran dari kaum Sofis, guru-guru keliling pada abad ke-5 SM masa Yunani kuno yang mencoba menjadikan diri mereka 'sosok-manusia-bijaksana'

Dalam persidangannya, Sokrates bersusah payah agar dirinya tidak diasosiasikan dengan kaum Sofis, setelah pengakuannya menolak untuk menyelamatkan diri ---seperti tipikal yang biasa dilakukan kaum Sofis--- dengan melakukan aksi-pembangkangan sipil untuk membebaskan diri. (Dialogues, pp. 24-26, 52-56; 18b-19d, 50a-54b)

Plato lebih bertanggung jawab dibanding filsuf-lain karena menjuluki kaum Sofis dengan nama-buruk yang melekat pada mereka hingga saat ini dan Aristoteles mengikuti Plato dengan sedikit menggunakan kaum Sofis sebagai instruktur-instruktur mengenai retorika, filsafat, nilai-nilai dan kunci-kunci untuk kesuksesan

Jadi apa yang telah membuat tiga filsuf besar ini (dibaca harafiah 'pencinta kebijaksanaan') diketahui secara ideologis sangat menolak dan melawan terhadap kaum Sofis ? Jawaban singkat adalah relativisme dan skeptisisme dari kaum Sofis.

Salah satu yang paling penting, Protagoras menangkap relativisme dengan ungkapannya yang terkenal :

"Manusia adalah ukuran segala-sesuatu, untuk suatu yang-ada maka ia ada, untuk suatu yang tak-ada, maka ia tak-ada."

Dan dia berbicara tentang skeptisisme dengan sebuah deklarasi-agnotisme perihal eksistensi dewa-dewa.

Gorgias (Plato memberi judul dialog dalam karyanya dengan nama keduanya Protagoras dan Gorgias) diingat karena pukulan tiga-bagian pernyataan skeptisisme, ia memegang pendapat bahwa :

"Sesungguhnya tidak-ada sesuatupun yang benar-benar ada. Bahwa, bahkan jika sesuatu itu benar-benar ada, kita tidak-dapat merengkuh pengetahuan tentangnya. Dan bahwa jika kita dapat merengkuh pengetahuan sesuatu yang nyata kita tidak dapat mengekspresikan pengetahuan itu kepada orang lain."

Jika semua-nilai adalah subjektif dan/atau tidak-dapat diketahui, maka apa yang menjelaskan keadilan, direduksi menjadi sebuah persoalan perubahan-pendapat (opini). Kita dengan gampang dapat membayangkan, bagaimana kaum Sofis menerapkan relativisme dan skeptisisme dalam konsep keadilan.

Sebagai contoh, Thrasymachus (sosok yang digambarkan pada buku pertama karya Plato berjudul Republic) diduga telah mengatakan bahwa pastilah tidak-ada dewa-dewa yang perduli/memperhatikan kepada kita-manusia, karena sementara keadilan adalah kebaikan-tertinggi kita, manusia umumnya melakukan tindakan ketidak-adilan.

Namun pernyataan kaum Sofis yang paling signifikan perihal keadilan dapat dikatakan berasal dari Antiphon, yang menggunakan perbedaan karakteristik antara adat-kebiasaan (nomos) dan alam (physis) dengan pengaruh yang merusak.

Ia berpendapat bahwa hukum-hukum tentang keadilan, sebagai persoalan konvensi/kesepakatan, harus dipatuhi ketika orang-lain mengamati/mengawasi kita dan dapat mengikat kita dengan pertanggung-jawaban tetapi sebaliknya tidak dengan hukum keadilan-alam, kita dengan begitu-saja harus mengikuti tuntutan-tuntutan hukum keadilan-alam.

Hukum-hukum keadilan-konvensi/kesepakatan bersumber dari luar, dengan kondisi melibatkan pelayanan memberi kebaikan bagi orang-lain, sedang tuntutan-tuntutan hukum keadilan-alam bersifat internal, melayani kepentingan-sendiri.

Antiphon bahkan mengajukan pendapat bahwa mematuhi hukum-hukum keadilan-konvensi/kesepakatan seringkali merubah-keadaan kita yang tak-berdaya menjadi yang-kuat dan tidak menjadi korban. (First, pp. 211, 232, 274, 264-266).

Jika ada suatu nilai-objektif semacam keadilan-alam, maka adalah masuk-akal bagi kita untuk berusaha mencapai sebuah pemahaman-rasional tentangnya.

Di sisi lain, jika keadilan hanyalah sebuah konstruksi tentang konvensi/kesepakatan adat, maka pencarian-panjang seperti itu pasti membuat frustasi dan mengalami kegagalan. Dengan latar-belakang ini, kita seharusnya mampu untuk melihat apa yang telah mendorong Plato dan Aristoteles untuk mencari sebuah alternatif yang kuat terhadap konsepsi keadilan.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Thursday, February 17, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 1 : Pengantar


Keadilan merupakan salah-satu dari sejumlah konsep moral dan politik yang paling-penting. Kata 'justice' berasal dari bahasa latin 'jus' yang berarti hak/kebenaran atau hukum. Kamus Oxford English Dictionary mendefinisikan seorang-yang-adil ('just' person) sebagai seorang dengan ciri tipikal 'melakukan apa yang benar-secara-moral' dan cenderung-baik untuk 'memberikan kepada setiap-orang hak-hak yang dimilikinya', Kamus ini menawarkan kata 'fair' sebagai sebuah sinonim.

Namun para-filsuf ingin melampaui definisi-definisi etimologi dan kamus-bahasa untuk meninjau keadilan, sebagai contoh, sifat-dasar keadilan sebagai sebuah karakter keutamaan-moral sekaligus sebuah kualitas yang didamba dari suatu masyarakat-politik, begitu juga dengan bagaimana penerapan keadilan pada pengambilan-keputusan etis dan sosial.

Artikel ini akan fokus membahas konsepsi-konsepsi filosofi-barat mengenai keadilan. Konsep-konsep ini merupakan teori-teori terbaik dari masa Yunani kuno (Plato dan Aristotelas) dan dari Kristianitas masa abad-pertengahan (Augustine dan Aquinas), dua dari masa modern-awal (Hobbes dan Hume), dua dari masa modern-yang-lebih-akhir (Kant and Mill) dan beberapa dari masa kontemporer (Rawls dan beberapa penerusnya).

Tipikal artikel ini, tidak hanya meninjau teori-teori mereka tentang keadilan tetapi juga bagaimana para-filsuf menerapkan teori-teori mereka sendiri kepada isu-isu sosial yang kontroversial ---sebagai contoh soal pembangkangan-sipil, hukuman, kesempatan yang sama bagi kaum-wanita, perbudakan, hak-hak kepemilikan dan hubungan-hubungan internasional.

Bagi Plato, keadilan adalah suatu keutamaan menetapkan aturan-rasional, dengan setiap-bagian melakukan sesuai peran masing-masing dan tidak mengganggu fungsi dari bagian-bagian yang lain.

Aristoteles berpendapat keadilan tersusun dari apa yang sah-secara-hukum dan fair, dengan sifat-fair yang melibatkan distribusi-yang-sama dan koreksi terhadap apa-yang-tidak-sama.

Bagi Agustinus, keutamaan-keadilan pada seorang kardinal mensyaratkan bahwa kita berupaya untuk memberikan kepada semua-orang hak-hak yang dimilikinya, bagi Aquinas, keadilan adalah rerata-rasional diantara sejumlah ketidak-adilan, melibatkan distribusi-distribusi proposional dan transanski dua-arah.

Hobbes meyakini keadilan adalah suatu keutamaan-artifisial, kebutuhan mutlak bagi masyarakat-beradab, sebuah fungsi kesepakatan-kesepakatan-sukarela dari kontrak-sosial, bagi Hume, keadilan pada dasarnya melayani kebutuhan-publik dengan perlindungan terhadap kepemilikan (dipahami secara luas).

Bagi Kant, keadilan adalah sebuah keutamaan dimana-dengannya kita menghargai kebebasan, otonomi dan harkat-martabat orang lain dengan tidak mengganggu tindakan-tindakan-sukarela mereka, selama tindakan-tindakan itu tidak melanggar hak-hak orang-lain, Mill berkata keadilan adalah suatu penyebutan-kolektif bagi kebutuhan-kebutuhan-sosial yang paling-penting, yang kondusif bagi pembinaan dan perlindungan kebebasan-manusia.

Rawls menganalisa keadilan dalam hal mengenai persamaan-kebebasan ditinjau dari hak-dan-kewajiban dasar bagi semua anggota masyarakat, menyertai adanya ketidak-samaan sosial-ekonomi memerlukan justifikasi-moral dalam hal kesempatan dan hasil-manfaat yang sama bagi semua anggota masyarakat, dan bermacam filsuf post-Rawlsian mengembangkan konsepsi-konsepsi alternatif yang berbeda.

Para filsuf barat secara umum menilai keadilan sebagai yang-paling-mendasar dari semua-keutamaan untuk mengatur hubungan-hubungan antar personal dan menetapkan serta menjaga suatu masyarakat-politik yang stabil.

Dengan penelusuran peran-historis dari teori-teori ini, apa yang menjadi disuarakan adalah sebuah perkembangan-pemahaman mengenai keadilan dalam hal menghargai seseorang sebagai pelaku (agen-agen) yang bebas dan rasional. Seseorang mungkin dapat tidak-sepakat tentang sifat, dasar dan aplikasi yang legitim mengenai keadilan, namun itu adalah intinya.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi