Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, April 8, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 6 : Kristianitas Abad Pertengahan - Agustinus


Aurelius Augustine terlahir dan dibesarkan di provinsi Afrika Utara yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi, selama hidupnya, ia mengalami ketidak-adilan, perilaku menindas dan merusak dari Kekaisaran Romawi.

Pengalaman personal ini, dalam tegangan-dialektikal dengan gagasan-gagasan Kristianitas, telah memberinya latar belakang yang dramatis terhadap nilai-nilai keagamaannya.

Secara filosofis, dia sangat dipengaruhi oleh pemikir neo-Platonis seperti Plotinus.

Pemikiran Platonisme Kristiani-nya terbukti dalam dialog filosofis pada karyanya berjudul 'Tentang Pilihan Bebas dari Kehendak' (On Free Choice of the Will), dalam karya itu ia menerima dengan antusias pandangan Plato tentang empat pusat keutamaan-moral (yang kemudian disebut 'cardinal' dari bahasa latin yang berarti 'engsel', ini dapat dibayangkan secara metaforis sebagai empat 'engsel' yang menjadi poros pintu moralitas)

Empat keutamaan-moral itu adalah kehati-hatian (pengganti untuk bijaksana), keberanian, pengendalian diri dan keadilan. Konsepsinya tentang keadilan adalah salah satu yang paling dikenal yaitu keadilan sebagai 'sebuah keutamaan dengannya memberi kepada semua orang hak-hak yang dimilikinya'.

Namun konsep keadilan itu terkait dengan sesuatu yang baru dan khas Kristen ---pandangan yang membedakan antara hukum-temporal, seperti hukum-negara dan hukum-kekal-ilahi.

Hukum-kekal-ilahi menetapkan perintah dari kuasa-ilahi. Dan karena semua hukum-temporal atau hukum-manusia harus selaras dengan hukum-kekal-ilahi, Agustinus menarik kesimpulan yang menarik, dan berbicara dengan nada menyerang dalam kalimat 'suatu hukum yang tidak-adil sama-sekali bukanlah hukum' sebuah frasa yang tampak bertentangan (Choice, pp. 20, 11, 8; cf. Religion, p. 89, for an analysis of justice that relates it to love).

Oleh karena itu, suatu hukum-sipil dalam negara yang melanggar hukum-kekal-ilahi tidaklah mengikat secara moral dan sah untuk tidak-dipatuhi dalam kesadaran demi kebaikan. Hal ini memiliki pengaruh yang dalam dan terus berlanjut dalam etika Kristiani.

Dalam karya master-piecenya, Kota Ilahi (The City of God), Agustinus menarik kesimpulan dramatis dari posisi itu, bahwa Kekaisaran Romawi tidak pernah merupakan sebuah masyarakat-politik yang benar-benar adil.

Ia mengekspresikan ketidak-sukaannya pada sejarah panjang kekuasaan Romawi dengan kalimat 'kemuakan pada ketidak-adilan'. Bangsa Romawi selalu menyembah dewa-dewa, termasuk kategori 'Kota Bumi' dan 'keadilan sesungguhnya' dapat ditemukan hanya dalam sebuah 'Kota Ilahi' Kristiani.

Seorang yang adil, bukan orang dengan kekuasaan-penuh harus memerintah untuk kebaikan-bersama bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi sendiri.

Ia membandingkan secara gamblang masyarakat yang tidak-adil, berdasar pada kekuasaan/kekuatan bukan berdasar pada kebenaran/hak, dalam kalimat 'gang para-kriminal dengan skala-besar', karena tanpa keadilan, suatu kerajaan atau kekaisaran hanya diatur dengan perintah sewenang-wenang dari otoritas beberapa pemimpin.

Sebuah masyarakat-adil yang asli harus didasarkan pada cinta Kristiani, keteraturan penuh damai ditetapkan dengan dua aturan dasar berikut ---bahwa orang tidak melukai siapapun dan mereka harus berusaha menolong setiap orang hingga tingkatan maksimal yang dapat dilakukan (City, pp. 75, 67, 75, 138-139, 873).


Disamping ikatan Kristiani-nya kepada cinta dan perdamaian, Agustinus bukanlah seorang pasifis dan mendukung 'perang-yang-adil' sebagai suatu yang diijinkan secara moral dan bahkan sebagai kewajiban moral.

Setiap perang bertujuan mencapai sebuah keteraturan di atas semacam perdamaian yang langgeng, sementara suatu perang-yang-tidak-adil bertujuan untuk menetapkan perdamaian-yang-tidak-adil di atas dominasi, perang-yang-adil bertujuan untuk menetapkan suatu 'perdamaian-yang-adil'.

Ia setuju dengan Cicero bahwa suatu perang-yang-adil haruslah defensif daripada agresif ibid., pp. 861-862, 866, 868-869, 1031).

Dalam sebuah surat (# 138) kepada Marcellinus, Agustinus menggunakan kitab-suci untuk menolak pendapat bahwa doktrin Kristen terikat kepada pasifisme, meskipun demikian bila perlu, perang harus dibayar/dibalas dengan cinta-tulus kepada musuh. Dalam sebuah surat (# 189) kepada Boniface, dia tetap bertahan bahwa orang yang saleh dan benar secara moral bisa menjadi anggota pasukan-perang, sekali lagi ia mengutip kitab-suci untuk mendukung posisinya

Ia mengulangi pandangan bahwa sebuah perang-yang-adil harus menuju keadilan dalam perdamaian yang kekal dan berpegang teguh bahwa seseorang harus memegang keyakinan bersama musuh dan sekutunya, meskipun dalam panasnya perang yang mengerikan.

Bahasan yang paling penting terhadap teori perang-yang-adil termaktub dalam tulisannya berjudul Against Faustus the Manichean, dimana ia menganalisa setan-setan perang dalam pengertian nafsu untuk melukai orang-lain dan berharap untuk mendominasi orang-lain.

Sebagai tambahan syarat bahwa suatu perang-yang-adil harus bertujuan pada sebuah perdamaian yang kekal dan adil, syarat kedua adalah bahwa perang-yang-adil harus dideklarasikan oleh seorang pemimpin atau bagian para pemimpin, dengan otoritas untuk melakukan itu, setelah bersepakat bhwa itu adalah keadilan. Sekali lagi Agustinus membuat jelas bahwa dia bukanlah seorang pasifis.(Political, pp. 209, 219-223).


Meskipun hal-itu merupakan penerapan teori-keadilannya yang sangat bernilai, doktrin tentang perang-yang-adil ini bertahan dari ujian-waktu hingga hari ini, namun teori-umum yang menjadi dasar lebih problematis.

Konsepsi keadilan yang tidak asli (dan tidak menginspirasi yaitu memberi kepada yang lain hak-haknya) dikenal telah menjadi basi.

Konsep itu masih tetap rapuh terhadap persoalan serius tentang kejelasan soal yang telah ditinjau sebelumnya : apa kriteria relevan yang harus menentukan siapa menerima apa, dan siapa yang cocok untuk melakukan penilaian itu.

Tetapi Agustinus juga memperoleh suatu manfaat dari konsep keadilan Yunani kuno ketika mencapai sebuah teori keadilan yang didasarkan pada kesamaan-universal dalam penjelasan tentang doktrin Kristianitas (tidak untuk disebutkan karena pengaruh-pengaruh dari Cicero, para Stoik dan Plotinus) bahwa semua manusia adalah sama-anak-ilahi.

Sayang, keinginan kuatnya dalam dakwah Kritiani mengarahkan dirinya melakukan identifikasi keadilan itu sendiri, dalam suatu cara yang mengundang polemik ketidaksetujuan, intoleran terhadap gagasan Kristianitas gereja yang disyaratkan Tuhan, sedemikian rupa sehingga menurutnya hanya suatu masyarakat Kristiani yang mungkin dapat dikualifikasikan adil, seolah jika sebuah masyarakat politik yang adil membutuhkan adanya bentuk pemerintahan teokrasi.

Sehingga, meski dia memiliki pengertian semacam kesamaan moral atau spiritual diantara manusia, itu bukanlah persoalan penghargaan-yang-sama bagi semua orang sebagai pelaku-pelaku (agen) yang bebas, sebagai contoh menerima institusi perbudakan sebagai sebuah hukuman yang adil untuk dosa ---di luar kepercayaan bahwa Tuhan aslinya menciptakan manusia dalam kodrat bebas-alamiah--- karena gagasan bahwa kita semua telah dirusak oleh dosa-asal (City, pp. 874-875).


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


No comments:

Post a Comment