Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, December 29, 2018

Pertalian Filsafat Islam dengan filsafat-filsafat sebelum dan sesudahnya

Baik perselisihan nama atau kandungannya, namun jelas bahwa filsafat Islam mempunyai corak tersendiri dan problema-problemanya yang khas serta kepribadiannya sendiri sehingga ia memberikan sumbangan yang tidak bisa diremehkan dalam kerja kemanusiaan dan telah mempunyai tampatnya sendiri dalam kebudayaan dunia.

Tempat itu akan nampak jelas dari tinjauan berikut ini.


Filsafat Islam dan Filsafat Masehi

Kekeliruan ahli-ahli Ketimuran (orientalis) pada abad ke-19 Masehi adalah bahwa mereka mendasarkan pendapatnya tentang filsafat Islam hanya kepada beberapa buku karangan Abad Pertengahan yang berbahasa Latin dan Ibrani.

Apabila semua sumber telah dapat dikumpulkan, maka filsafat Islam akan semakin jelas bentuknya, karena itu harus dipelajari dulu sumber-sumbernya yang berbahasa Arab.

Meskipun filsafat Islam hingga kini belum diselidiki seluas-luasnya, dan buku-bukunya belum diterbitkan semua, namun sudah dapat dipastikan kepadatan isi dan luas daerah pembahasannya, lebih banyak kebebasannya dan lebih tinggi daya kreasinya, bila dibandingkan dengan filsafat Masehi pada abad-abad Pertengahan.

Kalau kita mengakui Skolastika Masehi, maka kita harus mengakui adanya filsafat Islam atau Skolastika Islam, baik dalam pembicaraanya maupun dalam uraian-uraiannya.

Banyak buku karangan al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diantara pikiran-pikiran mereka ada yang telah membentuk suatu aliran filsafat di Eropa.

Kedudukan filsafat di Timur sama dengan "filsafat Hellenisme" di Barat. Kedua filsafat ini ditambahkan dengan filsafat Yahudi, menjadi dasar pemikiran Abad Pertengahan.

Untuk mengetahui kedudukan filsafat Islam maka kita harus menghubungkannya dengan "filsafat Kuno" dan "filsafat Moderen".


Filsafat Islam dan Filsafat Yunani

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani.

Filosof-filosof Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan sangat tertarik dengan pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil.

Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian, terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya dan berguru pada mereka.

Kita saja yang hidup pada abad ke-20 ini, dalam banyak hal masih berhutang budi pada orang-orang Yunani dan Romawi.

Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan hanya mengutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, seperti apa yang dikatakan Renan atau dari Neo-Platonisme seperti dikatakan Durkheim karena filsafat Islam telah menampung dan mempertemukan berbagai-bagai aliran pikiran.

Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya pula.

Perpindahan dan pertukaran pikiran tidak selalu berhutang budi. Sesuatu persoalan kadang-kadang dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak dan hasilnya dapat bermacam-macam corak. Seseorang bisa mengambil persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teori dan pikirannya sendiri.

Spinoza misalnya, meskipun banyak mengikuti Descartes, namun ia mempunyai mazhabnya sendiri. Ibnu Sina meskipun murid setia dari Aristoteles, namun ia mempuyai pikiran-pikiran yang berlainan.

Filosof-filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filosof-filosof lain, dan pengaruh-pengaruh lingkungan dan suasana terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan.

Pada akhirnya tidaklah bisa dipungkiri bahwa dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.


Filsafat Islam dan Filsafat Baru

Pada abad yang lalu banyak penyelidikan yang dilakukan untuk mencari sumber filsafat Baru pada filsafat Skolastika Masehi. Kalau filsafat terakhir ini banyak terpengaruh oleh filsafat Islam, maka tidaklah mengherankan kalau filsafat Islam dengan filsafat Baru terdapat hubungan.

Suatu hal yang dimaklumi, filsafat Baru timbul karena adanya "Aliran Empiris" Francis Bacon (1626) yang menjadi titik tolak kebangunan ilmu-ilmu praktis, dan karenanya ada "Aliran Rasionalis" dari Descartes atau "Metode Skeptis"-nya yang mengembangkan kritik-kritik terhadap ilmu berpikir.

Sebenarnya sebelum Francis Bacon ada beberapa orang Skolastika Masehi yang merintis Empirisme dan mengarahkan perhatiannya kepada alam terutama Roger Bacon (1214-1294) yang dikatakan oleh Renan "tokoh pikir abad". Ia tidak puas kalau hanya mengadakan eksperimen dan percobaan-percobaannya dalam soal-soal kimia, tetapi ia juga menerapkan ilmu matematikanya pada ilmu alam, supaya mendapatkan hasil yang lebih teliti.

Roger Bacon tersebut sangat erat hubungannya dengan dunia pikir. Oleh karena itu "Empiris"-nya Bacon, bahkan "Empirisme masa baru", ada hubungannya dengan penyelidikan dan peneropongan bintang dan laborotaria-laborotaria yang pernah diadakan oleh kaum Muslimin.

"Metode Skeptis" dari Descartes terdapat bandingannya bahkan benih-benihnya pada abad-abad Pertengahan Masehi, harus dihubungkan pula dengan abad-abad Pertengahan Islam. Sebab kalau sekiranya Descartes tidak terpengaruh oleh al-Ghazali, maka sekurang-kurangnya kita bisa mengadakan perbandingan "Skeptisisme Descartes" dengan "Skeptisisme al-Ghazali".

Terjadinya perpindahan pikiran-pikiran selalu dimungkinkan, mengingat bahwa masa filsafat Skolastika Masehi dan Yunani yang erat hubungannya dengan filsafat Islam, terletak antara filsafat Islam dengan masa filsafat Baru. Suatu kekeliruan, kalau dipastikan tidak adanya hubungan antara Barat dan Timur dalam dunia berpikir dan penyelidikan ilmiah


Sumber :
Hal 23-25
Buku Pengantar Filsafat Islam
Ahmad Hanafi, MA
Penerbit Bulan-Bintang


Kedudukan Filsafat di kalangan Ulama-ulama Agama

Baik dari kalangan luar Islam maupun dari kalangan kaum muslimin sendiri, filsafat Islam mendapat kritikan dan tantangan.

Kalau dari kalangan luar Islam, sebagaimana disebutkan, ada yang meragukan tentang kepribadian filsafat Islam yang berbeda dengan kepribadian filsafat Yunani, maka dari kalangan ulama-ulama agama (Islam) timbul sikap menolak terhadap keseluruhan filsafat karena alasan-alasan yang dihubungkan dengan agama.

Memang dalam kalangan dunia Islam ada orang-orang agama yang bisa mengikuti perkembangan zaman, bahkan mendahuluinya, dan membela kebebasan berpikir.

Akan tetapi disamping mereka terdapat pula ulama-ulama agama yang membeku dan berharap akan dapat menghentikan dunia sekelilingnya yang selalu bergerak maju, karena tidak bisa menerima pikiran-pikiran baru yang berlainan, dan sikap mereka nampak jelas terhadap filsafat Islam.

Filosof-filosof Islam berpendirian bahwa tujuan filsafat mirip dengan tujuan agama karena keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan baik.

Juga mereka mengatakan bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini.

Berbeda dengan itu, maka pendirian ulama-ulama pada umumnya sangat memusuhi filsafat tanpa ragu-ragu.

Pada masa dahulu ilmu-ilmu yang datang dari Yunani terkenal dengan nama "ilmu-ilmu kuno (ullum al-awail)", sebagai imbangan Syara' (al-ullumas-Syar'iyyah).

Ilmu-ilmu kuno tersebut sangat diragukan kebenarannya oleh golongan Ahlussunnah ekstrim, meskipun oleh golongan lain diterima dengan penuh perhatian, terutama sejak permulaan abad ke-2 Hijriah.

Bahkan golongan Ahlussunnah menolak setiap ilmu yang ada pertaliannya dengan filsafat, meskipun sikap ini sangat disayangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Al-Mun-qidzu min ad-Dlalal, sungguhpun ia sendiri adalah lawan terbesar bagi filsafat.

Lebih dari itu, mempelajari filsafat dianggap peremehan terhadap agama dan diragukan keseluruhan aqidahnya.

Di antara lapangan-lapangan filsafat, maka filsafat Metafisika atau filsafat Ketuhanan dari Aristoteles-lah yang pertama-tama menjadi sasaran kemarahan Ahlusunnah, karena seluruh pemikiran Aristoteles dipandang berlawanan sama sekali dengan kepercayaan-kepercayaan Islam.

Ilmu berikutnya adalah ilmu Mantik (logika), yang diangggap berbahaya bagi akidah-akidah agama dan oleh kerenanya maka ditulislah berbagai-bagai buku untuk menentang ilmu tersebut.

Ilmu Matematika-pun pada gilirannya mendapat kritikan karena dianggap dapat menyiapkan jalan kepada filsafat. Akan tetapi sikap mereka kepada ilmu Hitung adalah lunak, karena ilmu ini merupakan suatu keperluan bagi ilmu pembagian harta-pusaka (faraidi).

Sebagai akibat tantangan-tantangan tersebut, maka banyaklah filosof-filosof Islam yang difitnah dan buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh Ibnu Rusyd.

Memang serangan al-Ghazali terhadap filsafat besar sekali di belahan barat Dunia Islam, dimana Ibnu Rusyd bertempat tinggal.

Namun pada masa-masa yang lebih kemudian, barangkali Dunia Islam tidak mengenal fatwa yang begitu keras dan yang melarang filsafat dan Mantik, seperti : Ibn as-Shalah.

Ketika ia diminta pendapatnya tentang hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu Mantik, tentang pemakaian istilah-istilah ilmu Mantik dalam menetapkan hukum-hukum Syara', dan tentang tindakan apa yang harus diambil terhadap orang-orang ahli filsafat yang menulis dan mengajar filsafat di sekolah-sekolah umum, maka ia menjawab sebagai berikut :

" Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan Syar'iyyah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dari bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajarinya, maka ia akan berteman kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh setan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari ilmu yang membutakan orang  yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita. "

" Tentang Mantik, maka ia adalah jalan kepada filsafat, sedang jalan kepada keburukan adalah keburukan pula. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya tidak termasuk perkara yang dibolehkan oleh Syara', tidak pula dibolehkan oleh sahabat, tabi'in, mujtahidin, ulama-ulama salaf, dan anutan-anutan serta tokoh umat, dimana Tuhan telah membersihkan mereka dari kotoran-kotoran ilmu itu. "

" Tentang pemakaian istilah-istilah ilmu Mantik dalam hukum Syara' maka termasuk kemungkaran, dan untungnya hukum-hukum Syara' tidak memerlukan Mantik sama sekali. Apa yang dikatakan oleh ahli logika tentang definisi dan argumen-argumen untuk logika maka adalah omong kosong, dimana Tuhan telah mencukupkan pengabdi-pengabdi ilmu Syariat yang benar pikirannya dari hal-hal tersebut. Syariat dan ilmu-ilmunya teliti, dengan tidak ada Mantik, filsafat ataupun filosof-filosof. "

" Barang siapa mengira bahwa mempelajari ilmu Mantik dan filsafat karena ada faedah yang akan diperolehnya, maka ia telah dibujuk setan dan ditipunya. Maka yang wajib bagi penguasa adalah agar mereka menjauhkan keburukan-keburukan para benalu-benalu tersebut dan mengeluarkan mereka dari sekolah-sekolah. Yang lebih wajib lagi ialah memecat seorang guru sekolah dari ahli filsafat, yang mengajarkan dan membacakannya pula, kemudian dipenjarakannya dan disuruh menetap di rumahnya. "

Ibn as-Shalah juga pernah ditanya tentang hukum Syara' mengenai orang yang mempelajari Ibnu Sina dan karangan-karangannya, maka jawabnya :

" Siapa yang berbuat demikian, maka ia telah mengkhianati agamanya dan bisa kena fitnah besar, karena Ibnu Sina tidak termasuk ulama, melainkan ia termasuk setan berwujud manusia. "

Fatwa Ibn as-Shalah tersebut menjadi pegangan yang penting bagi golongan Ahlusunnah yang dipakainya setiap kali mereka hendak menyerang filsafat dan Mantik.

Gema fatwa tersebut kita dapati pada Tsy Kubra Zadah (wafat 962). Sebenarnya sebelum Ibn as-Shalah sudah banyak orang yang menyerang filsafat seperti Ibnu Hazm, al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim tetapi nampaknya fatwa Ibn as-Shalah mempunyai pengaruh destruktif yang lebih penting dikalangan Ahlusunnah.

Akan tetapi meskipun demikian, dapatlah kita katakan secara jujur, seperti yang dikatakan Godziher sebagai berikut :

" Pendirian fanatik yang berisi pelarangan terhadap Mantik tidak dapat menguasai pembahasan-pembahasan agama Islam karena kitab-kitab matan (ringkasan) dalam ilmu Mantik seperti karangan al-Abhari, al-Katibi dan al-Akhdlari tetap mendapat tempatnya disamping ilmu-ilmu keislaman, malah ilmu Kalam sendiri dalam membina hukum-hukum dan metode-metodenya bersandar kepada filsafat Aristoteles, terutama sejak masa al-Fakhr ar-Razy (606 H) "

Tampaknya serangan-serangan terhadap filsafat tidak berkesan lagi pada masa-masa sesudah itu, karena agama Islam pada dasarnya tidak menghalang-halangi kebebasan berpikir, dan setiap pengekangan tidak mendapat sandarannya baik dalam Quran maupun Sunnah.

Arus pemikiran lebih bebas telah menyebabkan ulama-ulama agama pada zaman baru harus mempertemukan antara prinsip-prinsip pikiran dengan ajaran-ajaran agama, seperti Syekh Muhammad Abduh, al-Kawakibi, Muhammad Bakhit, Farid Wajdi dan lain-lain, meskipun di kalangan filosof-filosof Islam pemaduan semacam itu sudah diusahakan jauh-jauh hari sebelumnya.


Sumber :
Hal 19-21
Buku Pengantar Filsafat Islam
Ahmad Hanafi, MA
Penerbit Bulan-Bintang

Friday, December 28, 2018

Jurgen Habermas 6 : Teori Politik dan Hukum

Dalam masyarakat-pluralistik pasca-konvensional, selalu lebih sedikit norma-norma yang dapat diemban/ditampung oleh sebuah etos-bersama yang menyatu di dalam etisitas-komunitas atau identitas-kolektif.

Norma-norma-moral dengan sendirinya tidak dapat mengatasi ketidaksesuaian-itu untuk mencapai integrasi-dan-kohesi-sosial. Karena wacana-moral menuntut dan menuju kepada apa-yang-sama-dalam-kepentingan setiap orang, maka hanya sedikit norma-norma-moral akan menjadi absah di seluruh-dunia atau bahkan dalam sebuah masyarakat tertentu.

Dan, seperti yang dicatat Habermas dalam karyanya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), meskipun sistem-sistem seperti birokrasi-negara dan ekonomi dapat mencapai stabilitas dan mengkoordinasikan harapan-harapan melalui uang dan kekuasaan, sistem-sistem dan birokrasi dapat mengikis kesepahaman-bersama dan solidaritas-sosial.

Pasar-pasar dan birokrasi-birokrasi cenderung menggantikan dan menjajah dunia-kehidupan.

Memang, esai-esai politiknya dari periode ini menuangkan hukum-yang-tercipta-secara-demokratis sebagai pemegang garis-batas melawan berbagai perambahan-sistem dalam sebuah mentalitas-pengepungan (BFN 486-89, Habermas 1992b 444). Ini meninggalkan pertanyaan kepada kita : Apa sumber-kekuatan-lain yang ada untuk mencapai integrasi-sosial-yang-memiliki-legitimasi ?

Melalui pernyataan yang paling jelas dari teori-politik Habermas, dalam karyanya Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma), hukum-modern muncul sebagai sumber-kekuatan yang tepat yang kita cari untuk menjawab pertanyaan di atas. Jika dengan menggunakan cara yang tepat hukum dikaitkan dengan struktur-struktur-politik-demokratis, hal itu memberi anugerah-legitimasi terhadap norma-norma-hukum, dengan demikian mendorong integrasi-dan-stabilitas-sosial.

Pembahasan secara luas, hubungan antara legitimasi-hukum, prosedural-demokratis-kedaulatan-rakyat, dan wacana-publik adalah kait-mengkait dan refleksif : hukum-yang-memiliki-legitimasi harus berakar pada demokrasi, yang dengan sendirinya bergantung pada ruang-publik-yang-kuat.

Sebuah ruang-publik-yang-demokratis-dan-dinamis adalah apa yang mengijinkan revisi dan mempertanyakan hukum-hukum-sebelumnya. Dikonsepsi dengan cara demikian hukum-modern merupakan transformator yang mempertahankan capaian-capaian-normatif dan kesepahaman-bersama yang keluar dari penentuan-diri-secara-kolektif dari ruang-publik dengan menerjemahkannya ke dalam keputusan-keputusan-yang-mengikat-dan-memiliki-legitimasi yang mampu membalikan-arah melawan logika-logika negara-dan-pasar.

Selama keputusan-keputusan hukum dicapai melalui cara prosedural-diskursif dengan jenis yang tepat, disana terdapat sebuah pra-anggapan yang mendukung rasionalitas-dan-legitimasi mereka. Dan, sepanjang ruang-publik terus menjadi sebuah forum-kontestasi-yang-kuat-dan-terbuka, apapun keputusan-sebelumnya adalah dapat direvisi sedemikian hingga terdapat sebuah sirkulasi antara ruang-publik-informal dan lembaga-lembaga-negara-yang-lebih-formal.

Fokus perhatian pada sifat hukum yang transformatif dan memediasi ini merevisi model-hukum-demokratis sebelumnya yaitu model-pengepungan menjadi sebuah model-prosedural pintu-air (Habermas 2002, 243).

Sementara model-pengepungan melihat hukum yang dihasilkan secara demokratis sebagai sebuah bendungan-pertahanan atau perisai-perlindungan menghadapi tuntutan-tuntutan dari sistem-sistem, sebaliknya model-prosedural pintu-air memandang jenis tertentu pembuatan-hukum sebagai memediasi sirkulasi antara dunia-kehidupan dan sistem-sistem melalui suatu cara yang menghasilkan norma-norma-hukum-yang-mengikat-dan-memiliki-legitimasi. Hukum-modern bekerja dengan sistem-sistem dan berdampingan dengan moralitas-pasca-konvensional untuk menstabilkan harapan-harapan-sosial dan menyelesaikan konflik-konflik.

Kita dapat mulai memahami hubungan antara hukum, demokrasi, dan ruang-publik dengan memusatkan perhatian pada legitimasi dan demokrasi yang sah-menurut-hukum.

Dalam karyanya Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma), Habermas meletakkan sebuah tegangan di dalam hukum itu sendiri, juga sebuah hubungan-internal antara hukum-modern dan demokrasi. Agar berfungsi, semua-hukum harus menuntut kepatuhan, perlakuan-memaksa, dan ( meskipun secara diam-diam ) terikat kepada sebuah justifikasi-normatif-yang-mendasarinya.

Oleh karena itu hukum dicirikan oleh sebuah tegangan antara faktisitas dan validitas sejauh karena keduanya harus dikenali/dipahami sebagai keampuhan-secara-faktual dan di-justifikasi-secara-normatif. Tegangan ini membantu menjelaskan hubungan antara hukum dan demokrasi dalam konteks kontemporer.

Hukum pra-modern
terikat kepada Tuhan, alam, akal-manusia, atau budaya-bersama untuk dukungan keabsahannya. Dalam masyarakat pasca-konvensional, fakta bahwa hukum dapat memaksa dan dapat berubah namun berakar pada manusia yang bisa saja melakukan kesalahan diungkap.

Bagi Habermas, justifikasi-normatif-yang-mendasari sekarang hanya dapat dipahami sebagai : "sebuah cara-pembuatan-hukum yang melahirkan legitimasi".

Makna pemikiran itu adalah bahwa demokrasi merupakan satu-satunya cara-pembuatan-hukum yang harus mengangkat kewajiban-melahirkan-legitimasi ini. Dengan menyoroti hubungan-hubungan ini, adalah bermanfaat demi tujuan-tujuan saat ini untuk memusatkan perhatian kepada “pembahasan/perdebatan yang berakhir dalam pembuatan keputusan legislatif" daripada memeriksa legitimasi-politik dan legitimasi-hukum secara terpisah (BFN 171; Bohman dan Rehg 1999, 36).

Demokrasi di dalam pikiran Habermas adalah berbeda dari variasi demokrasi yang terlalu populis. Dia jelas dalam hal bahwa legitimasi yang mendukung pembuatan-hukum harus merupakan kesatuan dari dua-sisi : hukum tidak boleh hanya mengekspresikan kehendak-demokratis dari komunitas tetapi juga harus "diharmonisasikan secara non-subordinat" dengan moralitas (BFN 99, 106).

Kesesuaian yang non-subordinat antara legalitas dan wacana-teoritis-moralitas adalah pengertian yang paling sulit tentang legitimasi untuk dijelaskan dan yang paling mudah diabaikan, sehingga sangat bermanfaat untuk mulai uraian dari sana.

Bagi Habermas, dalam masyarakat-masyarakat pasca-konvensional "aturan-aturan hukum dan moral ... muncul berdampingan sebagai dua jenis-norma-tindakan yang berbeda namun saling melengkapi".

Dalam rangka untuk menjelaskan "gagasan pembuatan-hukum-sendiri oleh warga-negara" kita harus menghindari suatu "subordinasi hukum terhadap moralitas" sesuai dengan teori-hukum-kodrat-klasik (BFN 105-6, 120; IO 257). Namun tampaknya memusingkan untuk memegang pendapat bahwa hukum-yang-ditentukan-secara-demokratis harus kompatibel dengan wacana-teoritis-moralitas tetapi bukan-merupakan-subordinat darinya.

Bagaimana dengan kasus-kasus di mana hukum dan moralitas tampak bertentangan ?

Ada beberapa jawaban yang menyoroti fitur-fitur unik dalam teori Habermas. Pada sebuah tingkatan umum, jawaban-jawaban ini mengambil bentuk yang sama : meski ada banyak cara bagaimana sistem-sistem-hukum dapat dimasukan ke dalam kebolehan-moral, namun demikian disana tetap ada ciri-ciri struktural dan konseptual yang endogen terhadap proses-proses di dalam prosedural-demokratis-kedaulatan-rakyat yang modern, setidaknya pada sebuah tingkat-abstrak, cenderung menyelaraskan norma-norma-hukum dengan kebolehan-moral. Ini menghindari kekhawatiran akan moralitas mengusir legalitas secara eksogen.

Satu alasan untuk mengharapkan bahwa hukum-yang-memiliki-legitimasi-demokratis dan kebolehan-moral akan memiliki setidaknya kesamaan prinsip umum adalah keduanya berakar pada prinsip-wacana.

Kita telah melihat di atas bagaimana prinsip-universalisasi-moral menyatakan suatu cara bagaimana prinsip-wacana ditetapkan untuk wacana-wacana-moral. Habermas juga mengajukan sebuah prinsip-legitimasi-demokratis yang menyatakan bagaimana prinsip-wacana ditetapkan untuk wacana-wacana-politik yang menghasilkan hukum. Prinsip ini berakar pada prinsip-wacana dalam kebajikan dari hukum-formal (apa yang disebut Habermas sebagai virtue of legal-form).

Ketika prinsip-wacana ditempatkan dalam wacana-wacana yang bertujuan menghasilkan norma-norma-hukum untuk mengatur kehidupan umum bersama, hal itu dipahami bahwa norma-norma ini akan diselubungi di dalam hukum-formal : sejumlah sifat formal dan fungsional yang mencirikan hukum-positif-modern.

Hukum-positif-modern diberlakukan dan secara konvensional, dapat ditegakkan dan dipaksakan, yang berakar di dalam lembaga-lembaga dengan beberapa refleksivitas, penyesuaian untuk melindungi individu-individu melalui hak, dan terbatas dalam ruang-lingkup. Jika hukum difungsikan sebagai sebuah alat untuk regulasi-konsensual terhadap konflik-konflik sosial dan integrasi masyarakat, maka harus mengambil bentuk ini.

Prinsip-legitimasi-demokratis adalah bagian dari dukungan-normatif yang seharusnya muncul, meskipun secara garis-besar dan sangat bersifat-abstrak, dari interpenetrasi historis prinsip-wacana dan hukum-formal yang telah mencapai puncaknya dalam struktur-struktur negara-demokratis-modern. Legitimasi-demokratis berpendapat, "hanya undang-undang yang mampu mengklaim-legitimasi yang dapat memenuhi persetujuan semua warga-negara dalam suatu proses-diskursif pembuatan-hukum (legislasi) yang selanjutnya terorganisir menurut hukum" (BFN 110; seringkali diterjemahkan sebagai terorganisir).

Prinsip ini menangkap bagaimana prinsip-wacana ditetapkan untuk wacana-wacana-politik sehingga prosedur-prosedur demokratis mendukung legitimasi pada norma-norma-hukum. Legitimasi tidak muncul dari legalitas-formal semata, ia membutuhkan tambahan dukungan-normatif dari demokrasi.

Gagasan tentang legitimasi-demokratis adalah bahwa kepatuhan terhadap hukum harus rasional dan berakar pada hukum-hukum yang menyerap legitimasi. Untuk mencapai hal ini, wacana-wacana-politik harus disusun dengan suatu cara di mana lembaga-lembaga legislatif-formal secara akurat merepresentasikan dan ditujukan membahas apa yang sedang terjadi di ruang-publik-informal, dan dimana di sana terdapat mekanisme-mekanisme prosedural yang terlembagakan yang diselenggarakan dengan cara membantu menyaring argumen-argumen yang lemah (BFN 340) . Rincian struktur ini akan dijelaskan di bawah ini, terutama dalam kaitannya dengan model-proses dan hubungan antara demokrasi dan ruang-publik.

Bagaimanapun, fakta bahwa prinsip-universalisasi dan prinsip-legitimasi-demokratis adalah berakar pada prinsip-wacana tidak banyak menjamin kepastian kesamaan-umum antara hukum dan wacana-teoritis-moralitas. Beruntunglah, ada sejumlah alasan tambahan mengapa kita dapat mengharapkan semacam harmonisasi antara keduanya. Habermas berpikir kombinasi prinsip-wacana dan hukum-formal dalam legitimasi-demokratis juga memasok sumber-kekuatan kepada kita untuk memahami bagian-inti konseptual dari sebuah sistem-hak-yang-abstrak yang akan ditorehkan dalam struktur-struktur-inti dari setiap penentuan-diri yang memiliki legitimasi sebuah komunitas-politik. Argumen dasarnya adalah bahwa agar prinsip-legitimasi-demokratis dapat direalisasikan harus mengacu kepada sebuah komunitas-konkret yang terikat dalam penentuan-diri melalui hukum-modern. Dalam komunitas-komunitas semacam itu, hukum yang setara terhadap setiap individu mengambil peran sebagai sebuah topeng-pelindung, sebuah identitas-formal yang ditentukan terutama oleh hak-hak bukan kewajiban, yang mengkristal di sekitar moral individual seseorang (BFN 531, 112). Identitas-hukum ini dibangun oleh suatu inti-hak yang menjamin kepastian status dan otonomi-pribadi setiap individu sedemikian rupa hingga mereka tidak hanya dapat menjalani kehidupan-individual tetapi juga membahas dengan jujur (dengan pijakan yang sama, bebas dari paksaan, dan seterusnya) mengenai ketentuan-ketentuan kehidupan umum bersama. Namun, hak-hak-individual ini tidak dapat efektif kecuali mereka mengandaikan hak-hak-lain untuk partisipasi dan penyediaan materi-dasar yaitu hak-hak yang menjamin kepastian otonomi-publik. Pendapat Habermas adalah bahwa manifestasi-manifestasi hukum dari otonomi-privat dan otonomi-publik, seringkali diekspresikan dalam idiom-idiom hak-asasi-manusia dan kedaulatan-rakyat, saling mengandaikan satu sama lain. Apa hasilnya adalah merupakan sistem-hak-yang-abstrak yang terdiri dari lima jenis-inti. Apa saja jenis-inti-hak ini ?

Pertama, untuk saling melibatkan secara diskursif satu dengan yang lain, masyarakat perlu jaminan yang masuk-akal. Oleh karena itu, dibutuhkan hak-hak yang menjamin status-individual setiap orang. Tiga jenis-hak secara bersama-sama mencapai perlindungan tersebut :

(i. ) Hak atas kebebasan yang sama, yang kompatibel dengan yang dimiliki orang lain
(ii. ) Hak atas keanggotaan yang menentukan perkembangan komunitas
(iii.) Hak atas proses hukum yang menjamin setiap orang untuk diperlakukan sama dan sama-sama dilindungi oleh hukum.

Hak-hak di atas menjamin otonomi-private individual yang diutamakan oleh liberalisme-klasik. Tetapi komunitas apapun yang terikat dalam penentuan-diri-secara-demokratis juga harus menjaga kemampuan menggunakan kebebasan secara aktif yang diberikan oleh jaminan-status ini untuk membahas, bersepakat, tidak-sepakat, dan menuju kesepahaman-bersama dalam persetujuan-bersama dengan orang lain.

Agar hak-hak individual digunakan secara efektif dibutuhkan

(iv.) Hak-hak komunikasi dan partisipasi-politik yang secara formal menjamin kesempatan dan akses yang sama kepada proses-politik.

Hak-hak di atas menjamin otonomi-publik-kolektif yang diutamakan oleh republikanisme-klasik. Hak-hak ini memungkinkan terjadi wacana-wacana dalam ruang-publik serta akses yang sama ke berbagai saluran pendapat dan pengaruh politik. Hak-hak ini memungkinkan terciptanya kedaulatan-rakyat-yang-demokratis dengan memastikan semua orang dapat berpartisipasi secara adil dan setara, dan bahwa informasi, ide-ide-inovatif dan argumen-argumen bagaimana membangun kehidupan bersama dijaga tetap bebas beredar dan diuji. Pada akhirnya, empat-jenis-hak di atas tidak mencukupi jika kebutuhan-dasar terancam atau tidak dipenuhi. Jaminan-jaminan formal terhadap kebebasan dan partisipasi hanya sedikit berarti jika mereka menyamakan kebebasan dengan kelaparan.

Jadi, sebagai langkah terakhir, Habermas mengusulkan beberapa ukuran terhadap

(v.) Hak-hak sosial, teknologi, dan ekologi yang menjamin sebuah kondisi-kondisi dasar kehidupan minimum yang layak.

Negara-negara demokratis yang sering melakukan kinerja buruk sepenuhnya menyadari hak-hak ini, tetapi klaimnya hanyalah bahwa jenis-jenis-hak-umum ini secara konseptual adalah diperlukan jika penentuan-diri secara demokratis melalui hukum adalah untuk mencapai dualisme-pengertian-legitimasi yang disebutkan di atas. Dalam semangat penjelasan yang sama, penting juga untuk dicatat bahwa sistem-hak-yang-abstrak hanya melakukan identifikasi jenis-jenis-hak tertentu, bukan sejumlah daftar hak-konkret. Masyarakat memiliki garis interpretif yang sangat luas mengenai ruang-lingkup kebebasan ketika menyangkut bagaimana hak-hak ini muncul. Habermas sering menunjuk pada hak-hak itu sebagai “tempat-penampungan yang tidak-jenuh”, sebagian besar tergantung pada komunitas untuk "mengisi" kandungannya.

Harapan kepada sebuah harmonisasi yang non-hierarkis antara moralitas dan legalitas, sekarang mungkin tampak sedikit kurang membingungkan. Idealnya, wacana-wacana pembuatan-hukum mendekati prinsip-legitimasi-demokratis daripada kepada latar-belakang sebuah sistem-abstrak-hak yang tertulis pada struktur-struktur-politik dalam suatu komunitas-demokratis. Ini menempatkan sejumlah batasan yang luas tentang bagaimana kesepakatan-kesepakatan dibeberkan dan jenis norma-norma yang dapat dihasilkan. Selain itu, terlepas dari batasan latar-belakang struktural ini, wacana-wacana-politik dengan sendirinya juga unik. Berbeda jauh dengan wacana-wacana-moral yang dipusatkan pada kepentingan-bagi-semua atau wacana-wacana-etis yang berfokus pada realisasi-diri-yang-otentik, wacana-wacana-politik yang ditujukan untuk penentuan-diri melalui acuan hukum sejumlah besar masalah yang berbeda, dan melakukannya dengan cara yang terstruktur secara internal yang ditujukan untuk mengukir ruang (didefinisikan oleh hak) di mana kepribadian-moral dan otentisitas-etis dapat berkembang (BFN 531).

Sementara pembahasan/diskusi tentang "pertanyaan-pertanyaan politik biasanya begitu kompleks sehingga memerlukan perlakuan/pemeriksaan secara simultan terhadap aspek-aspek pragmatis, etis, dan moral", persoalan-persoalan itu idealnya dibedah mengikuti sebuah model-proses dimana terdapat sebuah strukturyang bergantian antara perhatian-perhatian secara pragmatis, etis, dan moral serta perundingan yang diatur secara prosedural. Ide dasarnya adalah bahwa untuk kesimpulan kebijakan-sementara apapun terdapat sebuah kewajiban untuk memberi tanggapan terhadap keberatan yang muncul dari aspek-aspek yang lebih abstrak dari suatu masalah atau berbagai-tingkatan-wacana, proses-proses-diskursif tidak dapat dibatasi dengan sewenang-wenang. Misalnya, para-peserta dalam sebuah wacana mengenai kebijakan-imigrasi tidak dapat hanya melakukan konsultasi berkaitan dengan masalah etika sesuai identitas-asli komunitas mereka tetapi menolak untuk mendengarkan wacana-wacana-moral yang bersumber pada kebijakan-kebijakan semacam itu. Aspek-aspek moral apapun harus dibahas secara eksplisit, dan mereka menyaring atau memeriksa aspek-aspek persoalan dan wacana yang lebih partikularistik ( lihat BFN 169 dan perubahan pada 565 tentang apakah akan merujuk pada interaksi terstruktur sebagai antara wacana atau aspek dari sebuah kasus ). Sistem-hak-yang-abstrak dan model-proses berarti bahwa, dalam diskusi-diskusi politik mengenai bagaimana membangun kehidupan umum bersama, pada prinsipnya akan selalu dimungkinkan bagi wacana-wacana-moral yang lebih abstrak untuk memeriksa secara lemah terhadap wacana-wacana pragmatis dan etika-politik. Dan, pemeriksaan ini akan membangun dari dalam penentuan-diri-yang-demokratis.

Sejauh ini fokus perhatiannya adalah pada hubungan antara hukum dan demokrasi tanpa banyak mengacu kepada ruang-publik. Meskipun demikian, adalah sulit untuk menekankan lebih-keras betapa pentingnya Habermas meletakan diskusi-demokratis yang berakar pada ruang-publik. Tidak satupun dari mekanisme-mekanisme formal atau struktural yang telah disebutkan sejauh ini menjamin bahwa wacana-wacana-politik-publik atau berbagai hukum ditetapkan dengan sebuah cara tertentu. Tidak ada jaminan bahwa hanya sistem-hak-yang-abstrak atau legitimasi-demokratis akan direalisasikan dengan penuh arti, juga tidak ada jaminan bahwa pergantian berbagai jenis perhatian terhadap wacana-wacana-politik akan terungkap sesuai dengan model-proses. Semuanya tergantung pada kualitas dan penataan kelembagaan diskusi/perdebatan di ruang-publik. Bahkan, alasan utama mengapa demokrasi memberi anugerah legitimasi kepada hasil-hasil-legislatif adalah bahwa hal itu berakar pada sebuah model kedaulatan-rakyat-prosedural yang berbeda, yang secara bersamaan mengekspresikan kehendak masyarakat dan yang mengarah pada hasil yang lebih rasional. Suatu analisis tentang cara khusus dimana demokrasi dan ruang-publik dikaitkan dengan model yang diajukan Habermas adalah cara terbaik untuk memahami bagaimana cara pembuatan-hukum-yang-demokratis mendukung legitimasi-norma-norma-hukum.

Dalam karyanya Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma), Habermas mengusulkan sebuah model dua-jalur politik-demokratis yang menentukan batas sebuah sirkulasi dari kekuasaan-politik yang melahirkan legitimasi. Ia membagi ruang-publik-politik menjadi bagian informal dan formal. Ruang-publik-informal mencakup semua berbagai macam asosiasi-asosiasi sukarela masyarakat sipil seperti organisasi-organisasi keagamaan dan amal, asosiasi-asosiasi politis, media, dan kelompok-kelompok advokasi kepentingan umum dengan semua varietasnya. Dalam ruang-publik ini, diskusi-politis adalah bebas dan tidak terorganisir. Melalui benturan-terbuka berbagai pandangan dan argumen ini, individu-individu dan kelompok-kelompok dapat membujuk dan dibujuk, sehingga berkontribusi pada munculnya opini-publik yang dipertimbangkan sunguh-sungguh. Sebaliknya, ruang-publik-formal adalah termasuk forum-forum wacana dan diskusi yang terlembagakan seperti kongres, parlemen, dan peradilan serta badan administratif dan birokrasi periferal yang lebih terkait dengan struktur-negara. Ruang-publik-formal ini seharusnya diatur sedemikian rupa sehingga membuat keputusan yang mencerminkan pendapat-pendapat publik yang telah dipertimbangkan dari ruang-publik-informal. Badan-badan pengambilan-keputusan yang terlembagakan secara formal harus bisa menyerap hasil-hasil keluaran ruang-publik-informal.

Ruang-publik-informal adalah forum kunci untuk membangkitan sejenis kekuatan-normatif yang dapat mengintegrasikan masyarakat melalui kesepahaman-bersama dan solidaritas daripada melalui kekuatan uang atau kekuasaan administratif-birokrasi. Ketika para-peserta-wacana di ruang-publik-informal secara bebas mencapai kesepahaman-bersama mengenai bagaimana mengatur hal-hal tentang berbagi kehidupan bersama maka kekuatan-komunikatif muncul (Flynn 2004 membahas lokus kekuatan komunikatif yang tepat). Kekuatan-komunikatif muncul dari harapan-harapan terciptanya norma yang didasarkan secara kognitif pada kekuatan alasan-alasan yang lebih baik dan didasarkan secara motivasi (meskipun lemah) kepada pengakuan-timbal-balik dan wacana-wacana-etika-secara-kolektif. Pembicaraan secara kognitif, komunikasi yang bebas di ruang-publik dapat menumbuhkan opini-rasional dan pembentukan-kehendak karena "pemrosesan yang bebas terhadap informasi dan alasan-alasan, dari topik-topik dan kontribusi-kontribusi yang relevan dimaksudkan untuk mendasarkan praanggapan yang hasil-hasilnya dicapai sesuai dengan prosedur-diskursif yang benar adalah rasional”. Penerimaan ini juga menyediakan motivasi yang lemah : dalam menerima sebuah klaim-validitas-norma, seseorang menerima latar-belakang berbagai pemahaman dan alasan yang mendasarinya, yang dapat memotivasi keadaan yang relevan. Selain itu, karena kesepahaman-bersama dianggap dicapai melalui wacana-persuasif di mana perbedaan pendapat adalah (dan selalu) sebuah kemungkinan nyata, penerimaan-norma juga dapat mendorong dalam semangat pemberdayaan anti-paternalistik : pihak-pihak saling mengakui satu sama lain sebagai bertanggung jawab atas tindakan mereka selaras dengan suatu norma sampai alasan-alasan baru ditemukan. Meskipun mereka mungkin sadar akan kecenderungan-kecenderungan-menentang dan motif yang tidak didukung oleh alasan yang baik, mereka saling menerima untuk menjadi pelaku-pelaku yang kompeten dan bertanggung jawab yang mampu memutuskan untuk bertindak berdasarkan norma yang didukung secara rasional (Günther 1998). Namun, karena motivasi yang menyertai pandangan-kognitif adalah rapuh dan lemah, kekuatan-komunikatif juga harus berakar dalam komunitas dengan sebuah identitas-etik-politik dan hukum-yang-memiliki-legitimasi bersama sehingga defisit-motivasi dapat ditutupi dengan sumber-kekuatan tambahan dari sebuah kehidupan dan hukum bersama.

Kekuatan-komunikatif hanya bisa muncul jika ruang-publik-informal memiliki karakteristik tertentu. Pertama dan terutama, ia harus relatif bebas dari distorsi, pemaksaan, dan tekanan-tekanan pembungkaman sosial sehingga komunikasi dapat berfungsi sebagai sebuah saringan untuk mendorong pembentukan kehendak individu dan kolektif yang lebih rasional. Ruang-publik juga perlu berfungsi secara akurat sebagai sebuah konteks-pencarian didalamnya masalah-masalah yang mempengaruhi segmen-segmen besar masyarakat diidentifikasi dan diangkat untuk diskusi dan resolusi melalui wacana. Selain itu, masyarakat sipil harus digerakkan/dihidupkan oleh sebuah budaya-politik sehingga para-anggota aktif berpartisipasi dalam asosiasi-asosiasi-sukarela dan wacana-publik tentang ketentuan kehidupan umum bersama. Potensi-potensi kekuatan-normatif tidak dapat dibangkitkan jika sebagian besar anggota menarik-diri kepada masalah pribadi atau suatu masyarakat tersegmentasi dan terbagi secara internal dengan kepentingan-kepentingan khusus (Flynn (2004) 439-444; Bohman dan Rehg (1999, 41-42). Jelas, jika ruang-publik tetap terjaga sehat maka peran media dalam membina informasi yang akurat dan komunikasi massa yang tepat waktu juga akan menjadi sangat penting (EFP, 138-183).

Lembaga-lembaga politik ruang-publik-formal diatur sedemikian rupa sehingga menjadi penyerap terhadap masukan-masukan dari ranah-publik-informal, untuk menyaring dan memfokuskan lebih jauh opini-publik, dan untuk membuat keputusan-keputusan. Dibangun berdasar karya Bernhard Peters, Habermas mempertahankan pendapat bahwa demokrasi-konstitusional-modern dibentuk sehingga komunikasi dan pengambilan-keputusan mengalir dari pinggiran-ruang-publik-informal menuju pusat yang ditersusun oleh lembaga-lembaga politik formal yang menciptakan, menegakkan, menjelaskan, atau menerapkan hukum. Dalam sebuah rezim-demokratis yang berfungsi baik akan terdapat "sluices" atau "pintu-air-struktural" yang tertanam di dalam lembaga-lembaga administrasi negara (legislatif, yudisial, dan sebagainya) sehingga aliran-sirkulasi kekuasaan berjalan pada arah yang benar, yaitu dari pinggiran ke pusat.

Pemikirannya adalah bahwa komunitas-politik harus memprogram dan mengarahkan kerumitan administratif lembaga-lembaga, bukan sebaliknya. Jika negara atau aktor-aktor kuat lainnya membalikkan arah aliran ini hanya dengan menjalankan hukum-hukum atau peraturan-baru dan menuntut kepatuhan atau memaksa dengan cara lain, maka penerapan kekuasaan birokrasi-administratif-non-komunikatif ini tidak-akan memiliki legitimasi dan tidak-akan stabil. Habermas berpendapat "kapasitas integratif dari keberwarganegaraan yang demokratis" mengikis sampai tingkat dimana sirkulasi kekuasaan-politik terganggu atau berbalik-arah. Hanya kekuatan-komunikatif yang memiliki kekuatan-legitimasi yang dibutuhkan sehingga suatu komunitas dapat menjadi pencipta dan secara rasional mematuhi hukum. Pembuatan-hukum-yang-demokratis adalah lembaga-kunci yang "mewakili... media untuk mengubah kekuatan-komunikatif menjadi kekuatan-administratif" sambil mempertahankan/menjaga potensi-potensi-normatif-nya. Hukum yang dibuat secara demokratis memastikan potensi-potensi-kekuatan-normatif mengalir ke arah yang benar dan dijaga ketika dilaksanakan oleh lembaga-lembaga administrasi negara.

Penjelasam tentang prosedural-demokratis penentuan-diri-secara-kolektif ini tidak boleh dicampuraduk dengan penentuan-diri-tradisional nasional. Habermas menolak model penentuan-diri-secara-kolektif kedaulatan-rakyat yang mengandaikan suatu bangsa atau orang-orang dengan identitas dan kepentingan yang homogen, begitu juga model-model di mana suatu jaringan-asosiasi-asosiasi berdiri untuk diri-kolektif yang imajiner. (BFN 185, 486). Sebaliknya, dalam demokrasi-konstitusional-modern "gagasan kedaulatan-rakyat adalah... dikurangi substansi-nya [dan]... bahkan tidak diwujudkan dalam kepala para anggota asosiasi." Kedaulatan-rakyat "dijumpai dalam bentuk-bentuk komunikasi tanpa subjek yang mengatur aliran pembentukan opini-opini diskursif-dan-kehendak sedemikian rupa sehingga hasil-keluaran mereka yang dapat-salah memiliki asumsi rasio-praktis di pihak mereka (BFN 486). Sejauh kita dapat berbicara mengenai kehendak-suatu-komunitas, itu adalah sebuah opini-publik tanpa nama dan tanpa subjek yang muncul dari struktur-komunikasi-diskursif itu sendiri (BFN 136, 171, 184-186, 299, 301). Penafsiran unik kedaulatan-rakyat ini membantu menjelaskan beberapa aspek akhir dari teori-politik Habermas yaitu pandangan-pandangannya terhadap agama dan ruang-publik, patriotisme-konstitusional-nya, dan visi-nya tentang politik yang melampaui negara-bangsa.

Dalam tulisan-tulisan awal, Habermas berpendapat bahwa ketika rasionalitas dan pluralisme cita-cita pencerahan perlahan-lahan dipegang kokoh dalam masyarakat-modern, maka penjelasan-penjelasan mitos dari agama akan menjadi kurang penting. Namun, Habermas perlahan-lahan merevisi pandangannya terhadap agama dalam masyarakat-modern. Pada saat ini, cara dia melihat agama yang sesuai dengan ruang-publik demokrasi liberal adalah hal yang penting. Dalam demokrasi-liberal, populisme yang tak terkendali dipegang dalam kontrol tidak hanya oleh hak-hak-individu tetapi juga sifat-sifat debat-publik : penentuan-diri-kolektif warga-negara dilaksanakan melalui persuasi dan argumentasi rasional. Untuk melakukan hal ini di tengah-tengah pluralisme-modernitas, hukum-hukum yang dibuat mereka harus didasarkan pada alasan-alasan-publik yang dapat diakses oleh semua-orang. Pertanyaannya adalah apa artinya ini bagi warga-yang-beragama ?.

Sudah ada berbagai variasi jawaban terhadap pertanyaan di atas. Misalnya, dalam Liberalisme-Politik, John Rawls memegang pendapat bahwa warga-negara-demokratis-liberal pada akhirnya hanya akan mendukung kebijakan-kebijakan yang dapat mereka dukung atas dasar alasan-alasan-sekuler. Meskipun warga-negara-ini mungkin memiliki alasan-alasan-agama yang mendukung sebuah hukum atau kebijakan, ketika terlibat dalam debat-politik, mereka akhirnya harus "menerjemahkan" alasan-alasan-agama-ini ke dalam istilah-istilah yang dapat diterima oleh orang-yang-tidak-beriman. Habermas bersimpati pada visi demokrasi-liberal yang menjiwai pandangan ini mengenai bagaimana warga-negara-beragama harus bertindak. Bahkan, ia mengkritik para pemikir seperti Wolterstorff yang bersikeras bahwa warga-negara-beragama harus diizinkan untuk berupaya mendasarkan hukum-yang-bersifat-memaksa kepada nilai-nilai-partikular dan konsepsi tentang yang baik yang dimiliki mereka. Namun demikian, ia merasa bahwa menempatkan beban "penerjemahan" hanya kepada warga-negara-yang-relijius-saja agak salah arah. Pendekatan semacam itu meremehkan pentingnya eksistensial-etis dari agama dalam kehidupan sebagian orang --terutama jika itu terikat kepada struktur-struktur dunia-kehidupan dan identitas mereka. Sebagai alternatif, Habermas mengusulkan baik warga-negara beragama maupun non-agama keduanya diizinkan untuk mengajukan alasan-alasan-apapun untuk mendukung atau menentang kebijakan di tingkat ruang-publik-informal yang tersedia, mereka saling memberi dan menerima pendapat satu sama lain dengan serius dan tidak mengabaikan mereka dari perdebatan. Tetapi ketika sampai pada lembaga-lembaga ruang-publik-formal yang menyangkut pembuatan-hukum-bersifat-memaksa, justifikasi seharusnya hanya didasarkan pada alasan-alasan yang dapat diterima semua orang.

Bagaimanapun pandangan di atas tidak memuaskan untuk beberapa alasan : ia hanya memindahkan beban asimetris "perjemahan" naik-satu-tingkat, hal itu mungkin bergerak menuju yang berkaitan dengan sebuah metafora perpecahan-identitas, dan itu bahkan bisa membebani warga-non-agama dengan beban-beban yang jauh lebih-berat (Yates 2007 , Lafont 2009). Untuk tujuan-tujuan sekarang, pembacaan yang paling bermanfaat adalah Habermas menganggap semua warga-negara-demokratis memiliki sebuah kewajiban untuk mengadopsi perilaku refleksi-diri yang menyeluruh. Warga-negara-yang-relijius harus memodernisasi-diri karena mereka diharapkan terbuka terhadap hal-hal seperti otoritas-ilmu-pengetahuan, kebutuhan akan alasan-alasan-non-agama yang mendukung hukum-yang-bersifat-memaksa, dan kemungkinan validitas dari pendapat-pendapat yang dibuat oleh agama-agama-lain. Tetapi, ini juga berarti warga-negara-non-agama harus bergerak melampaui sebuah pemahaman-dogmatis-sekuler yang berpendirian adalah tidak-mungkin bagi pendapat-pendapat-agama untuk memiliki nilai kognitif apapun. Bahkan, beberapa gagasan moral dasar yang ada -seperti martabat manusia yang setara- telah terkait erat dengan sejarah agama-agama-dunia, Habermas berpendapat bahwa tidak selalu jelas di mana batas-batas agama-dan-sekuler. Menentukan batas-batas ini ( dan apa yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai penerimaan-publik ) pada suatu-titik bisa menjadi sebah tugas-kooperatif dimana masing-masing pihak mengambil/menerima pendapat pihak lain dengan tingkat-keseriusan tertentu. (2006b, 45 dan 2003b, 109).

Penafsiran kembali Habermas kepada kedaulatan-rakyat juga menjelaskan mengapa ia mengadopsi teori patriotisme-konstitusional yang dipelopori oleh Dolf Sternberger. Berbeda dengan identitas-nasional di masa lalu, patriotisme-konstitusional menyatakan bahwa komunitas-politik-modern dapat mendasarkan identitas-kolektif mereka disekitar cara-cara-unik mereka menyesuaikan dan menanamkan prinsip-prinsip penentuan-diri-secara-demokratis yang universal-dan-abstrak ke dalam sejarah-dan-tradisi-unik mereka. Pada model semacam itu, persekutuan-politik dapat menyatu di sekitar "penandaan khusus ... universalisitas makna dari [prinsip-prinsip seperti] kedaulatan-rakyat dan hak-asasi-manusia" (BFN 500; L'i 308; BNR 106). Penanda-khusus ini mungkin akan mencakup cara di mana komunitas mengambil sistem-hak-yang-abstrak, model-proses, dan legitimasi-demokratis. Pendapatnya adalah bahwa cara-spesifik sebuah komunitas-politik menciptakan-salinan "prosedur-dan-prinsip abstrak" dari negara demokrasi modern mendorong perkembangan "budaya-politik-liberal" yang "mengkristal" di sekitar tradisi konstitusional-negara itu, struktur, dan forum-diskursif (IO). 118; DW 78). Kekuatan-integratif yang muncul melawan latar-belakang ini disebut solidaritas-sipil, yang dikarakteristikan Habermas sebagai “solidaritas yang dimediasi secara abstrak berdasar hukum di antara warga- negara… sebuah bentuk solidaritas-politik di antara orang-orang yang tidak saling mengenal” (DW 79; BNR 22). Ini pada dasarnya adalah potensi-integratif berwarganegara-secara-demokratis ketika itu digunakan secara aktif.

Salah satu asumsi di sini adalah bahwa " budaya dan politik nasional telah menjadi ... terdiferensiasi " antara satu sama lain; Para warga dapat melihat diri mereka sebagai bagian dari sebuah budaya-politik-bersama tepatnya karena mereka tidak lagi memandan negara sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan sebuah bangsa pra-politik yang homogen. Meskipun ini jauh dari kenyataan empiris di banyak bagian dunia, Habermas melihat Uni-Eropa sebagai ilustrasi dalam hal ini. Bahkan dalam konteks, Uni-Eropa pernah dicirikan oleh identitas-identitas-nasional yang kuat (dimana peluang bagi identitas-identitas semacam itu mungkin tampak lebih-ramping daripada dalam konteks yang lebih multikultural) kita dapat mulai melihat bagaimana "sebuah budaya-politik-umum dapat membedakan dirinya menjauh dari berbagai budaya-nasional" dan bagaimana "identifikasi-identifikasi dengan bentuk-bentuk kehidupan dan tradisi-tradisi yang dimiliki seseotang [bisa] dilapis dengan sebuah patriotisme yang telah menjadi lebih abstrak, yang sekarang berhubungan ... dengan prosedur-prosedur dan prinsip-prinsip yang abstrak" (NC 261; BFN 507, 465; IO 118; BNR 327 ; DW 78).

Akhirnya, Habermas melihat patriotisme-konstitusional sebagai sumber-daya-normatif yang dapat membantu memperluas solidaritas-sipil melintasi batas-batas politik dan struktur-struktur hukum yang tidak-saling-cocok dari negara-bangsa sehingga mereka dapat ditingkatkan menjadi lembaga-lembaga hukum-internasional yang baru. Perkembangan-perkembangan semacam itu akan memungkinkan bentuk-bentuk baru pemerintahan-sendiri-yang-demokratis di atas negara-bangsa di tingkat regional dan global (DW 79). Implikasi-implikasi pasca-nasional ini secara alami dihasilkan dari inti-inti komitmen teoritis Habermas. Demokrasi-deliberatif terikat kepada wacana-wacana-yang-terlembagakan yang melalui beberapa cara memungkinkan hukum untuk diabsahkan kepada orang-orang yang kena-pengaruh atau menjadi subjek hukum itu. Dengan meningkatnya interdependensi-global yang ada jelas mendorong ke arah kosmopolitan. Namun, pada saat yang sama, penting untuk mengingat bahwa kekuatan-komunikatif harus berakar dalam sebuah komunitas yang memiliki sebuah identitas-etis-politik-bersama, dan bahwa patriotisme-konstitusional adalah bersifat parasit pada budaya-politik yang lebih khusus. Keberakaran ini berarti bahwa solidaritas-sipil dan bentuk-bentuk pemerintahan-sendiri yang baru dapat meregang tetapi hanya sejauh ini.

Acuan-pokok kepada kosmopolitanisme ini menghasilkan sebuah konstitusionalisasi hukum internasional multi-tingkat yang menuju kepada suatu ukuran pemerintahan-global tanpa pemerintah. Meskipun penjelasan Habermas terhasap suatu sistem multi-level semacam itu hanyalah sebuah sketsa dan perlu memasukan banyak detail ke dalamnya, batas-garis besarnya adalah jelas. Ia mengusulkan suatu sistem yang terdiri dari lembaga-lembaga politik tingkat supra-nasional (global), trans-nasional (regional), dan nasional dengan peran yang berbeda-beda. Organisasi supra-nasional sejenis dengan PBB yang direformasi diharapkan untuk menjamin perdamaian internasional, keamanan, dan hak asasi manusia. Pada tingkat menengah, otoritas trans-nasional seperti Uni-Eropa akan menangani persoalan-teknis melalui upaya-upaya koordinatif dan persoalan-politik melalui perundingan yang dinegosiasikan di antara rezim-rezim-regional yang cukup representatif. Akhirnya, negara-bangsa akan mempertahankan status mereka sebagai lokus legitimasi-demokratis. Ini akan mensyaratkan penyebaran struktur-struktur-demokrasi ke setiap negara-bangsa sehingga hukum dapat mencerminkan kehendak-komunitas dan agar mereka dapat diandalkan selaras dengan hak-asasi-manusia yang dijamin oleh organisasi supra-nasional.

Pandangan terhadap sebuah sistem-politik multi-level untuk perlembagaan hukum-internasional dapat dikritik sebagai menuntut terlalu-banyak dan terlalu-sedikit. Versi Habermas mengenai demokrasi-deliberatif-kosmopolitan menempatkan standar-penilaian terhadap legitimasi dalam kenyataan bahwa "warga-negara hanyalah subjek terhadap hukum-hukum yang telah mereka tentukan sendiri sesuai dengan prosedur-demokratis" (CEU 14). Dari perspektif hukum-dengan-legitimasi-secara-demokratis ini, sistem yang diusulkan mungkin menuntut terlalu-sedikit. Disamping Habermas sangat menekankan bahwa negosiasi antara rezim-rezim regional dapat terjadi dalam suatu cara yang tidak akan "merusak deliberasi dan inklusi", adalah sulit untuk melihat bagaimana perundingan semacam itu dapat benar-benar membentuk suatu proses di mana warga-negara menentukan hukum-mereka-sendiri melalui prosedur-prosedur-yang-demokratis (CEU 19). Dari perspektif keberakaran dalam budaya-politik, sistem multi-level mungkin juga menuntut terlalu-banyak dengan perluasan solidaritas-sipil ke rezim-rezim-trans-nasional. Habermas jelas berpikir ada batasan untuk perluasan semacam itu, karena "perluasan trans-nasional solidaritas-sipil ... tidak ada artinya ... ketika itu dianggap sebagai sebuah format global". Namun, terlepas dari fakta bahwa negara-negara tetangga dapat diduga memiliki suatu tingkat-minimal sejarah-dan-budaya yang sama, yang terlahir dari kedekatan wilayah dan saling ketergantungan kepentingan, adalah tidak jelas mengapa perluasan-solidaritas ini akan mencapai tingkat yang diperlukan untuk menjamin legitimasi-secara-demokratis terhadap hukum dalam unit-unit pemerintahan daerah trans-nasional (CEU 62).

Meskipun Habermas menyadari dengan pasti akan kritik-kritik ini, sebagian besar ia memusatkan pada pembelaan teori-politik-nya secara luas dan sistematis. Jika garis batas luas normatif itu benar maka keseluruhan teori akan berdiri, terlepas dari bagaimana rincian-rincian empiris dipenuhi. Memang, Habermas agak unik di kalangan para filsuf kontemporer baik dalam pendekatan sistematis untuk bidang besar teori juga kesediaannya untuk memungkinkan orang lain untuk mengisi berbagai detail tentang bagaimana pendapat-pendapat tertentu mungkin dapat berfungsi. Dia selalu menekankan bahwa para filsuf tidak berbicara dari sebuah tempat pengetahuan yang istimewa. Yang terbaik yang bisa mereka harapkan adalah mengartikulasikan sebuah teori yang dapat diuji secara meyakinkan dan ketat dan diperdebatkan di ruang-publik. Kita mungkin dapat memahami bukan hanya teori-politik-nya, tetapi beberapa proyek teoritis lainnya dalam sebuah semangat intelektual publik yang mengajukan sebuah teori untuk pengujian dan perdebatan yang membutuhkan artikulasi lebih lanjut oleh mereka yang datang setelahnya.

Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H5
Pemahaman Pribadi







Friday, November 9, 2018

Jurgen Habermas 5 : Etika Wacana

Teori-moral Habermas disebut etika-wacana.

Etika-wacana dirancang untuk masyarakat-kontemporer di mana para-pelaku-moral menghadapi beragam gagasan tentang kebaikan dan mencoba untuk bertindak atas dasar prinsip-prinsip yang dapat dibenarkan secara publik.

Teori-ini pertama kali menerima artikulasi eksplisit dan independen dalam karyanya Moral Consciousness and Communicative Action (Kesadaran Moral dan Tindakan Komunikatif) (Jerman 1983, Inggris 1990a) dan Justification and Application (Justifikasi dan Aplikasi) (German 1991a, English 1993), tetapi teori-itu telah dipersiapkan dan bergantung pada gagasan-gagasan dalam karya sebelumnya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif.)

Tinjauan berikut ini ditarik dari karya-karya di atas. Sama seperti bagian sebelumnya, tinjauan hanya menelusuri garis besar etika-wacana.

Etika-wacana menerapkan kerangka sebuah teori-pragmatis-tentang-makna dan rasionalitas-komunikatif terhadap dunia-moral untuk menunjukkan bagaimana norma-norma-moral dibenarkan dalam masyarakat-kontemporer.

Etika-wacana bisa dilihat sebagai sebuah-teori yang mengungkap apa yang kita lakukan secara pragmatis ketika membuat dan mempertahankan klaim-validitas-moral yang mendasari dan dimanifestasikan dalam norma-norma kehidupan kita. Namun, kita perlu berhati-hati dengan karakterisasi ini.

Karena keterikatan kognitif-nya terhadap pemahaman dan pengetahuan moral, etika-wacana tidak bisa begitu saja hanya menjadi sebuah deskripsi-rekonstruktif mengenai bagaimana kita secara praktis menghindari konflik-konflik dan menstabilkan harapan-harapan dalam konteks-sosial pasca-konvensional.

Etika-wacana juga sebuah upaya untuk menyediakan prosedur-formal guna menentukan norma-norma-mana yang secara moral benar, salah, dan diizinkan dalam kenyataan.

Etika-wacana terletak dalam kotak tradisi deontologi Neo-Kantian yang menerima kebenaran dan kesalahan terhadap kewajiban-kewajiban dan tindakan-tindakan bersifat universal-dan-absolut.

Pada pandangan seperti itu, norma-norma-moral yang sama berlaku untuk semua-pelaku secara sama. Norma-norma secara ketat mengikat seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, melarang tindakan yang lain, dan menentukan batas-batas kebolehannya.

Tidak ada validitas-relatif terhadap norma-norma-moral yang murni, meskipun seperti yang seharusnya kita lihat, norma-norma dapat ditanamkan dalam konteks-konteks-sosial yang memiliki berbagai konsekuensi pada penerapannya.

Selama peringatan terhadap batasan ini dipegang teguh dalam pikiran, kita dapat memahami etika-wacana dengan menganalisis praktik pembuatan dan mempertahankan klaim-validitas dan bagaimana disana terdapat kondisi-kondisi tertentu adanya kemungkinan landasan-tependam yang kuat dan membuat berjalannya praktik ini.

Kondisi-kondisi apa yang bisa membuat praktik ini berjalan ?

Seperti telah disinggung di atas, Habermas meletakkan sejumlah prakonsepsi-pragmatis tertentu yang tidak-dapat-dihindari terhadap tutur-kata, yang ketika diwujudkan dalam wacana, dapat memperkirakan sebuah kontra-faktual terhadap situasi-tutur-kata-yang-ideal menuju derajat yang lebih-besar/menjauhi atau lebih-kecil/mendekati.

Para peserta-wacana harus mem-prakonsepsi-kan kondisi-kondisi ini agar praktik-praktik justifikasi-diskursif menjadi masuk-akal dan agar argumen-argumen menjadi benar-benar persuasif. Empat prakonsepsi berikut ini diidentifikasi sebagai yang paling penting :

(i. ) Tidak ada seorangpun yang mampu memberi kontribusi yang relevan tidak dilibatkan.
(ii. ) Semua peserta memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi.
(iii.) Semua peserta jujur dengan makna apa yang mereka katakan, dan
(iv.) Persetujuan atau perbedaan pendapat didorong oleh kekuatan alasan dan kemampuannya untuk membujuk melalui argumentasi diskursif daripada melalui paksaan, tekanan, dan sebagainya.

Intinya bukanlah wacana-wacana-aktual harus selalu mewujudkan kondisi-kondisi di atas, inilah sebab mengapa situasi-tutur-kata-yang-ideal paling baik dipahami sebagai sebuah regulatif-ideal yang kontra-faktual.

Sebaliknya, intinya adalah bahwa output (kesepakatan/konsensus) dari setiap wacana-apapun hanya diterima cukup-valid dengan masuk-akal (secara empiris benar, tepat secara moral, dan seterusnya) di bawah praanggapan bahwa kondisi-kondisi di atas telah cukup terpenuhi.

Segera setelah sebuah pelanggaran terhadap kondisi-kondisi itu ditemukan, hal ini memunculkan keraguan terhadap validitas dari output-diskursif (kesepakatan/konsensus).

Sebagai tambahan pada berbagai prakonsepsi-pragmatis di atas, Habermas mengusulkan prinsip-wacana-nya.

Prinsip ini dimaksudkan untuk menangkap sifat yang tidak-memihak, ia menyatakan justifikasi-diskursif terhadap norma-norma-praktis yang dibutuhkan dalam masyarakat pasca-konvensional adalah sebagai berikut :

" hanya kepada norma-norma-tindakan yang valid, semua orang yang mungkin terkena dampak bisa sepakat sebagai peserta dalam wacana-rasional "

Meski prinsip-wacana Habermas pada awalnya dibingkai sebagai sebuah prinsip untuk wacana-moral, prinsip-wacana-nya segera direvisi ke bentuk yang lebih umum di atas, karena banyak norma-norma-praktis berkaitan dengan interaksi-interpersonal yang tidak-langsung menyangkut moral bahkan jika norma-norma-praktis itu harus sesuai dengan moralitas.

Namun demikian bahkan dalam bentuknya yang diperluas, adalah penting untuk dicatat bahwa prinsip-wacana hanya diterapkan pada wacana-wacana yang terkait dengan norma-norma-praktis mengenai perilaku-interpersonal yang diharapkan/dikehendaki, tidak kepada semua wacana yang memperhatikan hal teoritis, estetika, atau terapeutik (yang mungkin atau mungkin tidak melibatkan interaksi sosial interpersonal).

Panduan dalam berpikir adalah bahwa jika wacana-wacana mengenai norma-sebuah-tindakan dilakukan dengan cara yang cukup-ideal dan menghasilkan konsensus maka ini adalah sebuah indikasi yang baik bahwa norma itu adalah valid.

Prinsip itu tidak menyatakan bahwa konsensus yang dicapai melalui wacana menyusun unsur validitas, bukan pula norma-apapun yang diterima masyarakat setelah melalui wacana yang tampak cukup-ideal dijamin valid.

Sebaliknya, prinsip-wacana hanya memegang bahwa konsensus mengenai sebuah norma bisa menjadi penguji yang baik terhadap validitas jika dicapai melalui cara-diskursif dengan jenis-wacana-yang-tepat.

Penting untuk dicatat bahwa, karena cakupannya yang sangat luas, prinsip-wacana terutama berfungsi dengan menunjukkan norma-norma yang tidak-valid.

Dengan sendirinya prinsip-wacana tidak dapat memberi tahu kita norma-norma-mana yang valid. Itu hanya dapat membantu kita melakukan identifikasi terhadap norma-norma yang merupakan kandidat-kandidat yang baik terhadap validitas.

Selain itu, sebelum validitas sebuah norma-tindakan dapat dinilai, kita memerlukan rincian lebih jauh mengenai jenis-jenis-wacana dan klaim-validitas terhadap persoalan-persoalan.

Dalam proyeknya etika-wacana, Habermas mengidentifikasi jenis-wacana sebagai : wacana-moral, wacana-etika, dan wacana-pragmatis.

Setiap jenis-wacana membawa penalaran-praktis yang berbeda-beda, membingkai dan menganalisis pertanyaan-pertanyaan di bawah pokok tinjauan tujuan (praktis), baik (etis), atau adil (moral).

Istilah pembeda jenis-jenis-wacana tidak boleh diartikan bahwa norma-norma hadir telah dikemas dalam berbagai jenis-wacana.

Sebaliknya, norma-apapun dapat ditemakan secara diskursif dalam salah satu cara itu dan tidak boleh dibatasi secara sembarangan kepada satu jenis-wacana tertentu.

Dengan kehati-hatian pikiran, kita dapat memulai untuk memahami jenis-jenis-wacana dan norma-norma yang dihasilkannya.

Wacana-etis adalah sebuah tempat yang baik untuk memulai. Dalam hal, sementara wacana-etis dibatasi oleh hasil-hasil wacana-moral dan oleh karenanya tidak-fondasional (bukan-hal-paling-dasar), pembahasan kita sebelumnya tentang dunia-kehidupan menyediakan peralihan-halus yang tepat.

Wacana-etis secara paradigmatik adalah tentang klarifikasi, penyesuaian secara sadar, dan perwujudan identitas, sejarah, dan pemahaman-diri dari sebuah kelompok atau seorang individu. Wacana-etis membuat klaim-validitas lebih mengacu kepada keaslian (ontentisitas) daripada kebenaran atau ketepatan.

Wacana-etis juga melibatkan penilaian-penilaian terhadap nilai sebuah bentuk atau praktik sosial tertentu yang berkaitan dengan kehidupan yang baik dalam suatu komunitas.

Ini adalah salah satu alasan mengapa hasil-hasil dari wacana-etis akan memiliki validitas-relatif : wacana-etis bermaksud menebus kesalahan klaim-validitas dari para-pelaku dalam suatu komunitas atau yang lain.

Alasan lain adalah bahwa nilai-nilai berbeda dengan jenis-kepentingan-yang-dapat-digeneralisasikan-atau-dapat-diuniversalkan yang menyatu di dalam norma-norma-moral.

Sementara norma-norma-moral dimaksudkan secara ketat mewajibkan pelaku untuk melakukan atau tidak-melakukan suatu tindakan, nilai-nilai mengakui tingkatan-kualitas.

Sementara norma-norma-moral menyatakan prinsip-prinsip yang didukung oleh alasan-alasan rasional, nilai-nilai adalah unsur-unsur dari makna-bersifat-afektif yang dibutuhkan bagi kemuliaan hidup dalam sebuah konteks sosial tertentu.

Nilai-nilai terhubung dengan alasan-alasan rasional tetapi tidak dapat direduksi kepada alasan-alasan itu.

Nilai-nilai dapat mengarahkan kita pada tujuan-tujuan, membantu motivasi, dan membantu keberhasilan menempuh dunia-kehidupan tetapi sendirian ia tidak dapat mendasari kewajiban-kewajiban-moral.

Nilai-nilai mempunyai daya menarik atau mendorong tetapi tidak membujuk, nilai-nilai dapat memberikan motivasi untuk melakukan-hal-yang-tepat agar berkehendak untuk mengikuti pandangan-moral tetapi tidak membentuk atau bahkan selalu membantu kita memahami apa hal-hal-yang-tepat.

Wacana-wacana-etis berakar pada hal-hal etika, yang berbeda dengan moralitas.

Seperti banyak para filsuf, Habermas memisahkan wilayah-yang-tepat dengan wilayah-yang-baik.

Mengikuti secara longgar terminologi Hegelian, Habermas memisahkan hal-itu sebagai perbedaan antara moralitas dan etika.

Etisitas adalah sebuah cara-hidup yang terdiri dari unsur-unsur kognitif dan afektif serta elemen-elemen yang lebih struktural yang memproduksi kembali cara-hidup itu seperti berbagai hukum, lembaga-lembaga, konvensi-konvensi, peran-peran sosial, dan sebagainya.

Etisitas bersifat partikularistik dalam hal ia mendefinisikan tujuan-tujuan dalam terma hal-hal apa yang baik bagi suatu kelompok sebagai sebuah keseluruhan serta anggota-anggotanya.

Karena Habermas percaya pada model-teori individuasi-melalui-sosialisasi dari George Herbert Mead, etisitas adalah tertanam secara mendalam dan terhubung dengan dunia-kehidupan.

Tidak ada yang bisa membuang begitu saja perspektif-etis mereka yang sudah diinternalisasi, sama seperti tidak ada orang yang bisa melangkah keluar dari dunia-kehidupan yang mereka warisi.

Individu selalu dalam pengertian terikat dengan identitas, praktik, dan nilai-nilai dari pendidikan dan tradisi mereka bahkan jika mereka menolaknya.

Namun, seperti kritik yang jelas dari Habermas kepada Gadamer, perspektif-etis tidak menentukan kita. Wacana-wacana-etis menjelaskan bagaimana ini terjadi dengan melakukan mediasi antara warisan dan transendensi.

Ketika kita mewarisi dan menginternalisasi sebuah perspektif-etis sebagai individu, kita dapat selalu mempertanyakan bagian-bagiannya yang ingin kita tantang, perbaiki, atau tolak karena kurangnya alasan-alasan yang memadai yang mendasari norma-norma tertentu.

Dialektika antara etisitas yang kita internalisasi melalui sosialisasi dengan bagaimana cara kita berharap untuk menyesuaikan-kembali secara sadar sekaligus memiliki sebagian etisitas semacam itu membantu menjelaskan mengapa --tidak seperti kepada jenis-wacana lain-- Habermas memberi banyak perhatian pada wacana-wacana-etis baik di tingkat individual maupun kelompok.

Wacana-wacana-etis pada tingkat individual disebut wacana-etis-eksistensial sementara wacana-wacana-etis pada tingkat kelompok disebut sebagai wacana-etis-politik.

Sebagai contoh, seorang individu yang mempertimbangkan profesi tertentu akan terlibat dalam sebuah wacana-etis-eksistensial (misalnya, apakah profesi ini tepat bagi saya mengingat karakter saya dan tujuan yang ada ?),

Sementara seorang politisi mempertimbangkan apakah kebijakan-kebijakan tertentu mengekspresikan kepentingan kolektif, identitas, dan nilai-nilai akan terikat dalam wacana-etis-politik (misalnya, apakah kebijakan ini selaras dengan identitas dan komitmen-komitmen kolektif yang kita miliki dan bagaimana kita ingin bergerak maju menyesuaikannya ?).

Ada dua poin kunci mengenai level-level wacana-etis ini.

Pertama, hasil-hasil dari wacana-wacana semacam itu dibatasi oleh moralitas yang mengabaikan terhadap pertanyaan apakah yang otentik pada tingkat individual atau kelompok : seorang individu tidak dapat dengan mudah memutuskan untuk menjadi pembunuh berantai persis sama dengan suatu negara tidak dapat dengan mudah menetapkan/memberlakukan kebijakan yang nyata-nyata memiliki konsekuensi-konsekuensi immoral (misalnya, bagi mereka yang yang berada di luar negara itu).

Meskipun Habermas menganggap penting untuk menjelaskan bagaimana cara moralitas ditanamkan dalam konteks-konteks-sosial melalui wacana-wacana-etis, ia kukuh menentang postmodern atau komunitarian mengenai moralitas dan keadilan.

Kedua, seringkali akan ada sebuah interaksi refleksif yang saling mempengaruhi antara dua tingkat wacana-etis ini.

Wacana-wacana tentang apa artinya asli-mendiami sebuah identitas kolektif dapat mempengaruhi urutan dan kekuatan nilai-nilai yang dipegang oleh individu, dan wacana-wacana tentang siapa yang pada dasarnya, adalah dan berkeinginan untuk dapat --melalui perlawanan terhadap interpretasi-interpretasi-dominan dari tradisi-tradisi dan menyoroti ketidakadilan yang tidak diakui-- mempengaruhi bagaimana orang lain dalam sebuah kolektivitas menyesuaikan identitas dan praktik-praktik normatif mereka agar bergerak maju.

Interaksi ini dibatasi oleh wacana-wacana-moral yang lebih luas di kedua level, sehingga membantu hasil dari wacana-wacana tersebut tetap berada dalam ranah kebolehan.

Wacana-pragmatis mirip dengan wacana-etis dalam hal keduanya memulai dari perspektif-teleologis seorang pelaku yang sudah memiliki sebuah tujuan.

Tetapi berlawanan dengan ciri refleksif, klarifikasi, dan potensi perubahan realisasi-diri dan penentuan-diri secara kolektif yang dimiliki wacana-etis, wacana-pragmatis hanya mulai dengan sebuah tujuan dari nilai yang dipraasumsikan dan bersiap untuk mewujudkan nilai itu.

Tujuan ini mungkin melibatkan identitas dan nilai-nilai tetapi bisa juga lebih banyak mengacu kepada perhatian-perhatian dan kepentingan-kepentingan sementara. Karena sasarannya dianggap bermanfaat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, atau tujuan-tujuan pada suatu persoalan muncul relatif-statis.

Wacana-wacana pragmatis hanya fokus pada cara-yang-paling-efisien untuk mewujudkan atau membawa ke suatu tujuan, dan klaim-validitas mereka menyangkut apakah strategi-strategi atau intervensi-intervensi tertentu terhadap dunia cenderung memunculkan hasil yang diinginkan atau tidak.

Seperti yang dikemukakan Habermas, wacana-wacana-pragmatis berhubungan dengan "menyebabkan efek sesuai dengan preferensi-preferensi-nilai dan penentuan-penentuan tujuan sebelumnya" sedemikian hingga menghasilkan "seharusnya-yang-bersifat-relatif" yang mengekspresikan "apa yang seharusnya atau harus dilakukan ketika dihadapkan dengan masalah tertentu, jika seseorang ingin mewujudkan nilai-nilai atau tujuan-tujuan tertentu”.

"Seharusnya" adalah relatif karena itu adalah sesuatu yang mirip dengan aturan kehati-hatian yang bergantung pada apakah seorang pelaku kebetulan memiliki sebuah kepentingan tertentu atau mendapat sebuah tujuan yang layak dikejar.

Akhirnya, kita beralih kepada apa yang mungkin dilihat sebagai jenis-wacana yang paling penting yaitu wacana-moral.

Wacana-moral adalah lebih luas dalam cakupan dan menetapkan klaim-validitas yang lebih kuat daripada wacana-etis atau wacana-pragmatis.

Wacana-wacana-moral berusaha memahami dan melakukan justifikasi-norma-norma yang mengikat secara universal daripada hanya mengikat dalam batas-batas komunitas tertentu atau karena seorang pelaku mengejar tujuan yang berharga.

Norma-norma ini memiliki sepasang prinsip yaitu validitas-tanpa-syarat bukan validitas-gradual dan validitas-relatif terhadap output-output (kesepakatan/konsensus) yang diproduksi oleh wacana-wacana-pragmatis dan etis.

Untuk memahami secara diskursif pengertian-non-relatif dari validitas-moral ini, Habermas mengajukan sebuah prinsip yang terpisah yaitu prinsip-universalisasi bagi wacana-moral mengenai norma-norma :

“ Suatu norma adalah valid ketika konsekuensi-konsekuensi dan efek-efek samping yang dapat diperkirakan melalui pengamatan umum terhadap kepentingan-kepentingan dan orientasi-orientasi-nilai masing-masing individu dapat diterima bersama oleh semua pihak tanpa paksaan ”

Meskipun prinsip-universalisasi telah melalui beberapa rumusan yang berbeda, gagasan dasarnya adalah bahwa untuk norma-norma-moral yang valid apapun di sana terdapat, semacam norma-norma yang dapat diterima oleh semua orang yang terkena dampak dalam sebuah wacana yang cukup-ideal dimana didalamnya mereka menyatakan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang mereka miliki.

Prinsip-universalisasi memeriksa jika norma-norma yang kita terima adalah benar-benar termasuk moral kebajikan dengan mengajukan pertanyaan apakah dapat-diuniversalkan atau tidak.

Jika norma-norma tidak-dapat-diuniversalkan, maka tidak bisa menjadi norma-norma-moral.

Di luar karakterisasi dasar ini ada beberapa masalah interpretatif terhadap prinsip-universalisasi. Tiga hal berikut adalah fokus singkat yang layak :

1. tampak menunjuk kepada konsekuensi-konsekuensi,
2. dari mana prinsip-universalisasi berasal, dan
3. peran kepentingan-kepentingan.

Pertama, dalam versi prinsip-universalisasi di atas adalah mudah untuk keliru terhadap klausa berbagai-konsekuensi-dan-efek-samping-yang-dapat-diperkirakan dengan penambahan sebuah batas tipis konsekuensialis.

Adanya komitmen-komitmen deontologis Habermas, ini menjadi aneh. Sebaliknya, klausa di atas membangun dalam sebuah indeks-waktu-dan-pengetahuan sehingga tidak membuat tuntutan-tuntutan yang mustahil kepada para-pelaku-moral.

Kepuasan penuh prinsip-universalisasi akan membutuhkan peserta-wacana yang memiliki waktu tidak terbatas, pengetahuan lengkap, dan tidak ada ilusi terhadap kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang mereka miliki, itu akan mensyaratkan para-peserta yang melampaui kondisi kemanusiaan mereka.

Karena prinsip-universalisasi harus dapat digunakan di dunia nyata, ia hanya dapat menuntut bahwa para-peserta wacana-moral berupaya menjelaskan situasi-situasi-tertentu-yang-dihadapi yang di dalamnya suatu norma akan diterapkan ketika mereka berusaha melakukan justifikasi terhadap norma-moral-apapun.

Tugas prinsip-universalisasi yang terbatas adalah kunci : itu dimaksudkan hanya untuk melakukan justifikasi terhadap norma-norma-moral secara abstrak.

Meskipun justifikasi ini mungkin menunjuk penerapan pada kasus tertentu, itu tidaklah menentukan kepada semua penerapan.

Bagaimana dengan situasi baru, khusus, atau situasi-situasi yang benar-benar tidak bisa diperkirakan yang kepadanya penerapan norma tidak bisa diharapkan ?

Mengikuti Klaus Günther, Habermas berpendapat bahwa keputusan-keputusan-moral (dan hukum) dalam kasus-kasus tertentu membutuhkan logika kesesuaian yang ditemukan dalam wacana-wacana-terapan.

Wacana-wacana-terapan melihat kepada sebuah kasus kongkret dan kepada survei semua norma-norma yang secara potensial dapat diterapkan, fakta-fakta yang relevan, dan lingkungan-lingkungan.

Mereka mencoba untuk menawarkan deskripsi-deskripsi yang dalam atau lengkap terhadap sebuah situasi sedemikian hingga memutuskan pilihan di antara beberapa norma yang seringkali bersaing atau norma-norma yang hanya sebagian dapat diterapkan yang mungkin mengatur sebuah situasi.

Ada sebuah pembagian kerja antara dua jenis-wacana yang terkait secara rekursif : sedangkan wacana-wacana justifikasi meletakan alasan-alasan mengapa kita harus mendukung sebuah norma sebagai aturan-umum yang mengacu pada situasi yang khusus, wacana-terapan berusaha untuk menerapkan norma-norma kepada kasus-kasus kongkret yang mungkin sama sekali baru atau harapan-harapan yang menantang.

Sebagai pelaku-pelaku yang dapat keliru kita bisa membuat berbagai kesalahan yang bermacam-macam ketika melakukan justifikasi-diskursif terhadap sebuah norma atau gagal untuk mengantisipasi situasi-situasi baru atau mengubah pemahaman terhadap fakta-fakta, nilai-nilai, dan kepentingan-kepentingan, sebuah kegagalan yang akan terungkap dalam penerapan.

Habermas menyebut ini "dual falliblist proviso" dan itu menanamkan sebuah kesadaran secara gradual bahwa justifikasi-moral adalah proyek yang sedang dan terus berlangsung.

Saling mempengaruhi secara rekursif antara justifikasi dan aplikasi seharusnya secara progresif mengatasi kesalahan dan kelalaian sebelumnya.

Wawasan baru yang diperoleh dari penerapan wacana-wacana atau situasi-situasi baru dapat mengarahkan kita untuk meninjau kembali norma-norma yang justifikasi-nya diterima begitu saja, dan penyempurnaan pemahaman kita tentang bagaimana dan mengapa norma-norma dibenarkan akan membantu kita menerapkannya dengan lebih baik.

Jika kita memiliki ramalan yang mujur kita tidak akan perlu penerapan wacana-wacana. Tetapi karena kita dapat melakukan kekeliruan, berbagai-konsekuensi-dan-efek-samping-yang-dapat-diperkirakan harus dilihat sebagai acuan kepada indeks-waktu-dan-pengetahuan bagi output (kesepakatan/konsensus) dari wacana-wacana yang cenderung dapat di-justifikasi, yang kemudian dilengkapi dengan penerapan wacana yang dapat berdampak pada rumusan norma awal.

Masalah interpretatif kedua adalah dari mana prinsip-universalisasi berasal.

Habermas awalnya berpendapat bahwa prinsip-universaliasi dapat dideduksi secara formal dari sebuah kombinasi prakonsepsi-pragmatis pada wacana dan prinsip-wacana, tetapi segera ia melemahkan pendapat ini kemudian.

Daripada menurunkan prinsip-universalisasi dari sebuah deduksi formal atau kesimpulan-kesimpulan informal sekarang Habermas berpendapat --menggunakan istilah yang diciptakan oleh Peirce-- kita sampai pada prinsip-universalisasi secara abduktif. Untuk sampai pada suatu secara abduktif adalah untuk memberi saran bahwa kita pertama mengamati suatu fenomena (norma-moral) dan mengambil sebuah hipotesis tebakan-terbaik untuk menjelaskannya (prinsip-prinsip-moral), yang kemudian dapat dikenakan pengujian-induktif lebih lanjut (Ingram 2010, 47; Finlayson 2000a, 19).

Singkatnya, prinsip-universalisasi sekarang diajukan sebagai kandidat-prinsip-terbaik untuk membantu menjelaskan normativitas-moral. Untuk menopang kemasuk-akalan pendapat ini Habermas juga telah masuk kembali kepada teorinya tentang evolusi-sosial dan " lemah ... gagasan tentang justifikasi-normatif " dalam konteks pasca-konvensional.

Bahkan, dia sekarang sering berbicara prinsip-universalisasi yang selaras dengan jenis prosedur justifikasi-yang-tidak-memihak sesuai dengan kondisi pasca-konvensional yang berusaha untuk mencari pemahaman norma-norma yang sama dalam kepentingan setiap orang, dapat-digeneralisasikan atau dapat-diuniversalkan.

Pengacuan kepada kepentingan-kepentingan membawa kita menuju masalah interpretatif ketiga yang mengikuti prinsip-universalisasi.

Rumusan-rumusan awal prinsip-universalisasi hanya mengacu kepada kepentingan-kepentingan.

Keterbukaan terhadap orientasi-orientasi-nilai berpotensi membingungkan. Sebagaimana dicatat di atas, nilai-nilai tidak selalu didasarkan pada pengertian-kognitif.

Karena Habermas selalu menyajikan teori-moral-nya sebagai seorang kognitivis, akan menjadi aneh untuk memberikan sebuah peran sentral kepada nilai-nilai.

Tampaknya masuk akal bahwa rumusan-rumusan awal prinsip-universalisasi hanya memasukkan kepentingan-kepetingan, karena Habermas telah mendefinisikan kepentingan-kepentingan menggunakan sebuah cara-kognitif (pada definisi kepentingan-kepentingan sebagai alasan untuk menginginkan, lihat Finlayson, 2000b).

Memperkuat sebuah interpretasi dari prinsip-universalisasi yang menempatkan prioritas pada kepentingan-kepentingan (kognitif) Habermas menyatakan bahwa :

" prinsip-universalisasi bekerja seperti sebuah aturan yang menghilangkan (sebagai konten yang tidak-dapat-digeneralisasikan) semua orientasi-orientasi-nilai yang kongkret yang melaluinya biografi-biografi atau bentuk-bentuk kehidupan tertentu diresapi "

dan bahwa bagian spesifik dari prinsip-universalisasi yang mengacu pada penerimaan-bersama-tanpa-paksaan berarti bahwa alasan-alasan apapun yang diajukan dalam wacana-moral harus :

" membuang makna-relatif yang dimiliki pelaku dan mengambil sebuah makna-epistemis dari sudut pandang pertimbangan-pertimbangan yang simetris "

Selain itu, literatur sekunder interpretatif sering menekankan sentralitas kepentingan-kepentingan daripada nilai-nilai dan berfokus pada bagaimana Habermas sering berbicara tentang dapat-digeneralisasikan atau dapat-diuniversalkan kepentingan-kepentingan sebagai ciri pembeda bahwa norma-norma-moral terjamin aman (Heath 2003; Finlayson 2000b; Lafont 1999).

Lalu bagaimana kemudian keterbukaan terhadap orientasi-orientasi-nilai harus dipahami ?

Habermas mengatakan bahwa ia telah memasukkan orientasi-orientasi-nilai dalam prinsip-universalisasi demikian-sehingga :

" mencegah marjinalisasi pemahaman-diri dan pandangan-pandangan-dunia yang dimiliki individu dan kelompok tertentu "

Ini tidak berarti bahwa nilai-nilai setara dengan kepentingan-kepentingan. Sebaliknya, maksudnya adalah bahwa kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai selalu terikat-bersama.

Orientasi-orientasi-nilai memberi setidaknya beberapa pengaruh tidak-langsung kepada wacana-wacana-moral sejauh mereka mempengaruhi secara halus interpretasi terhadap kepentingan-kepentingan yang kita miliki. Selanjutnya jika orientasi-orientasi-nilai dapat dihapus dari wacana-wacana-moral pada kenyataannya dapat memasukan wilayah-wilayah-gelap diskursif.

Bahkan, kejujuran (kualitas-keterbukaan) kepada orientasi-orientasi-nilai yang dimiliki seseorang mungkin sangat penting karena sifat ketidak-berpihakan dari prinsip-universalisasi melibatkan pengambilan-perspektif-timbal-balik yang digeneralisasikan yang memotong kedua cara : itu mengarahkan para-peserta kepada empati terhadap pemahaman-diri pada orang lain serta terhadap intervensi-intervensi interpretatif kepada pemahaman-diri yang dimiliki para-peserta yang harus bersedia untuk merevisi deskripsi-deskripsi mereka terhadap diri mereka sendiri dan orang lain.

Poin pentingnya adalah bahwa meskipun beberapa kebutuhan-kebutuhan kita berakar kuat dalam antropologi kita dan dapat dilihat sebagai kepentingan-kepentingan-dasar yang dapat-digeneralisasikan yang dimiliki bersama semua orang, meskipun demikian kita harus tetap menghindari ontologisasi kepentingan-kepentingan yang dapat-digeneralisasikan kepada semacam-kodrat karena bahkan interpretasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan harus terjadi dalam terma-terma sebuah bahasa publik dimana pemahaman yang kita miliki terbuka untuk direvisi.

Masalah interpretif terakhir yang menarik perhatian adalah status-presisi dari ketepatan-moral.

Habermas selalu berpegang bahwa moralitas dan kebenaran adalah bersifat analog dalam arti bahwa keduanya adalah kognitif, prinsip yang berpasangan, dan subjek untuk proses-proses pemahaman. Bahkan, dia selalu sangat kritis terhadap pendekatan-pendekatan yang akan mereduksi moralitas menjadi urusan-urusan yang murni subjektif atau direlatifkan.

Namun, mengingat bahwa ketepatan itu tidak dapat direduksi menjadi kebenaran dan bahwa Habermas telah berulang kali menolak pendapat sebuah pembacaan realis-moral atas teorinya, tidak jelas batas-tepatnya sejauh mana analogi ini seharusnya dikembangkan.

Ini bukan hanya karena ada berbagai perbedaan antara pengetahuan empiris dan moral tetapi juga karena Habermas telah mengubah teorinya tentang kebenaran selama bertahun-tahun --bergerak dari sebuah teori-konsensus yang mengidentifikasi kebenaran dengan kebenaran-kokoh-yang-dijamin-secara-ideal kepada realisme-epistemologis-pragmatis yang mengikuti dalam jalur linguistik-Kantianisme.

Artikulasi-artikulasi awal dari etika-wacana tampaknya mengakui interpretasi-interpretasi dimana kebenaran adalah sebuah konsep justifikasi-transenden yang tidak dapat ditangkap oleh kebenaran-kokoh-yang-dijamin-secara-ideal.

Hal ini mendorong beberapa penafsir untuk menafsirkan teori-moral Habermas sebagai setidaknya komitmen terpendam kepada semacam varian realisme-moral-internal (Davis 1994, Kitchen 1997, Lafont 1999 dan 2012, Smith 2006, Peterson 2010 ms.).

Namun, dalam upaya menolak pembacaan ini, Habermas secara eksplisit berpendapat bahwa :

" Kebenaran-yang-dijamin-secara-ideal adalah apa yang kita maksud dengan validitas-moral "

Sekarang, Habermas bermaksud mengartikulasikan sebuah gagasan ketepatan-moral yang dapat dituangkan dalam terma sebuah konstruktivisme-pragmatis yang juga menghindari bahaya-bahaya relativisme dan skeptisisme yaitu : yang mempertahankan suatu penjelasan anti-realis terhadap ketepatan-moral yang masih menolak untuk melebur ke dalam sebuah bentuk teori-konsensus-moral.

Apakah Habermas berhasil dalam upaya ini adalah topik yang sangat diperdebatkan.

Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H4
Pemahaman Pribadi


Wednesday, October 24, 2018

Jurgen Habermas 4 : Peralihan Linguistik Kepada Teori Tindakan Komunikatif

Keterlibatan Habermas dengan teori tindak-tutur-kata dan hermeneutika pada akhir tahun 1960-an dan 70-an telah mengawali sebuah peralihan-linguistik yang menjadi kongkret dalam karyanya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif).

Peralihan-linguistik ini kemudian dapat dimengerti setelah kedua karyanya Knowledge and Human Interests (Pengetahuan dan Kepentingan Manusia) serta Communication and the Evolution of Society (Komunikasi dan Evolusi Masyarakat).

Habermas datang untuk melihat paradigma pengetahuan-yang-mengandung-kepentingan dari para-pendahulunya sebagai suatu ketidak-tepatan yang bersandar pada asumsi-asumsi dalam filsafat kesadaran-dan-transendentalisme Kant, sementara tahap-tahap rekonstruksi pemahaman-dan-evolusi-sosial selanjutnya tampak terlalu naturalistik atau fondasionalis.

Sebaliknya, sebuah fokus-perhatian kepada struktur-struktur-komunikatif membuatnya membentuk teori-pragmatis sendiri tentang makna, rasionalitas, dan integrasi-sosial yang didasarkan pada rekonstruksi berbagai kompetensi dan prakonsepsi-normatif yang mendasari komunikasi.

Pendekatan ini bersifat transendental dan naturalistik tetapi hanya lemah. Jauh dari sebuah penjelasan mengenai fondasi-fondasi terakhir, pendekatannya dengan sendirinya membawa kepada sebuah metodologi post-metafisik bagi penelitian filosofis dan ilmiah-sosial ke dalam penalaran-praktis (rasio-praktis).

Dari sejak awal peralihan-linguistik-nya hingga menjadi baik dalam karyanya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), pendekatan ini mengalami sejumlah perbaikan.

Apa yang akan dibahas berikut ini, hanya memberikan garis besar proyeksi-lintasan perubahan ini.

Habermas menyebut kuliah umumnya di Seminar Gauss pada tahun 1971 di Universitas Princeton ( publikasi Jerman 1984b, publikasi bahasa Inggris 2001) sebagai ungkapan peralihan-linguistik yang pertama dan jelas, namun juga ditemukan bukti mengenai hal-itu dalam karyanya On the Logic of the Social Sciences (Tentang Logika dalam Ilmu Sosial) (Jerman 1967, Inggris 1988a).

Serangan pertama yang benar-benar sistematis terhadap filsafat-bahasa Anglo-Amerika datang bersama karyanya What is Pragmatics Universal ? (Apa makna Pragmatis Universal ?) (Jerman 1976b, termasuk dalam bahasa Inggris 1979). Gagasan-gagasannya kemudian direvisi lebih lanjut lagi dalam karyanya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif).

Sementara perkembangan ide-idenya selama periode ini merupakan sebuah tugas pemahaman-makna terhadap teks yang penting, untuk tujuan sekarang suatu jalan-besar ia melanjutkan teori tindak-tutur-kata adalah suatu yang penting, ia menerima pembagian dalam linguistik antara : sintaksis, semantik, dan pragmatis.

Habermas menganggap setiap bagian itu merupakan rekonstruksi sistem-aturan-aturan yang terpendam, yang diam-diam digunakan oleh pembicara yang kompeten untuk mengenali bentuk-yang-baik/well-formed-ness (sintaks), kepenuh-bermaknaan/meaning-full-ness (semantik), dan keberhasilan/success (pragmatis) dari tutur-kata.

Perubahan arah penafsiran utamanya adalah bahwa teori-teori kebenaran-kondisional makna proposisional sering dikaitkan dengan proyeksi-proyeksi filosofis dengan menimbang hanya bahasa sebagai lokasi-sebagian-makna dari tutur-kata.

Dengan demikian, ia bergerak menjauh dari makna berdasarkan teori korespondensi-kebenaran dan memberikan sebuah penjelasan tentang validitas-pragmatis yang unik di balik makna dari sebuah tutur-kata.

Meski peralihan-linguistik-nya kadang-kadang dituangkan sebagai keterpisahan dari teori sebelumnya, pendekatan-interpretatif-nya benar-benar menyatu cukup baik dengan kritik awalnya terhadap positivisme.

Dia selalu menolak gagasan bahwa bahasa hanya menyatakan hal-hal mengenai dunia.

Sebaliknya Habermas tidak hanya menganalisis proposisi-proposisi yang baik atau tidak (benar atau salah) yang diperoleh dari dunia, tetapi ia tertarik kepada wilayah-penuh berbagai cara orang-orang menggunakan bahasa.

Habermas berpendapat bahwa ia tidak memusatkan perhatian pada kalimat-kalimat, tetapi kepada sebuah teori-bahasa-lengkap yang akan fokus mencermati pada ucapan-ucapan kontekstual sebagai unit-makna-paling-dasar.

Dengan demikian, ia mengembangkan sebuah pragmatis-formal (dalam karya-karya awalnya disebut pragmatis-universal).

Membangun di atas dasar karya Karl Bühler, Habermas memahami penggunaan bahasa secara-pragmatis-dalam-konteks sebagai penyisipan-kalimat-kalimat di dalam hubungan-hubungan antara : pembicara, pendengar, dan dunia.

Penyisipan-kalimat ini membantu menstabilkan hubungan-hubungan semacam itu secara intersubjektif.

Habermas berpendapat bahwa, dalam rangkaian-ucapan pada sebuah tindak-tutur-kata, sang-pembicara bermaksud-sesuatu (mengungkapkan maksud-maksud subjektif), melakukan-sesuatu (berinteraksi dengan atau menarik seorang pendengar) dan mengatakan-sesuatu (secara kognitif merepresentasikan dunia).

Sementara teori-teori makna kebenaran-kondisional memusatkan perhatian pada representasi-representasi kognitif dari dunia, Habermas mengutamakan bagian-pragmatis dari tindak-tutur-kata daripada analisis semantik atau sintaksis pada kalimat-kalimat.

Apa yang dilakukan melalui tutur-kata diambil menjadi apa-yang-paling-mendasar untuk menentukan makna.

Selama peralihan-linguistik-nya, Habermas melakukan penyesuaian beberapa gagasan dari John Searle.

Meskipun Searle tidak-selalu setuju sepenuhnya dengan penyesuaian-penyesuaian semacam itu, dua di antaranya merupakan titik-titik-orientasi yang sangat-berguna (Searle 2010, 62).

Pertama, Habermas mengadopsi gagasan Searle tentang aturan-aturan-konstitutif yang mendasari bahasa : sama seperti aturan sebuah permainan yang menentukan penjelasan-penjelasan sebagai sebuah legitimasi-langkah-atau-status, demikian juga ada sebuah struktur-aturan-implisit yang menentukan penggunaan bahasa oleh pembicara yang kompeten.

Kedua, Habermas juga mengadopsi pandangan Searle, yang dibangun di atas karya JL Austin, bahwa tutur-kata itu memiliki suatu struktur-ganda berupa konten-proposisional dan kekuatan-illokusi.

Sebagai contoh kalimat :

" Sekarang bersalju di Chicago. "

Konten-proposisional dari kalimat di atas adalah sebuah representasi dunia.

Tetapi konten yang sama dapat digunakan dalam mode-illokusi yang berbeda-beda misal : sebagai-sebuah-peringatan untuk berkendara dengan hati-hati, sebagai-sebuah-permohonan untuk menunda perjalanan, sebagai-sebuah-pertanyaan-atau-jawaban dalam percakapan yang lebih-besar, dan seterusnya.

Selain itu, di luar kekuatan-illokusi seperti itu, semua tindak-tutur-kata juga memiliki efek-turunan perlokatif, yang tidak terhubung secara internal dengan makna dari apa yang dikatakan.

"Peringatan" mengenai salju dapat menimbulkan kekesalan atau rasa syukur, tetapi tanggapan semacam itu secara kontekstual disimpulkan dan tidak-selalu terkait dengan konten-proposisional atau "peringatan" itu sendiri.

Gagasan-gagasan tentang struktur-tutur-kata ini menyoroti beberapa poin penting.

Pertama, Habermas menerima keberhasilan perlokusi (misalnya, memunculkan rasa-syukur) menjadi hal yang merusak kekuatan-illokusi (misalnya, tutur-kata ditangkap sebagai sebuah peringatan, bukan permohonan).

Mencapai keberhasilan bersama orang-lain dengan menyadari maksud seseorang di dalam dunia ini adalah hal sekunder daripada untuk mencapai sebuah kesepahaman-bersama.

Sebagai contoh, bahkan ketika berbohong, kebohongan hanya berhasil dengan terlebih dahulu sampai pada kesepahaman-bersama yaitu pemahaman-yang-salah bahwa apa yang sedang dikatakan adalah benar.

Kedua, Habermas mengidentifikasi tiga-mode-komunikasi yaitu kognitif, interaktif, dan ekspresif yang bergantung pada apakah maksud-utama illokusi dari sang-pembicara adalah untuk memunculkan sebuah kebenaran-pendapat dari konten-proposisional, ketepatan-pendapat dari suatu-tindakan, atau kejujuran-pendapat terhadap keadaan-psikologis.

Ketiga, Habermas mengidentifikasi masing-masing jenis-tindak-tutur-kata yaitu konstatif, regulatif, dan ekspresif yang dilihat dari perspektif pengguna-bahasa yang kompeten, mengandung tanggung-jawab imanen untuk menebus pendapat-pendapat yang disebutkan di atas dengan masing-masing memberikan dasar-dasar, mengartikulasikan justifikasi-justifikasi, atau membuktikan kejujuran dan dapat-dipercaya.

Singkatnya, Habermas berpikir ada banyak prakonsepsi-umum terhadap kompetensi-komunikatif dan kemungkinan-pemahaman, yang mendasari sebuah tutur-kata dan yang mensyaratkan para-pembicara untuk bertanggung jawab atas "kesesuaian" antara suatu ucapan dengan dunia-batin, dunia-luar, dan dunia-sosial.

Untuk tindak-tutur-kata apapun yang berorientasi pada kesepahaman-bersama, terdapat sebuah asumsi-awal "kesesuaian" antara kejujuran terhadap dunia-batin pembicara, kebenaran terhadap dunia-luar, dan ketepatan terhadap apa yang dilakukan secara intersubjektif di dunia-sosial.

Secara alamiah, asumsi-asumsi-awal ini dapat hilang.

Namun, intinya adalah bahwa para-pembicara yang ingin mencapai sebuah kesepakatan harus membuat prakonsepsi kejujuran, kebenaran dan ketepatan sehingga dapat saling menerima sesuatu sebagai sebuah fakta, norma-yang-valid, atau secara-subjektif memiliki pengalaman.

Bagi Habermas, elemen-elemen ini membentuk dasar-validitas tutur-kata.

Dia berpendapat bahwa, melalui ucapan suatu tindak-tutur-kata, seorang pembicara juga dilihat secara potensial memunculkan tiga-klaim-validitas yaitu kejujuran untuk apa yang diungkapkan, ketepatan untuk apa yang dilakukan, dan kebenaran untuk apa yang dikatakan atau diprakonsepsikan.

Tergantung pada jenis-tindak-tutur-kata, salah satu validitas seringkali lebih dominan (misalnya, jenis-konstatif memunculkan sebuah validitas-kebenaran) dan, lebih sering daripada tidak, tutur-kata bersandar pada latar-belakang kesepakatan-kesepakatan tentang fakta-fakta, norma-norma, dan pengalaman-pengalaman yang tidak bisa diganggu.

Selain itu, perselisihan kecil dapat diselesaikan dengan cepat melalui klarifikasi makna, mengingatkan orang lain tentang fakta-fakta, menuntut komitmen-komitmen yang sudah ada sebelumnya, menyoroti sifat-sifat situasional, dan sebagainya.

Habermas kadang-kadang menunjuk perbaikan-perbaikan komunikatif-ringan seperti itu sebagai percakapan-sehari-hari.

Tetapi ketika perselisihan terus berlanjut, kita mungkin perlu beralih kepada apa yang disebut oleh Habermas sebagai "wacana" yaitu sebuah cara-komunikasi tertentu dimana seorang-pendengar menuntut alasan-alasan yang mendukung validitas-pendapat dari sang-pembicara.

Dalam wacana klaim-validitas yang selalu imanen di dalam tutur-kata menjadi eksplisit.

Jelas, Habermas menggunakan "validitas" dengan suatu cara yang aneh.

Pengertian "validitas" paling sering digunakan dalam logika-formal dimana itu mengacu pada mempertahankan-kebenaran ketika bergerak menarik kesimpulan dari satu proposisi ke proposisi yang lain dalam sebuah argumen.

Ini bukanlah bagaimana Habermas menggunakan istilah "validitas" semacam itu.

Lalu apa yang dia maksud dengan "validitas" oleh Habermas ?

Ini adalah suatu yang berguna untuk melihat asumsi-asumsi di balik teori-makna-nya.

Ketika model-makna-nya menekankan apa yang dilakukan bahasa melebihi apa yang hanya dikatakan atau diartikan, suatu asumsi-operatif adalah bahwa, fungsi utama tutur-kata adalah untuk mencapai kesepahaman-bersama yang memungkinkan interaksi bebas-konflik.

Selain itu, setidaknya dengan menimbang validitas kebenaran-dan-ketepatan, ia menganggap pemahaman-pemahaman yang murni dan stabil muncul dengan saling memberi dan menerima alasan-alasan.

Validitas kebenaran-dan-ketepatan adalah paradigma-kognitif karena mereka mengakui justifikasi melalui alasan-alasan yang diajukan di dalam "wacana".

Apa yang dimaksud oleh Habermas dengan "validitas" adalah sebuah hubungan-struktural yang erat antara memberi dan menerima alasan-alasan dan mencapai suatu kesepahaman atau konsensus (lebih kuat) yang memungkinkan interaksi bebas-konflik.

Ini menghasilkan teori-akseptabilitas-makna dimana penerimaan-norma selalu terbuka untuk perdebatan dan penyempurnaan lebih lanjut melalui alasan-alasan yang lebih baik.

Karena dalam perkembangan selanjutnya kita tidak mengetahui, alasan-alasan-apa yang akan terkait dengan sebuah masalah, hanya "wacana" yang kuat dan terbuka yang memberi kita ijin untuk mengambil konsensus-konsensus (sementara) yang sungguh-sungguh kita capai sebagai "valid".

Oleh karena itu Habermas merumuskan kondisi-kondisi formal dan kontra-faktual --prakonsepsi-prakonsepsi pragmatis dari tutur-kata dan situasi-situasi tutur-kata yang ideal-- yang mendeskripsikan dan menetapkan standar-standar kepada jenis-alasan-alasan itu diberikan, yang harus dilalui kesepahaman-bersama sebelum kita dapat menganggapnya "valid" (pada kondisi-kondisi formal ini dan bagaimana kesepahaman dan konsensus dapat berbeda lihat di bawah dan bagian 4).

Pada saat yang sama, kita tidak pernah mulai untuk saling memberi dan menerima alasan-alasan tanpa dasar.

Orang dilahirkan dalam budaya-budaya yang beroperasi pada latar-belakang-pemahaman yang menyatu di dalam norma-norma-tindakan yang diwariskan.

Meminjam dari Husserl dan yang lain, Habermas menyebut persediaan pemahaman-pemahaman ini sebagai dunia-kehidupan "lifeworld".

Dunia-kehidupan adalah sebuah gagasan penting meski agak licin dalam karya Habermas.

Salah satu cara untuk memahami penafsirannya yang khusus adalah meneropong perdebatannya dengan Gadamer.

Secara umum, Habermas setuju dengan pandangan bahasa yang dipegang oleh Gadamer dan hermeneutika secara umum yaitu bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan informasi, bentuknya yang paling dasar adalah penggunaan secara dialogis-dalam-konteks, dan ia mengandung sebuah tujuan-kesepahaman.

Pada pandangan seperti itu, objektivitas bukan hanya korespondensi kepada dunia yang independen tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari kesepahaman-bersama intersubjektif (terhadap dunia, hubungan dengan orang lain, dan diri sendiri) yang dicapai dalam komunikasi.

Selain itu, komunikasi memiliki struktur-dasar yang membuat kesepahaman menjadi mungkin menempati posisi-pertama.

Makna, oleh karena itu dalam beberapa pengertian bersifat merusak terhadap struktur-latar-belakang ini.

Gadamer dan Habermas sepakat pada banyak hal ini.

Namun Gadamer menganggap semua ini berarti bahwa kesepahaman dan kesalahpahaman yang eksplisit hanya mungkin terjadi karena sebuah pemahaman yang diterima begitu saja dari kepemilikan budaya dan sosialisasi ke dalam sebuah bahasa-alami.

Habermas setuju bahwa budaya dan sosialisasi adalah penting, tetapi khawatir bahwa Gadamer membawa struktur-latar-belakang yang membentuk kondisi-kondisi-kemungkinan bagi makna menghasilkan absolutisasi-tradisi yang relativistik.

Dalam interpretasi Habermas, dunia-kehidupan mencakup jenis kepemilikan dan sosialisasi seperti yang diacu oleh Gadamer, tetapi itu bekerja dengan dan didukung oleh struktur-struktur-yang-dalam tertentu dari komunikasi itu sendiri.

Bagi Habermas, komplementaritas antara dunia-kehidupan dan manifestasi khusus dari struktur-struktur-yang-dalam ini dalam wacana dan tindakan-komunikatif adalah apa yang membuat seseorang mampu melakukan interogasi dan secara progresif merevisi bagian-bagian latar-belakang dari persediaan-berbagai-pemahaman dan validitas-pendapat yang diwariskan, dengan demikian menghindari keduanya baik relativisme atau pemujaan-dogmatis dari tradisi.

Bagi Habermas, dunia-kehidupan adalah sebuah tempat penampungan praktik-praktik yang diterima begitu saja, peran-peran, makna-makna sosial, dan norma-norma yang menyusun sebuah kesamaan horizon-pemahaman dan kemungkinan interaksi-interaksi.

Dunia-kehidupan adalah "know-how" yang sebagian besar tersirat yang terstruktur secara holistik dan tidak siap (secara keseluruhannya) pada kendali reflektif yang sadar.

Kita mengambilnya dengan disosialisasikan ke dalam kesamaan pola-pola makna bersama dan struktur-struktur kepribadian yang disediakan oleh institusi sosial budaya kita seperti : keluarga, pendidikan, agama, masyarakat sipil, dan seterusnya. Dunia-kehidupan menetapkan norma-norma yang menyusun interaksi sehari-hari kita.

Kita biasanya tidak berbicara tentang norma-norma yang digunakan untuk mengatur perilaku kita.

Kita hanya menganggap norma-norma berdiri di atas alasan-alasan yang baik dan menerapkannya secara intuitif.

Tetapi bagaimana jika seseorang dengan sengaja melanggar atau secara eksplisit menolak suatu-norma ?

Ini adalah "panggilan" kepada wacana untuk menjelaskan dan memperbaiki terhadap pelanggaran atau perubahan norma.

Sebagai sebuah contoh tingkat-mikro : jika seseorang melanggar sebuah janji, maka ia akan diminta untuk melakukan justifikasi perilakunya dengan alasan-alasan yang bagus atau meminta maaf.

Komunikasi wacana seperti ini, juga "dipanggil" ketika norma-norma mengalami kerusakan yang lebih serius : seseorang dapat mempertanyakan alasan-alasan di balik norma-norma dan apakah norma-norma itu masih tetap-valid, atau memilih lari ke dalam situasi baru dan kompleks di mana tidak jelas norma-norma apa, bagaimana, sampai sejauh mana jika norma-norma itu diterapkan.

Terlepas dari seberapa serius pelanggaran norma-itu, kita perlu terlibat dalam wacana untuk memperbaiki, dan menentukan kembali norma-norma bersama yang memungkinkan kita untuk menghindari konflik, menstabilkan-harapan, dan menyelaraskan-kepentingan.

Wacana adalah mekanisme modern yang sah untuk memperbaiki dunia-kehidupan, itu menyatu di dalam apa yang disebut oleh Habermas sebagai tindakan-komunikatif.

Tindakan-komunikatif dapat dilihat sebagai sebuah perilaku-praktis atau cara untuk melibatkan orang-lain yang sangat-konsensual dan yang sepenuhnya menyatukan tujuan-tujuan yang tertanam di dalam tutur-kata yaitu mencapai sebuah kesepahaman-bersama.

Dalam tulisan-tulisan selanjutnya, Habermas membedakan tindakan-komunikatif yang lemah dan kuat.

Bentuk-lemah adalah sebuah pertukaran alasan-alasan yang ditujukan untuk kesepahaman-bersama.

Bentuk-kuat adalah sebuah perilaku-praktis dalam keterlibatan menemukan kerja-sama yang cukup kuat didasarkan pada konsensus terhadap konten-substantif dari aktivitas bersama. Ini memungkinkan solidaritas untuk berkembang.

Dalam bentuk apapun, tindakan-komunikatif berbeda dari tindakan-strategis, dimana di dalam interaksi sosial orang-orang bertujuan untuk mewujudkan tujuan-tujuan individu mereka sendiri dengan menggunakan orang-lain sebagai alat atau instrumen (memang, ia menyebut jenis tindakan-instrumental ketika itu soliter atau non-sosial).

Perbedaan utama antara tindakan-strategis dan tindakan-komunikatif adalah bahwa aktor-aktor strategis memiliki tujuan yang tetap di dalam benak dan tidak dapat ditawar ketika memasuki dialog.

Inti dari keterlibatan mereka adalah untuk mengajukan banding, membujuk, atau memaksa orang lain untuk mematuhi apa yang mereka pikir diperlukan untuk membawa ke tujuan mereka.

Sebaliknya, pihak yang bertindak komunikatif mencari sebuah kesepahaman-bersama yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk kerja sama.

Pada prinsipnya, ini melibatkan keterbukaan terhadap sebuah perubahan pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan seseorang di hadapan alasan-alasan dan argumen-argumen yang lebih baik.

Kontras antara tindakan-komunikatif dan tindakan-strategis terkait erat dengan perbedaan antara rasionalitas-komunikatif dan rasionalitas-purposif.

Rasionalitas-purposif adalah ketika seorang aktor mengambil sebuah orientasi kepada dunia yang difokuskan pada pengetahuan-kognitif tentang hal itu, dan menggunakan pengetahuan itu untuk mewujudkan tujuan-tujuan di dunia.

Sebagaimana dicatat, ia memiliki varian sosial (strategis) dan non-sosial (instrumental).

Rasionalitas-komunikatif adalah ketika para aktor juga mempertanggungjawabkan hubungan mereka satu sama lain yang dipandu norma-norma dalam dunia-sosial yang dihuni bersama, dan mencoba mengkoordinasikan tindakan secara bebas-konflik.

Pada model rasionalitas ini, para aktor tidak hanya peduli dengan tujuan-tujuan mereka sendiri atau mengikuti norma-norma yang relevan yang dilakukan oleh orang lain, tetapi juga menantang dan merevisinya berdasarkan alasan-alasan yang baru dan lebih baik.

Mendekati rasionalitas setelah orientasi-orientasi-tindakan tidak hanya bersifat tipikal.

Habermas mencatat bahwa meskipun banyak ahli teori memulai dengan rasionalitas dan kemudian menganalisa tindakan, pandangan terhadap tindakan dengan urutan analisis semacam itu memerintahkan kita untuk menerima dapat secara diam-diam menyelundup dalam konotasi-konotasi bersifat nyaris-ontologis tentang kemungkinan hubungan-hubungan aktor-aktor dapat dimiliki antara mereka sendiri dan dengan dunia.

Sesungguhnya, kekeliruan ini merupakan bagian penting kritik Habermas terhadap pandangan Weber tentang rasionalisasi sosial progresif yang dibawa oleh modernitas.

Weber membingkai rasionalisme-barat dalam terma penguasaan-dunia dan kemudian secara alamiah mengasumsikan rasionalisasi-masyarakat berarti hanya peningkatan rasionalitas-purposif.

Sebagaimana terlihat dari penjelasan Habermas tentang pemahaman-sosial, ini bukanlah satu-satunya cara untuk memahami evolusi-masyarakat atau spesies secara keseluruhan sepanjang sejarah.

Dengan memperluas rasionalitas yang melampaui rasionalitas-purposif, Habermas mampu menolak kesimpulan Weberian yang menarik bagi Horkheimer dan Adorno : bahwa peningkatan rasionalisasi dari modernitas menghasilkan dunia-tanpa-makna, orang-orang fokus pada kontrol untuk tujuan-pribadi mereka, dan bahwa penyebaran rasionalitas-pencerahan secara konseptual menjadi tangan dengan sarung-tangan dominasi.

Habermas merasakan gagasan-rasionalitas dalam Teori-Tindakan-Komunikatif-nya menolak kritik-kritik semacam itu.

Perbedaan tajam antara tindakan-komunikatif dan tindakan-strategis terutama menyangkut bagaimana suatu tindakan-dikejar.

Memang, meskipun orientasi-orientasi tindakan ini saling-terpisah ketika dilihat dari perspektif seorang aktor, tujuan yang sama sering dapat didekati dengan cara-cara komunikatif atau strategis.

Misalnya, di kota saya, saya mungkin berdiskusi dengan tetangga di mana kami memutuskan bahwa kita memiliki kesamaan-kepentingan untuk membersihkan salju dari jalan, dan bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan bergantian-membersihkannya. Ini bisa dijelaskan sebagai contoh tindakan-komunikatif.

Tapi, bayangkan seorang penyendiri yang kaya dan berkuasa yang acuh tak acuh terhadap tetangganya. Dia hanya bisa membayar snowplow untuk membersihkan jalan sampai ke jalan masuknya. Dia juga bisa menggunakan kekuatannya untuk memanipulasi atau mengancam orang lain untuk membersihkan salju baginya (misalnya, dia bisa memanggil walikota dan mengatakan dia mungkin akan menahan sumbangan kampanye jika salju tidak dibersihkan).

Tindakan-strategis adalah tentang memunculkan, mendorong, atau memaksa perilaku orang lain untuk mewujudkan tujuan-tujuan individual seseorang.

Ini berbeda dari tindakan-komunikatif, yang berakar pada memberi dan menerima alasan-alasan dan kekuatan yang tidak-memaksa dari argumen-terbaik yang membenarkan sebuah norma-tindakan.

Tindakan-strategis dan rasionalitas-purposif tidak selalu tidak diinginkan. Ada banyak domain-sosial di mana mereka sangat berguna dan diharapkan.

Bahkan, keduanya sering dibutuhkan karena tindakan-komunikatif sangat menuntut dan masyarakat modern begitu rumit sehingga memenuhi tuntutan ini sepanjang waktu adalah tidak mungkin.

Sang-pembicara yang terlibat dalam tindakan-komunikatif harus menawarkan justifikasi-justifikasi untuk mencapai sebuah kesepakatan yang dipegang dengan jujur bahwa tujuan-tujuan dan kerja-sama mereka untuk mencapainya tampak baik, tepat, dan benar (lihat bagian 5).

Namun, dalam masyarakat modern yang kompleks dan pluralistik, tuntutan-tuntutan semacam itu seringkali tidak realistis.

Konteks-sosial-modern sering kekurangan peluang-peluang untuk diskusi yang sangat-konsensual.

Inilah sebabnya mengapa Habermas berpikir bahwa tindakan-komunikatif yang lemah mungkin mencukupi untuk domain-yang-rendah di mana tidak semua tiga-jenis-klaim-validitas itu mendominasi, dan mengapa interaksi-strategis sangat cocok untuk domain-domain yang lain.

Bagi Habermas, masyarakat-masyarakat modern memerlukan domain-domain-sosial yang terstruktur secara sistematis yang melonggarkan tuntutan-komunikatif namun tetap mencapai sedikit integrasi-sosial.

Habermas mengambil aparat-institusional dari administrasi-negara dan pasar-kapitalis untuk menjadi contoh paradigmatis integrasi-sosial melalui sistem-sistem daripada melalui dunia-kehidupan.

Sebagai contoh, jika sebuah birokrasi-negara mengelola keuntungan atau layanan dengan sendirinya menjadi pelaksana keputusan-keputusan sebelumnya dari sebuah realitas-politik.

Dengan demikian, dialog-terbuka dengan seorang penggugat menjadi tidak masuk akal : seseorang baik memenuhi syarat atau tidak, sebuah hukum tetap-diterapkan atau tidak-diterapkan.

Demikian pula, para pelaku dalam pasar yang didefinisikan dan diatur secara jelas, tahu di mana batas-batas pasar berada dan bahwa setiap orang di dalam pasar terlibat secara strategis. Setiap pelaku pasar mencari manfaat individual.

Sedikit kurang masuk akal untuk mencoba sebuah dialog-terbuka dalam sebuah konteks di mana seseorang menganggap semua yang lain bertindak secara strategis demi meraih keuntungan.

Kedua domain-sosial itu mengkoordinasi-tindakan, tetapi tidak melalui komunikasi kooperatif-dan-konsensus yang kuat yang menghasilkan solidaritas.

Tentu saja, tidak semua interaksi skala-besar dan terlembagakan bersifat strategis. Beberapa domain-sosial seperti kolaborasi-ilmiah atau politik-demokratis melembagakan proses-proses refleksif tindakan-komunikatif (lihat bagian 5 tentang teori demokrasi).

Dalam kerja-sama seperti itu dapat menghasilkan solidaritas di dalam seluruh aktivitas.

Meski begitu, integrasi-sistem-sistem seperti yang ditemukan pada birokrasi atau pasar berbeda tajam dari integrasi melalui tindakan-komunikatif.

Perlu ditekankan bahwa itu hanyalah contoh-contoh paradigmatis, dan bahwa domain-sosial yang sama dapat dilembagakan secara berbeda dalam semua masyarakat.

Oleh karena itu, lebih berguna untuk melihat media-koordinatif yang biasanya digunakan untuk berinteraksi dan mengarahkan sistem-apapun yang telah terlembagakan daripada menempatkan sebuah tipologi-fiktif dari domain-domain-sosial yang jelas dimana di dalamnya diasumsikan terjadi tindakan-strategis atau tindakan-komunikatif.

Habermas mengidentifikasi media seperti itu yaitu : tutur-kata, uang, dan kekuasaan.

Tutur-kata adalah media yang dengannya kesepahaman dicapai dalam tindakan-komunikatif, sementara uang dan kekuasaan adalah media non-komunikatif yang mengkoordinasikan-tindakan di dalam dunia seperti birokrasi-negara atau pasar.

Satu media sebagian besar dapat digunakan dalam satu domain-sosial tetapi itu tidak berarti ia tidak memiliki peran dalam domain-sosial yang lain.

Meskipun tutur-kata adalah media utama dalam politik-demokrasi yang sehat, ini tidak berarti uang dan kekuasaan tidak memainkan peranan.

Ini semua tampaknya menyiratkan bahwa tidak ada satu cara yang tepat agar sistem dan dunia-kehidupan secara bersama-sama dapat mencapai integrasi-sosial.

Memang, komplementaritas antara sistem dan dunia-kehidupan yang ditata dalam Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif) adalah cukup luas untuk mengakomodasi wilayah-luas berbagai macam pluralisme-institusional dengan mempertimbangkan struktur pasar, birokrasi, politik, kolaborasi ilmiah, dan sebagainya.

Namun, pendapat bahwa tidak ada "satu ukuran cocok untuk semua cetakan" untuk integrasi-sosial tidak boleh diterima sebagai pendapat bahwa sistem dan dunia-kehidupan tidak memiliki hubungan yang memadai.

Sosialisasi ke sebuah dunia-kehidupan mengawali integrasi-sosial melalui sistem-sistem. Ini benar secara historis dan pada tingkat individual.

Selain itu, Habermas berpendapat bahwa dunia-kehidupan memiliki keutamaan-konseptual dari pada integrasi-sistem-sistem.

Pemikirannya berjalan sebagai berikut : dunia-kehidupan adalah persediaan dari kesepahaman-normative-bersama yang prinsipil (namun dapat direvisi) yang siap bagi siapa saja untuk mengatur interaksi-sosial secara konsensual, dunia-kehidupan adalah tempat-penampungan tindakan-komunikatif.

Integrasi-sistem-sistem merepresentasikan dengan hati-hati dunia-dunia tindakan-instrumental dan tindakan-strategis yang terbatas, dimana di dalamnya kita dibebaskan dari tuntutan-tuntutan penuh tindakan-komunikatif.

Namun, definisi dan batasan dari dunia-dunia ini selalu bergantung pada tindakan-komunikatif dengan menimbang, misalnya, jenis-pasar-apa atau administrasi-negara-apa yang ingin dimiliki oleh komunitas dan mengapa.

Tanpa berakar dalam kesepahaman-bersama dari dunia-kehidupan, kita akan mendapatkan sistem-sistem uang dan kekuasaan yang tanpa-batas, terputus dari penalaran-praktis yang dipercaya secara intersubjektif yang menurut Habermas mendukung semua makna.

Pengorganisasian prinsip-prinsip dari sistem-sistem itu sendiri akan berhenti menjadi koheren.

Sebagai contoh, persaingan-pasar akan masuk-akal dengan sebuah latar-belakang prinsip-prinsip normatif seperti keadilan, kesempatan yang sama untuk bersaing, aturan-aturan melawan penggunaan informasi rahasia, dan sebagainya.

Tetapi jika pasar tidak-begitu-dikekang sehingga prinsip-prinsip di atas tidak bisa lagi diterapkan, maka keterlibatan dalam aktivitas pasar akan tidak-masuk-akal.

Demikian pula, jika pasar diatur begitu ketat sehingga tidak ada risiko atau peluang nyata, maka pasar juga akan mulai kehilangan koherensi sebagai sebuah aktivitas.

Dalam kedua skenario hipotetis miring ini sistem dicurangi dan dengan demikian, jika ada alternatif fungsional, maka tidak ada manfaat untuk berpartisipasi di dalamnya.

Ini adalah sebuah varian argumen-anti-teknokrasi awal dari Habermas. Meletakkan kebutuhan-objektif seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial, keamanan nasional dan kemudian menyelimuti tindakan-komunikatif dengan selubung ketidaksetujuan terhadap apa jenis pertumbuhan, stabilitas, dan keamanan yang penting untuk komunitas tertentu dan mengapa.

Dengan demikian, sistem yang dirancang untuk mencapai tujuan ini diprioritaskan untuk mengurangi koherensi dan legitimasi berdasarkan prinsip-prinsip penataan yang diterima secara luas.

Habermas berpikir bahwa dunia-kehidupan mengisi ulang dirinya sendiri melalui tindakan-komunikatif : jika kita menolak warisan kesepahaman-bersama disisipkan dalam praktik-praktik-normatif kita, kita dapat menggunakan tindakan-komunikatif untuk merevisi norma-norma-itu atau membuat yang baru.

Mekanisme integrasi-sistem-sistem bergantung pada latar-belakang dunia-kehidupan ini bagi koherensi-nya sebagai aktivitas yang mencapai sedikit integrasi-sosial.

Masalahnya adalah bahwa sistem-sistem memiliki logika yang mengabadikan dirinya sendiri, jika tidak disingkirkan maka akan menjajah dan menghancurkan dunia-kehidupan.

Ini adalah tesis utama dalam Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif) : tindakan-strategis yang menyatu dalam domain-domain integrasi-sistem-sistem harus diimbangi dengan tindakan-komunikatif yang menyatu dalam institusi-institusi tindakan-komunikatif refleksif seperti politik-demokratis.

Jika suatu masyarakat gagal untuk mencapai keseimbangan ini, maka integrasi-sistem-sistem akan perlahan-lahan merambah dunia-kehidupan, menyerap fungsinya, dan melukis dirinya sendiri sebagai sesuatu yang pasti, tidak berubah, dan berada di luar kendali manusia.

Pasar saat ini dan struktur-negara akan menjadi lapisan-adi-kodrati atau tak-terelakkan, dan mereka yang memerintah tidak akan lagi memiliki sumber daya normatif bersama yang dengannya mereka bisa mencapai kesepahaman-bersama tentang bagaimana secara kolektif mereka menginginkan lembaga-lembaga yang seperti apa.

Menurut Habermas, ini akan mengarah kepada berbagai patologi-sosial di tingkat mikro : tidak ada panduan moral (anomie), alienasi, kurangnya ikatan sosial, ketidakmampuan untuk mengambil tanggung jawab, dan ketidakstabilan sosial.

Dalam Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), Habermas menaruh harapannya untuk melawan penjajahan terhadap dunia-kehidupan kepada seruan untuk menyegarkan dan mendukung gerakan-sosial baru di tingkat akar rumput, karena mereka dapat secara langsung menarik sumber daya normatif dari dunia-kehidupan.

Model politik-demokratis ini pada dasarnya mendorong kelompok-kelompok warga-negara demokratis yang terlibat untuk menopang batas-batas ruang-publik dan masyarakat sipil melawan domain-domain integrasi-sistem-sistem yang mengganggu seperti pasar dan administratif-negara.

Inilah sebabnya mengapa teori-politik awalnya sering disebut model-pengepungan dari politik-demokratis. Bagian 5 akan menunjukkan, model ini sangat banyak direvisi di dalam karyanya Between Facts and Norms (Antara Fakna-Fakna dan Norma-Norma).

Sebelum beralih ke karya itu, kita harus menyempurnakan bahasan etika-diskursus --sebuah gagasan yang dideskripsikan dalam karya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), tetapi yang baru dikembangkan sepenuhnya kemudian.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H3
Pemahaman Pribadi