Baik dari kalangan luar Islam maupun dari kalangan kaum muslimin sendiri, filsafat Islam mendapat kritikan dan tantangan.
Kalau dari kalangan luar Islam, sebagaimana disebutkan, ada yang meragukan tentang kepribadian filsafat Islam yang berbeda dengan kepribadian filsafat Yunani, maka dari kalangan ulama-ulama agama (Islam) timbul sikap menolak terhadap keseluruhan filsafat karena alasan-alasan yang dihubungkan dengan agama.
Kalau dari kalangan luar Islam, sebagaimana disebutkan, ada yang meragukan tentang kepribadian filsafat Islam yang berbeda dengan kepribadian filsafat Yunani, maka dari kalangan ulama-ulama agama (Islam) timbul sikap menolak terhadap keseluruhan filsafat karena alasan-alasan yang dihubungkan dengan agama.
Memang dalam kalangan dunia Islam ada orang-orang agama yang bisa mengikuti perkembangan zaman, bahkan mendahuluinya, dan membela kebebasan berpikir.
Akan tetapi disamping mereka terdapat pula ulama-ulama agama yang membeku dan berharap akan dapat menghentikan dunia sekelilingnya yang selalu bergerak maju, karena tidak bisa menerima pikiran-pikiran baru yang berlainan, dan sikap mereka nampak jelas terhadap filsafat Islam.
Akan tetapi disamping mereka terdapat pula ulama-ulama agama yang membeku dan berharap akan dapat menghentikan dunia sekelilingnya yang selalu bergerak maju, karena tidak bisa menerima pikiran-pikiran baru yang berlainan, dan sikap mereka nampak jelas terhadap filsafat Islam.
Filosof-filosof Islam berpendirian bahwa tujuan filsafat mirip dengan tujuan agama karena keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan baik.
Juga mereka mengatakan bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini.
Berbeda dengan itu, maka pendirian ulama-ulama pada umumnya sangat memusuhi filsafat tanpa ragu-ragu.
Pada masa dahulu ilmu-ilmu yang datang dari Yunani terkenal dengan nama "ilmu-ilmu kuno (ullum al-awail)", sebagai imbangan Syara' (al-ullumas-Syar'iyyah).
Ilmu-ilmu kuno tersebut sangat diragukan kebenarannya oleh golongan Ahlussunnah ekstrim, meskipun oleh golongan lain diterima dengan penuh perhatian, terutama sejak permulaan abad ke-2 Hijriah.
Bahkan golongan Ahlussunnah menolak setiap ilmu yang ada pertaliannya dengan filsafat, meskipun sikap ini sangat disayangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Al-Mun-qidzu min ad-Dlalal, sungguhpun ia sendiri adalah lawan terbesar bagi filsafat.
Lebih dari itu, mempelajari filsafat dianggap peremehan terhadap agama dan diragukan keseluruhan aqidahnya.
Di antara lapangan-lapangan filsafat, maka filsafat Metafisika atau filsafat Ketuhanan dari Aristoteles-lah yang pertama-tama menjadi sasaran kemarahan Ahlusunnah, karena seluruh pemikiran Aristoteles dipandang berlawanan sama sekali dengan kepercayaan-kepercayaan Islam.
Ilmu berikutnya adalah ilmu Mantik (logika), yang diangggap berbahaya bagi akidah-akidah agama dan oleh kerenanya maka ditulislah berbagai-bagai buku untuk menentang ilmu tersebut.
Ilmu Matematika-pun pada gilirannya mendapat kritikan karena dianggap dapat menyiapkan jalan kepada filsafat. Akan tetapi sikap mereka kepada ilmu Hitung adalah lunak, karena ilmu ini merupakan suatu keperluan bagi ilmu pembagian harta-pusaka (faraidi).
Sebagai akibat tantangan-tantangan tersebut, maka banyaklah filosof-filosof Islam yang difitnah dan buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh Ibnu Rusyd.
Memang serangan al-Ghazali terhadap filsafat besar sekali di belahan barat Dunia Islam, dimana Ibnu Rusyd bertempat tinggal.
Namun pada masa-masa yang lebih kemudian, barangkali Dunia Islam tidak mengenal fatwa yang begitu keras dan yang melarang filsafat dan Mantik, seperti : Ibn as-Shalah.
Ketika ia diminta pendapatnya tentang hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu Mantik, tentang pemakaian istilah-istilah ilmu Mantik dalam menetapkan hukum-hukum Syara', dan tentang tindakan apa yang harus diambil terhadap orang-orang ahli filsafat yang menulis dan mengajar filsafat di sekolah-sekolah umum, maka ia menjawab sebagai berikut :
Juga mereka mengatakan bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini.
Berbeda dengan itu, maka pendirian ulama-ulama pada umumnya sangat memusuhi filsafat tanpa ragu-ragu.
Pada masa dahulu ilmu-ilmu yang datang dari Yunani terkenal dengan nama "ilmu-ilmu kuno (ullum al-awail)", sebagai imbangan Syara' (al-ullumas-Syar'iyyah).
Ilmu-ilmu kuno tersebut sangat diragukan kebenarannya oleh golongan Ahlussunnah ekstrim, meskipun oleh golongan lain diterima dengan penuh perhatian, terutama sejak permulaan abad ke-2 Hijriah.
Bahkan golongan Ahlussunnah menolak setiap ilmu yang ada pertaliannya dengan filsafat, meskipun sikap ini sangat disayangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Al-Mun-qidzu min ad-Dlalal, sungguhpun ia sendiri adalah lawan terbesar bagi filsafat.
Lebih dari itu, mempelajari filsafat dianggap peremehan terhadap agama dan diragukan keseluruhan aqidahnya.
Di antara lapangan-lapangan filsafat, maka filsafat Metafisika atau filsafat Ketuhanan dari Aristoteles-lah yang pertama-tama menjadi sasaran kemarahan Ahlusunnah, karena seluruh pemikiran Aristoteles dipandang berlawanan sama sekali dengan kepercayaan-kepercayaan Islam.
Ilmu berikutnya adalah ilmu Mantik (logika), yang diangggap berbahaya bagi akidah-akidah agama dan oleh kerenanya maka ditulislah berbagai-bagai buku untuk menentang ilmu tersebut.
Ilmu Matematika-pun pada gilirannya mendapat kritikan karena dianggap dapat menyiapkan jalan kepada filsafat. Akan tetapi sikap mereka kepada ilmu Hitung adalah lunak, karena ilmu ini merupakan suatu keperluan bagi ilmu pembagian harta-pusaka (faraidi).
Sebagai akibat tantangan-tantangan tersebut, maka banyaklah filosof-filosof Islam yang difitnah dan buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh Ibnu Rusyd.
Memang serangan al-Ghazali terhadap filsafat besar sekali di belahan barat Dunia Islam, dimana Ibnu Rusyd bertempat tinggal.
Namun pada masa-masa yang lebih kemudian, barangkali Dunia Islam tidak mengenal fatwa yang begitu keras dan yang melarang filsafat dan Mantik, seperti : Ibn as-Shalah.
Ketika ia diminta pendapatnya tentang hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu Mantik, tentang pemakaian istilah-istilah ilmu Mantik dalam menetapkan hukum-hukum Syara', dan tentang tindakan apa yang harus diambil terhadap orang-orang ahli filsafat yang menulis dan mengajar filsafat di sekolah-sekolah umum, maka ia menjawab sebagai berikut :
" Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan Syar'iyyah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dari bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajarinya, maka ia akan berteman kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh setan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari ilmu yang membutakan orang yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita. "
" Tentang Mantik, maka ia adalah jalan kepada filsafat, sedang jalan kepada keburukan adalah keburukan pula. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya tidak termasuk perkara yang dibolehkan oleh Syara', tidak pula dibolehkan oleh sahabat, tabi'in, mujtahidin, ulama-ulama salaf, dan anutan-anutan serta tokoh umat, dimana Tuhan telah membersihkan mereka dari kotoran-kotoran ilmu itu. "
" Tentang pemakaian istilah-istilah ilmu Mantik dalam hukum Syara' maka termasuk kemungkaran, dan untungnya hukum-hukum Syara' tidak memerlukan Mantik sama sekali. Apa yang dikatakan oleh ahli logika tentang definisi dan argumen-argumen untuk logika maka adalah omong kosong, dimana Tuhan telah mencukupkan pengabdi-pengabdi ilmu Syariat yang benar pikirannya dari hal-hal tersebut. Syariat dan ilmu-ilmunya teliti, dengan tidak ada Mantik, filsafat ataupun filosof-filosof. "
" Barang siapa mengira bahwa mempelajari ilmu Mantik dan filsafat karena ada faedah yang akan diperolehnya, maka ia telah dibujuk setan dan ditipunya. Maka yang wajib bagi penguasa adalah agar mereka menjauhkan keburukan-keburukan para benalu-benalu tersebut dan mengeluarkan mereka dari sekolah-sekolah. Yang lebih wajib lagi ialah memecat seorang guru sekolah dari ahli filsafat, yang mengajarkan dan membacakannya pula, kemudian dipenjarakannya dan disuruh menetap di rumahnya. "
Ibn as-Shalah juga pernah ditanya tentang hukum Syara' mengenai orang yang mempelajari Ibnu Sina dan karangan-karangannya, maka jawabnya :
" Siapa yang berbuat demikian, maka ia telah mengkhianati agamanya dan bisa kena fitnah besar, karena Ibnu Sina tidak termasuk ulama, melainkan ia termasuk setan berwujud manusia. "
Fatwa Ibn as-Shalah tersebut menjadi pegangan yang penting bagi golongan Ahlusunnah yang dipakainya setiap kali mereka hendak menyerang filsafat dan Mantik.
Gema fatwa tersebut kita dapati pada Tsy Kubra Zadah (wafat 962). Sebenarnya sebelum Ibn as-Shalah sudah banyak orang yang menyerang filsafat seperti Ibnu Hazm, al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim tetapi nampaknya fatwa Ibn as-Shalah mempunyai pengaruh destruktif yang lebih penting dikalangan Ahlusunnah.
Gema fatwa tersebut kita dapati pada Tsy Kubra Zadah (wafat 962). Sebenarnya sebelum Ibn as-Shalah sudah banyak orang yang menyerang filsafat seperti Ibnu Hazm, al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim tetapi nampaknya fatwa Ibn as-Shalah mempunyai pengaruh destruktif yang lebih penting dikalangan Ahlusunnah.
Akan tetapi meskipun demikian, dapatlah kita katakan secara jujur, seperti yang dikatakan Godziher sebagai berikut :
" Pendirian fanatik yang berisi pelarangan terhadap Mantik tidak dapat menguasai pembahasan-pembahasan agama Islam karena kitab-kitab matan (ringkasan) dalam ilmu Mantik seperti karangan al-Abhari, al-Katibi dan al-Akhdlari tetap mendapat tempatnya disamping ilmu-ilmu keislaman, malah ilmu Kalam sendiri dalam membina hukum-hukum dan metode-metodenya bersandar kepada filsafat Aristoteles, terutama sejak masa al-Fakhr ar-Razy (606 H) "
Tampaknya serangan-serangan terhadap filsafat tidak berkesan lagi pada masa-masa sesudah itu, karena agama Islam pada dasarnya tidak menghalang-halangi kebebasan berpikir, dan setiap pengekangan tidak mendapat sandarannya baik dalam Quran maupun Sunnah.
Arus pemikiran lebih bebas telah menyebabkan ulama-ulama agama pada zaman baru harus mempertemukan antara prinsip-prinsip pikiran dengan ajaran-ajaran agama, seperti Syekh Muhammad Abduh, al-Kawakibi, Muhammad Bakhit, Farid Wajdi dan lain-lain, meskipun di kalangan filosof-filosof Islam pemaduan semacam itu sudah diusahakan jauh-jauh hari sebelumnya.
Arus pemikiran lebih bebas telah menyebabkan ulama-ulama agama pada zaman baru harus mempertemukan antara prinsip-prinsip pikiran dengan ajaran-ajaran agama, seperti Syekh Muhammad Abduh, al-Kawakibi, Muhammad Bakhit, Farid Wajdi dan lain-lain, meskipun di kalangan filosof-filosof Islam pemaduan semacam itu sudah diusahakan jauh-jauh hari sebelumnya.
Sumber :
Hal 19-21
Buku Pengantar Filsafat Islam
Ahmad Hanafi, MA
Penerbit Bulan-Bintang
No comments:
Post a Comment