Etika-wacana dirancang untuk masyarakat-kontemporer di mana para-pelaku-moral menghadapi beragam gagasan tentang kebaikan dan mencoba untuk bertindak atas dasar prinsip-prinsip yang dapat dibenarkan secara publik.
Teori-ini pertama kali menerima artikulasi eksplisit dan independen dalam karyanya Moral Consciousness and Communicative Action (Kesadaran Moral dan Tindakan Komunikatif) (Jerman 1983, Inggris 1990a) dan Justification and Application (Justifikasi dan Aplikasi) (German 1991a, English 1993), tetapi teori-itu telah dipersiapkan dan bergantung pada gagasan-gagasan dalam karya sebelumnya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif.)
Tinjauan berikut ini ditarik dari karya-karya di atas. Sama seperti bagian sebelumnya, tinjauan hanya menelusuri garis besar etika-wacana.
Etika-wacana menerapkan kerangka sebuah teori-pragmatis-tentang-makna dan rasionalitas-komunikatif terhadap dunia-moral untuk menunjukkan bagaimana norma-norma-moral dibenarkan dalam masyarakat-kontemporer.
Etika-wacana bisa dilihat sebagai sebuah-teori yang mengungkap apa yang kita lakukan secara pragmatis ketika membuat dan mempertahankan klaim-validitas-moral yang mendasari dan dimanifestasikan dalam norma-norma kehidupan kita. Namun, kita perlu berhati-hati dengan karakterisasi ini.
Karena keterikatan kognitif-nya terhadap pemahaman dan pengetahuan moral, etika-wacana tidak bisa begitu saja hanya menjadi sebuah deskripsi-rekonstruktif mengenai bagaimana kita secara praktis menghindari konflik-konflik dan menstabilkan harapan-harapan dalam konteks-sosial pasca-konvensional.
Etika-wacana juga sebuah upaya untuk menyediakan prosedur-formal guna menentukan norma-norma-mana yang secara moral benar, salah, dan diizinkan dalam kenyataan.
Etika-wacana terletak dalam kotak tradisi deontologi Neo-Kantian yang menerima kebenaran dan kesalahan terhadap kewajiban-kewajiban dan tindakan-tindakan bersifat universal-dan-absolut.
Pada pandangan seperti itu, norma-norma-moral yang sama berlaku untuk semua-pelaku secara sama. Norma-norma secara ketat mengikat seseorang untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, melarang tindakan yang lain, dan menentukan batas-batas kebolehannya.
Tidak ada validitas-relatif terhadap norma-norma-moral yang murni, meskipun seperti yang seharusnya kita lihat, norma-norma dapat ditanamkan dalam konteks-konteks-sosial yang memiliki berbagai konsekuensi pada penerapannya.
Selama peringatan terhadap batasan ini dipegang teguh dalam pikiran, kita dapat memahami etika-wacana dengan menganalisis praktik pembuatan dan mempertahankan klaim-validitas dan bagaimana disana terdapat kondisi-kondisi tertentu adanya kemungkinan landasan-tependam yang kuat dan membuat berjalannya praktik ini.
Kondisi-kondisi apa yang bisa membuat praktik ini berjalan ?
Seperti telah disinggung di atas, Habermas meletakkan sejumlah prakonsepsi-pragmatis tertentu yang tidak-dapat-dihindari terhadap tutur-kata, yang ketika diwujudkan dalam wacana, dapat memperkirakan sebuah kontra-faktual terhadap situasi-tutur-kata-yang-ideal menuju derajat yang lebih-besar/menjauhi atau lebih-kecil/mendekati.
Para peserta-wacana harus mem-prakonsepsi-kan kondisi-kondisi ini agar praktik-praktik justifikasi-diskursif menjadi masuk-akal dan agar argumen-argumen menjadi benar-benar persuasif. Empat prakonsepsi berikut ini diidentifikasi sebagai yang paling penting :
(i. ) Tidak ada seorangpun yang mampu memberi kontribusi yang relevan tidak dilibatkan.
(ii. ) Semua peserta memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi.
(iii.) Semua peserta jujur dengan makna apa yang mereka katakan, dan
(iv.) Persetujuan atau perbedaan pendapat didorong oleh kekuatan alasan dan kemampuannya untuk membujuk melalui argumentasi diskursif daripada melalui paksaan, tekanan, dan sebagainya.
(ii. ) Semua peserta memiliki kesempatan yang sama untuk memberikan kontribusi.
(iii.) Semua peserta jujur dengan makna apa yang mereka katakan, dan
(iv.) Persetujuan atau perbedaan pendapat didorong oleh kekuatan alasan dan kemampuannya untuk membujuk melalui argumentasi diskursif daripada melalui paksaan, tekanan, dan sebagainya.
Intinya bukanlah wacana-wacana-aktual harus selalu mewujudkan kondisi-kondisi di atas, inilah sebab mengapa situasi-tutur-kata-yang-ideal paling baik dipahami sebagai sebuah regulatif-ideal yang kontra-faktual.
Sebaliknya, intinya adalah bahwa output (kesepakatan/konsensus) dari setiap wacana-apapun hanya diterima cukup-valid dengan masuk-akal (secara empiris benar, tepat secara moral, dan seterusnya) di bawah praanggapan bahwa kondisi-kondisi di atas telah cukup terpenuhi.
Segera setelah sebuah pelanggaran terhadap kondisi-kondisi itu ditemukan, hal ini memunculkan keraguan terhadap validitas dari output-diskursif (kesepakatan/konsensus).
Sebagai tambahan pada berbagai prakonsepsi-pragmatis di atas, Habermas mengusulkan prinsip-wacana-nya.
Prinsip ini dimaksudkan untuk menangkap sifat yang tidak-memihak, ia menyatakan justifikasi-diskursif terhadap norma-norma-praktis yang dibutuhkan dalam masyarakat pasca-konvensional adalah sebagai berikut :
" hanya kepada norma-norma-tindakan yang valid, semua orang yang mungkin terkena dampak bisa sepakat sebagai peserta dalam wacana-rasional "
Meski prinsip-wacana Habermas pada awalnya dibingkai sebagai sebuah prinsip untuk wacana-moral, prinsip-wacana-nya segera direvisi ke bentuk yang lebih umum di atas, karena banyak norma-norma-praktis berkaitan dengan interaksi-interpersonal yang tidak-langsung menyangkut moral bahkan jika norma-norma-praktis itu harus sesuai dengan moralitas.
Namun demikian bahkan dalam bentuknya yang diperluas, adalah penting untuk dicatat bahwa prinsip-wacana hanya diterapkan pada wacana-wacana yang terkait dengan norma-norma-praktis mengenai perilaku-interpersonal yang diharapkan/dikehendaki, tidak kepada semua wacana yang memperhatikan hal teoritis, estetika, atau terapeutik (yang mungkin atau mungkin tidak melibatkan interaksi sosial interpersonal).
Panduan dalam berpikir adalah bahwa jika wacana-wacana mengenai norma-sebuah-tindakan dilakukan dengan cara yang cukup-ideal dan menghasilkan konsensus maka ini adalah sebuah indikasi yang baik bahwa norma itu adalah valid.
Prinsip itu tidak menyatakan bahwa konsensus yang dicapai melalui wacana menyusun unsur validitas, bukan pula norma-apapun yang diterima masyarakat setelah melalui wacana yang tampak cukup-ideal dijamin valid.
Sebaliknya, prinsip-wacana hanya memegang bahwa konsensus mengenai sebuah norma bisa menjadi penguji yang baik terhadap validitas jika dicapai melalui cara-diskursif dengan jenis-wacana-yang-tepat.
Penting untuk dicatat bahwa, karena cakupannya yang sangat luas, prinsip-wacana terutama berfungsi dengan menunjukkan norma-norma yang tidak-valid.
Dengan sendirinya prinsip-wacana tidak dapat memberi tahu kita norma-norma-mana yang valid. Itu hanya dapat membantu kita melakukan identifikasi terhadap norma-norma yang merupakan kandidat-kandidat yang baik terhadap validitas.
Selain itu, sebelum validitas sebuah norma-tindakan dapat dinilai, kita memerlukan rincian lebih jauh mengenai jenis-jenis-wacana dan klaim-validitas terhadap persoalan-persoalan.
Dalam proyeknya etika-wacana, Habermas mengidentifikasi jenis-wacana sebagai : wacana-moral, wacana-etika, dan wacana-pragmatis.
Setiap jenis-wacana membawa penalaran-praktis yang berbeda-beda, membingkai dan menganalisis pertanyaan-pertanyaan di bawah pokok tinjauan tujuan (praktis), baik (etis), atau adil (moral).
Istilah pembeda jenis-jenis-wacana tidak boleh diartikan bahwa norma-norma hadir telah dikemas dalam berbagai jenis-wacana.
Sebaliknya, norma-apapun dapat ditemakan secara diskursif dalam salah satu cara itu dan tidak boleh dibatasi secara sembarangan kepada satu jenis-wacana tertentu.
Dengan kehati-hatian pikiran, kita dapat memulai untuk memahami jenis-jenis-wacana dan norma-norma yang dihasilkannya.
Wacana-etis adalah sebuah tempat yang baik untuk memulai. Dalam hal, sementara wacana-etis dibatasi oleh hasil-hasil wacana-moral dan oleh karenanya tidak-fondasional (bukan-hal-paling-dasar), pembahasan kita sebelumnya tentang dunia-kehidupan menyediakan peralihan-halus yang tepat.
Wacana-etis secara paradigmatik adalah tentang klarifikasi, penyesuaian secara sadar, dan perwujudan identitas, sejarah, dan pemahaman-diri dari sebuah kelompok atau seorang individu. Wacana-etis membuat klaim-validitas lebih mengacu kepada keaslian (ontentisitas) daripada kebenaran atau ketepatan.
Wacana-etis juga melibatkan penilaian-penilaian terhadap nilai sebuah bentuk atau praktik sosial tertentu yang berkaitan dengan kehidupan yang baik dalam suatu komunitas.
Ini adalah salah satu alasan mengapa hasil-hasil dari wacana-etis akan memiliki validitas-relatif : wacana-etis bermaksud menebus kesalahan klaim-validitas dari para-pelaku dalam suatu komunitas atau yang lain.
Alasan lain adalah bahwa nilai-nilai berbeda dengan jenis-kepentingan-yang-dapat-digeneralisasikan-atau-dapat-diuniversalkan yang menyatu di dalam norma-norma-moral.
Sementara norma-norma-moral dimaksudkan secara ketat mewajibkan pelaku untuk melakukan atau tidak-melakukan suatu tindakan, nilai-nilai mengakui tingkatan-kualitas.
Sementara norma-norma-moral menyatakan prinsip-prinsip yang didukung oleh alasan-alasan rasional, nilai-nilai adalah unsur-unsur dari makna-bersifat-afektif yang dibutuhkan bagi kemuliaan hidup dalam sebuah konteks sosial tertentu.
Nilai-nilai terhubung dengan alasan-alasan rasional tetapi tidak dapat direduksi kepada alasan-alasan itu.
Nilai-nilai dapat mengarahkan kita pada tujuan-tujuan, membantu motivasi, dan membantu keberhasilan menempuh dunia-kehidupan tetapi sendirian ia tidak dapat mendasari kewajiban-kewajiban-moral.
Nilai-nilai mempunyai daya menarik atau mendorong tetapi tidak membujuk, nilai-nilai dapat memberikan motivasi untuk melakukan-hal-yang-tepat agar berkehendak untuk mengikuti pandangan-moral tetapi tidak membentuk atau bahkan selalu membantu kita memahami apa hal-hal-yang-tepat.
Wacana-wacana-etis berakar pada hal-hal etika, yang berbeda dengan moralitas.
Seperti banyak para filsuf, Habermas memisahkan wilayah-yang-tepat dengan wilayah-yang-baik.
Mengikuti secara longgar terminologi Hegelian, Habermas memisahkan hal-itu sebagai perbedaan antara moralitas dan etika.
Etisitas adalah sebuah cara-hidup yang terdiri dari unsur-unsur kognitif dan afektif serta elemen-elemen yang lebih struktural yang memproduksi kembali cara-hidup itu seperti berbagai hukum, lembaga-lembaga, konvensi-konvensi, peran-peran sosial, dan sebagainya.
Etisitas bersifat partikularistik dalam hal ia mendefinisikan tujuan-tujuan dalam terma hal-hal apa yang baik bagi suatu kelompok sebagai sebuah keseluruhan serta anggota-anggotanya.
Karena Habermas percaya pada model-teori individuasi-melalui-sosialisasi dari George Herbert Mead, etisitas adalah tertanam secara mendalam dan terhubung dengan dunia-kehidupan.
Tidak ada yang bisa membuang begitu saja perspektif-etis mereka yang sudah diinternalisasi, sama seperti tidak ada orang yang bisa melangkah keluar dari dunia-kehidupan yang mereka warisi.
Individu selalu dalam pengertian terikat dengan identitas, praktik, dan nilai-nilai dari pendidikan dan tradisi mereka bahkan jika mereka menolaknya.
Namun, seperti kritik yang jelas dari Habermas kepada Gadamer, perspektif-etis tidak menentukan kita. Wacana-wacana-etis menjelaskan bagaimana ini terjadi dengan melakukan mediasi antara warisan dan transendensi.
Ketika kita mewarisi dan menginternalisasi sebuah perspektif-etis sebagai individu, kita dapat selalu mempertanyakan bagian-bagiannya yang ingin kita tantang, perbaiki, atau tolak karena kurangnya alasan-alasan yang memadai yang mendasari norma-norma tertentu.
Dialektika antara etisitas yang kita internalisasi melalui sosialisasi dengan bagaimana cara kita berharap untuk menyesuaikan-kembali secara sadar sekaligus memiliki sebagian etisitas semacam itu membantu menjelaskan mengapa --tidak seperti kepada jenis-wacana lain-- Habermas memberi banyak perhatian pada wacana-wacana-etis baik di tingkat individual maupun kelompok.
Wacana-wacana-etis pada tingkat individual disebut wacana-etis-eksistensial sementara wacana-wacana-etis pada tingkat kelompok disebut sebagai wacana-etis-politik.
Sebagai contoh, seorang individu yang mempertimbangkan profesi tertentu akan terlibat dalam sebuah wacana-etis-eksistensial (misalnya, apakah profesi ini tepat bagi saya mengingat karakter saya dan tujuan yang ada ?),
Sementara seorang politisi mempertimbangkan apakah kebijakan-kebijakan tertentu mengekspresikan kepentingan kolektif, identitas, dan nilai-nilai akan terikat dalam wacana-etis-politik (misalnya, apakah kebijakan ini selaras dengan identitas dan komitmen-komitmen kolektif yang kita miliki dan bagaimana kita ingin bergerak maju menyesuaikannya ?).
Ada dua poin kunci mengenai level-level wacana-etis ini.
Pertama, hasil-hasil dari wacana-wacana semacam itu dibatasi oleh moralitas yang mengabaikan terhadap pertanyaan apakah yang otentik pada tingkat individual atau kelompok : seorang individu tidak dapat dengan mudah memutuskan untuk menjadi pembunuh berantai persis sama dengan suatu negara tidak dapat dengan mudah menetapkan/memberlakukan kebijakan yang nyata-nyata memiliki konsekuensi-konsekuensi immoral (misalnya, bagi mereka yang yang berada di luar negara itu).
Meskipun Habermas menganggap penting untuk menjelaskan bagaimana cara moralitas ditanamkan dalam konteks-konteks-sosial melalui wacana-wacana-etis, ia kukuh menentang postmodern atau komunitarian mengenai moralitas dan keadilan.
Kedua, seringkali akan ada sebuah interaksi refleksif yang saling mempengaruhi antara dua tingkat wacana-etis ini.
Wacana-wacana tentang apa artinya asli-mendiami sebuah identitas kolektif dapat mempengaruhi urutan dan kekuatan nilai-nilai yang dipegang oleh individu, dan wacana-wacana tentang siapa yang pada dasarnya, adalah dan berkeinginan untuk dapat --melalui perlawanan terhadap interpretasi-interpretasi-dominan dari tradisi-tradisi dan menyoroti ketidakadilan yang tidak diakui-- mempengaruhi bagaimana orang lain dalam sebuah kolektivitas menyesuaikan identitas dan praktik-praktik normatif mereka agar bergerak maju.
Interaksi ini dibatasi oleh wacana-wacana-moral yang lebih luas di kedua level, sehingga membantu hasil dari wacana-wacana tersebut tetap berada dalam ranah kebolehan.
Wacana-pragmatis mirip dengan wacana-etis dalam hal keduanya memulai dari perspektif-teleologis seorang pelaku yang sudah memiliki sebuah tujuan.
Tetapi berlawanan dengan ciri refleksif, klarifikasi, dan potensi perubahan realisasi-diri dan penentuan-diri secara kolektif yang dimiliki wacana-etis, wacana-pragmatis hanya mulai dengan sebuah tujuan dari nilai yang dipraasumsikan dan bersiap untuk mewujudkan nilai itu.
Tujuan ini mungkin melibatkan identitas dan nilai-nilai tetapi bisa juga lebih banyak mengacu kepada perhatian-perhatian dan kepentingan-kepentingan sementara. Karena sasarannya dianggap bermanfaat, nilai-nilai, kepentingan-kepentingan, atau tujuan-tujuan pada suatu persoalan muncul relatif-statis.
Wacana-wacana pragmatis hanya fokus pada cara-yang-paling-efisien untuk mewujudkan atau membawa ke suatu tujuan, dan klaim-validitas mereka menyangkut apakah strategi-strategi atau intervensi-intervensi tertentu terhadap dunia cenderung memunculkan hasil yang diinginkan atau tidak.
Seperti yang dikemukakan Habermas, wacana-wacana-pragmatis berhubungan dengan "menyebabkan efek sesuai dengan preferensi-preferensi-nilai dan penentuan-penentuan tujuan sebelumnya" sedemikian hingga menghasilkan "seharusnya-yang-bersifat-relatif" yang mengekspresikan "apa yang seharusnya atau harus dilakukan ketika dihadapkan dengan masalah tertentu, jika seseorang ingin mewujudkan nilai-nilai atau tujuan-tujuan tertentu”.
"Seharusnya" adalah relatif karena itu adalah sesuatu yang mirip dengan aturan kehati-hatian yang bergantung pada apakah seorang pelaku kebetulan memiliki sebuah kepentingan tertentu atau mendapat sebuah tujuan yang layak dikejar.
Akhirnya, kita beralih kepada apa yang mungkin dilihat sebagai jenis-wacana yang paling penting yaitu wacana-moral.
Wacana-moral adalah lebih luas dalam cakupan dan menetapkan klaim-validitas yang lebih kuat daripada wacana-etis atau wacana-pragmatis.
Wacana-wacana-moral berusaha memahami dan melakukan justifikasi-norma-norma yang mengikat secara universal daripada hanya mengikat dalam batas-batas komunitas tertentu atau karena seorang pelaku mengejar tujuan yang berharga.
Norma-norma ini memiliki sepasang prinsip yaitu validitas-tanpa-syarat bukan validitas-gradual dan validitas-relatif terhadap output-output (kesepakatan/konsensus) yang diproduksi oleh wacana-wacana-pragmatis dan etis.
Untuk memahami secara diskursif pengertian-non-relatif dari validitas-moral ini, Habermas mengajukan sebuah prinsip yang terpisah yaitu prinsip-universalisasi bagi wacana-moral mengenai norma-norma :
“ Suatu norma adalah valid ketika konsekuensi-konsekuensi dan efek-efek samping yang dapat diperkirakan melalui pengamatan umum terhadap kepentingan-kepentingan dan orientasi-orientasi-nilai masing-masing individu dapat diterima bersama oleh semua pihak tanpa paksaan ”
Meskipun prinsip-universalisasi telah melalui beberapa rumusan yang berbeda, gagasan dasarnya adalah bahwa untuk norma-norma-moral yang valid apapun di sana terdapat, semacam norma-norma yang dapat diterima oleh semua orang yang terkena dampak dalam sebuah wacana yang cukup-ideal dimana didalamnya mereka menyatakan kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang mereka miliki.
Prinsip-universalisasi memeriksa jika norma-norma yang kita terima adalah benar-benar termasuk moral kebajikan dengan mengajukan pertanyaan apakah dapat-diuniversalkan atau tidak.
Jika norma-norma tidak-dapat-diuniversalkan, maka tidak bisa menjadi norma-norma-moral.
Di luar karakterisasi dasar ini ada beberapa masalah interpretatif terhadap prinsip-universalisasi. Tiga hal berikut adalah fokus singkat yang layak :
1. tampak menunjuk kepada konsekuensi-konsekuensi,
2. dari mana prinsip-universalisasi berasal, dan
3. peran kepentingan-kepentingan.
Pertama, dalam versi prinsip-universalisasi di atas adalah mudah untuk keliru terhadap klausa berbagai-konsekuensi-dan-efek-samping-yang-dapat-diperkirakan dengan penambahan sebuah batas tipis konsekuensialis.
Adanya komitmen-komitmen deontologis Habermas, ini menjadi aneh. Sebaliknya, klausa di atas membangun dalam sebuah indeks-waktu-dan-pengetahuan sehingga tidak membuat tuntutan-tuntutan yang mustahil kepada para-pelaku-moral.
Kepuasan penuh prinsip-universalisasi akan membutuhkan peserta-wacana yang memiliki waktu tidak terbatas, pengetahuan lengkap, dan tidak ada ilusi terhadap kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai yang mereka miliki, itu akan mensyaratkan para-peserta yang melampaui kondisi kemanusiaan mereka.
Karena prinsip-universalisasi harus dapat digunakan di dunia nyata, ia hanya dapat menuntut bahwa para-peserta wacana-moral berupaya menjelaskan situasi-situasi-tertentu-yang-dihadapi yang di dalamnya suatu norma akan diterapkan ketika mereka berusaha melakukan justifikasi terhadap norma-moral-apapun.
Tugas prinsip-universalisasi yang terbatas adalah kunci : itu dimaksudkan hanya untuk melakukan justifikasi terhadap norma-norma-moral secara abstrak.
Meskipun justifikasi ini mungkin menunjuk penerapan pada kasus tertentu, itu tidaklah menentukan kepada semua penerapan.
Bagaimana dengan situasi baru, khusus, atau situasi-situasi yang benar-benar tidak bisa diperkirakan yang kepadanya penerapan norma tidak bisa diharapkan ?
Mengikuti Klaus Günther, Habermas berpendapat bahwa keputusan-keputusan-moral (dan hukum) dalam kasus-kasus tertentu membutuhkan logika kesesuaian yang ditemukan dalam wacana-wacana-terapan.
Wacana-wacana-terapan melihat kepada sebuah kasus kongkret dan kepada survei semua norma-norma yang secara potensial dapat diterapkan, fakta-fakta yang relevan, dan lingkungan-lingkungan.
Mereka mencoba untuk menawarkan deskripsi-deskripsi yang dalam atau lengkap terhadap sebuah situasi sedemikian hingga memutuskan pilihan di antara beberapa norma yang seringkali bersaing atau norma-norma yang hanya sebagian dapat diterapkan yang mungkin mengatur sebuah situasi.
Ada sebuah pembagian kerja antara dua jenis-wacana yang terkait secara rekursif : sedangkan wacana-wacana justifikasi meletakan alasan-alasan mengapa kita harus mendukung sebuah norma sebagai aturan-umum yang mengacu pada situasi yang khusus, wacana-terapan berusaha untuk menerapkan norma-norma kepada kasus-kasus kongkret yang mungkin sama sekali baru atau harapan-harapan yang menantang.
Sebagai pelaku-pelaku yang dapat keliru kita bisa membuat berbagai kesalahan yang bermacam-macam ketika melakukan justifikasi-diskursif terhadap sebuah norma atau gagal untuk mengantisipasi situasi-situasi baru atau mengubah pemahaman terhadap fakta-fakta, nilai-nilai, dan kepentingan-kepentingan, sebuah kegagalan yang akan terungkap dalam penerapan.
Habermas menyebut ini "dual falliblist proviso" dan itu menanamkan sebuah kesadaran secara gradual bahwa justifikasi-moral adalah proyek yang sedang dan terus berlangsung.
Saling mempengaruhi secara rekursif antara justifikasi dan aplikasi seharusnya secara progresif mengatasi kesalahan dan kelalaian sebelumnya.
Wawasan baru yang diperoleh dari penerapan wacana-wacana atau situasi-situasi baru dapat mengarahkan kita untuk meninjau kembali norma-norma yang justifikasi-nya diterima begitu saja, dan penyempurnaan pemahaman kita tentang bagaimana dan mengapa norma-norma dibenarkan akan membantu kita menerapkannya dengan lebih baik.
Jika kita memiliki ramalan yang mujur kita tidak akan perlu penerapan wacana-wacana. Tetapi karena kita dapat melakukan kekeliruan, berbagai-konsekuensi-dan-efek-samping-yang-dapat-diperkirakan harus dilihat sebagai acuan kepada indeks-waktu-dan-pengetahuan bagi output (kesepakatan/konsensus) dari wacana-wacana yang cenderung dapat di-justifikasi, yang kemudian dilengkapi dengan penerapan wacana yang dapat berdampak pada rumusan norma awal.
Masalah interpretatif kedua adalah dari mana prinsip-universalisasi berasal.
Habermas awalnya berpendapat bahwa prinsip-universaliasi dapat dideduksi secara formal dari sebuah kombinasi prakonsepsi-pragmatis pada wacana dan prinsip-wacana, tetapi segera ia melemahkan pendapat ini kemudian.
Daripada menurunkan prinsip-universalisasi dari sebuah deduksi formal atau kesimpulan-kesimpulan informal sekarang Habermas berpendapat --menggunakan istilah yang diciptakan oleh Peirce-- kita sampai pada prinsip-universalisasi secara abduktif. Untuk sampai pada suatu secara abduktif adalah untuk memberi saran bahwa kita pertama mengamati suatu fenomena (norma-moral) dan mengambil sebuah hipotesis tebakan-terbaik untuk menjelaskannya (prinsip-prinsip-moral), yang kemudian dapat dikenakan pengujian-induktif lebih lanjut (Ingram 2010, 47; Finlayson 2000a, 19).
Singkatnya, prinsip-universalisasi sekarang diajukan sebagai kandidat-prinsip-terbaik untuk membantu menjelaskan normativitas-moral. Untuk menopang kemasuk-akalan pendapat ini Habermas juga telah masuk kembali kepada teorinya tentang evolusi-sosial dan " lemah ... gagasan tentang justifikasi-normatif " dalam konteks pasca-konvensional.
Bahkan, dia sekarang sering berbicara prinsip-universalisasi yang selaras dengan jenis prosedur justifikasi-yang-tidak-memihak sesuai dengan kondisi pasca-konvensional yang berusaha untuk mencari pemahaman norma-norma yang sama dalam kepentingan setiap orang, dapat-digeneralisasikan atau dapat-diuniversalkan.
Pengacuan kepada kepentingan-kepentingan membawa kita menuju masalah interpretatif ketiga yang mengikuti prinsip-universalisasi.
Rumusan-rumusan awal prinsip-universalisasi hanya mengacu kepada kepentingan-kepentingan.
Keterbukaan terhadap orientasi-orientasi-nilai berpotensi membingungkan. Sebagaimana dicatat di atas, nilai-nilai tidak selalu didasarkan pada pengertian-kognitif.
Karena Habermas selalu menyajikan teori-moral-nya sebagai seorang kognitivis, akan menjadi aneh untuk memberikan sebuah peran sentral kepada nilai-nilai.
Tampaknya masuk akal bahwa rumusan-rumusan awal prinsip-universalisasi hanya memasukkan kepentingan-kepetingan, karena Habermas telah mendefinisikan kepentingan-kepentingan menggunakan sebuah cara-kognitif (pada definisi kepentingan-kepentingan sebagai alasan untuk menginginkan, lihat Finlayson, 2000b).
Memperkuat sebuah interpretasi dari prinsip-universalisasi yang menempatkan prioritas pada kepentingan-kepentingan (kognitif) Habermas menyatakan bahwa :
" prinsip-universalisasi bekerja seperti sebuah aturan yang menghilangkan (sebagai konten yang tidak-dapat-digeneralisasikan) semua orientasi-orientasi-nilai yang kongkret yang melaluinya biografi-biografi atau bentuk-bentuk kehidupan tertentu diresapi "
dan bahwa bagian spesifik dari prinsip-universalisasi yang mengacu pada penerimaan-bersama-tanpa-paksaan berarti bahwa alasan-alasan apapun yang diajukan dalam wacana-moral harus :
" membuang makna-relatif yang dimiliki pelaku dan mengambil sebuah makna-epistemis dari sudut pandang pertimbangan-pertimbangan yang simetris "
Selain itu, literatur sekunder interpretatif sering menekankan sentralitas kepentingan-kepentingan daripada nilai-nilai dan berfokus pada bagaimana Habermas sering berbicara tentang dapat-digeneralisasikan atau dapat-diuniversalkan kepentingan-kepentingan sebagai ciri pembeda bahwa norma-norma-moral terjamin aman (Heath 2003; Finlayson 2000b; Lafont 1999).
Lalu bagaimana kemudian keterbukaan terhadap orientasi-orientasi-nilai harus dipahami ?
Habermas mengatakan bahwa ia telah memasukkan orientasi-orientasi-nilai dalam prinsip-universalisasi demikian-sehingga :
" mencegah marjinalisasi pemahaman-diri dan pandangan-pandangan-dunia yang dimiliki individu dan kelompok tertentu "
Ini tidak berarti bahwa nilai-nilai setara dengan kepentingan-kepentingan. Sebaliknya, maksudnya adalah bahwa kepentingan-kepentingan dan nilai-nilai selalu terikat-bersama.
Orientasi-orientasi-nilai memberi setidaknya beberapa pengaruh tidak-langsung kepada wacana-wacana-moral sejauh mereka mempengaruhi secara halus interpretasi terhadap kepentingan-kepentingan yang kita miliki. Selanjutnya jika orientasi-orientasi-nilai dapat dihapus dari wacana-wacana-moral pada kenyataannya dapat memasukan wilayah-wilayah-gelap diskursif.
Bahkan, kejujuran (kualitas-keterbukaan) kepada orientasi-orientasi-nilai yang dimiliki seseorang mungkin sangat penting karena sifat ketidak-berpihakan dari prinsip-universalisasi melibatkan pengambilan-perspektif-timbal-balik yang digeneralisasikan yang memotong kedua cara : itu mengarahkan para-peserta kepada empati terhadap pemahaman-diri pada orang lain serta terhadap intervensi-intervensi interpretatif kepada pemahaman-diri yang dimiliki para-peserta yang harus bersedia untuk merevisi deskripsi-deskripsi mereka terhadap diri mereka sendiri dan orang lain.
Poin pentingnya adalah bahwa meskipun beberapa kebutuhan-kebutuhan kita berakar kuat dalam antropologi kita dan dapat dilihat sebagai kepentingan-kepentingan-dasar yang dapat-digeneralisasikan yang dimiliki bersama semua orang, meskipun demikian kita harus tetap menghindari ontologisasi kepentingan-kepentingan yang dapat-digeneralisasikan kepada semacam-kodrat karena bahkan interpretasi terhadap kebutuhan-kebutuhan dan keinginan-keinginan harus terjadi dalam terma-terma sebuah bahasa publik dimana pemahaman yang kita miliki terbuka untuk direvisi.
Masalah interpretif terakhir yang menarik perhatian adalah status-presisi dari ketepatan-moral.
Habermas selalu berpegang bahwa moralitas dan kebenaran adalah bersifat analog dalam arti bahwa keduanya adalah kognitif, prinsip yang berpasangan, dan subjek untuk proses-proses pemahaman. Bahkan, dia selalu sangat kritis terhadap pendekatan-pendekatan yang akan mereduksi moralitas menjadi urusan-urusan yang murni subjektif atau direlatifkan.
Namun, mengingat bahwa ketepatan itu tidak dapat direduksi menjadi kebenaran dan bahwa Habermas telah berulang kali menolak pendapat sebuah pembacaan realis-moral atas teorinya, tidak jelas batas-tepatnya sejauh mana analogi ini seharusnya dikembangkan.
Ini bukan hanya karena ada berbagai perbedaan antara pengetahuan empiris dan moral tetapi juga karena Habermas telah mengubah teorinya tentang kebenaran selama bertahun-tahun --bergerak dari sebuah teori-konsensus yang mengidentifikasi kebenaran dengan kebenaran-kokoh-yang-dijamin-secara-ideal kepada realisme-epistemologis-pragmatis yang mengikuti dalam jalur linguistik-Kantianisme.
Artikulasi-artikulasi awal dari etika-wacana tampaknya mengakui interpretasi-interpretasi dimana kebenaran adalah sebuah konsep justifikasi-transenden yang tidak dapat ditangkap oleh kebenaran-kokoh-yang-dijamin-secara-ideal.
Hal ini mendorong beberapa penafsir untuk menafsirkan teori-moral Habermas sebagai setidaknya komitmen terpendam kepada semacam varian realisme-moral-internal (Davis 1994, Kitchen 1997, Lafont 1999 dan 2012, Smith 2006, Peterson 2010 ms.).
Namun, dalam upaya menolak pembacaan ini, Habermas secara eksplisit berpendapat bahwa :
" Kebenaran-yang-dijamin-secara-ideal adalah apa yang kita maksud dengan validitas-moral "
Sekarang, Habermas bermaksud mengartikulasikan sebuah gagasan ketepatan-moral yang dapat dituangkan dalam terma sebuah konstruktivisme-pragmatis yang juga menghindari bahaya-bahaya relativisme dan skeptisisme yaitu : yang mempertahankan suatu penjelasan anti-realis terhadap ketepatan-moral yang masih menolak untuk melebur ke dalam sebuah bentuk teori-konsensus-moral.
Apakah Habermas berhasil dalam upaya ini adalah topik yang sangat diperdebatkan.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H4
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment