Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, December 31, 2017

A-Priori Dan A-Posteriori 1 : Karakterisasi Awal


Isitlah apriori dan aposteriori digunakan terutama untuk menunjukkan dasar yang kepada-nya sebuah-proposisi diketahui kebenaran-nya. Sebuah proposisi tertentu diketahui kebenaran-nya secara apriori jika kebenaran-nya dapat diketahui secara tidak-bergantung/terlepas/bebas-dari-pengalaman-apapun kecuali pengalaman-belajar-bahasa karena melalui bahasa, proposisi itu dinyatakan. Sedangkan proposisi yang diketahui kebenaran-nya secara aposteriori adalah sebuah proposisi yang diketahui kebenaran-nya berdasar pada pengalaman. Misalnya, proposisi bahwa :

"Semua bujangan adalah belum menikah." adalah apriori .

Dan proposisi bahwa :

"Sekarang di luar hujan." adalah aposteriori.

Perbedaan antara kedua-istilah itu bersifat-epistemologis dan langsung berhubungan dengan justifikasi mengapa suatu pengetahuan dipegang/dipercaya/diyakini kebenaran-nya. Misalnya, seseorang yang mengetahui bahwa :

"Semua bujangan adalah belum menikah."

tidak-perlu mengalami status belum-menikah dari semua-bujangan untuk membenarkan proposisi ini. Sebaliknya, jika saya tahu bahwa :

"Sekarang hujan di luar."

Kebenaran-pengetahuan tentang proposisi ini harus dibenarkan dengan menarik/berdasar pengalaman-seseorang terhadap cuaca.

Perbedaan-apriori/aposteriori, seperti yang akan ditunjukkan berikut ini, seharusnya tidak dikelirukan/dikaburkan dengan dikotomi sejenis antara kepastian-dan-kontingen atau dikotomi antara analitik-dan-sintetik. Meskipun demikian, perbedaan-apriori/aposteriori itu sendiri bukan tanpa kontroversi.

Poin utama yang menonjol secara historis adalah bagaimana mendefinisikan konsep-pengalaman yang kepada-nya perbedaan tersebut didasarkan, dan apakah atau dalam-pengertian-apakah sebuah pengetahuan dapat sungguh-sungguh ada tidak-bergantung/terlepas/bebas dari pengalaman-apapun.

Isu yang terakhir menimbulkan pertanyaan-pertanyaan penting secara positivistik, yaitu dasar-aktual dari sebuah pengetahuan-apriori, hal itu merupakan pertanyaan-pertanyaan yang diupayakan jawaban-nya oleh berbagai macam filsuf. Kant, misalnya, menganjurkan sebuah bentuk-transendental untuk melakukan justifikasi yang melibatkan pandangan-rasional (rasional-insight), yang terhubung dengan pengalaman-empiris, namun tidak secara langsung muncul dari pengalaman-empiris.

Artikel ini memberikan karakterisasi-awal terhadap istilah apriori dan aposteriori, sebelum menyoroti perbedaan-perbedaan diantara perbedaan-yang-jelas dengan perbedaan-yang-biasanya-membingungkan. Selanjutnya akan meninjau kontroversi-utama yang mengelilingi topik tersebut dan mengeksplorasi penjelasan yang berlawanan berdasar sebuah pandangan-positif terhadap pengetahuan-apriori yang berusaha menghindari penjelasan secara eksklusif yang bergantung pada penalaran-murni untuk melakukan justifikasi.


Karakterisasi Awal

Apriori dan aposteriori mengacu terutama pada bagaimana atau atas-dasar-apa, sebuah proposisi dapat diketahui kebenaran-nya. Secara umum, sebuah proposisi dapat diketahui kebenaran-nya secara apriori jika kebenaran-nya dapat diketahui secara tidak-bergantung/terlepas/bebas-dari-pengalaman, sementara sebuah proposisi dapat diketahui kebenaran-nya secara aposteriori jika kebenaran-nya dapat diketahui berdasar-pada-pengalaman. Perbedaan antara pengetahuan-apriori dan pengetahuan-aposteriori secara garis besar sesuai dengan perbedaan antara pengetahuan-empiris dan non-empiris.

Perbedaan-apriori/aposteriori terkadang diterapkan pada hal-hal selain cara-memperoleh-pengetahuan, misalnya, terhadap proposisi dan argumen. Sebuah proposisi-apriori adalah proposisi yang dapat diketahui kebenaran-nya secara apriori dan sebuah argumen-apriori adalah argumen dengan premis-premis yang menggunakan proposisi-apriori. Sejalan dengan itu, sebuah proposisi-aposteriori dapat diketahui kebenaran-nya secara aposteriori, sedangkan argumen-aposteriori adalah argumen dengan premis-premis yang menggunakan proposisi-aposteriori. Argumen biasanya dianggap sebagai aposteriori jika terdiri dari kombinasi-premis-apriori-dan-premis-aposteriori. Perbedaan-apriori/aposteriori juga telah diterapkan pada konsep. Konsep-apriori adalah konsep yang dapat diperoleh secara tidak-bergantung/terlepas/bebas-dari-pengalaman, yang mungkin, tetapi tidak harus, melibatkan keberadaan-nya secara bawaan-kodrati (innate), sedangkan perolehan sebuah konsep-aposteriori mensyaratkan suatu pengalaman.

Komponen-pengetahuan yang kepada-nya perbedaan-apriori/aposteriori langsung relevan adalah justifikasi-kebenaran atau jaminan-kebenaran. Istilah ini digunakan secara sinonim di sini dan merujuk pada komponen-utama-pengetahuan yang melampaui keyakinan-yang-sesungguh-nya. Mengatakan bahwa seseorang mengetahui sebuah proposisi tertentu apriori berarti mengatakan bahwa justifikasi untuk mempercayai kebenaran-proposisi ini adalah tidak-bergantung-pada-pengalaman. Menurut pandangan-tradisional tentang justifikasi-kebenaran, agar dinilai benar dalam meyakini sesuatu adalah berarti memiliki alasan-epistemis yang mendukung keyakinan itu, sebuah alasan untuk berpikir bahwa itu-adalah-benar. Jadi, untuk dibenarkan secara apriori dalam meyakini proposisi tertentu adalah dengan memiliki alasan untuk berpikir bahwa proposisi-itu-benar, dan alasan itu tidak-muncul atau tidak-berasal dari pengalaman. Sebaliknya, untuk dibenarkan secara aposteriori adalah dengan memiliki alasan untuk berpikir bahwa proposisi-tertentu adalah benar dengan alasan yang muncul atau berasal dari pengalaman. (lihat bagian 6 di bawah untuk dua penjelasan terhadap perbedaan-apriori/aposteriori yang tidak mengandaikan konsep-justifikasi-tradisional ini). Contoh justifikasi-aposteriori mencakup banyak keyakinan secara perseptual pada umumnya, pengingatan, dan introspektif, serta keyakinan-kebenaran pada banyak pendapat ilmu-pengetahuan-ilmiah. Keyakinan-saya bahwa :

"Saat ini hujan."
"Saya melakukan sebuah ujian pagi ini."
"Manusia cenderung tidak menyukai rasa sakit."
"Air itu H2O.", dan
"Dinosaurus ada."

Adalah contoh justifikasi-secara-aposteriori. Saya memiliki alasan-alasan-bagus untuk mendukung masing-masing pendapat itu dan alasan-alasan itu muncul dari pengalaman-saya-sendiri atau dari pengalaman-orang-lain.

Keyakinan di atas berlawanan dengan yang berikut :

"Semua bujangan adalah tidak menikah."
"Kubus memiliki enam sisi."
"Jika hari ini hari-selasa maka hari ini bukan-hari-kamis."
" Merah adalah warna."
"Tujuh ditambah lima sama dengan dua-belas."

Saya punya alasan-alasan-bagus untuk memikirkan masing-masing pendapat-itu-adalah-benar, namun alasan-alasan-itu tidak muncul dari pengalaman. Sebaliknya, tampaknya saya mampu melihat atau memahami kebenaran-pendapat-itu hanya dengan melakukan refleksi terhadap kandungan-kebenaran dalam pendapat-pendapat-itu.

Gambaran terhadap justifikasi-apriori sebagai justifikasi yang tidak-bergantung/terlepas/bebas-dari-pengalaman tentu saja sama sekali negatif, karena tidak ada dasar-positivistik atau aktual dari justifikasi semacam itu yang terungkap. Namun, contoh justifikasi-apriori di atas sungguh menyarankan karakterisasi yang lebih positif, yaitu justifikasi-apriori muncul dari penalaran-murni atau akal-murni. Begitu arti dari istilah yang relevan telah dipahami, adalah terbukti-kebenaran-nya berdasar pada penalaran-murni bahwa :

"Jika hari ini hari-selasa maka hari ini bukan-hari-kamis.", atau
"Tujuh ditambahkan ke lima jumlah yang dihasilkan harus dua-belas."

Dengan demikian kita dapat memperbaiki/menentukan kembali karakterisasi terhadap justifikasi-apriori sebagai berikut :

Seseorang dibenarkan secara apriori untuk meyakini kebenaran-proposisi-tertentu jika atas dasar penalaran-murni atau akal-murni, seseorang memiliki alasan untuk berpikir bahwa proposisi-itu-adalah-benar.

Pertimbangan/perhatian awal terhadap perbedaan-apriori/aposteriori ini menunjuk kepada sejumlah jalur penyelidikan penting. Misalnya, pada jenis-pengalaman-apakah suatu justifikasi-aposteriori bergantung ? Dalam-pengertian-apakah suatu justifikasi-apriori tidak-bergantung/terlepas/bebas dari pengalaman seperti itu ? Dan apakah ini merupakan penjelasan yang lebih bersifat epistemis tentang karakter-positif terhadap justifikasi-apriori yang tersedia. Sesuatu yang menjelaskan bagaimana atau berdasar-kebajikan-apa pemikiran-murni atau akal-murni dapat menghasilkan alasan-alasan-epistemis ? Tetapi sebelum beralih ke permasalahan ini, perbedaan-apriori/aposteriori harus dipisahkan dari dua-perbedaan yang saling terkait, yang terkadang membingungkan yaitu perbedaan-analitik/sintetik dan perbedaan-kepastian/kontingen.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/
Pemahaman Pribadi


Friday, December 29, 2017

Muliamu


Maaf, jika malam ini teringat padamu. Hanya saja, besok kita akan bertemu. Lagi, lagi dan lagi. Maaf pula, tak mampu menahan perasaan ini. Bukan kenapa, ini wujud menghargaimu setinggi yang aku bisa. Dan mungkin, setelah esok, kita tak akan bertemu lagi. Selamanya !

Sekian panjang melalui hidup ini, diantara rutinitas menjemukan. Bahkan seringkali memuakkan ! Rasanya muskil bertemu manusia sepertimu. Kau mulia menurutku ! Dan kau tak merasa mulia,  membuat kemuliaanmu benderang dimataku. 


Senyum ketika menyakitkan. Berdiri sendiri saat dihinakan sementara temanmu meledak gemuruh bergelak tawa. Sungguh mengesankan ! Ketika semua panah mengarah kepadamu, matamu teduh menatap lancip kebencian memburu jantungmu ! Sikapmu tenang, menuntun satu persatu temanmu mendaki ketinggian. Kau sibuk menyelamatkan mereka ? Kau terima semua kebohongan dan kesalahan, sendiri ! Dan kau berterima kasih pada mereka !

Di sana. Begitu, berulang dan berulang menyaksikanmu. Apa yang kulakukan ? Tak ada ! Terperangah ! Heran ! Kagum ! Tertegun ! Sepertinya jiwa rosul memenuhi dirimu. Meliputimu, hingga benar-benar tak sadar, sinar itu begitu terang memutihkan mataku.

Berlebihan ! katamu malu-malu. Geram kubalas, tidak ! Itu kau di mataku. Kau tak bisa merubahnya ! Bagaimana bisa setuju denganmu, jika nafasmu terengah-engah menahan perih ring di dadamu. Senyumu bersusah payah menutup pasi di wajahmu. Semburan insulin deras mengalir dalam darahmu sedang temanmu, lihat ! Masih tertawa karenamu. Berlarian bahagia meninggalkanmu. Dan kau mestinya tau, betapa tak peduli aku dengan penilaianmu.

Diam. Lalu kau ceritakan rencanamu. Yahh, semoga semua berjalan baik, ucapku lirih. Di sana,
 tempat baru memanggil sinarmu. Kudengar Maha-Kasih berkehendak membagi kebaikanmu. 

Tempat itu masih gelap bukan ? 
Terangilah !

Doaku buatmu, lekas sembuh.

Selamat jalan !

Bahagia menyertaimu.
Terima kasih atas segala damaimu.



Bekasi , 27 Desember 2017



Monday, December 25, 2017

Estetika 9 : Objek Seni


Benda/objek seperti apa yang merupakan karya-seni ?

Goodman, Wollheim, Wolterstorff, dan Margolis telah terkenal sebagai kontributor perdebatan kontemporer mengenai topik itu.

Langkah pertama harus membedakan karya-seni dari notasi-nya atau resep-nya, serta dari berbagai realisasi-fisik-nya.

Sebagai contoh adalah : beberapa pertunjukan musik, komposisi-nya yang tertulis pada lembaran kertas, dan penampilan-nya, sebuah drama, naskah-nya, dan penampilan-nya, sebuah etsa (gambar pada lempengan-logam/kaca dengan proses-etching/pelarutan), lempengan-logam/kaca-nya, dan hasil-cetakan-nya, dan sebuah foto, negatif-nya, dan positif-nya.

Notasi/resep di sini adalah digital pada dua-kasus yang terakhir, dan analog pada dua-kasus yang pertama karena melibatkan elemen-diskrit seperti catatan dan kata-kata pada satu sisi, dan elemen-yang-kontinyu seperti garis dan lapisan-warna di sisi yang lain.

Realisasi juga dapat dibagi menjadi dua-jenis yang luas, seperti digambarkan oleh contoh yang sama diatas : ada yang muncul dalam waktu (karya-pertunjukan) dan yang muncul dalam ruang (karya-objek).

Realisasi selalu merupakan entitas-fisik. Kadang-kadang hanya ada satu realisasi, seperti pada rumah yang dirancang oleh seorang arsitek, gaun yang dirancang oleh designer-pakaian, dan juga banyak lukisan.

Wollheim menyimpulkan bahwa dalam kasus ini, karya-seni itu seluruhnya-bersifat-fisik, tersusun dari yang-satu yaitu realisasi-unik itu sendiri.

Namun, sejumlah salinan/tiruan biasanya dibuat pada lukisan-lukisan di abad pertengahan, dan secara teoritis memungkinan untuk meniru pakaian dan rumah yang berharga mahal sekalipun.

Pertanyaan-filosofis yang muncul dalam wilayah ini (peniruan) terutama berhubungan dengan status-ontologis-dari-ide/gagasan yang sudah di-implementasi-kan/di-laksana-kan/di-eksekusi.

Wollheim membawa masuk perbedaan yang dilakukan oleh Charles Peirce antara jenis dan token, seperti jawaban untuk teks "ABACDEC" ini : ada 7 jumlah token huruf yang berbeda, dan ada 5 jenis huruf yang berbeda, hal itu menunjukkan perbedaan pengertian antara token dan jenis.

Realisasi adalah token, tetapi ide/gagasan adalah jenis, yaitu kategori-objek.

Ada hubungan normatif antara token dan jenis seperti yang dijelaskan oleh Margolis dan Nicholas Wolterstorff, karena implementasi/pelaksanaan/eksekusi dari ide/gagasan adalah usaha yang pada dasarnya bersifat-sosial.

Bersifat-sosial juga menjelaskan bagaimana kebutuhan akan notasi/resep muncul : yang tidak hanya menghubungkan ide/gagasan dengan implementasi/pelaksanaan/eksekusi-nya, tetapi juga dengan sejumlah fungsi-nya.

Secara umum, ada orang-kreatif yang menghasilkan ide/gagasan, yang di-transmisi-kan/di-komunikasi-kan melalui notasi/resep kepada produsen yang menghasilkan benda-seni-material dan pertunjukan-seni.

Seperti sudah dikatakan sebelumnya, jenis adalah diciptakan dan benda-seni-partikular juga diciptakan dengan penghubung-nya melalui notasi/resep. Secara skematis, dua-figur utama dikaitkan dengan produksi banyak karya-seni : arsitek dan tukang-bangunan, designer-pakaian dan penjahit-kain, komposer dan pemain-alat-musik, koreografer dan penari, penulis-naskah dan aktor, dan sebagainya.

Tetapi daftar-operator yang lebih lengkap biasanya terlibat didalam suatu produksi-karya-seni, seperti sangat jelas dalam produksi-film, dan hiburan-besar lain-nya yang serupa.

Terkadang sutradara-film berkepentingan untuk mengendalikan semua aspek-aspek produksi-nya , dalam pengertian itulah ketika kita memahami tentang seorang "Auteur" yang bisa dikatakan sebagai Autor (pencipta/penulis/pengarang) dari sebuah karya-seni, tapi biasanya, kreativitas dan hasil-karya-nya dihubungkan melalui proses-produksi-secara-keseluruhan, bahkan ketika sang-pencetus-karya tetap terlibat bekerja di dalam tradisi-produksi tertentu, dan tidak ada notasi/resep yang bisa sepenuh-nya membatasi produk-akhir.

Pertanyaan-filosofis menyangkut dengan setiap sifat-kreativitas-seni juga terkait dengan hal tersebut diatas (produksi-karya-seni).

Tidak begitu banyak misteri tentang pembuatan objek-partikular-seni dari suatu notasi/resep, namun masih banyak yang harus dikatakan/dijelaskan tentang proses-kelahiran dari ide/gagasan-baru.

Untuk penciptaan-ide/gagasan bukan hanya masalah memasuki-keadaan-mental yang mengesankan, misalnya, seperti dalam sesi-brainstorming.

Penciptaan suatu ide/gagasan merupakan bagian sentral dari teori-proses-kreatif yang bentuknya dapat ditemukan dalam karya Collingwood.

Dalam istilah inilah Collingwood membedakan seniman dari seorang-pengrajin (pembuat-karya-seni dengan keterampilan-teknis-tinggi), penyebutan yang mengacu pada batasan apa yang dihasilkan oleh seniman hanyalah berupa ide/gagasan didalam benak-nya saja.

Namun, kesulitan utama dalam teori semacam ini adalah bahwa kebaruan-ide/gagasan harus dinilai secara-eksternal dalam hal tempat-sosial-sang-seniman diantara pekerja-pekerja-lain-nya di bidang yang sama, seperti yang ditunjukkan oleh Jack Glickman.

Tentu saja, jika itu adalah ide/gagasan-orisinil, sang-seniman tersebut tidak-dapat mengetahui sebelumnya apa-hasil dari proses-kreatif tersebut.

Tetapi orang-lain mungkin mempunyai ide/gagasan yang sama sebelumnya, dan jika hasil-nya sudah diketahui sebelumnya, ide/gagasan yang dipikirkan adalah tidak-asli dalam artian-yang-tepat.

Dengan demikian sang-seniman tidak akan diberi kredit dengan kepemilikan-hak-cipta dalam kasus seperti itu. penciptaan-ide/gagasan bukanlah sebuah proses, tetapi sebuah prestasi-publik : itu adalah masalah memutuskan pita-garis-finis lebih-cepat dari orang-lain dalam suatu perlombaan.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H9
Pemahaman Pribadi



Saturday, December 16, 2017

Estetika 8 : Representasi


Seperti konsep-ekspresi, konsep-representasi juga telah diteliti secara menyeluruh sejak profesionalisasi-filsafat di abad ke-20 M.

Bukankah representasi hanya persoalan penyalinan/peniruan ?

Jika representasi dapat dipahami hanya dalam hal penyalinan/peniruan, maka akan mensyaratkan "mata yang polos (the innocent eye)" yaitu mata yang memandang dengan tidak memasukkan/mencampur interpretasi apapun kedalamnya.

E. H. Gombrich adalah orang pertama yang menunjukkan cara-representasi yang bertentangan dengan pendapat-konvensional (representasi sebagai penyalinan/peniruan) dan oleh karena itu memiliki basis-sudaya-dan-sosio-historis.

Dengan demikian, perspektif yang memungkinkan seseorang memandang hanya secara mekanis, hanyalah sebuah cara-baru untuk me-representasi-kan ruang dan banyak foto mendistorsi apa yang kita anggap sebagai kenyataan, misalnya foto gedung-gedung tinggi yang diambil gambar-nya dari bawah, yang tampak membuat gedung-gedung itu miring/condong ke depan pada bagian atasnya/puncaknya.

Goodman juga mencermati bahwa penggambaran (representasi-benda kedalam bentuk dua-dimensi seperti lukisan, gambar, foto, sketsa, mural dll) termasuk dalam pandangan yang konvensional itu.

Goodman menyamakan-nya dengan denotasi, yaitu hubungan antara sebuah-kata dan apa yang ditunjuk/direferensi/diwakili-nya. Dia juga memberikan argumen yang lebih konklusif untuk melawan pendapat penyalinan/peniruan sebagai dasar-representasi.

Untuk membuat kemiripan sebagai sebuah jenis-representasi, akan berlaku : jika "A" menyerupai "B", maka "B" menyerupai "A".

Anggaplah gambar-seekor-anjing adalah representasi dari seekor-Anjing, namun demikian seekor-Anjing bukanlah reprensentasi dari gambar-nya.

Dengan kata lain, Goodman mengatakan bahwa kemiripan mengimplikasikan sebuah hubungan-simetris, tetapi tidak-demikian dengan representasi.

Oleh karena itu, Goodman menunjukkan bahwa representasi bukanlah keterampilan tetapi sebuah seni : kita membuat lukisan sebuah benda, mencapai pandangan tentang benda-itu dengan me-representasi-kan benda-itu sebagai Ini atau Itu.

Akibatnya, ketika seseorang melihat lukisan-benda-itu, pemikiran-sang-seniman tentang benda-itu juga "dapat-dilihat", seperti pengertian seni-artistik yang dijelaskan oleh Sircello.

Gagasan sederhana dimana hanya benda-benda yang ditunjukkan dalam sebuah lukisan ada di balik penjelasan Richard Wollheim tentang seni-representasional di edisi pertama bukunya Art and Its Objects (1968). Dalam buku itu dikatakan, cat pada sebuah lukisan menjadi "dapat-dilihat" sebagai sebuah objek-seni.

Namun dalam edisi kedua buku itu, Wollheim menambahkan penjelasan untuk memungkinkan apa yang "terlihat" dalam sebuah karya-seni, juga mencakup/memasukan hal-hal seperti pemikiran-sang-seniman.

Namun, ada beberapa pertanyaan filosofis tentang hal lain, berkaitan dengan representasi-objek yang bersumber dari masalah karakter-fiksi.

Ada tiga-kategori-objek besar yang mungkin di-representasi-kan : individu-yang-nyata-ada seperti Napoleon, jenis-benda-yang-nyata-ada seperti kanguru, dan hal-hal-yang-tidak-ada-secara-nyata seperti Mr. Pickwick dan Unicorn.

Penjelasan Goodman mengenai representasi dengan mudah mencakup untuk dua-kategori-pertama, karena jika penggambaran mengenai pada sebuah nama/sebutan, suatu lukisan yang termasuk di dalam dua-kategori-pertama masing-masing membandingkan hubungan antara nama/sebutan yang sesuai/tepat yaitu "Napoleon" dengan sosok individu-yang-nyata-ada bernama "Napoleon" dan nama/sebutan-umum "kanguru" dengan bermacam jenis-binatang-kanguru. Beberapa filsuf akan berpikir bahwa kategori-ketiga dengan mudah diakomodasi, namun Goodman sebagai seorang empiris dan sangat menimbang/memperhatikan dunia-ekstensional, hanya bersiap untuk mengenali benda-benda-yang-ada-secara-nyata.

Jadi baginya gambar-fiksi tidak menunjukkan/mereferensi/mewakili-apapun .

Sebagai gantinya, itu hanyalah pola dari berbagai kategori-bentuk. Lukisan-unicorn hanyalah sebuah bentuk bagi Goodman, yang berarti bahwa ia melihat deskripsi lukisan-unicorn sebagai sesuatu yang tidak dapat diartikulasikan ke dalam bagian-bagian. Dia lebih tertarik menyebut lukisan-unicorn hanyalah sebuah desain dengan bentuk-tertentu-didalamnya.

Seseorang harusnya sepakat bahwa di dalam sebuah lukisan terdapat benda-yang-ditunjuk (objek-intensional) dan hal itu berlaku juga untuk lukisan-objek-ekstensional (yang berarti ada binatang-unicorn diluar dunia nyata ini) sebelum seseorang dapat menafsirkan "gambar-seekor-unicorn" sejajar dengan " gambar-kanguru ".

Berbeda dengan Goodman, Scruton adalah seorang filsuf yang lebih tertarik dengan interpretasi yang lebih spesifik ini.

Interpretasi yang umumnya lebih menyenangkan bagi kaum-idealis dan realis dari berbagai pendekatan, daripada kaum-empiris.

Kontras antara empiris dan filsuf-jenis-lain juga terdapat pada hal-hal penting lainnya yang berkaitan dengan fiksi.

Apakah cerita fiksi merupakan kebohongan tentang dunia-ini, atau sebuah-kebenaran tentang dunia-yang-lain ?

Hanya jika seseorang percaya ada dunia-lain, terhadap beberapa hal, seseorang akan mampu melihat jauh melampaui ketidaknyataan dalam sebuah cerita.

Seorang realis akan puas dengan karakter-fiktif, yang mengenainya terdapat beberapa kebenaran tertentu. Misalnya, bukankah Mr. Pickwick gemuk ?

Tapi kemudian, kesulitan seseorang adalah mengetahui hal-hal tentang Mr. Pickwick selain yang Dickens katakan pada kita. Misalnya, apakah Mr. Pickwick menyukai anggur ?

Seorang idealis akan lebih siap untuk menganggap fiksi hanyalah sebagai makhluk hasil imajinasi kita.

Gaya analisis ini, baru-baru ini menonjol melalui urian Scruton tentang teori-umum-imajinasi di mana pernyataan seperti " Mr. Pickwick gemuk " dibahas/diperhatikan dengan cara yang kurang meyakinkan.

Salah satu masalah dengan analisis gaya ini adalah menjelaskan bagaimana kita dapat memiliki hubungan-emosional dengan, dan memberi tanggapan terhadap, entitas-fiktif. Kita memperhatikan masalah seperti ini sebelum-nya, dalam deskripsi Burke tentang " horor yang menyenangkan ".

Bagaimana penonton bisa mendapatkan kenikmatan/kesenangan dari tragedi dan cerita-horor ketika, andai-kata kejadian serupa ditemui dalam kehidupan nyata, akan pastikah disana tidak ada apapun selain hal-hal menyenangkan ?

Di sisi lain, kecuali jika kita percaya bahwa fiksi-itu-nyata, bagaimana kita bisa, misalnya, tergerak oleh nasib Anna Karenina ?

Colin Radford, pada tahun 1975, menulis sebuah makalah terkenal mengenai hal-ini yang menyimpulkan bahwa "paradoks-respons-emosional terhadap-fiksi" tidak dapat dipecahkan.

Tanggapan emosional orang dewasa terhadap fiksi adalah "fakta yang tidak memiliki penjelasan (brute-facts)" namun tetap tidak-koheren dan tidak-masuk-akal, menurutnya. Radford mempertahankan kesimpulan ini dalam serangkaian makalah lebih lanjut tentang apa yang menjadi perdebatan semakin luas.

Kendall Walton, dalam bukunya yang berjudul Mimesis dan Make-Believe tahun 1990, menempuh panjang lebar seorang idealis untuk menjawab Radford.

Pada sebuah drama, misalnya, Walton mengatakan bahwa penonton memasuki sebuah bentuk kepura-puraan dengan para aktor, bukan-percaya, namun membuat-percaya bahwa kejadian dan emosi yang digambarkan itu nyata.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H8
Pemahaman Pribadi



Friday, December 15, 2017

Estetika 7 : Ekspresi


Teori-respon sangat populer selama periode positivisme-logis dalam filsafat, yaitu sekitar tahun 1920 dan 1930-an.

Ilmu-pengetahuan kemudian dikontraskan secara tajam dengan puisi, misalnya, ilmu-pengetahuan dianggap memperhatikan pikiran-rasional kita, sedang puisi dengan emosi-irasional kita.

Oleh karena itu, kritikus Inggris terkenal I.A. Richards menguji tanggapan terhadap puisi secara ilmiah untuk melakukan upaya penilaian terhadap nilai-seni yang dikandung-nya, dan tidak mengejutkan, ia tidak menemukan keseragaman (menunjukan hasil yang berbeda-beda/bermacam-macam).

Dari studi semacam ini, muncul gagasan umum bahwa 'seni adalah sepenuhnya-subjektif'.

Jika seseorang dengan penuh konsentrasi memperhatikan apakah seseorang itu sungguh-sungguh-menyukai atau tidak-menyukai sebuah karya-seni tertentu, maka di sana akan dengan mudah terlihat tidak-ada-alasan-rasional mengapa seseorang itu bertindak seperti itu (menyukai atau tidak-menyukai).

Kita sekarang mulai lebih terbiasa berpikir bahwa emosi adalah sesuatu yang rasional, sebagian karena kita sekarang membedakan penyebab-emosi dari target-nya.

Jika seseorang melihat emosi-emosi-apa yang disebabkan oleh sebuah karya-seni, tidak semua emosi-emosi itu memerlukan target-karya-seni itu sendiri, melainkan apa yang hanya terkait dengan-nya.

Jadi, pusat tinjauan pendekatan-subjektif mengabaikan pertanyaan yang berkaitan dengan perhatian, relevansi, dan pemahaman.

Dengan memegang hal-hal itu sebagai sifat/kualitas-pengendali, kita mendapatkan dasar untuk menormalisasi (membuat tidak-subjektif) emosi-penonton yang diharapkan sehubungan dengan sebuah karya-seni, dan dengan begitu bergerak menjauh dari penilaian-pribadi semata-mata seperti ungkapan "Yah, itu membuatku sedih !" menuju ke penilaian-yang-lebih-universal seperti "Itu menyedihkan !"

Dan dengan "Itu" yang lebih terfokus pada karya-seni, kita juga mulai melihat pentingnya kualitas-emosional-objektif yang secara metaforis dapat dikatakan dimiliki oleh karya-seni, yang oleh para penganut teori-embodimen (teori yang menyatakan sebuah karya-seni memiliki/mengandung kualitas-emosional atau kualitas-mental secara objektif didalamnya.) seperti Hospers, menjadi pusat tinjauan-nya.

Hospers mengikuti Bouwsma, berpendapat bahwa kesedihan-dari-suatu-musik, misalnya, tidak menyangkut apa yang ditimbulkan di dalam diri kita, atau tidak juga dengan perasaan yang dialami oleh sang-komponis, tetapi hanya kesamaan-fisiognomik pada manusia saat-sedih :

" Adalah akan melambat bukan semakin cepat. Itu akan menjadi rendah/lembut tidak berdenting/gemrincing. Orang yang sedih bergerak lebih-lambat, dan saat mereka berbicara mereka berbicara dengan lembut-dan-rendah. "

Ini juga merupakan sudut pandang yang dikembangkan secara luas oleh psikolog-Gestalt (psikologi yang melihat pikiran dan perilaku manusia secara keseluruhan) bernama Rudolph Arnheim.

Perbedaan-perbedaan yang diambil tidak berhenti sampai di situ.

Guy Sircello, melawan pendapat Hospers, dengan pertama-tama menunjukkan bahwa ada dua-cara emosi-emosi dapat terwujud dalam karya-seni yaitu karena bentuk-nya (ini yang terutama ada di dalam pikiran Hospers), dan karena isi-nya.

Jadi, sebuah-gambar mungkin menyedihkan bukan karena mood atau warna-nya, tapi karena masalah-subjek-nya, yang menyakitkan atau menyedihkan.

Namun, titik itu hanyalah sebuah awal, menuju suatu kritik teori-embodimen yang lebih radikal oleh Sircello.

Menurutnya kepada kata-kata-emosi juga bisa diterapkan, katanya saat menjelaskan aksi-artistik yang ditunjukkan oleh para-seniman dalam menghadirkan sikap mereka terhadap subjek-nya.

Jika kita melihat sebuah karya-seni dari perspektif ini, kita melihatnya sebagai "gejala" dalam istilah Suzanne Langer. Namun, Langer meyakini orang harus melihatnya sebagai sebuah "simbol" yang memegang/mengandung sejumlah-makna yang bisa dikomunikasikan kepada orang lain.

Para-teorikus-komunikasi semua menggabungkan tiga-unsur di atas, yaitu penonton, karya-seni dan sang-seniman, tapi mereka datang dengan membawa berbagai stempel.

Dengan demikian, sementara Clive Bell dan Roger Fry adalah formalis, mereka juga adalah para-ahli-teori-komunikasi.

Mereka menduga bahwa sebuah karya-seni men-transmisi-kan emosi-estetika dari sang-seniman kepada penonton ketika menjelaskan apa yang disebutnya bentuk-signifikan.

Leo Tolstoi juga seorang ahli-teori-komunikasi tapi termasuk dalam kelompok yang melawan pendapat itu. Apa yang harus di-transmisi-kan, bagi Tolstoi, secara tegas adalah apa yang dikecualikan (tidak-disebut) oleh Bell dan pada tingkat yang lebih sedikit oleh Fry, yang disebut emosi-emosi-kehidupan.

Tolstoi menginginkan seni untuk melayani tujuan-moral yaitu membantu mengikat persekutuan komunitas bersama dalam persaudaraan dan persamaan kemanusiaan di bawah Tuhan.

Bell dan Fry tidak melihat tujuan-sosial semacam itu dalam seni, dan terkait dengan perbedaan ini, merupakan pandangan mereka yang berlawanan mengacu pada nilai-sifat-estetika dan kenikmatan/kesenangan.

Ini adalah kutukan bagi Tolstoi, seperti Plato, yang mengira diri mereka cenderung diabaikan.

Tetapi perasaan-perasaan-agung/mulia yang berasal dari apresisasi terhadap bentuk-murni menjadi terkenal oleh Bell dan Fry, karena hipotesis-metafisik mereka berpendapat bahwa mereka menyatukan dengan realitas-tertinggi. Bell berkata,

" Apa yang tersisa saat kita telah melepaskan semua-sensasi dan makna-signifikan-nya dari sebuah-benda ? Selain apa yang para filsuf biasa menyebutnya benda-dalam-dirinya-sendiri dan sekarang disebut sebagai realitas-tertinggi. "

Perdebatan antara para moralis dan estetika berlanjut sampai hari ini dengan, misalnya, Noel Carroll yang mendukung pendapat moralisme-moderat sedang Anderson dan Dean mendukung autonomisme-moderat.

Autonomisme bermaksud nilai-estetis diisolasi/dipisahkan dari nilai-etis, sedangkan moralisme menganggap keduanya berkaitan erat.

Para-ahli-teori-komunikasi pada umumnya membandingkan seni dengan bentuk-bahasa.

Langer kurang tertarik dibanding para-teoretikus-itu dalam mengatur apa yang mungkin dikomunikasikan, dan mengganti perhatian untuk membedakan bahasa-bahasa-seni yang bermacam-macam, dan perbedaan antara bahasa-seni-pada-umumnya dan bahasa-verbal.

Secara singkat, dia mengatakan, bahwa seni menyampaikan emosi-dengan-berbagai-jenis, sementara bahasa-verbal menyampaikan pemikiran, hal itu merupakan poin yang dibuat oleh Tolstoy juga.

Tapi Langer menjelaskan masalah ini dengan sangat rinci. Sehingga, dia berpendapat bahwa bahasa-bahasa-seni adalah presentasi dari bentuk-ekspresi, sedangkan bahasa-verbal bersifat diskursif dengan puisi, tentu saja, sebuah bentuk-seni yang menggunakan bahasa-verbal, menggabungkan kedua aspek itu.

Agak mirip Hospers dan Bouwsma, Langer mengatakan bahwa bentuk-seni menghadirkan perasaan karena secara-morfologis-serupa dengan mereka : sebuah karya-seni, dia berpendapat, memiliki bentuk-yang-sama dengan perasaan-yang-disimbolkan-nya.

Hal ini memunculkan perbedaan utama antara modus/cara komunikasi presentasi dan diskursif : bahasa-verbal memiliki kosa-kata, sintaksis, makna-tertentu dan kemungkinan-terjemahan, namun tidak satu pun dari hal-hal itu yang dijamin oleh bahasa-seni, menurut Langer.

Bahasa-bahasa-seni mengungkapkan bagaimana-rasa-nya mengalami sesuatu ---bahasa-bahasa-seni menciptakan pengalaman-maya/virtual.

Cara-cara yang rinci didalamnya, memunculkan bentuk-bentuk-seni-yang-bermacam-macam, Langer telah menjelaskan dalam bukunya Feeling and Form (1953).

Scruton mengikuti Langer dalam beberapa hal, terutama dengan berkomentar bahwa pengalaman terhadap masing-masing bentuk-seni adalah sui-generis, yaitu masing-masing memiliki jenisnya sendiri.

Dia juga mengemukakan karakteristik sebuah simbol secara lebih rinci lagi. Diskusi tentang pertanyaan yang spesifik terhadap setiap bentuk-seni telah dikejar oleh banyak penulis lainnya, lihatlah misalnya, Dickie, Sclafani, dan Roblin dan buku terbaru dari Gordon Graham.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H7
Pemahaman Pribadi



Wednesday, December 13, 2017

Estetika 6 : Definisi Seni


Sampai dengan periode de-definisi, definisi-definisi-seni secara luas jatuh ke dalam tiga-jenis, yaitu berkaitan dengan representasi, ekspresi dan bentuk.

Dominan-nya representasi sebagai konsep-sentral dalam seni berlangsung dari sebelum jaman Plato hingga sekitar akhir abad ke-18 M.

Tentu saja, seni-representasi masih dapat ditemukan sampai hari ini, tetapi tidak lagi unggul seperti dulu. Plato pertama kali merumuskan gagasan tersebut (seni-representasi) dengan mengatakan bahwa seni-adalah-mimesis dan Bateaux misalnya, pada abad ke-18 M mengikuti Plato, saat ia mengatakan :

" Puisi hanya-ada dengan cara meniru (imitasi). Sesuatu yang sama-dengan lukisan, tarian dan musik. Tidak ada yang nyata dalam karya-karya itu, semuanya dibayangkan, dilukis, disalin dan semu (buatan). Inilah yang membuat karakter-esensial mereka bertentangan dengan alam. "

Pada abad yang sama dan abad berikutnya, dengan berkembangnya Romantisisme, konsep-ekspresi menjadi lebih menonjol. Bahkan di sekitar jaman Plato, muridnya Aristoteles lebih tertarik kepada teori-ekspresi yaitu seni sebagai katarsis-emosi (pemurnian/pembersihan-emosi).

Dan Burke, Hutcheson, dan Hume juga mempromosikan gagasan bahwa apa yang penting dalam seni adalah tanggapan-penonton (respon-penikmat-seni) yang dapat dipahami kenikmatan/kesenangan dalam seni adalah persoalan selera (taste) dan perasaan (sentiment).

Tetapi perkembangan penuh teori-ekspresi pada abad ke-20 M, telah menunjukkan bahwa hal-itu hanyalah satu sisi/sudut pandang dari sebuah gambar.

Dalam taksonomi dari istilah-seni yang diberikan Scruton, teori-respon terkonsentrasi perhatian-nya pada kualitas-afektif seperti menggerakkan perasaan, menarik, memuakkan, membosankan/menjemukan dan sebagainya.

Tetapi teori-seni dapat disebut sebagai teori-ekspresi meskipun fokus pada hal yang menyusun kualitas-emosional dan mental, seperti yang pernah dibahas sebelumnya, misalnya menyenangkan, melankolis, rendah hati, vulgar dan cerdas.

Seperti yang akan kita bahas di bawah ini, ketika studi-ekspresi saat ini membahas lebih rinci, telah ada beberapa penulis seperti John Hospers dan OK Bouwsma yang tertarik pada teori semacam itu.

Tetapi ada jenis teori-lain, yang mungkin bahkan lebih-layak untuk disebut teori-ekspresi. Apa yang di-ekspresi-kan secara personal oleh seorang seniman/artis adalah fokus perhatian dari teori-seni-ekspresi-diri, namun tema-tema yang lebih universal seringkali di-ekspresi-kan oleh individu dan teori-seni-sejarah melihat seniman/artis hanya sebagai saluran masalah-sosial yang lebih luas.

R.G. Collingwood pada tahun 1930-an menarik seni menjadi suatu masalah ekspresi-diri :

" Dengan menciptakan pengalaman-imajiner atau aktivitas-imajiner bagi kita-sendiri, kita mengekspresikan emosi-emosi kita, dan inilah yang kita sebut seni. "

Dan ciri penting dari teori-Marx tentang seni, pada abad ke-19 M, dan juga banyak para penganut Marxis yang lain, yang mengikuti-nya memasuki abad ke-20 M, teori-teori yang disampaikan mereka merupakan teori-ekspresi dalam tinjauan pengertian seni-sejarah.

Seni diambil oleh orang-orang dengan pendekatan ini, seni menjadi bagian dari supra-struktur-masyarakat, yang bentuk-bentuk-nya ditentukan oleh basis-ekonomi, dan dengan demikian seni dipandang sebagai ekspresi-atau-refleksi dari kondisi-kondisi-material tersebut.

Meskipun demikian teori-seni-sosial tidak harus didasarkan pada materialisme. Salah satu teoretikus-seni-sosial utama akhir abad ke-19 M adalah novelis Leo Tolstoy, yang memiliki sudut pandang yang lebih spiritual. Ia berkata :

" Seni adalah aktivitas-manusia yang tersusun didalamnya dari hal ini, bahwa seseorang secara sadar, melalui tanda-tanda eksternal tertentu, menyerahkan/menyampaikan kepada orang lain perasaan yang pernah dialaminya, dan orang lain terinfeksi oleh perasaan itu dan juga mengalaminya. "

Memasuki ke abad ke-20 M, fokus utama beralih ke abstraksi-dan-apresiasi-bentuk.

Gerakan estetika, seni dan keterampilan, pada bagian akhir abad ke-19 M menarik orang menuju kepada kualitas-kualitas yang memadai. Di sini konsep-sentral dalam estetika adalah tentang estetika-murni yang telah disebutkan sebelum-nya, seperti anggun, elegan, indah, mulia, dan baik.

Tetapi kualitas-bentuk, seperti organisasi, kesatuan, dan harmoni, demikian juga keberagaman/variasi dan kompleksitas/kerumitan, sangat terkait erat, sebagai penilaian-teknis seperti dibuat-dengan-baik (well-made), terampil (skilfull) dan ditulis-secara-profesional (professionally-written).

Yang terakhir ini mungkin dapat dipisahkan sebagai fokus teori-seni-keterampilan seperti pada gagasan seni sebagai techne di jaman Yunani-kuno, namun teori-bentuk biasanya fokus pada semua kualitas ini dan estetika umumnya menetapkan semua hal itu sebagai perhatian utama.

Eduard Hanslick adalah seorang formalis-musikal pada akhir abad ke-19 M, formalis-Rusia pada tahun-tahun awal revolusi, dan strukturalis-Perancis kemudian menyusul, mempromosikan minat yang sama pada bidang sastra.

Clive Bell dan Roger Fry, anggota Bloomsbury Group yang berpengaruh pada dekade pertama abad ke-20 M, adalah promotor awal yang paling banyak diperhatikan dalam aspek-seni-visual ini.

Hipotesis-estetis Bell yang terkenal adalah :

" Kualitas apa yang dimiliki oleh semua benda yang memicu emosi-estetika kita ? Hanya satu jawaban yang mungkin muncul yaitu bentuk-yang-signifikan. Di dalamnya masing-masing, garis dan warna digabungkan dengan cara tertentu. Bentuk-tertentu dan hubungan-antar-bentuk, membangkitkan emosi-estetika kita. Hubungan dan kombinasi dari garis dan warna ini, bentuk-bentuk-estetis yang bergerak ini, saya disebut bentuk-signifikan dan bentuk-signifikan adalah satu kualitas-umum pada semua karya-seni-visual. "

Clement Greenberg, pada tahun-tahun ekspresionis-abstrak, dari tahun 1940-an hingga 1970-an, juga membela versi-formalisme ini.

Abstraksi adalah penggerak utama dalam seni pada awal abad ke-20 M, namun dekade berkutnya sebagian besar mengabaikan apapun gagasan tentang definisi-seni yang ketat.

De-definisi dari seni dirumuskan dalam filsafat secara akademis oleh Morris Weitz, yang mendapatkan pandangan-nya dari beberapa karya Wittgenstein mengenai ide/gagasan-permainan.

Wittgenstein berpendapat bahwa tidak ada sesuatu yang sama, yang dimiliki oleh semua permainan, dan dengan demikian perkembangan historis-nya terjadi/muncul melalui sebuah proses-generasi secara analogi, dari contoh paradigmatik hanya dengan cara kemiripan-keluarga.

Meskipun demikian, ada cara untuk menyediakan semacam definisi-seni yang menghormati/memperhatikan tekstur-terbuka-nya. Definisi-institusional terhadap seni, yang dirumuskan oleh George Dickie, ada di dalam kelompok ini :

" Suatu karya-seni adalah sebuah artefak yang telah dianugerahkan kepada-nya status-kandidat untuk di-nilai oleh dunia-seni. "

Ini membuat isi-seni menjadi terbuka, karena isi-seni diserahkan kepada direktur-museum, penyelenggara-festival, dan sebagainya, untuk memutuskan apa yang disajikan. Juga, seperti yang telah kita lihat sebelumnya, Dickie meninggalkan gagasan penilaian/penghargaan-terbuka, karena ia membiarkan semua-aspek sebuah karya-seni dapat dihadirkan secara estetika.

Namun, gagasan tentang artefak, dalam definisi ini tidak sebatas pada apa yang dapat dilihat, karena apapun yang dibawa ke dalam ruang-seni sebagai kandidat untuk di-nilai, di sana menjadi di-artefaktual-kan, menurut Dickie dan karenanya ia menerimanya sebagai seni yang berlawanan dengan apa yang disebut alami (benda-benda-yang-ditemukan-di-alam/found-objects) dan sudah-di-produksi (readymades).

Kurangnya penekanan pada kekuasaan-pialang ditemukan dalam definisi-estetika terhadap seni dari Monroe Beardsley yang sedikit lebih awal :

" Sebuah karya-seni adalah sesuatu yang dihasilkan dengan maksud memberinya kapasitas untuk memuaskan kepentingan-estetis. "

di mana produksi dan estetika memiliki keadaan normal dengan konten-terbatas (tidak-terbuka) .

Tetapi ini menunjukkan bahwa kedua definisi-kontemporer ini, seperti yang lain, hanya mencerminkan secara historis bahwa seni berkembang sesuai dengan jaman-nya (periode yang bersangkutan). Tentu saja standar-standar-tradisional-estetika-obyektif, pada awal abad ke-20, sebagian besar telah diberi pilihan bebas dalam segala hal terhadap benda-benda oleh publik-dunia-seni-Mandarin baru-baru ini.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H6
Pemahaman Pribadi


Tuesday, December 5, 2017

Estetika 5 : Intensi


Bentuk tradisional kritisisme-seni bersifat biografis dan sosiologis, dengan melibatkan penjelasan konsepsi-konsepsi-seniman dan sejarah-tradisi-tradisi di dalamnya seniman tersebut berkarya.

Tetapi di abad ke-20, sesuatu yang berbeda, bentuk yang lebih ilmiah dan a-historis dari kritisisme-sastra tumbuh di Amerika Serikat dan Inggris yang disebut kritisisme-baru.

Seperti para strukturalis-Rusia dan strukturalis-Prancis pada periode yang sama, kritisisme-baru menganggap apa yang dapat dikumpulkan-dan-dipelajari dari karya-seni, semata hanya yang relevan dengan penilaian-penilaian-nya, namun posisi-spesifik mereka menerima pembelaan melalui banyak-pembahasan-filosofis oleh William Wimsatt dan Monroe Beardsley pada tahun 1946. Beardsley melihat posisi-itu sebagai perluasan sudut-pandang-estetika (The Aesthetic Point of View). Wimsatt adalah seorang kritikus-praktisi yang secara pribadi terlibat dalam barisan yang mendukung pendekatan-kritisisme-baru. Dalam esai mereka 'Kekeliruan Intensi/Maksud (The Intentional Fallacy)', Wimsatt dan Beardsley berpendapat :

" Rancangan atau intensi/maksud dari seniman adalah tidak-ada atau tidak-dikehendaki sebagai standar untuk menilai keberhasilan sebuah karya-seni-sastra."

Menurut mereka, intensi/maksud itu tidak-selalu-ada karena intensi/maksud-seniman seringkali sulit untuk diperoleh/diketahui, namun dalam beberapa kasus, intensi/maksud itu ada-dengan-tidak-memadai, kecuali ada/ditemukan bukti-bukti-internal dalam karya-seni yang telah selesai dikerjakan. Wimsatt dan Beardsley sepakat mengijinkan bentuk-bentuk-bukti semacam itu untuk menunjukan adanya intensi/maksud-seorang-penulis, namun tidak mengijinkan hal-eksternal selain teks yang ada di dalam karya-itu.

Perdebatan tentang intensi/maksud-dalam-seni-sastra ini telah berkecamuk dengan penuh-kekuatan hingga akhir-akhir ini.

Seorang pendukung kontemporer Wimsatt dan Beardsley, E.D. Hirsch, terus mempertahankan sudut pandang adanya-intensi/maksud-dalam-karya-seni (intentionalis). Melawan pendapat dia adalah Steven Knapp dan Walter Benn Michaels yang mengambil posisi-a-historis. Frank Cioffi, salah satu penulis-orisinil yang menulis sebuah balasan-bertenaga kepada Wimsatt dan Beardsley, meletakkan dirinya pada posisi-netral diantara kedua-kubu, ia meyakini hal yang lain yaitu pembacaan-terbaik (best-read) kadang-kadang hanya kadang-kadang dapat menangkap adanya-intensi/maksud-dalam-karya-seni, kecuali sang-seniman secara sadar/sengaja memang menuangkan intensi/maksud dalam karya-nya. Salah satu alasan dia menolak adanya-intensi/maksud-dalam-karya-seni pada waktu itu, adalah karena dia yakin seniman itu mungkin tidak-sadar-sepenuhnya akan pentingnya arti karya-seni.

Perdebatan serupa muncul dalam bentuk-seni-lain selain sastra, misalnya arsitektur, teater, dan musik, walaupun telah menyebabkan komentar yang kurang-profesional dalam seni-ini, itu terjadi lebih pada tingkatan-praktis dalam terma-terma argumen antara puritan dan modernis.

Puritan ingin mempertahankan orientasi-historis pada bentuk-bentuk-seni-ini, sementara para modernis ingin membuat sesuatu yang lebih mampu melayani penggunaan masa-sekarang (manfaat sesuai perkembangan jaman).

Perdebatan juga memiliki aspek yang lebih praktis dalam kaitan-nya dengan seni-visual. Karena itu memunculkan pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang menurunkan-nilai dari karya-seni-palsu dan pemalsuan-karya-seni, dan sebaliknya menempatkan nilai-istimewa pada orisinalitas.

Ada sejumlah penipuan yang dapat dicatat dilakukan secara tidak-bermoral oleh para pemalsu-karya-seni dan rekan-rekan mereka. Pertanyaannya adalah : jika tampilan-permukaan-nyaris-sama, apa nilai-utama yang ada di objek-pertama (karya-asli) ?

Nelson Goodman cenderung berpikir bahwa seseorang selalu dapat-menemukan-perbedaan-yang-cukup dengan melihat-secara-dekat-tampilan-visual-nya. Tetapi bahkan jika seseorang tidak bisa menemukan-nya, tetap ada-sejarah-berbeda dalam karya-asli dan salinan-nya, dan juga ada-intensi/maksud-yang-berbeda di belakang karya-karya-itu.

Relevansi dari intensi/maksud-semacam-itu-dalam-karya-seni seperti pada seni-visual telah memasuki diskusi-filosofis dengan sangat menonjol.

Arthur Danto, dalam pembahasan-nya tahun 1964 tentang Dunia-Seni (The Artworld) memusatkan perhatian pada pertanyaan bagaimana atmosfir-teori dapat mengubah cara kita melihat karya-seni.

Keadaan ini telah menjadi-nyata dengan adanya dua-lukisan terkenal yang terlihat-sama, seperti yang dijelaskan oleh Timotius Binkley, berjudul "Mona Lisa" karya Leonardo D.V. dan Duchamp membuat lelucon tentang hal itu, yang disebut "L.H.O.O.Q. Shaved".

Kedua-karya itu terlihat seolah-olah sama, tetapi Duchamp, yang perlu diketahui adalah pembuat lukisan-karya-ketiga "L.H.O.O.Q", yang juga merupakan reproduksi dari lukisan "Mona Lisa" dengan tambahan beberapa grafiti di atasnya yaitu jenggot-dan-kumis.

Dia menyinggung dalam karya-itu kemungkinan bahwa seseorang yang dilukis pada lukisan "Mona Lisa" adalah seorang pria-muda, Duchamp memberikan/menambahkan cerita tentang homoseksualitas-Leonardo D.V. pada lukisan-nya

Dengan grafiti-jenggot-dan-kumis tersebut dihapus, karya-lukis yang secara keseluruhan serupa terlihat tetap berbeda, karena judul yang diberikan Duchamp dan sejarah-produksi-nya, mengubah apa yang kita pikirkan tentang karya-nya.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H5
Pemahaman Pribadi



Saturday, December 2, 2017

Estetika 4 : Sikap Estetika


Jerome Stolnitz, di pertengahan abad terakhir ini, adalah seorang Kantian, dan mempromosikan perlunya sikap-objektif dan bebas-kepentingan terhadap objek-seni.

Seperti yang telah kita lihat sebelumnya, apakah ini merupakan representasi pandangan-menyeluruh Kant terhadap seni, hal itu masih bisa diperdebatkan. Meskipun demikian perlakuan bebas-kepentingan terhadap objek-seni yang disarankan Stolnitz sangat umum dilakukan/dikejar pada jamannya.

Edward Bullough, menulis pada tahun 1912, menyebut perhatian-yang-bebas-kepentingan sebagai sebuah sikap-yang-berjarak, tetapi dia menggunakan istilah itu untuk mencapai apresiasi/penilaian yang jauh lebih lengkap dan lebih rinci tentang keseluruhan-spektrum-sikap yang mungkin dilakukan/diambil ketika berhadapan dengan sebuah karya-seni.

Spektrum-sikap-ini terbentang dari orang-orang yang berjarak-terlalu-jauh (Over-Distance) hingga orang-orang yang tidak-berjarak (Under-Distance). Orang-orang yang berjarak-terlalu-jauh, misalnya, adalah tentang para-kritikus-seni yang hanya melihat segi-teknis dan keahlian dari sebuah produksi sehingga kehilangan-keterlibatan-emosional apa-pun dengan karya-seni.

Bullough mengkontraskan sikap-ini dengan apa yang dia sebut tidak-berjarak, di mana orang mungkin terlalu-diliputi oleh isi dari karya-seni-itu. Orang udik yang melompat ke atas panggung untuk menyelamatkan tokoh pahlawan wanita dan seorang suami yang cemburu, yang menganggap dirinya sebagai Othello yang mencekik istrinya, kehilangan-fakta bahwa pertunjukan tersebut adalah ilusi, sebuah fiksi yang hanya membuat-percaya.

Menurut Bullough, ada titik-tengah-yang-ideal diantara dua-ekstrem-itu, sehingga memecahkan antinomi-jarak dengan menentukan harus-ada-jarak-minimal yang paling mungkin tanpa-kehilangan-fakta.

George Dickie kemudian membantah keduanya, baik sikap-bebas-kepentingan maupun sikap-berjarak dalam sebuah tulisan makalah pada tahun 1964 yang terkenal berjudul, The Myth of the Aesthetic Attitude (Mitos Sikap Estetika).

Dia berpendapat bahwa kita harus dapat menikmati semua objek-kesadaran, baik estetika-murni maupun moral. Pada kenyataanya, menurutnya istilah estetika bisa digunakan dalam semua-kasus. Ia menolak gagasan bahwa ada beberapa cara-otoritatif yang tepat untuk menggunakan kata-tersebut hanya diterapkan pada kualitas-permukaan atau kualitas-formal yaitu karya-seni sebagai benda-dalam-dirinya-sendiri.

Akibatnya, Dickie menyimpulkan bahwa sikap-estetika, jika dipahami secara memadai, direduksi menjadi hanya perhatian-yang-dekat kepada apa-pun yang menarik/memegang/menahan-pikiran seseorang yang terkandung dalam suatu-karya-seni, melawan tradisi yang percaya bahwa karya-seni memiliki kualitas-psikologis atau kualitas-lain yang melibatkan perhatian hanya kepada objek tertentu.

Seni bukanlah satu-satunya objek untuk menarik perhatian terhadap hal-hal yang menyenangkan : hobi dan traveling adalah contoh lebih lanjut, dan olahraga adalah contoh lain, seperti yang telah disebutkan di atas.

Secara khusus, meluasnya tradisi-estetika dalam beberapa tahun terakhir telah membuat para teoritikus lebih memperhatikan olahraga. David Best, misalnya, menulis tentang olahraga dan kemiripan-nya dengan seni, ia menyoroti betapa dekat-nya olahraga dengan estetika-murni. Tetapi dia bermaksud membatasi olahraga hanya dengan estetika-murni dan berkeras bahwa tidak ada relevansi-nya olahraga dengan etika. Best melihat bentuk-seni dapat dibedakan secara ekspresi-nya dengan kepemilikan-kapasitas untuk mengomentari/menanggapi tentang situasi-kehidupan, dan karenanya membawa pertimbangan-moral.

Menurut pendapatnya tidak ada olahraga yang memiliki kapasitas lebih jauh seperti itu, meskipun hal-hal-yang-menyenangkan dari banyak olahraga tidak diragukan merupakan estetika. Tetapi banyak bentuk-seni juga tidak berkomentar/menanggapi mengenai situasi-kehidupan ---mungkin lebih-jelas disebut bentuk-bentuk hasil 'ketrampilan-tangan' yang memerlukan keahlian-teknis-tinggj---, misalnya dekorasi, lukisan-abstrak dan balet-non-naratif. Dan ada banyak olahraga yang terlihat sangat nyata dalam hal moral, dalam hal membangun-karakter, misalnya, pendakian-gunung dan berbagai olahraga-tempur seperti tinju dan gulat. Mungkin jalan keluarnya datang dengan memperhatikan pembagian Best sendiri yang diberikannya kepada bentuk-olahraga, antara di satu sisi olahraga-wajib atau olahraga-non-purposif seperti senam, menyelam, dan renang-ritmis, yang merupakan salah satu yang dianggap orang estetis dan di sisi lain olahraga-porestasi atau olahraga-purposif seperti olahraga-tempur di atas. Olahraga-wajib memiliki lebih sedikit seni di dalamnya, karena tidak sekreatif dengan olahraga-purposif.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aestheti/#H4
Pemahaman Pribadi