Yang dimaksud dengan Modernisme dibidang filsafat adalah gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang diinspirasikan oleh Descartes yang kemudian dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung) dan mengabdikan dirinya hingga abad duapuluh satu ini melalui dominasi sains dan kapitalisme.
Gambaran dunia semacam ini, beserta tatanan sosial yang dihasilkan ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk pada kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Pada taraf praksis, beberapa konsekuensi negatif itu adalah sebagai berikut :
i. Eksploitasi Alam
Pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi Subjek-Objek, Spiritual-Material, Manusia-Dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini -kita tahu- telah mengakibatkan krisis ekologi.
iii. Disorientasi Moral-Religius
Dalam modernisme ilmu-ilmu positif dan empiris mau tidak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini, adalah nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbulah disorientasi moral-religius, yang pada akhirnya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain-lain.
iv. Materialisme
Bila kenyataan terdasar tidak ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Materialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis yaitu hidup pun menjadi keinginan yang tak ada habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Dan aturan utama adalah survival of the fittest atau dalam skala besar persaingan dalam pasar. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern.
v. Militerisme
Karena norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma-norma umum objektif pun hilang juga. Akibatnya kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang dari hal ini adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Meskipun demikian religi pun bisa sama kerasnya manakala dihayati secara fundamentalis, oleh karena dalam fundamentalisme Tuhan biasanya juga dilihat sebagai kekuasaan yang menghancurkan pihak musuh. Jika religi dihayati dengan cara demikian maka justru menjadi alat legitimasi militerisme.
vi. Tribalisme
Bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan yang keras. Sesungguhnya secara teoritis religi-religi telah selalu berusaha mengatasi tribalisme dan menggantikannya dengan universalisme. Namun religi kini tidak memiliki cukup kekuatan dan otoritas hingga pengaruhnya tak amat terasa. Lebih celaka lagi setelah perang ideologi selesai kini religi menjadi kategori identitas penting yang jusrru mendukung kelompok-kelompik yang saling bertengkar dengan kata lain justru mendukung tribalisme.
Demikian konsekuensi negatif itu akhirnya telah memicu berbagai gerakan postmodern yang hendak merevisi paradigma modern.
Sumber:
I. Bambang Sugiharto
Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat
i. Eksploitasi Alam
Pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi Subjek-Objek, Spiritual-Material, Manusia-Dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini -kita tahu- telah mengakibatkan krisis ekologi.
ii. Manusia Sebagai Objek
Pandangan modern yang bersifat Objektivis dan Positivitis akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.
iii. Disorientasi Moral-Religius
Dalam modernisme ilmu-ilmu positif dan empiris mau tidak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini, adalah nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbulah disorientasi moral-religius, yang pada akhirnya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain-lain.
iv. Materialisme
Bila kenyataan terdasar tidak ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Materialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis yaitu hidup pun menjadi keinginan yang tak ada habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Dan aturan utama adalah survival of the fittest atau dalam skala besar persaingan dalam pasar. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern.
v. Militerisme
Karena norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma-norma umum objektif pun hilang juga. Akibatnya kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang dari hal ini adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Meskipun demikian religi pun bisa sama kerasnya manakala dihayati secara fundamentalis, oleh karena dalam fundamentalisme Tuhan biasanya juga dilihat sebagai kekuasaan yang menghancurkan pihak musuh. Jika religi dihayati dengan cara demikian maka justru menjadi alat legitimasi militerisme.
vi. Tribalisme
Bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan yang keras. Sesungguhnya secara teoritis religi-religi telah selalu berusaha mengatasi tribalisme dan menggantikannya dengan universalisme. Namun religi kini tidak memiliki cukup kekuatan dan otoritas hingga pengaruhnya tak amat terasa. Lebih celaka lagi setelah perang ideologi selesai kini religi menjadi kategori identitas penting yang jusrru mendukung kelompok-kelompik yang saling bertengkar dengan kata lain justru mendukung tribalisme.
Demikian konsekuensi negatif itu akhirnya telah memicu berbagai gerakan postmodern yang hendak merevisi paradigma modern.
Sumber:
I. Bambang Sugiharto
Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat
No comments:
Post a Comment