Pertarungan politik merebut kekuasaan di Ibu Kota Negara selalu menarik untuk diperhatikan dan diikuti. Hal ini dikarenakan Pilkada Jakarta memiliki posisi strategis untuk menentukan peta kekuatan politik di tingkat nasional. Hampir semua partai politik paham dan menyadari hal ini. Di Pilkada Jakarta, sebagai representasi mini peta politik negeri ini, partai-partai mengukur sekaligus mempersiapkan diri dan mencoba kekuatan melalui modeling pertarungan politik dengan tujuan akhir meraih kekuasaan tertinggi di negeri ini. Untuk itu hampir semua partai mengerahkan upaya maksimal guna memenangkan pertarungan mini itu. Bahkan para ketua dan petinggi partai pun langsung turun memimpin pasukannya berlaga di medan tempur. Frase pendek 'Pertarungan Para Dewa' sangat baik dan indah mendeskripsikan hal itu.
Isu SARA
Masa berperang memang belum dimulai, tetapi genderang sudah bertalu. Pertarungan sesungguhnya sudah terjadi sejak partai-partai menentukan calon definitif untuk kandidat yang akan menduduki kekuasaaan. Strategi pun sudah mulai dijalankan.
Pemahaman lama berpendapat, isu SARA merupakan senjata efektif dan efisien untuk menjatuhkan lawan. Tetapi sedikit yang menyadari bahwa senjata itu akan bekerja normal pada iklim demokrasi dan keadaan sosial masyarakat tertentu. Pada kondisi yang lain, isu SARA justru dapat berbalik menjadi bumerang yang melemahkan penyerangnya dan sebaliknya melipatgandakan kekuatan lawan dengan tidak kalah efektif dan efisiennya. Isu SARA sangat bergantung pada bagaimana, kapan, dimana, dan secerdik apa memainkannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Seperti kota-kota besar pada umumnya, kecenderungan pemilih di Jakarta bergerak ke arah penggunaan rasio dan meninggalkan alasan-alasan SARA dalam menentukan pilihannya. Akses informasi yang begitu mudah serta peristiwa-peristiwa politik besar yang sangat gamblang tergelar di depan mata dengan dilengkapi berbagai analisa politik yang logis membuat pemilih di Jakarta sangat-sangat terlatih untuk melakukan penilaian politik secara rasional dalam menentukan pilihannya. Setidaknya dua pemilu besar sebelumnya menunjukan itu.
Peristiwa Surat Al-Maidah
Riuh rendahnya peristiwa Surat Al-Maidah sangat menarik dicermati untuk membaca fenomena penggunaan isu SARA yang dimainkan untuk mencapai tujuan politik. Pihak mana yang diuntungkan atau dirugikan dalam hal ini bergantung pada pihak yang lebih lihai dan cerdik menggunakan senjata ini.
Sebelum peristiwa Surat Al-Maidah terjadi, muncul peristiwa yang cukup menarik perhatian publik. Seorang pembina partai islam -dengan nama besarnya dan dengan vulgarnya- menggunakan istilah-istilah keagamaan untuk menyerang Sang-Petahana bahkan menggunakan even peringatan sakral agamanya untuk melakukan propaganda menjatuhkan karakter Sang-Petahana. Sosok lama yang mempunyai 'template' khas berperang dengan menerapkan pola pikir lama dan strategi lama dengan asumsi-asumsi lama dicampur nafsu menggebu yang mengaburkan perhitungan politik yang cermat. Strategi yang sangat mudah dibaca karena Sang-Petahana justru menyadari betul sisi lemahnya dan sudah berpengalaman menghadapi lawan yang sejenis.
Persepsi publik pada saat itu menunjukan reaksi kurang simpatik dan memberikan sinyal yang kuat akan ketidaksukaan pada peristiwa itu. Hal ini sepertinya dipahami oleh Sang-Petahana dengan jernih dan jeli sebagai bukti empiris yang memastikan bahwa demokrasi benar-benar telah bekerja atas dasar rasionalitas dan sebagai 'penanda' bahwa pihak lawan mengusung senjata lama, bekas pertarungan sebelumnya tanpa modifikasi sama sekali. Beberapa saat kemudian isu ini mereda tetapi pertarungan masih terus berlanjut.
Peristiwa Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu -entah sengaja atau tidak- kemudian terjadi. Peristiwa ini memancing sekaligus memicu isu SARA bergaung dengan intensitas lebih memekakkan telinga. Pihak Non-Petahana sepertinya memahami peristiwa ini sebagai 'blunder' yang dilakukan Sang-Petahana. Seperti melihat celah pertahanan yang terbuka, dengan agresif pihak Non-Petahana menggunakan kesempatan ini untuk menyerang dengan tajam sekaligus meluapkan kegusarannya. Sementara Sang-Petahana dengan cerdik memilih tidak begitu menanggapi serangan itu, bersikap lebih bertahan dan hati-hati, bereaksi hanya untuk mengimbangi ala kadarnya. Sikap yang memberikan keuntungan pada Sang-Petahana karena publik dapat dengan mudah dan jelas membedakan sekaligus mengidentifikasi pihak mana yang aktif memainkan isu SARA.
Peristiwa demonstrasi kemudian menyusul meneruskan gelombang serangan berdasar peristiwa Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu. Pihak Non-Petahana seperti merasa diatas angin dengan berhasil mengumpulkan ribuan pendemo pada aksi tersebut. Sementara Sang-Petahana masih belum menunjukan perlawanan yang memadai apalagi all-out, bahkan cenderung diam dan pasif. Akibat reaksi yang kontras dari Sang-Petahana atas peristiwa ini adalah mengokohkan persepsi publik yang semakin mantap mengidentifikasi pihak mana yang sesungguhnya intensif memanfaatkan isu SARA. Ini diperkuat dengan kredibilitas peserta dan organisasi yang terlibat demonstrasi yang lekat dengan politik aliran ditambah kehadiran sosok tua yang khas dengan usaha-usaha untuk melengserkan Sang-Petahana.
Dongeng Si Baik Dan Si Jahat
Sepanjang sejarah perkembangan manusia dongeng selalu menyertai kehidupan. Dalam berbagai peradaban, dongeng digunakan untuk menanamkan nilai-nilai moral selain sebagai penghibur hidup manusia yang naik dan turun. Moralitas direpresentasikan dengan tokoh Si Baik dan Si Jahat beserta sifat-sifat yang menempel padanya. Alur cerita biasanya dimulai dengan Si Jahat yang memperlakukan Si Baik dengan tidak adil dan menindas serta perlakuan buruk lainnya, Si Baik umumnya digambarkan dengan tokoh yang teraniaya, lemah dan tidak mampu melawan. Cerita kemudian berjalan dengan peristiwa-peristiwa menarik yang menunjukan bahwa alam dan penciptanya berpihak pada Si Baik. Dan pada ujung cerita, dongeng berakhir dengan kebahagiaan atau kemenangan Si Baik. Sebaliknya Si Jahat menerima akhir yang menyedihkan, sial atau mengenaskan.
Cerita yang disertai nilai-nilai moral sepert ini telah tertanam dalam masyarakat. Proses internalisasi telah lama berjalan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka dapatlah dipahami mengapa masyarakat begitu mudah merasa simpati dan berempati kepada individu yang teraniaya atau ikut memaki dan mengutuk pada individu yang menurutnya bertindak amoral.
Isu SARA disisi lain dapat menggiring pemilih untuk memahami pertarungan politik seperti memahami dongeng Si Baik dan Si Jahat. Melalui refleksi, pemilih akan meng-analogi-kan tokoh dongeng dengan masing-masing kandidat yang bertarung. Berdasar pada analisa terhadap peristiwa politik yang terjadi dan tingkah laku sang kandidat dan tim pemenangannya selama menjalani pertempuran, kesadaran pemilih melakukan identifikasi mana Si Baik dan mana Si Jahat sesuai dengan persepsi pada masing-masing kandidat. Selanjutnya pada saat pemilihan tiba, pemilih akan mengekspresikan pembelaannya pada kandidat yang dinilainya sebagai Si Baik dengan memilihnya.
Dengan melihat fakta pertarungan politik diatas, kedua belah pihak sesungguhnya memanfaatkan isu SARA untuk memperebutkan persepsi pemilih agar menilai kandidatnya sebagai tokoh Si Baik. Sang-Petahana memposisikan diri -secara pasif- sebagai orang biasa yang baik dan lemah sedang pihak Non-Petahana memposisikan diri -secara aktif- sebagai penguasa kebenaran yang kuat dan sangat berkuasa. Sayangnya isu SARA mempunyai konotasi makna negatif yang lebih rasional berkorelasi dengan perlakuan buruk Si Jahat kepada Si Baik dalam dongeng. Oleh karena itu semakin intens/aktif pemakaian isu SARA akan cenderung membuat kandidat mengalami kekalahan karena ditinggal pemilih. Sedikitnya perilaku negatif yang dilakukan oleh kandidat dan tim pemenangannya merupakan pertimbangan utama bagi pemilih dalam menentukan persepsi siapa yang dinilai Si Baik.
Sumber:
Pengalaman Hidup
Pemahaman Otodidak
Kelapa Gading, 16 Oktober 2016
Cerita yang disertai nilai-nilai moral sepert ini telah tertanam dalam masyarakat. Proses internalisasi telah lama berjalan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka dapatlah dipahami mengapa masyarakat begitu mudah merasa simpati dan berempati kepada individu yang teraniaya atau ikut memaki dan mengutuk pada individu yang menurutnya bertindak amoral.
Isu SARA disisi lain dapat menggiring pemilih untuk memahami pertarungan politik seperti memahami dongeng Si Baik dan Si Jahat. Melalui refleksi, pemilih akan meng-analogi-kan tokoh dongeng dengan masing-masing kandidat yang bertarung. Berdasar pada analisa terhadap peristiwa politik yang terjadi dan tingkah laku sang kandidat dan tim pemenangannya selama menjalani pertempuran, kesadaran pemilih melakukan identifikasi mana Si Baik dan mana Si Jahat sesuai dengan persepsi pada masing-masing kandidat. Selanjutnya pada saat pemilihan tiba, pemilih akan mengekspresikan pembelaannya pada kandidat yang dinilainya sebagai Si Baik dengan memilihnya.
Dengan melihat fakta pertarungan politik diatas, kedua belah pihak sesungguhnya memanfaatkan isu SARA untuk memperebutkan persepsi pemilih agar menilai kandidatnya sebagai tokoh Si Baik. Sang-Petahana memposisikan diri -secara pasif- sebagai orang biasa yang baik dan lemah sedang pihak Non-Petahana memposisikan diri -secara aktif- sebagai penguasa kebenaran yang kuat dan sangat berkuasa. Sayangnya isu SARA mempunyai konotasi makna negatif yang lebih rasional berkorelasi dengan perlakuan buruk Si Jahat kepada Si Baik dalam dongeng. Oleh karena itu semakin intens/aktif pemakaian isu SARA akan cenderung membuat kandidat mengalami kekalahan karena ditinggal pemilih. Sedikitnya perilaku negatif yang dilakukan oleh kandidat dan tim pemenangannya merupakan pertimbangan utama bagi pemilih dalam menentukan persepsi siapa yang dinilai Si Baik.
Sumber:
Pengalaman Hidup
Pemahaman Otodidak
Kelapa Gading, 16 Oktober 2016
No comments:
Post a Comment