Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, November 14, 2021

Musik Dan Keadilan Sosial 6 : Protes Masa Kini


Seperti telah ditulis di bagian sebelumnya, banyak protes terhadap ketidak-adilan yang diekspresikan secara musikal pada awal abad 21 dilakukan melalui musik hip-hop.

Sebagai contoh, ada seorang rapper Hungaria dengan nama Dopeman yang melakukan pertunjukan tentang ketidak-puasannya terhadap homogenisasi-politis oleh negara pada era pasca-rezim-komunis.

Dan di Haiti, terdapat kontes-rap skala nasional, 'Concours Pwojè Lari Pwòp' pada juni 2006, disana generasi-muda menyampaikan rap-yang-orisinal dengan topik membersihkan lingkungan dan pengambilan suara-nasional untuk rekaman-rekaman favorit mereka dari 12 finalis ---semacam sebuah program kesadaran-sosial “Haitian Idol” (Yéle Haiti, 2006).

Namun, resonansi yang dimiliki musik hip-hop bagi generasi-muda dalam banyak ragam-kebudayaan tidak seharusnya membutakan kita terhadap keberagaman musik-tradisional dan improvisasi ---yang melaluinya seruan-seruan keadilan berbicara kepada masyarakat.

Sebagai contoh, seorang cendekiawan Foucaultian Ladelle McWhorter membuka bukunya 'Racism and Sexual Oppression in Anglo-America' dengan sebuah anekdot tentang menghadiri acara-renungan bagi Matthew Shepard, seorang mahasiswa muda di Wyoming yang kematiannya tahun 1998 merupakan sebuah kejahatan kebencian dari kaum anti-gay, mengingatkan kembali bahwa sejumlah hadirin merasa terinspirasi untuk menyanyikan lagu-kebesaran pada era hak-hak-sipil 'We Shall Overcome' sebagai sebuah ekspresi pendirian mereka melawan homophobia.

Pembahasan dalam bagian ini, oleh karenanya tidak seharusnya dibaca sebagai sebuah pendangan-komprehensif, namun sebagai sebuah seleksi-beberapa-contoh yang menunjukan kasus tentang keberagaman gaya-musikal yang berbicara tentang keadilan di seluruh belahan dunia.



Sumber :
https://iep.utm.edu/music-sj/#SH2
Pemahaman Pribadi




Saturday, November 13, 2021

Musik Dan Keadilan Sosial 5 : Kontestasi Musik Pasca Industrial : Disco, Punk dan Hip-Hop


Musik yang menyertai kemerosotan-industrial di negara-negara industri barat ---dapat dicatat Amerika-Serikat dan Inggris-Raya--- menyuarakan dua respon yang berbeda untuk mengembalikan pemberdayaan-diri dan idealisme yang merupakan kontra-budaya yang dipupuk pada tahun 1960-an.

Disco, dengan kostum detail-dan-rumit menarik perhatian dengan fokus pada tarian dan hadirnya budaya-narkoba, mewakili sikap menjauh dari tantangan-tantangan politik, sebuah sikap penolakan untuk terkait dengan masalah-masalah sosial, dan sebuah hasrat untuk memperoleh kenikmatan-sesaat

Di sisi lain, Punk merupakan sebuah lolongan kemarahan dari kaum-muda kelas pekerja yang melihat dan menolak secara langsung dan tegas, kepada kemunafikan dari kemapapan-sosial dan meningkatnya ketidak-mampuan untuk mengakses kesempatan-kesempatan ekonomi bagi yang tidak-beruntung secara sosial-ekonomi.

Disco secara stereotip diidentifikasikan dengan orang-orang Afrika-Amerika (meski didominasi oleh konsumen kulit-putih) sedang Punk diberi label dengan Fenomena-Inggris, meski pada faktanya kedua konstituen musik itu dapat ditemukan di negara-negara maju dan makmur manapun yang pada tahun 1970-an mulai bergulat dengan deindustrialisasi, stagnasi-upah dan restrukturisasi-perusahaan yang sekarang dikenal dengan outsourcing.

Elemen-elemen dari kedua musik ini dalam menanggapi marjinalisasi-dan-ketidakadilan-sosial disintesakan dalam hip-hop, bentuk musik yang paling-populer untuk mengekspresikan protes di seluruh dunia pada era selanjutnya.

Sosiolog Tricia Rose dalam karyanya Black Noise: Rap Music and Black Culture in Contemporary America, mengajukan teori bahwa dunia hip-hop pada masa-mudanya sebagai kemunculan dari suatu mimpi-buruk pasca-industri dimana etnis-miskin disingkirkan dari ruang-ruang publik dan protes-kreatif ditumbuhkan dalam upaya mengembalikan kepada masyarakat tetangga-kota yang sedang hancur untuk membangun jalan-jalan-cepat masuk ke dalam kota bagi para pekerja dari pinggiran-kota (31-33).

Dalam perang yang secara umum tidak disadari oleh masyarakat-miskin dan terpinggirkan ini muncul interaksi teknologi, ekonomi dan kebudayaan pada saat lahirnya hip-hop, yang digambarkan oleh Rose sebagai sebuah praktik penolakan terhadap pengambil-alihan budaya hura-hura-kesenangan (22-23).

Stasiun kereta bawah tanah, pojokan jalan, taman-taman yang terbengkelai diduduki oleh para pendengar dan penari sebagai ruang-ruang politik.

Elemen-elemen dari hip-hop 'flow, layering, dan rupture' merefleksikan dan menunjukan perlawanan terhadap peminggiran-sosial, Rose berkata: pada saat lahirnya, musik menyuarakan dan mensimbolisasikan pengalaman hidup tentang perjuangan masyarakat untuk menggenggam sebuah identitas-komunitas menghadapi 'perkembangan-kota' dan proses desakan terhadap masyarakat-miskin. (22).

Ia menekankan, perjuangan bukanlah akhir, bukan langkah sia-sia dari para korban bencana kiamat-perkotaan, namun merupakan pembentukan dari sebuah identitas alternatif yang diproduksi secara komunal oleh para produsen sebuah gerakan kesadaran 'merebut kembali ruang-publik' (Rose 33).

Itu adalah pernyataan tegas, keras dan tanpa maaf tentang hak-semua-manusia untuk mengambil ruang-publik, untuk berinteraksi dengan yang-lain dan dengan musik yang memberi informasi ruang-ruang publik ini telah diambil-alih-kembali dan menjadi tempat perjuangan politik.



Sumber :
https://iep.utm.edu/music-sj/#SH1c
Pemahaman Pribadi




Saturday, November 6, 2021

Musik Dan Keadilan Sosial : Tradisi Musik - Folk, Rock, Musik Protes


Lagu-lagu protes dari musik-folk mempunyai sejarah-panjang keterlibatan dalam perjuangan keadilan-sosial untuk menghapus perbudakan, hak-memilih-universal dan agenda-agenda hak-asasi-manusia-lainnya, tetapi benar-benar mulai menyatakan kekuatan-nya selama masa dorongan membentuk serikat-pekerja muncul dari proses industrialisasi masyarakat-yang-makmur.

Di Amerika Serikat, sejumlah lagu yang paling-dapat dikenal diantara lagu-lagu yang muncul dari gerakan-buruh termasuk didalamya lagu “John Henry” dan “Which Side Are You On?”

Meski musik-folk mengembangkan reputasi-nya sebagai suara-keadilan-sosial di Amerika, tidak-sedikit karena sumbangan musik dari Woody Guthrie, Pete Seeger, dan Bob Dylan, mungkin lagu protes yang berpengaruh-paling-dalam terhadap kehidupan politik Amerika adalah lagu anti-hukuman-mati-tanpa-pengadilan berjudul “Strange Fruit”.

Lirik lagu ini ditulis oleh guru-sekolah Yahudi bernama Abel Meeropol (yang mengadopsi anak-yatim-pistu dari Julius dan Ethel Rosenberg, pasangan yang dieksekusi mati pada tahun 1953 oleh pemerintah Amerika atas tuduhan telah mengirimkan rahasia-senjata-atom kepada Uni-Sovyet) pada tahun 1930-an sebagai sebuah respon terhadap foto-mengerikan yang menggambarkan hukuman-mati-tanpa-pengadilan.

Direkam oleh Billie Holiday dan dinyanyikan sebagai salah-satu lagu-penanda khas dirinya, “Strange Fruit” menjadi sebuah protes yang didengar-luas melawan ketidak-adilan-sosial, sebuah pelajaran bagi para pendengar mengenai realitas kehidupan (dan kematian) orang-orang Afrika-Amerika sebagai bagian dari masyarakat Amerika-Serikat yang mempraktikan hukuman-mati-tanpa-pengadilan (“Strange Fruit: The film” Independent Lens).

Kritikus jazz Leonard Feather pernah berkata mengenai lagu “Strange Fruit” bahwa lagu-itu adalah "Protes pertama yang sangat-berarti melalui kata-kata dan musik, teriakan pertama melawan rasisme yang tidak dibungkam." (Margolick)

Menimbang sejarah aktivisme dan orasi orang Afrika-Amerika, pendapat Feather terhadap ke'pertama'an (dalam kalimat di atas) paling-baik dipahami sebagai bagian kalimat hiperbolis namun tidak-ada penolakan pengaruh lagu-ini pada para pendengar/penggemar Holiday.

Margolick menjelaskan kembali bahwa perkelahian-pecah di klub-malam setelah lagu itu dibawakan dan Billie Holiday sendiri diserang oleh seorang pelanggan yang putus-asa dan trauma. Terlepas dari beban-emosioanal tampaknya Holiday merasa sebuah kewajiban untuk menyanyikannya.

"Saya harus menyanyikannya." Margolick mengutip ucapanya : "adalah menempuh jalan-panjang untuk mengatakan bagaimana mereka keliru-memperlakukan orang negro di Selatan sana."

Dan dampak dari lagu itu, benar-benar memainkan peran dalam usaha-usaha untuk mengubah kebijakan-sosial : sejumlah orang yang mendukung pengesahan undang-undang anti-hukuman-mati-tanpa-pengadilan mengirim rekaman “Strange Fruit” kepada para anggota Konggres, agaknya karena mereka merasa mendengar lagu-itu akan membangkitkan kesadaran-moral-yang-kuat bagi para legislator.

Lagu “Strange Fruit” terus memendam kekuatan itu, bahkan dengan berlalunya waktu dan telah disebut "satu dari 10 lagu" yang benar-benar merubah dunia (baca majalah Q Magazine keluaran November 2003, sebuah majalah musik Inggris).

Dalam dunia musik-rock ---gaya yang muncul dari arus-utama asimilasi orang kulit-putih Amerika terhadap ritm dan blues--- terdapat paradigma-lain mengenai pertemuan musik dan keadilan-sosial yang dapat dipahami sebagai sebuah paralel antara musik-rock dengan musik-folk pada lagu “Strange Fruit".

Lebih dari 40 tahun lalu, Jimi Hendrix dan Band yang entah bagaimana terlempar-bersama dibentuk dalam rangka membangkitkan kembali Jimi Hendrix Experience memainkan dua-jam set pertunjukan sebagai aksi-musik-penutup pada Woodstock Festival, sebuah pertunjukkan yang paling diingat karena improvisasi mereka terhadap lagu kebangsaan Amerika “The Star-Spangled Banner” (Daley 52, 55).

Momen ini yang menjadi simbolisasi esensi dari Woodstock adalah sebuah pertunjukan luar-biasa sekaligus kritik terhadap lagu-kebangsaan yang liriknya mengangkat nilai-nilai ketangguhan pada orang-orang yang mengalami serangan. Pergeseran pembawaan lagu dari penuh keyakinan menjadi penyimpangan-yang-cerdas, Hendrix dengan penuh kekuatan menunjukan kepada para pendengarnya tentang inkonsistensi-moral sebuah bangsa yang menyanyikan lagu-kebangsaan-ini sedang pada saat yang sama menjatuhkan bom-bom kepada rakyat negara-lain.

Suara petikan gitar Hendrix dalam pertunjukan-ikonik itu mengingatkan kembali pada ledakan-ledakan dan pekik-ketakutan persis pada titik-titik seseorang yang bernyanyi-bersama mendapatkan 'kilauan merah roket-roket' dan 'bom-bom terbakar di udara'.

Pesan yang tampak telah memasuki imajinasi-populer sebagai sebuah hasil improvisasi pada lagu “The Star-Spangled Banner” di Woodstock sangat jelas merupakan sebuah pesan anti-perang dan anti-imperialis.

Dalam buku karyanya berjudul Crosstown Traffic, jurnalis musik Inggris Charles Murray menyimpulkan bahwa pertunjukan Hendrix "menggambarkan, secara grafis sebagai yang-mungkin dapat dilakukan dari sebuah karya-musik, baik apa yang telah dilakukan bangsa Amerika kepada Vietnam juga apa yang mereka lakukan kepada bangsa Amerika sendiri" (C. Murray 24; quoted in Daley 57).



Sumber :
https://iep.utm.edu/music-sj/#SH1b
Pemahaman Pribadi




Thursday, November 4, 2021

Musik Dan Keadilan Sosial : Tradisi Musik - Asal dan Pengaruh Musik Blues dan Jazz


Salah satu sejarawan-musik-blues yang paling berpengaruh adalah Amiri Baraka yang menulis sebagai Leroi Jones dalam buku pertamanya berjudul Blues People, menggali pengalaman orang-orang Afrika-Amerika mengenai kebangsaan melalui musik.

Baraka menjelaskan, musik-blues adalah respon dari korban-korban penculikan orang-orang Afrika untuk dijadikan budak bagi orang Amerika, sebuah curahan-budaya yang berkembang dari karya lagu-dan-spiritual yang menyajikan kembali dalam skala-kecil seluruh-rentang dan nuansa tentang adaptasi masyarakat terhadap sebuah tanah-asing yang tidak-ada pilihan bagi mereka kecuali membuatnya menjadi kampung-halaman.

Jejak-jejak sejarah tentang adaptasi dari Baraka ini salah-satunya adalah dimana lagu-lagu menjadi lebih-rumit dan lebih-sekuler, meninggalkan tema-tema tentang keselamatan ke surga, yang memberi karakter produksi-musikal orang-orang Afrika-Amerika dibawah perbudakan dalam mendukung suatu yang lebih menekankan secara langsung kepada pemberdayaan-sikap-penentuan-diri (kebebasan menentukan nasib-sendiri).

Musik blues oleh karenanya berfungsi sebagai sebuah tempat-penyimpanan ikatan-ikatan-kebudayaan, kandungan liriknya berkembang sepanjang waktu untuk merefleksikan apapun tantangan-tantangan sosial yang dihadapi oleh komunitas-komunitas Afrika-Amerika pada saat itu.

Salah satu contoh penting dari musik-blues yang merefleksikan perjuangan-perjuangan orang-orang Afrika-Amerika untuk memperoleh penghargaan dan pengakuan/legitimasi dalam ruang-publik adalah kolaborasi tahun 1941 antara musisi jazz pianis yang hebat Count Basie dan penulis buku Richard Wright (pengarang buku Native Son yang terkenal) dalam sebuah karya berjudul King Joe (The Joe Louis Blues) yang mengangkat status petinju sebagai kebanggaan dari masyarakatnya pada momen yang sama ketika kampanye-kampanye anti-hukuman-mati-tanpa-pengadilan pada akhirnya mulai populer dan dapat diterima dalam era berlakunya hukum Jim Crow di bagian selatan Amerika ( hukum Jim Crow diberlakukan hingga tahun 1965).

Keduanya Baraka maupun Albert Murray, salah satu orang Afrika-Amerika yang ahli dalam sejarah keunikan-musik-Amerika yang dikenal luas, mengisahkan musik-jazz dengan cara sedemikian rupa untuk menggaris-bawahi kelahiran musik-jazz dari musik-blues.

Bagi Baraka, salah-satu cara yang lebih-koheren dalam mendefinisikan musik-jazz adalah sebagai sebuah sintesa dari intrumentasi Eropa dan poliritme (kombinasi beberapa ritme-berbeda yang simultan) yang berasal-muasal dari Afrika, yang secara mendasar tetaplah blues ---bahkan ketika musik-jazz telah mengembangkan jalurnya sendiri.

Penelusuran Murray terhadap sejarah-musik-ini dalam karyanya Stomping the Blues menyatakan kembali tentang kesamaan-warisan-ini namun terlalu-terpusat pada musik-jazz dan musisi-musisi-jazz sehingga seorang pembaca yang bermaksud mencari sebuah analisa tentang blues dalam buku ini dapat merasa kurang.

Namun, perlakuan lain terhadap kemunculan musik-jazz dan musik-blues dalam karya Frank Kofsky berjudul Black Nationalism and the Revolution in Music, menceritakan musik-jazz dengan sebuah narasi yang mengingatkan kembali kepada karya Thomas Kuhn berjudul Structure of Scientific Revolutions, sebuah kisah pencarian-jalan-keluar dalam paradigma-paradigma yang pada akhirnya, tak-dapat-dielakkan runtuh dan harus diganti ---seperti dalam kasus perubahan/pergeseran musisi-musisi seperti John Coltrane dan Ornette Coleman dari berupaya membuat karya dari gagasan-gagasan mereka sendiri dalam bebop menjadi jatuh ke dalam pelukan jazz-bebas

Kofsky juga mendorong tesis bahwa relasi-relasi musik dan sosial-politik berjalan bergandengan-tangan, ia berpendapat bahwa kita bisa melihat dalam jazz-bebas yang muncul pada awal tahun 1960-an sejenis 'proto-nasionalisme' yang menjadi penanda awal pesan-pesan para nasionalis-kulit-hitam dari Malcolm X, the Black Panthers, dan gerakan-gerakan 'lakukan untuk diri-sendiri' lainnya ('do for self' movements) dalam masyarakat Afrika-Amerika selama tahun 1960-an.

Gerakan-gerakan ini menekankan perlunya kecukupan-diri bagi komunitas dihadapan sebuah masyarakat mayoritas-kulit-putih yang rasis secara sistematis dan meskipun pesan-pesan nasionalis-kulit-hitam seringkali secara sederhana bertentangan dengan integrasionisme yang berasal dari Martin Luther King dan the Civil Rights Movement, pengembangan masyarakat mereka ---program-program seni upaya-upaya-setelah-waktu-sekolah untuk anak-anak, penggalangan dana melalui musik untuk memberi makan orang-orang yang berjuang ditengah kondisi kekurangan pangan, upaya-upaya keamanan pengawasan-tetangga--- tetap berdiri sebagai model-model-nyata untuk solidaritas-akar-rumput.

Pesan kecukupan-diri yang ditemukan Kofsky dalam musik-jazz proto-nasionalisme adalah sebuah perayaan dari sebuah keindahan Afrika-Amerika yang unik, salah satu yang bertarung melawan imperialisme-keindahan orang kulit-putih, kritik-kritik yang mengangkat nilai dan menentukan kekuatan-negosiasi dari hampir semua musisi kulit-hitam di dalam sistem kepemilikan institusi-institusi rekaman dan pertunjukan oleh orang kulit-putih.

Pada tingginya gerakan jazz-bebas, pentingnya kecukupan-diri merupakan daya-dorong dibalik fasilitas-fasilitas rekaman-independen dan tempat pertunjukan yang dimiliki bersama, dimana di tempat itu Coltrane, Coleman, dan Charles Mingus, diantara banyak yang lainnya, melakukan eksperimen.

Perlunya kecukupan-diri juga suatu faktor dalam pendirian sikap-politik yang diambil oleh banyak musisi-musisi jazz-bebas yang anti-perang, anti-kolonialisme, anti-perbudakan dan mendukung luas terhadap Pan-Afrikanisme yang berkembang dalam kebangkitan gerakan-gerakan dekolonisasi Afrika.

Meski demikian, warisan-nya yang paling bertahan-lama adalah kepercayaan yang diberikan untuk melawan narasi-narasi tentang apa yang menyusun nilai-keindahan.

Kritik-kritik orang kulit-putih menggunakan sebuah kerangka-teoritis yang dikembangkan bagi seni-musik-barat (sebutlah musik-klasik) untuk menilai keaslian, ontentisitas, dan kerumitan-artistik dari sebuah tradisi-musik yang muncul dari pengalaman orang-orang Afrika-Amerika.

Namun, seperti pembacaan terhadap sejarah dari Kofsky bersama dengan teori-sastra dari Henry Louis Gates Jr. dalam The Signifying Monkey menjadi jelas, bahwa musisi-musisi kulit-hitam tenggelam dalam dunia-jazz adalah mengembangkan konsepsi-keindahan mereka sendiri ---sebuah konsepsi tentang, misalnya nilai-keaslian yang menolak gagasan eropa-sentris tentang keaslian (sebagai sesuatu yang tidak pernah terlihat sebelumnya dalam dunia-ini) yang mendorong suatu pemahaman bahwa seseorang memberi suatu kontribusi yang asli ketika sesorang menambahkan perspektif pada dirinya terhadap sebuah produk-budaya yang telah ada.

Revisi terhadap apa-makna-orisinalitas ini membawa implikasi pemberdayaan-individual dan perhatian terhadap jaringan-komunitas yang sudah-ada dan baru-terbentuk, yang kemudian meningkatkan pembelaan nasionalisme-kulit-hitam pada perlunya kecukupan-diri.



Sumber :
https://iep.utm.edu/music-sj/#H1a
Pemahaman Pribadi




Tuesday, November 2, 2021

Musik Dan Keadilan Sosial 2 : Tradisi-Tradisi Musik


Transformasi sosial yang dipengaruhi melalui musik ---sebutlah Perdamaian melalui Seni--- adalah sebuah pendekatan yang tengah di-teori-kan.

Salah satu dari sedikit para penyusun-teori dan para praktisi yang memburu pengembangan pemahaman-kita terhadap keadilan-sosial melalui seni-dan-musik adalah John Paul Lederach, yang karyanya pembangunan-perdamaian (peace-building) memusatkan perhatian kepada transformasi-konflik melalui kemampuan-gelombang-suara untuk mendorong penyembuhan-sosial.

Karyanya bersama komunitas-komunitas yang retak menekankan pemulihan-suara (the restoration of voice), sebuah konsep yang ia temukan, menggema jelas dan keras khususnya dengan orang-orang yang terus berjuang untuk memperbaiki kekerasan dalam komunitas-komunitas mereka (110, 89).

Musik dan puisi yang dapat membantu perbaikan ini sangat bervariasi dan kontekstual, untuk menjadi bermakna pada komunitas yang mencari keadilan-sosial, musik yang menyertai pembangunan-keadilan (justice-building) harus menjadi ---atau terhubung dengan--- sebuah bagian-organik dari kehidupan-keseharian komunitas.

Dalam kepentingan untuk menyediakan sebuah pengertian keberagaman-suara dari suatu latar-belakang musikal, penjelasan tentang musik dan keadilan-sosial diperkenalkan melalui sebuah bahasan tentang jenis-jenis dan tradisi-tradisi musik.



Sumber :
https://iep.utm.edu/music-sj/#H1
Pemahaman Pribadi




Monday, November 1, 2021

Musik Dan Keadilan Sosial 1 : Pengantar


Protes-protes menuntut keadilan-sosial sebagai tawaran pilihan-lain terhadap sebuah kondisi status-quo yang tidak-dapat-diterima terus meningkat dalam menanggapi persoalan perang, ketimpangan politik dan sosial, kesejahteraan dan hambatan-hambatan lain dalam ekonomi dan kesempatan-kesempatan untuk berkembang.

Meski keadilan-sosial biasa dipikirkan sebagai sebuah agenda-politik, banyak gerakan-keadilan telah menggunakan musik sebagai sebuah cara untuk mengundang dan menjaga partisipasi dengan basis-yang-luas dalam inisiatif mereka.

Beberapa integrasi antara musik dan keadilan-sosial telah menyatu-begitu-dalam dalam kerangka-kerangka identitas dan kebudayaan dari kelompok-kelompok tertentu, hal itu dipahami hari-ini terutama sebagai unsur-pembentuk kebudayaan.

Sebagai contoh, tradisi blues secara luas dikenal sebagai sebuah pembeda kontribusi yang khas Afrika-Amerika kepada musik, namun tidak selalu dikenal perannya dalam membantu membentuk kesadaran-politik dari komunitas masyarakat Afrika-Amerika yang muncul dari era Rekonstruksi di Amerika-Serikat bagian selatan pada abad 19 dan bermigrasi keluar Amerika-Serikat bagian selatan pada abad 21.

Hal yang sama juga benar mengenai interaksi antara jazz-bebas (free-jazz) tahun 1960-an dan gerakan nasionalis-kulit-hitam, peranan musik membantu memelihara, menumbuhkan dan membuat gerakan berkembang.

Moment-moment lain dalam musik dan keadilan-sosial sebagai sebuah integrasi, lebih sedikit muncul dalam narasi-narasi sosial dan sejarah kita dibanding konvergensi-konvergensi-aksidental yang tidak selalu kita cermati atau ingat.

Contoh-contoh tentang musik yang dikeluarkan dari politik daripada politik yang dikeluarkan dari musik, termasuk ketidak-pedulian budaya terhadap peranan-musik yang telah dimainkan dalam protes-protes sosial akhir-akhir ini yang terjadi dibawah bendera Occupy movement (gerakan sosial-politik progresif internasional yang menunjukkan perlawanan terhadap ketidaksetaraan-sosial-dan-ekonomi dan kurangnya 'demokrasi-yang-sebenarnya' di seluruh dunia) dan UK-Uncut (gerakan melawan pemotongan-layanan-publik dan penghindaran-pajak di Inggris) dan sampai peran-krusial bahwa musik telah dimainkan dalam gerakan anti-apartheid di Afrika-Selatan

Di sisi lain, paradigma terhadap hubungan-saling mempengaruhi antara ekspresi melalui musik dan komitment pada keadilan-sosial, merupakan budaya-protes-politik di Amerika dalam tahun 1960-an : secara khusus Gerakan Hak-Hak Sipil dan Gerakan Anti Perang Vietnam.

Dalam bukunya Rhythm and Resistance, p. 39 (Ritme dan Penolakan), Ray Pratt meneliti bahwa :

" Tidak ada musik yang-sendirian-saja mampu mengorganisasi kemampuan-seseorang untuk menanamkan perasaan-emosional dalam dunia, namun seseorang dapat menekankan kontribusi-kontribusi yang kuat dari musik bagi keadaan-keadaan emosional yang temporer. "

Hal itu dikarenakan cara musik memberi asupan ke dalam kehidupan-emosional-kita dan karena perasaan nyaman secara sosial yang kita peroleh dari berbagi-keadaan-emosional-yang-sama dengan orang-lain sehingga musik begitu sering menemani gerakan-gerakan yang membangun dan bergantung pada solidaritas.

Pastilah, ini adalah sebuah asosiasi yang tidak selalu terjadi (kontingen), namun tidak-adanya kepastian-logis tidak menghilangkan peranan-kuat musik bermain dalam usaha-usaha untuk membangun dunia yang lebih baik.



Sumber :
https://iep.utm.edu/music-sj/
Pemahaman Pribadi




Saturday, October 30, 2021

Filsafat Sejarah 10 : Kontemporer


Dicirikan oleh sikap-kritis terhadap Anglophone abad 20 M yang berupaya untuk mendasarkan secara epistemologis penjelasan-historis, objektivitas, dan sebab-akibat sebagai fungsi-fungsi-logika-universal, warisan Postmodern dalam filsafat-sejarah mulai dibahas oleh tiga teoritisi kontemporer khususnya : Hayden White (1928-), Frank Ankersmit (1945-), dan Keith Jenkins (1943-).

Masing-masing mempertahankan pendapat bahwa analisis dari soal-soal-epistemologis ini secara keliru mengelak dari pertanyaan-pertanyaan tentang interpretasi-dan-makna, dan masing-masing menilai pencarian terhadap demonstrasi-demonstrasi yang lengkap-dan-final merupakan suatu upaya untuk menghindari karakter-relativistik dari kebenaran-sejarah.

Hayden White meresmikan 'peralihan-linguistik' dalam penulisan-sejarah ini dengan meta-historis-nya : The Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe (1979). Dengan memusatkan perhatian pada struktur-dan-strategi pada penjelasan-sejarah, White mencapai pandangan penulisan-sejarah dan literatur secara mendasar sebagai upaya yang sama.

Para-sejarawan, seperti para-penulis-fiksi menulis sesuai dengan logika-empat-kemungkinan (four-fold logic) dalam rangkaian-peristiwa-sejarah-dengan-sebuah-alur, selaras dengan apakah mereka melihat materi-subjek sebagai roman, tragedi, komedi atau satir.

Tujuan ini tumbuh dari ideologi-politik mereka ---masing-masing anarkis, radikal, konsevatif atau liberal--- dan dikerjakan menggunakan suatu kiasan-retoris yang dominan ---masing-masing metafor, metonimi, sinekdok atau ironi---

Para-filsuf yang mewakili ---Nietzsche, Marx, Hegel, dan Croce--- dan para-sejarawan yang mewakili ---Michelet, Tocqueville, Ranke, dan Burckhardt--- dengan sendirinya terikat dengan metode-metode perangkaian peristiwa sejarah dengan suatu alur.

Sementara arsitekur White menerima kritik karena menjadi terlalu reduktif dalam struktur-nya dan suatu jaminan untuk relativisme, teoritisi-yang-lain telah mengangkat panjinya.

Diantara yang bersikap kritis, Frank Ankersmit mendukung garis-besar-umum dari narativisme White, meski menekankan aspek-sifat-konstruktif terhadap pengalaman masa-lalu kita

Bagi Ankersmit tidak ada 'narasi-ideal', karena pada akhirnya tidak-ada struktur-ontologis kepadanya satu-narasi yang 'tepat' diambil dan diletakan secara korespondensi

Bersama-sama Gianni Vattimo (1936-), Sande Cohen (1946-), dan Alan Munslow (1947-), Keith Jenkins membahas anti-realisme White dalam sebuah gaya dekonstruktivis yang jelas-dan-pasti

Jenkins mendesak mengakhiri penulisan-sejarah seperti yang biasa dipraktikkan.

Karena para-sejarah tidak pernah objektif-sepenuhnya, dan karena penilaian-historis tidak-dapat berpura-pura kepada standar-kebenaran-korespondensial, semua yang tersisa dari sejarah adalah struktur-kekuasaan yang telah beku dari suatu kelas-istimewa.

Dalam sebuah pernyataan yang merangkum banyak teori sejarah-kontemporer, Jenkins menyimpulkan berikut ini :

"Penulisan-sejarah sekarang muncul sebagai suatu referensial-diri, problematika ekspresi dari 'kepentingan-kepentingan', sebuah wacana interpretatif-bersifat-ideologis tanpa akses 'nyata' kepada masa-lalu seperti-itu. Tidak mampu untuk terlibat dalam suatu dialog dengan 'realitas'. Faktanya 'sejarah' sekarang muncul menjadi hanya tidak lebih dari 'ekspresi' dalam sebuah dunia-ekpresi-ekspresi-postmodern yang tentu saja adalah adanya seperti itu." (Jenkins 1995, 9)

Meski filsafat-sejarah abad 21 telah melebarkan jarak-pisah antara para-sejarawan-praktisi dan para-teoritisi-sejarah, dan meski ia telah kehilangan sejumlah popularitas yang dinikmatinya dari awal abad 19 hingga pertengahan abad 20, filsafat-sejarah tetap merupakan sebuah bidang-penelitian yang kuat selama masa-lalu sendiri terus berperan sebagai suatu keingin-tahuan filosofis.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H9
Pemahaman Pribadi




Tuesday, October 26, 2021

Filsafat Sejarah 9 : Anglophone Abad 20 M


Secara umum seperti filsafat-analitik, filsafat-analitik tentang sejarah sebagian dicirikan oleh warisan sifat Anglophone-nya dan sebagian oleh suatu kecenderungan-alami untuk memperlakukan persoalan-persoalan secara individual daripada menawarkan interpretasi-komprehensif terhadap realitas.

Perbedaan utama antara filsafat-analitik dan filsafat-kontinental mengenai sejarah, berkait dengan filsafat-analitik secara eklusif hampir memusatkan kepada soal-soal epistemologis terhadap penulisan-sejarah dan umumnya mengabaikan kepada pertanyaan-pertanyaan kesejarahan (historisitas)

Filsafat-Anglophone tentang sejarah juga ditandai dengan kesadaran diri menjaga-jarak dari sistem-sistem telelogikal dari para Hegelian

Terdapat dua alasan dasar untuk hal ini, satu alasan-politis dan satu alasan-epistemologis diangkat dalam ekspresi yang sangat jelas, pada karya Karl Popper (1902-1994) berjudul The Open Society and Its Enemies (1945) dan The Poverty of Historicism (1957)

Terkait alasan-politis, Popper menuduh bahwa kekuatan-ideologis yang menggerakkan rezim-totaliterian ratusan tahun sebelumnya adalah keyakinan mereka yang sama terhadap sebuah takdir-bangsa atau takdir-relijius yang keduanya dijamin dan dijustifikasi oleh sebuah proses-historis yang besar.

Apakah Bismarck, Komunisme, Fasisme atau Nazisme, semuanya percaya bahwa sejarah merupakan barisan-tak-terkalahkan yang bergerak menuju sebuah rezim-global yang menjamin jalan-hidup mereka dan menjustifikasi tindakan-tindakan atas-nama mereka.

Tradisi Anglophone telah terinspirasi untuk menolak bagian narasi-besar-teologikal sebagai sebuah ketidak-sukaan-politis terhadap cara berpikir ini.

Secara epistemologis, kriteria 'falsifiabilitas' dari pengetahuan-positif yang dikemukakan Popper juga menyasar sistem-sistem-teologikal hingga abad 19 M.

Sebagian besar menerima pendapat ontologi-alam dari Bertrand Russell (1872-1970), Popper berpendapat bahwa teleologis bermula dari asumi-asumsi yang tidak-dapat-disalahkan (non-falsibilitas) mengenai proses-proses-metafisis, yang mengabaikan fakta-fakta-empiris pada masa-lalu demi untuk meletakkan apa yang mereka pikir masa-lalu harus berjalan begitu-adanya.

Pusat perhatian filsafat-sejarah di dalam dunia Anglophone setelah Popper menjauh (meninggalkan) usaha-usaha untuk menyediakan narasi-narasi-besar guna membahas persoalan-persoalan meta-historis yang spesifik.

Satu persoalan, yang turut dibawa dari para-filsuf-sejarah-ilmiah abad 19 M, adalah logika dalam penjelasan-historis

Sama dengan pasangan positivistik-nya, filsafat-sejarah-analitik awal berpendirian penjelasan-penjelasan sejarah terjustifikasi (dibenarkan) sejauh penjelasan-itu mampu menjadikan peristiwa-peristiwa sejarah dapat-diprediksi menggunakan perangkat-deduksi dari peristiwa-peristiwa partikular-nya di bawah suatu hukum-umum. Ekspresi yang paling dikenal baik datang dari C.G. Hempel (1905-1997).

" Penjelasan-sejarah, juga bermaksud untuk menunjukan bahwa peristiwa yang dipertanyakan bukanlah suatu 'masalah-kebetulan', namun peristiwa yang diharapkan dari sudut pandang kondisi-sebelumnya atau kondisi-yang-sama. Harapan yang dimaksud bukanlah ramalan atau ketentuan-ilahi (takdir), namun merupakan antisipasi-rasional-ilmiah yang bersandar pada asumsi hukum-hukum umum. " (Hempel 1959, 348f).

Logika itu sendiri sederhana dan mudah :

" Penjelasan terhadap kejadian sebuah-peristiwa yang merupakan suatu jenis-peristiwa E yang spesifik, pada tempat dan waktu tertentu, untuk mempemperoleh ---seperti yang biasa dinyatakan--- petunjuk utama faktor-faktor-penyebab atau penentu terjadinya jenis-peristiwa E. " (Ibid, 345).

Dalam hal ini, logika pada penjelasan-sejarah tidak berbeda dengan logika pada penjelasan-ilmiah.

Dan meski hukum-hukum itu mungkin lebih sulit untuk ditemukan, begitu hukum-hukum perubahan-sejarah telah ditemukan dengan psikologi, anthropologi, ekonomi, atau sosiologi, kekuatan-prediksi dari penulisan-sejarah harus bersaing secara teoritis dengan ilmu-ilmu-pengetahuan-alam-ilmiah.

Kepercayaan Hempel mengalami serangan dari orang-orang seperti Popper yang berpikir/berpendapat bahwa sejarah tidak mampu menawarkan keteraturan-absolut dan tidak mampu terus-mempertahankan bahwa prediksi-prediksi tidak pernah dapat diganggu gugat namun berada pada tingkatan kemungkinan 'kecenderungan' terbaiknya.

Serangan juga datang dari R.G.Collingwood, yang menolak eksistensi hukum-hukum yang melingkupi-sejarah dan juga menolak dapat-diterapkan mekanisme-mekanisme penjelasan-ilmiah pada sejarah.

Baginya dan juga bagi Michael Oakeshott, sejarah adalah sebuah studi tentang keunikan dari masa-lalu dan bukan generalitas-nya, dan selalu demi pemahaman daripada membuktikan atau memprediksi.

Selaras dengan Aristoteles, Oakeshott meyakini, " ketika momen fakta-fakta-historis dinilai/dipandang sebagai salinan-salinan dari hukum-hukum-umum, sejarah menjadi hilang/bubar " (Oakeshott 1933, 154).

Yang dipelajari studi sejarah adalah hal partikular, khususnya seseorang yang partikular, dan sebagai semacam upaya untuk memprediksi-perilaku mereka secara nomothetik bukan hanya tidak-mungkin namun pertama-tama juga salah memahami alasan sesungguhnya bagi penelitian-sejarah.

Bertentangan dengan Aristoteles karakter dari sejarah-yang-tidak-ilmiah bagi Collingwood dan Oakeshott menjadikannya suatu studi yang bukan tidak-layak.

Bahkan mengikuti para filsuf-sejarah Post-Kantian abad 19 dan pada akhirnya Vico, mereka berpikir bahwa masa-lalu membuktikan dirinya lebih dapat diketahui secara tepat karena objek-objek yang diteliti dapat dipahami dari 'dalam' dibanding dijelaskan dari sebuah sudut-pandang di-luar-objek.

Collingwood berpikir, tugas yang layak dari sejarah bukanlah membahas/memperhatikan hanya pada peristiwa-peristiwa alami (naturalistik) yang umum namun kepada rasionalitas dari tindakan-tindakan spesifik

Suatu migrasi besar dapat dipelajari oleh ahli sosiologi, geografi atau vulkanologi dari 'luar' sebagai sebuah peristiwa-alami.

Sebaliknya, apa yang menandai seorang ahli-sejarah, adalah perhatiannya terhadap tindakan masing-masing secara individual yang bermigrasi dalam pengertian (terma) maksud dan keputusan mereka.

Meskipun, ini mungkin tidak tercatat dalam bukti-bukti apapun yang jelas, Collingwood selaras dengan Herder dalam berpikir bahwa ahli-sejarah harus berusaha untuk 'memperoleh apa yang di dalam kepala' para-pelaku yang sedang diselidiki dibawah pra-asumsi bahwa secara tipikal mereka mengambil pilihan yang masuk-akal yang sama ketika mereka berada dalam situasi yang sama.

Advokasi yang dilakukan Collingwood mengenai semacam proyeksi-empati ke dalam batin para-pelaku di masa-lalu terus dikritisi sebagai tempat-duduk-yang-nyaman bagi psikologisme.

Meski demikian, akan menjadi sulit untuk menolak, bahwa banyak ahli-sejarah yang berkerja mengadopsi intuitivisme Collingwood daripada deduksi-nomotetik Hempelian.

Pada akhir paruh kedua abad 20, sejumlah teori-penjelasan yang berjalan pada garis-tengah antara usulan nomotetik dan idealis telah dikemukakan

W.H. Walsh (1913-1986) kembali kepada jenis-penjelasan konsepsi 'koligasi' dari William Whewell (1794-1866) sebagai sebuah cara untuk membuat masa-lalu dapat diketahui.

Dalam konsepsi'koligasi', di sini usaha bukanlah untuk mendemonstrasikan atau untuk memprediksi namun untuk membawa/mengangkat secara bersamaan bermacam-peristiwa yang relevan disekitar suatu pusat-konsep-gabungan dengan maksud membuat jelas kesaling-terkaitan peristiwa-peristiwa itu.

"Apa yang kita inginkan dari para sejarawan adalah […] sebuah penjelasan yang membawa-keluar koneksi-koneksi materi-materi sejarah dan relevansi satu sama lainnya. Dan ketika para sejarawan berada dalam posisi untuk memberi penjelasan semacam itu, dapat dikatakan bahwa mereka berhasil membuat "masuk-akal tentang" atau "memahami" materi-meteri yang diselidiki mereka." (Walsh 1957, 299)

Melalui cara ini, meta-teori Walsh tidak-sejajar dengan para-filsuf-sejarah 'ilmiah' baik dengan ragam Comteian atau Hempelian juga tidak dengan para idealis-inggris, namun tetap menjaga/mempertahankan bahwa kekuatan-penjelasan dari penulisan-sejarah terletak pada sifat-narasi-nya.

Sama dengan nilai-pedagogis dari suatu narasi tidak-dapat-direduksi menjadi suatu yang dapat didemonstrasikan, sehingga nilai-dari-sejarah terletak pada kemampuannya untuk membuat masuk-akal tentang beragam-sifat kehidupan dan waktu antara satu dari yang lainnya

William Dray (1921-2009) juga berpendapat bahwa penjelasan-historis tidak memerlukan kondisi-kondisi-yang-dipenuhi agar mengapa-sesuatu-terjadi, namun hanya kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menggambarkan bagaimana apa-yang-telah-terjadi mungkin dapat terjadi.

Sebagai contoh, jika penjelasan-penjelasan seorang sejarawan pada pembunuhan seorang raja dalam pengertian (terma) kebijakan-kebijakannya yang tidak-populer dan peradilan yang tidak-jujur, maka ini menjelaskan 'bagaimana' pembunuhan mungkin dapat terjadi tanpa bersandar pada deduksi Hempelian dari hukum yang menyatakan bahwa semua-raja dengan kebijakan tidak-populer dan peradilan yang tidak-jujur pasti akan dibunuh.

Persoalan kedua yang dibahas oleh para filsuf-sejarah Anglophone abad ke 20 memperhatikan sifat dan kemungkinan dari objektivitas.

Sementara semua akan setuju dengan Ranke bahwa penulisan-sejarah harus berkerja keras untuk membuang/menghapus bias-bias dan prasangka yang begitu-terang, pertanyaan masih tetap saja tersisa, pertanyaan yang hingga tingkatan-tertentu harus diselesaikan/dijawab.

Carl Becker (1873-1945) mungkin pemikir Anglophone pertama untuk mengangkat pendapat Croce bahwa semua sejarah adalah 'bersifat-kontemporer' dalam pengertian pasti-ditulis dari perspektif kepentingan-kepentingan masa-kini.

Bersama barisan-pendapat ini Charles Beard (1874-1948) mempunyai serangkaian argumen melawan gagasan objektivitas Rankean.

Penulisan-sejarah tidak dapat mengamati/meneliti subjek-materi-nya karena secara-definisi apa yang berada di masa-lalu sudah tidak-ada di masa-kini. Bukti-bukti selalu terpenggal-penggal dan tidak pernah dapat dikontrol dengan cara yang sama bagaimana percobaan-ilmiah mampu mengontrol variabel-variabel. Para-sejarawan memaksakan struktur-struktur yang tidak dimiliki oleh peristiwa-peristiwa itu sendiri, dan penjelasan-penjelasan mereka bersifat-selektif melalui cara-cara yang mengkhianati kepentingan-kepentingan para sejarawan sendiri.

Namun demikian, Beard tidak sampai mendorong semacam narativisme-relativistik pada post-modern-kontinentalnya yang berada di sisi berlawanan.

Pastilah tampak benar untuk mengatakan bahwa para-sejarawan memilih ---sejauh sebagai sebuah peta dengan sendirinya bukanlah jalan--- dan bahwa pilihan mereka adalah suatu soal tentang apa yang mereka nilai/hormati secara personal sebagai diskusi yang memiliki nilai, apakah pada tingkatan topik-umum mereka atau dalam pengertian tentang penyebab-penyebab-mana yang ditimbang oleh mereka, keduanya relevan dalam sebuah penjelasan.

Namun selektivitas itu sendiri tidak berimplikasi prasangka, dan seorang pembaca yang berhati-hati lebih sering mampu daripada tidak untuk membedakan penjelasan-penjelasan dengan prasangka yang begitu-terang dengan suatu penjelasan yang pemilihannya seimbang dan fair.

Lebih lagi, fakta bahwa sikap-selektif mereka tidak berperan sebagai prinsip penyebab-utama ketajaman antara para-sejarawan dan para-saintis, karena para-saintis sama selektifnya di dalam topik lingkup-tinjauan mereka

Bahkan jika, sain dan penulisan-sejarah memilih penyelidikan mereka sebagai sebuah persoalan kepentingan-personal, keduanya beroperasi di bawah norma untuk tidak-memihak, hanya menggunakan bukti-bukti yang dapat-dipercaya, dan untuk menyajikan 'kebenaran-keseluruhan', bahkan seharusnya mempertanyakan hipotesa-hipotasa mereka.

Isaiah Berlin (1909-1997) menimbang persoalan tentang objektivitas-penulisan-sejarah dari perspektif objek-objek yang ditulis daripada perspektif sang-penulis secara eksklusif.

Sementara para saintis memiliki sedikit ikatan-emosional terhadap bahan-kimia atau atom yang sedang diteliti, para-sejarawan seringkali memiliki perasaan-kuat terhadap konsekuensi-konsekuensi moral dari subjek-subjek bahasan mereka.

Pemilihan diantara penanda-penanda sejarah seperti 'teroris', dan 'pejuang-kebebasan' atau 'penguasa' dan 'tiran' secara normatif bersifat konotatif dalam suatu cara bahwa deskripsi-deskripsi ilmiah dapat dengan mudah menghindari.

Namun untuk menulis tentang holocaust atau perbudakan melalui sebuah cara yang dengan sengaja melepas-keterikatan melewatkan intensitas-karakter-personal dari peristiwa-peristiwa ini dan karenanya gagal untuk mengkomunikasikan makna-asli-nya, bahkan jika melakukannya membuang peristiwa dari statusnya sebagai catatan-catatan objektif dengan suatu cara yang tidak diijinkan sejarah-ilmiah.

Para-sejarawan yang dapat-dibenarkan mempertahankan "bahwa tingkatan-minimal-moral atau evaluasi-psikologis yang pasti-terlibat dalam memandang manusia sebagai mahluk dengan maksud dan motif (dan bukan cuma sebagai faktor-faktor sebab-akibat dalam proses terjadinya peristiwa-peristiwa)" (Berlin 1954, 52f)

Namun demikian, Seberapa tingkatan-minimal persisnya dan bagaimana seorang sejarawan yang berkerja dapat mengendalikan wilayah-abu-abu moral tanpa jatuh-kembali kedalam warisan bias-bias bawaan, tetap sulit untuk dijelaskan.

Banyak ketidak-setujuan Beard mengenai kemungkinan objektivitas membuat sejumlah filsuf-sejarah bertanya, apakah masa-lalu adalah sesuatu yang-hanya-ada di dalam pikiran para-sejarawan, dengan kata lain, jika demikian masa-lalu adalah dikonstruksi daripada ditemukan.

Bagi seorang konstruktivis seperti Leon Goldstein (1927-2002), ini tidak berarti ontologikal-anti-realisme dimana didalamnya tidak-ada-yang-lain kecuali objek-objek yang dapat-dipersepsi dipandang nyata.

Bagi Goldstein, menjadi tidak-bisa-dimengerti bagi para sejarawan untuk meragukan bahwa dunia yang mereka pelajari pernah-ada.

Dan bagi keduanya bukti dengannya para-sejarawan berkerja berkait dengan suatu kondisi-masa-lalu saat itu yang asli yang berada diluar pikiran-pikiran mereka sendiri.

Kebermaknaan dari bukti-itu ---apa yang mebuat bukti menjadi bukti 'dari'--- bagi kostruktivitis adalah, hanya diresapi oleh pikiran sejarawan yang meninjaunya.

Sebuah koin-uang Romawi adalah sebuah bukti-penanggalan dari suatu era dan mempu memberi bukti 'tentang' kebijakan keuangan dan perdagangan era itu. Namun koin-itu juga merupakan bukti 'tentang' lingkungan-alam dari setiap peristiwa koin itu tekubur di dalam tanah disana dan seterusnya, memberi bukti ---jika seseorang juga tertarik--- mengenai efek-efek-korosi dari tingkat keasaman didekat tanah-daratan di atas sungai Tiber yang berada di tengah-tengah Itali.

Bahwa bukti adalah membuktikan 'tentang' apa, bergantung pada pikiran-sejarawan yang menggunakannya untuk mengkontruksi suatu penjelasan yang penuh-makna sesuai dengan kepentingan dan keterrarikannya.

Apakah si-peninjau koin benar-benar tidak-menyadari atau lupa tentang Roma atau lingkungan-alam, koin tidak akan berhenti untuk ada, namun tentu saja koin akan berhenti untuk membuktikan kedua topik itu.

Dalam pengertian itu setidaknya, bahkan para filsuf-sejarah Anglophone non-postmodern mengakui pentingnya aspek interpretatif-dan-konstruktif pada penulisan-sejarah.

Peter Novick (1934-) and Richard Evans (1947-) akhir-akhir ini telah mengangkat batas-batas konstruktivisme atas nama para-sejarawan profesional.

Bagaimana fungsi-penyebab dalam penjelasan-penjelasan historis merupakan pertanyaan-utama ketiga bagi para filsuf-sejarah Anglophone abad 20.

Para-sejarawan, seperti kebanyakan orang, cenderung untuk memperlakukan istilah sebab-akibat seperti 'dipengaruhi', 'dibuat', 'dibawa dengan', 'cenderung untuk', 'dihasilkan dalam', diantara yang lain-lain, sebagai diagnosa-diagnosa yang tidak-bermasalah untuk menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa muncul atau terjadi.

Bagi para-filsuf-umum dan khususnya bagi para-fulsuf-sejarah, sebab-akibat menghadirkan sejumlah persoalan dengan banyak-wajah.

Menurut teori-penjelasan-positivistik sebuah penjelasan sebab-akibat yang memadai menganalisa jumlah-semua kondisi-kondisi-yang-harus-dipenuhi agar suatu peristiwa terjadi.

Batasan ideal ini diketahui sebagai telah-ditetapkan terlalu tinggi untuk para-sejarawan-praktisi, karena disana mungkin ada penyebab-penyebab-yang-diperlukan yang hampir tak-terbatas agar peristiwa-sejarah apapun dapat terjadi.

Bahwa pembunuhan terhadap Archduke Ferdinand adalah sebuah penyebab perang-dunia-pertama adalah jelas. Namun diperlukan juga sejumlah penyebab-lain yang tidak-bisa-dideskripsikan, penyebab ekonomi, sosial, politis, geografis dan bahkan faktor-faktor-personal yang mengarah kepada semacam sebuah fenomena dengan jangkauan-luas dan kompleks agar terjadi persis seperti yang-telah-terjadi.

Apakah Gavrilo Princip tidak diasosiasikan dengan gerakan Young Bosnian, apakah gaya-gravitasi telah gagal-berkerja pada hari yang menyebabkan peluru-peluru melayang ke atas tanpa melukai, apakah aliansi Austro-Hungarian tidak menguasai provinsi-provinsi Slavia selatan, apakah Franz Ferdinand memutuskan untuk tetap tinggal di rumah pada tanggal 28 juni 1914 ---adakah dari kondisi-kondisi diatas aktual, perjalanan sejarah telah dicapai.

Oleh karena itu, pertentangan kondisi -kondisi yang berlawanan adalah diperlukan agar berhasil memproduksi hasil-keluaran-yang-petsis dengan yang-diperoleh.

Karena akan menjadi tidak-mungkin jika tidak konyol, bagi seorang sejarawan untuk berusaha mencatat semua-ini, ia harus mengakui bahwa penjelasannya gagal untuk memuaskan kriteria-positivistik dan oleh karenanya tetaplah hanya suatu penjelasan-yang-parsial ---dalam frase Hempel disebut sebuah 'sketsa-penjelasan'

R.G. Collingwood kembali berpengaruh dalam mengalihkan pandangan-positivis dengan membedakan antara penyebab dan motif. Penyebab-penyebab fisik seperti senjata yang berfungsi baik atau hadirnya gaya-gravitasi adalah pasti-diperlukan bagi pembunuhan-itu dalam suatu pengertian fisik yang ketat.

Namun tidak-ada sejarawan yang risau untuk menyebut penyebab-penyebab itu. Mereka hanya menyebut motif-motif ---alasan-alasan yang dimiliki para-pelaku untuk melaksanakan aksi-aksi mereka---, secara tipikal mengacu pada : Apa motif yang dimiliki Princip untuk menembak dan apa motif-motif yang dimiliki para pemimpin Jerman, Prancis dan Rusia memobilisasi tentara mereka

Bagi Collingwood, suatu penjelasan yang memadai, melibatkan penjelasan alasan-alasan mengapa aktor-aktor-kunci turut berperan dalam sebuah peristiwa persis seperti yang telah dilakukan.

Meski teori Collingwood secara intuitif lebih bersifat memberi-saran dan lebih cocok dengan karakter kebanyakan penjelasan-historis, sejumlah filsuf telah mencatat kekurangannya (ketidak-sempurnaannya)

Yang pertama adalah Collingwood menganggap sebuah kebebasan-memilih yang bersandar pada cara-cara di luar pemahaman-kognitif pada pelaku

Alasan-alasan yang sama yang diduga berpengaruh efektif secara kausalitas seringkali cukup berupa justifikasi-justifikasi-retrospektif yang dipasok oleh para-pelaku, yang dalam realitas bertindak tanpa kesadaran pemikiran dan pertimbangan yang dalam.

Kedua, bahkan jika kebebasan-memilih telah diasumsikan, transparansi terhadap motif yang dimiliki oleh pelaku tidak-ada.

Collingwood seringkali tertarik kepada suatu motif-partikular sebagai apa yang akan dipilih untuk dilakukan oleh suatu ada-yang-rasional dalam situasi tertentu.

Namun, standar-standar mengenai kemasuk-akalan itu lebih sering mengkhianati proyeksi sejarawan itu sendiri daripada sesuatu yang dapat didemonstrasikan secara psikologis.

Ketiga, sebagai sejarawan-sendiri seringkali mencatat, banyak tindakan bukanlah hasil dari motif-motif para-pelakunya namun dari sejumlah-motif dengan hasil-keluaran tidak dapat diprediksi.

Motif Princip Gravilo untuk membunuh sama sekali bukanlah untuk memulai sebuah konflik dunia yang luas, lebih lagi Robert E. Lee yang menangkap John Brown di Harper Ferry jelas bukan dimaksudkan untuk memicu perang saudara Amerika.

Kedua tindakan itu, meski demikian merupakan penyebab-krusial terhadap konsekuensi-konsekuensi yang tidak-mampu dilihat oleh aktor-utama apalagi menginginkannya.

Mengikuti konsep-sebab-akibat dalam teori-hukum yang dikenalkan oleh H.L.A. Hart (1907-1992) and Tony Honoré (1921-), beberapa filsuf menimbang penentuan-asal penyebab-yang-cukup dalam sejarah disamakan dengan sebuah deskripsi mengenai intensi dan abnormalitas.

Sama seperti di dalam kasus-kadus-hukum, dimana kondisi-kondisi dalam sejarah meenjadikan-normal yang abnormal atau keputusan-yang-tidak-tipikal atau peristiwa diberikan beban tanggung-jawab terhadap segala-apa-yang-dihasilkannya.

Dalam contoh kita, tentang penyebab perang-dunia-pertama, sejarah panjang perdebatan/pertentangan politik yang terus-menerus antara kekuatan-kekuatan-besar tentu saja merupakan bagian penting dari cerita, namun peristiwa pembunuhan terhadap Archduke diberi-tanggung-jawab sebagai penyebab karena peristiwa itu berdiri sangat-tidak-tipikal berada di luar konteksnya.

Perubahan dalam berpikir tentang penyebab-penyebab-historis sebagai entitas-metafisis yang menjadi-penyebab perubahan-dirinya menjadi sebuah paket dasar-dasar-epistemologis yang menjelaskan mengapa perubahan yang terjadi telah mengarahkan sejumlah filsuf-masa-kini untuk mengadopsi pemahaman kounterfaktual dari David Lewis (1941-2001)

" Kita berpikir tentang sebuah-penyebab sebagai sesuatu yang membuat sebuah perbedaan, dan perbedaan yang dibuatnya haruslah berbeda dari apa yang akan terjadi tanpanya. Seandainya penyebab-itu tidak-ada ---setidaknya beberapa diantaranya, dan biasanya semuanya--- akan tidak-ada juga. " (Lewis 1986, 161)

Kounterfaktual telah lama digunakan oleh para-sejarawan dengan cara-pengertian-umum bahwa menentukan-asal penyebab-yang-memadai kepada objek atau peristiwa yang memiliki konsekuensi tidak-dapat-terjadi tanpa adanya penyebab itu, dalam bentuk ' jika penyebab itu selain A, B tidak-akan-terjadi' atau 'tidak-ada B tanpa adanya A'

Untuk menyesuaikan contoh kita sebelumnya, seseorang mungkin dapat-dibenarkan berpikir pembunuhan terhadap Archduke Ferdinand adalah penyebab-yang-cukup terjadinya perang-dunia-pertama jika-dan-hanya-jika seseorang berpikir perang-dunia-pertama tidak-akan-terjadi tanpa-adanya peristiwa itu.

Namun, meski kounterfaktual cukup mudah diuji secara ilmiah dengan menjalankan banyak-percobaan yang mengontrol terhadap variabel-variabel yang ditanyakan, sifat ketidak-berulangan peristiwa-peristiwa sejarah menjadikan pernyataan-pernyataan kounterfaktual-tradisional tidak-lebih dari spekulasi-spekulasi yang menarik.

Untuk bertanya bagaimana Roma akan berkembang seandainya Julius-Caesar tidak-pernah menyeberangi sungai Rubicon mungkin suatu percobaan pemikiran yang mengesankan, namun tidak-ada yang dapat-diverfikasi dari kejauhan karena sebuah kondisional bertentangan-dengan-fakta secara definisi tidak-dapat diuji hanya dengan satu terjadinya fakta.

Lewis merevisi pemahaman kounterfaktual-tradisional ini untuk memasukan makna-makna mengenai dunia-dunia yang mungkin paling-mirip, dimana di dalam dua-dunia dianggap identik-seluruhnya kecuali satu-perubahan yang menjadi sebab peristiwa yang ditanyakan terjadi.

Di bawah gambaran sebelumnya tentang kondisi-kondisi yang diperlukan untuk terjadi perang-dunia-pertama, peristiwa pembunuhan Franz Ferdinand ditimbang sebagai kondisi-yang-diperlukan.

Sebagai ganti, versi yang telah direvisi Lewis menyajikan dua-dunia-yang-paling-mirip, dunia 'A' dimana pembunuhan terjadi dan dunia 'B' yang identik pada semua-hal kecuali bahwa pembunuhan tidak terjadi.

Di bawah model ini, adalah yang paling-baik untuk dapat diperdebatkan apakah perang tidak-akan-terjadi di dunia 'B' dalam atmosfir politik yang sangat-tegang di Eropa pada saat itu.

Dan dengan begitu kita dipanggil untuk bertanya apakah pemberian-tanda sebuah peran-penyebab terhadap pembunuhan itu dibenarkan.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H8
Pemahaman Pribadi



Sunday, May 16, 2021

Filsafat Sejarah 8 : Kontinental Abad 20 M


Betapapun beragamnya filsafat kontinental, bukanlah suatu generalisasi yang tidak-beralasan untuk mengatakan bahwa semua-pemikir dan aliran-pemikiran melalui suatu-cara atau cara-lain telah memusatkan perhatian kepada sejarah. Dan mereka nyaris semuanya juga memusatkan perhatian pada sejarah dalam terma dua-konsep yang berbeda yaitu kesejarahan dan narasitas

Adalah karya Nietzsche berjudul On the Uses and Disadvantages of History for Life (1874) yang pertama-kali mengingatkan kepada pertanyaan, tidak-hanya bagaimana kita dapat pemperoleh pengetahuan tentang masa-lalu, namun juga pertanyaan apakah dan hingga-taraf seberapa upaya-upaya kita untuk mengetahui masa-lalu, merupakan suatu perkembangan aktivitas kehidupan atau melemahnya aktivitas kehidupan itu sendiri.

Sebagai manusia, kita adalah unik dalam dunia-binatang sejauh kita terus-menerus terbebani dengan masa-lalu dan juga masa-depan, pada satu-sisi kita tidak-mampu untuk melupakan peristiwa-peristiwa menyakitkan yang sebaliknya justru lebih-baik untuk menguburnya (dilupakan) dan di sisi-lain kita tidak-mampu mengabaikan (menghindari) apa yang harus terjadi pada kita.

Sejarah bukanlah sekedar sesuatu yang kita pelajari secara objektif, namun sebuah pengalaman yang melaluinya, kita menjalani hidup dan dengan-nya kita seolah tanpa-sadar mengontrol (mengatur sesuai kehendak) beban-kita-sendiri karena berbagai alasan-psikologis.

Karya Martin Heidegger (1889-1976) berjudul Being and Time (1927) berupaya untuk memberikan suatu analisis-komprehensif terhadap pengalaman ini.

Proyek-menyeluruh Heidegger adalah untuk menjawab pertanyaan : 'Apa itu Ada ?‘ (What is Being ?). Namun ketika mengerjakan proyek itu, ia menemukan (mengetahui) bahwa hakikat tentang Ada, yaitu keterbukaan-kita sendiri terhadap pertanyaan Ada ---secara gradual--- telah dan sedang ditutupi dalam sejarah-filsafat.

Dari masa Pra-Sokrates, ketika pertanyaan terhadap makna-ada adalah yang paling-terbuka, hingga masa Nihilistik akademis pada abad 20 M filosofi-sejarah menjadi suatu sejarah mengenai makna-Ada.

Akhir dari filsafat, ketika di dalam filsafat, spesialisasi ilmu-pengetahuan-ilmiah (science) telah menyibukkan diri sepenuhnya dengan ada-ada-partikular namun justru mengabaikan Ada itu sendiri secara keseluruhan, kondisi yang membawa suatu yang baru dan instrinsik yaitu keterlibatan sejarah .

Sesuai dengan itu, penulisan-sejarah tentang filsafat oleh Heidegger merupakan sebuah karya yang bergerak mundur (melihat kebelakang) dari masa-modern-yang-mati ini di dalam harapan-harapan untuk membuka-kembali pertanyaan terhadap Ada itu sendiri.

Meski demikian, penulisan-sejarah oleh Heidegger lebih dari sekedar suatu-pembacaan-kembali (resitasi) secara akademis terhadap apa yang telah dikatakan/disampaikan/ditulis oleh berbagai filsuf-filsuf lain.

Manusia, dengan istilah Heidegger yang terkenal 'Dasein' dikarakterisasikan diatas segalanya dengan keberadaan mereka 'ada di sana' di dalam dunia, 'keterlemparan' mereka di dalam eksistensi, yang tidak-dapat dielakkan mengikuti pendapat Nietzsche tentang relasi-mereka (Dasein) dengan Ada itu-sendiri dalam terma masa-lalu dan sifat eksistensial mereka berbaris menuju horison masa-depan yang sama yaitu 'kematian'.

Diri sebagai Dasein terus-menerus terlibat dalam proyek keluar dari masa-lalunya dan bergerak-menuju masa-depannya sebagai ruang-kemungkinan didalamnya ia sendiri dapat bertindak.

Sebagai sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seorang manusia adalah faktisitas-historis-nya (kualitas atau kondisi yang menjadi-sebuah-fakta-sejarah).

Dimensi eksistensial pada konsepsi-kesejarahan (historisitas) Heidegger memiliki pengaruh yang dalam pada tokoh seperti sosok Martin Buber (1878-1965), Karl Jaspers (1883-1969), Hannah Arendt (1906-1975), Emmanuel Levinas (1906-1995), Jan Patočka (1907-1977), dan Paul Ricouer (1913-2005). Secara khusus Jean Paul Sartre (1905-1980) memusatkan perhatian pada aspek-eksistensial dari masa-lalu, yang dikonsepsikan dalam terma suatu campuran antara kondisi-kondisi materialistik Marxis bagi tindakan manusia dan suatu semacam pengungkapan psiko-analitis dari diri secara fenomenologis.

Bagi Sartre, seorang manusia adalah sebuah praxis-bersifat-historis, suatu proyek yang terus-berlanjut, yang sedang diproduksi oleh masa-lalunya dan memproduksi masa-depannya melalui suatu cara yang akan menentukan kemungkinan-kemungkinan masa-depan seseorang dan batas-batas-nya.

Konsepsi 'auntensitas' Sartre yang dikenal-baik adalah bersifat-historis-secara-intrinsik sejauh konsep itu melibatkan pengakuan terhadap kebebasan-personal-kita dalam konteks kondisi-kondisi material sejarah yang memaksa kepada kita.

Meski demikian, dalam terma-terma yang kurang-eksistensial, aliran-pemikiran Frankfurt juga telah mendirikan pandangan mereka mengenai subjek dan dunia dalam suatu kombinasi penulisan-sejarah dan analisis-kesadaran materialistik-Marxis.

Pada akhir dekade abad ke 20 M, filsafat kontinental mengenai sejarah telah berubah perhatian-nya kepada pertanyaan-pertanyaan epistemologis tentang narasi-sejarah

Kembali refleksi-refleksi Nietzsche pada sejarah mempunyai pengaruh penting, khususnya gagasan-nya bahwa kebenaran bukanlah korespondensi-langsung atau korespondensi-objektif antara dunia dan proposisi, namun suatu hasil-kontingen proses mensejarah dari pergulatan terus menerus antara kepentingan-kepentingan dari para-penafsir

Dengan demikian, filsafat harus memperhatikan dirinya untuk terlibat dengan suatu penelitian-sejarah tentang bagaimana kebenaran-kebenaran ini menerapkan fungsi didalam dan melawan latar-belakang faktisitas-sejarah mereka.

Michel Foucault (1926-1984) memberi karakterisasi proyek-kerjanya sebagai penelitian-sejarah terhadap produksi makna-makna kebenaran.

Karya-karya awalnya dicirikan oleh apa yang disebut olehnya 'arkeologi'.

History of Madness (1961) memulai serangkaian karya yang menolak suatu makna-tunggal-yang-tetap bagi fenomena, namun dalam jangka-panjang untuk menunjukan bagaimana perubahan-bentuk-makna (transmogrifies) melewati waktu demi waktu melalui suatu serangkaian praktik-praktik kebudayaan.

Dalam karya In The Order of Things (1966), 'arkeologi' dicirikan sebagai suatu deskripsi tentang transisi-transisi antara wacana-kebudayaan melalui sebuah cara yang menekankan makna struktural-dan-kontekstual mereka seraya mengurangi apapun pemahaman-substantif pencipta terhadap wacana-wacana itu.

Karya terakhir Foucault, meskipun tidak pernah menunjukkan penolakan yang kuat terhadap metode arkeologi-nya, dikarakterisasikan sebagai sebuah 'geneologi'.

Sekali lagi upaya, yang tidak sepenuh-nya Nietzschean adalah untuk memahami masa-lalu dalam terma-terma masa-kini, untuk menunjukan bahwa institusi-institusi yang kita temukan hari-ini bukanlah hasil keyakinan-teleologikal dan bukan pula sebuah representasi-kongkrit dari pengambilan-keputusan yang rasional, namun berasal dari suatu permainan kekuatan-wacana yang selalu terbawa melalui masa-lalu.

Ini tidak berarti bahwa sejarah harus mempelajari asal-muasal praktik-praktik itu, sebaliknya menolak pemahaman terhadap asal-muasal sebagai sebuah abstraksi yang tidak-legitim dari apa yang merupakan suatu interaksi terus-menerus antara wacana-wacana.

Sebagai gantinya, sejarah harus memperhatikan dirinya dengan momen-momen ketika kontingensi masa-lalu muncul atau tenggelam terhadap konflik wacana-wacana-nya, bersama dengan masa-lalu mengungkap serangkaian disparitas dari pada langkah-langkah progresif.

Konsepsi mengenai sejarah sebagai suatu permainan pencarian-kekuasaan penerapan wacana direfleksikan kembali diatas praktik-praktik para sejarawan.

Barisan para filsuf postmodernisme seperti Roland Barthes (1915-1980), Paul de Man (1919-1983), Jean-François Lyotard (1924-1988), Gilles Deleuze (1925-1995), Philippe Lacoue-Labarthe (1940-2007), dan Jacques Derrida (1930-2004) sampai pada pandangan bukan hanya peristiwa-sejarah tetapi juga penulisan-sejarah pasti diwarnai oleh subjektivitas yang berdasar-kekuasaan.

Permainan kekuasaan ini mengkristal di dalam struktur-struktur meta-narasi yang dicangkokan di atas dunia oleh para filsuf-sejarah.

Bahkan, karya Lyotard The Postmodern Condition (1979) memberi ciri seluruh proyek-kerja postmodern sebagai “incredulity toward meta-narratives” (Lyotard 1984, xxiv).

Dengan menimbang filsafat-sejarah, ini tidak-dapat-dihindari merupakan penolakan kepada keduanya baik wacana-besar Hegelian ‘master-wacana’ mengenai kemajuan (progress) dan juga kategori-kategori pencerahan mengenai generalisasi yang-dari-sana pelajaran-moral diduga dapat diturunkan (berasal). Lebih dari suatu logika-dialektis yang akan mencari kesamaan (kesatuan) diantara peristiwa-peristiwa masa-lalu, kondisi postmodern mendorong kita untuk melihat ketidak-berhubungan, ketidak-samaan dan keragaman peristiwa dan masyarakat.

Penolakan Lyotard terhadap pandangan tradisional kesamaan/kesatuan menuju kepada suatu post-modernisme seperti Jean-Luc Nancy (1940-) untuk memusatkan kembali sejarah kepada komunitas-komunitas skala-yang-lebih-kecil dan secara imanen menutup-diri seperti komunitas persaudaraan (brother-hood) atau keluargaan daripada kepada masyarakat-yang-besar.

Untuk itu diperlukan, suatu cara-baru terhadap penulisan-sejarah yang merangkul suatu pelipat-gandaan perspektif-perspektif dan standar-standar penilaian dan dengan perluasan, sebuah keinginan untuk merangkul pluralitas-moral dan pelajaran-politik yang dapat ditarik tanpa-adanya keyakinan kepada suatu kebenaran narasi-tunggal.

Teori postmodern telah berpengaruh misal ---sebagai salah satu contoh--- pada post-kolonialisme dalam karya Edward Said (1935-2003) berjudul Orientalism (1978), yang menjadi penting pada upayanya dalam membuka suatu ruangan-non-wacana bagi persaingan narasi-narasi lain yang tidak dominan (disebut 'sub-altern').

Sudut pandang narasi-narasi yang dilakukan dalam ingatan-kebudayaan dan sejarah-lisan memperoleh peningkatan popularitas pada akhir-akhir ini.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H7
Pemahaman Pribadi



Thursday, May 13, 2021

Dialektika Hegelian




Inti dalam konsep dialektika-hegelian adalah gagasan bahwa setiap-yang-ada (every-being) atau segala-suatu-yang-ada (everything that exists) bersifat kontradiktif pada dirinya-sendiri (mengandung pertentangan/kontradiksi dalam dirinya).

Dengan kata lain, pada segala-suatu-yang-ada terkandung negasi-dirinya (suatu-yang-bukan-dirinya) dan merupakan benih pemusnahan dan perubahan atau kehancuran dan transformasi dirinya yang tidak-dapat dielakkan.

Sehingga bagi Hegel, dialektika adalah struktur-formal dari realitas, oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa dialektika merupakan esensi dari segala-suatu-yang-ada, baik material ataupun immaterial.

Secara khusus gagasan-esensi merupakan hal penting untuk memahami dialektika-hegelian, ini karena esensi menunjukkan kesatuan/identitas yang tetap di dalam seluruh proses-perubahan yang aktual.

Bagi Hegel ini berarti, suatu-ada (being) pada akhir-proses dialektis adalah sama dengan suatu-ada (being) di awal-proses itu. Sehingga suatu-ada (being) pada akhir-proses hanyalah aktualisasi dari suatu-ada-yang-sama (being-yang-sama), yang berada di awal-proses dialektis itu namun ada di sana berupa ide/gagasan.

Sebagai contoh, perhatikan bagaimana seorang arsitek melakukan tekstualisasi ide/gagasan sebuah ‘rumah’ (menuangkan ide/gagasan sebuah ‘rumah’ menjadi bentuk gambar pada secarik kertas).

Dapat kita lihat, bahwa sebelum ‘rumah’ menjadi sebuah rumah-yang-aktual (bangunan rumah), ‘rumah’ itu sudah-ada di dalam benak arsitek sebagai sebuah ide/gagasan yaitu rencana sebuah 'rumah', maka suatu-ada (being) yang berupa ide/gagasan sebuah ‘rumah’ adalah sudah-ada sebelum rumah-itu diaktualisasikan, oleh karenanya sebuah rumah-yang-aktual (bangunan rumah) yaitu suatu-ada (being) pada akhir-proses dialektis adalah sama dengan suatu-ada (being) yang berupa ide/gagasan ‘rumah’ yang berada di awal-proses dialektis.

Meski demikian perlu ditekankan bahwa konsep Hegel tentang kesatuan/identitas bukanlah dalam pengertian suatu dasar-yang-permanen (sesuatu yang tetap), yang menetapkan suatu-ada (being) melainkan suatu proses yang didalamnya berhasil mengatasi/menyelesaikan segala-pertentangan (kontradiksi) yang terkandung di dalam dirinya (inheren) dan mengungkapkan diri menjadi sebuah hasil.

Dengan alasan ini gagasan esensi dalam dialektika-hegelian tidak seharusnya dipandang dari sudut esensialisme, bagi Hegel --tentu saja-- tidak-ada suatu esensi semacam itu yang menentukan suatu-ada (being) menjadi seperti apa-adanya.

Sebagai contoh, karena bagi Hegel segala-yang-ada adalah dalam proses-perubahan yang terus-menerus, oleh sebab itu kita tidak-dapat membahas mengenai esensi seorang manusia. Bagi Hegel tidak-ada suatu esensi semacam itu sebagai hakekat manusia.

Konsep kesatuan/identitas oleh karenanya tidak lain hanyalah suatu proses-negasi-diri pada setiap-yang-ada atau negativitas.

Sehingga --sekali lagi-- konsep esensi Hegel secara khusus mengacu kepada proses-perubahan yang terus-menerus, proses-penegasian-diri yang konstan dan bukan sesuatu yang membuat suatu-benda menjadi benda sesuai hakekatnya.

Pengertian negativitas yang terkandung pada segala-yang-ada tidak berarti selalu hanya melibatkan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) saja. Negativitas yang merupakan karakter esensial pada setiap-yang-ada, mensiratkan pengertian suatu-ada (being) selalu di dalam proses-kemenjadian (becoming), yang dapat dikatakan adalah proses-perkembangan semua-relasi-pertentangan (kontradiksi) dengan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) dan merupakan sebuah proses suatu-ada (being) mengaktualisasi potensinya dengan mengubah diri menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu dengan menegasikan dirinya-sendiri.

Menurut Hegel, dalam proses-penegasian diri yang terjadi (aktif), suatu-ada (being) musnah namun pada saat yang sama, mengembangkan hakekat potensinya dengan bergerak ke tingkatan yang lebih tinggi, gerak ini terkenal disebut oleh Hegel sebagai ‘aufhebung’ atau ‘sublasi’ yaitu kemusnahan ada-yang-lama sekaligus kelahiran ada-yang-baru, dimana ada-yang-baru bagaimanapun merupakan aktualisasi dari potensialitas yang terkandung di dalam ada-yang-lama (inheren).

Seperti yang ditulis oleh Marcuse suatu bentuk-eksistensi tertentu tidak-dapat mengungkapkan kandungannya/potensialitasnya tanpa pemusnahan diri. Ada-yang-baru harus merupakan penegasian secara aktual dari ada-yang-lama dan tidak hanya sekedar koreksi atau revisi. Adalah pasti bahwa ada-yang-baru bagaimanapun haruslah sudah-ada sebagai bagian dari ada-yang-lama (terkandung di dalamnya) dan berada di sana hanya sebagai sebuah potensialitas dan realisasi materialnya dikeluarkan oleh bentuk aktual adanya (being) pada saat itu.

Proses-kemenjadian (becoming) menjelaskan apa yang disebut oleh Hegel sebagai proses-perubahan (transisi) dari hanya sekedar potensialitas berubah menjadi aktualitas.

Seperti ditulis oleh Marcuse :
“ Ketika sesuatu berubah menjadi suatu-yang-bukan-dirinya --Hegel mengatakan-- ketika sesuatu melawan dirinya-sendiri, sesuatu itu menyatakan esensinya. “

Bagi Marcuse ini adalah momen realisasi diri suatu-ada (being) menjadi aktual, memang ini merupakan momen suatu-ada (being) dan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) menyatu, oleh karena itu juga dikatakan ketika pertentangan (kontradiksi antara being dan non-being) berhasil diatasi/diselesaikan dan menghasilkan suatu-ada-tertentu dengan bentuk-lain yang memiliki tingkatan lebih tinggi.

Adalah penting untuk diketahui pada titik ini bahwa dalam tulisannya, Hegel tidak pernah menggunakan istilah triadik-momen tentang suatu-ada (being) yang disebut being, non-being, dan becoming atau tesis, antitesis dan sintesis. Tentu saja pengungkapan suatu-ada (being) melibatkan tiga-momen ini tetapi semua-terjadi-sekaligus di dalam sebuah-ada-yang-sama (being-yang-sama), sehingga suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) tidaklah datang/berasal dari luar, menurut Hegel negativitas adalah terkandung di dalam suatu-ada (being) itu sendiri.

Gagasan ‘aufhebung’ atau ‘sublasi’ yaitu realisasi suatu-ada (being) menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) juga bersifat internal sehingga Hegel berpendapat bahwa proses-penghancuran diri suatu-ada (being) yang tidak-dapat dielakkan, dan merupakan akhir-proses transformasi atau proses-kemenjadian (becoming), adalah terkandung di dalam suatu-ada (being) itu sendiri (internal).

Kita ambil contoh proses-transformasi biji atau suatu-ada (being) menjadi bibit-siap-tanam atau suatu-yang-bukan-dirinya (non-being), jika biji belum siap untuk menghancurkan dan mentransformasi diri menjadi bibit-siap-tanam, maka biji akan tetap berupa biji. Sinar matahari, tanah, air dan faktor-faktor lain yang diperlukan untuk transformasi dari biji menjadi bibit-siap-tanam menjadi tidak-berguna, apabila --sekali lagi-- biji tidak siap untuk menghancurkan diri dalam proses transformasi dirinya.

Dengan demikian suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) terkandung di dalam biji itu sendiri, memang adalah biji yang melawan dirinya-sendiri. Sinar matahari, tanah dan air tidak menempati posisi diri sebagai suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) semacam itu, mereka hanyalah faktor yang dapat membantu biji dalam proses-melawan dirinya dan pada akhirnya merubah biji menjadi bibit-siap-tanam.

Sehingga --sekali lagi-- suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu bibit-siap-tanam pada akhir-proses transformasi biji (becoming) semuanya terkandung dan terjadi sekaligus di dalam sebuah-ada-yang-sama (being-yang-sama) yaitu biji.

Dalam gagasan terkenal penghancuran diri masyarakat-kapitalis (being), lawan-masyarakat-kapitalis yaitu suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) terkandung di dalam masyarakat-kapitalis itu sendiri (internal) --sebutlah proletarian yang merupakan kelas-masyarakat yang hidup di dalam masyarakat-kapitalis, yang mempunyai ide/gagasan/rencana mewujudkan ‘masyarakat-komunis'. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa suatu-yang-bukan-dirinya yaitu ‘masyarakat-komunis’ sudah-ada di dalam benak proletarian tetapi berupa ide/gagasan. Karena secara aktual proletarian masih hidup di dalam masyarakat-kapitalis maka 'masyarakat-komunis' terkandung di dalam masyarakat-kapitalis sebagai pontensialitas.

Proletarian --yang memberontak melawan masyarakat-kapitalis-- tidak dengan sendirinya menempati posisi sebagai lawan-masyarakat-kapitalis (non-being) --karena secara aktual ‘masyarakat-komunis’ belum terwujud nyata.

Proletarian hanyalah agen transformasi-sosial yang berperan menangkap situasi yaitu mengambil keuntungan situasi ketika kondisi pertentangan-pertentangan (kontradiksi) di dalam struktur masyarakat-kapitalis telah siap untuk menghancurkan dirinya-sendiri --pada akhir-proses transformasi terwujudlah masyarakat-komunis-yang-nyata, yang merupakan realisasi atau aktualisasi gagasan/ide 'masyarakat-komunis’. Secara aktual masyarakat-kapitalis sendiri musnah menegasikan diri menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu masyarakat-komunis-yang-nyata, yang merupakan lawan dari masyarakat-kapitalis itu sendiri. Proletarian secara aktual juga musnah tercakup ke dalam masyarakat-komunis-yang-nyata menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) dengan tingkatan yang lebih tinggi sekaligus meniadakan dirinya secara aktual sebagai proletarian.

Pastilah satu-juta semut tidak mungkin menjatuhkan ular yang kuat dan sehat, namun hanya ketika ular lemah dan sekarat yang merupakan realisasi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) semut dapat mengambil keuntungan situasi itu dan memakan ular.

Sumber :
https://youtu.be/BaRUZ81K8bk
Pemahaman pribadi


Friday, January 8, 2021

Filsafat Sejarah 7 : Penulisan Sejarah Post Kantian Abad 19 M


Juga dalam kesadaran-menentang terhadap penulisan-sejarah Hegelian berdiri para Post-Kantian Wilhem Dilthey (1833-1911), William Windelband (1848-1915), dan Heinrich Rickert (1863-1936). Mereka memiliki persamaan membangkitkan semangat 'kembali kepada Kant !' persamaan mereka melibatkan pengakuan ---sesuatu yang tidak-ditemukan pada sejarawan-praktisi dan para-positivis--- bahwa pengetahuan pasti-dimediasi oleh adanya pra-struktur tertentu pada subjek yang mengetahui.

Proyek seumur-hidup Dilthey yang tidak-pernah selesai adalah untuk menyediakan Geisteswissenschaften bagi 'ilmu-pengetahuan-ilmiah-tentang-manusia', Geisteswissenschaften adalah apa yang dimiliki Kant untuk metafisika yaitu suatu skema-programatik mengenai bentuk-bentuk-logis-yang-mungkin dalam penyelidikan sedemikian-rupa hingga kebenaran-yang-pasti dapat dipisahkan dari kesewenangan-dan-spekulatif.

Hal-ini melibatkan anggapan-nya bahwa semua penyebab-sejarah yang telah-ter-ekspresi-kan merupakan suatu manifestasi dari salah-satu diantara tiga-kelompok keadaan-mental yaitu penilaian-penilaian, tindakan-tindakan dan ekspresi-ekspresi dari pengalaman

Untuk memahami kerja dari sejarah adalah untuk memahami bagaimana trio-ini ---digambarkan sebagai sebuah inner lebenszusammenhang--- membawa pengaruh dalam semua sifat-sifat yang dapat-diamati secara empiris dari dunia-manusia.

Sebuah keuntungan yang lebih dibanding dengan penjelasan para ilmuwan-pengetahuan-alam (natural scientist) terhadap objek-objek fisik, pemahaman-deskriptif ini dibantu dengan analogi-analogi, kita mungkin menarik bersama dengan pemahaman terhadap pengalaman-pengalaman sisi-batin kita-sendiri.

Kita memiliki semacam kesadaran-simpatetik yang berada di dalam diri-kita (inheren) terhadap peristiwa-peristiwa sejarah karena penyebab-penyebab yang terlibat didalam-nya merupakan dorongan-psikologis melalui cara-cara yang tidak-sepenuhnya-berbeda dengan diri-kita-sendiri.

Windelband mengambil pendapat-pendapat yang dikemukakan Dilthey tentang perbedaan-perbedaan antara sejarah dengan ilmu-pengetahuan-ilmiah-lain pada pertanyaan tentang nilai-nilai untuk menciptakan perbedaan-metodologis milik-nya antara penjelasan-dan-pemahaman (erklären dan verstehen)

Perbedaan terbesar bukan hanya sejarah melibatkan nilai-nilai, namun perangkat-sesungguh-nya dengan-nya kita mencapai pengetahuan-kita mengenai masa-lalu berbeda dengan alat-kita untuk menjelaskan objek-objek-eksternal kepada kita.

Ilmu-pengetahuan-ilmiah (science) berurusan dengan hukum-hukum yang tetap, dalam generalitas, dan menimbang objek-objek-individual-nya (objek-partikular) hanya sejauh ketika objek-objek-individual-itu merupakan salinan dari kelas-kelas mereka. Namun bagi para sejarawan justru hal-partikular adalah yang membutuhkan penelitian/pengujian : perilaku Caesar bukanlah sebagai sebuah-contoh perilaku-individual seorang-raja dari suatu aturan-umum (hukum-general) mengenai bagaimana seorang raja berperilaku, tetapi sebagai suatu fenomena yang unik, tidak-dapat-diulang, yang berbeda dengan perilaku Alexander, Charlemagne, dan Ying Zheng.

Dan hanya dari hal-hal-partikular saja hukum-hukum-yang-umum tidak dapat dibentuk. Melalui cara-ini sejarah merupakan penggambaran (ideographic) dan deskritif daripada nomothetic atau hukum-positif, dan semacamnya, lebih memusatkan perhatian untuk menggambarkan dan memahami daripada untuk menjelaskan.

Heinrich Rickert menerima perbedaan-metodologis yang dikemukakan Windelband begitu juga ia menerima upaya-upaya Dilthey, untuk menyediakan/menghasilkan garis-besar suatu logika-sejarah yang berbeda.

Namun Rickert menekankan dimensi-psikologi pada penulisan-sejarah lebih dari mereka. Apa yang dipegang oleh seorang sejarawan sebagai sesuatu-yang-menarik, atau apa yang dipilih oleh mereka guna menyajikan ketidak-terbatasan-praktis terhadap penelitian-sejarah yang mungkin, bukanlah sebuah persoalan pada akal tetapi sebuah persoalan psikologi tentang nilai-nilai.

Dan karena penulisan-sejarah adalah didorong nilai-nilai (value-driven), upaya-apapun untuk menghilangkan dasar-dasar-subjektif-nya tidak hanya tidak-terjamin tetapi tidak-mungkin.

Menurut pemikiran Rickert, kepentingan-kepentingan praktis ini tidak-memaksa sejarah untuk menjadi sekedar suatu yang bersifat naratif-relatifistik, karena sifat-alamiah-manusia cukup-seragam untuk mengijinkan penjelasan-penjelasan penalaran-yang-meyakinkan secara inter-subjektif bahkan jika tidak-ada-bukti dalam pengertian-positivis.

Pengaruh langsung dari filsafat-sejarah post-Kantian bukanlah diungkapkan secara teleologis-atau-ilmiah (scientific).

Namun pemahaman bahwa sejarah adalah jenis-penelitian-unik dengan metodologi, logika-penjelasan dan standar-standar tindakan-pengambilan-keputusan sendiri telah digaungkan melalui beragam cara oleh tokoh dari Benedetto Croce (1866-1952) dan Georg Simmel (1858-1918), hingga R. G. Collingwood (1889-1943) dan Michael Oakeshott (1901-1990), begitu pula pencarian Dilthey terhadap kondisi-kondisi kognitif-dan-psikologis dalam penelitian-sejarah diterima dan diangkat oleh Ernst Cassirer (1874-1945) dan teori-kritis dari aliran-pemikiran (the Frankfurt School of Critical Theory).

Hermeneutika dari Hans-Georg Gadamer (1900-2002) dalam hal suatu keterikatan-kritis dengan Post-Kantian berupaya untuk mengembalikan masa-lalu sebagai bagian kesadaran-yang-terkondisi secara historis (wirkungsgeschichtliches Bewußtsein) yang menentukan-sebelumnya pendekatan-kita kepada teks-partikular dan pada akhirnya masa-lalu sebagai sebuah-keseluruhan.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H6
Pemahaman Pribadi