Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, December 29, 2018

Pertalian Filsafat Islam dengan filsafat-filsafat sebelum dan sesudahnya

Baik perselisihan nama atau kandungannya, namun jelas bahwa filsafat Islam mempunyai corak tersendiri dan problema-problemanya yang khas serta kepribadiannya sendiri sehingga ia memberikan sumbangan yang tidak bisa diremehkan dalam kerja kemanusiaan dan telah mempunyai tampatnya sendiri dalam kebudayaan dunia.

Tempat itu akan nampak jelas dari tinjauan berikut ini.


Filsafat Islam dan Filsafat Masehi

Kekeliruan ahli-ahli Ketimuran (orientalis) pada abad ke-19 Masehi adalah bahwa mereka mendasarkan pendapatnya tentang filsafat Islam hanya kepada beberapa buku karangan Abad Pertengahan yang berbahasa Latin dan Ibrani.

Apabila semua sumber telah dapat dikumpulkan, maka filsafat Islam akan semakin jelas bentuknya, karena itu harus dipelajari dulu sumber-sumbernya yang berbahasa Arab.

Meskipun filsafat Islam hingga kini belum diselidiki seluas-luasnya, dan buku-bukunya belum diterbitkan semua, namun sudah dapat dipastikan kepadatan isi dan luas daerah pembahasannya, lebih banyak kebebasannya dan lebih tinggi daya kreasinya, bila dibandingkan dengan filsafat Masehi pada abad-abad Pertengahan.

Kalau kita mengakui Skolastika Masehi, maka kita harus mengakui adanya filsafat Islam atau Skolastika Islam, baik dalam pembicaraanya maupun dalam uraian-uraiannya.

Banyak buku karangan al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan diantara pikiran-pikiran mereka ada yang telah membentuk suatu aliran filsafat di Eropa.

Kedudukan filsafat di Timur sama dengan "filsafat Hellenisme" di Barat. Kedua filsafat ini ditambahkan dengan filsafat Yahudi, menjadi dasar pemikiran Abad Pertengahan.

Untuk mengetahui kedudukan filsafat Islam maka kita harus menghubungkannya dengan "filsafat Kuno" dan "filsafat Moderen".


Filsafat Islam dan Filsafat Yunani

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemikiran filsafat Islam terpengaruh oleh filsafat Yunani.

Filosof-filosof Islam banyak mengambil pikiran Aristoteles dan sangat tertarik dengan pikiran-pikiran Plotinus sehingga banyak teorinya yang diambil.

Memang demikianlah keadaan orang yang datang kemudian, terpengaruh oleh orang-orang sebelumnya dan berguru pada mereka.

Kita saja yang hidup pada abad ke-20 ini, dalam banyak hal masih berhutang budi pada orang-orang Yunani dan Romawi.

Akan tetapi berguru tidak berarti mengekor dan hanya mengutip, sehingga harus dikatakan bahwa filsafat Islam itu hanya kutipan semata-mata dari Aristoteles, seperti apa yang dikatakan Renan atau dari Neo-Platonisme seperti dikatakan Durkheim karena filsafat Islam telah menampung dan mempertemukan berbagai-bagai aliran pikiran.

Kalau filsafat Yunani merupakan salah satu sumbernya, maka tidak aneh kalau kebudayaan India dan Iran juga menjadi sumbernya pula.

Perpindahan dan pertukaran pikiran tidak selalu berhutang budi. Sesuatu persoalan kadang-kadang dibicarakan dan diselidiki oleh orang banyak dan hasilnya dapat bermacam-macam corak. Seseorang bisa mengambil persoalan yang pernah dikemukakan oleh orang lain sambil mengemukakan teori dan pikirannya sendiri.

Spinoza misalnya, meskipun banyak mengikuti Descartes, namun ia mempunyai mazhabnya sendiri. Ibnu Sina meskipun murid setia dari Aristoteles, namun ia mempuyai pikiran-pikiran yang berlainan.

Filosof-filosof Islam pada umumnya hidup dalam lingkungan dan suasana yang berbeda dari apa yang dialami oleh filosof-filosof lain, dan pengaruh-pengaruh lingkungan dan suasana terhadap jalan pikiran mereka tidak bisa dilupakan.

Pada akhirnya tidaklah bisa dipungkiri bahwa dunia Islam telah berhasil membentuk suatu filsafat yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan keadaan masyarakat Islam sendiri.


Filsafat Islam dan Filsafat Baru

Pada abad yang lalu banyak penyelidikan yang dilakukan untuk mencari sumber filsafat Baru pada filsafat Skolastika Masehi. Kalau filsafat terakhir ini banyak terpengaruh oleh filsafat Islam, maka tidaklah mengherankan kalau filsafat Islam dengan filsafat Baru terdapat hubungan.

Suatu hal yang dimaklumi, filsafat Baru timbul karena adanya "Aliran Empiris" Francis Bacon (1626) yang menjadi titik tolak kebangunan ilmu-ilmu praktis, dan karenanya ada "Aliran Rasionalis" dari Descartes atau "Metode Skeptis"-nya yang mengembangkan kritik-kritik terhadap ilmu berpikir.

Sebenarnya sebelum Francis Bacon ada beberapa orang Skolastika Masehi yang merintis Empirisme dan mengarahkan perhatiannya kepada alam terutama Roger Bacon (1214-1294) yang dikatakan oleh Renan "tokoh pikir abad". Ia tidak puas kalau hanya mengadakan eksperimen dan percobaan-percobaannya dalam soal-soal kimia, tetapi ia juga menerapkan ilmu matematikanya pada ilmu alam, supaya mendapatkan hasil yang lebih teliti.

Roger Bacon tersebut sangat erat hubungannya dengan dunia pikir. Oleh karena itu "Empiris"-nya Bacon, bahkan "Empirisme masa baru", ada hubungannya dengan penyelidikan dan peneropongan bintang dan laborotaria-laborotaria yang pernah diadakan oleh kaum Muslimin.

"Metode Skeptis" dari Descartes terdapat bandingannya bahkan benih-benihnya pada abad-abad Pertengahan Masehi, harus dihubungkan pula dengan abad-abad Pertengahan Islam. Sebab kalau sekiranya Descartes tidak terpengaruh oleh al-Ghazali, maka sekurang-kurangnya kita bisa mengadakan perbandingan "Skeptisisme Descartes" dengan "Skeptisisme al-Ghazali".

Terjadinya perpindahan pikiran-pikiran selalu dimungkinkan, mengingat bahwa masa filsafat Skolastika Masehi dan Yunani yang erat hubungannya dengan filsafat Islam, terletak antara filsafat Islam dengan masa filsafat Baru. Suatu kekeliruan, kalau dipastikan tidak adanya hubungan antara Barat dan Timur dalam dunia berpikir dan penyelidikan ilmiah


Sumber :
Hal 23-25
Buku Pengantar Filsafat Islam
Ahmad Hanafi, MA
Penerbit Bulan-Bintang


Kedudukan Filsafat di kalangan Ulama-ulama Agama

Baik dari kalangan luar Islam maupun dari kalangan kaum muslimin sendiri, filsafat Islam mendapat kritikan dan tantangan.

Kalau dari kalangan luar Islam, sebagaimana disebutkan, ada yang meragukan tentang kepribadian filsafat Islam yang berbeda dengan kepribadian filsafat Yunani, maka dari kalangan ulama-ulama agama (Islam) timbul sikap menolak terhadap keseluruhan filsafat karena alasan-alasan yang dihubungkan dengan agama.

Memang dalam kalangan dunia Islam ada orang-orang agama yang bisa mengikuti perkembangan zaman, bahkan mendahuluinya, dan membela kebebasan berpikir.

Akan tetapi disamping mereka terdapat pula ulama-ulama agama yang membeku dan berharap akan dapat menghentikan dunia sekelilingnya yang selalu bergerak maju, karena tidak bisa menerima pikiran-pikiran baru yang berlainan, dan sikap mereka nampak jelas terhadap filsafat Islam.

Filosof-filosof Islam berpendirian bahwa tujuan filsafat mirip dengan tujuan agama karena keduanya bertujuan untuk mewujudkan kebahagiaan melalui kepercayaan yang benar dan perbuatan baik.

Juga mereka mengatakan bahwa pembahasan pokok agama dan filsafat adalah satu juga, karena keduanya membicarakan prinsip-prinsip yang paling jauh bagi semua wujud ini.

Berbeda dengan itu, maka pendirian ulama-ulama pada umumnya sangat memusuhi filsafat tanpa ragu-ragu.

Pada masa dahulu ilmu-ilmu yang datang dari Yunani terkenal dengan nama "ilmu-ilmu kuno (ullum al-awail)", sebagai imbangan Syara' (al-ullumas-Syar'iyyah).

Ilmu-ilmu kuno tersebut sangat diragukan kebenarannya oleh golongan Ahlussunnah ekstrim, meskipun oleh golongan lain diterima dengan penuh perhatian, terutama sejak permulaan abad ke-2 Hijriah.

Bahkan golongan Ahlussunnah menolak setiap ilmu yang ada pertaliannya dengan filsafat, meskipun sikap ini sangat disayangkan oleh al-Ghazali dalam bukunya Al-Mun-qidzu min ad-Dlalal, sungguhpun ia sendiri adalah lawan terbesar bagi filsafat.

Lebih dari itu, mempelajari filsafat dianggap peremehan terhadap agama dan diragukan keseluruhan aqidahnya.

Di antara lapangan-lapangan filsafat, maka filsafat Metafisika atau filsafat Ketuhanan dari Aristoteles-lah yang pertama-tama menjadi sasaran kemarahan Ahlusunnah, karena seluruh pemikiran Aristoteles dipandang berlawanan sama sekali dengan kepercayaan-kepercayaan Islam.

Ilmu berikutnya adalah ilmu Mantik (logika), yang diangggap berbahaya bagi akidah-akidah agama dan oleh kerenanya maka ditulislah berbagai-bagai buku untuk menentang ilmu tersebut.

Ilmu Matematika-pun pada gilirannya mendapat kritikan karena dianggap dapat menyiapkan jalan kepada filsafat. Akan tetapi sikap mereka kepada ilmu Hitung adalah lunak, karena ilmu ini merupakan suatu keperluan bagi ilmu pembagian harta-pusaka (faraidi).

Sebagai akibat tantangan-tantangan tersebut, maka banyaklah filosof-filosof Islam yang difitnah dan buku-bukunya dibakar, seperti yang dialami oleh Ibnu Rusyd.

Memang serangan al-Ghazali terhadap filsafat besar sekali di belahan barat Dunia Islam, dimana Ibnu Rusyd bertempat tinggal.

Namun pada masa-masa yang lebih kemudian, barangkali Dunia Islam tidak mengenal fatwa yang begitu keras dan yang melarang filsafat dan Mantik, seperti : Ibn as-Shalah.

Ketika ia diminta pendapatnya tentang hukum mempelajari dan mengajarkan ilmu Mantik, tentang pemakaian istilah-istilah ilmu Mantik dalam menetapkan hukum-hukum Syara', dan tentang tindakan apa yang harus diambil terhadap orang-orang ahli filsafat yang menulis dan mengajar filsafat di sekolah-sekolah umum, maka ia menjawab sebagai berikut :

" Filsafat adalah pokok kebodohan dan penyelewengan, bahkan kebingungan dan kesesatan. Siapa yang berfilsafat, maka butalah hatinya dari kebaikan-kebaikan Syar'iyyah yang suci, yang dikuatkan dengan dalil-dalil yang lahir dari bukti-bukti yang jelas. Barangsiapa yang mempelajarinya, maka ia akan berteman kehinaan, tertutup dari kebenaran dan terbujuk oleh setan. Apakah ada ilmu lain yang lebih hina dari ilmu yang membutakan orang  yang memilikinya dan menggelapkan hatinya dari sinar kenabian Nabi kita. "

" Tentang Mantik, maka ia adalah jalan kepada filsafat, sedang jalan kepada keburukan adalah keburukan pula. Mempelajari filsafat atau mengajarkannya tidak termasuk perkara yang dibolehkan oleh Syara', tidak pula dibolehkan oleh sahabat, tabi'in, mujtahidin, ulama-ulama salaf, dan anutan-anutan serta tokoh umat, dimana Tuhan telah membersihkan mereka dari kotoran-kotoran ilmu itu. "

" Tentang pemakaian istilah-istilah ilmu Mantik dalam hukum Syara' maka termasuk kemungkaran, dan untungnya hukum-hukum Syara' tidak memerlukan Mantik sama sekali. Apa yang dikatakan oleh ahli logika tentang definisi dan argumen-argumen untuk logika maka adalah omong kosong, dimana Tuhan telah mencukupkan pengabdi-pengabdi ilmu Syariat yang benar pikirannya dari hal-hal tersebut. Syariat dan ilmu-ilmunya teliti, dengan tidak ada Mantik, filsafat ataupun filosof-filosof. "

" Barang siapa mengira bahwa mempelajari ilmu Mantik dan filsafat karena ada faedah yang akan diperolehnya, maka ia telah dibujuk setan dan ditipunya. Maka yang wajib bagi penguasa adalah agar mereka menjauhkan keburukan-keburukan para benalu-benalu tersebut dan mengeluarkan mereka dari sekolah-sekolah. Yang lebih wajib lagi ialah memecat seorang guru sekolah dari ahli filsafat, yang mengajarkan dan membacakannya pula, kemudian dipenjarakannya dan disuruh menetap di rumahnya. "

Ibn as-Shalah juga pernah ditanya tentang hukum Syara' mengenai orang yang mempelajari Ibnu Sina dan karangan-karangannya, maka jawabnya :

" Siapa yang berbuat demikian, maka ia telah mengkhianati agamanya dan bisa kena fitnah besar, karena Ibnu Sina tidak termasuk ulama, melainkan ia termasuk setan berwujud manusia. "

Fatwa Ibn as-Shalah tersebut menjadi pegangan yang penting bagi golongan Ahlusunnah yang dipakainya setiap kali mereka hendak menyerang filsafat dan Mantik.

Gema fatwa tersebut kita dapati pada Tsy Kubra Zadah (wafat 962). Sebenarnya sebelum Ibn as-Shalah sudah banyak orang yang menyerang filsafat seperti Ibnu Hazm, al-Ghazali, Ibn Taimiyah dan Ibn al-Qayyim tetapi nampaknya fatwa Ibn as-Shalah mempunyai pengaruh destruktif yang lebih penting dikalangan Ahlusunnah.

Akan tetapi meskipun demikian, dapatlah kita katakan secara jujur, seperti yang dikatakan Godziher sebagai berikut :

" Pendirian fanatik yang berisi pelarangan terhadap Mantik tidak dapat menguasai pembahasan-pembahasan agama Islam karena kitab-kitab matan (ringkasan) dalam ilmu Mantik seperti karangan al-Abhari, al-Katibi dan al-Akhdlari tetap mendapat tempatnya disamping ilmu-ilmu keislaman, malah ilmu Kalam sendiri dalam membina hukum-hukum dan metode-metodenya bersandar kepada filsafat Aristoteles, terutama sejak masa al-Fakhr ar-Razy (606 H) "

Tampaknya serangan-serangan terhadap filsafat tidak berkesan lagi pada masa-masa sesudah itu, karena agama Islam pada dasarnya tidak menghalang-halangi kebebasan berpikir, dan setiap pengekangan tidak mendapat sandarannya baik dalam Quran maupun Sunnah.

Arus pemikiran lebih bebas telah menyebabkan ulama-ulama agama pada zaman baru harus mempertemukan antara prinsip-prinsip pikiran dengan ajaran-ajaran agama, seperti Syekh Muhammad Abduh, al-Kawakibi, Muhammad Bakhit, Farid Wajdi dan lain-lain, meskipun di kalangan filosof-filosof Islam pemaduan semacam itu sudah diusahakan jauh-jauh hari sebelumnya.


Sumber :
Hal 19-21
Buku Pengantar Filsafat Islam
Ahmad Hanafi, MA
Penerbit Bulan-Bintang

Friday, December 28, 2018

Jurgen Habermas 6 : Teori Politik dan Hukum

Dalam masyarakat-pluralistik pasca-konvensional, selalu lebih sedikit norma-norma yang dapat diemban/ditampung oleh sebuah etos-bersama yang menyatu di dalam etisitas-komunitas atau identitas-kolektif.

Norma-norma-moral dengan sendirinya tidak dapat mengatasi ketidaksesuaian-itu untuk mencapai integrasi-dan-kohesi-sosial. Karena wacana-moral menuntut dan menuju kepada apa-yang-sama-dalam-kepentingan setiap orang, maka hanya sedikit norma-norma-moral akan menjadi absah di seluruh-dunia atau bahkan dalam sebuah masyarakat tertentu.

Dan, seperti yang dicatat Habermas dalam karyanya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), meskipun sistem-sistem seperti birokrasi-negara dan ekonomi dapat mencapai stabilitas dan mengkoordinasikan harapan-harapan melalui uang dan kekuasaan, sistem-sistem dan birokrasi dapat mengikis kesepahaman-bersama dan solidaritas-sosial.

Pasar-pasar dan birokrasi-birokrasi cenderung menggantikan dan menjajah dunia-kehidupan.

Memang, esai-esai politiknya dari periode ini menuangkan hukum-yang-tercipta-secara-demokratis sebagai pemegang garis-batas melawan berbagai perambahan-sistem dalam sebuah mentalitas-pengepungan (BFN 486-89, Habermas 1992b 444). Ini meninggalkan pertanyaan kepada kita : Apa sumber-kekuatan-lain yang ada untuk mencapai integrasi-sosial-yang-memiliki-legitimasi ?

Melalui pernyataan yang paling jelas dari teori-politik Habermas, dalam karyanya Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma), hukum-modern muncul sebagai sumber-kekuatan yang tepat yang kita cari untuk menjawab pertanyaan di atas. Jika dengan menggunakan cara yang tepat hukum dikaitkan dengan struktur-struktur-politik-demokratis, hal itu memberi anugerah-legitimasi terhadap norma-norma-hukum, dengan demikian mendorong integrasi-dan-stabilitas-sosial.

Pembahasan secara luas, hubungan antara legitimasi-hukum, prosedural-demokratis-kedaulatan-rakyat, dan wacana-publik adalah kait-mengkait dan refleksif : hukum-yang-memiliki-legitimasi harus berakar pada demokrasi, yang dengan sendirinya bergantung pada ruang-publik-yang-kuat.

Sebuah ruang-publik-yang-demokratis-dan-dinamis adalah apa yang mengijinkan revisi dan mempertanyakan hukum-hukum-sebelumnya. Dikonsepsi dengan cara demikian hukum-modern merupakan transformator yang mempertahankan capaian-capaian-normatif dan kesepahaman-bersama yang keluar dari penentuan-diri-secara-kolektif dari ruang-publik dengan menerjemahkannya ke dalam keputusan-keputusan-yang-mengikat-dan-memiliki-legitimasi yang mampu membalikan-arah melawan logika-logika negara-dan-pasar.

Selama keputusan-keputusan hukum dicapai melalui cara prosedural-diskursif dengan jenis yang tepat, disana terdapat sebuah pra-anggapan yang mendukung rasionalitas-dan-legitimasi mereka. Dan, sepanjang ruang-publik terus menjadi sebuah forum-kontestasi-yang-kuat-dan-terbuka, apapun keputusan-sebelumnya adalah dapat direvisi sedemikian hingga terdapat sebuah sirkulasi antara ruang-publik-informal dan lembaga-lembaga-negara-yang-lebih-formal.

Fokus perhatian pada sifat hukum yang transformatif dan memediasi ini merevisi model-hukum-demokratis sebelumnya yaitu model-pengepungan menjadi sebuah model-prosedural pintu-air (Habermas 2002, 243).

Sementara model-pengepungan melihat hukum yang dihasilkan secara demokratis sebagai sebuah bendungan-pertahanan atau perisai-perlindungan menghadapi tuntutan-tuntutan dari sistem-sistem, sebaliknya model-prosedural pintu-air memandang jenis tertentu pembuatan-hukum sebagai memediasi sirkulasi antara dunia-kehidupan dan sistem-sistem melalui suatu cara yang menghasilkan norma-norma-hukum-yang-mengikat-dan-memiliki-legitimasi. Hukum-modern bekerja dengan sistem-sistem dan berdampingan dengan moralitas-pasca-konvensional untuk menstabilkan harapan-harapan-sosial dan menyelesaikan konflik-konflik.

Kita dapat mulai memahami hubungan antara hukum, demokrasi, dan ruang-publik dengan memusatkan perhatian pada legitimasi dan demokrasi yang sah-menurut-hukum.

Dalam karyanya Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma), Habermas meletakkan sebuah tegangan di dalam hukum itu sendiri, juga sebuah hubungan-internal antara hukum-modern dan demokrasi. Agar berfungsi, semua-hukum harus menuntut kepatuhan, perlakuan-memaksa, dan ( meskipun secara diam-diam ) terikat kepada sebuah justifikasi-normatif-yang-mendasarinya.

Oleh karena itu hukum dicirikan oleh sebuah tegangan antara faktisitas dan validitas sejauh karena keduanya harus dikenali/dipahami sebagai keampuhan-secara-faktual dan di-justifikasi-secara-normatif. Tegangan ini membantu menjelaskan hubungan antara hukum dan demokrasi dalam konteks kontemporer.

Hukum pra-modern
terikat kepada Tuhan, alam, akal-manusia, atau budaya-bersama untuk dukungan keabsahannya. Dalam masyarakat pasca-konvensional, fakta bahwa hukum dapat memaksa dan dapat berubah namun berakar pada manusia yang bisa saja melakukan kesalahan diungkap.

Bagi Habermas, justifikasi-normatif-yang-mendasari sekarang hanya dapat dipahami sebagai : "sebuah cara-pembuatan-hukum yang melahirkan legitimasi".

Makna pemikiran itu adalah bahwa demokrasi merupakan satu-satunya cara-pembuatan-hukum yang harus mengangkat kewajiban-melahirkan-legitimasi ini. Dengan menyoroti hubungan-hubungan ini, adalah bermanfaat demi tujuan-tujuan saat ini untuk memusatkan perhatian kepada “pembahasan/perdebatan yang berakhir dalam pembuatan keputusan legislatif" daripada memeriksa legitimasi-politik dan legitimasi-hukum secara terpisah (BFN 171; Bohman dan Rehg 1999, 36).

Demokrasi di dalam pikiran Habermas adalah berbeda dari variasi demokrasi yang terlalu populis. Dia jelas dalam hal bahwa legitimasi yang mendukung pembuatan-hukum harus merupakan kesatuan dari dua-sisi : hukum tidak boleh hanya mengekspresikan kehendak-demokratis dari komunitas tetapi juga harus "diharmonisasikan secara non-subordinat" dengan moralitas (BFN 99, 106).

Kesesuaian yang non-subordinat antara legalitas dan wacana-teoritis-moralitas adalah pengertian yang paling sulit tentang legitimasi untuk dijelaskan dan yang paling mudah diabaikan, sehingga sangat bermanfaat untuk mulai uraian dari sana.

Bagi Habermas, dalam masyarakat-masyarakat pasca-konvensional "aturan-aturan hukum dan moral ... muncul berdampingan sebagai dua jenis-norma-tindakan yang berbeda namun saling melengkapi".

Dalam rangka untuk menjelaskan "gagasan pembuatan-hukum-sendiri oleh warga-negara" kita harus menghindari suatu "subordinasi hukum terhadap moralitas" sesuai dengan teori-hukum-kodrat-klasik (BFN 105-6, 120; IO 257). Namun tampaknya memusingkan untuk memegang pendapat bahwa hukum-yang-ditentukan-secara-demokratis harus kompatibel dengan wacana-teoritis-moralitas tetapi bukan-merupakan-subordinat darinya.

Bagaimana dengan kasus-kasus di mana hukum dan moralitas tampak bertentangan ?

Ada beberapa jawaban yang menyoroti fitur-fitur unik dalam teori Habermas. Pada sebuah tingkatan umum, jawaban-jawaban ini mengambil bentuk yang sama : meski ada banyak cara bagaimana sistem-sistem-hukum dapat dimasukan ke dalam kebolehan-moral, namun demikian disana tetap ada ciri-ciri struktural dan konseptual yang endogen terhadap proses-proses di dalam prosedural-demokratis-kedaulatan-rakyat yang modern, setidaknya pada sebuah tingkat-abstrak, cenderung menyelaraskan norma-norma-hukum dengan kebolehan-moral. Ini menghindari kekhawatiran akan moralitas mengusir legalitas secara eksogen.

Satu alasan untuk mengharapkan bahwa hukum-yang-memiliki-legitimasi-demokratis dan kebolehan-moral akan memiliki setidaknya kesamaan prinsip umum adalah keduanya berakar pada prinsip-wacana.

Kita telah melihat di atas bagaimana prinsip-universalisasi-moral menyatakan suatu cara bagaimana prinsip-wacana ditetapkan untuk wacana-wacana-moral. Habermas juga mengajukan sebuah prinsip-legitimasi-demokratis yang menyatakan bagaimana prinsip-wacana ditetapkan untuk wacana-wacana-politik yang menghasilkan hukum. Prinsip ini berakar pada prinsip-wacana dalam kebajikan dari hukum-formal (apa yang disebut Habermas sebagai virtue of legal-form).

Ketika prinsip-wacana ditempatkan dalam wacana-wacana yang bertujuan menghasilkan norma-norma-hukum untuk mengatur kehidupan umum bersama, hal itu dipahami bahwa norma-norma ini akan diselubungi di dalam hukum-formal : sejumlah sifat formal dan fungsional yang mencirikan hukum-positif-modern.

Hukum-positif-modern diberlakukan dan secara konvensional, dapat ditegakkan dan dipaksakan, yang berakar di dalam lembaga-lembaga dengan beberapa refleksivitas, penyesuaian untuk melindungi individu-individu melalui hak, dan terbatas dalam ruang-lingkup. Jika hukum difungsikan sebagai sebuah alat untuk regulasi-konsensual terhadap konflik-konflik sosial dan integrasi masyarakat, maka harus mengambil bentuk ini.

Prinsip-legitimasi-demokratis adalah bagian dari dukungan-normatif yang seharusnya muncul, meskipun secara garis-besar dan sangat bersifat-abstrak, dari interpenetrasi historis prinsip-wacana dan hukum-formal yang telah mencapai puncaknya dalam struktur-struktur negara-demokratis-modern. Legitimasi-demokratis berpendapat, "hanya undang-undang yang mampu mengklaim-legitimasi yang dapat memenuhi persetujuan semua warga-negara dalam suatu proses-diskursif pembuatan-hukum (legislasi) yang selanjutnya terorganisir menurut hukum" (BFN 110; seringkali diterjemahkan sebagai terorganisir).

Prinsip ini menangkap bagaimana prinsip-wacana ditetapkan untuk wacana-wacana-politik sehingga prosedur-prosedur demokratis mendukung legitimasi pada norma-norma-hukum. Legitimasi tidak muncul dari legalitas-formal semata, ia membutuhkan tambahan dukungan-normatif dari demokrasi.

Gagasan tentang legitimasi-demokratis adalah bahwa kepatuhan terhadap hukum harus rasional dan berakar pada hukum-hukum yang menyerap legitimasi. Untuk mencapai hal ini, wacana-wacana-politik harus disusun dengan suatu cara di mana lembaga-lembaga legislatif-formal secara akurat merepresentasikan dan ditujukan membahas apa yang sedang terjadi di ruang-publik-informal, dan dimana di sana terdapat mekanisme-mekanisme prosedural yang terlembagakan yang diselenggarakan dengan cara membantu menyaring argumen-argumen yang lemah (BFN 340) . Rincian struktur ini akan dijelaskan di bawah ini, terutama dalam kaitannya dengan model-proses dan hubungan antara demokrasi dan ruang-publik.

Bagaimanapun, fakta bahwa prinsip-universalisasi dan prinsip-legitimasi-demokratis adalah berakar pada prinsip-wacana tidak banyak menjamin kepastian kesamaan-umum antara hukum dan wacana-teoritis-moralitas. Beruntunglah, ada sejumlah alasan tambahan mengapa kita dapat mengharapkan semacam harmonisasi antara keduanya. Habermas berpikir kombinasi prinsip-wacana dan hukum-formal dalam legitimasi-demokratis juga memasok sumber-kekuatan kepada kita untuk memahami bagian-inti konseptual dari sebuah sistem-hak-yang-abstrak yang akan ditorehkan dalam struktur-struktur-inti dari setiap penentuan-diri yang memiliki legitimasi sebuah komunitas-politik. Argumen dasarnya adalah bahwa agar prinsip-legitimasi-demokratis dapat direalisasikan harus mengacu kepada sebuah komunitas-konkret yang terikat dalam penentuan-diri melalui hukum-modern. Dalam komunitas-komunitas semacam itu, hukum yang setara terhadap setiap individu mengambil peran sebagai sebuah topeng-pelindung, sebuah identitas-formal yang ditentukan terutama oleh hak-hak bukan kewajiban, yang mengkristal di sekitar moral individual seseorang (BFN 531, 112). Identitas-hukum ini dibangun oleh suatu inti-hak yang menjamin kepastian status dan otonomi-pribadi setiap individu sedemikian rupa hingga mereka tidak hanya dapat menjalani kehidupan-individual tetapi juga membahas dengan jujur (dengan pijakan yang sama, bebas dari paksaan, dan seterusnya) mengenai ketentuan-ketentuan kehidupan umum bersama. Namun, hak-hak-individual ini tidak dapat efektif kecuali mereka mengandaikan hak-hak-lain untuk partisipasi dan penyediaan materi-dasar yaitu hak-hak yang menjamin kepastian otonomi-publik. Pendapat Habermas adalah bahwa manifestasi-manifestasi hukum dari otonomi-privat dan otonomi-publik, seringkali diekspresikan dalam idiom-idiom hak-asasi-manusia dan kedaulatan-rakyat, saling mengandaikan satu sama lain. Apa hasilnya adalah merupakan sistem-hak-yang-abstrak yang terdiri dari lima jenis-inti. Apa saja jenis-inti-hak ini ?

Pertama, untuk saling melibatkan secara diskursif satu dengan yang lain, masyarakat perlu jaminan yang masuk-akal. Oleh karena itu, dibutuhkan hak-hak yang menjamin status-individual setiap orang. Tiga jenis-hak secara bersama-sama mencapai perlindungan tersebut :

(i. ) Hak atas kebebasan yang sama, yang kompatibel dengan yang dimiliki orang lain
(ii. ) Hak atas keanggotaan yang menentukan perkembangan komunitas
(iii.) Hak atas proses hukum yang menjamin setiap orang untuk diperlakukan sama dan sama-sama dilindungi oleh hukum.

Hak-hak di atas menjamin otonomi-private individual yang diutamakan oleh liberalisme-klasik. Tetapi komunitas apapun yang terikat dalam penentuan-diri-secara-demokratis juga harus menjaga kemampuan menggunakan kebebasan secara aktif yang diberikan oleh jaminan-status ini untuk membahas, bersepakat, tidak-sepakat, dan menuju kesepahaman-bersama dalam persetujuan-bersama dengan orang lain.

Agar hak-hak individual digunakan secara efektif dibutuhkan

(iv.) Hak-hak komunikasi dan partisipasi-politik yang secara formal menjamin kesempatan dan akses yang sama kepada proses-politik.

Hak-hak di atas menjamin otonomi-publik-kolektif yang diutamakan oleh republikanisme-klasik. Hak-hak ini memungkinkan terjadi wacana-wacana dalam ruang-publik serta akses yang sama ke berbagai saluran pendapat dan pengaruh politik. Hak-hak ini memungkinkan terciptanya kedaulatan-rakyat-yang-demokratis dengan memastikan semua orang dapat berpartisipasi secara adil dan setara, dan bahwa informasi, ide-ide-inovatif dan argumen-argumen bagaimana membangun kehidupan bersama dijaga tetap bebas beredar dan diuji. Pada akhirnya, empat-jenis-hak di atas tidak mencukupi jika kebutuhan-dasar terancam atau tidak dipenuhi. Jaminan-jaminan formal terhadap kebebasan dan partisipasi hanya sedikit berarti jika mereka menyamakan kebebasan dengan kelaparan.

Jadi, sebagai langkah terakhir, Habermas mengusulkan beberapa ukuran terhadap

(v.) Hak-hak sosial, teknologi, dan ekologi yang menjamin sebuah kondisi-kondisi dasar kehidupan minimum yang layak.

Negara-negara demokratis yang sering melakukan kinerja buruk sepenuhnya menyadari hak-hak ini, tetapi klaimnya hanyalah bahwa jenis-jenis-hak-umum ini secara konseptual adalah diperlukan jika penentuan-diri secara demokratis melalui hukum adalah untuk mencapai dualisme-pengertian-legitimasi yang disebutkan di atas. Dalam semangat penjelasan yang sama, penting juga untuk dicatat bahwa sistem-hak-yang-abstrak hanya melakukan identifikasi jenis-jenis-hak tertentu, bukan sejumlah daftar hak-konkret. Masyarakat memiliki garis interpretif yang sangat luas mengenai ruang-lingkup kebebasan ketika menyangkut bagaimana hak-hak ini muncul. Habermas sering menunjuk pada hak-hak itu sebagai “tempat-penampungan yang tidak-jenuh”, sebagian besar tergantung pada komunitas untuk "mengisi" kandungannya.

Harapan kepada sebuah harmonisasi yang non-hierarkis antara moralitas dan legalitas, sekarang mungkin tampak sedikit kurang membingungkan. Idealnya, wacana-wacana pembuatan-hukum mendekati prinsip-legitimasi-demokratis daripada kepada latar-belakang sebuah sistem-abstrak-hak yang tertulis pada struktur-struktur-politik dalam suatu komunitas-demokratis. Ini menempatkan sejumlah batasan yang luas tentang bagaimana kesepakatan-kesepakatan dibeberkan dan jenis norma-norma yang dapat dihasilkan. Selain itu, terlepas dari batasan latar-belakang struktural ini, wacana-wacana-politik dengan sendirinya juga unik. Berbeda jauh dengan wacana-wacana-moral yang dipusatkan pada kepentingan-bagi-semua atau wacana-wacana-etis yang berfokus pada realisasi-diri-yang-otentik, wacana-wacana-politik yang ditujukan untuk penentuan-diri melalui acuan hukum sejumlah besar masalah yang berbeda, dan melakukannya dengan cara yang terstruktur secara internal yang ditujukan untuk mengukir ruang (didefinisikan oleh hak) di mana kepribadian-moral dan otentisitas-etis dapat berkembang (BFN 531).

Sementara pembahasan/diskusi tentang "pertanyaan-pertanyaan politik biasanya begitu kompleks sehingga memerlukan perlakuan/pemeriksaan secara simultan terhadap aspek-aspek pragmatis, etis, dan moral", persoalan-persoalan itu idealnya dibedah mengikuti sebuah model-proses dimana terdapat sebuah strukturyang bergantian antara perhatian-perhatian secara pragmatis, etis, dan moral serta perundingan yang diatur secara prosedural. Ide dasarnya adalah bahwa untuk kesimpulan kebijakan-sementara apapun terdapat sebuah kewajiban untuk memberi tanggapan terhadap keberatan yang muncul dari aspek-aspek yang lebih abstrak dari suatu masalah atau berbagai-tingkatan-wacana, proses-proses-diskursif tidak dapat dibatasi dengan sewenang-wenang. Misalnya, para-peserta dalam sebuah wacana mengenai kebijakan-imigrasi tidak dapat hanya melakukan konsultasi berkaitan dengan masalah etika sesuai identitas-asli komunitas mereka tetapi menolak untuk mendengarkan wacana-wacana-moral yang bersumber pada kebijakan-kebijakan semacam itu. Aspek-aspek moral apapun harus dibahas secara eksplisit, dan mereka menyaring atau memeriksa aspek-aspek persoalan dan wacana yang lebih partikularistik ( lihat BFN 169 dan perubahan pada 565 tentang apakah akan merujuk pada interaksi terstruktur sebagai antara wacana atau aspek dari sebuah kasus ). Sistem-hak-yang-abstrak dan model-proses berarti bahwa, dalam diskusi-diskusi politik mengenai bagaimana membangun kehidupan umum bersama, pada prinsipnya akan selalu dimungkinkan bagi wacana-wacana-moral yang lebih abstrak untuk memeriksa secara lemah terhadap wacana-wacana pragmatis dan etika-politik. Dan, pemeriksaan ini akan membangun dari dalam penentuan-diri-yang-demokratis.

Sejauh ini fokus perhatiannya adalah pada hubungan antara hukum dan demokrasi tanpa banyak mengacu kepada ruang-publik. Meskipun demikian, adalah sulit untuk menekankan lebih-keras betapa pentingnya Habermas meletakan diskusi-demokratis yang berakar pada ruang-publik. Tidak satupun dari mekanisme-mekanisme formal atau struktural yang telah disebutkan sejauh ini menjamin bahwa wacana-wacana-politik-publik atau berbagai hukum ditetapkan dengan sebuah cara tertentu. Tidak ada jaminan bahwa hanya sistem-hak-yang-abstrak atau legitimasi-demokratis akan direalisasikan dengan penuh arti, juga tidak ada jaminan bahwa pergantian berbagai jenis perhatian terhadap wacana-wacana-politik akan terungkap sesuai dengan model-proses. Semuanya tergantung pada kualitas dan penataan kelembagaan diskusi/perdebatan di ruang-publik. Bahkan, alasan utama mengapa demokrasi memberi anugerah legitimasi kepada hasil-hasil-legislatif adalah bahwa hal itu berakar pada sebuah model kedaulatan-rakyat-prosedural yang berbeda, yang secara bersamaan mengekspresikan kehendak masyarakat dan yang mengarah pada hasil yang lebih rasional. Suatu analisis tentang cara khusus dimana demokrasi dan ruang-publik dikaitkan dengan model yang diajukan Habermas adalah cara terbaik untuk memahami bagaimana cara pembuatan-hukum-yang-demokratis mendukung legitimasi-norma-norma-hukum.

Dalam karyanya Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma), Habermas mengusulkan sebuah model dua-jalur politik-demokratis yang menentukan batas sebuah sirkulasi dari kekuasaan-politik yang melahirkan legitimasi. Ia membagi ruang-publik-politik menjadi bagian informal dan formal. Ruang-publik-informal mencakup semua berbagai macam asosiasi-asosiasi sukarela masyarakat sipil seperti organisasi-organisasi keagamaan dan amal, asosiasi-asosiasi politis, media, dan kelompok-kelompok advokasi kepentingan umum dengan semua varietasnya. Dalam ruang-publik ini, diskusi-politis adalah bebas dan tidak terorganisir. Melalui benturan-terbuka berbagai pandangan dan argumen ini, individu-individu dan kelompok-kelompok dapat membujuk dan dibujuk, sehingga berkontribusi pada munculnya opini-publik yang dipertimbangkan sunguh-sungguh. Sebaliknya, ruang-publik-formal adalah termasuk forum-forum wacana dan diskusi yang terlembagakan seperti kongres, parlemen, dan peradilan serta badan administratif dan birokrasi periferal yang lebih terkait dengan struktur-negara. Ruang-publik-formal ini seharusnya diatur sedemikian rupa sehingga membuat keputusan yang mencerminkan pendapat-pendapat publik yang telah dipertimbangkan dari ruang-publik-informal. Badan-badan pengambilan-keputusan yang terlembagakan secara formal harus bisa menyerap hasil-hasil keluaran ruang-publik-informal.

Ruang-publik-informal adalah forum kunci untuk membangkitan sejenis kekuatan-normatif yang dapat mengintegrasikan masyarakat melalui kesepahaman-bersama dan solidaritas daripada melalui kekuatan uang atau kekuasaan administratif-birokrasi. Ketika para-peserta-wacana di ruang-publik-informal secara bebas mencapai kesepahaman-bersama mengenai bagaimana mengatur hal-hal tentang berbagi kehidupan bersama maka kekuatan-komunikatif muncul (Flynn 2004 membahas lokus kekuatan komunikatif yang tepat). Kekuatan-komunikatif muncul dari harapan-harapan terciptanya norma yang didasarkan secara kognitif pada kekuatan alasan-alasan yang lebih baik dan didasarkan secara motivasi (meskipun lemah) kepada pengakuan-timbal-balik dan wacana-wacana-etika-secara-kolektif. Pembicaraan secara kognitif, komunikasi yang bebas di ruang-publik dapat menumbuhkan opini-rasional dan pembentukan-kehendak karena "pemrosesan yang bebas terhadap informasi dan alasan-alasan, dari topik-topik dan kontribusi-kontribusi yang relevan dimaksudkan untuk mendasarkan praanggapan yang hasil-hasilnya dicapai sesuai dengan prosedur-diskursif yang benar adalah rasional”. Penerimaan ini juga menyediakan motivasi yang lemah : dalam menerima sebuah klaim-validitas-norma, seseorang menerima latar-belakang berbagai pemahaman dan alasan yang mendasarinya, yang dapat memotivasi keadaan yang relevan. Selain itu, karena kesepahaman-bersama dianggap dicapai melalui wacana-persuasif di mana perbedaan pendapat adalah (dan selalu) sebuah kemungkinan nyata, penerimaan-norma juga dapat mendorong dalam semangat pemberdayaan anti-paternalistik : pihak-pihak saling mengakui satu sama lain sebagai bertanggung jawab atas tindakan mereka selaras dengan suatu norma sampai alasan-alasan baru ditemukan. Meskipun mereka mungkin sadar akan kecenderungan-kecenderungan-menentang dan motif yang tidak didukung oleh alasan yang baik, mereka saling menerima untuk menjadi pelaku-pelaku yang kompeten dan bertanggung jawab yang mampu memutuskan untuk bertindak berdasarkan norma yang didukung secara rasional (Günther 1998). Namun, karena motivasi yang menyertai pandangan-kognitif adalah rapuh dan lemah, kekuatan-komunikatif juga harus berakar dalam komunitas dengan sebuah identitas-etik-politik dan hukum-yang-memiliki-legitimasi bersama sehingga defisit-motivasi dapat ditutupi dengan sumber-kekuatan tambahan dari sebuah kehidupan dan hukum bersama.

Kekuatan-komunikatif hanya bisa muncul jika ruang-publik-informal memiliki karakteristik tertentu. Pertama dan terutama, ia harus relatif bebas dari distorsi, pemaksaan, dan tekanan-tekanan pembungkaman sosial sehingga komunikasi dapat berfungsi sebagai sebuah saringan untuk mendorong pembentukan kehendak individu dan kolektif yang lebih rasional. Ruang-publik juga perlu berfungsi secara akurat sebagai sebuah konteks-pencarian didalamnya masalah-masalah yang mempengaruhi segmen-segmen besar masyarakat diidentifikasi dan diangkat untuk diskusi dan resolusi melalui wacana. Selain itu, masyarakat sipil harus digerakkan/dihidupkan oleh sebuah budaya-politik sehingga para-anggota aktif berpartisipasi dalam asosiasi-asosiasi-sukarela dan wacana-publik tentang ketentuan kehidupan umum bersama. Potensi-potensi kekuatan-normatif tidak dapat dibangkitkan jika sebagian besar anggota menarik-diri kepada masalah pribadi atau suatu masyarakat tersegmentasi dan terbagi secara internal dengan kepentingan-kepentingan khusus (Flynn (2004) 439-444; Bohman dan Rehg (1999, 41-42). Jelas, jika ruang-publik tetap terjaga sehat maka peran media dalam membina informasi yang akurat dan komunikasi massa yang tepat waktu juga akan menjadi sangat penting (EFP, 138-183).

Lembaga-lembaga politik ruang-publik-formal diatur sedemikian rupa sehingga menjadi penyerap terhadap masukan-masukan dari ranah-publik-informal, untuk menyaring dan memfokuskan lebih jauh opini-publik, dan untuk membuat keputusan-keputusan. Dibangun berdasar karya Bernhard Peters, Habermas mempertahankan pendapat bahwa demokrasi-konstitusional-modern dibentuk sehingga komunikasi dan pengambilan-keputusan mengalir dari pinggiran-ruang-publik-informal menuju pusat yang ditersusun oleh lembaga-lembaga politik formal yang menciptakan, menegakkan, menjelaskan, atau menerapkan hukum. Dalam sebuah rezim-demokratis yang berfungsi baik akan terdapat "sluices" atau "pintu-air-struktural" yang tertanam di dalam lembaga-lembaga administrasi negara (legislatif, yudisial, dan sebagainya) sehingga aliran-sirkulasi kekuasaan berjalan pada arah yang benar, yaitu dari pinggiran ke pusat.

Pemikirannya adalah bahwa komunitas-politik harus memprogram dan mengarahkan kerumitan administratif lembaga-lembaga, bukan sebaliknya. Jika negara atau aktor-aktor kuat lainnya membalikkan arah aliran ini hanya dengan menjalankan hukum-hukum atau peraturan-baru dan menuntut kepatuhan atau memaksa dengan cara lain, maka penerapan kekuasaan birokrasi-administratif-non-komunikatif ini tidak-akan memiliki legitimasi dan tidak-akan stabil. Habermas berpendapat "kapasitas integratif dari keberwarganegaraan yang demokratis" mengikis sampai tingkat dimana sirkulasi kekuasaan-politik terganggu atau berbalik-arah. Hanya kekuatan-komunikatif yang memiliki kekuatan-legitimasi yang dibutuhkan sehingga suatu komunitas dapat menjadi pencipta dan secara rasional mematuhi hukum. Pembuatan-hukum-yang-demokratis adalah lembaga-kunci yang "mewakili... media untuk mengubah kekuatan-komunikatif menjadi kekuatan-administratif" sambil mempertahankan/menjaga potensi-potensi-normatif-nya. Hukum yang dibuat secara demokratis memastikan potensi-potensi-kekuatan-normatif mengalir ke arah yang benar dan dijaga ketika dilaksanakan oleh lembaga-lembaga administrasi negara.

Penjelasam tentang prosedural-demokratis penentuan-diri-secara-kolektif ini tidak boleh dicampuraduk dengan penentuan-diri-tradisional nasional. Habermas menolak model penentuan-diri-secara-kolektif kedaulatan-rakyat yang mengandaikan suatu bangsa atau orang-orang dengan identitas dan kepentingan yang homogen, begitu juga model-model di mana suatu jaringan-asosiasi-asosiasi berdiri untuk diri-kolektif yang imajiner. (BFN 185, 486). Sebaliknya, dalam demokrasi-konstitusional-modern "gagasan kedaulatan-rakyat adalah... dikurangi substansi-nya [dan]... bahkan tidak diwujudkan dalam kepala para anggota asosiasi." Kedaulatan-rakyat "dijumpai dalam bentuk-bentuk komunikasi tanpa subjek yang mengatur aliran pembentukan opini-opini diskursif-dan-kehendak sedemikian rupa sehingga hasil-keluaran mereka yang dapat-salah memiliki asumsi rasio-praktis di pihak mereka (BFN 486). Sejauh kita dapat berbicara mengenai kehendak-suatu-komunitas, itu adalah sebuah opini-publik tanpa nama dan tanpa subjek yang muncul dari struktur-komunikasi-diskursif itu sendiri (BFN 136, 171, 184-186, 299, 301). Penafsiran unik kedaulatan-rakyat ini membantu menjelaskan beberapa aspek akhir dari teori-politik Habermas yaitu pandangan-pandangannya terhadap agama dan ruang-publik, patriotisme-konstitusional-nya, dan visi-nya tentang politik yang melampaui negara-bangsa.

Dalam tulisan-tulisan awal, Habermas berpendapat bahwa ketika rasionalitas dan pluralisme cita-cita pencerahan perlahan-lahan dipegang kokoh dalam masyarakat-modern, maka penjelasan-penjelasan mitos dari agama akan menjadi kurang penting. Namun, Habermas perlahan-lahan merevisi pandangannya terhadap agama dalam masyarakat-modern. Pada saat ini, cara dia melihat agama yang sesuai dengan ruang-publik demokrasi liberal adalah hal yang penting. Dalam demokrasi-liberal, populisme yang tak terkendali dipegang dalam kontrol tidak hanya oleh hak-hak-individu tetapi juga sifat-sifat debat-publik : penentuan-diri-kolektif warga-negara dilaksanakan melalui persuasi dan argumentasi rasional. Untuk melakukan hal ini di tengah-tengah pluralisme-modernitas, hukum-hukum yang dibuat mereka harus didasarkan pada alasan-alasan-publik yang dapat diakses oleh semua-orang. Pertanyaannya adalah apa artinya ini bagi warga-yang-beragama ?.

Sudah ada berbagai variasi jawaban terhadap pertanyaan di atas. Misalnya, dalam Liberalisme-Politik, John Rawls memegang pendapat bahwa warga-negara-demokratis-liberal pada akhirnya hanya akan mendukung kebijakan-kebijakan yang dapat mereka dukung atas dasar alasan-alasan-sekuler. Meskipun warga-negara-ini mungkin memiliki alasan-alasan-agama yang mendukung sebuah hukum atau kebijakan, ketika terlibat dalam debat-politik, mereka akhirnya harus "menerjemahkan" alasan-alasan-agama-ini ke dalam istilah-istilah yang dapat diterima oleh orang-yang-tidak-beriman. Habermas bersimpati pada visi demokrasi-liberal yang menjiwai pandangan ini mengenai bagaimana warga-negara-beragama harus bertindak. Bahkan, ia mengkritik para pemikir seperti Wolterstorff yang bersikeras bahwa warga-negara-beragama harus diizinkan untuk berupaya mendasarkan hukum-yang-bersifat-memaksa kepada nilai-nilai-partikular dan konsepsi tentang yang baik yang dimiliki mereka. Namun demikian, ia merasa bahwa menempatkan beban "penerjemahan" hanya kepada warga-negara-yang-relijius-saja agak salah arah. Pendekatan semacam itu meremehkan pentingnya eksistensial-etis dari agama dalam kehidupan sebagian orang --terutama jika itu terikat kepada struktur-struktur dunia-kehidupan dan identitas mereka. Sebagai alternatif, Habermas mengusulkan baik warga-negara beragama maupun non-agama keduanya diizinkan untuk mengajukan alasan-alasan-apapun untuk mendukung atau menentang kebijakan di tingkat ruang-publik-informal yang tersedia, mereka saling memberi dan menerima pendapat satu sama lain dengan serius dan tidak mengabaikan mereka dari perdebatan. Tetapi ketika sampai pada lembaga-lembaga ruang-publik-formal yang menyangkut pembuatan-hukum-bersifat-memaksa, justifikasi seharusnya hanya didasarkan pada alasan-alasan yang dapat diterima semua orang.

Bagaimanapun pandangan di atas tidak memuaskan untuk beberapa alasan : ia hanya memindahkan beban asimetris "perjemahan" naik-satu-tingkat, hal itu mungkin bergerak menuju yang berkaitan dengan sebuah metafora perpecahan-identitas, dan itu bahkan bisa membebani warga-non-agama dengan beban-beban yang jauh lebih-berat (Yates 2007 , Lafont 2009). Untuk tujuan-tujuan sekarang, pembacaan yang paling bermanfaat adalah Habermas menganggap semua warga-negara-demokratis memiliki sebuah kewajiban untuk mengadopsi perilaku refleksi-diri yang menyeluruh. Warga-negara-yang-relijius harus memodernisasi-diri karena mereka diharapkan terbuka terhadap hal-hal seperti otoritas-ilmu-pengetahuan, kebutuhan akan alasan-alasan-non-agama yang mendukung hukum-yang-bersifat-memaksa, dan kemungkinan validitas dari pendapat-pendapat yang dibuat oleh agama-agama-lain. Tetapi, ini juga berarti warga-negara-non-agama harus bergerak melampaui sebuah pemahaman-dogmatis-sekuler yang berpendirian adalah tidak-mungkin bagi pendapat-pendapat-agama untuk memiliki nilai kognitif apapun. Bahkan, beberapa gagasan moral dasar yang ada -seperti martabat manusia yang setara- telah terkait erat dengan sejarah agama-agama-dunia, Habermas berpendapat bahwa tidak selalu jelas di mana batas-batas agama-dan-sekuler. Menentukan batas-batas ini ( dan apa yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai penerimaan-publik ) pada suatu-titik bisa menjadi sebah tugas-kooperatif dimana masing-masing pihak mengambil/menerima pendapat pihak lain dengan tingkat-keseriusan tertentu. (2006b, 45 dan 2003b, 109).

Penafsiran kembali Habermas kepada kedaulatan-rakyat juga menjelaskan mengapa ia mengadopsi teori patriotisme-konstitusional yang dipelopori oleh Dolf Sternberger. Berbeda dengan identitas-nasional di masa lalu, patriotisme-konstitusional menyatakan bahwa komunitas-politik-modern dapat mendasarkan identitas-kolektif mereka disekitar cara-cara-unik mereka menyesuaikan dan menanamkan prinsip-prinsip penentuan-diri-secara-demokratis yang universal-dan-abstrak ke dalam sejarah-dan-tradisi-unik mereka. Pada model semacam itu, persekutuan-politik dapat menyatu di sekitar "penandaan khusus ... universalisitas makna dari [prinsip-prinsip seperti] kedaulatan-rakyat dan hak-asasi-manusia" (BFN 500; L'i 308; BNR 106). Penanda-khusus ini mungkin akan mencakup cara di mana komunitas mengambil sistem-hak-yang-abstrak, model-proses, dan legitimasi-demokratis. Pendapatnya adalah bahwa cara-spesifik sebuah komunitas-politik menciptakan-salinan "prosedur-dan-prinsip abstrak" dari negara demokrasi modern mendorong perkembangan "budaya-politik-liberal" yang "mengkristal" di sekitar tradisi konstitusional-negara itu, struktur, dan forum-diskursif (IO). 118; DW 78). Kekuatan-integratif yang muncul melawan latar-belakang ini disebut solidaritas-sipil, yang dikarakteristikan Habermas sebagai “solidaritas yang dimediasi secara abstrak berdasar hukum di antara warga- negara… sebuah bentuk solidaritas-politik di antara orang-orang yang tidak saling mengenal” (DW 79; BNR 22). Ini pada dasarnya adalah potensi-integratif berwarganegara-secara-demokratis ketika itu digunakan secara aktif.

Salah satu asumsi di sini adalah bahwa " budaya dan politik nasional telah menjadi ... terdiferensiasi " antara satu sama lain; Para warga dapat melihat diri mereka sebagai bagian dari sebuah budaya-politik-bersama tepatnya karena mereka tidak lagi memandan negara sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan sebuah bangsa pra-politik yang homogen. Meskipun ini jauh dari kenyataan empiris di banyak bagian dunia, Habermas melihat Uni-Eropa sebagai ilustrasi dalam hal ini. Bahkan dalam konteks, Uni-Eropa pernah dicirikan oleh identitas-identitas-nasional yang kuat (dimana peluang bagi identitas-identitas semacam itu mungkin tampak lebih-ramping daripada dalam konteks yang lebih multikultural) kita dapat mulai melihat bagaimana "sebuah budaya-politik-umum dapat membedakan dirinya menjauh dari berbagai budaya-nasional" dan bagaimana "identifikasi-identifikasi dengan bentuk-bentuk kehidupan dan tradisi-tradisi yang dimiliki seseotang [bisa] dilapis dengan sebuah patriotisme yang telah menjadi lebih abstrak, yang sekarang berhubungan ... dengan prosedur-prosedur dan prinsip-prinsip yang abstrak" (NC 261; BFN 507, 465; IO 118; BNR 327 ; DW 78).

Akhirnya, Habermas melihat patriotisme-konstitusional sebagai sumber-daya-normatif yang dapat membantu memperluas solidaritas-sipil melintasi batas-batas politik dan struktur-struktur hukum yang tidak-saling-cocok dari negara-bangsa sehingga mereka dapat ditingkatkan menjadi lembaga-lembaga hukum-internasional yang baru. Perkembangan-perkembangan semacam itu akan memungkinkan bentuk-bentuk baru pemerintahan-sendiri-yang-demokratis di atas negara-bangsa di tingkat regional dan global (DW 79). Implikasi-implikasi pasca-nasional ini secara alami dihasilkan dari inti-inti komitmen teoritis Habermas. Demokrasi-deliberatif terikat kepada wacana-wacana-yang-terlembagakan yang melalui beberapa cara memungkinkan hukum untuk diabsahkan kepada orang-orang yang kena-pengaruh atau menjadi subjek hukum itu. Dengan meningkatnya interdependensi-global yang ada jelas mendorong ke arah kosmopolitan. Namun, pada saat yang sama, penting untuk mengingat bahwa kekuatan-komunikatif harus berakar dalam sebuah komunitas yang memiliki sebuah identitas-etis-politik-bersama, dan bahwa patriotisme-konstitusional adalah bersifat parasit pada budaya-politik yang lebih khusus. Keberakaran ini berarti bahwa solidaritas-sipil dan bentuk-bentuk pemerintahan-sendiri yang baru dapat meregang tetapi hanya sejauh ini.

Acuan-pokok kepada kosmopolitanisme ini menghasilkan sebuah konstitusionalisasi hukum internasional multi-tingkat yang menuju kepada suatu ukuran pemerintahan-global tanpa pemerintah. Meskipun penjelasan Habermas terhasap suatu sistem multi-level semacam itu hanyalah sebuah sketsa dan perlu memasukan banyak detail ke dalamnya, batas-garis besarnya adalah jelas. Ia mengusulkan suatu sistem yang terdiri dari lembaga-lembaga politik tingkat supra-nasional (global), trans-nasional (regional), dan nasional dengan peran yang berbeda-beda. Organisasi supra-nasional sejenis dengan PBB yang direformasi diharapkan untuk menjamin perdamaian internasional, keamanan, dan hak asasi manusia. Pada tingkat menengah, otoritas trans-nasional seperti Uni-Eropa akan menangani persoalan-teknis melalui upaya-upaya koordinatif dan persoalan-politik melalui perundingan yang dinegosiasikan di antara rezim-rezim-regional yang cukup representatif. Akhirnya, negara-bangsa akan mempertahankan status mereka sebagai lokus legitimasi-demokratis. Ini akan mensyaratkan penyebaran struktur-struktur-demokrasi ke setiap negara-bangsa sehingga hukum dapat mencerminkan kehendak-komunitas dan agar mereka dapat diandalkan selaras dengan hak-asasi-manusia yang dijamin oleh organisasi supra-nasional.

Pandangan terhadap sebuah sistem-politik multi-level untuk perlembagaan hukum-internasional dapat dikritik sebagai menuntut terlalu-banyak dan terlalu-sedikit. Versi Habermas mengenai demokrasi-deliberatif-kosmopolitan menempatkan standar-penilaian terhadap legitimasi dalam kenyataan bahwa "warga-negara hanyalah subjek terhadap hukum-hukum yang telah mereka tentukan sendiri sesuai dengan prosedur-demokratis" (CEU 14). Dari perspektif hukum-dengan-legitimasi-secara-demokratis ini, sistem yang diusulkan mungkin menuntut terlalu-sedikit. Disamping Habermas sangat menekankan bahwa negosiasi antara rezim-rezim regional dapat terjadi dalam suatu cara yang tidak akan "merusak deliberasi dan inklusi", adalah sulit untuk melihat bagaimana perundingan semacam itu dapat benar-benar membentuk suatu proses di mana warga-negara menentukan hukum-mereka-sendiri melalui prosedur-prosedur-yang-demokratis (CEU 19). Dari perspektif keberakaran dalam budaya-politik, sistem multi-level mungkin juga menuntut terlalu-banyak dengan perluasan solidaritas-sipil ke rezim-rezim-trans-nasional. Habermas jelas berpikir ada batasan untuk perluasan semacam itu, karena "perluasan trans-nasional solidaritas-sipil ... tidak ada artinya ... ketika itu dianggap sebagai sebuah format global". Namun, terlepas dari fakta bahwa negara-negara tetangga dapat diduga memiliki suatu tingkat-minimal sejarah-dan-budaya yang sama, yang terlahir dari kedekatan wilayah dan saling ketergantungan kepentingan, adalah tidak jelas mengapa perluasan-solidaritas ini akan mencapai tingkat yang diperlukan untuk menjamin legitimasi-secara-demokratis terhadap hukum dalam unit-unit pemerintahan daerah trans-nasional (CEU 62).

Meskipun Habermas menyadari dengan pasti akan kritik-kritik ini, sebagian besar ia memusatkan pada pembelaan teori-politik-nya secara luas dan sistematis. Jika garis batas luas normatif itu benar maka keseluruhan teori akan berdiri, terlepas dari bagaimana rincian-rincian empiris dipenuhi. Memang, Habermas agak unik di kalangan para filsuf kontemporer baik dalam pendekatan sistematis untuk bidang besar teori juga kesediaannya untuk memungkinkan orang lain untuk mengisi berbagai detail tentang bagaimana pendapat-pendapat tertentu mungkin dapat berfungsi. Dia selalu menekankan bahwa para filsuf tidak berbicara dari sebuah tempat pengetahuan yang istimewa. Yang terbaik yang bisa mereka harapkan adalah mengartikulasikan sebuah teori yang dapat diuji secara meyakinkan dan ketat dan diperdebatkan di ruang-publik. Kita mungkin dapat memahami bukan hanya teori-politik-nya, tetapi beberapa proyek teoritis lainnya dalam sebuah semangat intelektual publik yang mengajukan sebuah teori untuk pengujian dan perdebatan yang membutuhkan artikulasi lebih lanjut oleh mereka yang datang setelahnya.

Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H5
Pemahaman Pribadi