Dalam
masyarakat-pluralistik pasca-konvensional, selalu lebih sedikit
norma-norma yang dapat diemban/ditampung oleh sebuah
etos-bersama yang menyatu di dalam
etisitas-komunitas atau identitas-kolektif.
Norma-norma-moral dengan sendirinya tidak dapat mengatasi
ketidaksesuaian-itu untuk mencapai
integrasi-dan-kohesi-sosial. Karena
wacana-moral menuntut dan menuju kepada
apa-yang-sama-dalam-kepentingan setiap orang, maka hanya sedikit
norma-norma-moral akan menjadi
absah di seluruh-dunia atau bahkan dalam sebuah masyarakat tertentu.
Dan, seperti yang dicatat
Habermas dalam karyanya
Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), meskipun
sistem-sistem seperti
birokrasi-negara dan ekonomi dapat mencapai stabilitas dan mengkoordinasikan harapan-harapan melalui
uang dan kekuasaan,
sistem-sistem dan birokrasi dapat mengikis
kesepahaman-bersama dan
solidaritas-sosial.
Pasar-pasar dan birokrasi-birokrasi cenderung menggantikan dan menjajah
dunia-kehidupan.
Memang, esai-esai politiknya dari periode ini menuangkan
hukum-yang-tercipta-secara-demokratis sebagai pemegang garis-batas melawan berbagai
perambahan-sistem dalam sebuah
mentalitas-pengepungan (BFN 486-89, Habermas 1992b 444). Ini meninggalkan pertanyaan kepada kita : Apa
sumber-kekuatan-lain yang ada untuk mencapai
integrasi-sosial-yang-memiliki-legitimasi ?
Melalui pernyataan yang paling jelas dari
teori-politik Habermas, dalam karyanya
Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma),
hukum-modern muncul sebagai
sumber-kekuatan yang tepat yang kita cari untuk menjawab pertanyaan di atas. Jika dengan menggunakan cara yang tepat
hukum dikaitkan dengan
struktur-struktur-politik-demokratis, hal itu memberi
anugerah-legitimasi terhadap
norma-norma-hukum, dengan demikian mendorong
integrasi-dan-stabilitas-sosial.
Pembahasan secara luas, hubungan antara
legitimasi-hukum, prosedural-demokratis-kedaulatan-rakyat, dan wacana-publik adalah
kait-mengkait dan refleksif :
hukum-yang-memiliki-legitimasi harus berakar pada
demokrasi, yang dengan sendirinya bergantung pada
ruang-publik-yang-kuat.
Sebuah
ruang-publik-yang-demokratis-dan-dinamis adalah apa yang mengijinkan revisi dan mempertanyakan
hukum-hukum-sebelumnya. Dikonsepsi dengan cara demikian
hukum-modern merupakan
transformator yang mempertahankan
capaian-capaian-normatif dan kesepahaman-bersama yang keluar dari
penentuan-diri-secara-kolektif dari
ruang-publik dengan menerjemahkannya ke dalam
keputusan-keputusan-yang-mengikat-dan-memiliki-legitimasi yang mampu
membalikan-arah melawan logika-logika
negara-dan-pasar.
Selama
keputusan-keputusan hukum dicapai melalui cara
prosedural-diskursif dengan jenis yang tepat, disana terdapat sebuah pra-anggapan yang mendukung
rasionalitas-dan-legitimasi mereka. Dan, sepanjang
ruang-publik terus menjadi sebuah
forum-kontestasi-yang-kuat-dan-terbuka, apapun
keputusan-sebelumnya adalah dapat direvisi sedemikian hingga terdapat sebuah
sirkulasi antara ruang-publik-informal dan lembaga-lembaga-negara-yang-lebih-formal.
Fokus perhatian pada sifat
hukum yang
transformatif dan memediasi ini merevisi
model-hukum-demokratis sebelumnya yaitu
model-pengepungan menjadi sebuah
model-prosedural pintu-air (Habermas 2002, 243).
Sementara
model-pengepungan melihat
hukum yang dihasilkan secara demokratis sebagai sebuah
bendungan-pertahanan atau perisai-perlindungan menghadapi tuntutan-tuntutan dari
sistem-sistem, sebaliknya
model-prosedural pintu-air memandang jenis tertentu
pembuatan-hukum sebagai
memediasi sirkulasi antara dunia-kehidupan dan sistem-sistem melalui suatu cara yang menghasilkan
norma-norma-hukum-yang-mengikat-dan-memiliki-legitimasi.
Hukum-modern bekerja dengan
sistem-sistem dan berdampingan dengan
moralitas-pasca-konvensional untuk menstabilkan
harapan-harapan-sosial dan menyelesaikan konflik-konflik.
Kita dapat mulai memahami hubungan antara
hukum, demokrasi, dan ruang-publik dengan memusatkan perhatian pada
legitimasi dan demokrasi yang sah-menurut-hukum.
Dalam karyanya
Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma), Habermas meletakkan sebuah
tegangan di dalam
hukum itu sendiri, juga sebuah
hubungan-internal antara
hukum-modern dan demokrasi. Agar berfungsi,
semua-hukum harus menuntut kepatuhan, perlakuan-memaksa, dan ( meskipun secara diam-diam ) terikat kepada sebuah
justifikasi-normatif-yang-mendasarinya.
Oleh karena itu
hukum dicirikan oleh sebuah
tegangan antara faktisitas dan validitas sejauh karena keduanya harus dikenali/dipahami sebagai
keampuhan-secara-faktual dan
di-justifikasi-secara-normatif.
Tegangan ini membantu menjelaskan hubungan antara
hukum dan demokrasi dalam konteks kontemporer.
Hukum pra-modern terikat kepada Tuhan, alam, akal-manusia, atau budaya-bersama untuk dukungan keabsahannya. Dalam masyarakat
pasca-konvensional, fakta bahwa
hukum dapat memaksa dan dapat berubah namun berakar pada manusia yang bisa saja melakukan kesalahan diungkap.
Bagi
Habermas,
justifikasi-normatif-yang-mendasari sekarang hanya dapat dipahami sebagai : "
sebuah cara-pembuatan-hukum yang melahirkan legitimasi".
Makna pemikiran itu adalah bahwa
demokrasi merupakan
satu-satunya cara-pembuatan-hukum yang harus mengangkat kewajiban-melahirkan-legitimasi ini. Dengan menyoroti hubungan-hubungan ini, adalah bermanfaat demi tujuan-tujuan saat ini untuk memusatkan perhatian kepada
“pembahasan/perdebatan yang berakhir dalam pembuatan keputusan legislatif" daripada memeriksa
legitimasi-politik dan legitimasi-hukum secara terpisah (BFN 171; Bohman dan Rehg 1999, 36).
Demokrasi di dalam pikiran
Habermas adalah berbeda dari variasi demokrasi yang terlalu populis. Dia jelas dalam hal bahwa
legitimasi yang mendukung pembuatan-hukum harus merupakan kesatuan dari dua-sisi :
hukum tidak boleh hanya mengekspresikan
kehendak-demokratis dari komunitas tetapi juga harus
"diharmonisasikan secara non-subordinat" dengan moralitas (BFN 99, 106).
Kesesuaian yang
non-subordinat antara legalitas dan wacana-teoritis-moralitas adalah pengertian yang paling sulit tentang
legitimasi untuk dijelaskan dan yang paling mudah diabaikan, sehingga sangat bermanfaat untuk mulai uraian dari sana.
Bagi
Habermas, dalam masyarakat-masyarakat pasca-konvensional
"aturan-aturan hukum dan moral ... muncul berdampingan sebagai dua jenis-norma-tindakan yang berbeda namun saling melengkapi".
Dalam rangka untuk menjelaskan
"gagasan pembuatan-hukum-sendiri oleh warga-negara" kita harus menghindari suatu
"subordinasi hukum terhadap moralitas" sesuai dengan
teori-hukum-kodrat-klasik (BFN 105-6, 120; IO 257). Namun tampaknya memusingkan untuk memegang pendapat bahwa
hukum-yang-ditentukan-secara-demokratis harus kompatibel dengan wacana-teoritis-moralitas tetapi bukan-merupakan-subordinat darinya.
Bagaimana dengan kasus-kasus di mana
hukum dan moralitas tampak bertentangan ?
Ada beberapa jawaban yang menyoroti fitur-fitur unik dalam teori
Habermas. Pada sebuah tingkatan umum, jawaban-jawaban ini mengambil bentuk yang sama : meski ada banyak cara bagaimana
sistem-sistem-hukum dapat dimasukan ke dalam
kebolehan-moral, namun demikian disana tetap ada ciri-ciri struktural dan konseptual yang endogen terhadap
proses-proses di dalam prosedural-demokratis-kedaulatan-rakyat yang modern, setidaknya pada sebuah tingkat-abstrak, cenderung menyelaraskan
norma-norma-hukum dengan kebolehan-moral. Ini menghindari kekhawatiran akan
moralitas mengusir legalitas secara eksogen.
Satu alasan untuk mengharapkan bahwa
hukum-yang-memiliki-legitimasi-demokratis dan kebolehan-moral akan memiliki setidaknya kesamaan prinsip umum adalah
keduanya berakar pada prinsip-wacana.
Kita telah melihat di atas bagaimana
prinsip-universalisasi-moral menyatakan suatu cara bagaimana
prinsip-wacana ditetapkan untuk
wacana-wacana-moral.
Habermas juga mengajukan sebuah
prinsip-legitimasi-demokratis yang menyatakan bagaimana
prinsip-wacana ditetapkan untuk
wacana-wacana-politik yang menghasilkan hukum.
Prinsip ini berakar pada
prinsip-wacana dalam
kebajikan dari hukum-formal (apa yang disebut
Habermas sebagai
virtue of legal-form).
Ketika
prinsip-wacana ditempatkan dalam
wacana-wacana yang bertujuan menghasilkan
norma-norma-hukum untuk mengatur kehidupan umum bersama, hal itu dipahami bahwa
norma-norma ini akan diselubungi di dalam
hukum-formal : sejumlah sifat formal dan fungsional yang mencirikan
hukum-positif-modern.
Hukum-positif-modern diberlakukan dan secara konvensional, dapat ditegakkan dan dipaksakan, yang berakar di dalam lembaga-lembaga dengan beberapa refleksivitas, penyesuaian untuk melindungi individu-individu melalui hak, dan terbatas dalam ruang-lingkup. Jika
hukum difungsikan sebagai sebuah alat untuk regulasi-konsensual terhadap konflik-konflik sosial dan integrasi masyarakat, maka harus mengambil bentuk ini.
Prinsip-legitimasi-demokratis adalah bagian dari
dukungan-normatif yang seharusnya muncul, meskipun secara garis-besar dan sangat bersifat-abstrak, dari interpenetrasi historis
prinsip-wacana dan
hukum-formal yang telah mencapai puncaknya dalam struktur-struktur
negara-demokratis-modern. Legitimasi-demokratis berpendapat,
"hanya undang-undang yang mampu mengklaim-legitimasi yang dapat memenuhi persetujuan semua warga-negara dalam suatu proses-diskursif pembuatan-hukum (legislasi) yang selanjutnya terorganisir menurut hukum" (BFN 110; seringkali diterjemahkan sebagai terorganisir).
Prinsip ini menangkap bagaimana
prinsip-wacana ditetapkan untuk
wacana-wacana-politik sehingga
prosedur-prosedur demokratis mendukung legitimasi pada norma-norma-hukum.
Legitimasi tidak muncul dari
legalitas-formal semata, ia membutuhkan tambahan
dukungan-normatif dari demokrasi.
Gagasan tentang
legitimasi-demokratis adalah bahwa kepatuhan terhadap
hukum harus
rasional dan berakar pada
hukum-hukum yang menyerap
legitimasi. Untuk mencapai hal ini,
wacana-wacana-politik harus disusun dengan suatu cara di mana lembaga-lembaga
legislatif-formal secara akurat merepresentasikan dan ditujukan membahas apa yang sedang terjadi di
ruang-publik-informal, dan dimana di sana terdapat mekanisme-mekanisme prosedural yang terlembagakan yang diselenggarakan dengan cara membantu menyaring argumen-argumen yang lemah (BFN 340) . Rincian struktur ini akan dijelaskan di bawah ini, terutama dalam kaitannya dengan
model-proses dan hubungan antara demokrasi dan ruang-publik.
Bagaimanapun, fakta bahwa
prinsip-universalisasi dan
prinsip-legitimasi-demokratis adalah berakar pada
prinsip-wacana tidak banyak menjamin kepastian kesamaan-umum antara
hukum dan wacana-teoritis-moralitas. Beruntunglah, ada sejumlah alasan tambahan mengapa kita dapat mengharapkan semacam
harmonisasi antara keduanya.
Habermas berpikir kombinasi
prinsip-wacana dan hukum-formal dalam
legitimasi-demokratis juga memasok
sumber-kekuatan kepada kita untuk memahami bagian-inti konseptual dari sebuah
sistem-hak-yang-abstrak yang akan ditorehkan dalam
struktur-struktur-inti dari setiap
penentuan-diri yang memiliki legitimasi sebuah komunitas-politik. Argumen dasarnya adalah bahwa agar
prinsip-legitimasi-demokratis dapat direalisasikan harus mengacu kepada sebuah
komunitas-konkret yang terikat dalam
penentuan-diri melalui hukum-modern. Dalam komunitas-komunitas semacam itu,
hukum yang setara terhadap setiap individu mengambil peran sebagai sebuah
topeng-pelindung, sebuah
identitas-formal yang ditentukan terutama oleh
hak-hak bukan kewajiban, yang mengkristal di sekitar moral individual seseorang (BFN 531, 112).
Identitas-hukum ini dibangun oleh suatu
inti-hak yang menjamin kepastian
status dan otonomi-pribadi setiap individu sedemikian rupa hingga mereka tidak hanya dapat menjalani
kehidupan-individual tetapi juga membahas dengan jujur (dengan pijakan yang sama, bebas dari paksaan, dan seterusnya) mengenai ketentuan-ketentuan kehidupan umum bersama. Namun,
hak-hak-individual ini tidak dapat efektif kecuali mereka mengandaikan
hak-hak-lain untuk partisipasi dan penyediaan materi-dasar yaitu
hak-hak yang menjamin kepastian
otonomi-publik. Pendapat
Habermas adalah bahwa manifestasi-manifestasi
hukum dari
otonomi-privat dan otonomi-publik, seringkali diekspresikan dalam idiom-idiom
hak-asasi-manusia dan kedaulatan-rakyat, saling mengandaikan satu sama lain. Apa hasilnya adalah merupakan s
istem-hak-yang-abstrak yang terdiri dari
lima jenis-inti. Apa saja
jenis-inti-hak ini ?
Pertama, untuk saling melibatkan secara diskursif satu dengan yang lain, masyarakat perlu jaminan yang
masuk-akal. Oleh karena itu, dibutuhkan
hak-hak yang menjamin
status-individual setiap orang. Tiga
jenis-hak secara bersama-sama mencapai perlindungan tersebut :
(i. ) Hak atas kebebasan yang sama, yang kompatibel dengan yang dimiliki orang lain
(ii. ) Hak atas keanggotaan yang menentukan perkembangan komunitas
(iii.) Hak atas proses hukum yang menjamin setiap orang untuk diperlakukan sama dan sama-sama dilindungi oleh hukum.
Hak-hak di atas menjamin
otonomi-private individual yang diutamakan oleh
liberalisme-klasik. Tetapi komunitas apapun yang terikat dalam
penentuan-diri-secara-demokratis juga harus menjaga kemampuan menggunakan kebebasan secara aktif yang diberikan oleh
jaminan-status ini untuk membahas, bersepakat, tidak-sepakat, dan menuju
kesepahaman-bersama dalam persetujuan-bersama dengan orang lain.
Agar
hak-hak individual digunakan secara efektif dibutuhkan
(iv.) Hak-hak komunikasi dan partisipasi-politik yang secara formal menjamin kesempatan dan akses yang sama kepada proses-politik.
Hak-hak di atas menjamin
otonomi-publik-kolektif yang diutamakan oleh
republikanisme-klasik. Hak-hak ini memungkinkan terjadi
wacana-wacana dalam ruang-publik serta akses yang sama ke berbagai saluran pendapat dan pengaruh politik. Hak-hak ini memungkinkan terciptanya
kedaulatan-rakyat-yang-demokratis dengan memastikan semua orang dapat berpartisipasi secara adil dan setara, dan bahwa informasi, ide-ide-inovatif dan argumen-argumen bagaimana membangun kehidupan bersama dijaga tetap bebas beredar dan diuji. Pada akhirnya,
empat-jenis-hak di atas tidak mencukupi jika
kebutuhan-dasar terancam atau tidak dipenuhi. Jaminan-jaminan formal terhadap kebebasan dan partisipasi hanya sedikit berarti jika mereka menyamakan kebebasan dengan kelaparan.
Jadi, sebagai langkah terakhir,
Habermas mengusulkan beberapa ukuran terhadap
(v.) Hak-hak sosial, teknologi, dan ekologi yang menjamin sebuah kondisi-kondisi dasar kehidupan minimum yang layak.
Negara-negara demokratis yang sering melakukan kinerja buruk sepenuhnya menyadari hak-hak ini, tetapi klaimnya hanyalah bahwa
jenis-jenis-hak-umum ini secara konseptual adalah diperlukan jika
penentuan-diri secara demokratis melalui hukum adalah untuk mencapai
dualisme-pengertian-legitimasi yang disebutkan di atas. Dalam semangat penjelasan yang sama, penting juga untuk dicatat bahwa
sistem-hak-yang-abstrak hanya melakukan identifikasi
jenis-jenis-hak tertentu, bukan sejumlah daftar
hak-konkret. Masyarakat memiliki garis interpretif yang sangat luas mengenai ruang-lingkup kebebasan ketika menyangkut bagaimana
hak-hak ini muncul.
Habermas sering menunjuk pada
hak-hak itu sebagai
“tempat-penampungan yang tidak-jenuh”, sebagian besar tergantung pada komunitas untuk
"mengisi" kandungannya.
Harapan kepada sebuah
harmonisasi yang non-hierarkis antara moralitas dan legalitas, sekarang mungkin tampak sedikit kurang membingungkan. Idealnya,
wacana-wacana pembuatan-hukum mendekati
prinsip-legitimasi-demokratis daripada kepada
latar-belakang sebuah
sistem-abstrak-hak yang tertulis pada
struktur-struktur-politik dalam suatu
komunitas-demokratis. Ini menempatkan sejumlah batasan yang luas tentang bagaimana kesepakatan-kesepakatan dibeberkan dan jenis norma-norma yang dapat dihasilkan. Selain itu, terlepas dari batasan latar-belakang struktural ini,
wacana-wacana-politik dengan sendirinya juga unik. Berbeda jauh dengan
wacana-wacana-moral yang dipusatkan pada
kepentingan-bagi-semua atau
wacana-wacana-etis yang berfokus pada
realisasi-diri-yang-otentik,
wacana-wacana-politik yang ditujukan untuk
penentuan-diri melalui acuan hukum sejumlah besar masalah yang berbeda, dan melakukannya dengan cara yang terstruktur secara internal yang ditujukan untuk mengukir ruang (didefinisikan oleh hak) di mana
kepribadian-moral dan otentisitas-etis dapat berkembang (BFN 531).
Sementara pembahasan/diskusi tentang
"pertanyaan-pertanyaan politik biasanya begitu kompleks sehingga memerlukan perlakuan/pemeriksaan secara simultan terhadap aspek-aspek pragmatis, etis, dan moral", persoalan-persoalan itu idealnya dibedah mengikuti sebuah
model-proses dimana terdapat sebuah
strukturyang bergantian antara perhatian-perhatian secara
pragmatis, etis, dan moral serta perundingan yang diatur secara prosedural. Ide dasarnya adalah bahwa untuk kesimpulan kebijakan-sementara apapun terdapat sebuah kewajiban untuk memberi tanggapan terhadap keberatan yang muncul dari aspek-aspek yang lebih abstrak dari suatu masalah atau
berbagai-tingkatan-wacana,
proses-proses-diskursif tidak dapat dibatasi dengan sewenang-wenang. Misalnya,
para-peserta dalam sebuah
wacana mengenai kebijakan-imigrasi tidak dapat hanya melakukan konsultasi berkaitan dengan masalah etika sesuai identitas-asli komunitas mereka tetapi menolak untuk mendengarkan
wacana-wacana-moral yang bersumber pada kebijakan-kebijakan semacam itu. Aspek-aspek
moral apapun harus dibahas secara eksplisit, dan mereka menyaring atau memeriksa aspek-aspek persoalan dan wacana yang lebih partikularistik ( lihat BFN 169 dan perubahan pada 565 tentang apakah akan merujuk pada interaksi terstruktur sebagai antara wacana atau aspek dari sebuah kasus ).
Sistem-hak-yang-abstrak dan
model-proses berarti bahwa, dalam
diskusi-diskusi politik mengenai bagaimana membangun kehidupan umum bersama, pada prinsipnya akan selalu dimungkinkan bagi
wacana-wacana-moral yang lebih abstrak untuk memeriksa secara lemah terhadap
wacana-wacana pragmatis dan etika-politik. Dan, pemeriksaan ini akan membangun dari dalam
penentuan-diri-yang-demokratis.
Sejauh ini fokus perhatiannya adalah pada hubungan antara
hukum dan demokrasi tanpa banyak mengacu kepada
ruang-publik. Meskipun demikian, adalah sulit untuk menekankan lebih-keras betapa pentingnya
Habermas meletakan
diskusi-demokratis yang berakar pada
ruang-publik. Tidak satupun dari mekanisme-mekanisme formal atau struktural yang telah disebutkan sejauh ini menjamin bahwa
wacana-wacana-politik-publik atau berbagai hukum ditetapkan dengan sebuah cara tertentu. Tidak ada jaminan bahwa hanya
sistem-hak-yang-abstrak atau legitimasi-demokratis akan direalisasikan dengan penuh arti, juga tidak ada jaminan bahwa pergantian berbagai jenis perhatian terhadap
wacana-wacana-politik akan terungkap sesuai dengan
model-proses. Semuanya tergantung pada kualitas dan penataan kelembagaan diskusi/perdebatan di
ruang-publik. Bahkan, alasan utama mengapa
demokrasi memberi anugerah legitimasi kepada hasil-hasil-legislatif adalah bahwa hal itu berakar pada sebuah
model kedaulatan-rakyat-prosedural yang berbeda, yang secara bersamaan mengekspresikan kehendak masyarakat dan yang mengarah pada hasil yang lebih rasional. Suatu analisis tentang cara khusus dimana
demokrasi dan ruang-publik dikaitkan dengan
model yang diajukan Habermas adalah cara terbaik untuk memahami bagaimana
cara pembuatan-hukum-yang-demokratis mendukung
legitimasi-norma-norma-hukum.
Dalam karyanya
Between Facts and Norms (Antara Fakta-Fakta dan Norma-Norma), Habermas mengusulkan sebuah
model dua-jalur politik-demokratis yang menentukan batas sebuah sirkulasi dari
kekuasaan-politik yang melahirkan
legitimasi. Ia membagi
ruang-publik-politik menjadi
bagian informal dan formal.
Ruang-publik-informal mencakup semua berbagai macam asosiasi-asosiasi sukarela masyarakat sipil seperti organisasi-organisasi keagamaan dan amal, asosiasi-asosiasi politis, media, dan kelompok-kelompok advokasi kepentingan umum dengan semua varietasnya. Dalam
ruang-publik ini, diskusi-politis adalah bebas dan tidak terorganisir. Melalui
benturan-terbuka berbagai pandangan dan argumen ini, individu-individu dan kelompok-kelompok dapat membujuk dan dibujuk, sehingga berkontribusi pada munculnya
opini-publik yang dipertimbangkan sunguh-sungguh. Sebaliknya,
ruang-publik-formal adalah termasuk forum-forum wacana dan diskusi yang terlembagakan seperti kongres, parlemen, dan peradilan serta badan administratif dan birokrasi periferal yang lebih terkait dengan
struktur-negara.
Ruang-publik-formal ini seharusnya diatur sedemikian rupa sehingga membuat keputusan yang mencerminkan pendapat-pendapat publik yang telah dipertimbangkan dari
ruang-publik-informal. Badan-badan
pengambilan-keputusan yang terlembagakan secara formal harus bisa menyerap hasil-hasil keluaran
ruang-publik-informal.
Ruang-publik-informal adalah forum kunci untuk membangkitan sejenis
kekuatan-normatif yang dapat mengintegrasikan masyarakat melalui
kesepahaman-bersama dan solidaritas daripada melalui
kekuatan uang atau kekuasaan administratif-birokrasi. Ketika
para-peserta-wacana di
ruang-publik-informal secara bebas mencapai
kesepahaman-bersama mengenai bagaimana mengatur hal-hal tentang berbagi kehidupan bersama maka
kekuatan-komunikatif muncul (Flynn 2004 membahas lokus kekuatan komunikatif yang tepat).
Kekuatan-komunikatif muncul dari harapan-harapan terciptanya
norma yang didasarkan secara kognitif pada kekuatan alasan-alasan yang lebih baik dan didasarkan secara motivasi (meskipun lemah) kepada
pengakuan-timbal-balik dan wacana-wacana-etika-secara-kolektif. Pembicaraan secara kognitif, komunikasi yang bebas di
ruang-publik dapat menumbuhkan
opini-rasional dan pembentukan-kehendak karena
"pemrosesan yang bebas terhadap informasi dan alasan-alasan, dari topik-topik dan kontribusi-kontribusi yang relevan dimaksudkan untuk mendasarkan praanggapan yang hasil-hasilnya dicapai sesuai dengan prosedur-diskursif yang benar adalah rasional”. Penerimaan ini juga menyediakan motivasi yang lemah : dalam menerima sebuah
klaim-validitas-norma, seseorang menerima
latar-belakang berbagai pemahaman dan alasan yang mendasarinya, yang dapat memotivasi keadaan yang relevan. Selain itu, karena
kesepahaman-bersama dianggap dicapai melalui
wacana-persuasif di mana perbedaan pendapat adalah (dan selalu) sebuah kemungkinan nyata,
penerimaan-norma juga dapat mendorong dalam semangat pemberdayaan
anti-paternalistik : pihak-pihak saling mengakui satu sama lain sebagai bertanggung jawab atas tindakan mereka selaras dengan suatu
norma sampai alasan-alasan baru ditemukan. Meskipun mereka mungkin sadar akan
kecenderungan-kecenderungan-menentang dan motif yang tidak didukung oleh alasan yang baik, mereka saling menerima untuk menjadi pelaku-pelaku yang kompeten dan bertanggung jawab yang mampu memutuskan untuk bertindak berdasarkan
norma yang didukung secara rasional (Günther 1998). Namun, karena motivasi yang menyertai
pandangan-kognitif adalah rapuh dan lemah,
kekuatan-komunikatif juga harus berakar dalam komunitas dengan sebuah
identitas-etik-politik dan
hukum-yang-memiliki-legitimasi bersama sehingga
defisit-motivasi dapat ditutupi dengan
sumber-kekuatan tambahan dari sebuah
kehidupan dan hukum bersama.
Kekuatan-komunikatif hanya bisa muncul jika
ruang-publik-informal memiliki karakteristik tertentu. Pertama dan terutama, ia harus relatif bebas dari distorsi, pemaksaan, dan tekanan-tekanan pembungkaman sosial sehingga komunikasi dapat berfungsi sebagai sebuah saringan untuk mendorong pembentukan kehendak individu dan kolektif yang lebih rasional.
Ruang-publik juga perlu berfungsi secara akurat sebagai sebuah
konteks-pencarian didalamnya masalah-masalah yang mempengaruhi segmen-segmen besar masyarakat diidentifikasi dan diangkat untuk diskusi dan resolusi melalui
wacana. Selain itu, masyarakat sipil harus digerakkan/dihidupkan oleh sebuah
budaya-politik sehingga para-anggota aktif berpartisipasi dalam
asosiasi-asosiasi-sukarela dan
wacana-publik tentang ketentuan kehidupan umum bersama. Potensi-potensi
kekuatan-normatif tidak dapat dibangkitkan jika sebagian besar anggota menarik-diri kepada masalah pribadi atau suatu masyarakat tersegmentasi dan terbagi secara internal dengan kepentingan-kepentingan khusus (Flynn (2004) 439-444; Bohman dan Rehg (1999, 41-42). Jelas, jika
ruang-publik tetap terjaga sehat maka peran media dalam membina informasi yang akurat dan komunikasi massa yang tepat waktu juga akan menjadi sangat penting (EFP, 138-183).
Lembaga-lembaga politik
ruang-publik-formal diatur sedemikian rupa sehingga menjadi penyerap terhadap masukan-masukan dari
ranah-publik-informal, untuk menyaring dan memfokuskan lebih jauh
opini-publik, dan untuk membuat keputusan-keputusan. Dibangun berdasar karya
Bernhard Peters, Habermas mempertahankan pendapat bahwa
demokrasi-konstitusional-modern dibentuk sehingga
komunikasi dan pengambilan-keputusan mengalir dari
pinggiran-ruang-publik-informal menuju
pusat yang ditersusun oleh
lembaga-lembaga politik formal yang menciptakan, menegakkan, menjelaskan, atau menerapkan
hukum. Dalam sebuah
rezim-demokratis yang berfungsi baik akan terdapat
"sluices" atau "pintu-air-struktural" yang tertanam di dalam lembaga-lembaga administrasi negara (legislatif, yudisial, dan sebagainya) sehingga aliran-sirkulasi kekuasaan berjalan pada arah yang benar, yaitu
dari pinggiran ke pusat.
Pemikirannya adalah bahwa
komunitas-politik harus
memprogram dan mengarahkan kerumitan administratif lembaga-lembaga, bukan sebaliknya. Jika negara atau aktor-aktor kuat lainnya membalikkan arah aliran ini hanya dengan menjalankan
hukum-hukum atau peraturan-baru dan menuntut kepatuhan atau memaksa dengan cara lain, maka penerapan
kekuasaan birokrasi-administratif-non-komunikatif ini tidak-akan memiliki
legitimasi dan tidak-akan
stabil.
Habermas berpendapat
"kapasitas integratif dari keberwarganegaraan yang demokratis" mengikis sampai tingkat dimana sirkulasi
kekuasaan-politik terganggu atau berbalik-arah. Hanya
kekuatan-komunikatif yang memiliki
kekuatan-legitimasi yang dibutuhkan sehingga suatu komunitas dapat menjadi pencipta dan secara rasional mematuhi
hukum.
Pembuatan-hukum-yang-demokratis adalah
lembaga-kunci yang
"mewakili... media untuk mengubah kekuatan-komunikatif menjadi kekuatan-administratif" sambil mempertahankan/menjaga
potensi-potensi-normatif-nya.
Hukum yang dibuat secara demokratis memastikan
potensi-potensi-kekuatan-normatif mengalir ke arah yang benar dan dijaga ketika dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga administrasi negara.
Penjelasam tentang
prosedural-demokratis penentuan-diri-secara-kolektif ini tidak boleh dicampuraduk dengan
penentuan-diri-tradisional nasional.
Habermas menolak
model penentuan-diri-secara-kolektif kedaulatan-rakyat yang mengandaikan suatu bangsa atau orang-orang dengan
identitas dan kepentingan yang homogen, begitu juga
model-model di mana suatu
jaringan-asosiasi-asosiasi berdiri untuk
diri-kolektif yang imajiner. (BFN 185, 486). Sebaliknya, dalam
demokrasi-konstitusional-modern "gagasan kedaulatan-rakyat adalah... dikurangi substansi-nya [dan]... bahkan tidak diwujudkan dalam kepala para anggota asosiasi." Kedaulatan-rakyat "dijumpai dalam bentuk-bentuk komunikasi tanpa subjek yang mengatur aliran pembentukan opini-opini diskursif-dan-kehendak sedemikian rupa sehingga hasil-keluaran mereka yang dapat-salah memiliki asumsi rasio-praktis di pihak mereka (BFN 486). Sejauh kita dapat berbicara mengenai
kehendak-suatu-komunitas, itu adalah sebuah
opini-publik tanpa nama dan tanpa subjek yang muncul dari
struktur-komunikasi-diskursif itu sendiri (BFN 136, 171, 184-186, 299, 301). Penafsiran unik
kedaulatan-rakyat ini membantu menjelaskan beberapa aspek akhir dari teori-politik
Habermas yaitu pandangan-pandangannya terhadap agama dan ruang-publik, patriotisme-konstitusional-nya, dan visi-nya tentang politik yang melampaui negara-bangsa.
Dalam tulisan-tulisan awal,
Habermas berpendapat bahwa ketika
rasionalitas dan pluralisme cita-cita pencerahan perlahan-lahan dipegang kokoh dalam masyarakat-modern, maka penjelasan-penjelasan
mitos dari agama akan menjadi kurang penting. Namun,
Habermas perlahan-lahan merevisi pandangannya terhadap
agama dalam masyarakat-modern. Pada saat ini, cara dia melihat
agama yang sesuai dengan
ruang-publik demokrasi liberal adalah hal yang penting. Dalam
demokrasi-liberal, populisme yang tak terkendali dipegang dalam kontrol tidak hanya oleh
hak-hak-individu tetapi juga
sifat-sifat debat-publik :
penentuan-diri-kolektif warga-negara dilaksanakan melalui
persuasi dan argumentasi rasional. Untuk melakukan hal ini di tengah-tengah pluralisme-modernitas,
hukum-hukum yang dibuat mereka harus didasarkan pada
alasan-alasan-publik yang dapat diakses oleh semua-orang. Pertanyaannya adalah apa artinya ini bagi
warga-yang-beragama ?.
Sudah ada berbagai variasi jawaban terhadap pertanyaan di atas. Misalnya, dalam
Liberalisme-Politik, John Rawls memegang pendapat bahwa
warga-negara-demokratis-liberal pada akhirnya hanya akan mendukung kebijakan-kebijakan yang dapat mereka dukung atas dasar
alasan-alasan-sekuler. Meskipun
warga-negara-ini mungkin memiliki
alasan-alasan-agama yang mendukung sebuah
hukum atau kebijakan, ketika terlibat dalam
debat-politik, mereka akhirnya harus
"menerjemahkan" alasan-alasan-agama-ini ke dalam istilah-istilah yang dapat diterima oleh
orang-yang-tidak-beriman.
Habermas bersimpati pada visi
demokrasi-liberal yang menjiwai pandangan ini mengenai bagaimana
warga-negara-beragama harus bertindak. Bahkan, ia mengkritik para pemikir seperti
Wolterstorff yang bersikeras bahwa
warga-negara-beragama harus diizinkan untuk berupaya mendasarkan
hukum-yang-bersifat-memaksa kepada
nilai-nilai-partikular dan konsepsi tentang yang baik yang dimiliki mereka. Namun demikian, ia merasa bahwa menempatkan beban
"penerjemahan" hanya kepada
warga-negara-yang-relijius-saja agak salah arah. Pendekatan semacam itu meremehkan pentingnya
eksistensial-etis dari agama dalam kehidupan sebagian orang --terutama jika itu terikat kepada
struktur-struktur dunia-kehidupan dan identitas mereka. Sebagai alternatif,
Habermas mengusulkan baik
warga-negara beragama maupun non-agama keduanya diizinkan untuk mengajukan
alasan-alasan-apapun untuk mendukung atau menentang kebijakan di tingkat
ruang-publik-informal yang tersedia, mereka saling memberi dan menerima pendapat satu sama lain dengan serius dan tidak mengabaikan mereka dari perdebatan. Tetapi ketika sampai pada lembaga-lembaga
ruang-publik-formal yang menyangkut
pembuatan-hukum-bersifat-memaksa, justifikasi seharusnya hanya didasarkan pada alasan-alasan yang dapat diterima semua orang.
Bagaimanapun pandangan di atas tidak memuaskan untuk beberapa alasan : ia hanya memindahkan beban asimetris
"perjemahan" naik-satu-tingkat, hal itu mungkin bergerak menuju yang berkaitan dengan sebuah metafora
perpecahan-identitas, dan itu bahkan bisa membebani
warga-non-agama dengan beban-beban yang jauh lebih-berat (Yates 2007 , Lafont 2009). Untuk tujuan-tujuan sekarang, pembacaan yang paling bermanfaat adalah
Habermas menganggap semua
warga-negara-demokratis memiliki sebuah kewajiban untuk mengadopsi perilaku
refleksi-diri yang menyeluruh.
Warga-negara-yang-relijius harus
memodernisasi-diri karena mereka diharapkan terbuka terhadap hal-hal seperti
otoritas-ilmu-pengetahuan, kebutuhan akan
alasan-alasan-non-agama yang mendukung
hukum-yang-bersifat-memaksa, dan kemungkinan validitas dari pendapat-pendapat yang dibuat oleh
agama-agama-lain. Tetapi, ini juga berarti
warga-negara-non-agama harus bergerak melampaui sebuah
pemahaman-dogmatis-sekuler yang berpendirian adalah
tidak-mungkin bagi
pendapat-pendapat-agama untuk memiliki nilai kognitif apapun. Bahkan, beberapa gagasan moral dasar yang ada -seperti martabat manusia yang setara- telah terkait erat dengan sejarah
agama-agama-dunia, Habermas berpendapat bahwa tidak selalu jelas di mana
batas-batas agama-dan-sekuler. Menentukan batas-batas ini ( dan apa yang dapat dipertanggungjawabkan sebagai
penerimaan-publik ) pada suatu-titik bisa menjadi sebah
tugas-kooperatif dimana masing-masing pihak mengambil/menerima pendapat pihak lain dengan
tingkat-keseriusan tertentu. (2006b, 45 dan 2003b, 109).
Penafsiran kembali
Habermas kepada
kedaulatan-rakyat juga menjelaskan mengapa ia mengadopsi
teori patriotisme-konstitusional yang dipelopori oleh
Dolf Sternberger. Berbeda dengan
identitas-nasional di masa lalu,
patriotisme-konstitusional menyatakan bahwa
komunitas-politik-modern dapat mendasarkan
identitas-kolektif mereka disekitar
cara-cara-unik mereka menyesuaikan dan menanamkan
prinsip-prinsip penentuan-diri-secara-demokratis yang
universal-dan-abstrak ke dalam
sejarah-dan-tradisi-unik mereka. Pada model semacam itu,
persekutuan-politik dapat menyatu di sekitar
"penandaan khusus ... universalisitas makna dari [prinsip-prinsip seperti] kedaulatan-rakyat dan hak-asasi-manusia" (BFN 500; L'i 308; BNR 106).
Penanda-khusus ini mungkin akan mencakup cara di mana komunitas mengambil
sistem-hak-yang-abstrak, model-proses, dan legitimasi-demokratis. Pendapatnya adalah bahwa cara-spesifik sebuah komunitas-politik menciptakan-salinan
"prosedur-dan-prinsip abstrak" dari negara demokrasi modern mendorong perkembangan
"budaya-politik-liberal" yang
"mengkristal" di sekitar
tradisi konstitusional-negara itu, struktur, dan forum-diskursif (IO). 118; DW 78).
Kekuatan-integratif yang muncul melawan
latar-belakang ini disebut
solidaritas-sipil, yang dikarakteristikan
Habermas sebagai
“solidaritas yang dimediasi secara abstrak berdasar hukum di antara warga- negara… sebuah bentuk solidaritas-politik di antara orang-orang yang tidak saling mengenal” (DW 79; BNR 22). Ini pada dasarnya adalah
potensi-integratif berwarganegara-secara-demokratis ketika itu digunakan secara aktif.
Salah satu asumsi di sini adalah bahwa
" budaya dan politik nasional telah menjadi ... terdiferensiasi " antara satu sama lain; Para warga dapat melihat diri mereka sebagai bagian dari sebuah
budaya-politik-bersama tepatnya karena mereka tidak lagi memandan
negara sebagai sebuah sarana untuk mewujudkan sebuah
bangsa pra-politik yang homogen. Meskipun ini jauh dari kenyataan empiris di banyak bagian dunia,
Habermas melihat
Uni-Eropa sebagai ilustrasi dalam hal ini. Bahkan dalam konteks,
Uni-Eropa pernah dicirikan oleh
identitas-identitas-nasional yang kuat (dimana peluang bagi
identitas-identitas semacam itu mungkin tampak
lebih-ramping daripada dalam konteks yang lebih multikultural) kita dapat mulai melihat bagaimana
"sebuah budaya-politik-umum dapat membedakan dirinya menjauh dari berbagai budaya-nasional" dan bagaimana
"identifikasi-identifikasi dengan bentuk-bentuk kehidupan dan tradisi-tradisi yang dimiliki seseotang [bisa] dilapis dengan sebuah patriotisme yang telah menjadi lebih abstrak, yang sekarang berhubungan ... dengan prosedur-prosedur dan prinsip-prinsip yang abstrak" (NC 261; BFN 507, 465; IO 118; BNR 327 ; DW 78).
Akhirnya,
Habermas melihat
patriotisme-konstitusional sebagai
sumber-daya-normatif yang dapat membantu memperluas
solidaritas-sipil melintasi
batas-batas politik dan struktur-struktur hukum yang tidak-saling-cocok dari
negara-bangsa sehingga mereka dapat ditingkatkan menjadi lembaga-lembaga
hukum-internasional yang baru. Perkembangan-perkembangan semacam itu akan memungkinkan bentuk-bentuk baru
pemerintahan-sendiri-yang-demokratis di atas
negara-bangsa di tingkat regional dan global (DW 79). Implikasi-implikasi
pasca-nasional ini secara alami dihasilkan dari inti-inti komitmen teoritis
Habermas.
Demokrasi-deliberatif terikat kepada
wacana-wacana-yang-terlembagakan yang melalui beberapa cara memungkinkan
hukum untuk diabsahkan kepada orang-orang yang kena-pengaruh atau menjadi subjek hukum itu. Dengan meningkatnya
interdependensi-global yang ada jelas mendorong ke arah
kosmopolitan. Namun, pada saat yang sama, penting untuk mengingat bahwa
kekuatan-komunikatif harus berakar dalam sebuah komunitas yang memiliki sebuah
identitas-etis-politik-bersama, dan bahwa
patriotisme-konstitusional adalah bersifat parasit pada
budaya-politik yang lebih khusus. Keberakaran ini berarti bahwa
solidaritas-sipil dan bentuk-bentuk
pemerintahan-sendiri yang baru dapat meregang tetapi hanya sejauh ini.
Acuan-pokok kepada
kosmopolitanisme ini menghasilkan sebuah
konstitusionalisasi hukum internasional multi-tingkat yang menuju kepada suatu ukuran
pemerintahan-global tanpa pemerintah. Meskipun penjelasan
Habermas terhasap suatu
sistem multi-level semacam itu hanyalah sebuah sketsa dan perlu memasukan banyak detail ke dalamnya, batas-garis besarnya adalah jelas. Ia mengusulkan suatu sistem yang terdiri dari lembaga-lembaga politik tingkat
supra-nasional (global), trans-nasional (regional), dan nasional dengan peran yang berbeda-beda. Organisasi
supra-nasional sejenis dengan
PBB yang direformasi diharapkan untuk menjamin perdamaian internasional, keamanan, dan hak asasi manusia. Pada tingkat menengah,
otoritas trans-nasional seperti
Uni-Eropa akan menangani
persoalan-teknis melalui upaya-upaya koordinatif dan
persoalan-politik melalui perundingan yang dinegosiasikan di antara
rezim-rezim-regional yang cukup representatif. Akhirnya,
negara-bangsa akan mempertahankan status mereka sebagai
lokus legitimasi-demokratis. Ini akan mensyaratkan penyebaran
struktur-struktur-demokrasi ke setiap
negara-bangsa sehingga
hukum dapat mencerminkan
kehendak-komunitas dan agar mereka dapat diandalkan selaras dengan
hak-asasi-manusia yang dijamin oleh organisasi
supra-nasional.
Pandangan terhadap sebuah
sistem-politik multi-level untuk
perlembagaan hukum-internasional dapat dikritik sebagai menuntut
terlalu-banyak dan
terlalu-sedikit. Versi
Habermas mengenai
demokrasi-deliberatif-kosmopolitan menempatkan standar-penilaian terhadap
legitimasi dalam kenyataan bahwa
"warga-negara hanyalah subjek terhadap hukum-hukum yang telah mereka tentukan sendiri sesuai dengan prosedur-demokratis" (CEU 14). Dari perspektif
hukum-dengan-legitimasi-secara-demokratis ini, sistem yang diusulkan mungkin menuntut
terlalu-sedikit. Disamping
Habermas sangat menekankan bahwa negosiasi antara
rezim-rezim regional dapat terjadi dalam suatu cara yang tidak akan
"merusak deliberasi dan inklusi", adalah sulit untuk melihat bagaimana perundingan semacam itu dapat benar-benar membentuk suatu proses di mana
warga-negara menentukan
hukum-mereka-sendiri melalui
prosedur-prosedur-yang-demokratis (CEU 19). Dari perspektif keberakaran dalam
budaya-politik,
sistem multi-level mungkin juga menuntut
terlalu-banyak dengan
perluasan solidaritas-sipil ke
rezim-rezim-trans-nasional.
Habermas jelas berpikir ada batasan untuk
perluasan semacam itu, karena
"perluasan trans-nasional solidaritas-sipil ... tidak ada artinya ... ketika itu dianggap sebagai sebuah format global". Namun, terlepas dari fakta bahwa negara-negara tetangga dapat diduga memiliki suatu tingkat-minimal
sejarah-dan-budaya yang sama, yang terlahir dari kedekatan wilayah dan saling ketergantungan kepentingan, adalah tidak jelas mengapa
perluasan-solidaritas ini akan mencapai tingkat yang diperlukan untuk menjamin
legitimasi-secara-demokratis terhadap
hukum dalam unit-unit pemerintahan daerah
trans-nasional (CEU 62).
Meskipun
Habermas menyadari dengan pasti akan kritik-kritik ini, sebagian besar ia memusatkan pada pembelaan
teori-politik-nya secara luas dan sistematis. Jika garis batas luas normatif itu benar maka keseluruhan teori akan berdiri, terlepas dari bagaimana rincian-rincian empiris dipenuhi. Memang,
Habermas agak unik di kalangan para filsuf kontemporer baik dalam pendekatan sistematis untuk bidang besar teori juga kesediaannya untuk memungkinkan orang lain untuk mengisi berbagai detail tentang bagaimana pendapat-pendapat tertentu mungkin dapat berfungsi. Dia selalu menekankan bahwa para filsuf tidak berbicara dari sebuah tempat pengetahuan yang istimewa. Yang terbaik yang bisa mereka harapkan adalah mengartikulasikan sebuah teori yang dapat diuji secara meyakinkan dan ketat dan diperdebatkan di
ruang-publik. Kita mungkin dapat memahami bukan hanya
teori-politik-nya, tetapi beberapa proyek teoritis lainnya dalam sebuah semangat intelektual publik yang mengajukan sebuah teori untuk pengujian dan perdebatan yang membutuhkan artikulasi lebih lanjut oleh mereka yang datang setelahnya.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H5
Pemahaman Pribadi