Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Wednesday, October 24, 2018

Jurgen Habermas 4 : Peralihan Linguistik Kepada Teori Tindakan Komunikatif

Keterlibatan Habermas dengan teori tindak-tutur-kata dan hermeneutika pada akhir tahun 1960-an dan 70-an telah mengawali sebuah peralihan-linguistik yang menjadi kongkret dalam karyanya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif).

Peralihan-linguistik ini kemudian dapat dimengerti setelah kedua karyanya Knowledge and Human Interests (Pengetahuan dan Kepentingan Manusia) serta Communication and the Evolution of Society (Komunikasi dan Evolusi Masyarakat).

Habermas datang untuk melihat paradigma pengetahuan-yang-mengandung-kepentingan dari para-pendahulunya sebagai suatu ketidak-tepatan yang bersandar pada asumsi-asumsi dalam filsafat kesadaran-dan-transendentalisme Kant, sementara tahap-tahap rekonstruksi pemahaman-dan-evolusi-sosial selanjutnya tampak terlalu naturalistik atau fondasionalis.

Sebaliknya, sebuah fokus-perhatian kepada struktur-struktur-komunikatif membuatnya membentuk teori-pragmatis sendiri tentang makna, rasionalitas, dan integrasi-sosial yang didasarkan pada rekonstruksi berbagai kompetensi dan prakonsepsi-normatif yang mendasari komunikasi.

Pendekatan ini bersifat transendental dan naturalistik tetapi hanya lemah. Jauh dari sebuah penjelasan mengenai fondasi-fondasi terakhir, pendekatannya dengan sendirinya membawa kepada sebuah metodologi post-metafisik bagi penelitian filosofis dan ilmiah-sosial ke dalam penalaran-praktis (rasio-praktis).

Dari sejak awal peralihan-linguistik-nya hingga menjadi baik dalam karyanya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), pendekatan ini mengalami sejumlah perbaikan.

Apa yang akan dibahas berikut ini, hanya memberikan garis besar proyeksi-lintasan perubahan ini.

Habermas menyebut kuliah umumnya di Seminar Gauss pada tahun 1971 di Universitas Princeton ( publikasi Jerman 1984b, publikasi bahasa Inggris 2001) sebagai ungkapan peralihan-linguistik yang pertama dan jelas, namun juga ditemukan bukti mengenai hal-itu dalam karyanya On the Logic of the Social Sciences (Tentang Logika dalam Ilmu Sosial) (Jerman 1967, Inggris 1988a).

Serangan pertama yang benar-benar sistematis terhadap filsafat-bahasa Anglo-Amerika datang bersama karyanya What is Pragmatics Universal ? (Apa makna Pragmatis Universal ?) (Jerman 1976b, termasuk dalam bahasa Inggris 1979). Gagasan-gagasannya kemudian direvisi lebih lanjut lagi dalam karyanya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif).

Sementara perkembangan ide-idenya selama periode ini merupakan sebuah tugas pemahaman-makna terhadap teks yang penting, untuk tujuan sekarang suatu jalan-besar ia melanjutkan teori tindak-tutur-kata adalah suatu yang penting, ia menerima pembagian dalam linguistik antara : sintaksis, semantik, dan pragmatis.

Habermas menganggap setiap bagian itu merupakan rekonstruksi sistem-aturan-aturan yang terpendam, yang diam-diam digunakan oleh pembicara yang kompeten untuk mengenali bentuk-yang-baik/well-formed-ness (sintaks), kepenuh-bermaknaan/meaning-full-ness (semantik), dan keberhasilan/success (pragmatis) dari tutur-kata.

Perubahan arah penafsiran utamanya adalah bahwa teori-teori kebenaran-kondisional makna proposisional sering dikaitkan dengan proyeksi-proyeksi filosofis dengan menimbang hanya bahasa sebagai lokasi-sebagian-makna dari tutur-kata.

Dengan demikian, ia bergerak menjauh dari makna berdasarkan teori korespondensi-kebenaran dan memberikan sebuah penjelasan tentang validitas-pragmatis yang unik di balik makna dari sebuah tutur-kata.

Meski peralihan-linguistik-nya kadang-kadang dituangkan sebagai keterpisahan dari teori sebelumnya, pendekatan-interpretatif-nya benar-benar menyatu cukup baik dengan kritik awalnya terhadap positivisme.

Dia selalu menolak gagasan bahwa bahasa hanya menyatakan hal-hal mengenai dunia.

Sebaliknya Habermas tidak hanya menganalisis proposisi-proposisi yang baik atau tidak (benar atau salah) yang diperoleh dari dunia, tetapi ia tertarik kepada wilayah-penuh berbagai cara orang-orang menggunakan bahasa.

Habermas berpendapat bahwa ia tidak memusatkan perhatian pada kalimat-kalimat, tetapi kepada sebuah teori-bahasa-lengkap yang akan fokus mencermati pada ucapan-ucapan kontekstual sebagai unit-makna-paling-dasar.

Dengan demikian, ia mengembangkan sebuah pragmatis-formal (dalam karya-karya awalnya disebut pragmatis-universal).

Membangun di atas dasar karya Karl Bühler, Habermas memahami penggunaan bahasa secara-pragmatis-dalam-konteks sebagai penyisipan-kalimat-kalimat di dalam hubungan-hubungan antara : pembicara, pendengar, dan dunia.

Penyisipan-kalimat ini membantu menstabilkan hubungan-hubungan semacam itu secara intersubjektif.

Habermas berpendapat bahwa, dalam rangkaian-ucapan pada sebuah tindak-tutur-kata, sang-pembicara bermaksud-sesuatu (mengungkapkan maksud-maksud subjektif), melakukan-sesuatu (berinteraksi dengan atau menarik seorang pendengar) dan mengatakan-sesuatu (secara kognitif merepresentasikan dunia).

Sementara teori-teori makna kebenaran-kondisional memusatkan perhatian pada representasi-representasi kognitif dari dunia, Habermas mengutamakan bagian-pragmatis dari tindak-tutur-kata daripada analisis semantik atau sintaksis pada kalimat-kalimat.

Apa yang dilakukan melalui tutur-kata diambil menjadi apa-yang-paling-mendasar untuk menentukan makna.

Selama peralihan-linguistik-nya, Habermas melakukan penyesuaian beberapa gagasan dari John Searle.

Meskipun Searle tidak-selalu setuju sepenuhnya dengan penyesuaian-penyesuaian semacam itu, dua di antaranya merupakan titik-titik-orientasi yang sangat-berguna (Searle 2010, 62).

Pertama, Habermas mengadopsi gagasan Searle tentang aturan-aturan-konstitutif yang mendasari bahasa : sama seperti aturan sebuah permainan yang menentukan penjelasan-penjelasan sebagai sebuah legitimasi-langkah-atau-status, demikian juga ada sebuah struktur-aturan-implisit yang menentukan penggunaan bahasa oleh pembicara yang kompeten.

Kedua, Habermas juga mengadopsi pandangan Searle, yang dibangun di atas karya JL Austin, bahwa tutur-kata itu memiliki suatu struktur-ganda berupa konten-proposisional dan kekuatan-illokusi.

Sebagai contoh kalimat :

" Sekarang bersalju di Chicago. "

Konten-proposisional dari kalimat di atas adalah sebuah representasi dunia.

Tetapi konten yang sama dapat digunakan dalam mode-illokusi yang berbeda-beda misal : sebagai-sebuah-peringatan untuk berkendara dengan hati-hati, sebagai-sebuah-permohonan untuk menunda perjalanan, sebagai-sebuah-pertanyaan-atau-jawaban dalam percakapan yang lebih-besar, dan seterusnya.

Selain itu, di luar kekuatan-illokusi seperti itu, semua tindak-tutur-kata juga memiliki efek-turunan perlokatif, yang tidak terhubung secara internal dengan makna dari apa yang dikatakan.

"Peringatan" mengenai salju dapat menimbulkan kekesalan atau rasa syukur, tetapi tanggapan semacam itu secara kontekstual disimpulkan dan tidak-selalu terkait dengan konten-proposisional atau "peringatan" itu sendiri.

Gagasan-gagasan tentang struktur-tutur-kata ini menyoroti beberapa poin penting.

Pertama, Habermas menerima keberhasilan perlokusi (misalnya, memunculkan rasa-syukur) menjadi hal yang merusak kekuatan-illokusi (misalnya, tutur-kata ditangkap sebagai sebuah peringatan, bukan permohonan).

Mencapai keberhasilan bersama orang-lain dengan menyadari maksud seseorang di dalam dunia ini adalah hal sekunder daripada untuk mencapai sebuah kesepahaman-bersama.

Sebagai contoh, bahkan ketika berbohong, kebohongan hanya berhasil dengan terlebih dahulu sampai pada kesepahaman-bersama yaitu pemahaman-yang-salah bahwa apa yang sedang dikatakan adalah benar.

Kedua, Habermas mengidentifikasi tiga-mode-komunikasi yaitu kognitif, interaktif, dan ekspresif yang bergantung pada apakah maksud-utama illokusi dari sang-pembicara adalah untuk memunculkan sebuah kebenaran-pendapat dari konten-proposisional, ketepatan-pendapat dari suatu-tindakan, atau kejujuran-pendapat terhadap keadaan-psikologis.

Ketiga, Habermas mengidentifikasi masing-masing jenis-tindak-tutur-kata yaitu konstatif, regulatif, dan ekspresif yang dilihat dari perspektif pengguna-bahasa yang kompeten, mengandung tanggung-jawab imanen untuk menebus pendapat-pendapat yang disebutkan di atas dengan masing-masing memberikan dasar-dasar, mengartikulasikan justifikasi-justifikasi, atau membuktikan kejujuran dan dapat-dipercaya.

Singkatnya, Habermas berpikir ada banyak prakonsepsi-umum terhadap kompetensi-komunikatif dan kemungkinan-pemahaman, yang mendasari sebuah tutur-kata dan yang mensyaratkan para-pembicara untuk bertanggung jawab atas "kesesuaian" antara suatu ucapan dengan dunia-batin, dunia-luar, dan dunia-sosial.

Untuk tindak-tutur-kata apapun yang berorientasi pada kesepahaman-bersama, terdapat sebuah asumsi-awal "kesesuaian" antara kejujuran terhadap dunia-batin pembicara, kebenaran terhadap dunia-luar, dan ketepatan terhadap apa yang dilakukan secara intersubjektif di dunia-sosial.

Secara alamiah, asumsi-asumsi-awal ini dapat hilang.

Namun, intinya adalah bahwa para-pembicara yang ingin mencapai sebuah kesepakatan harus membuat prakonsepsi kejujuran, kebenaran dan ketepatan sehingga dapat saling menerima sesuatu sebagai sebuah fakta, norma-yang-valid, atau secara-subjektif memiliki pengalaman.

Bagi Habermas, elemen-elemen ini membentuk dasar-validitas tutur-kata.

Dia berpendapat bahwa, melalui ucapan suatu tindak-tutur-kata, seorang pembicara juga dilihat secara potensial memunculkan tiga-klaim-validitas yaitu kejujuran untuk apa yang diungkapkan, ketepatan untuk apa yang dilakukan, dan kebenaran untuk apa yang dikatakan atau diprakonsepsikan.

Tergantung pada jenis-tindak-tutur-kata, salah satu validitas seringkali lebih dominan (misalnya, jenis-konstatif memunculkan sebuah validitas-kebenaran) dan, lebih sering daripada tidak, tutur-kata bersandar pada latar-belakang kesepakatan-kesepakatan tentang fakta-fakta, norma-norma, dan pengalaman-pengalaman yang tidak bisa diganggu.

Selain itu, perselisihan kecil dapat diselesaikan dengan cepat melalui klarifikasi makna, mengingatkan orang lain tentang fakta-fakta, menuntut komitmen-komitmen yang sudah ada sebelumnya, menyoroti sifat-sifat situasional, dan sebagainya.

Habermas kadang-kadang menunjuk perbaikan-perbaikan komunikatif-ringan seperti itu sebagai percakapan-sehari-hari.

Tetapi ketika perselisihan terus berlanjut, kita mungkin perlu beralih kepada apa yang disebut oleh Habermas sebagai "wacana" yaitu sebuah cara-komunikasi tertentu dimana seorang-pendengar menuntut alasan-alasan yang mendukung validitas-pendapat dari sang-pembicara.

Dalam wacana klaim-validitas yang selalu imanen di dalam tutur-kata menjadi eksplisit.

Jelas, Habermas menggunakan "validitas" dengan suatu cara yang aneh.

Pengertian "validitas" paling sering digunakan dalam logika-formal dimana itu mengacu pada mempertahankan-kebenaran ketika bergerak menarik kesimpulan dari satu proposisi ke proposisi yang lain dalam sebuah argumen.

Ini bukanlah bagaimana Habermas menggunakan istilah "validitas" semacam itu.

Lalu apa yang dia maksud dengan "validitas" oleh Habermas ?

Ini adalah suatu yang berguna untuk melihat asumsi-asumsi di balik teori-makna-nya.

Ketika model-makna-nya menekankan apa yang dilakukan bahasa melebihi apa yang hanya dikatakan atau diartikan, suatu asumsi-operatif adalah bahwa, fungsi utama tutur-kata adalah untuk mencapai kesepahaman-bersama yang memungkinkan interaksi bebas-konflik.

Selain itu, setidaknya dengan menimbang validitas kebenaran-dan-ketepatan, ia menganggap pemahaman-pemahaman yang murni dan stabil muncul dengan saling memberi dan menerima alasan-alasan.

Validitas kebenaran-dan-ketepatan adalah paradigma-kognitif karena mereka mengakui justifikasi melalui alasan-alasan yang diajukan di dalam "wacana".

Apa yang dimaksud oleh Habermas dengan "validitas" adalah sebuah hubungan-struktural yang erat antara memberi dan menerima alasan-alasan dan mencapai suatu kesepahaman atau konsensus (lebih kuat) yang memungkinkan interaksi bebas-konflik.

Ini menghasilkan teori-akseptabilitas-makna dimana penerimaan-norma selalu terbuka untuk perdebatan dan penyempurnaan lebih lanjut melalui alasan-alasan yang lebih baik.

Karena dalam perkembangan selanjutnya kita tidak mengetahui, alasan-alasan-apa yang akan terkait dengan sebuah masalah, hanya "wacana" yang kuat dan terbuka yang memberi kita ijin untuk mengambil konsensus-konsensus (sementara) yang sungguh-sungguh kita capai sebagai "valid".

Oleh karena itu Habermas merumuskan kondisi-kondisi formal dan kontra-faktual --prakonsepsi-prakonsepsi pragmatis dari tutur-kata dan situasi-situasi tutur-kata yang ideal-- yang mendeskripsikan dan menetapkan standar-standar kepada jenis-alasan-alasan itu diberikan, yang harus dilalui kesepahaman-bersama sebelum kita dapat menganggapnya "valid" (pada kondisi-kondisi formal ini dan bagaimana kesepahaman dan konsensus dapat berbeda lihat di bawah dan bagian 4).

Pada saat yang sama, kita tidak pernah mulai untuk saling memberi dan menerima alasan-alasan tanpa dasar.

Orang dilahirkan dalam budaya-budaya yang beroperasi pada latar-belakang-pemahaman yang menyatu di dalam norma-norma-tindakan yang diwariskan.

Meminjam dari Husserl dan yang lain, Habermas menyebut persediaan pemahaman-pemahaman ini sebagai dunia-kehidupan "lifeworld".

Dunia-kehidupan adalah sebuah gagasan penting meski agak licin dalam karya Habermas.

Salah satu cara untuk memahami penafsirannya yang khusus adalah meneropong perdebatannya dengan Gadamer.

Secara umum, Habermas setuju dengan pandangan bahasa yang dipegang oleh Gadamer dan hermeneutika secara umum yaitu bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan informasi, bentuknya yang paling dasar adalah penggunaan secara dialogis-dalam-konteks, dan ia mengandung sebuah tujuan-kesepahaman.

Pada pandangan seperti itu, objektivitas bukan hanya korespondensi kepada dunia yang independen tetapi sesuatu yang dianggap berasal dari kesepahaman-bersama intersubjektif (terhadap dunia, hubungan dengan orang lain, dan diri sendiri) yang dicapai dalam komunikasi.

Selain itu, komunikasi memiliki struktur-dasar yang membuat kesepahaman menjadi mungkin menempati posisi-pertama.

Makna, oleh karena itu dalam beberapa pengertian bersifat merusak terhadap struktur-latar-belakang ini.

Gadamer dan Habermas sepakat pada banyak hal ini.

Namun Gadamer menganggap semua ini berarti bahwa kesepahaman dan kesalahpahaman yang eksplisit hanya mungkin terjadi karena sebuah pemahaman yang diterima begitu saja dari kepemilikan budaya dan sosialisasi ke dalam sebuah bahasa-alami.

Habermas setuju bahwa budaya dan sosialisasi adalah penting, tetapi khawatir bahwa Gadamer membawa struktur-latar-belakang yang membentuk kondisi-kondisi-kemungkinan bagi makna menghasilkan absolutisasi-tradisi yang relativistik.

Dalam interpretasi Habermas, dunia-kehidupan mencakup jenis kepemilikan dan sosialisasi seperti yang diacu oleh Gadamer, tetapi itu bekerja dengan dan didukung oleh struktur-struktur-yang-dalam tertentu dari komunikasi itu sendiri.

Bagi Habermas, komplementaritas antara dunia-kehidupan dan manifestasi khusus dari struktur-struktur-yang-dalam ini dalam wacana dan tindakan-komunikatif adalah apa yang membuat seseorang mampu melakukan interogasi dan secara progresif merevisi bagian-bagian latar-belakang dari persediaan-berbagai-pemahaman dan validitas-pendapat yang diwariskan, dengan demikian menghindari keduanya baik relativisme atau pemujaan-dogmatis dari tradisi.

Bagi Habermas, dunia-kehidupan adalah sebuah tempat penampungan praktik-praktik yang diterima begitu saja, peran-peran, makna-makna sosial, dan norma-norma yang menyusun sebuah kesamaan horizon-pemahaman dan kemungkinan interaksi-interaksi.

Dunia-kehidupan adalah "know-how" yang sebagian besar tersirat yang terstruktur secara holistik dan tidak siap (secara keseluruhannya) pada kendali reflektif yang sadar.

Kita mengambilnya dengan disosialisasikan ke dalam kesamaan pola-pola makna bersama dan struktur-struktur kepribadian yang disediakan oleh institusi sosial budaya kita seperti : keluarga, pendidikan, agama, masyarakat sipil, dan seterusnya. Dunia-kehidupan menetapkan norma-norma yang menyusun interaksi sehari-hari kita.

Kita biasanya tidak berbicara tentang norma-norma yang digunakan untuk mengatur perilaku kita.

Kita hanya menganggap norma-norma berdiri di atas alasan-alasan yang baik dan menerapkannya secara intuitif.

Tetapi bagaimana jika seseorang dengan sengaja melanggar atau secara eksplisit menolak suatu-norma ?

Ini adalah "panggilan" kepada wacana untuk menjelaskan dan memperbaiki terhadap pelanggaran atau perubahan norma.

Sebagai sebuah contoh tingkat-mikro : jika seseorang melanggar sebuah janji, maka ia akan diminta untuk melakukan justifikasi perilakunya dengan alasan-alasan yang bagus atau meminta maaf.

Komunikasi wacana seperti ini, juga "dipanggil" ketika norma-norma mengalami kerusakan yang lebih serius : seseorang dapat mempertanyakan alasan-alasan di balik norma-norma dan apakah norma-norma itu masih tetap-valid, atau memilih lari ke dalam situasi baru dan kompleks di mana tidak jelas norma-norma apa, bagaimana, sampai sejauh mana jika norma-norma itu diterapkan.

Terlepas dari seberapa serius pelanggaran norma-itu, kita perlu terlibat dalam wacana untuk memperbaiki, dan menentukan kembali norma-norma bersama yang memungkinkan kita untuk menghindari konflik, menstabilkan-harapan, dan menyelaraskan-kepentingan.

Wacana adalah mekanisme modern yang sah untuk memperbaiki dunia-kehidupan, itu menyatu di dalam apa yang disebut oleh Habermas sebagai tindakan-komunikatif.

Tindakan-komunikatif dapat dilihat sebagai sebuah perilaku-praktis atau cara untuk melibatkan orang-lain yang sangat-konsensual dan yang sepenuhnya menyatukan tujuan-tujuan yang tertanam di dalam tutur-kata yaitu mencapai sebuah kesepahaman-bersama.

Dalam tulisan-tulisan selanjutnya, Habermas membedakan tindakan-komunikatif yang lemah dan kuat.

Bentuk-lemah adalah sebuah pertukaran alasan-alasan yang ditujukan untuk kesepahaman-bersama.

Bentuk-kuat adalah sebuah perilaku-praktis dalam keterlibatan menemukan kerja-sama yang cukup kuat didasarkan pada konsensus terhadap konten-substantif dari aktivitas bersama. Ini memungkinkan solidaritas untuk berkembang.

Dalam bentuk apapun, tindakan-komunikatif berbeda dari tindakan-strategis, dimana di dalam interaksi sosial orang-orang bertujuan untuk mewujudkan tujuan-tujuan individu mereka sendiri dengan menggunakan orang-lain sebagai alat atau instrumen (memang, ia menyebut jenis tindakan-instrumental ketika itu soliter atau non-sosial).

Perbedaan utama antara tindakan-strategis dan tindakan-komunikatif adalah bahwa aktor-aktor strategis memiliki tujuan yang tetap di dalam benak dan tidak dapat ditawar ketika memasuki dialog.

Inti dari keterlibatan mereka adalah untuk mengajukan banding, membujuk, atau memaksa orang lain untuk mematuhi apa yang mereka pikir diperlukan untuk membawa ke tujuan mereka.

Sebaliknya, pihak yang bertindak komunikatif mencari sebuah kesepahaman-bersama yang dapat berfungsi sebagai dasar untuk kerja sama.

Pada prinsipnya, ini melibatkan keterbukaan terhadap sebuah perubahan pemahaman terhadap kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan seseorang di hadapan alasan-alasan dan argumen-argumen yang lebih baik.

Kontras antara tindakan-komunikatif dan tindakan-strategis terkait erat dengan perbedaan antara rasionalitas-komunikatif dan rasionalitas-purposif.

Rasionalitas-purposif adalah ketika seorang aktor mengambil sebuah orientasi kepada dunia yang difokuskan pada pengetahuan-kognitif tentang hal itu, dan menggunakan pengetahuan itu untuk mewujudkan tujuan-tujuan di dunia.

Sebagaimana dicatat, ia memiliki varian sosial (strategis) dan non-sosial (instrumental).

Rasionalitas-komunikatif adalah ketika para aktor juga mempertanggungjawabkan hubungan mereka satu sama lain yang dipandu norma-norma dalam dunia-sosial yang dihuni bersama, dan mencoba mengkoordinasikan tindakan secara bebas-konflik.

Pada model rasionalitas ini, para aktor tidak hanya peduli dengan tujuan-tujuan mereka sendiri atau mengikuti norma-norma yang relevan yang dilakukan oleh orang lain, tetapi juga menantang dan merevisinya berdasarkan alasan-alasan yang baru dan lebih baik.

Mendekati rasionalitas setelah orientasi-orientasi-tindakan tidak hanya bersifat tipikal.

Habermas mencatat bahwa meskipun banyak ahli teori memulai dengan rasionalitas dan kemudian menganalisa tindakan, pandangan terhadap tindakan dengan urutan analisis semacam itu memerintahkan kita untuk menerima dapat secara diam-diam menyelundup dalam konotasi-konotasi bersifat nyaris-ontologis tentang kemungkinan hubungan-hubungan aktor-aktor dapat dimiliki antara mereka sendiri dan dengan dunia.

Sesungguhnya, kekeliruan ini merupakan bagian penting kritik Habermas terhadap pandangan Weber tentang rasionalisasi sosial progresif yang dibawa oleh modernitas.

Weber membingkai rasionalisme-barat dalam terma penguasaan-dunia dan kemudian secara alamiah mengasumsikan rasionalisasi-masyarakat berarti hanya peningkatan rasionalitas-purposif.

Sebagaimana terlihat dari penjelasan Habermas tentang pemahaman-sosial, ini bukanlah satu-satunya cara untuk memahami evolusi-masyarakat atau spesies secara keseluruhan sepanjang sejarah.

Dengan memperluas rasionalitas yang melampaui rasionalitas-purposif, Habermas mampu menolak kesimpulan Weberian yang menarik bagi Horkheimer dan Adorno : bahwa peningkatan rasionalisasi dari modernitas menghasilkan dunia-tanpa-makna, orang-orang fokus pada kontrol untuk tujuan-pribadi mereka, dan bahwa penyebaran rasionalitas-pencerahan secara konseptual menjadi tangan dengan sarung-tangan dominasi.

Habermas merasakan gagasan-rasionalitas dalam Teori-Tindakan-Komunikatif-nya menolak kritik-kritik semacam itu.

Perbedaan tajam antara tindakan-komunikatif dan tindakan-strategis terutama menyangkut bagaimana suatu tindakan-dikejar.

Memang, meskipun orientasi-orientasi tindakan ini saling-terpisah ketika dilihat dari perspektif seorang aktor, tujuan yang sama sering dapat didekati dengan cara-cara komunikatif atau strategis.

Misalnya, di kota saya, saya mungkin berdiskusi dengan tetangga di mana kami memutuskan bahwa kita memiliki kesamaan-kepentingan untuk membersihkan salju dari jalan, dan bahwa cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan bergantian-membersihkannya. Ini bisa dijelaskan sebagai contoh tindakan-komunikatif.

Tapi, bayangkan seorang penyendiri yang kaya dan berkuasa yang acuh tak acuh terhadap tetangganya. Dia hanya bisa membayar snowplow untuk membersihkan jalan sampai ke jalan masuknya. Dia juga bisa menggunakan kekuatannya untuk memanipulasi atau mengancam orang lain untuk membersihkan salju baginya (misalnya, dia bisa memanggil walikota dan mengatakan dia mungkin akan menahan sumbangan kampanye jika salju tidak dibersihkan).

Tindakan-strategis adalah tentang memunculkan, mendorong, atau memaksa perilaku orang lain untuk mewujudkan tujuan-tujuan individual seseorang.

Ini berbeda dari tindakan-komunikatif, yang berakar pada memberi dan menerima alasan-alasan dan kekuatan yang tidak-memaksa dari argumen-terbaik yang membenarkan sebuah norma-tindakan.

Tindakan-strategis dan rasionalitas-purposif tidak selalu tidak diinginkan. Ada banyak domain-sosial di mana mereka sangat berguna dan diharapkan.

Bahkan, keduanya sering dibutuhkan karena tindakan-komunikatif sangat menuntut dan masyarakat modern begitu rumit sehingga memenuhi tuntutan ini sepanjang waktu adalah tidak mungkin.

Sang-pembicara yang terlibat dalam tindakan-komunikatif harus menawarkan justifikasi-justifikasi untuk mencapai sebuah kesepakatan yang dipegang dengan jujur bahwa tujuan-tujuan dan kerja-sama mereka untuk mencapainya tampak baik, tepat, dan benar (lihat bagian 5).

Namun, dalam masyarakat modern yang kompleks dan pluralistik, tuntutan-tuntutan semacam itu seringkali tidak realistis.

Konteks-sosial-modern sering kekurangan peluang-peluang untuk diskusi yang sangat-konsensual.

Inilah sebabnya mengapa Habermas berpikir bahwa tindakan-komunikatif yang lemah mungkin mencukupi untuk domain-yang-rendah di mana tidak semua tiga-jenis-klaim-validitas itu mendominasi, dan mengapa interaksi-strategis sangat cocok untuk domain-domain yang lain.

Bagi Habermas, masyarakat-masyarakat modern memerlukan domain-domain-sosial yang terstruktur secara sistematis yang melonggarkan tuntutan-komunikatif namun tetap mencapai sedikit integrasi-sosial.

Habermas mengambil aparat-institusional dari administrasi-negara dan pasar-kapitalis untuk menjadi contoh paradigmatis integrasi-sosial melalui sistem-sistem daripada melalui dunia-kehidupan.

Sebagai contoh, jika sebuah birokrasi-negara mengelola keuntungan atau layanan dengan sendirinya menjadi pelaksana keputusan-keputusan sebelumnya dari sebuah realitas-politik.

Dengan demikian, dialog-terbuka dengan seorang penggugat menjadi tidak masuk akal : seseorang baik memenuhi syarat atau tidak, sebuah hukum tetap-diterapkan atau tidak-diterapkan.

Demikian pula, para pelaku dalam pasar yang didefinisikan dan diatur secara jelas, tahu di mana batas-batas pasar berada dan bahwa setiap orang di dalam pasar terlibat secara strategis. Setiap pelaku pasar mencari manfaat individual.

Sedikit kurang masuk akal untuk mencoba sebuah dialog-terbuka dalam sebuah konteks di mana seseorang menganggap semua yang lain bertindak secara strategis demi meraih keuntungan.

Kedua domain-sosial itu mengkoordinasi-tindakan, tetapi tidak melalui komunikasi kooperatif-dan-konsensus yang kuat yang menghasilkan solidaritas.

Tentu saja, tidak semua interaksi skala-besar dan terlembagakan bersifat strategis. Beberapa domain-sosial seperti kolaborasi-ilmiah atau politik-demokratis melembagakan proses-proses refleksif tindakan-komunikatif (lihat bagian 5 tentang teori demokrasi).

Dalam kerja-sama seperti itu dapat menghasilkan solidaritas di dalam seluruh aktivitas.

Meski begitu, integrasi-sistem-sistem seperti yang ditemukan pada birokrasi atau pasar berbeda tajam dari integrasi melalui tindakan-komunikatif.

Perlu ditekankan bahwa itu hanyalah contoh-contoh paradigmatis, dan bahwa domain-sosial yang sama dapat dilembagakan secara berbeda dalam semua masyarakat.

Oleh karena itu, lebih berguna untuk melihat media-koordinatif yang biasanya digunakan untuk berinteraksi dan mengarahkan sistem-apapun yang telah terlembagakan daripada menempatkan sebuah tipologi-fiktif dari domain-domain-sosial yang jelas dimana di dalamnya diasumsikan terjadi tindakan-strategis atau tindakan-komunikatif.

Habermas mengidentifikasi media seperti itu yaitu : tutur-kata, uang, dan kekuasaan.

Tutur-kata adalah media yang dengannya kesepahaman dicapai dalam tindakan-komunikatif, sementara uang dan kekuasaan adalah media non-komunikatif yang mengkoordinasikan-tindakan di dalam dunia seperti birokrasi-negara atau pasar.

Satu media sebagian besar dapat digunakan dalam satu domain-sosial tetapi itu tidak berarti ia tidak memiliki peran dalam domain-sosial yang lain.

Meskipun tutur-kata adalah media utama dalam politik-demokrasi yang sehat, ini tidak berarti uang dan kekuasaan tidak memainkan peranan.

Ini semua tampaknya menyiratkan bahwa tidak ada satu cara yang tepat agar sistem dan dunia-kehidupan secara bersama-sama dapat mencapai integrasi-sosial.

Memang, komplementaritas antara sistem dan dunia-kehidupan yang ditata dalam Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif) adalah cukup luas untuk mengakomodasi wilayah-luas berbagai macam pluralisme-institusional dengan mempertimbangkan struktur pasar, birokrasi, politik, kolaborasi ilmiah, dan sebagainya.

Namun, pendapat bahwa tidak ada "satu ukuran cocok untuk semua cetakan" untuk integrasi-sosial tidak boleh diterima sebagai pendapat bahwa sistem dan dunia-kehidupan tidak memiliki hubungan yang memadai.

Sosialisasi ke sebuah dunia-kehidupan mengawali integrasi-sosial melalui sistem-sistem. Ini benar secara historis dan pada tingkat individual.

Selain itu, Habermas berpendapat bahwa dunia-kehidupan memiliki keutamaan-konseptual dari pada integrasi-sistem-sistem.

Pemikirannya berjalan sebagai berikut : dunia-kehidupan adalah persediaan dari kesepahaman-normative-bersama yang prinsipil (namun dapat direvisi) yang siap bagi siapa saja untuk mengatur interaksi-sosial secara konsensual, dunia-kehidupan adalah tempat-penampungan tindakan-komunikatif.

Integrasi-sistem-sistem merepresentasikan dengan hati-hati dunia-dunia tindakan-instrumental dan tindakan-strategis yang terbatas, dimana di dalamnya kita dibebaskan dari tuntutan-tuntutan penuh tindakan-komunikatif.

Namun, definisi dan batasan dari dunia-dunia ini selalu bergantung pada tindakan-komunikatif dengan menimbang, misalnya, jenis-pasar-apa atau administrasi-negara-apa yang ingin dimiliki oleh komunitas dan mengapa.

Tanpa berakar dalam kesepahaman-bersama dari dunia-kehidupan, kita akan mendapatkan sistem-sistem uang dan kekuasaan yang tanpa-batas, terputus dari penalaran-praktis yang dipercaya secara intersubjektif yang menurut Habermas mendukung semua makna.

Pengorganisasian prinsip-prinsip dari sistem-sistem itu sendiri akan berhenti menjadi koheren.

Sebagai contoh, persaingan-pasar akan masuk-akal dengan sebuah latar-belakang prinsip-prinsip normatif seperti keadilan, kesempatan yang sama untuk bersaing, aturan-aturan melawan penggunaan informasi rahasia, dan sebagainya.

Tetapi jika pasar tidak-begitu-dikekang sehingga prinsip-prinsip di atas tidak bisa lagi diterapkan, maka keterlibatan dalam aktivitas pasar akan tidak-masuk-akal.

Demikian pula, jika pasar diatur begitu ketat sehingga tidak ada risiko atau peluang nyata, maka pasar juga akan mulai kehilangan koherensi sebagai sebuah aktivitas.

Dalam kedua skenario hipotetis miring ini sistem dicurangi dan dengan demikian, jika ada alternatif fungsional, maka tidak ada manfaat untuk berpartisipasi di dalamnya.

Ini adalah sebuah varian argumen-anti-teknokrasi awal dari Habermas. Meletakkan kebutuhan-objektif seperti pertumbuhan ekonomi, stabilitas sosial, keamanan nasional dan kemudian menyelimuti tindakan-komunikatif dengan selubung ketidaksetujuan terhadap apa jenis pertumbuhan, stabilitas, dan keamanan yang penting untuk komunitas tertentu dan mengapa.

Dengan demikian, sistem yang dirancang untuk mencapai tujuan ini diprioritaskan untuk mengurangi koherensi dan legitimasi berdasarkan prinsip-prinsip penataan yang diterima secara luas.

Habermas berpikir bahwa dunia-kehidupan mengisi ulang dirinya sendiri melalui tindakan-komunikatif : jika kita menolak warisan kesepahaman-bersama disisipkan dalam praktik-praktik-normatif kita, kita dapat menggunakan tindakan-komunikatif untuk merevisi norma-norma-itu atau membuat yang baru.

Mekanisme integrasi-sistem-sistem bergantung pada latar-belakang dunia-kehidupan ini bagi koherensi-nya sebagai aktivitas yang mencapai sedikit integrasi-sosial.

Masalahnya adalah bahwa sistem-sistem memiliki logika yang mengabadikan dirinya sendiri, jika tidak disingkirkan maka akan menjajah dan menghancurkan dunia-kehidupan.

Ini adalah tesis utama dalam Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif) : tindakan-strategis yang menyatu dalam domain-domain integrasi-sistem-sistem harus diimbangi dengan tindakan-komunikatif yang menyatu dalam institusi-institusi tindakan-komunikatif refleksif seperti politik-demokratis.

Jika suatu masyarakat gagal untuk mencapai keseimbangan ini, maka integrasi-sistem-sistem akan perlahan-lahan merambah dunia-kehidupan, menyerap fungsinya, dan melukis dirinya sendiri sebagai sesuatu yang pasti, tidak berubah, dan berada di luar kendali manusia.

Pasar saat ini dan struktur-negara akan menjadi lapisan-adi-kodrati atau tak-terelakkan, dan mereka yang memerintah tidak akan lagi memiliki sumber daya normatif bersama yang dengannya mereka bisa mencapai kesepahaman-bersama tentang bagaimana secara kolektif mereka menginginkan lembaga-lembaga yang seperti apa.

Menurut Habermas, ini akan mengarah kepada berbagai patologi-sosial di tingkat mikro : tidak ada panduan moral (anomie), alienasi, kurangnya ikatan sosial, ketidakmampuan untuk mengambil tanggung jawab, dan ketidakstabilan sosial.

Dalam Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), Habermas menaruh harapannya untuk melawan penjajahan terhadap dunia-kehidupan kepada seruan untuk menyegarkan dan mendukung gerakan-sosial baru di tingkat akar rumput, karena mereka dapat secara langsung menarik sumber daya normatif dari dunia-kehidupan.

Model politik-demokratis ini pada dasarnya mendorong kelompok-kelompok warga-negara demokratis yang terlibat untuk menopang batas-batas ruang-publik dan masyarakat sipil melawan domain-domain integrasi-sistem-sistem yang mengganggu seperti pasar dan administratif-negara.

Inilah sebabnya mengapa teori-politik awalnya sering disebut model-pengepungan dari politik-demokratis. Bagian 5 akan menunjukkan, model ini sangat banyak direvisi di dalam karyanya Between Facts and Norms (Antara Fakna-Fakna dan Norma-Norma).

Sebelum beralih ke karya itu, kita harus menyempurnakan bahasan etika-diskursus --sebuah gagasan yang dideskripsikan dalam karya Theory of Communicative Action (Teori Tindakan Komunikatif), tetapi yang baru dikembangkan sepenuhnya kemudian.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H3
Pemahaman Pribadi


Friday, October 12, 2018

Jurgen Habermas 3 : Tema Abadi Dalam Karya Formatif Dan Transisional

a. Deliberasi Publik Terhadap Desisionisme Dan Teknokrasi Positivistik

Esai-esai dalam karyanya Towards a Rational Society - Menuju Sebuah Masyarkat Rasional, (Jerman 1968 dan 1969, Inggris 1970) dan Theory and Practice - Teori Dan Praktik, (Jerman 1971, Inggris 1973b) ditulis segera setelah karyanya Structural Transformation - Transformasi Struktural.

Esai-esai itu ditulis di tengah-tengah perselisihan-positivisme di Jerman mengenai hubungan antara ilmu-alam dan ilmu-sosial.

Aspek positivis (yang entah-bagaimana dilabelkan dengan tidak-akurat) dalam perdebatan ini, menerima penyelidikan-ilmiah sebagai satu-satunya paradigma pengetahuan dan pada umumnya berpikir tentang ilmu-sosial sebagai analogi ilmu-alam.

Mengikuti Adorno, Habermas menentang pemahaman positivistik terhadap ilmu-ilmu-sosial.

Bagi Habermas, positivisme terdiri dari tiga klaim :

(1) Pengetahuan terdiri dari penjelasan-kausal yang dituangkan dalam terma-terma hukum atau prinsip dasar (misalnya hukum-alam).
(2) Pengetahuan secara pasif merefleksikan atau mencerminkan fakta-fakta alam yang ada secara independen.
(3 ) Pengetahuan adalah tentang apa-itu, bukan apa-yang-seharusnya (dilakukan).


Dia menyebut tiga klaim di atas sebagai : Saintisme, Objektivisme, dan Netralitas-Nilai.

Dia mengatakan masing-masing klaim di atas dapat membawa pengaruh buruk, terutama di dalam ranah ilmiah-sosial.

Saintisme memupuk pandangan bahwa hanya hipotesa-kausal dan dapat-diverifikasi-secara-empiris yang dapat dianggap sebagai pengetahuan-sejati.

Objektivisme tampaknya salah-menangkap-dunia dengan mengabaikan bagaimana pengalaman-pengalaman-hidup, subjektivitas-manusia, dan kepentingan-kepentingan dapat menetapkan wilayah objek yang di-identifikasi sebagai relevan atau layak untuk dipelajari.

Terakhir, Netralitas-Nilai menyesatkan kita untuk berpikir bahwa peran dari pengetahuan adalah murni deskriptif-dan-teknis. Nilai atau preferensi-preferensi dilihat sebagai sesuatu yang terpisah dari pengetahuan dan semacam "takdir" yang sepenuhnya-subjektif yang berada di luar justifikasi-rasional.

Pada akhirnya, pengetahuan dilihat sebagai sebuah alat untuk mengendalikan lingkungan secara efisien untuk menciptakan nilai-nilai apapun (kegunaan, ekonomis dll) yang dilakukan oleh seseorang. Ironisnya, ini gagal untuk melihat keterikatan terhadap nilai-nilai terpendam yang telah terkandung di dalam paradigma-umum pada pengetahuan itu sendiri.

Kritik Habermas masuk akal mengingat posisi pandangannya berada di dalam teori-kritis-Frankfurt. Terlepas dari perbedaan dengan generasi pertama, ia memiliki kesamaan pendirian tentang keterikatan yang jelas tidak-netral terhadap emansipasi manusia, interdisipliner, dan teori refleksi-diri.

Seperti Horkheimer dan Adorno, Habermas mengkhawatirkan apa yang diwariskan positivisme sebelumnya telah menyisakan pengaruh-pengaruh pada konseptualisasi pengetahuan-dan-penyelidikan-sosial yang sulit untuk ditinggalkan bahkan oleh refleksi-positivis sekalipun.

Sesungguhnya, ia mengkritik penjelasan Karl R. Popper tentang penyelidikan-dan-pengetahuan bahkan itu menolak apa yang disebut oleh Habermas sebagai Objektivisme.

Dalam perlawanannya terhadap gambaran positivis tentang pengetahuan yang hanya mencerminkan dunia, Habermas memegang konsep aliran-Frankfurt yang terinspirasi konsepsi Hegelian-Marxist mengenai hubungan dialektis antara pengetahuan dan dunia.

Akhirnya, seperti rekan-rekan sejamannya di aliran-Frankfurt, Habermas memperhatikan bahwa positivisme telah meninggalkan dampak-yang-halus namun merusak terhadap politik.


Dalam tulisan-tulisan awalnya, Habermas sangat kritis terhadap dua-kecenderungan terkait, Desisionisme dan Teknokrasi, yang tumbuh dari sebuah pemahaman positivistik terhadap ilmu politik dan praktik-praktik politik.

Desisionisme dimulai dari asumsi bahwa tidak-ada yang namanya kepentingan-publik, melainkan hanya sebuah pertentangan nilai-nilai subyektif yang inheren, yang tidak (bahkan secara prinsip) mengakui persuasi-rasional atau kesepakatan. Selanjutnya itu membuat para elit-politik harus mengambil keputusan dengan memilih satu diantara beberapa nilai yang bersaing atau mendasarkan kebijakan pada kelekatan-politik mereka (pada program-politik partai). Dengan kata lain, preferensi-preferensi nilai-politik diambil sebagai fakta-fakta yang tidak dapat dijelaskan atau statis, tidak ada pengertian di mana argumentasi dan persuasi yang masuk-akal dapat benar-benar mengubah preferensi semacam itu atau mengarahkan orang kepada pemahaman baru terhadap nilai-nilai yang dimiliki mereka.

Teknokrasi membangun dari titik ini dengan menekankan kebutuhan-obyektif (Sachzwänge) yang dianggap terlibat dalam sebuah sistem-politik seperti pertumbuhan-ekonomi, stabilitas-sosial, keamanan-nasional dan menyoroti meningkatnya kemampuan para-ahli-kebijakan untuk memberi saran kepada para-pemimpin-politik tentang strategi untuk mewujudkan tujuan-tujuan ini secara optimal. Kecemasan dengan pendekatan ini adalah pertanyaan-pertanyaan mengenai jenis-spesifik apa dari pertumbuhan, stabilitas, dan keamanan yang kita cari (dan mengapa) disingkirkan dari perdebatan oleh ketetapan-otoritas penguasa.

Dalam Desisionisme, legitimasi politik mengalir dari ekspresi-ekspresi aklamasi atau penolakan secara periodik terhadap bagaimana cara para-pemimpin memanifestasikan nilai-nilai yang telah ditetapkan sebelumnya.

Dalam Teknokrasi, legitimasi seharusnya mengalir dari kemampuan para-politisi untuk menemukan dan mengikuti saran para-ahli sehingga mencapai hasil tetap yang ditentukan sebelumnya oleh kebutuhan-obyektif.

Kedua model itu memberikan efek-efek potensi transformatif dari deliberasi-publik menjadi tidak penting. Legitimasi dilihat seperti mengalir dari hasil-hasii tertentu atau ekspresi-ekspresi periodik dari preferensi kelekatan-politik.

Habermas menganggap kedua model itu merupakan penjelasan yang sangat-problematis terhadap praktik-politik dan legitimasi-demokratis.


Sementara karyanya Transformasi Struktural hanya memberi gestur terhadap bagaimana potensi-normatif dari ranah-publik dapat bangkit kembali dalam situasi kontemporer, tema ini menerima perhatian yang kian meningkat dalam karya-karya seperti Legitimation Crisis - Krisis Legitimasi, (Jerman 1973, Inggris 1975), Theori of Communicative Action - Teori Tindakan Komunikatif, dan Between Facts and Norms - Antara Fakta dan Norma, (Jerman 1992, Inggris 1996).

Sebuah penjelasan terhadap legitimasi-demokratis yang memerangi Desisionisme dan Teknokrasi adalah sebuah perhatian/bahasan/tema yang abadi. Bahkan, meskipun memperjuangkan Uni-Eropa, Habermas melanjutkan mengkritik Teknokrasi dengan mengkritik cara di mana ia muncul dan terstruktur saat ini (2008, 2009, 2012, 2014).


b. Dari Filsafat Antropologi ke Teori Evolusi Sosial

Karya Knowledge and Human Interest - Pengetahuan dan Kepentingan Manusia, (Jerman 1968, Inggris 1971) dan Communication and The Evolution of Society - Komunikasi dan Evolusi Masyarakat (Jerman 1976, Inggris 1979) adalah dua upaya awal dengan kerangka-kerja-sistematis yang baru bagi teori-kritis.

Pendekatan-pendekatan yang digunakannya mirip dengan tradisi antropologi-filosofis dalam teori sosial Jerman pada awal 1900-an yang tumbuh dari fenomenologi, sebuah tradisi yang sangat-berbeda dengan antropologi-kontemporer.


Knowledge and Human Interest berusaha untuk mengatasi epistemologi-positivis yang memandang pengetahuan hanya sebagai penangkapan fakta-fakta-yang-statis, serta untuk memberikan sebuah penjelasan yang masuk-akal mengenai hubungan-dialektik antara pengetahuan (teori) dan dunia ( praktik ).

Pendapat pokok Habermas adalah bahwa kemajuan pengetahuan ilmiah-dan-sosial dipandu secara implisit oleh pengetahuan-yang-mengandung-tiga-jenis-kepentingan yaitu kepentingan teknis, praktis, dan emansipatif yang secara antropologis memang terpendam di dalam spesies-manusia.

Karya Knowledge and Human Interests mencoba untuk mengungkap dan mengembangkan model-model alternatif dari hubungan antara teori-dan-praktik.

Pendekatannya bersifat historis dan rekonstruktif yang didalamnya menafsirkan upaya-upaya para ahli teori sebelumnya sebagai bagian dari sebuah proyeksi yang hendak diperluas lintasannya oleh Habermas.

Ia meninjau kembali reformulasi sebelumnya dari dua-pendapat Kant yaitu sintesis-transendental (mengenai bentuk-pengaturan aktivitas yang memungkinkan pengalaman objektif) dan kesatuan-transendental dari appersepsi (tentang kesatuan-subjek yang memiliki pengalaman-pengalaman).

Habermas juga berusaha untuk mengartikulasikan cara bagaimana Hegel meletakkan kembali sintesis-tersebut ke dalam perkembangan subjektif sejarah manusia (spirit absolut) dan bagaimana Marx menempatkan kembali sintesis-itu ke dalam pemanfaatan-material melalui alat-alat dan teknik (kerja yang diwujudkan).

Habermas bermaksud menambah proyeksi-lintasan dengan merehabilitasi kesamaan pandangan mereka bahwa konstitusi-pengalaman tidak dihasilkan oleh operasi-operasi transendental tetapi oleh aktivitas-alami-duniawi dari spesies-manusia. Namun Habermas juga ingin melakukan ini dengan cara menghindari kesalahan yang telah dilakukan oleh Marx dan Hegel.

Habermas berusaha melakukan dengan bangunan interpretasinya tentang Hegel, yang secara singkat sudah ditangkap dalam esainya Science and Technology as Ideology - Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi (Jerman 1968, termasuk dalam bahasa Inggris tahun 1970).


Dalam esai itu dia menanggapi pendapat Herbert Marcuse bahwa rasio-teknis dalam sains secara inheren menyatu di dalam dominasi. Menurut Marcuse, di bawah kapitalisme-akhir, rasio-teknis dalam sains berfungsi secara ideologis untuk meruntuhkan pertanyaan-pertanyaan praktis-intersubjektif tentang bagaimana kita ingin hidup-bersama menjadi pertanyaan-pertanyaan teknis tentang bagaimana mengendalikan dunia untuk mendapatkan apa yang kita inginkan. Habermas memiliki kesamaan dengan perhatian-perhatian Marcuse, seperti kritiknya yang jelas terhadap teknokrasi.

Namun ia berpikir bahwa dinamika-dinamika itu bersifat kontingen karena diterima sebagai sebuah kemunculan proyek-kolektif, umat-manusia membentuk bagaimana dunia menampakan-diri dalam pengalaman melalui aktivitas duniawinya.

Lebih khusus lagi, Habermas mengidentifikasi dua-modus berbeda dan dialektik terkait pembentukan-diri manusia yaitu kerja-dan-interaksi. Dimana kerja adalah sebuah jenis-tindakan yang bertujuan untuk mengontrol secara-teknis untuk mencapai keberhasilan, interaksi adalah sebuah jenis-tindakan yang bertujuan untuk saling-memahami yang diwujudkan dalam norma-norma konsensual.

Pendapat Marcuse hanya akan bertahan jika interaksi dari pilihan-politik-kolektif-intersubjektif --termasuk pertanyaan mengenai bagaimana kita menggunakan teknologi-- entah bagaimana dimasukkan atau dibuat menjadi tidak penting oleh kerja dari kemajuan teknologi dalam mengendalikan dunia luar.

Namun, menurut pandangan Habermas yang disampaikan pada periode ini, hal itu tidak mungkin. Interaksi dan kerja tampaknya diselaraskan sebagai kategori yang tidak-dapat-dikurangi dan tidak-bisa-divariasi dari pengalaman-manusia. Tidak dapat dimasukan atau dapat digolongkan kepada yang lain --bahkan jika relasi keduanya menjadi tidak-seimbang.


Dalam karyanya Knowledge and Human Interest, pemisahan antara kerja-dan-interaksi ini dituangkan kembali sebagai kepentingan-kepentingan teknis-dan-praktis dari umat-manusia.

Kepentingan teknis ada didalam reproduksi-material oleh spesies-manusia melalui kerja pada alam. Manusia menggunakan alat-alat dan teknologi untuk mengelola alam untuk mengolah material guna memenuhi kebutuhannya.

Kepentingan praktis ada di dalam reproduksi-sosial dari komunitas-komunitas manusia melalui norma-norma intersubjektif dari budaya dan komunikasi. Kehidupan sosial manusia membutuhkan anggota-anggota yang dapat saling-memahami, berbagi-harapan, dan bekerja-sama. Dalam arti, kepentingan-kepentingan ini adalah yang-paling-mendasar.

Selain itu, pengetahuan yang mengalir dari keduanya seharusnya perlahan-lahan tumbuh dari waktu ke waktu di dalam lembaga-lembaga masyarakat yang bertahan-lama : pengetahuan-teoritis didorong oleh kepentingan-teknis dalam mengendalikan alam tumbuh dalam analisis-empiris berbagai ilmu, dan pengetahuan-normatif didorong oleh kepentingan-praktis dalam saling-memahami muncul di dalam ilmu interpretif hermeneutik-sejarah.


Tetapi, melampaui karyanya Science and Technology as Ideology, dalam karya Knowledge and Human Interest, Habermas menambahkan kepentingan manusia yang ke-tiga yaitu emansipatori terhadap kebebasan dan otonomi.

Kerja pada reproduksi-material dan interaksi norma-norma pada reproduksi-sosial membutuhkan, dalam arti lemah, mekanisme-mekanisme-psikososial untuk menekan atau menolak dorongan dan rangsangan dasar yang akan menghancurkan reproduksi material-dan-sosial itu sendiri.

Misalnya, kerja perlu penundaan kenikmatan-kenikmatan yang menghambat pekerjaan dan interaksi-sosial memerlukan internalisasi gagasan tentang kewajiban, imbal-balik, rasa-malu, rasa-bersalah, dan sebagainya.

Sayangnya, mekanisme-mekanisme kontrol psikososial sering digunakan jauh melebihi daripada yang seharusnya dibutuhkan untuk mengamankan reproduksi material-dan-sosial.

Bahkan, insentif di bawah standar yang bersandar pada mekanisme-mekanisme semacam itu mungkin muncul : jika beban-beban dan keuntungan-keuntungan dari proses reproduksi material-dan-sosial terdistribusi secara tidak merata di seluruh kelompok dan kian menguat dari waktu ke waktu, maka mereka yang berkuasa mungkin mendapatkan mekanisme-mekanisme psikososial menjadi sangat berguna/menguntungkan bagi mereka.

Jika perempuan diajarkan secara salah, bahwa terdapat hukum-hukum kodrati hubungan-hubungan berdasar gender sehingga pola-pola dominan pernikahan dan pekerjaan rumah tangga yang secara konsisten merugikan kaum perempuan adalah yang terbaik yang dapat mereka harapkan, ini adalah sebuah mekanisme-ideologis dari kontrol-sosial.

Ini adalah pembatasan terhadap kebebasan dan otonomi tanpa tujuan-lain selain untuk dominasi, dan itu "berfungsi" melalui komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.


Habermas meletakan kepentingan-manusia dalam penggunaan refleksi-diri dan wawasan untuk memerangi dominasi-sosial, selubung-ideologis yang berlebihan sehingga dapat mewujudkan kebebasan dan otonomi.

Meskipun tidak ada kumpulan ilmu-ilmu pengetahuan yang terlembaga secara jelas di mana pengetahuan yang dipicu oleh kepentingan semacam itu akan tumbuh, Habermas menunjuk pada kritik Marx terhadap ideologi dan pembubaran psikoanalitik Freud tentang penindasan sebagai demonstrasi sudut-pandang-kognitif yang tidak berfokus pada kerja ( efisien ) atau interaksi ( legitim ) tetapi ; pembentukan identitas ( bebas ) yang terbebaskan dari internalisasi komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.

Di sini Habermas mengambil arah dari ide Kant bahwa rasio bertujuan untuk membebaskan diri dari penyiksaan-diri dan berusaha untuk menjalin hubungan antara teori ( akal ) dan praktik ( dalam arti realisasi-diri ) melalui penggunaan refleksi-kritis kepada diri-sendiri dan terhadap masyarakat untuk mengungkap dan membubarkan struktur kekuasaan opresif yang terinternalisasi yang mengkhianati kepentingan-kepentingan sesungguhnya diri seseorang.


Knowledge and Human Interest dibayangkan sebagai sebuah kata-pengantar untuk dua buku lain yang bersama-sama melawan pemisahan terhadap teori-dan-praktik. Namun, proyek itu tidak pernah selesai. Di satu sisi, Habermas merasa bahwa gelombang berbagai kritik terhadap positivisme dalam filsafat-ilmu membuat sisa proyek itu menjadi berlebihan dan tidak-penting. Di sisi lain, karya tersebut menghadapai kritik keras.

Sebagai permulaan, Habermas nampaknya menyelaraskan kerja-dan-interaksi sebagai tipe-tipe tindakan-nyata. Namun, jika kita memberikan catatan bagaimana kerja terbangun secara komunikatif, interaksi diatur secara teleologis, dan bagaimana gagasan-gagasan historis tentang kerja-dan-interaksi membangun arti kebebasan bagi seseorang, maka jelas ini dapat menjadi idealisasi-idealisasi yang terbaik.

Selain itu, seperti yang bahkan para penafsir yang simpati telah mencatat, penjelasannya tentang kepentingan-emansipatoris tampak kabur di dalam refleksi bersama pada praduga dan kondisi umum dari pengetahuan dan tindakan yang valid dengan refleksi terhadap sejarah formatif spesifik dari seorang-individu atau kelompok tertentu ( Giddens, McCarthy , 95 ).

Terakhir, definisinya tentang pengetahuan-yang-mengandung-kepentingan tampaknya mereproduksi semacam fondasionalisme yang ingin dihindarinya.


Dengan kritik semacam itu, mungkin tampak mengejutkan bahwa Communication and the Evolution of Society merekonstruksi materialisme-sejarah Marx sebagai sebuah Teori-Evolusi-Masyarakat.

Ini terdengar fondasional dan deterministik-teleologis. Kesan ini menyesatkan.

Sekitar waktu ini Habermas mulai mempresentasikan karyanya sebagai program-penelitian dengan pendapat yang berubah-ubah dan dapat disalahkan, yang dapat dievaluasi dengan wacana-wacana teoritis. Selain itu, ketika ia berbicara tentang evolusi, ia menggunakan istilah itu secara berbeda dengan filosof sejarah dari abad 19 ( Hegel, Marx, Spencer ) atau penjelasan Darwinian yang terakhir.

Evolusi-Sosial-nya bukanlah semata-mata pola yang saling-bergantung atau suatu realisasi-teleologis dari sebuah tujuan-ideal yang progresif dan kuat. Sebaliknya, ia membayangkan potensi-potensi laten yang dimiliki masyarakat sebagai kecenderungan untuk mengungkap sesuai dengan sebuah logika-perkembangan-imanen mirip dengan pendapat logika-perkembangan-kognitif psikologis yang biasanya diikuti orang dewasa.

Terakhir, teori Evolusi-Sosial Habermas menghindari kekhawatiran terhadap determinisme dengan cara membedakan antara logika dan mekanisme-perkembangan sehingga evolusi bukanlah sesuatu yang tidak-dapat-dihindari, linier, tidak-dapat-diubah, atau berkelanjutan. Sebuah sketsa singkat teorinya adalah sebagai berikut.


Habermas mencirikan masyarakat manusia sebagai sebuah sistem yang mengintegrasikan proses-proses produksi-materi ( kerja ) dan sosialisasi-normatif ( interaksi ) melalui tindakan yang terkoordinasi secara linguistik.

Ini secara kualitatif berbeda dari status statis dan keterkaitan sistem-sistem hierarki dari hewan-hewan 'sosial' lainnya.

Dalam berbagai periode-sejarah dalam kehidupan manusia, koordinasi linguistik dari proses-proses ini mengkristal di sekitar prinsip-prinsip-organisasional yang berbeda-beda yang merupakan 'inti-kelembagaan' dari integrasi-sosial.

Dalam masyarakat-masyarakat yang paling dasar struktur-struktur kekerabatan memainkan peran ini dengan pembagian-kerja dan penentuan-sosialisasi berbagai tanggung jawab melalui peran-peran dan norma-norma berdasar jenis-kelamin.

Habermas berpendapat bahwa prinsip-prinsip-organisasional ini digantikan oleh aturan-politik dalam masyarakat-masyarakat tradisional dan oleh ekonomi dalam masyarakat-masyarakat kapitalis-liberal.

Evolusi-Sosial secara umum dan gerakan-gerakan khusus yang berasal dari satu-inti menuju tahap-selanjutnya tumbuh dari pemahaman terhadap reproduksi material-dan-sosial.

Dipahami sebagai tipe-tipe ideal, kerja-dan-interaksi menandai berbagai cara berbeda untuk berhubungan dengan dunia.

Di tangan seseorang, di dalam produksi-material seseorang terutama mengadopsi sebuah perspektif-instrumental yang berusaha untuk mengendalikan suatu objek sesuai dengan kehendak yang dimiliki. Dalam orientasi ini, pemahaman diukur oleh keberhasilan dalam mengendalikan dunia dan pengetahuan yang dihasilkan adalah kognitif-teknis.

Di sisi lain, dalam reproduksi-sosial seseorang terutama mengadopsi sebuah perspektif-komunikatif yang berusaha untuk mengoordinasikan tindakan-tindakan dan harapan-harapan melalui kesepakatan secara konsesus terhadap standar-standar normatif. Dalam pemahaman orientasi ini diukur dengan saling-pengertian dan pengetahuan yang dihasilkan adalah moral-praktis.

Setiap pemahaman mengikuti logikanya sendiri. Namun, karena proses-proses terintegrasi dalam sistem-sosial yang sama, perkembangan-perkembangan pada kedua jenis-pengetahuan itu dapat menghasilkan tegangan-tegangan internal atau ketidaksesuaian.

Ini tidak dapat ditekan oleh kekuatan atau ideologi lama, dan pada akhirnya harus dipecahkan dengan lebih-banyak pemahaman atau inovasi. Jika ketegangan-internal ini terlalu besar, maka akan memicu krisis yang membutuhkan sebuah 'inti-kelembagaan' yang benar-benar baru seluruhnya.

Bagi Habermas, pemahaman-sosial yang lambat dalam sejarah adalah sedimentasi proses-proses yang berulang dari pemahaman-individual yang terakumulasi di dalam lembaga-lembaga sosial.

Meskipun tidak ada subjek-makro terpadu yang mempelajari, Evolusi-Sosial juga bukanlah hanya kesempatan-situasional dan keengganan untuk berubah. Evolusi-Sosial adalah hasil tidak langsung dari proses-proses pemahaman-individu, dan semacam proses-proses perkembangan dengan logika-perkembangan atau struktur-pemahaman yang mendalam :

“ mekanisme fundamental dari Evolusi-Sosial secara umum dapat ditemukan dalam sebuah ketidakmampuan-otomatis untuk tidak-memahami. Tidak-memahami bukan tidak-paham adalah fenomena yang menuntut penjelasan. ” ( LC, 15; lihat juga Rapic 2014, 68 ).

Habermas menyebut sebuah logika-perkembangan-universal yang cenderung membimbing pemahaman-individual dan pematangan dalam pengetahuan teknis-instrumental dan moral-praktis.

Dia menemukan logika ini dalam penelitian yang saling melengkapi dari Jean Piaget dalam perkembangan-kognitif dan Lawrence Kohlberg dalam perkembangan-penilaian-moral.

Ketika pemahaman-sosial-dan-individual saling terhubung, logika yang mendasarinya secara perlahan menciptakan homologi-homologi --kesamaan-kesamaan dalam rangkaian-urutan dan bentuk-- antara :

(i. ) Perkembangan ego-individual dan identitas-kelompok.
(ii. ) Perkembangan ego-individual dan perspektif-dunia.
(iii.) perkembangan ego-individual mengenai penilaian-moral dan struktur-struktur hukum-dan-moralitas
( Owen 2002, 132 ).


Habermas lebih memperhatikan homologi yang terakhir dan tulisan-tulisanya kemudian berfokus pada Kohlberg, hal ini merupakan petunjuk untuk berpindah fokus pembahasan ke sana ( 1990b ).

Penelitian Kohlberg tentang bagaimana anak-anak biasanya mengembangkan penilaian-moral menghasilkan skema-tiga-tingkatan yaitu :
1. Pra-konvensional
2. Konvensional
3. Pasca-konvensional

Serta enam-tahapan yaitu :
1. Orientasi hukuman-kepatuhan ( melakukan dengan pertimbangan kepatuhan dan adanya hukuman )
2. Orientasi instrumental-relativisme hedonisme ( melakukan dengan pertimbangan menghasilkan kesenangan )
3. Orientasi sebutan "Anak yang baik" ( melakukan dengan pertimbangan untuk mendapat pengakuan diri )
4. Orientasi hukum dan aturan legalistik ( melakukan dengan pertimbangan sebagai sebuah kewajiban )
5. Orientasi kontrak sosial ( melakukan dengan pertimbangan sebagai kesepakatan sosial )
6. Orientasi prinsip-prinsip etika universal ( melakukan dengan pertimbangan semua manusia melakukannya )


Dua-tahapan sesuai dengan masing-masing tingkatan. Habermas mengikuti tiga-tingkatan Kohlberg dalam berpendapat bahwa kita dapat secara retrospektif melihat tingkatan pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional yang melaluinya masyarakat telah berkembang secara historis.

Sama seperti individu-individu normal yang berkembang dari anak-anak menjadi orang dewasa, melewati tingkatan-tingkatan di mana berbagai jenis-penalaran diambil untuk dapat membuat tindakan dan penilaian menjadi diterima, demikian juga kita dapat secara retrospektif melihat perkembangan mekanisme-mekanisme integrasi-sosial dalam masyarakat yang telah mencapai tingkatan-progresif di mana lembaga-lembaga hukum-dan-moral telah tersusun oleh prinsip-prinsip dasar organisasional.

Habermas sedikit menyimpang dari enam-tahapan skema Kohlberg dengan mengusulkan skema :
1. Masyarakat neolitik
2. Masyarakat peradaban-kuno
3. Masyarakat peradaban-maju
4. Masyarakat modern-awal.

Masyarakat-neolitik mengorganisir interaksi melalui kekerabatan dan pandangan-pandangan-dunia bersifat mistis. Mereka juga menyelesaikan konflik-konflik akibat perselisihan dengan menarik/melibatkan sebuah otoritas untuk menengahi perselisihan dengan cara-cara pra-konvensional untuk mengembalikan status-quo.

Masyarakt peradaban-kuno mengorganisir interaksi melalui hierarki-hierarki yang melampaui kekerabatan dan pandangan-pandangan-dunia-bersifat-mistis yang disesuaikan untuk mendukung hierarki semacam itu. Konflik mulai diselesaikan melalui mediasi dengan menarik/melibatkan sebuah otoritas yang bersandar pada ide-ide yang lebih abstrak mengenai keadilan misal hukuman, sebagai pengganti-pembalasan, penilaian-niat, dan sebagainya.

Masyarakat peradaban-maju masih mengatur interaksi secara konvensional, tetapi mengadopsi sebuah pandangan-pandangan dunia yang dirasionalisasi dengan elemen-elemen moral pasca-konvensional. Ini memungkinkan konflik diperantarai oleh sejenis undang-undang yang, meski berakar pada kerangka moral masyarakat ( konvensional ), dapat dipisahkan dari otoritas yang mengelolanya.

Akhirnya pada Masyarakat-modern-awal, kita menemukan domain-domain interaksi tertentu tersusun secara pasca-konvensional. Selain itu, pembagian yang lebih tajam antara moralitas dan legalitas muncul sehingga konflik dapat diatur secara hukum tanpa mengandaikan moralitas bersama atau bersandar pada kekuatan-kekuatan dari pandangan-pandangan-dunia mistis yang mendukung hierarki ( McCarthy 1978, 252 ).

Jelas, sketsa ini agak kabur dan perlu dijabarkan lebih lanjut. Hal ini benar terutama dalam cara-cara pembacaan yang dangkal ( yang menerima Evolusi-Sosial sebagai paralel yang ketat dan bukannya homolog terhadap perkembangan-individual ) mengarah dengan sendirinya kepada narasi perkembangan yang menjijikkan. Namun, terlepas dari beberapa tulisan-tulisan selanjutnya, Habermas belum kembali ke teori Evolusi-Sosial-nya dengan cara yang sistematis.

Beberapa penulis sekunder telah mencoba untuk mengisi secara rinci ( Rockmore 1989, Owen 2002, Brunkhorst 2014, Rapic 2014 ). Namun demikian, Habermas masih mendukung bentuk-teorinya tentang Evolusi-Sosial : ide-ide ini muncul dalam karyanya Theory of Communicative Action dan tulisan-tulisannya di kemudian hari tentang sifat dan perkembangan legalitas dan legitimasi-demokratis memiliki hubungan yang longgar dengan karya awal ini ( terutama homologi yang terakhir di atas ) sejauh karya-karya itu disesuaikan khusus masyarakat-masyarakat pasca-konvensional.

Namun, sebelum beralih ke teori demokrasinya, kita harus membahas kerangka-karya yang sangat penting antara peralihan komunikasi dan artikulasinya dalam Theory of Communicative Action.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H2
Pemahaman Pribadi



Friday, October 5, 2018

Kebohongan Dan Filsafat : 3 Pendekatan

Perspektif 1 : Etika-Kewajiban Kantian

Immanuel Kant melakukan kajian kebohongan pada esai pendeknya berjudul On a supposed right to lie from Benevolent Motives (Tentang suatu anggapan hak untuk berbohong dari Motif-motif Kebajikan), sebagai sebuah reaksi terhadap wacana dari Benjamin Constant (reaksi politik), yang mendukung hak-berbohong bagi umat manusia. Sebelum membahas argumen Kantian, mari kita meringkas argumen dari Constant, ia menyatakan :

" Prinsip moral : bahwa mengatakan kebenaran adalah sebuah kewajiban, jika diterima absolut dan tertutup, akan membuat masyarakat tidak mungkin [...]. Mengatakan kebenaran adalah sebuah kewajiban. Apa itu kewajiban ? Gagasan tentang kewajiban tidak-dapat dipisahkan dari hak : sebuah kewajiban, pada kenyataannya, adalah hak-orang-lain. Ketika tidak-ada hak, maka tidak-ada kewajiban yang harus diselesaikan. Mengatakan kebenaran adalah sebuah kewajiban terhadap mereka yang berhak atas kebenaran. Tetapi tidak-ada seorangpun yang memiliki sebuah hak atas kebenaran yang melukai orang lain. "

Dalam kutipan di atas Constant mendukung hak-untuk-berbohong daripada menyampaikan kebenaran yang menyakiti/melukai orang orang lain.

Melawan pendapat Constant, Kant mengatakan bahwa kebohongan selalu-salah secara moral, bahwa kebohongan tidak-pernah-benar. Ini didasarkan pada sebuah konsepsi-subjektif. Memang, ia berpendapat bahwa semua orang dilahirkan dengan nilai-intrinsik yang ia sebut martabat-manusia. Martabat ini berasal dari fakta bahwa manusia adalah mahluk-rasional, yang mampu mengambil keputusan sendiri secara mandiri.

Jadi menurut pendapat Kant, kebohongan adalah dua-kali kesalahan :

Kebohongan merusak kemampuan moral manusia, dan
Kebohongan mencegah orang lain untuk bertindak secara rasional dan bebas, sebagai contoh meruntuhkan martabat orang lain.

Etika Kant adalah formalisme moral, mengarah langsung untuk menyangkal sebuah kebohongan.


Perspektif 2 : Etika-Kebajikan

Perspektif kedua, yaitu Etika-Kebajikan, juga mempertahankan pendapat bahwa kebohongan adalah salah-secara-moral, tetapi kurang ketat daripada pendapat Kant. Moralisme kebajikan lebih-besar menekankan pada perkembangan persoalan-kualitas-moral sebagai tujuan-tujuan mereka atau pemenuhan terhadap sebuah aturan formal. Menurut mereka, kejujuran adalah suatu keutamaan/kebajikan untuk dibudidayakan karena itu adalah landasan yang di atasnya manusia mampu mendorong perkembangan moralnya.


Perspektif 3 : Etika-Utilitarianisme

Perspektif ketiga, menurut Etika-Utilitarianisme, kebohongan atau kebenaran harus dinilai berdasarkan sebuah perhitungan antara keuntungan yang didapat dan kerugian yang dialami. Dengan kata lain, jika sebuah kebohongan memaksimalkan keuntungan yang diperoleh dari suatu situasi yang ada, pendapat moral-utilitarian adalah akan menjadi lebih-tidak-bermoral lagi jika tidak-melakukan kebohongan. Titik lemah dari Etika-Utilitarian adalah memperkirakan konsekuensi-konsekuensi dari kebohongan, di mana individu mungkin saja salah melakukan perkiraan. Tetapi menarik untuk dicatat bahwa utilitarianisme menganggap kebohongan selalu-mungkin sebagai sebuah-pilihan. Sebagai contoh mengacu pada logika-utilitarian, jika seorang dokter kepada pasiennya mengatakan kebohongan mengenai peluangnya untuk bertahan hidup, ia berpikir bahwa si-pasien akan menikmati sisa waktu hidupnya.


Kutipan-kutipan

Kutipan dari Kant :

Karena kebohongan selalu menyangkut kepada orang-lain maka, bahkan jika kebohongan tidak merugikan orang-lain, itu menyakiti kemanusiaan secara umum dan kebohongan membuat sumber-hukum menjadi sia-sia.
Mengatakan kebenaran adalah kewajiban-formal manusia terhadap satu sama lain.


Kutipan dari Stuart Mill :

Adalah fakta yang diakui oleh semua moralis bahwa aturan yang sama mengenai kebenaran, yang disakralkan seperti adanya, mungkin terdapat pengecualian-pengecualian dan jika, untuk menjaga seseorang (terutama orang-lain selain diri-sendiri) dari sebuah kemalangan yang tidak-layak-diterimanya, maka seharusnya menyembunyikan fakta sekaligus tidak-menyangkal-fakta tersebut (misalnya terhadap berita-berita tindakan kriminal atau berita-buruk pada seseorang yang sakit berbahaya). Tetapi pengecualian tidak-diperluas lebih dari yang diperlukan dan tidak melemahkan kepercayaan pada kebenaran, kita harus tahu bagaimana mengenalinya dan, jika mungkin, memberi batasan.


Kutipan dari Hannah Arendt :

Kebenaran tidak pernah termasuk di antara kebajikan-politik, dan kebohongan selalu dianggap sebagai justifikasi-sempurna dalam urusan-urusan politik.


Sumber :https://www.the-philosophy.com/kant-right-to-lie
Pemahaman Pribadi