Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, September 29, 2018

Jurgen Habermas 2 : Biografi Kehidupan Awal Hingga Karyanya Transformasi Struktural

Habermas lahir pada tahun 1929 di Düsseldorf, Jerman. Ia pernah menyampaikan bahwa operasi-bedah untuk memperbaiki belahan langit-langit rongga mulutnya di masa-awal kanak-kanak membuat dirinya peka terhadap kerentanan/penderitaan dan saling-ketergantungan antar manusia, dan bahwa perjuangan beratnya melalui masa kanak-kanak selanjutnya agar mampu berkomunikasi-verbal dengan lancar, sebagian dapat menjelaskan minat teoretisnya dalam komunikasi dan saling-mengenal.

Ia juga menyebut, akhir dari Perang Dunia II dan rasa frustrasi terhadap Jerman pasca-perang atas keengganannya untuk putus-sepenuhnya dengan masa-lalu sebagai kunci pengalaman pribadi yang menginformasikan teori politiknya.

Habermas berada pada generasi yang oleh para sejarawan disebut sebagai Flakhelfer-Generation atau FortyFiver-Genaration.

Flakhelfer berarti asisten anti-pesawat-udara. Pada akhir perang, orang-orang yang lahir antara 1926 dan 1929 direkrut dan dikirim untuk membantu anggota artileri pertahanan anti-pesawat-udara. Lebih dari satu juta pemuda bertugas sebagai personel semacam itu.

Label FortyFiver yang kedua menangkap bagaimana generasi ini memasuki masa kekalahan Nazi pada tahun 1945.

Pengalaman-pengalaman ini memupuk sikap skeptisme dan kewaspadaan terhadap politik yang lahir dari eksploitasi, serta ketertarikan kepada prinsip-prinsip demokrasi-liberal yang baru lahir pasca-perang.

Kedua label ini menangkap fitur formatif biografi Habermas (Specter 2010, Matustik 2001).

Melihat kembali pendidikan oleh kedua orang tuanya selama masa peperangan, Habermas menggambarkan keluarganya secara pasif beradaptasi dengan rezim Nazi yaitu tidak mengidentifikasi-diri dengannya atau tidak juga menentangnya.

Ia direkrut masuk ke dalam Pemuda-Hitler pada tahun 1944 dan dikirim sebagai anggota pasukan pertahanan di front barat sesaat sebelum perang berakhir.

Segera setelah itu, dia mengetahui kekejaman Nazi melalui siaran radio dari pengadilan Nuremberg dan dari pertunjukan-pertunjukan dokumenter kamp-konsentrasi di teater-teater lokal.

Pengalaman seperti itu meninggalkan dampak yang dalam, ia menyatakan :

" Saat itu juga kita melihat bahwa kita telah hidup dalam sistem politik kriminal. " (AS 77, 43, 231).

Setelah perang, ia belajar filsafat di universitas-universitas Göttingen (1949-50), Zurich (1950-1951) dan Bonn (1951-1954).

Dia menulis tesisnya tentang Schelling dibawah arahan Erich Rothacker dan Oskar Becker. Dia semakin frustrasi dengan keengganan politisi dan akademisi Jerman untuk mengakui peran/keterlibatan mereka dalam peperangan.

Dia kecewa pada kegagalan pemerintah Jerman pasca-perang untuk membuat awal-politik yang segar dan terus menderita tekanan oleh kontinuitas masa-lalu.

Dalam sebuah wawancara, dia mengingat dirinya meninggalkan reli-kampanye pada tahun 1949 setelah merasa jijik dengan konotasi-konotasi ekstrim-kanan terhadap bendera-bendera dan lagu-lagu yang digunakan.

Dia juga kecewa dengan akademisi Jerman. Di universitas ia mempelajari karya Arnold Gehlen dan Martin Heidegger secara ekstensif, tetapi ikatan mereka sebelumnya dengan Nazi tidak didiskusikan secara terbuka.

Pada tahun 1953 Heidegger menerbitkan kembali karyanya tahun 1935, berjudul Lectures Of Metaphysics dalam bentuk yang sebagian besar tidak disunting yang didalamnya termasuk menunjukkan " kebenaran batin dan kebesaran gerakan Nazi " (inner truth and greatness of the Nazi movement).

Habermas menerbitkan edisi-terbuka yang menantang tulisan Heidegger, dan kurangnya respon terhadap tulisannya tampaknya mengkonfirmasi kecurigaannya (NC, 140-172).

Dia menulis sebuah karya yang mengkritik Gehlen beberapa tahun kemudian (1956). Sekitar waktu yang sama dia menjalani beban berat untuk belajar menjadi siswa Rothacker dan Becker yang juga mantan anggota partai Nazi yang aktif.

Menjelang akhir studinya, Habermas bekerja sebagai jurnalis-lepas dan menerbitkan esai di jurnal-intelektual Merkur.

Dia tertarik pada Institut-Penelitian-Sosial interdisipliner yang berafiliasi dengan Universitas Frankfurt. Institut yang hidup kembali dari keterasingan selama perang pada tahun 1950, dan Adorno menjadi direktur pada tahun 1955.

Adorno akrab dengan esai-esai karya Habermas dan menjadikannya sebagai asisten peneliti. Ketika di dalam institut, Habermas mempelajari filsafat dan sosiologi, bekerja pada proyek-proyek penelitian, dan terus mempublikasikan karya-karya edisi-terbuka.

Kepada salah satu karyanya berjudul Marx dan Marxisme, Horkheimer memberi pendapat keras sebagai terlalu-radikal. Horkheimer kemudian mengirim surat kepada Adorno menyarankan agar memecat Habermas dari institut.

Tahun berikutnya Horkheimer menolak proposal Habermas, Habilitationsschrift yang membahas ranah-publik ( public-sphere ). Tetapi Habermas tidak ingin mengubah proyek-kerjanya, sehingga dia menyelesaikan disertasinya di Universitas Marburg di bawah ilmuwan politik Marxis -- Wolfgang Abendroth.

Karyanya Habilitationsschrift, The Structural Transformation of the Public Sphere (Jerman 1962, Inggris 1989), diterima dengan baik di Jerman. Karya ini mencatat munculnya lingkungan-publik borjuis di Eropa pada abad 18 dan 19, serta kemerosotannya di tengah-tengah konsumen-massal kapitalisme pada abad ke-20.

Habermas memberikan penjelasan mengenai cara bagaimana surat-kabar, kedai-kopi, jurnal-sastra, pub, pertemuan-publik, parlemen dan forum-publik lainnya memfasilitasi munculnya norma-norma sosial baru yang kuat dari wacana dan perdebatan yang memediasi antara kepentingan-pribadi dan kepentingan-publik.

Forum-forum ini berfungsi sebagai mekanisme untuk menyebarluaskan informasi dan membantu secara bebas membentuk kehendak-politik-publik yang diperlukan untuk penentuan-diri bersama.

Norma-norma ini juga sebagian mengandung prinsip-prinsip penting seperti kesetaraan, solidaritas, dan kebebasan. Meskipun demikian, pada akhir abad ke-19, kapitalisme semakin monopolistik.

Perusahaan-perusahaan besar dengan mudah mempengaruhi negara dan masyarakat. Elit ekonomi dapat menggunakan kepemilikan media dan forum-lain (sebelumnya publik) untuk memanipulasi atau memproduksi opini-publik dan membeli politisi.

Warga yang berunding tentang kebaikan bersama diubah menjadi konsumen-individual yang memburu kepentingan-pribadi.

Habermas menggambarkan ini sebagai Re-Feodalisasi terhadap ruang-publik (public-sphere). Meski narasinya pesimistis, akhir dari karyanya Transformasi-Struktural tampaknya mempertahankan harapan bahwa potensi-normatif dari ruang-publik (public-sphere) yang terpotong mungkin belum dihidupkan kembali.

Karya ini menguatkan posisi Habermas di akademi Jerman. Setelah bertugas singkat di Heidelberg, ia kembali ke Universitas Frankfurt pada tahun 1964 sebagai profesor filsafat dan sosiologi, mengambil alih kursi yang ditinggalkan oleh masa pensiun Horkheimer.

Dalam semangat panggilan awalnya untuk memperbaharui bahasan ruang-publik (public-sphere), Habermas secara konsisten terlibat dalam gerakan politik sebagai intelektual-publik dan mengambil bagian dalam berbagai perdebatan ilmiah.

Hal ini tidaklah selalu mudah. Setelah kembali ke Frankfurt ia menjadi mentor untuk gerakan mahasiswa Jerman, tetapi kemudian jatuh ke dalam gerakan mahasiswa radikal pada tahun 1967.

Pada bulan Juni tahun itu, berbagai nyala-api demonstrasi --terhadap restrukturisasi universitas-universitas Jerman, mengusulkan Hukum-Darurat terhadap Perang-Vietnam, dan masalah lainnya-- semakin memanas.

Titik puncaknya adalah ketika seorang mahasiswa dalam sebuah protes terhadap Shah-Iran ditembak dan dipukuli secara fatal oleh polisi berpakaian preman, yang kemudian mencoba untuk menutupi insiden tersebut.

Ini memicu api protes mahasiswa. Pendudukan dan demonstrasi melumpuhkan kehidupan sehari-hari. Di bawah kepemimpinan Rudi Dutschke, mahasiswa menduduki Universitas Berlin.

Habermas khawatir bahwa para pemimpin-demonstrasi tampaknya mendukung sebuah perlawanan yang tidak-sempurna dan ekstra-legal kepada setiap dan semua otoritas, yang dapat dengan mudah mengarah pada kekerasan.

Dalam sebuah konferensi di Hannover tak lama setelah penembakan itu, dia mencela Dutschke dengan menyebut modelnya sebagai tindakan langsung ekstra-legal-fasisme-kiri.

Tuduhan itu mengasingkan Habermas dari gerakan mahasiswa-kiri dan mengilhami sebuah kumpulan esai Die Linke Antwortet Jürgen Habermas (The Left Answer Habermas, Jerman 1969).

Pemulihan hubungan hanya terjadi satu dasawarsa kemudian ketika, setelah serangkaian pembunuhan oleh Fraksi-Tentara-Merah sayap-kiri yang radikal, politisi di sayap-kanan mencoba mengumpulkan modal politik dengan menyatakan bahwa terorisme seperti itu berakar pada ide-ide Aliran-Teori-Kritis-Frankfurt .

Habermas dan Dutschke menerbitkan karya-karya yang menyangkal tuduhan itu. Satu dasawarsa kemudian, editor koleksi esai itu meminta maaf atas bagaimana buku itu membuat Habermas tampak jatuh ke dalam gerakan mahasiswa yang ditandai dengan perubahan-konservatif, hal ini berarti ia tidak lagi menjadi bagian gerakan kiri.

Sebagai seorang intelektual-publik, Habermas telah terlibat dalam berbagai topik diantaranya gerakan anti-nuklir pada akhir tahun 1950, perdebatan mengenai Euromissile dari awal tahun 1980 dan, pada awal tahun 2000, mengenai baik Terorisme 9/11 dan Perang Irak Kedua. Pada paruh kedua tahun 1980 dia juga menjadi suara-kunci dalam perdebatan Historikerstreit antara sejarawan, filsuf, dan akademisi lain tentang cara yang tepat bagi Jerman untuk menempatkan dan mengingat Holocaust di tengah-tengah sejarah kekejaman lain.

Pada tahun 1989 ia memberi kontribusi penting pada perdebatan publik tentang penyatuan kembali Jerman. Meskipun Habermas tidak menentang reunifikasi, dia bersikap kritis terhadap kecepatan dan cara bagaimana reunifikasi dilakukan.

Baru-baru ini, dia mendekati debat publik tentang Uni-Eropa di sepanjang garis yang sama tentang optimisme yang hati-hati yaitu optimisme yang juga waspada terhadap persatuan-palsu yang dipaksa, terburu-buru, atau ditipu yang akan kekurangan legitimasi dan stabilitas dalam jangka-panjang.

Dalam uraian yang lebih akademis, ia telah banyak melakukan pertukaran pikiran dengan para-pemikir seperti Jacques Derrida, Richard Rorty, Hans-Georg Gadamer, Niklas Luhmann, John Rawls, Robert Brandom, Hilary Putnam, dan Kardinal Joseph Ratzinger (sebelum ia menjadi Paus Benediktus XVI).

Perdebatannya yang masih berlangsung dengan postmodernisme bisa dibilang garis perdebatan yang paling bertahan lama.

Secara garis besar, para pemikir seperti Michel Foucault, Jacques Derrida, dan Richard Rorty telah menyampaikan kritik terhadap pengaruh yang menyatakan rasio kurang berpengaruh daripada sebuah bentuk sosial historis dan budaya yang kontingen, bahwa gagasan moralitas dan kebenaran universal yang berlaku adalah proyeksi kekuasaan yang etnosentris, bahwa kepentingan-kepentingan yang dibentuk oleh cara hidup yang sangat-berbeda tidak dapat didamaikan, dan bahwa keyakinan kita pada kemajuan moral emansipatif umat-manusia adalah mitos.

Habermas mencoba untuk menghadapi tantangan itu dengan cara yang sama ketika ia menanggapi Horkheimer dan Dialectic of Enlightenment karya Adorno yaitu dengan mengandalkan kisah komunikatif-rasionalitas dalam Theory of Communicative Action.

Namun, sebelum beralih ke teori yang lebih matang, kita harus menjelajahi beberapa fase-utama dari karya formatif dan transisionalnya.

Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas/#H1
Pemahaman Pribadi



Tuesday, September 25, 2018

Jurgen Habermas 1 : Pengantar

Jürgen Habermas menghasilkan banyak karya selama lebih dari lima dekade. Karya awalnya khusus membahas tentang ruang-publik, modernisasi, dan kritik terhadap tren filsafat dan politik.

Perlahan kemudian ia mulai mengartikulasikan teori-teori rasionalitas, makna, dan kebenaran.

Dua volume karyanya Theory of Communicative Action - Teori Tindakan Komunikatif pada tahun 1981 direvisi dan disistematisasi menggunakan banyak ide-ide ini dan ia mulai mengenalkan pemikirannya yang matang.

Setelah itu, ia mengalihkan perhatian kepada etika dan teori-demokrasi. Ia menghubungkan teori dan praktik dengan membuat karya dalam berbagai disiplin lain dan berbicara sebagai intelektual-publik.

Mengingat luas cakupan karyanya, adalah berguna untuk melakukan identifikasi terhadap beberapa tema-abadi pada karya-karyanya.

Habermas mewakili generasi ke-dua aliran-teori-kritis-Frankfurt. Karya matangnya memulai sebuah perubahan "peralihan-komunikatif" pada teori-kritis.

Peralihan ini bertentangan dengan pendekatan yang dilakukan para pembimbingnya, Max Horkheimer dan Theodor W. Adorno, yang merupakan para pendiri di antara beberapa pendiri teori-kritis.

Habermas melihat peralihan ini sebagai sebuah pergeseran paradigma yang menjauhi banyak-asumsi yang terdapat di dalam pendekatan ontologis-tradisional filsafat kuno, yaitu apa yang ia sebut sebagai filsafat-subjek yang menandai periode-awal modern.

Sebagai gantinya, ia mencoba membangun sebuah post-metafisis dan pendekatan-linguistik pada kajian-kajian filosofi.

Perbedaan lain dengan teori-kritis awal adalah Habermas membela proyek-emansipatoris dari proyek-pencerahan yang "belum-selesai" melawan berbagai macam kritik.

Salah satu kritik muncul ketika malapetaka moral Perang-Dunia-II menghancurkan harapan bahwa peningkatan rasionalisasi dan inovasi teknologi oleh modernisasi akan menghasilkan emansipasi manusia.

Habermas berpendapat bahwa gambaran rasionalitas-pencerahan yang terikat pada dominasi hanya muncul jika kita mencampur-adukan rasionalitas-instrumental dengan rasionalitas --seperti misalnya jika kontrol-teknis disalah-artikan sebagai keseluruhan dari komunikasi.

Ia kemudian mengembangkan sebuah penjelasan tentang rasionalitas-komunikatif yang berorientasi pada pencapaian kesepahaman-bersama daripada hanya untuk mencapai keberhasilan atau menjaga keotentikan.

Tema abadi lainnya dalam karya Habermas adalah pembelaannya terhadap struktur-struktur pasca-nasional tentang penentuan-diri dalam arti politik dan pemerintahan-transnasional melawan model-model negara-bangsa yang lebih-tradisional.

Ia melihat paham tradisional tentang identitas-nasional semakin tidak penting dan dunia seperti menghadapi masalah yang bersumber dari saling-ketergantungan yang tidak dapat lagi diatasi di tingkat-nasional.

Sebagai ganti identitas-nasional yang berpusat pada tradisi-sejarah, kepemilikan-etnis, atau budaya-nasional bersama, ia mendukung sebuah patriotisme-konstitusional di mana komitmen-politik, identitas-kolektif, dan kesetiaan-pada-koalisi meliputi prinsip-prinsip dan prosedur bersama dari sebuah liberal-demokratik konstitusional yang memfasilitasi wacana-publik dan penentuan-diri.

Habermas juga berpendapat bahwa munculnya struktur-struktur hukum-internasional dan pemerintahan-transnasional merupakan prestasi yang secara umum positif yang menggerakkan tatanan-politik-global ke arah sebuah kosmopolitan yang lebih-baik melindungi hak-asasi-manusia dan mendorong penyebaran norma-norma demokratis.

Ia melihat munculnya Uni-Eropa sebagai paradigma mengenai hal ini. Namun, kosmopolitanisme tidak harus dilebih-lebihkan.

Ia tidak menganjurkan demokrasi-global dalam arti yang kuat, dan dia berkomitmen pada gagasan bahwa penentuan-diri yang demokratis membutuhkan suatu ukuran terhadap identifikasi-bersama yang dilokalkan dalam bentuk solidaritas-sipil yaitu solidaritas yang dimediasi oleh hukum melingkupi sejarah bersama, lembaga, dan berakar pada beberapa pola-hidup-etis bersama yang menumbuhkan kesepahaman-bersama ( lihat diskusi Sittlichkeit di bawah ini ) .


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/habermas
Pemahaman Pribadi



Friday, September 14, 2018

Tinggi


"Hoiii kesini !", Seru Sosok-Telanjang-Dada melambai berulang kali ke arah pengembara yang melintas tergesa. Suaranya lantang ke segala arah. Sontak langkah pengembara berhenti tersentak, terengah bercampur was-was, ia mencari-cari sumber suara.

"Mengapa harus mengikutimu ?", Teriak Si-Pengembara mendongak, urat lehernya tertarik menggumpal. Ia menemukan Sosok-Telanjang-Dada berdiri di atas bongkahan cadas menjulang. Dadanya tipis, wajahnya tirus dengan tulang pipi lancip menonjol. Celana lusuh menggantung tanggung di bawah lutut, pusarnya hitam, betisnya kering, mengkilap dan keras. Di batas pinggul melingkar tipis pilinan akar menahan celana yang nyaris jatuh terlepas. Dia menekuk punggung, tulang rusuknya menonjol bergaris-garis.

"Apa yang kau lihat di sana ?"
"Bukankah hanya pohon-pohon besar yang menghalang pandanganmu ?"
"Jalan setapak yang entah menuju kemana ?", Menyeringai Sosok-Telanjang-Dada mengejek. Gigi kecilnya hitam berbaris sinis, sorot matanya berkilat-kilat menusuk menakutkan.

Bergeser waspada, perlahan, hati-hati Si-Pengembara mundur beberapa langkah, gemeretak ranting patah mengagetkan langkahnya. Ia menengok ke belakang, ke kiri lalu ke kanan, pohon-pohon seperti menjepitnya. Ia menatap ke atas, badannya memutar, pohon-pohon terasa mengepung dirinya, condong berkerumun berebut hendak menimpanya. Cemas serta merta menyerbu, cepat-cepat Si-Pengembara membuang muka ke depan, jalan setapak terlihat kecil, berkelok memanjat, hingga menyempit lalu menghilang tertutup semak belukar, akar menjalar dan rimbun dedaunan.

Kembali Si-Pengembara mendongakkan kepala, sekarang Sosok-Telanjang-Dada membelakangi Si-Pengembara. Tubuh tipisnya berbalik entah kapan. Lekuk tulang belakang membelah sama rata punggung kurusnya, sepasang lengkung garis pantat menyembul membuatnya risih.

"Apa yang kau lihat di sana ?", Sosok-Telanjang-Dada mengulang, sekejap sorot matanya mengiris tajam, kedua tangannya melintang mencengkeram pinggang.

"Ahhh ! Kau pemburu kemuliaan rupanya ?"

"Ya, aku pengembara yang haus kebajikan !"
"Aku, pengembara yang mendaki ketinggian demi kemuliaan !"

"Pemberani !"
"Betapa berat yang kau cari !"
"Yakin kau sanggup memikulnya ?"
"Kemuliaan ?!!"

"Tentu saja !"
"Andai tak kuasa, mengapa pula aku memburunya ?"

"Tapi kau menuju Goa !", Tiba-tiba Sosok-Telanjang-Dada membentak. Gaung suaranya keras menghantam dinding dada.
"Hanya kegelapan di sana !", Teriaknya kian garang.

Si-Pengembara terhenyak menelan ludah, dadanya bergetar ciut. Sejenak ia terdiam. Ia mengikuti Pengkhutbah, jalan inilah yang harus ditempuhnya. "Tak mungkin Pengkhutbah menyesatkanku !", Begitu batinnya menenangkan. Konon dia telah menempuh jalan merengkuh kemuliaan di atas ketinggian sana. Itulah sebabnya dia menyebarkan setiap hari ke pelosok bumi. Riuh berbondong-bondong para pendamba mendengarnya.

"Aku mengikuti Pengkhutbah !"
"Dia tak mungkin membuatku sesat !", Jawab Si-Pengembara tegas, menantang.

"Bagaimana dia tahu jalan itu, jika tak pernah melewatinya ?"
"Bagaimana kau yakin, jalanmu menuju kemuliaan ?", Sengit Sosok-Telanjang-Dada menyambar sambil membelakangi Si-Pengembara yang terbungkam.

"Berbaliklah !"
"Kemuliaan ada di bawah sana !"
"Di lembah-lembah, di kerendahan bumi, di atas tempat-tempat kotor, berlumpur dan menyesakkan !"
"Diantara hiruk pikuk penderitaan yang tersisih dan terluka, di sana kemuliaan bersinar !"

Si Pengembara menunduk kecut, kepalanya mengawang, matanya tertegun menyusur jalan setapak menurun yang telah dilaluinya. Jejak langkahnya masih tersisa di sana, rumput-rumput segar rebah membekas telapak kakinya. Sejenak ia menarik nafas lalu menengadah ke atas. Betapa terkejut dirinya, Sosok-Telanjang-Dada telah tiada ! Hanya bongkahan batu berdiri kekar menjulang di hadapannya. Kosong ia menatapnya. Senyap menyelinap. Angin berdesir mengusik bulu tengkuk, keringat dingin merubah pasi wajahnya. Hening menyelimuti. Bunyi-bunyi bersembunyi. Sunyi mengepungnya.

Si-Pengembara mengusap dahi, menengok ke kiri dan ke kanan, lunglai ia membalikkan badan melanjutkan perjalanan jauh yang tersisa. Ia mengangkat kaki bimbang, ragu langkahnya tak kuasa lagi bergegas, gerakpun terasa berat. Bersusah payah, sesekali tubuhnya gontai menghindar gesekan ranting dedaunan yang mengganggu geraknya. Ia terus menaiki jalan setapak sempit dan terjal. Pelan tapi pasti Si-Pengembara menuju Goa kesia-siaan yang melelahkan.


Kelapa Gading, 15 September 2018