Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, September 14, 2018

Tinggi


"Hoiii kesini !", Seru Sosok-Telanjang-Dada melambai berulang kali ke arah pengembara yang melintas tergesa. Suaranya lantang ke segala arah. Sontak langkah pengembara berhenti tersentak, terengah bercampur was-was, ia mencari-cari sumber suara.

"Mengapa harus mengikutimu ?", Teriak Si-Pengembara mendongak, urat lehernya tertarik menggumpal. Ia menemukan Sosok-Telanjang-Dada berdiri di atas bongkahan cadas menjulang. Dadanya tipis, wajahnya tirus dengan tulang pipi lancip menonjol. Celana lusuh menggantung tanggung di bawah lutut, pusarnya hitam, betisnya kering, mengkilap dan keras. Di batas pinggul melingkar tipis pilinan akar menahan celana yang nyaris jatuh terlepas. Dia menekuk punggung, tulang rusuknya menonjol bergaris-garis.

"Apa yang kau lihat di sana ?"
"Bukankah hanya pohon-pohon besar yang menghalang pandanganmu ?"
"Jalan setapak yang entah menuju kemana ?", Menyeringai Sosok-Telanjang-Dada mengejek. Gigi kecilnya hitam berbaris sinis, sorot matanya berkilat-kilat menusuk menakutkan.

Bergeser waspada, perlahan, hati-hati Si-Pengembara mundur beberapa langkah, gemeretak ranting patah mengagetkan langkahnya. Ia menengok ke belakang, ke kiri lalu ke kanan, pohon-pohon seperti menjepitnya. Ia menatap ke atas, badannya memutar, pohon-pohon terasa mengepung dirinya, condong berkerumun berebut hendak menimpanya. Cemas serta merta menyerbu, cepat-cepat Si-Pengembara membuang muka ke depan, jalan setapak terlihat kecil, berkelok memanjat, hingga menyempit lalu menghilang tertutup semak belukar, akar menjalar dan rimbun dedaunan.

Kembali Si-Pengembara mendongakkan kepala, sekarang Sosok-Telanjang-Dada membelakangi Si-Pengembara. Tubuh tipisnya berbalik entah kapan. Lekuk tulang belakang membelah sama rata punggung kurusnya, sepasang lengkung garis pantat menyembul membuatnya risih.

"Apa yang kau lihat di sana ?", Sosok-Telanjang-Dada mengulang, sekejap sorot matanya mengiris tajam, kedua tangannya melintang mencengkeram pinggang.

"Ahhh ! Kau pemburu kemuliaan rupanya ?"

"Ya, aku pengembara yang haus kebajikan !"
"Aku, pengembara yang mendaki ketinggian demi kemuliaan !"

"Pemberani !"
"Betapa berat yang kau cari !"
"Yakin kau sanggup memikulnya ?"
"Kemuliaan ?!!"

"Tentu saja !"
"Andai tak kuasa, mengapa pula aku memburunya ?"

"Tapi kau menuju Goa !", Tiba-tiba Sosok-Telanjang-Dada membentak. Gaung suaranya keras menghantam dinding dada.
"Hanya kegelapan di sana !", Teriaknya kian garang.

Si-Pengembara terhenyak menelan ludah, dadanya bergetar ciut. Sejenak ia terdiam. Ia mengikuti Pengkhutbah, jalan inilah yang harus ditempuhnya. "Tak mungkin Pengkhutbah menyesatkanku !", Begitu batinnya menenangkan. Konon dia telah menempuh jalan merengkuh kemuliaan di atas ketinggian sana. Itulah sebabnya dia menyebarkan setiap hari ke pelosok bumi. Riuh berbondong-bondong para pendamba mendengarnya.

"Aku mengikuti Pengkhutbah !"
"Dia tak mungkin membuatku sesat !", Jawab Si-Pengembara tegas, menantang.

"Bagaimana dia tahu jalan itu, jika tak pernah melewatinya ?"
"Bagaimana kau yakin, jalanmu menuju kemuliaan ?", Sengit Sosok-Telanjang-Dada menyambar sambil membelakangi Si-Pengembara yang terbungkam.

"Berbaliklah !"
"Kemuliaan ada di bawah sana !"
"Di lembah-lembah, di kerendahan bumi, di atas tempat-tempat kotor, berlumpur dan menyesakkan !"
"Diantara hiruk pikuk penderitaan yang tersisih dan terluka, di sana kemuliaan bersinar !"

Si Pengembara menunduk kecut, kepalanya mengawang, matanya tertegun menyusur jalan setapak menurun yang telah dilaluinya. Jejak langkahnya masih tersisa di sana, rumput-rumput segar rebah membekas telapak kakinya. Sejenak ia menarik nafas lalu menengadah ke atas. Betapa terkejut dirinya, Sosok-Telanjang-Dada telah tiada ! Hanya bongkahan batu berdiri kekar menjulang di hadapannya. Kosong ia menatapnya. Senyap menyelinap. Angin berdesir mengusik bulu tengkuk, keringat dingin merubah pasi wajahnya. Hening menyelimuti. Bunyi-bunyi bersembunyi. Sunyi mengepungnya.

Si-Pengembara mengusap dahi, menengok ke kiri dan ke kanan, lunglai ia membalikkan badan melanjutkan perjalanan jauh yang tersisa. Ia mengangkat kaki bimbang, ragu langkahnya tak kuasa lagi bergegas, gerakpun terasa berat. Bersusah payah, sesekali tubuhnya gontai menghindar gesekan ranting dedaunan yang mengganggu geraknya. Ia terus menaiki jalan setapak sempit dan terjal. Pelan tapi pasti Si-Pengembara menuju Goa kesia-siaan yang melelahkan.


Kelapa Gading, 15 September 2018

No comments:

Post a Comment