Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, January 28, 2018

A-Priori Dan A-Posteriori 6 : Karakterisasi Positif Dari A-Priori


Justifikasi-apriori sejauh ini telah didefinisikan, secara negatif sebagai justifikasi-yang-tidak-bergantung-pada-pengalaman dan secara positif sebagai justifikasi-yang-bergantung-pada-pemikiran-murni atau penalaran-murni. Namun, masih banyak yang perlu dijelaskan tentang karakterisasi-positif ini baik karena kurang menerangi secara epistemis daripada yang mungkin dapat dicapai, maupun karena itu bukanlah satu-satunya karakterisasi-positif yang tersedia.

Bagaimana penalaran-akal atau refleksi-rasional dapat dengan sendirinya mengarahkan seseorang untuk berpikir proposisi-tertentu adalah benar ? Secara tradisional, respons jawaban yang paling umum terhadap pertanyaan itu adalah mengarah kepada gagasan tentang adanya-pandangan-rasional (rational-insight). Beberapa filsuf-sejarah (misalnya Descartes 1641, Kant 1781) dan juga beberapa filsuf-kontemporer (misalnya, BonJour 1998) berpendapat bahwa justifikasi-apriori seharusnya dipahami dengan melibatkan semacam penglihatan-rasional (rational-seeing) atau penangkapan-kebenaran atau penangkapan-kepastian dari suatu proposisi yang dimaksud.

Perhatikan, misalnya pendapat bahwa :

"Jika Ted lebih tinggi dari Sandy dan Sandy lebih tinggi dari pada Louise, maka Ted lebih tinggi dari pada Louise."

Begitu saya mencermati/menimbang/memikirkan/me-refleksi-kan arti dari setiap istilah yang relevan dalam proposisi di atas, saya dapat melihat dengan cara-yang-langsung dan murni-rasional, bahwa jika kalimat konjungtif pendahuluan kondisional itu benar, maka kesimpulannya juga pasti benar.

Menurut konsepsi-tradisional tentang justifikasi-apriori, pandangan-saya-yang-jelas terhadap kepastian-pendapat itu membenarkan kepercayaan-saya terhadapnya. Yang tampak bagi saya dengan cara-yang-jelas, langsung, dan murni-rasional bahwa pendapat-tersebut-pasti-benar, memberi alasan-kuat bagi saya untuk berpikir bahwa pendapat itu adalah benar. Oleh karena itu, berikut adalah penjelasan-positif mengenai justifikasi-apriori yang dapat diajukan :

Seseorang adalah dibenarkan-secara-apriori untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu jika memiliki pandangan-rasional (rational-insight) terhadap kebenaran atau kepastian-dari-pendapat-tersebut.

Meski secara fenomenologis masuk akal dan secara epistemis lebih mencerahkan daripada karakterisasi-sebelumnya, penjelasan-justifikasi-apriori seperti di atas tidaklah tanpa kelemahan/kesulitan. Sebagai contoh justifikasi-semacam-itu tampak menuntut bahwa objek-objek-pandangan-rasional merupakan sesuatu yang tidak-berubah, abstrak, entitas-yang-bersifat-Platonistik yang ada di semua dunia yang mungkin. Namun, andai memang demikian, menjadi sangat sulit untuk mengetahui seperti apa hubungan antara entitas-entitas-itu dan pikiran-kita dapat disatukan dalam kasus pandangan-rasional-yang-murni --ini agaknya tidak ada hubungan kausal-- dan apakah pikiran-kita dapat dianggap secara masuk akal berada dalam hubungan seperti itu (Benacerraf 1973). Sebagai hasilnya dan dengan memperhatikan hal-hal yang terkait, banyak filsuf kontemporer telah menolak pendapat justifikasi-apriori-semacam-itu, atau berusaha mengajukan sebuah penjelasan-justifikasi-apriori dengan tidak membawa/melibatkan pandangan-rasional.

Penjelasan-justifikasi-apriori tanpa melibatkan pandangan-rasional muncul dalam beberapa variasi.

Alternatif-pertama, satu variasi yang mempertahankan konsepsi-tradisional-justifikasi-apriori dengan mensyaratkan adanya-kepemilikan-alasan-epistemis yang dicapai di atas dasar pemikiran-murni atau penalaran-murni, namun pendapat-justifikasi-seperti-itu terbatas pada proposisi-biasa atau proposisi-analitik dan oleh karena itu tidak memerlukan keterikatan terhadap pandangan-rasional (Ayer 1946). Justifikasi-apriori yang dipahami dengan cara ini dianggap menghindari keterikatan terhadap pandangan-rasional. Dasar pendapat ini adalah sebuah penjelasan dapat diajukan berdasar pada bagaimana seseorang mampu melihat-kebenaran dengan cara yang murni-rasional, misalnya, konsep-predikat suatu proposisi-tertentu terdapat di dalam konsep-subjek tanpa memberi/mengaitkan suatu kualitas kepada orang itu, misal sebuah kemampuan untuk menangkap karakter-kepastian-terhadap-realitas. Justifikasi-apriori dengan demikian dapat dianggap dijelaskan dengan cara yang tidak merugikan secara metafisik.

Tetapi pandangan semacam ini biasanya menghadapi setidaknya satu dari dua-keberatan-serius (BonJour 1998). Pertama, sulit untuk berdamai dengan apa yang secara intuitif termasuk dalam cakupan-luas dari berbagai pendapat-apriori. Meski banyak pendapat-apriori bersifat analitik, beberapa tampaknya tidak, misalnya prinsip-transitivitas, kasus ketidakcocokan warna-merah-hijau seperti yang dibahas di atas, serta beberapa pendapat-lain yang logis, matematis, filosofis, dan bahkan mungkin moral. Tentu saja, adalah mungkin untuk menafsirkan gagasan-analitik-secara-luas sehingga mencakup pendapat-pendapat-semacam-itu, dan beberapa penjelasan-justifikasi-apriori telah melakukannya. Tetapi hal itu langsung menuju kepada keberatan kedua dan yang sama menyulitkan, yaitu : jika pendapat-pendapat-seperti-itu dianggap semua-analitik, adalah diragukan bahwa kebenaran semua pendapat-analitik dapat ditangkap tanpa perlu adanya pandangan-rasional atau intuisi-rasional.

Sebagai contoh, melihat/menangkap kebenaran-pendapat :

"Tujuh ditambah lima sama dengan dua belas."

tidak berarti menggabungkan definisi masing-masing istilah yang relevan, atau melihat bahwa satu konsep mengandung konsep yang lain. Sebaliknya, tampaknya melibatkan sesuatu yang lebih substansial dan positif, sesuatu seperti tangkapan-intuitif-dari-fakta bahwa : jika tujuh ditambahkan ke lima, jumlah yang dihasilkan pasti --tidak mungkin gagal-- adalah dua-belas. Tapi tentu saja ini terdengar persis seperti apa yang dikatakan pandangan-tradisional yaitu melibatkan adanya pandangan-rasional.

Alternatif-kedua terhadap konsepsi-tradisional-justifikasi-apriori muncul dari penjelasan umum tentang justifikasi-epistemis yang menggeser fokus perhatian dari adanya-kepemilikan-alasan-epistemis menuju kepada konsep seperti masuk-akal-secara-epistemis atau dapat dipertanggungjawaban-secara-epistemis. Meskipun agaknya terkait erat dengan kepemilikan-alasan-epistemis, konsep ini --alasannya akan dibahas di bawah ini-- tidak begitu saja dapat disamakan. Pada penjelasan semacam ini, seseorang dibenarkan-secara-epistemis untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu jika kepercayaan itu dilakukan dengan masuk-akal-secara-epistemis atau dapat dipertanggungjawabkan-secara-epistemis (misalnya, tidak melanggar salah satu kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas-epistemologis/mengetahui contoh : hanya percaya pada sesuatu yang memiliki bukti memadai).

Model justifikasi-epistemis ini membuka pintu bagi sebuah penjelasan alternatif justifikasi-apriori. Masih diperdebatkan bahwa kepercayaan kepada banyak lrinsip atau proposisi yang biasanya dianggap apriori (misalnya, hukum non-kontradiksi) adalah merupakan bagian yang menyusun/mendasari penalaran-rasional dan wacana. Pendapat itu dibuat dengan landasan bahwa tanpa kepercayaan-semacam-itu, penalaran-rasional dan wacana adalah tidak mungkin. Jika argumen ini tidak dapat ditanggalkan, maka cukup jauh dari apakah kita sungguh-sungguh atau bahkan dapat memiliki-alasan-epistemis untuk mendukung pendapat yang dimaksudkan, dengan mempercayai pendapat-itu kita sepertinya tidak melanggar kewajiban-epistemis apapun, atau berperilaku tidak masuk-akal-secara-epistemis. Sekali lagi, kepemilikan-kepercayaan semacam itu dianggap harus ada untuk suatu penalaran-rasional atau wacana apa pun. Ini menghasilkan sebuah penjelasan tentang justifikasi-apriori yang berpandangan pendapat-tertentu-dibenarkan jika kepercayaan terhadap pendapat-itu harus ada secara-rasional dalam pengertian yang relevan (lihat, misalnya, Boghossian 2000; pandangan semacam ini juga diberikan oleh Wittgenstein 1969).

Meskipun pandangan-seperti-itu berhasil menghindari keterikatan pada gagasan-pandangan-rasional, setidaknya terdapat dua-masalah-serius.

Masalah-pertama, pandangan-itu tampaknya tidak mampu menjelaskan seluruh luas-cakupan berbagai pendapat yang biasanya dianggap apriori. Terdapat perdebatan terhadap sejumlah pendapat-apriori matematis dan filosofis, misalnya, tentang keyakinan pada pendapat-itu (atau pendapat-umum apa pun yang mungkin mewakili) bukanlah kondisi-pasti bagi penalaran-rasional atau wacana.

Masalah-kedua, penjelasan-justifikasi-apriori-ini rentan memunculkan bentuk-skeptisisme yang serius, karena tidak ada hubungan yang jelas antara kepercayaan-yang-pasti pada aktivitas-rasional dengan kebenaran-nya. Akibatnya, mungkin dalam pandangan semacam itu bahwa seseorang dibenarkan-secara-apriori dalam berpikir bahwa kepercayaan yang dipertanyakan itu benar tetapi belum-memiliki-alasan atau tidak-memiliki-alasan yang mendukung keyakinan-nya itu. Kenyataannya, memberikan karakter fundamental yang bersifat epistemis, terhadap kepercayaan yang dipertanyakan menjadi tidak-mungkin --begitu sebuah keterikatan apriori pada pandangan-rasional dikesampingkan-- bagi seseorang untuk memiliki-alasan-apapun untuk berpikir bahwa salah satu dari keyakinan itu adalah benar. Oleh karena itu pandangan-semacam-ini, tampak memiliki implikasi-skeptis yang mendalam.

Konsepsi alternatif-ketiga tentang justifikasi-apriori menggeser fokus perhatian menuju aspek-kognisi yang lain. Menurut penjelasan-eksternalis tentang justifikasi-epistemis, seseorang dapat dibenarkan untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu tanpa memiliki-akses-kognitif terhadap --atau tanpa kesadaran akan-- faktor-faktor yang mendasari justifikasi-itu. Faktor-faktor semacam itu bisa bersifat eksternal terhadap perspektif-subjektif-seseorang atau perspektif-orang-pertama. Penjelasan-justifikasi-eksternalis jelas berlawanan secara tajam dengan penjelasan-justifikasi yang memerlukan adanya-kepemilikan-alasan-epistemis, karena kepemilikan-alasan semacam itu, juga merupakan masalah memiliki-akses-kognitif terhadap alasan-justifikasi. Bentuk eksternalisme yang paling populer adalah reliabilisme. Secara umum, para penganut reliabilisme berpendapat bahwa justifikasi-epistemis atau jaminan-epistemis terhadap kepercayaan-tertentu bergantung pada bagaimana, atau dengan-apa, kepercayaan-itu terbentuk. Lebih spesifik lagi, reliabilisme bertanya apakah-kepercayaan-itu dibentuk melalui sebuah-fakultas atau suatu-proses yang berjalan dalam kondisi-benar atau dapat-dipercaya. Jadi, penjelasan-justifikasi-apriori menurut penganut reliabilisme, seseorang dibenarkan-secara-apriori untuk mempercayai sebuah pendapat jika kepercayaan-itu dibentuk oleh keyakinan terhadap proses-pembentukan atau oleh fakultas-handal, yang non-empiris, dan non-ekperimental.

Penjelasan-secara-reliabilisme atas justifikasi-apriori menghadapi setidaknya dua kelemahan/kesulitan dari yang sudah disebutkan sebelumnya yaitu berkaitan dengan penjelasan-lain yang non-tradisional terhadap justifikasi-apriori.

Masalah-pertama, penjelasan-secara-reliabilisme tampaknya mengijinkan seseorang dapat dibenarkan-secara-apriori untuk percaya pada sebuah pendapat-tertentu tanpa memiliki alasan-apapun untuk berpikir bahwa pendapat itu adalah benar. Seseorang dapat membentuk kepercayaan-nya melalui cara-yang-handal dan non-empiris, namun tidak memiliki alasan-epistemis untuk mendukungnya. Oleh karena itu, penjelasan semacam ini juga dapat dicurigai sebagai bentuk-skeptisisme yang serius.

Masalah-kedua adalah, berlawanan dengan pendapat-reliabilisme (misalnya, Bealer 1999), sulit untuk melihat bagaimana penjelasan-semacam-ini dapat menghindari keterikatan kepada sesuatu, seperti gagasan-pandangan-rasional. Setidaknya ada-dua-tingkat di mana keterikatan itu terjadi.

Pertama, reliabilisme harus memberikan karakterisasi yang lebih spesifik terhadap proses-kognitif atau fakultas-handal yang menghasilkan justifikasi-apriori. Tidaklah cukup hanya berpendapat bahwa proses atau fakultas itu bersifat non-empiris atau non-eksperimental.Hal ini pada akhirnya akan memerlukan penjelasan-lebih-rinci tentang fenomenologi yang dikaitkan dengan operasi-proses atau fakultas-handal ini. Tetapi, akan seperti apakah penjelasan-yang-lebih-rinci tentang fenomenologi ini --jika tidak-- dalam beberapa hal, merujuk pada penjelasan-tradisional tentang justifikasi-apriori yang dicirikan oleh adanya pandangan-rasional ? Lebih lagi, metode non-empiris dari pembentukan-kepercayaan yang handal/eeliable berbeda dari yang bersifat tidak-handal/reliabel --misal, berupa dugaan atau adanya ketakutan/paranoia-- tepat karena melibatkan adanya kebenaran atau kepastian-logis yang masuk-akal. Dan hanya tampilan intuitif semacam itu yang dikatakan merupakan karakteristik dari pandangan-rasional. Dengan demikian tampak bahwa dalam melakukan beberapa penjelasan-yang-rinci, reliabilisme akan dipaksa untuk setidaknya menampilkan/memerlukan pandangan-rasional.

Kedua, reliabilisme diwajiban untuk menjelaskan mengapa jenis-proses-kognitif-yang-non-empiris atau fakultas-handal yang bersangkutan dapat diandalkan. Tetapi di sini sekali lagi sulit untuk mengetahui bagaimana menghindari keterikatan terhadap pandangan-rasional. Bagaimana lagi fakultas-handal atau proses-kognitif-yang-non-empiris tertentu bisa mengarah pada pembentukan keyakinan-yang-benar jika bukan karena melibatkan akses-rasional terhadap kebenaran atau kepastian akan kepercayaan-itu ? Jauh dari jelas terhadap hal-hal lain yang mungkin masuk-akal penjelasan oleh para penganut reliabilisme terhadap keandalan dari jenis-proses atau fakultas yang relevan.

Kemudian menjadi tampak, oenjelasan-secara-reliabilisme yang paling berhasil mengenai justifikasi-apriori, menjadi mirip dengan penjelasan-Tradisional, yaitu menggunakan gagasan-pandangan-rasional. Beberapa pandangan-reliabilisme (misalnya, Plantinga 1993) benar-benar melakukan hal itu, misalnya dengan berpendapat bahwa seseorang dibenarkan-secara-apriori untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu jika keyakinan-itu dihasilkan oleh fakultas-penalaran, suatu-operasi yang melibatkan pandangan-rasional terhadap kebenaran atau kepastian dari pendapat yang dipertanyakan. masuk-akal-nya penjelasan-secara-reliabelisme seperti ini, bertentangan dengan penjelasan-tradisional, tentu saja pada akhirnya bergantung pada sifat masuk-akal dari komitmen-eksternalis yang mendorongnya.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/#H6
Pemahaman Pribadi



Tuesday, January 16, 2018

A-Priori Dan A-Posteriori 5 : Pengertian Yang Relevan 'Tidak-Bergantung-Pada-Pengalaman'


Penting juga untuk memeriksa secara lebih rinci bagaimana justifikasi-apriori dianggap tidak-bergantung-pada-pengalaman. Di sini sekali lagi karakterisasi-standar pada umumnya bersifat negatif. Setidaknya ada dua cara bagaimana justifikasi-apriori sering dikatakan bergantung-pada-pengalaman.

Pertama, dimulai dengan mencermati bahwa sebelum seseorang dapat melakukan justifikasi secara apriori untuk mempercayai sebuah pendapat tertentu, seseorang harus memahami pendapat tersebut terlebih dahulu. Alasannya adalah banyak pendapat-apriori mensyaratkan seseorang memiliki konsep-yang-pasti untuk memahaminya (Kant, 1781). Perhatikan kembali pendapat bahwa :

"Jika suatu benda berwarna-merah-seluruhnya maka benda itu tidak-berwarna-hijau-seluruhnya."

Untuk memahami proposisi itu, saya harus memiliki konsep-warna-merah dan warna-hijau, yang pada gilirannya mengharuskan saya memiliki pengalaman-visual-sebelumnya tentang warna-warna itu.

Namun, akan menjadi kesalahan, untuk menyimpulkan dari sini bahwa justifikasi yang dimaksudkan di atas pada dasarnya bergantung-pada-pengalaman. Alasan sesungguhnya, saya berpikir bahwa pendapat yang relevan itu adalah benar tidak muncul dari pengalaman, melainkan dari pemikiran-murni atau refleksi-rasional, atau hanya dengan memikirkan sifat/ciri dan relasi dalam proposisi itu. Terlebih lagi, gagasan tentang justifikasi-epistemis membutuhkan prasyarat-pemahaman seperti itu. Dalam menilai apakah seseorang memiliki alasan-epistemis yang mendukung salah satu keyakinan-nya, bahwa orang itu memang memahami proposisi yang dipercayainya, hal itu hanya diterima begitu saja. Oleh karena itu, pada umumnya pengalaman seringkali merupakan prasyarat untuk melakukan justifikasi-apriori.

Kedua, banyak filsuf-kontemporer menerima pendapat justifikasi-apriori adalah bergantung-pada-pengalaman dalam pengertian-negatif bahwa pengalaman terkadang dapat melemahkan/merusak atau bahkan mengalahkan justifikasi-apriori itu sendiri. Hal ini bertentangan dengan pendapat banyak filsuf-sejarah yang mengambil posisi bahwa justifikasi-apriori adalah mutlak. Kebanyakan filsuf-kontemporer menolak kemutlakan ( infalibilitas ) semacam itu, namun kemutlakan dari justifikasi-apriori tidak dengan sendirinya selalu berarti justifikasi-apriori dapat dilemahkan/dirusak oleh pengalaman. Adalah mungkin justifikasi-apriori adalah tidak-mutlak, tetapi --dalam kasus tertentu-- kita tidak mempunyai alasan untuk berpikir bahwa justifikasi itu dilemahkan/dirusak oleh pengalaman. Selanjutnya, sifat tidak-mutlak dari justifikasi-apriori konsisten dengan kemungkinan bahwa hanya pada kasus justifikasi-apriori yang lain, pengalaman dapat merusak atau mengalahkan-nya.

Meskipun demikian, ditemukan kasus langsung dimana justifikasi-apriori dapat dilemahkan/dirusak atau dikesampingkan oleh pengalaman. Misal, anggaplah saya menghitung berapa-jumlah-pendapatan-kena-pajak dengan menambahkan sejumlah angka di kepala saya. Saya melakukan ini dengan hati-hati dan menghasilkan suatu jumlah-akhir-tertentu. Anggaplah, kepercayaan saya terhadap jumlah-akhir-tertentu-ini adalah benar dan merupakan justifikasi-apriori. Namun, jika saya memutuskan untuk memeriksa kembali penambahan yang saya lakukan dengan menggunakan kalkulator dan menghasilkan jumlah-akhir-yang-berbeda, saya sangat mungkin untuk melakukan revisi-keyakinan-saya terhadap jumlah-akhir-yang-semula dan menganggap saya-keliru dalam melakukan perhitungan sebelumnya. Tampak jelas bahwa keyakinan-saya-setelah-direvisi adalah benar dan justifikasi ini akan menjadi sebuah justifikasi-aposteriori, karena melalui pengalaman saya mengenal apa yang terbaca pada kalkulator dan dengan fakta bahwa kalkulator adalah instrumen perhitungan yang andal. Ini tampak merupakan kasus di mana justifikasi-apriori dikoreksi, dan memang dikalahkan oleh pengalaman.

Meskipun demikian, adalah penting untuk tidak melebih-lebihkan sifat bergantung-justifikasi-apriori-pada-pengalaman dalam kasus seperti itu, karena sejak awal, justifikasi-positif yang dimaksud adalah seluruhnya bersifat apriori. Misal pada contoh di atas keyakinan-awal-saya tentang jumlah-yang-relevan, sepenuhnya didasarkan pada perhitungan-mental/pikiran saya. Itu bergantung-pada-pengalaman hanya dalam pengertian adalah mungkin bagi pengalaman untuk melemahkan/merusak atau mengalahkan justifikasi-apriori. Bergantung secara negatif antara justifikasi-apriori dan pengalaman ini menimbulkan sedikit keraguan dari sudut pandang bahwa justifikasi-apriori pada dasarnya tidak-bergantung-pada-pengalaman.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/#H5
Pemahaman Pribadi


Friday, January 12, 2018

A-Priori Dan A-Posteriori 4 : Pengertian Yang Relevan 'Pengalaman'


Pada Bagian 1 di atas, telah disampaikan bahwa justifikasi-aposteriori dikatakan berasal/bersumber dari pengalaman dan sebuah justifikasi-apriori adalah tidak-bergantung/terlepas/bebas dari pengalaman. Untuk lebih memperjelas perbedaan itu, maka harus lebih banyak dijelaskan mengenai pengertian-yang-relevan tentang pengalaman.

Tidak ada karakterisasi-spesifik yang diterima secara luas terhadap jenis-pengalaman seperti yang dimaksudkan di atas. Para filsuf sebaliknya lebih banyak membicarakan bagaimana tidak-melakukan karakterisasi terhadap pengalaman yang dimaksud. Ada kesepakatan luas mengenai hal-itu, misalnya, pengalaman seharusnya tidak hanya disamakan/dikaitkan dengan pengalaman-indrawi, karena hal-itu akan mengeluarkan hal-hal seperti pengingatan-dan-introspeksi sebagai sumber-sumber justifikasi-aposteriori (juga akan mengecualikan, adanya fenomena-kognitif seperti kewaskitaan/keahlian-meramal dan telepati-mental). Pengecualian-pengecualian semacam itu adalah problematik karena kebanyakan kasus justifikasi secara pengingatan-dan-introspektif lebih menyerupai paradigma kasus justifikasi secara sensorik/indrawi dari pada paradigma kasus justifikasi-apriori. Namun, akan menjadi suatu kesalahan untuk memberi karakterisasi-pengalaman yang terlalu-luas, seperti memasukan segala bentuk fenomena-kesadaran-mental atau proses-kesadaran-mental. Lebih lagi paradigma kasus justifikasi-apriori melibatkan pengalaman dalam pengertian ini yang ditawarkan oleh pandangan-rasional (rational-insight), yang oleh banyak filsuf telah diberikan peran sentral dalam penjelasan mereka mengenai justifikasi-apriori. Para filsuf ini menggambarkan justifikasi-apriori yang melibatkan semacam penglihatan-rasional (rational-seeing) atau persepsi-terhadap-kebenaran atau kepastian-pendapat-apriori.

Meskipun demikian, terdapat paling tidak satu-perbedaan yang tampak jelas antara justifikasi-apriori dan justifikasi-aposteriori yang dapat digunakan untuk menggambarkan konsepsi-yang-relevan terhadap pengalaman (lihat, misalnya, BonJour 1998). Dalam kasus justifikasi-aposteriori yang paling jelas, objek-objek-kognisi adalah sifat/ciri dari dunia-aktual --yang dapat atau tidak-- hadir di dalam dunia-yang-mungkin lain-nya. Lebih jauh lagi, relasi antara objek-objek-kognisi dan keadaan-kognitif-nya adalah bersifat kausal. Namun, tidak satupun dari kondisi-kondisi-ini tampak memuaskan dalam kasus justifikasi-apriori yang paling jelas sekalipun. Dalam kasus seperti itu, objek-objek-kognisi akan muncul --setidaknya sekilas-- menjadi entitas-abstrak yang ada di semua kemungkinan dunia (sebagai contoh sifat/ciri dan relasi). Namun, adalah tidak-jelas bagaimana relasi antara objek-objek-itu dan keadaan-kognitif-nya bisa mempunyai hubungan kausal. Meski perbedaan-ini tampak menunjukkan sebuah dasar yang memadai untuk memberi karakterisasi-konsepsi-yang-relevan terhadap pengalaman, karakterisasi semacam itu --sebagai persoalan prinsip-- akan menyingkirkan kemungkinan proposisi-apriori-yang-kontingen dan sebuah proposisi-aposteriori-yang-pasti. Tetapi karena banyak filsuf berpendapat bahwa proposisi-semacam-itu benar-benar ada --atau setidaknya mungkin ada--, sebuah alternatif-karakterisasi atau revisi-karakterisasi tetap diharapkan/diinginkan.

Kemudian, apa yang bisa dikatakan dengan lebih meyakinkan adalah sebuah definisi-pengalaman-yang-relevan-dan-memadai harus cukup-luas untuk mencakup hal-hal seperti introspeksi-dan-pengingatan, namun cukup-sempit/terbatas untuk membuat anggapan kasus justifikasi-apriori sungguh-sungguh dapat dikatakan tidak-bergantung/terlepas/bebas dari pengalaman.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/#H4
Pemahaman Pribadi



Tuesday, January 9, 2018

A-Priori Dan A-Posteriori 3 : Perbedaan Kepastian/Kontingen


Sebuah proposisi-yang-pasti adalah suatu proposisi yang nilai-kebenaran-nya tetap-konstan dalam semua dunia yang mungkin ada. Jadi proposisi-yang-pasti-benar adalah proposisi yang selalu-benar di dalam setiap dunia yang mungkin, dan proposisi-yang-pasti-salah adalah proposisi yang selalu-salah di dalam setiap dunia yang mungkin. Sebaliknya, nilai-kebenaran dari proposisi-kontingen adalah tidak-tetap di dalam semua kemungkinan dunia : untuk proposisi-kontingen apapun berlaku, setidaknya ada satu dunia yang mungkin di dalamnya proposisi itu adalah benar dan setidaknya satu dunia yang mungkin di dalamnya proposisi itu salah.

Perbedaan-kepastian/kontingen terkait erat dengan perbedaan-apriori/aposteriori. Adalah masuk akal untuk berharap, misalnya, jika sebuah pendapat-tertentu adalah pasti-benar, hal itu harus diketahui hanya secara apriori. Pengalaman-indrawi hanya dapat memberi tahu kita tentang dunia-aktual dan karenanya terhadap masalah itu tidak dapat mengatakan apa-apa mengenai apa-yang-pasti atau apa-yang-tidak-pasti. Di sisi lain, pendapat-kontingen tampaknya hanya bisa diketahui secara aposteriori, karena tidak jelas bagaimana pikiran-murni/akal-murni bisa memberi tahu kita tentang dunia-aktual dibanding dengan dunia-dunia-lain yang mungkin.

Meski terkait erat, kedua-perbedaan-itu tidaklah ekivalen. Perbedaan-kepastian/kontingen adalah metafisik : hal ini menyangkut status-modal (mungkin/pasti) dari proposisi. Dengan demikian, jelas sangat berbeda dengan perbedaan-apriori/aposteriori, yang bersifat epistemologis. Oleh karena itu, meskipun dua perbedaan-itu bersinggungan, keduanya tidaklah identik.

Namun ada juga alasan untuk berpikir bahwa kedua-perbedaan-itu tidak bersinggungan sama sekali. Beberapa filsuf berpendapat bahwa ada kebenaran-apriori-yang-kontingen (Kripke 1972; Kitcher 1980b). Contoh dari kebenaran seperti itu adalah proposisi bahwa batangan-standar-meteran yang tersimpan di Paris panjangnya satu-meter. Pendapat itu nampaknya bisa diketahui kebenaran-nya secara apriori karena batangan yang dimaksud mendefinisikan panjang satu-meter. Namun tampaknya juga ada kemungkinan sebuah-dunia di mana pendapat itu salah, misalnya dunia di mana batangan-standar-meteran itu menjadi rusak atau terkena panas yang ekstrem. Argumen yang sebanding telah ditawarkan untuk mendukung pendapat bahwa ada kebenaran-pasti-yang-aposteriori. Ambil, misalnya, proposisi bahwa air adalah H2O. Bisa dibayangkan bahwa proposisi itu benar di dalam semua kemungkinan dunia, yaitu di setiap dunia yang mungkin ada : air memiliki struktur-molekul-H2O. Tapi nampaknya juga proposisi itu hanya bisa diketahui melalui cara-empiris dan karenanya proposisi itu adalah aposteriori. Para filsuf tidak sepakat terhadap pengelompokan kasus semacam itu, tetapi jika interpretasi di atas adalah benar, sebuah proposisi-apriori tidak menjamin kepastian-nya, begitu juga sebuah proposisi-aposteriori tidak menjamin bahwa proposisi itu adalah kontingen.

Akhirnya, berdasar pada pembahasan di atas, tidak ada alasan yang jelas untuk menolak bahwa pendapat-tertentu-yang-pasti dan pendapat-tertentu-yang-kontingen mungkin tidak dapat diketahui dalam pengertian yang relevan. Bahkan jika proposisi semacam itu ada, maka yang-analitik tidak sesuai dengan yang-pasti, demikian juga yang-sintetik tidak sesuai dengan yang-kontingen.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/#H3
Pemahaman Pribadi



Thursday, January 4, 2018

A-Priori Dan A-Posteriori 2 : Perbedaan Analitik/Sintetik


Perbedaan antara analitik-dan-sintetik telah diamati dan dikembangkan dengan berbagai cara, dan meskipun dari arah-pandang tertentu beberapa orang salah-arah secara mendasar --misalnya Quine pada 1961-- tetap masih digunakan oleh sejumlah filsuf saat ini. Salah satu cara-standar untuk menandai perbedaan-analitik/sintetik, berasal dari pemikiran Kant (1781), yang beralih kepada konsep keberisian-konseptual (conceptual-containment). Menurut penjelasan ini, proposisi bersifat analitik jika konsep-predikat-dari-proposisi terdapat di dalam konsep-subjek. Pendapat bahwa :

"Semua bujangan belum menikah.", adalah bersifat analitik

karena konsep-tidak-menikah termasuk didalam konsep-seorang-bujangan.

Sebaliknya, dalam proposisi-sintetik, konsep-predikat menguatkan atau menambah konsep-subjek. Misalnya, pendapat bahwa :

"Matahari kira-kira 93 juta mil dari bumi.", adalah sintetik

karena konsep-terletak-pada-jarak-tertentu-dari-bumi melampaui atau menambah konsep-matahari itu sendiri.

Cara yang terkait untuk menggambarkan perbedaan-analitik/sintetik adalah dengan mengatakan bahwa sebuah proposisi-bersifat-analitik jika kebenaran-nya bergantung sepenuhnya pada definisi dari masing-masing istilah-istilah yang digunakan yaitu benar-menurut-definisi-nya (It is true by definition), sementara kebenaran-proposisi-sintetik tidak hanya bergantung pada konvensi-linguistik/kesepakatan-bahasa belaka, tetapi juga pada bagaimana mempertimbangkan dunia-aktual-sesungguhnya terhadap beberapa aspek. Pendapat bahwa :

"Semua bujangan adalah belum menikah.", adalah benar, cukup hanya dengan definisi-bujangan saja.

Sedangkan kebenaran dalam pendapat :

"Matahari kira-kira 93 juta mil dari bumi."

Kebenaran "Jarak antara bumi dan matahari." yaitu 93-juta-mil tergantung tidak hanya pada arti dari istilah matahari itu sendiri tetapi juga pada berapa jarak-aktual-sebenarnya antara bumi dan matahari.

Beberapa filsuf telah menyamakan yang-analitik dengan yang-apriori dan yang-sintetik dengan yang-aposteriori. Di sana tentu saja ada hubungan erat antara kedua konsep-konsep itu. Misalnya, jika kebenaran-proposisi-tertentu, katakanlah, dibatasi secara ketat hanya sebagai masalah definisi-istilah, pengetahuan tentang proposisi itu tampaknya tidak-memerlukan-pengalaman, refleksi-rasional saja mungkin akan cukup. Di sisi lain, jika kebenaran-proposisi bergantung pada pertimbangan bagaimana-dunia-aktual-sesungguhnya dalam beberapa aspek, maka pengetahuan tentang hal itu tampaknya memerlukan penyelidikan-empiris.

Terlepas dari hubungan yang erat ini, kedua-perbedaan itu tidak-identik. Pertama, perbedaan-apriori/aposteriori bersifat epistemologis yang berarti menyangkut bagaimana atau atas-dasar-apa, sebuah proposisi dapat diketahui atau diyakini sebagai benar. Perbedaan-analitik/sintetik, sebaliknya adalah bersifat logis atau semantikal yang mengacu pada apa-yang-membuat-proposisi-tertentu adalah benar, atau mengacu pada hubungan-intensional tertentu yang diperoleh di dalam konsep-konsep yang membentuk sebuah proposisi.

Hal-hal diatas terbuka untuk dipertanyakan, bahkan lebih jauh lagi, apakah apriori bertepatan dengan analitik atau aposteriori dengan sintetik.

Pertama, banyak filsuf berpendapat bahwa terdapat (atau setidaknya mungkin-ada) sebuah kejadian justifikasi-sintetik-yang-apriori. Sebagai contoh perhatikan pendapat berikut :

"Jika sesuatu berwarna merah-seluruh-nya maka benda-itu tidak berwarna hijau-seluruh-nya."

Keyakinan-kebenaran akan pendapat itu tampaknya dapat dibenarkan terlepas-dari-pengalaman. Cukup dengan memikirkan apa-saja yang berwarna-merah-seluruhnya, pastilah jelas bahwa benda-individual-partikular dengan kualitas ini tidak-dapat, pada saat yang sama memiliki kualitas berwarna-hijau-seluruh-nya. Tetapi tampaknya juga jelas bahwa proposisi yang dimaksud tidak-analitik. Berwarna-hijau-seluruh-nya bukan merupakan bagian dari definisi-merah-seluruh-nya, juga tidak termasuk dalam konsep menjadi-berwarna-merah-seluruh-nya. Jika contoh seperti itu diambil nilai-apa-ada-nya, adalah suatu kesalahan untuk berpikir bahwa jika sebuah proposisi bersifat apriori, juga harus bersifat analitik.

Kedua, keyakinan terhadap pendapat-pendapat analitik tertentu terkadang dapat dibenarkan melalui cara-kesaksian dan oleh sebab itu adalah aposteriori. Mungkin saja (meskipun tidak-umum) bagi seseorang untuk percaya bahwa :

" Sebuah kubus memiliki enam-sisi."

karena keyakinan-itu diucapkan oleh orang lain yang dia kenal/ketahui sebagai agen-kognitif (mahluk-rasional) yang sangat andal. Keyakinan semacam itu akan menjadi bersifat aposteriori karena hal itu bisa dianggap sebagai pengalaman bahwa orang tersebut telah menerima kesaksian-dari-seorang-agen dan mengetahui hal itu dapat dipercaya-kebenaran-nya. Dengan demikian juga keliru berpikir bahwa jika proposisi adalah aposteriori, maka harus-sintetik.

Ketiga, tidak ada alasan prinsipal untuk berpikir bahwa setiap proposisi harus dapat diketahui kebenaran-nya. Beberapa proposisi-analitik dan proposisi-sintetik mungkin tidak dapat diketahui kebenaran-nya, setidaknya untuk agen-kognitif (mahluk-rasional) seperti kita. Misal, kita mungkin secara konseptual atau konstitusional tidak mampu menangkap makna, atau alasan pendukung untuk melakukan justifikasi terhadap proposisi tertentu. Jika demikian, proposisi yang bersifat analitik tidak selalu berarti bersifat apriori, juga proposisi yang sintetik adalah tidak selalu aposteriori.

Hal di atas menimbulkan pertanyaan tentang pengertian bahwa suatu pendapat harus dapat-diketahui-kebenaran-nya jika memenuhi syarat secara apriori atau aposteriori. Bagi siapakah sebuah-pendapat harus dapat-diketahui-kebenaran-nya ? Untuk setiap ada-yang-rasional ? Untuk setiap manusia-yang-rasional atau yang-paling-rasional ? atau Hanya untuk Tuhan saja ? Mungkin tidak ada cara yang sama sekali tidak sebanding untuk memberikan jawaban yang sangat tepat untuk pertanyaan ini. Meskipun demikian, tampaknya adalah sebuah kesalahan untuk memberikan definisi dapat-diketahui-kebenaran-nya terlalu luas sehingga sebuah proposisi dapat dikategorikan sebagai apriori atau aposteriori hanya jika dapat-diketahui-kebenaran-nya oleh sekelompok manusia-yang-sangat-terpilih, atau mungkin hanya oleh makhluk-bukan-manusia atau Tuhan/Ilahi. Namun, definisi dapat-diketahui-kebenaran-nya yang semakin sempit, membuat semakin besar kemungkinan proposisi tertentu berubah menjadi tidak-dapat-diketahui-kebenaran-nya. Pendapat-berdasar-informasi-yang-tidak-lengkap dari Goldbach yang menyatakan bahwa :

"Setiap bilangan bulat ganjil lebih besar dari dua adalah jumlah dari dua bilangan prima."
Perhatikan : 3=1+2, 5=3+2, 7=5+2 tetapi 7=4+3 juga 7=6+1, 9=7+2 tetapi 9=6+3 juga 9=5+4 dst.

kadang-kadang disebut sebagai contoh proposisi yang mungkin tidak-dapat-diketahui-kebenaran-nya oleh manusia manapun (Kripke 1972).


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/#H2
Pemahaman Pribadi