Justifikasi-apriori sejauh ini telah didefinisikan, secara negatif sebagai justifikasi-yang-tidak-bergantung-pada-pengalaman dan secara positif sebagai justifikasi-yang-bergantung-pada-pemikiran-murni atau penalaran-murni. Namun, masih banyak yang perlu dijelaskan tentang karakterisasi-positif ini baik karena kurang menerangi secara epistemis daripada yang mungkin dapat dicapai, maupun karena itu bukanlah satu-satunya karakterisasi-positif yang tersedia.
Bagaimana penalaran-akal atau refleksi-rasional dapat dengan sendirinya mengarahkan seseorang untuk berpikir proposisi-tertentu adalah benar ? Secara tradisional, respons jawaban yang paling umum terhadap pertanyaan itu adalah mengarah kepada gagasan tentang adanya-pandangan-rasional (rational-insight). Beberapa filsuf-sejarah (misalnya Descartes 1641, Kant 1781) dan juga beberapa filsuf-kontemporer (misalnya, BonJour 1998) berpendapat bahwa justifikasi-apriori seharusnya dipahami dengan melibatkan semacam penglihatan-rasional (rational-seeing) atau penangkapan-kebenaran atau penangkapan-kepastian dari suatu proposisi yang dimaksud.
Perhatikan, misalnya pendapat bahwa :
"Jika Ted lebih tinggi dari Sandy dan Sandy lebih tinggi dari pada Louise, maka Ted lebih tinggi dari pada Louise."
Begitu saya mencermati/menimbang/memikirkan/me-refleksi-kan arti dari setiap istilah yang relevan dalam proposisi di atas, saya dapat melihat dengan cara-yang-langsung dan murni-rasional, bahwa jika kalimat konjungtif pendahuluan kondisional itu benar, maka kesimpulannya juga pasti benar.
Menurut konsepsi-tradisional tentang justifikasi-apriori, pandangan-saya-yang-jelas terhadap kepastian-pendapat itu membenarkan kepercayaan-saya terhadapnya. Yang tampak bagi saya dengan cara-yang-jelas, langsung, dan murni-rasional bahwa pendapat-tersebut-pasti-benar, memberi alasan-kuat bagi saya untuk berpikir bahwa pendapat itu adalah benar. Oleh karena itu, berikut adalah penjelasan-positif mengenai justifikasi-apriori yang dapat diajukan :
Seseorang adalah dibenarkan-secara-apriori untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu jika memiliki pandangan-rasional (rational-insight) terhadap kebenaran atau kepastian-dari-pendapat-tersebut.
Meski secara fenomenologis masuk akal dan secara epistemis lebih mencerahkan daripada karakterisasi-sebelumnya, penjelasan-justifikasi-apriori seperti di atas tidaklah tanpa kelemahan/kesulitan. Sebagai contoh justifikasi-semacam-itu tampak menuntut bahwa objek-objek-pandangan-rasional merupakan sesuatu yang tidak-berubah, abstrak, entitas-yang-bersifat-Platonistik yang ada di semua dunia yang mungkin. Namun, andai memang demikian, menjadi sangat sulit untuk mengetahui seperti apa hubungan antara entitas-entitas-itu dan pikiran-kita dapat disatukan dalam kasus pandangan-rasional-yang-murni --ini agaknya tidak ada hubungan kausal-- dan apakah pikiran-kita dapat dianggap secara masuk akal berada dalam hubungan seperti itu (Benacerraf 1973). Sebagai hasilnya dan dengan memperhatikan hal-hal yang terkait, banyak filsuf kontemporer telah menolak pendapat justifikasi-apriori-semacam-itu, atau berusaha mengajukan sebuah penjelasan-justifikasi-apriori dengan tidak membawa/melibatkan pandangan-rasional.
Bagaimana penalaran-akal atau refleksi-rasional dapat dengan sendirinya mengarahkan seseorang untuk berpikir proposisi-tertentu adalah benar ? Secara tradisional, respons jawaban yang paling umum terhadap pertanyaan itu adalah mengarah kepada gagasan tentang adanya-pandangan-rasional (rational-insight). Beberapa filsuf-sejarah (misalnya Descartes 1641, Kant 1781) dan juga beberapa filsuf-kontemporer (misalnya, BonJour 1998) berpendapat bahwa justifikasi-apriori seharusnya dipahami dengan melibatkan semacam penglihatan-rasional (rational-seeing) atau penangkapan-kebenaran atau penangkapan-kepastian dari suatu proposisi yang dimaksud.
Perhatikan, misalnya pendapat bahwa :
"Jika Ted lebih tinggi dari Sandy dan Sandy lebih tinggi dari pada Louise, maka Ted lebih tinggi dari pada Louise."
Begitu saya mencermati/menimbang/memikirkan/me-refleksi-kan arti dari setiap istilah yang relevan dalam proposisi di atas, saya dapat melihat dengan cara-yang-langsung dan murni-rasional, bahwa jika kalimat konjungtif pendahuluan kondisional itu benar, maka kesimpulannya juga pasti benar.
Menurut konsepsi-tradisional tentang justifikasi-apriori, pandangan-saya-yang-jelas terhadap kepastian-pendapat itu membenarkan kepercayaan-saya terhadapnya. Yang tampak bagi saya dengan cara-yang-jelas, langsung, dan murni-rasional bahwa pendapat-tersebut-pasti-benar, memberi alasan-kuat bagi saya untuk berpikir bahwa pendapat itu adalah benar. Oleh karena itu, berikut adalah penjelasan-positif mengenai justifikasi-apriori yang dapat diajukan :
Seseorang adalah dibenarkan-secara-apriori untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu jika memiliki pandangan-rasional (rational-insight) terhadap kebenaran atau kepastian-dari-pendapat-tersebut.
Meski secara fenomenologis masuk akal dan secara epistemis lebih mencerahkan daripada karakterisasi-sebelumnya, penjelasan-justifikasi-apriori seperti di atas tidaklah tanpa kelemahan/kesulitan. Sebagai contoh justifikasi-semacam-itu tampak menuntut bahwa objek-objek-pandangan-rasional merupakan sesuatu yang tidak-berubah, abstrak, entitas-yang-bersifat-Platonistik yang ada di semua dunia yang mungkin. Namun, andai memang demikian, menjadi sangat sulit untuk mengetahui seperti apa hubungan antara entitas-entitas-itu dan pikiran-kita dapat disatukan dalam kasus pandangan-rasional-yang-murni --ini agaknya tidak ada hubungan kausal-- dan apakah pikiran-kita dapat dianggap secara masuk akal berada dalam hubungan seperti itu (Benacerraf 1973). Sebagai hasilnya dan dengan memperhatikan hal-hal yang terkait, banyak filsuf kontemporer telah menolak pendapat justifikasi-apriori-semacam-itu, atau berusaha mengajukan sebuah penjelasan-justifikasi-apriori dengan tidak membawa/melibatkan pandangan-rasional.
Penjelasan-justifikasi-apriori tanpa melibatkan pandangan-rasional muncul dalam beberapa variasi.
Alternatif-pertama, satu variasi yang mempertahankan konsepsi-tradisional-justifikasi-apriori dengan mensyaratkan adanya-kepemilikan-alasan-epistemis yang dicapai di atas dasar pemikiran-murni atau penalaran-murni, namun pendapat-justifikasi-seperti-itu terbatas pada proposisi-biasa atau proposisi-analitik dan oleh karena itu tidak memerlukan keterikatan terhadap pandangan-rasional (Ayer 1946). Justifikasi-apriori yang dipahami dengan cara ini dianggap menghindari keterikatan terhadap pandangan-rasional. Dasar pendapat ini adalah sebuah penjelasan dapat diajukan berdasar pada bagaimana seseorang mampu melihat-kebenaran dengan cara yang murni-rasional, misalnya, konsep-predikat suatu proposisi-tertentu terdapat di dalam konsep-subjek tanpa memberi/mengaitkan suatu kualitas kepada orang itu, misal sebuah kemampuan untuk menangkap karakter-kepastian-terhadap-realitas. Justifikasi-apriori dengan demikian dapat dianggap dijelaskan dengan cara yang tidak merugikan secara metafisik.
Tetapi pandangan semacam ini biasanya menghadapi setidaknya satu dari dua-keberatan-serius (BonJour 1998). Pertama, sulit untuk berdamai dengan apa yang secara intuitif termasuk dalam cakupan-luas dari berbagai pendapat-apriori. Meski banyak pendapat-apriori bersifat analitik, beberapa tampaknya tidak, misalnya prinsip-transitivitas, kasus ketidakcocokan warna-merah-hijau seperti yang dibahas di atas, serta beberapa pendapat-lain yang logis, matematis, filosofis, dan bahkan mungkin moral. Tentu saja, adalah mungkin untuk menafsirkan gagasan-analitik-secara-luas sehingga mencakup pendapat-pendapat-semacam-itu, dan beberapa penjelasan-justifikasi-apriori telah melakukannya. Tetapi hal itu langsung menuju kepada keberatan kedua dan yang sama menyulitkan, yaitu : jika pendapat-pendapat-seperti-itu dianggap semua-analitik, adalah diragukan bahwa kebenaran semua pendapat-analitik dapat ditangkap tanpa perlu adanya pandangan-rasional atau intuisi-rasional.
Sebagai contoh, melihat/menangkap kebenaran-pendapat :
"Tujuh ditambah lima sama dengan dua belas."
tidak berarti menggabungkan definisi masing-masing istilah yang relevan, atau melihat bahwa satu konsep mengandung konsep yang lain. Sebaliknya, tampaknya melibatkan sesuatu yang lebih substansial dan positif, sesuatu seperti tangkapan-intuitif-dari-fakta bahwa : jika tujuh ditambahkan ke lima, jumlah yang dihasilkan pasti --tidak mungkin gagal-- adalah dua-belas. Tapi tentu saja ini terdengar persis seperti apa yang dikatakan pandangan-tradisional yaitu melibatkan adanya pandangan-rasional.
Alternatif-kedua terhadap konsepsi-tradisional-justifikasi-apriori muncul dari penjelasan umum tentang justifikasi-epistemis yang menggeser fokus perhatian dari adanya-kepemilikan-alasan-epistemis menuju kepada konsep seperti masuk-akal-secara-epistemis atau dapat dipertanggungjawaban-secara-epistemis. Meskipun agaknya terkait erat dengan kepemilikan-alasan-epistemis, konsep ini --alasannya akan dibahas di bawah ini-- tidak begitu saja dapat disamakan. Pada penjelasan semacam ini, seseorang dibenarkan-secara-epistemis untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu jika kepercayaan itu dilakukan dengan masuk-akal-secara-epistemis atau dapat dipertanggungjawabkan-secara-epistemis (misalnya, tidak melanggar salah satu kewajiban yang berkaitan dengan aktivitas-epistemologis/mengetahui contoh : hanya percaya pada sesuatu yang memiliki bukti memadai).
Model justifikasi-epistemis ini membuka pintu bagi sebuah penjelasan alternatif justifikasi-apriori. Masih diperdebatkan bahwa kepercayaan kepada banyak lrinsip atau proposisi yang biasanya dianggap apriori (misalnya, hukum non-kontradiksi) adalah merupakan bagian yang menyusun/mendasari penalaran-rasional dan wacana. Pendapat itu dibuat dengan landasan bahwa tanpa kepercayaan-semacam-itu, penalaran-rasional dan wacana adalah tidak mungkin. Jika argumen ini tidak dapat ditanggalkan, maka cukup jauh dari apakah kita sungguh-sungguh atau bahkan dapat memiliki-alasan-epistemis untuk mendukung pendapat yang dimaksudkan, dengan mempercayai pendapat-itu kita sepertinya tidak melanggar kewajiban-epistemis apapun, atau berperilaku tidak masuk-akal-secara-epistemis. Sekali lagi, kepemilikan-kepercayaan semacam itu dianggap harus ada untuk suatu penalaran-rasional atau wacana apa pun. Ini menghasilkan sebuah penjelasan tentang justifikasi-apriori yang berpandangan pendapat-tertentu-dibenarkan jika kepercayaan terhadap pendapat-itu harus ada secara-rasional dalam pengertian yang relevan (lihat, misalnya, Boghossian 2000; pandangan semacam ini juga diberikan oleh Wittgenstein 1969).
Meskipun pandangan-seperti-itu berhasil menghindari keterikatan pada gagasan-pandangan-rasional, setidaknya terdapat dua-masalah-serius.
Masalah-pertama, pandangan-itu tampaknya tidak mampu menjelaskan seluruh luas-cakupan berbagai pendapat yang biasanya dianggap apriori. Terdapat perdebatan terhadap sejumlah pendapat-apriori matematis dan filosofis, misalnya, tentang keyakinan pada pendapat-itu (atau pendapat-umum apa pun yang mungkin mewakili) bukanlah kondisi-pasti bagi penalaran-rasional atau wacana.
Masalah-kedua, penjelasan-justifikasi-apriori-ini rentan memunculkan bentuk-skeptisisme yang serius, karena tidak ada hubungan yang jelas antara kepercayaan-yang-pasti pada aktivitas-rasional dengan kebenaran-nya. Akibatnya, mungkin dalam pandangan semacam itu bahwa seseorang dibenarkan-secara-apriori dalam berpikir bahwa kepercayaan yang dipertanyakan itu benar tetapi belum-memiliki-alasan atau tidak-memiliki-alasan yang mendukung keyakinan-nya itu. Kenyataannya, memberikan karakter fundamental yang bersifat epistemis, terhadap kepercayaan yang dipertanyakan menjadi tidak-mungkin --begitu sebuah keterikatan apriori pada pandangan-rasional dikesampingkan-- bagi seseorang untuk memiliki-alasan-apapun untuk berpikir bahwa salah satu dari keyakinan itu adalah benar. Oleh karena itu pandangan-semacam-ini, tampak memiliki implikasi-skeptis yang mendalam.
Konsepsi alternatif-ketiga tentang justifikasi-apriori menggeser fokus perhatian menuju aspek-kognisi yang lain. Menurut penjelasan-eksternalis tentang justifikasi-epistemis, seseorang dapat dibenarkan untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu tanpa memiliki-akses-kognitif terhadap --atau tanpa kesadaran akan-- faktor-faktor yang mendasari justifikasi-itu. Faktor-faktor semacam itu bisa bersifat eksternal terhadap perspektif-subjektif-seseorang atau perspektif-orang-pertama. Penjelasan-justifikasi-eksternalis jelas berlawanan secara tajam dengan penjelasan-justifikasi yang memerlukan adanya-kepemilikan-alasan-epistemis, karena kepemilikan-alasan semacam itu, juga merupakan masalah memiliki-akses-kognitif terhadap alasan-justifikasi. Bentuk eksternalisme yang paling populer adalah reliabilisme. Secara umum, para penganut reliabilisme berpendapat bahwa justifikasi-epistemis atau jaminan-epistemis terhadap kepercayaan-tertentu bergantung pada bagaimana, atau dengan-apa, kepercayaan-itu terbentuk. Lebih spesifik lagi, reliabilisme bertanya apakah-kepercayaan-itu dibentuk melalui sebuah-fakultas atau suatu-proses yang berjalan dalam kondisi-benar atau dapat-dipercaya. Jadi, penjelasan-justifikasi-apriori menurut penganut reliabilisme, seseorang dibenarkan-secara-apriori untuk mempercayai sebuah pendapat jika kepercayaan-itu dibentuk oleh keyakinan terhadap proses-pembentukan atau oleh fakultas-handal, yang non-empiris, dan non-ekperimental.
Penjelasan-secara-reliabilisme atas justifikasi-apriori menghadapi setidaknya dua kelemahan/kesulitan dari yang sudah disebutkan sebelumnya yaitu berkaitan dengan penjelasan-lain yang non-tradisional terhadap justifikasi-apriori.
Masalah-pertama, penjelasan-secara-reliabilisme tampaknya mengijinkan seseorang dapat dibenarkan-secara-apriori untuk percaya pada sebuah pendapat-tertentu tanpa memiliki alasan-apapun untuk berpikir bahwa pendapat itu adalah benar. Seseorang dapat membentuk kepercayaan-nya melalui cara-yang-handal dan non-empiris, namun tidak memiliki alasan-epistemis untuk mendukungnya. Oleh karena itu, penjelasan semacam ini juga dapat dicurigai sebagai bentuk-skeptisisme yang serius.
Masalah-kedua adalah, berlawanan dengan pendapat-reliabilisme (misalnya, Bealer 1999), sulit untuk melihat bagaimana penjelasan-semacam-ini dapat menghindari keterikatan kepada sesuatu, seperti gagasan-pandangan-rasional. Setidaknya ada-dua-tingkat di mana keterikatan itu terjadi.
Pertama, reliabilisme harus memberikan karakterisasi yang lebih spesifik terhadap proses-kognitif atau fakultas-handal yang menghasilkan justifikasi-apriori. Tidaklah cukup hanya berpendapat bahwa proses atau fakultas itu bersifat non-empiris atau non-eksperimental.Hal ini pada akhirnya akan memerlukan penjelasan-lebih-rinci tentang fenomenologi yang dikaitkan dengan operasi-proses atau fakultas-handal ini. Tetapi, akan seperti apakah penjelasan-yang-lebih-rinci tentang fenomenologi ini --jika tidak-- dalam beberapa hal, merujuk pada penjelasan-tradisional tentang justifikasi-apriori yang dicirikan oleh adanya pandangan-rasional ? Lebih lagi, metode non-empiris dari pembentukan-kepercayaan yang handal/eeliable berbeda dari yang bersifat tidak-handal/reliabel --misal, berupa dugaan atau adanya ketakutan/paranoia-- tepat karena melibatkan adanya kebenaran atau kepastian-logis yang masuk-akal. Dan hanya tampilan intuitif semacam itu yang dikatakan merupakan karakteristik dari pandangan-rasional. Dengan demikian tampak bahwa dalam melakukan beberapa penjelasan-yang-rinci, reliabilisme akan dipaksa untuk setidaknya menampilkan/memerlukan pandangan-rasional.
Kedua, reliabilisme diwajiban untuk menjelaskan mengapa jenis-proses-kognitif-yang-non-empiris atau fakultas-handal yang bersangkutan dapat diandalkan. Tetapi di sini sekali lagi sulit untuk mengetahui bagaimana menghindari keterikatan terhadap pandangan-rasional. Bagaimana lagi fakultas-handal atau proses-kognitif-yang-non-empiris tertentu bisa mengarah pada pembentukan keyakinan-yang-benar jika bukan karena melibatkan akses-rasional terhadap kebenaran atau kepastian akan kepercayaan-itu ? Jauh dari jelas terhadap hal-hal lain yang mungkin masuk-akal penjelasan oleh para penganut reliabilisme terhadap keandalan dari jenis-proses atau fakultas yang relevan.
Kemudian menjadi tampak, oenjelasan-secara-reliabilisme yang paling berhasil mengenai justifikasi-apriori, menjadi mirip dengan penjelasan-Tradisional, yaitu menggunakan gagasan-pandangan-rasional. Beberapa pandangan-reliabilisme (misalnya, Plantinga 1993) benar-benar melakukan hal itu, misalnya dengan berpendapat bahwa seseorang dibenarkan-secara-apriori untuk mempercayai sebuah pendapat-tertentu jika keyakinan-itu dihasilkan oleh fakultas-penalaran, suatu-operasi yang melibatkan pandangan-rasional terhadap kebenaran atau kepastian dari pendapat yang dipertanyakan. masuk-akal-nya penjelasan-secara-reliabelisme seperti ini, bertentangan dengan penjelasan-tradisional, tentu saja pada akhirnya bergantung pada sifat masuk-akal dari komitmen-eksternalis yang mendorongnya.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/apriori/#H6
Pemahaman Pribadi