Setiap kajian-serius apapun mengenai sifat-objektivitas dan pengetahuan-objektif seharusnya menelaah pendirian-pendapat metafisis dan epistemologis yang berpusat pada filsuf-filsuf utama dalam sejarah-filsafat, begitu juga kontribusi-kontribusi pendapat dari para pemikir akhir-akhir ini. Penjelasan-umum yang sangat singkat berikut ini seharusnya memberi gagasan darimana dapat memulai suatu kajian.
Plato sangat terkenal untuk suatu pandangan pemisahan realitas-objektif. Secara kasar ia menyatakan bahwa realitas-tertinggi bukanlah pada objek-benda-benda-biasa yang dapat di-indra dan berada di sekitar kita tetapi 'apa' yang berada di dalam dunia yang disebut dunia 'forma-forma' atau 'ideas' (istilah yunani yang dipakai Plato mirip dengan kata 'idea' tetapi lebih baik menyebutnya 'forma' karena yang dimaksud bukanlah 'ide-ide' yang hanya berada di dalam pikiran-saja seperti pada pemakaian modern terhadap kata 'idea'). Menurut Plato objek-benda-biasa yang kita alami melalui indra adalah nyata tetapi 'forma' adalah suatu realitas-yang-lebih-tinggi. Dapat dikatakan, realitas-tertinggi itulah satu-satunya realitas yang benar-benar objektif.
Forma-forma paling-sederhana digambarkan sebagai esensi-murni dari benda-benda atau penentu karakteristik-karakteristik dari benda-benda. Kita bisa melihat bermacam kursi disekitar kita tetapi 'esensi-apa' yang menjadikan sebuah-kursi seperti adanya adalah 'forma-kursi'. Begitu juga kita melihat banyak benda-benda yang indah disekitar kita, tetapi 'forma-keindahan' adalah 'apa' yang menjadikan benda-benda itu indah. Secara sederhana, 'forma' hanyalah 'apapun' yang menentukan benda-benda menjadi indah yang keberadaannya terpisah dari benda-benda itu sendiri dan semua-benda-lainnya.
Selaras dengan pengertian di atas, dalam epistemologi Plato membedakan pengetahuan-tertinggi sebagai pengetahuan tentang realitas-tertinggi yaitu pengetahuan tentang 'forma-forma'. Pemakaian modern kita pada istilah realitas-objektif dan pengetahuan-objektif tampak sangat masuk-akal sesuai dengan pengertian ini.
Sebaliknya Aristoteles meng-identifikasi-kan benda-benda-biasa di sekitar kita yang dapat diindra sebagai realitas-yang-paling-objektif. Ia menyebutnya 'substansi-primer'. 'Forma-forma' yang melekat/ada pada benda-benda itu ia menyebutnya 'substansi-sekunder'. Oleh karenanya, metafisika Aristoteles lebih cocok daripada pendapat Plato dengan pengertian kita sekarang ini mengenai realitas-objektif, tetapi pandangannya tentang pengetahuan-objektif berbeda dalam beberapa hal. Baginya pengetahuan-objektif adalah pengetahuan tentang 'forma-forma' atau esensi-esensi dari benda-benda. Kita bisa mengetahui benda-benda-individual secara objektif tetapi tidak-sempurna. Kita bisa mengetahui benda-benda-individual hanya selama terjadi kontak-perseptual dengan benda-benda-itu, tetapi kita dapat mengetahui 'forma-forma' secara sempurna atau tidak-dibatasi-waktu.
Descartes terkenal menekankan bahwa realitas-subjektif lebih diketahui daripada realitas-objektif, namun pengetahuan realitas-objektif tentang eksistensi-diri-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir nyaris menjadi dasar atau dasar-sesungguhnya sebagai pengetahuan realitas-subjektif pada seseorang tentang pikiran-yang-memikirkan-eksistensi-dirinya-sendiri. Bagi Descartes pengetahuan tampaknya diawali dari pengetahuan yang langsung dan pasti dalam kondisi-kondisi subjektif dan berlanjut menuju pengetahuan tentang eksistensi-objektif-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir. Cogito, ergo sum adalah menyatakan pengetahuan ini. Semua pengetahuan tentang realitas selain eksistensi-dirinya-sendiri pada akhirnya bersandar pada pengetahuan-langsung ini mengenai eksistensi-diri-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir. Eksistensi seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir adalah sebuah eksistensi-objektif, tetapi tampaknya Descartes menyimpulkan eksistensi-ini dari realitas-subjektif dari pemikiran-terhadap-dirinya-sendiri. Namun demikian penafsiran yang tepat terhadap perkataannya yang terkenal itu masih menjadi masalah kontroversi, dan mungkin tidak akan mengungkapkan kesimpulan sama sekali.
Kita telah meninjau beberapa pernyataan John Locke yang paling berpengaruh tentang sifat-realitas-objektif. Filsuf dan pendeta Geroge Barkeley mengikuti empirisme dari Locke dalam epistemologi, tetapi mengajukan pandangan yang berbeda mengenai realitas. Idealisme Barkeley menyatakan bahwa realitas-realitas yang ada hanyalah pikiran/jiwa dan isi-pikiran/konten-mental, meski demikian dia juga mempunyai sebuah konsep tentang realitas-objektif. Sebuah meja sebagai contoh, ada secara objektif di dalam pikiran Tuhan. Tuhan menciptakan realitas-objektif dengan memikirkan meja-itu dan mempertahankan realitas-objektif apapun, seperti meja-itu, hanya selama Dia terus memikirkan meja-itu. Dengan demikian meja-itu ada secara objektif bagi kita bukan hanya sebagai persepsi-persepsi-sekejap (sementara) tetapi sebagai sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman-yang-mungkin terhadapnya. Pengalaman partikular saya mengenai meja-itu pada saat ini adalah sebuah realitas-subjektif, tetapi meja-itu sebagai realitas-objektif dalam pikiran Tuhan berarti sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman-yang-mungkin kepadanya. Barkeley menegaskan tidak perlu untuk membuat postulat suatu substansi-fisik yang mendasari semua pengalaman-pengalaman itu menjadi realitas-objektif dari meja-itu. Sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman yang mungkin sudah cukup memadai.
Kita telah meninjau secara singkat pendapat Kant mengenai sifat-realitas-objektif, filsuf-filsuf yang lebih baru melanjutkan pembahasan ini dari banyak arah, beberapa menolak objektivitas secara-keseluruhan. Pembahasan detail tentang perkembangan ini berada di luar wilayah esai ini, tetapi pembaca yang tertarik seharusnya menyelidiki secara khusus Idealisme dari Hegel begitu juga aliran-aliran pemikiran selanjutnya seperti fenomenologi, eksistensialisme, logika positivisme, pragmatisme, dekonstruksionisme, dan post-modernisme. Filsafat pikiran, secara alami, juga terus-menerus menghadapi pertanyaan mendasar tentang subjektivitas dan objektivitas.
Sumber :
https://www.iep.edu/objectiv/#H5
Pemahaman Pribadi