Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, October 11, 2019

Objektivitas 6 : Teori-Teori Filosofis Utama Tentang Realitas Objektif Dalam Sejarah Filsafat


Setiap kajian-serius apapun mengenai sifat-objektivitas dan pengetahuan-objektif seharusnya menelaah pendirian-pendapat metafisis dan epistemologis yang berpusat pada filsuf-filsuf utama dalam sejarah-filsafat, begitu juga kontribusi-kontribusi pendapat dari para pemikir akhir-akhir ini. Penjelasan-umum yang sangat singkat berikut ini seharusnya memberi gagasan darimana dapat memulai suatu kajian.

Plato sangat terkenal untuk suatu pandangan pemisahan realitas-objektif. Secara kasar ia menyatakan bahwa realitas-tertinggi bukanlah pada objek-benda-benda-biasa yang dapat di-indra dan berada di sekitar kita tetapi 'apa' yang berada di dalam dunia yang disebut dunia 'forma-forma' atau 'ideas' (istilah yunani yang dipakai Plato mirip dengan kata 'idea' tetapi lebih baik menyebutnya 'forma' karena yang dimaksud bukanlah 'ide-ide' yang hanya berada di dalam pikiran-saja seperti pada pemakaian modern terhadap kata 'idea'). Menurut Plato objek-benda-biasa yang kita alami melalui indra adalah nyata tetapi 'forma' adalah suatu realitas-yang-lebih-tinggi. Dapat dikatakan, realitas-tertinggi itulah satu-satunya realitas yang benar-benar objektif.

Forma-forma paling-sederhana digambarkan sebagai esensi-murni dari benda-benda atau penentu karakteristik-karakteristik dari benda-benda. Kita bisa melihat bermacam kursi disekitar kita tetapi 'esensi-apa' yang menjadikan sebuah-kursi seperti adanya adalah 'forma-kursi'. Begitu juga kita melihat banyak benda-benda yang indah disekitar kita, tetapi 'forma-keindahan' adalah 'apa' yang menjadikan benda-benda itu indah. Secara sederhana, 'forma' hanyalah 'apapun' yang menentukan benda-benda menjadi indah yang keberadaannya terpisah dari benda-benda itu sendiri dan semua-benda-lainnya.

Selaras dengan pengertian di atas, dalam epistemologi Plato membedakan pengetahuan-tertinggi sebagai pengetahuan tentang realitas-tertinggi yaitu pengetahuan tentang 'forma-forma'. Pemakaian modern kita pada istilah realitas-objektif dan pengetahuan-objektif tampak sangat masuk-akal sesuai dengan pengertian ini.

Sebaliknya Aristoteles meng-identifikasi-kan benda-benda-biasa di sekitar kita yang dapat diindra sebagai realitas-yang-paling-objektif. Ia menyebutnya 'substansi-primer'. 'Forma-forma' yang melekat/ada pada benda-benda itu ia menyebutnya 'substansi-sekunder'. Oleh karenanya, metafisika Aristoteles lebih cocok daripada pendapat Plato dengan pengertian kita sekarang ini mengenai realitas-objektif, tetapi pandangannya tentang pengetahuan-objektif berbeda dalam beberapa hal. Baginya pengetahuan-objektif adalah pengetahuan tentang 'forma-forma' atau esensi-esensi dari benda-benda. Kita bisa mengetahui benda-benda-individual secara objektif tetapi tidak-sempurna. Kita bisa mengetahui benda-benda-individual hanya selama terjadi kontak-perseptual dengan benda-benda-itu, tetapi kita dapat mengetahui 'forma-forma' secara sempurna atau tidak-dibatasi-waktu.

Descartes terkenal menekankan bahwa realitas-subjektif lebih diketahui daripada realitas-objektif, namun pengetahuan realitas-objektif tentang eksistensi-diri-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir nyaris menjadi dasar atau dasar-sesungguhnya sebagai pengetahuan realitas-subjektif pada seseorang tentang pikiran-yang-memikirkan-eksistensi-dirinya-sendiri. Bagi Descartes pengetahuan tampaknya diawali dari pengetahuan yang langsung dan pasti dalam kondisi-kondisi subjektif dan berlanjut menuju pengetahuan tentang eksistensi-objektif-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir. Cogito, ergo sum adalah menyatakan pengetahuan ini. Semua pengetahuan tentang realitas selain eksistensi-dirinya-sendiri pada akhirnya bersandar pada pengetahuan-langsung ini mengenai eksistensi-diri-seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir. Eksistensi seseorang sebagai substansi-non-fisik-yang-berpikir adalah sebuah eksistensi-objektif, tetapi tampaknya Descartes menyimpulkan eksistensi-ini dari realitas-subjektif dari pemikiran-terhadap-dirinya-sendiri. Namun demikian penafsiran yang tepat terhadap perkataannya yang terkenal itu masih menjadi masalah kontroversi, dan mungkin tidak akan mengungkapkan kesimpulan sama sekali.

Kita telah meninjau beberapa pernyataan John Locke yang paling berpengaruh tentang sifat-realitas-objektif. Filsuf dan pendeta Geroge Barkeley mengikuti empirisme dari Locke dalam epistemologi, tetapi mengajukan pandangan yang berbeda mengenai realitas. Idealisme Barkeley menyatakan bahwa realitas-realitas yang ada hanyalah pikiran/jiwa dan isi-pikiran/konten-mental, meski demikian dia juga mempunyai sebuah konsep tentang realitas-objektif. Sebuah meja sebagai contoh, ada secara objektif di dalam pikiran Tuhan. Tuhan menciptakan realitas-objektif dengan memikirkan meja-itu dan mempertahankan realitas-objektif apapun, seperti meja-itu, hanya selama Dia terus memikirkan meja-itu. Dengan demikian meja-itu ada secara objektif bagi kita bukan hanya sebagai persepsi-persepsi-sekejap (sementara) tetapi sebagai sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman-yang-mungkin terhadapnya. Pengalaman partikular saya mengenai meja-itu pada saat ini adalah sebuah realitas-subjektif, tetapi meja-itu sebagai realitas-objektif dalam pikiran Tuhan berarti sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman-yang-mungkin kepadanya. Barkeley menegaskan tidak perlu untuk membuat postulat suatu substansi-fisik yang mendasari semua pengalaman-pengalaman itu menjadi realitas-objektif dari meja-itu. Sebuah-keseluruhan dari semua-pengalaman yang mungkin sudah cukup memadai.

Kita telah meninjau secara singkat pendapat Kant mengenai sifat-realitas-objektif, filsuf-filsuf yang lebih baru melanjutkan pembahasan ini dari banyak arah, beberapa menolak objektivitas secara-keseluruhan. Pembahasan detail tentang perkembangan ini berada di luar wilayah esai ini, tetapi pembaca yang tertarik seharusnya menyelidiki secara khusus Idealisme dari Hegel begitu juga aliran-aliran pemikiran selanjutnya seperti fenomenologi, eksistensialisme, logika positivisme, pragmatisme, dekonstruksionisme, dan post-modernisme. Filsafat pikiran, secara alami, juga terus-menerus menghadapi pertanyaan mendasar tentang subjektivitas dan objektivitas.


Sumber :
https://www.iep.edu/objectiv/#H5
Pemahaman Pribadi



Sunday, October 6, 2019

Objektivitas 5 : Objektivitas dalam Etika


a. Seorang-Manusia Berbeda dengan Objek-Benda

Pertama, sifat-kodrat-dualitas dari seorang-manusia baik sebagai subjek (yang memiliki pengalaman-subjektif) juga sebagai objek di dalam realitas-objektif berhubungan dengan salah satu teori-etika tertinggi dalam sejarah filsafat.

Etika Immanuel Kant memberi tempat yang sangat-penting untuk menghormati seorang-manusia. Salah satu rumusan yang sangat berpengaruh dari Kant disebut Imperatif-Kategoris terkait dengan sifat-kodrat-dualitas dari seorang-manusia.

Versi etika Kant menuntut bahwa seorang-manusia harus/wajib memperlakukan kemanusiaan, dalam dirinya-sendiri dan orang lain, tidak-pernah hanya sebagai sebuah alat, tetapi pada-saat-yang-sama sekaligus menjadi sebuah tujuan. (Groundwork, p.96)

Terhadap benda-benda yang 'hanya-objek-semata' (tidak mempunyai subjektivitas dalam dirinya), seseorang dapat memperlakukan hanya sebagai alat untuk mencapai sebuah tujuan, sebagai contoh seseorang dapat menggunakan sepotong-kayu, hanya sebagai alat untuk memperbaiki atau membuat suatu pagar.

Sebaliknya menurut Kant, seorang-manusia bukanlah 'hanya-objek-semata'. Seorang-manusia ditandai oleh subjektivitas, sebagai sesuatu yang memiliki sudut-pandang-subjektif dan mempunyai status-moral-khusus. Setiap seorang-manusia harus dihargai sebagai sebuah tujuan, yaitu sebagai sesuatu yang mempunyai nilai-nilai-intrisik. Tampaklah bahwa nilai-nilai-inheren pada diri seorang-manusia secara mendasar bergantung pada fakta bahwa seseorang memiliki suatu kehidupan kesadaran-subjektif disamping keberadaan-objektif-nya.

Perbedaan etis ini memunculkan sebuah aspek terhadap istilah 'objek' sebagai 'hanya-objek-semata', yang dilawankan dengan aspek 'subjektivitas' pada diri seorang-manusia. Istilah objektivitas dalam kontek ini hanya menandai sifat 'keobjekan' yang melekat pada status-moral-nya.

Disamping kesepakatan-yang-diterima-luas bahwa menjadi seorang-manusia dengan sudut-pandang-subjektif memiliki status-moral-khusus, terdapat sebuah kesulitan umum untuk menjelaskan apakah dugaan-fakta ini, seperti juga semua dugaan-fakta-fakta-moral, adalah sebuah fakta-objektif dari sudut pandang pengertian apapun. Juga adalah sulit, bagaimana untuk menjelaskan seseorang dapat mengetahui kebenaran-kebenaran-moral, jika moralitas itu benar-benar bersifat objektif.


b. Objektivisme, Subjektivisme dan Non-Kognitivisme

Teori-teori filosofis tentang sifat-moralitas secara umum dibagi kedalam pernyataan bahwa kebenaran-moral mengekspresikan kondisi-kondisi-subjektif dan kebenaran-moral mengekspresikan fakta-fakta-objektif yang dianalogikan dengan fakta, misalnya fakta bahwa matahari memiliki massa yang kebih besar daripada bumi.

Sehingga disebut teori-subjektivis ketika memandang pernyataan-moral sebagai sebuah deklarasi bahwa telah menggenggam/menemukan fakta-fakta tertentu, tetapi fakta-fakta yang diekspresikan adalah fakta-fakta tentang suatu kondisi-subjektif yang dimiliki seorang-manusia.

Sebagai contoh, pernyataan moral :

"Adalah salah untuk mengabaikan seseorang yang menderita jika anda mampu memberikan bantuan."

Bagi para penganut teori-subjektivis hanyalah berarti sesuatu seperti :

"Saya menilai itu adalah tindakan-serangan karena ada rasa permusuhan/kebencian dalam diri seseorang ketika seseorang mengabaikan orang-lain yang sedang menderita."

Itu adalah sebuah pernyataan terkait dengan persepsi-persepsi pada subjek terhadap sebuah objek (orang yang bertindak), bukan mengenai objek itu sendiri (yaitu tindakan-pengabaian terhadap seseorang yang menderita)

Sebaliknya teori-objektivis, terhadap pernyataan diatas akan dinyatakan dengan :

"Adalah salah melakukan tindakan-pengabaian..."

Sebagai sebuah pernyataan suatu fakta mengenai tindakan-pengabaian itu sendiri.

Teori-teori-subjektivis juga tidak memandang pernyataan-moral sebagai pernyataan-pernyataan mengenai suatu persepsi-persepsi atau perasaan-perasaan pada subjek-tunggal.

Sebagai contoh, seorang subjektivis dapat memandang pernyataan :

"Penyiksaan adalah tidak-bermoral (a-moral)."

Semata-mata hanya menyatakan perasaan-kebencian (ketidak-sukaan) dari sejumlah anggota dalam sebuah masyarakat yang memiliki budaya tertentu, atau diantara sejumlah orang-orang secara umum.

Selain objektivisme dan subjektivisme teori besar ketiga tentang moralitas disebut non-kognitivisme menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan dugaan-moral tidaklah memuat pendapat apapun tentang realitas apapun baik subjektif atau objektif.

Pendekatan ini menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan dugaan-moral hanyalah ekspresi-ekspresi dari perasaan-perasaan-subjektif yang tidak melaporkan (memberi informasi) mengenai adanya perasaan-perasaan semacam itu.

Sehingga pernyataan :

"Penyiksaan adalah tidak-bermoral (a-moral) ekivalen dengan mengeluh atau berkata "uuggh.." pada saat memikirkan penyiksaan daripada menggambarkan perasaan-perasaan kebencian yang ada dalam diri-anda kepada tindakan-penyiksaan.


c. Teori-Teori Objektivis

Diantara banyak teori-teori objektivis tentang moralitas, versi yang paling-langsung menunjuk pada pokok persoalan menyatakan bahwa moralitas adalah fakta-objektif, sebagai contoh pernyataan moral berikut :

"Adalah salah untuk mengabaikan seseorang yang menderita jika anda mampu membantunya."

Jenis teori-objektivis akan menyatakan bahwa kesalahan-perilaku semacam itu merupakan bagian dari realitas-objektif yang sama dengan "Matahari mempunyai massa yang lebih-besar dari pada bumi." adalah bagian dari realitas-objektif.

Kedua fakta tersebut dipegang dengan mengabaikan apakah ada-suatu-kesadaran yang pernah/dapat mengetahui masing-masing fakta itu.

Teori-teori objektivis yang lain tentang moralitas berusaha untuk menjelaskan bermacam perasaan (yang sangat luas) bahwa terdapat suatu perbedaan penting antara pernyataan-pernyataan moral dengan pernyataan-pernyataan deskriptif faktual sambil mempertahankan bahwa kedua jenis pernyataan itu adalah berkenaan dengan sesuatu selain hanya kondisi-kondisi subjektif semata.

Teori-teori semacam itu membandingkan pernyataan-pernyataan moral dengan pernyataan-pernyataan mengenai kualitas-sekunder pada benda.

Menyatakan bahwa sebuah objek tertentu berwarna hijau bukanlah pernyataan yang hanya berkenaan dengan suatu kondisi-kondisi subjektif yang dimiliki seseorang.

Pernyataan tersebut membuat suatu penegasan tentang bagaimana suatu-objek ada di dunia, tetapi pernyataan itu merupakan suatu pernyataan yang hanya-dapat dirumuskan dengan kondisi subjek-yang-mempersepsi berada pada kondisi-yang-tepat (mata yang normal).

Oleh karenanya, penentuan apakah suatu-objek adalah berwarna hijau secara mendasar bergantung pada kesesuaian penilaian-penilaian yang dipertimbangkan dengan kondisi-kondisi subjek yang memadai (memenuhi syarat tertentu).

Berwarna hijau, sesuai definisi di atas, berarti kapasitas untuk mempengaruhi manusia-yang-mempersepi dibawah kondisi-kondisi yang tepat melalui cara tertentu.

Dengan analogi, pernyataan-pernyataan moral dapat menjadi pernyataan-pernyataan mengenai bagaimana suatu-benda ada secara objektif ketika secara esensial bergantung pada kesesuaian kondisi subjek.

Pada pandangan ini, menjadi salah secara moral berarti kapasitas untuk mempengaruhi manusia-yang-mempersepsi dibawah kondisi-kondisi yang tepat melalui cara-cara tertentu.


d. Bisakah kita mengetahui Fakta-Fakta Moral ?

Pada masing-masing jenis-pendekatan-objektivis terhadap moralitas, adalah sulit untuk menjelaskan bagaimana seseorang dapat mengetahui sifat-moral pada suatu-objek.

Sepertinya kita tidak mampu untuk mengetahui kualitas-kualitas moral suatu-objek melalui pengalaman indra-biasa, sebagai contoh, karena kelima indra tampak hanya mengatakan/menginformasikan kepada kita bagaimana suatu-objek 'ada' di dunia ini, bukan bagaimana suatu-objek 'seharusnya-ada' seperti adanya.

Kita juga tidak-dapat menalar dari bagaimana cara suatu-objek 'ada' di dunia hingga bagaimana suatu-objek 'seharusnya-ada' karena seperti yang disampaikan David Hume, 'ada' di dunia secara logis tidak berarti 'ada-yang-seharusnya' seperti adanya.

Sejumlah filsuf, termasuk Hume telah membuat postulat bahwa kita mempunyai cara-khusus berkaitan dengan persepsi-moral, yang dapat dianalogikan dengan kelima-indra kita namun lebih dari itu (melampauinya), yang mampu memberikan kepada kita pengetahuan tentang fakta-fakta moral.

Gagasan yang diajukan ini kontroversial karena gagasan itu menghadirkan persoalan bagaimana melakukan verifikasi persepsi-persepsi moral dan penyelesaian perselisihan-moral. Gagasan itu juga problematis sepanjang tidak menyediakan penjelasan terhadap bagaimana persepsi-moral bekerja.

Sebaliknya, kita memiliki sebuah pemahaman yang baik tentang mekanisme-mekanisme yang bekerja sebagai dasar persepsi-persepsi kita terhadap kualitas-sekunder suatu-objek seperti sifat-warna (kehijauan).

Banyak orang menegaskan bahwa penilaian-penilaian moral lebih-jarang memperoleh/mencapai kesepakatan-yang-diterima-luas daripada penilaian-penilaian kepada objek-materi yang dapat diamati atau fakta-fakta yang dapat diukur.

Pernyataan seperti itu, tampak merupakan usaha untuk mengajukan pendapat bahwa penilaian-penilaian moral adalah tidak-objektif dengan alasan berdasar pada tidak-adanya kesepakatan-antar-subjek terhadapnya.

Namun ketidak-sepakatan-yang-luas tidaklah menunjukan bahwa disana tidak-ada fakta-objektif. Terdapat banyak contoh tentang ketidak-sepakatan terkait dengan fakta-fakta yang sangat-jelas-objektif. Sebagai contoh, pernah terdapat ketidak-sepakatan-yang-luas mengenai apakah alam semesta ini mengembang atau dalam suatu keadaan-ajeg. Ketidak-sepakatan itu tidak menunjukan bahwa disana tidak-ada-fakta-objektif yang berkaitan dengan keadaan/kondisi alam semesta. Oleh karenanya, ketidak-sepakatan-yang-luas terhadap penilaian-penilaian moral dengan sendirinya, tidak menunjukan bahwa disana tidak-ada fakta-fakta moral objektif.

Pernyataan ini tampak seperti sebuah upaya untuk melakukan modifikasi penarikan kesimpulan dari kesepakatan-antar-subjek-yang-diterima-luas menjadi sebuah kebenaran-objektif. Jika demikian, adalah sebuah kesalahan. Anggapan bahwa kesimpulan dari kesepakatan-antar-subjek menjadi kemungkinan kebenaran-objektif adalah kuat, tetapi selanjutnya itu tidak berarti bahwa seseorang dapat menyimpulkan dari tidak-adanya-kesepepakatan-antar-subjek menjadi kemungkinan-subjektif.

Seperti yang telah ditunjukan sebelumnya, ketidak-sepakatan-antar-subjek secara logis mendukung pernyataan bahwa terdapat sebuah kesalahan paling-tidak pada salah-satu penilaian-penilaian yang bertentangan, tetapi tidak mendukung sebuah pernyataan tentang subjektivitas-semata dari objek-material yang dinilai.

Lebih jauh lagi, kesepakatan-yang-nyaris-universal, yang diterima-sangat-luas dalam penilaian-moral biasanya menerima perhatian terlalu kecil dalam pembahasan-pembahasan sifat-moralitas.

Tampak terdapat penilaian-penilaian moral yang tak terhitung banyaknya (sebagai contoh pernyataan : "Adalah salah untuk menyakiti bayi yang baru lahir)" yang nyaris merupakan kesepakatan-universal yang disepakati dan disukai sepanjang kebudayaan dan periode waktu.

Kesepakatan ini seharusnya, paling tidak menjadi kebenaran-utama, yang mendukung sebuah pernyataan kepada objekivitas, seperti yang dilakukan pada katakanlah penilaian-penilaian mengenai temperatur di luar ruangan.


Sumber :
https://www.iep.edu/objectiv/#H4
Pemahaman Pribadi