Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Wednesday, October 25, 2017

Aristoteles 3 : Metafisika


Kata metafisika pertama kali digunakan untuk memberi judul beberapa tulisan Aristoteles karena tulisan-tulisan itu biasanya dirangkai setelah (melampaui, melewati atau mengikuti) tulisannya yang membahas penyelidikan fisika.

Penyunting karya-karya Aristoteles bernama Andronicus Of Rhodes menyusun buku-buku dalam karya Aristoteles, First Philosophy tepat setelah buku-buku dalam karya Physics dan menyebutnya metafisika yang berarti buku yang terletak setelah buku-buku yang membahas penyelidikan fisika (meta = setelah).

Hal ini kemudian bergeser dipahami oleh para pengamat sebagai ilmu yang mempelajari sesuatu hal yang melampaui fisik.

Aristoteles memulai dengan membuat sketsa/gambaran tentang sejarah-filsafat.

Bagi Aristoteles, filsafat muncul secara historis setelah kebutuhan-dasar terpenuhi/terjamin.

Filsafat tumbuh dari rasa-ingin-tahu dan bertanya-tanya, yang oleh mitos-agama hanya diberikan kepuasan-sementara.

Para spekulan-metafisika paling awal misalnya Thales, Anaximenes, Anaximander adalah filsuf-filsuf filsafat-alam.

Para pengikut Pythagoras (pythagorean) berhasil melanjutkan bahasan filsafat-alam dengan abstraksi-matematis.

Tingkat pemikiran murni sebagian dicapai oleh para filsuf-eleatic seperti Parmenides dan Anaxagoras, namun lebih lengkap lagi dalam karya-karya Socrates.

Kontribusi Socrates terutama pada penyusunan ekspresi/ungkapan dari konsepsi-umum menjadi bentuk-definisi yang dicapai melalui induksi dan analogi.

Bagi Aristoteles, subjek-subjek dalam metafisika membahas prinsip-prinsip-pertama pengetahuan-ilmiah dan kondisi-akhir dari semua-eksistensi.

Lebih spesifik lagi, metafisika membahas eksistensi dalam keadaan-nya yang paling mendasar seperti "ada sebagai pengada", berserta sifat-esensial-eksistensi-nya.

Hal ini bertentangan dengan matematika yang membahas eksistensi sebagi garis-atau-sudut dan bukan eksistensi dalam arti eksistensi-benda-dalam-dirinya-sendiri.

Dalam karakter universal-nya, metafisika secara dangkal menyerupai dialektika dan sophistry.

Meskipun demikian, metafisika berbeda dengan dialektika yang bersifat tentatif (tidak-tetap/pasti dan terus-berubah) dan berbeda dengan sophistry yang merupakan kepura-puraan-dari-pengetahuan yang tanpa kenyataan.

Aksioma-aksioma ilmu pengetahuan berada di bawah tinjauan para metafisikawan sejauh aksioma-aksioma itu merupakan sifat-dari-semua-eksistensi.

Aristoteles berpendapat bahwa terdapat kebenaran-universal yang dapat ditangkap manusia.

Melawan para pengikut Heraclitus dan Protagoras, Heraclitus berpendapat bahwa eksistensi-segala-sesuatu adalah selalu-berubah dan Protagoras berpendapat tidak-ada pengetahuan/pengertian yang tetap-dan-benar terhadap eksistensi-benda-benda untuk semua-orang, manusia hanya menangkap dengan indra dan tangkapan ini tidak-sama untuk semua-orang, karena setiap-orang adalah selalu-berubah maka tangkapan-nya juga, lalu apakah artinya berbicara benar dan salah ?

Aristoteles membela pendapat yang bertentangan dengan kedua-hukum itu dan mengeluarkan pendapatnya ditengah-tengah antara keduanya.

Dia melakukan-nya dengan menunjukkan bahwa penolakan-pada-kedua-hukum itu yaitu pendapat eksistensi-segala-sesuatu adalah tetap dan manusia dapat menangkap/memperoleh pengetahuan-benda-benda yang tetap-dan-benar adalah bunuh diri.

Membawa konsekuensi logisnya, penolakan-pada-kedua-hukum ini akan mengarah pada kesamaan semua-fakta dan semua-pendapat yang diyakini kebenaran-nya.

Hal ini juga menyebabkan sebuah perilaku yang tidak-peduli terhadap kebenaran.

Sebagai ilmu tentang "ada sebagai pengada", pertanyaan utama metafisika Aristoteles adalah, apa yang dimaksud dengan hakekat-substansi ?

Plato sudah mencoba memecahkan pertanyaan yang sama dengan menetapkan sebuah unsur-universal-dan-tidak-berubah pada pengetahuan dan eksistensi yaitu forma sebagai satu-satunya yang benar-benar-permanen dibalik fenomena-indra yang berubah-ubah.

Aristoteles menyerang teori-forma Plato dengan tiga alasan dasar yang berbeda.

Pertama, Aristoteles berpendapat, forma-forma tidak berdaya untuk menjelaskan perubahan-benda-benda dan kepunahan-akhir-benda-benda.

Forma-forma bukan penyebab gerak-dan-tujuan untuk objek-fisik-sensasi (objek fisik yang dapat di-indra).

Kedua, forma-forma sama-sama tidak kompeten untuk menjelaskan bagaimana kita sampai pada pengetahuan tentang benda-kongkret-individual.

Sebab, untuk memiliki pengetahuan tentang objek-kongkret-individual, harus memiliki pengetahuan tentang substansi yang ada di dalam benda itu.

Namun, forma-forma menempatkan pengetahuan di luar benda itu.

Lebih jauh lagi, untuk menganggap bahwa kita mengetahui benda-kongkret-individual adalah lebih baik dengan menambahkan konsepsi-umum tentang forma mereka, adalah nyaris sama absurd-nya dengan membayangkan bahwa kita dapat menghitung angka-angka lebih baik daripada mengalikan-nya.

Pada akhirnya, jika forma-forma dibutuhkan untuk menjelaskan pengetahuan kita tentang objek-kongkret-individual, maka forma-forma harus digunakan juga untuk menjelaskan pengetahuan kita tentang objek-seni.

Namun, Platonis tidak mengenali forma untuk objek-seni.

Dasar ketiga dari serangan adalah forma-forma tidak bisa menjelaskan eksistensi-objek-kongkret-individual.

Plato berpendapat bahwa forma-forma tidak terdapat di dalam objek-kongkret-individual yang mengambil bagian/partisipasi dari forma.

Namun, substansi-benda-kongkret-individual tidak bisa lepas dari benda itu sendiri.

Selanjutnya, selain jargon "partisipasi", Plato tidak menjelaskan hubungan antara forma-forma dan benda-kongkret-individual.

Pada kenyataannya, hanyalah bentuk metaforis untuk menggambarkan forma-forma itu sebagai pola dari benda-benda.

Sebab, apa yang disebut genus untuk satu objek adalah suatu spesies untuk kelas/kelompok yang lebih tinggi, gagasan yang sama harus menjadi keharusan bagi keduanya forma dan benda-kongkret-individual pada saat bersamaan.

Akhirnya, berdasarkan penjelasan Plato tentang forma-forma, kita harus membayangkan adanya hubungan-perantara antara forma-forma dan objek-kongkret-individual, dan terus menerus hingga tak-terbatas : pasti harus ada "orang-ketiga" (third-man : kritik terhadap teori-forma) antara manusia-individual dan forma-manusia.

Bagi Aristoteles, forma bukanlah sesuatu yang berada di luar objek, melainkan di dalam fenomena yang bervariasi di dalam akal.

Hakekat-substansi atau ada-yang-sejati, bukanlah forma yang abstrak, melainkan benda-individual-yang-kongkret.

Sayangnya, teori-substansi Aristoteles sama sekali tidak konsisten dengan dirinya sendiri.

Dalam karyanya Categories, pengertian substansi cenderung bersifat nominalistik yang berarti substansi adalah konsep yang kita terapkan pada benda-benda.

Meskipun demikian dalam karyanya Metaphysics, sering condong ke realisme yang berarti substansi memiliki hakekat-eksistensi-dalam-dirinya-sendiri.

Kita juga dilanda oleh kontradiksi yang nyata pada pendapatnya bahwa sains membahas konsep-universal dan substansi dinyatakan sebagai konsep-individual.

Dalam beberapa kasus, menurutnya substansi adalah peleburan materi menjadi forma.

Istilah "materi" digunakan oleh Aristoteles dalam empat-penalaran yang tumpang tindih.

Pertama, ini adalah struktur-dasar-dari-perubahan, terutama perubahan pertumbuhan dan kehancuran/penguraian.

Kedua, adalah sebuah potensi yang secara implisit memiliki kapasitas untuk berkembang menjadi kenyataan.

Ketiga, ini adalah semacam barang tanpa kualitas-khusus dan tidak-pasti dan kontingen.

Keempat, substansi identik dengan forma ketika substansi berada pada tahap-ter-aktualisasi dan tahap-terakhir-nya.

Perkembangan potensialitas menjadi aktualitas adalah salah satu aspek terpenting filsafat Aristoteles.

Ini dimaksudkan untuk memecahkan kesulitan yang telah dipikirkan oleh para pemikir sebelumnya dengan mengacu pada asal-muasal-eksistensi dan hubungan antara-yang-satu dengan yang-banyak. Kondisi benda-benda secara aktual-vs-potensial dijelaskan dalam hal-penyebab yang bekerja pada benda-benda itu agar ada. Menurut Aristoteles, terdapat empat penyebab :

1. Penyebab-material, elemen-materi yang dari sana sebuah benda diproduksi dan dibuat menjadi ada.
2. Penyebab-efisien, sesuatu yang olehnya/melaluinya sebuah benda menjadi ada. Agen yang bertanggung-jawab merubah sejumlah materi menjadi benda yang memiliki forma tertentu.
3. Penyebab-formal, suatu forma yang me-representasi-kan benda apa itu. Forma/struktur yang merealisasikan materi dari sudut pandang materi menjadi benda yang tertentu.
4. Penyebab-akhir, sesuatu yang mengarahkan tujuan benda itu ada. Tujuan dari kombinasi forma-dan-materi contoh: patung diciptakan untuk menghormati seorang pahlawan.

Ambilah contoh adanya-sebuah-patung-perunggu.

Sebagai penyebab-material-nya adalah bahan perunggu itu sendiri.

Sebagai penyebab-efisien adalah pematung, sejauh ia memaksa perunggu itu membentuk patung sesuai dengan gagasan-patung-lengkap yang ada di dalam pikirannya.

Penyebab-formal adalah gagasan-patung-lengkap yang berada di dalam pikiran.

Penyebab-akhir adalah gagasan-membuat-patung ketika gagasan-itu mejadi daya yang mendorong pematung untuk melakukan aksi-penciptaan (misal : menghormati seorang pahlawan) pada bahan perunggu itu.

Penyebab-akhir cenderung sama dengan penyebab-formal dan keduanya dapat disebabkan oleh penyebab-efisien. Dari keempat penyebab itu, penyebab-formal dan penyebab-final adalah yang paling-penting dan yang paling benar-benar dapat memberi penjelasan tentang suatu objek. Tujuan-akhir (teleologi atau final-end) sebuah benda diwujudkan dalam kesempurnaan-penuh dari objek itu sendiri, bukan pada konsepsi (forma) kita tentang benda itu. penyebab-akhir oleh karena itu adalah internal dari sifat objek itu sendiri, dan bukan sesuatu yang secara subjektif kita memaksakan pada-nya.

Bagi Aristoteles, Tuhan adalah yang-pertama-dari-semua-substansi, sumber-pertama yang diperlukan bagi gerak, yang dirinya sendiri tidak-bergerak-dan-tak-tergerakan. Tuhan adalah makhluk dengan kehidupan-abadi dan berkat-sempurna, terlibat dalam perenungan yang tidak-pernah-berakhir.



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H4
Pemahaman Pribadi



Monday, October 23, 2017

Memahami Sejarah


Tahun 1984 silam, menginjak usia 13 tahun ketika saya bersama teman-teman menonton film itu pertama kalinya. Mengingat kondisi saat itu, seandainya tidak diwajibkan sangatlah mungkin saya tidak menonton film itu.

Tidak banyak yang saya ingat tentang film itu. Hanya beberapa adegan menonjol yang terekam dengan baik seperti bagaimana seorang anak yang menjerit, menangis histeris dengan meraup darah ke wajahnya atau seorang wanita yang mengambil silet hendak menyayat wajah seorang pria yang tidak berdaya. Selebihnya gambar-gambar suram dengan tentara yang mondar-mandir, beberapa orang yang berkumpul dalam suatu ruangan dengan asap mengepul seperti merencanakan sesuatu, seseorang yang menghadap atasan melaporkan suatu keadaan atau kegiatan serta beberapa tembakan senapan dan sejumlah korban yang berjatuhan. Meski suara dialog terdengar cukup keras, saat itu saya seperti menyaksikan rangkaian gambar-gambar bisu yang bergerak silih berganti.

Setelah pemutaran film selesai, saya tidak menangkap alur cerita secara detail dengan begitu jelas. Yang tertanam di kepala adalah dua kata pada judul film itu 'Pengkhianatan' dan 'PKI' dan sekilas, saya tahu film itu mengenai peristiwa sejarah.

Tidak ada yang lebih berkesan, selain saat berbaris bersama teman-teman berdesakkan memasuki pintu gedung bioskop serta gelapnya ruangan di dalamnya. Sisanya adalah paha yang memerah dan bentol karena gigitan kutu.

Sama sekali tidak terlintas bahwa yang saya tonton adalah bentuk 'doktrinasi' atau 'propaganda' dari penguasa. Kata 'doktrin' dan 'propaganda' sendiri sepertinya jauh dari telinga, apalagi memahami maknanya, dan saat itu tidak ada penilaian saya terhadap penguasa. Saya hanyalah seorang anak belasan yang sehari-harinya melewati waktu begitu saja dengan bermain dan bersekolah.

Hingga sekitar kelas 3 SMA, baru saya benar-benar menyadari bahwa film itu menceritakan sebuah peristiwa sejarah yang penting diantara banyak peristiwa penting lainnya dari perjalanan bangsa dan negara ini. Mata pelajaran PSPB ( Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa ) yang disampaikan oleh seorang Bapak-Guru, yang menurut saya, sangat baik menguasai materi pelajaran, membantu memahami peristiwa sejarah itu lebih jelas. Sekarang, saya lupa nama Bapak-Guru itu tetapi masih teringat jelas ia seorang suami dari Ibu-Guru yang mengajar pelajaran Bahasa-Indonesia dan wajahnya mirip seorang juara dunia tinju kelas bantam junior Elyas Pical.

Secara garis besar, saya menangkap apa yang disampaikan olehnya pada saat itu adalah mengenai pemberontakan mengganti Dasar Negara Pancasila yang gagal dan peralihan kekuasaan dari masa Orde-Lama ke Orde-Baru. Seingat saya, penjelasan peristiwa itu cenderung digambarkan secara hitam-putih dalam arti pada peristiwa itu ada pihak yang 100 persen baik dan benar serta ada pihak yang 100 persen jahat dan salah dan tentu saja seperti kisah kepahlawanan pada umumnya pihak yang baik dan benar menjadi pahlawan di akhir cerita.

Barulah beberapa tahun kemudian saya bisa memahami bahwa penjelasan itu sebagai sebuah 'pemahaman/tafsir/interpretasi' terhadap suatu peristiwa sejarah. Dan merupakan salah satu 'pemahaman/tafsir/interpretasi' diantara beberapa 'pemahaman/tafsir/interpretasi' yang ada atau setidaknya saya ketahui kemudian pada saat akan dan memasuki masa Reformasi.


Historisisme

Bagaimana memahami sejarah ?
Bagaimana melakukan interpretasi terhadap sejarah ?
Bagaimana menafsirkan peristiwa sejarah untuk menangkap makna yang terkandung di dalamnya ?

Terhadap pertanyaan-pertanyaan berkait dengan sejarah seperti di atas, seorang filsuf abad 19 dari Jerman, G.W.F Hegel ( 1770–1831 ) memelopori suatu pandangan untuk melakukan pengkajian sejarah yang di kenal dengan Historisisme.

Bagian ini adalah referensi yang diambil dari tulisan yang beralamat di http://citralekha.com/historisisme/ sesuai dengan interpretasi saya. Beberapa modifikasi dilakukan dengan maksud agar lebih mudah dipahami. Seperti perubahan penulisan istilah, perubahan susunan kalimat dan pengurutan kembali cara penulisan. Semuanya dilakukan dengan terus berusaha menjaga makna aslinya. Selain itu juga dilakukan beberapa penambahan seperti terjemahan cuplikan dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia dan pengambilan pengertian dari sumber lain untuk memperkuat atau memperjelas makna dari hal yang sedang dibahas.

Menurut Hegel, kajian terhadap sejarah dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok besar, yaitu :

1. Rekonstruksi-Sejarah
2. Refleksi-Sejarah
3. Filsafat-Sejarah

Hegel sendiri, memposisikan kajian sejarah yang dilakukan olehnya ke dalam Kategori-Ketiga yaitu Filsafat-Sejarah.

Kategori-Pertama adalah Rekonstruksi-Sejarah merupakan kajian sejarah dengan cara melakukan Konstruksi-Ulang terhadap peristiwa sejarah yang ditelaah. Hasil kajian itu disebut Sejarah-Rekonstruktif, biasanya berupa uraian tentang suatu peristiwa sejarah yang terjadi di masa lampau pada waktu dan tempat tertentu. Ini yang dilakukan oleh para sejarawan atau orang yang tertarik pada peristiwa sejarah ketika meneliti suatu peristiwa sejarah.

Kategori-Kedua adalah Refleksi-Sejarah, apabila kajian Rekonstruksi-Sejarah hendak menjelaskan lahir dan terjadinya ( Genealogi ) suatu peristiwa sejarah, kajian Refleksi-Sejarah dilakukan dengan mengkaji gabungan berbagai hasil dari kajian Rekonstruksi-Sejarah dengan maksud memperoleh Narasi-Sejarah yang oleh Hegel diletakkan di atas sejarah itu sendiri.

Hegel selanjutnya membagi Refleksi-Sejarah ke dalam Empat-Jenis.

Refleksi-Sejarah-Jenis-Pertama adalah kajian yang dilakukan dengan maksud menangkap Roh-Jiwa-Semangat-Jaman di balik peristiwa sejarah yang di-rekonstruksi, yang dipandang penting bagi masyarakat sekarang.

" Disebut sejarah yang mempunyai cara representasi adalah sejarah yang tidak benar-benar dibatasi oleh waktu yang terkait dengannya, tetapi yang memiliki Roh-Jiwa-Semangat yang melampaui hingga saat sekarang. "

Selain menangkap Roh-Jiwa-Semangat-Jaman, kajian Refleksi-Sejarah-Jenis-Pertama juga berusaha untuk mengevaluasi penulisan sejarah guna menemukan metode penelitian sejarah yang lebih baik.

" Kita selalu melecut otak kita untuk menemukan bagaimana sejarah seharusnya ditulis. Refleksi-Sejarah-Jenis-Pertama adalah yang paling mendekati dengan kajian sejarah sebelumnya ( Rekonstruksi-Sejarah ) ketika kajian itu tidak mempunyai tujuan lebih jauh lagi selain untuk menyajikan Catatan-Sejarah sebuah negara dengan lengkap/utuh/sempurna. " ( Hegel, 2001, p. 18 ).

Refleksi-Sejarah-Jenis-Kedua yang oleh Hegel dinamakan Refleksi-Sejarah-Pragmatis, adalah kajian sejarah yang memiliki fungsi praktis dikdaktif, dengan mempelajari berbagai Narasi-Sejarah. Dengan kata lain, Refleksi-Sejarah-Pragmatis lebih mengeksplorasi fungsi pembelajaran Narasi-Sejarah terhadap masyarakat kontemporer. ( Hegel, 2001, p. 19 ).

Dari kutipan itu dapat dipahami bahwa fungsi pembelajaran sejarah adalah menumbuh-kembangkan kesadaran akan sejarah.

Refleksi-Sejarah-Jenis-Ketiga oleh Hegel disebut sebagai Refleksi-Sejarah-Kritis yaitu kajian terhadap berbagai Narasi-Sejarah yang telah ada untuk menemukan Kebenaran-Objektif. Melalui pembacaan kritis terhadap Tulisan-Tulisan-Sejarah ( Historiografi ) dengan mengkomparasi dan mengkonfrontasi, akan ditemukan Kebenaran-Objektif suatu penjelasan terhadap sebuah peristiwa sejarah yang dapat dipertanggungjawabkan secara Ilmiah-Akademik dan sekaligus dapat diterima publik pembaca sejarah ( Hegel, 2001, p. 20 ).

Refleksi-Sejarah-Jenis-Keempat merupakan kajian yang bertujuan untuk Pengambilan-Kesimpulan-Umum terhadap berbagai kajian sejarah pada aspek kehidupan yang berkembang. Hegel mencontohkan kajian Refleksi-Sejarah terhadap berbagai Narasi-Sejarah di bidang Seni, Religi, Ekonomi dan sebagainya. ( Hegel, 2001, p. 21 ).

Kategori-Ketiga, yaitu kategori kajian sejarah yang terakhir, menurut Hegel adalah Filsafat-Sejarah. Berbeda dengan dua kategori kajian sejarah sebelumnya, Filsafat-Sejarah berusaha untuk memperoleh intisari dari berbagai fenomena sejarah yang terjadi.

" Definisi paling umum yang dapat diberikan adalah Filsafat-Sejarah tidak berarti apa-apa selain pemikiran penuh dan mendalam mengenai sejarah itu sendiri. Pemikiran adalah sifat esensial kemanusiaan. Itulah yang membedakan kita dengan binatang. " ( Hegel, 2001, p. 21 ).

Obyek yang dikaji pun berbeda. Filsafat-Sejarah tidak mengkaji sejarah secara material atau fisik, seperti meneliti sumber-sumber atau bukti-bukti sejarah maupun Historiografi, tetapi membahas hal-hal yang bersifat metafisik. Metode yang digunakan Filsafat-Sejarah pun khas, yaitu dengan melakukan Kontemplasi-Intelektual melalui pengembangan premis-premis logis dan rasional untuk memperoleh kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. ( Hegel, 2001, p. 22 – 23 ).

Kedudukan uraian Hegel tentang Kategorisasi ragam kajian terhadap sejarah adalah sangat penting untuk menjelaskan posisi kajian yang diambil olehnya. Pada uraian berikut menjelaskan bahwa Hegel memilih kajian Filsafat-Sejarah, sehingga pembahasanya berfokus pada usaha untuk mencari Substansi atau Hakekat dari Gerak-Sejarah berupa Teori atau Hukum-Hukum-Sejarah.

Pemikiran inti Historisisme dalam kerangka kajian Filsafat-Sejarah secara singkat dapat digambarkan sebagai berikut :

1. Dalam semesta kehidupan ini terdapat sesuatu yang mengatur segala sesuatu atau Hukum-Semesta, yang oleh Hegel disebut sebagai Reason. ( Hegel, 2001, p. 25 ).
Tanggungjawab Reason adalah mengatur segala sesuatu agar tercipta ketertiban dan keharmonisan antar bagian-bagiannya.

2. Sebagai bagian dari semesta, kehidupan manusia juga tunduk terhadap Hukum-Semesta, yaitu Reason tersebut. Agar pikiran dan perilaku dalam menyejarah sesuai dengan Hukum-Semesta, dalam setiap diri manusia terdapat Jiwa atau Roh.

3. Variasi kehidupan antar lokasi terjadi karena adanya adaptasi Unsur-Pengatur dengan Kondisi-Lokal. Dari sudut pandang ini, untuk memahami kehidupan manusia diperlukan penemuan Unsur-Pengatur perilaku. Dalam konteks ini, ilmu sejarah dan ilmu-ilmu kemanusiaan lainnya bertugas untuk menganalisis masa lampau guna menemukan Unsur-Pengatur itu. Hegel menemukan Jiwa, Roh, Budi ( Geist ), sedang Karl Marx menemukan Alat-Produksi sebagai Unsur-Pengatur dari Gerak-Sejarah.

4. Sejarah merupakan perkembangan linier dari satu titik di masa lampau dan akan menuju titik yang lain di masa depan. Bila titik akhir itu tercapai, maka manusia akan memasuki masa Akhir-Sejarah ( The-End-Of-History ). Melalui penemuan Unsur-Pengatur di masa lampau, ilmu sejarah mampu menyumbang untuk memahami dinamika kehidupan manusia masa kini serta memprediksi masa depan dengan tingkat presisi yang tinggi.

Hegel membagi perjalanan sejarah umat manusia menjadi tiga tahap, yaitu :
1. Jiwa Obyektif ( Dunia-Timur ).
2. Jiwa Subyektif ( Yunani-Romawi ).
3. Jiwa Mutlak ( German-Raya ).
Yang-Ketiga merupakan paduan sempurna dari Dua-Jiwa sebelumnya.

Berbeda dengan Hegel, Marx membagi sejarah perkembangan manusia berdasar Alat-Produksi menjadi :
1. Tanah ( Tuan Tanah/Pemilik Alat-Produksi/Feodal ).
2. Industri-1 ( Borjuis/Pemilik Modal/Kapitalisme ).
3. Industri-2 ( Proletar/Buruh/Komunisme ).


Kritik Terhadap Historisisme

Bagian ini adalah referensi yang diambil dari tulisan yang beralamat di http://citralekha.com/historisisme/ untuk pembahasan kritik yang disampaikan oleh Leopold Von Ranke dan dari alamat https://sosialpolitik.filsafat.ugm.ac.id/kritik-popper-terhadap-problem-historisisme/ untuk pembahasan kritik yang dikemukakan oleh Karl Raimund Popper. Kedua tulisan itu mengandung bahasan kritik terhadap Historisisme yang kemudian saya cuplik dan digabungkan.

Pemikiran Historisisme mengundang kontroversi dari sejak lahirnya hingga sekarang. Dengan kata lain, dapat dikatakan penyusunan Teori-Sejarah yang dimotori oleh Hegel dipandang sebagai langkah yang terlalu jauh atau pengambilan generalisasi yang terlalu luas.

Oleh karena itu, perlu diperhatikan kritik yang disampaikan oleh beberapa pihak. Salah satunya adalah dari sejarawan yang hidup sejaman dengan Hegel, yaitu Leopold Von Ranke. Dia sangat menentang penjelasan sejarah model Historisisme ala Hegel. Pernyataannya yang terkenal adalah :

" Tugas kajian sejarah semata-mata untuk menunjukkan apa yang senyatanya terjadi ( wie es eigentlich gewesen ist ) dan bukan untuk menemukan Teori. "

" Pemahaman saya tentang Ide-Ide-Pengarah ( Leading-Ideas ) adalah itu hanyalah Kecenderungan-Kecenderungan-Dominan di dalam setiap abad. Meskipun demikian Kecenderungan-Kecenderungan itu hanya bisa dideskripsikan dan tidak dapat disimpulkan menjadi sebuah Konsep. " ( http://en.wikipedia.org )

Kritik Ranke, yang dipandang sebagai bapak sejarah modern, perlu ditanggapi dengan jernih. Pernyataannya bahwa :

“ Tugas kajian sejarah semata-mata untuk menunjukkan apa yang senyatanya terjadi. ”

sangat tepat apabila ditujukan pada kajian sejarah Kategori-Pertama dalam kategorisasi ragam kajian sejarah oleh Hegel, yaitu Rekonstruksi-Sejarah. Penjelasan Ranke tentang Ide-Ide-Pengarah ( Leading-Ideas ) sebagai kecederungan yang dominan pada periode waktu tertentu akan tepat untuk dibahas dalam kajian Refleksi-Sejarah. Dari sudut pandang ini, kritik Ranke bahwa sejarah tidak dapat dibuat kesimpulan dalam bentuk konsep kurang dilengkapi dengan alasan-alasan filsafati yang kuat. Dengan kata lain, kritik Ranke kurang menyentuh posisi yang diambil oleh Hegel, yaitu Filsafat-Sejarah.

Kritik mendasar juga datang dari Karl Raimund Popper melalui bukunya The Poverty Of Historicism yang diterjemahkan menjadi Gagalnya Historisisme. Popper sendiri, sebagaimana tertulis dalam The Poverty of Historicism, menjelaskan Historisisme dengan pengertian sebagai berikut :

" Suatu pendekatan ilmu-ilmu sosial yang mengasumsikan bahwa Prediksi-Sejarah adalah Tujuan-Utama, dan mengasumsikan bahwa Tujuan-Utama tersebut dapat dicapai dengan menemukan Ritme, Pola, Hukum, atau Tren yang mendasari Arah-Evolusi-Sejarah. "

Namun yang menarik, Popper menyatakan bahwa  :

" Tidak ada masyarakat yang mampu memprediksi secara ilmiah masa depannya, begitu pula tidak ada Ilmu-Prediksi-Sejarah umat manusia. "

Dan Popper mengkritik Historisisme sebagai sebuah Teori yang Deterministik, Utopis, dan terjebak pada Totalitarianisme.

Terkait Posibilitas-Prediksi dari suatu Hukum-Alam, baik dalam ilmu eksakta maupun ilmu sosial, Popper juga berpendapat adalah Tidak-Tunggal. Artinya, setiap hukum tidak dapat menjamin bahwa Kisaran-Hasil yang mungkin adalah Hanya-Satu. Selalu terbuka bagi Posibilitas-Baru, atau jawaban-jawaban tertentu yang bersifat alternatif, diluar Prediksi-Jawaban dari hukum tersebut.

Melalui Logika yang berasal dari Epistemologi ilmu inilah, Popper kemudian bergerak melontarkan kritik. Ia merasa risih dengan Logika yang digunakan oleh para Imam-Historisisme seperti Hegel dan Marx. Menurut Popper, jelas tidak mungkin bagi kita menentukan Keniscayaan-Masa-Depan-Sejarah. Selain terlalu Utopis, ide Hegel tentang Sejarah-Masyarakat, kata Popper, bersifat Totalitarianistik, sedangkan ide Marx juga terasa Deterministik.

Popper berpendapat bahwa tindakan individu, atau suatu (re)aksi, tidak dapat Di-Prediksi-Secara-Pasti. Sejarah masa lalu selalu memiliki keunikan tersendiri, begitupun peristiwa masa depan, juga akan memiliki keunikan tersendiri. Keduanya hanya dapat Di-Prediksi, namun tidak dapat ditentukan kepastiannya. Jadi, kaum Historisisme secara mendasar telah secara terang mengabaikan peran, konstribusi, tanggung jawab, dan kebebasan individu dalam Gerak-Evolusi-Sejarah.

Memang benar, dalam Gerak-Sejarah, selalu terdapat Pola dan Tren yang tak terelakkan. Kendatipun demikian, satu kelemahan mendasar ide Historisisme Hegel dan Marx, kata Popper, adalah terlalu terburu-buru menentukan Akhir-Sejarah. Mereka seperti lupa bahwa Sejarah-Seluruh-Masyarakat tidak mungkin Di-Ungkap-Secara-Utuh. Pasalnya, Deskripsi sebagai Media-Peng-Ungkapan, akan Selalu-Bersifat-Terbatas. Apabila Pengungkapan terhadap sejarah itu Terbatas, maka manusia tidak dapat mengetahui apalagi menentukan bagaimana Masa-Depan-Sejarah itu sendiri.

Karena itulah Popper kemudian menyebut setiap Teori-Keterarahan-Sejarah yang berambisi Menentukan-Akhir-Sejarah adalah musuh utama dari Masyarakat-Terbuka. Pada titik ini kita segera tahu bahwa Popper menempatkan manusia sebagai Elemen-Pokok suatu Tindakan-Sejarah, dan karenanya tidak dapat dipaksakan untuk patuh kepada baik Ritme yang dibangun secara Teoritik maupun Lembaga atau Struktur-Sosial yang dibangun secara praktik. Individu sebagai Elemen-Pokok dalam Tindakan-Sejarah akhirnya memang tidak dapat sepenuhnya dikendalikan oleh Ritme-Teoritik, Lembaga, atau Struktur-Sosial. Pasalnya, setiap upaya pengendalian secara penuh atas individu, maka akan selalu dicurigai sebagai Totalitarianistik dan Tirani.

Namun apabila Keniscayaan-Sejarah tetap dipaksakan, maka proyek Historisisme akan selalu membutuhkan Renovasi-Individu. Tanpa Renovasi-Individu, masyarakat baru yang dicita-citakan tidak mungkin terwujud. Inilah yang selama ini telah berlangsung di Uni Soviet dan China dibawah rezim Politik-Komunisme. Pada akhirnya Tirani dan Totalitarianisme atas Kebebasan-Individu-lah yang kemudian dijadikan sebagai Mainstrem-Politik. Masyarakat-Komunis sebagaimana dicita-citakan sebagai Hasil-Akhir dari gesekan sejarah antara kaum Borjuis dan Proletar, yang semestinya akan terlahir secara alamiah, akhirnya dipaksa terwujud melalui cara Renovasi-Individu tersebut (baca: kekerasan).

Dengan demikian Renovasi-Individu sama sekali tidak mempertimbangkan aspek Kebebasan-Dan-Keunikan-Individu dalam ikhtiarnya membentuk sejarah. Popper memberi analogi yang menarik untuk hal ini. Jika kita ingin belajar sesuatu, tulis Popper, maka kita terikat untuk memilih aspek-aspek tertentu dari sesuatu tersebut. Tidaklah mungkin bagi kita untuk mengamati atau menggambarkan sebagian dari seluruh dunia, atau seluruh dari sebagian dunia. Pada akhirnya, tidak semua dari bagian terkecil dunia itu mungkin begitu saja dapat dijelaskan, karena setiap keterangan selalu bersifat selektif.

Melalui analogi ini, Popper lalu percaya bahwa Sejarah-Manusia adalah peristiwa yang Unik dan Tunggal. Pengetahuan tentang masa lalu tidak selalu membantu seseorang untuk mengetahui masa depan. Popper menulis :

“ Evolusi kehidupan di bumi, atau dari masyarakat manusia, merupakan proses sejarah yang unik [sehingga] deskripsi tentangnya, bagaimanapun, bukanlah hukum, tetapi hanya pernyataan tunggal dari sejarah. ” ( Popper, 1993 ).

Akhirnya, setiap kita meninjau sejarah, lagi-lagi, kita perlu mempertimbangkan kompleksitas dan keunikan interaksi pembentuknya, yang senyatanya seringkali melahirkan konsekuensi sejarah yang tak tersengaja. Eksperimen sosial dalam skala besar pun tidak dapat menjamin pengetahuan kita tentang akhir dari suatu sejarah. Dengan memahami faktor kompleksitas dan keunikan interaksi tersebut, maka hukum sejarah tidak bisa begitu saja dipraktikkan dalam ruang dan waktu yang berbeda. Setiap hukum sejarah hanya dapat berlaku untuk satu periode sejarah tertentu. Kesimpulan ini sekaligus sebagai petunjuk bagi kita bahwa kita perlu membangun sejarah bangsa kita berdasarkan atas pilihan-pilihan yang mungkin, yang ada di dalam realitas bangsa kita, bukan lagi “comot-mencomot” dari sejarah bangsa lain yang seringkali tak jelas kemana jeluntrungnya.


Peristiwa Sejarah G30S 1965

Pada bagian terakhir ini, saya bermaksud melakukan Refleksi-Sejarah-Pragmatis yang termasuk dalam Kategori-Kedua ragam kajian sejarah Hegel yaitu Refleksi-Sejarah, dengan meninjau salah satu Narasi-Sejarah yang ada mengenai peristiwa G30S 1965.

Publikasi secara umum yang tersedia hingga sekarang, yang mengacu pada berbagai penelitian peristiwa itu oleh para sejarawan baik dalam maupun luar negeri menampilkan Narasi-Sejarah yang bervariasi mengenai beberapa hal, terutama berkaitan dengan pihak yang paling bertanggung jawab atas terjadinya peristiwa itu. Sebagai referensi dapat di baca pada tulisan yang beralamat sebagai berikut :

http://historia.id/modern/lima-versi-pelaku-peristiwa-g30s
www.gunromli.com/2017/09/soeharto-dalang-g-30-s-dan-lima-skenario-dalang-g-30-s-lainnya/.

Dengan menimbang variasi yang ada, saya memilih Narasi-Sejarah yang cukup dominan serta sesuai dengan konteks aktual kehidupan masyarakat Indonesia kontemporer dari aspek Ideologi sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Narasi-Sejarah yang dimaksud adalah :

" Upaya mengganti Pancasila sebagai Ideologi-Dan-Dasar-Negara dengan Ideologi-Lain-Dari-Luar yang bertentangan dengan Pancasila ( Komunis ) oleh Partai Komunis Indonesia ( PKI ). "

Narasi-Sejarah di atas membawa kepada bahasan tentang Entitas-Masyarakat ( golongan/kelompok/organisasi ) yang menganut Ideologi-Lain-Dari-Luar yang bertentangan dengan Pancasila, yang berpotensi menjadi Agen-Sejarah yang mampu melakukan Tindakan-Sejarah berupa gerakan politik untuk mengganti Pancasila sebagai Ideologi-Dan-Dasar-Negara dengan Ideologi-Lain yang dianut oleh-nya.

Uraian berikut dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran bahwa dalam perjalanan kehidupan bangsa dan negara ini selalu di-warnai ujian oleh berbagai peristiwa yang secara langsung mengancam Ideologi-Dan-Dasar-Negara yang membahayakan eksistensi bangsa dan negara ini. Dan, semestinya bangsa ini menyadari bahwa masa sekarang dan tentu yang akan datang adalah bagian dari perjalanan yang harus ditempuh, dimana sangatlah mungkin warna-baru akan menghiasi lukisan sejarah kehidupan bangsa dan negara ini.

Ideologi secara umum berarti sekumpulan ide/gagasan serta nilai-nilai yang bersifat sistematis, yang di dalamnya juga terkandung makna arah dan tujuan. Ideologi sebuah Negara berfungsi sebagai dasar penyelenggaraan pemerintahan dan merupakan pandangan hidup, pedoman untuk menjalankan kehidupan sosial berbangsa dan bernegara sekaligus menjadi tujuan yang hendak dicapai oleh segenap warganya. Ideologi-Negara berperan sebagai pemersatu komponen bangsa, menyatukan arah, gerak, serta cita-cita bersama, merupakan titik tolak, titik pijak dan titik tuju. Oleh sebab itu, Ideologi-Negara adalah landasan yang paling mendasar bagi eksistensi dan kelangsungan hidup bangsa dan negara. Melalui para Pendiri-Negara, bangsa Indonesia telah bersepakat bahwa Pancasila adalah Ideologi-Dan-Dasar-Negara yang kemudian dinyatakan secara formal dalam konstitusi UUD 1945. Sejalan dengan itu, Pancasila disebut perjanjian luhur bangsa Indonesia.

Pancasila merupakan kristalisasi nilai-nilai luhur yang bersumber dari nilai-nilai kebajikan dan kearifan yang hidup di dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai rasional dan mendasar yang tumbuh dan dihayati secara alamiah sepanjang perjalanan dan perkembangan masyarakat Indonesia, telah diyakini dan terbukti kokoh sebagai prinsip, gagasan, nilai-nilai sekaligus tujuan yang baik dalam menjalankan kehidupan sosial.

Pancasila bukanlah Ideologi cangkokan dari luar yang dipaksakan tetapi sebuah Ideologi yang digali oleh para Pendiri-Negara dari kehidupan nyata masyarakatnya yang terdiri dari beragam suku, agama dan ras, merupakan Sari yang bersumber dari bermacam nilai yang terkandung di dalam tradisi, adat-istiadat, kebiasaan, agama, kepercayaan, budaya, pola-pola kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai-nilai yang merupakan jiwa, kepribadian dan jati diri masyarakat Indonesia yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Oleh karena itu, sudah seharusnya segenap komponen bangsa menerima, memegang teguh, menjunjung tinggi, melaksanakan dan menjaga Pancasila karena Pancasila berasal dari dalam diri dan merupakan karakter dasar bangsa Indonesia sendiri.

Bahwa tantangan dan ancaman terhadap Pancasila sebagai Ideologi-Negara adalah resiko yang harus dihadapi oleh sebuah bangsa yang mendiami wilayah strategis alami-kodrati, di pulau-pulau yang terletak diantara dua benua dan dua samudra yang menjadi titik silang pertemuan berbagai peradaban dari berbagai bangsa dan budaya. Sebuah bangsa yang hidup di tengah-tengah pergaulan masyarakat dunia yang tidak mungkin dihindari. Terlebih kemajuan teknologi mendorong proses globalisasi melaju kian kencang, teknologi informasi membuat arus informasi mampu menembus batas fisik geografis dengan cepat menjadikan ancaman ini terasa nyata adanya.

Masyarakat Indonesia menjadi bagian dunia masyarakat terbuka dihadapkan pada pilihan-pilihan Ideologi yang beredar dengan berbagai bentuknya. Interaksi informasi yang intens melalui berbagai media membuat kanal dan akses terhadap nilai-nilai baru menjadi mudah dan cepat. Masyarakat menyerap nilai-nilai baru, nilai-nilai dari luar menyusup, menerobos, menyentuh dan mempengaruhi secara langsung kehidupan anggota masyarakat, individu-individu yang selanjutnya berkembang membentuk Entitas-Masyarakat dengan ciri polah laku dan pola pikir berpedoman pada nilai-nilai dari luar yang seringkali tidak selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Sebuah Entitas-Masyarakat yang pada akhirnya secara sadar atau tidak menganut Ideologi tertentu.

Iklim demokrasi yang tercipta pasca Reformasi membuka ruang yang cukup bagi hidup dan berkembangnya Ideologi yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan mempunyai arah tujuan yang secara prinsip berbeda sejak awalnya --selanjutnya disebut Ideologi-Anti-Pancasila--. Iklim demokrasi pasca Reformasi mengijinkan Ideologi-Anti-Pancasila melakukan penetrasi secara langsung ke tengah kehidupan masyarakat, mewujud nyata sebagai Entitas-Masyarakat ( golongan/kelompok/organisasi ) yang secara formal, diam-diam maupun terbuka memperjuangkan nilai-nilai dan tujuan-tujuan Ideologi-nya. Organisasi dengan Ideologi-Transnasional adalah salah satu contoh.

Usaha yang terus-menerus, agresif dan militan dengan memanfaatkan iklim demokrasi dengan celah longgarnya instrumen dan penegakan hukum membuat Entitas-Masyarakat-Ini dalam waktu singkat berkembang cukup signifikan. Bersandar pada persamaan nilai, pandangan hidup dan tujuan, Entitas-Masayarakat-Ini secara alami akan membentuk aliansi kepentingan dengan Entitas-Masayarakat-Lain yaitu komponen-komponen bangsa yang karena berbagai alasan, masih saja belum menerima secara penuh atau menolak kesepakatan Pancasila sebagai Ideologi-Dan-Dasar-Negara. Aliansi-Kedua-Entitas-Ini --selanjutnya disebut Entitas-Anti-Pancasila-- aktif, mengorganisasi diri, bergerak terstruktur dan sistematis menyusun kekuatan dan menjalankan strateginya merongrong dan mendegradasi Pancasila untuk mencapai cita-cita mewujudkan Ideologi yang dianutnya menjadi Ideologi formal negara.

Di sisi lain, kewajiban penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai Ideologi oleh negara/pemerintah dianggap usang, tidak efektif dan tidak relevan dengan perubahan jaman lalu terabaikan, membawa masyarakat menuju pada situasi Disorientasi-Ideologi. Nilai-nilai Pancasila menjadi semakin jauh dari kehidupan masyarakat. Pancasila kerap dipahami secara parsial dan cerai-berai membuat masyarakat rentan menghadapi infiltrasi dan penetrasi Ideologi-Anti-Pancasila yang datang merangkul. Situasi kemudian diperumit oleh kondisi kehidupan sosial, politik, hukum dan ekonomi yang belum juga menunjukan ke arah yang memuaskan, membuat propaganda Ideologis yang digaungkan oleh Entitas-Anti-Pancasila menggema agung, tampak menarik, relatif lebih mudah diterima dan mendapat simpati masyarakat. Strategi menawarkan solusi Ideologis yang mampu menyelesaikan berbagai masalah, mengatasi keadaan serta membawa bangsa dan negara ini ke arah yang lebih baik menjadi daya tarik yang menggiurkan. Pasca Reformasi, benih-benih Entitas-Anti-Pancasila tumbuh dan berkembang di atas lahan subur.

Keadaan bertambah mengkhawatirkan ketika para elit politik mengambil sikap oportunis dan pragmatis memanfaatkan potensi politik yang dimiliki Entitas-Anti-Pancasila demi kepentingan jangka pendek meraih kekuasaan. Demikian juga dengan partai politik yang tidak berpegang teguh pada Ideologi yang diusungnya, terjebak dalam kepentingan sempit elektoral, dengan bersikap abai atau menganggap remeh terhadap ancaman Ideologi dan kelangsungan hidup bangsa dan negara yang seharusnya lebih utama. Keadaan yang mengakibatkan infiltrasi Ideologi-Anti-Pancasila menjalar kian luas ke berbagai bidang kehidupan dan lapisan masyarakat bahkan merambat ke dalam lembaga-lembaga formal pemerintahan. Dalam situasi seperti ini, Entitas-Anti-Pancasila mengambil keuntungan dari kekuatan riil partai politik untuk mengakumulasi kekuatan dan memperoleh afirmasi masyarakat. Dalam keterlibatannya dalam pertarungan politik merebut kekuasaan Entitas-Anti-Pancasila menyisipkan propaganda Ideologis terselubung dengan menunggangi publikasi media pada berbagai konflik atau perdebatan isu-isu sosial politik atau hukum yang muncul ke permukaan. Dengan demikian Entitas-Anti-Pancasila mendapat limpahan berkah berupa pengakuan dan pembelaan, hal yang membuat eksistensinya semakin kokoh dan sangat mungkin berevolusi menjadi kekuatan politik yang serius di masa depan. Akumulasi kekuatan yang terus menerus dihimpun pada akhirnya akan mencapai kapasitas-mencukupi untuk dapat berperan sebagai Agen-Sejarah untuk melakukan Tindakan-Sejarah dengan menginisiasi, mendorong dan melakukan perubahan sosial secara mendasar dengan mengganti Ideologi-Dan-Dasar-Negara.

Pengalaman peristiwa sejarah G30S 1965, setidaknya memberikan pengetahuan bahwa sebuah peristiwa sejarah terjadi karena tersedianya Agen-Sejarah yang mempunyai kekuatan politik riil memadai, siap dan berani melakukan Tindakan-Sejarah yaitu G30S itu sendiri. Partai Komunis Indonesia ( PKI ) pada saat itu merupakan Entitas-Masyarakat berupa partai, mempunyai kekuatan politik riil yang sangat diperhitungkan dengan anggota jutaan orang, dengan struktur kepengurusan yang kuat hingga ke desa dan didukung oleh organisasi sayap yang mengakar. Saat itu, Partai Komunis Indonesia ( PKI ) merupakan penguasa parlemen ke tiga terbesar setelah kaum nasionalis dan islam agamis membuatnya mempunyai posisi politik yang strategis serta akses kekuasaan yang besar.

Hingga akhirnya, tersedianya Agen-Sejarah aktif dengan kapasitas-kekuatan yang mencukupi untuk melakukan Tindakan-Sejarah sesungguhnya hanya menunggu momen ( waktu dan situasi ) yang tepat untuk menciptakan Peristiwa-Sejarah yang besar dan unik. Sebuah Peristiwa-Sejarah yang sangat mungkin akan menambah goresan warna-merah-darah pada lukisan sejarah kehidupan bangsa dan negara ini.

" Jika saya memahami peristiwa sejarah G30S 1965 sebagai gerakan Partai Komunis Indonesia ( PKI ) untuk mengganti Pancasila dengan Ideologi-Lain-Dari-Luar yang bertentangan dengan Pancasila ( Komunis ) dan menjatuhkan pemerintahan yang sah, yang selanjutnya mengakibatkan tragedi kemanusiaan."

" Maka sudah seharusnya saya bersikap curiga dan waspada terhadap Entitas-Masyarakat ( golongan/kelompok/organisasi ) yang nyata-nyata mengusung Ideologi-Lain-Dari-Luar yang bertentangan dengan Pancasila, akan melakukan tindakan yang sama dengan membawa akibat yang sama."



Kelapa Gading, 24 September 2017



Sumber :
https://sosialpolitik.filsafat.ugm.ac.id/kritik-popper-terhadap-problem-historisisme/
M. Najib Yuliantoro, Pendidik di Fakultas Filsafat UGM
http://www.aktual.com/globalisasi-ancaman-ideologis-dan-antisipasi-pancasila/
Yudi Latif, Kepala Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP)
http://citralekha.com/historisisme/
Sastro Sukamiskin
www.gunromli.com/2017/09/soeharto-dalang-g-30-s-dan-lima-skenario-dalang-g-30-s-lainnya/
Guntur Romli, Penulis, Analis, Kolumnis, Aktivis
Pemahaman Pribadi
Pemahaman Otodidak