Kata metafisika pertama kali digunakan untuk memberi judul beberapa tulisan Aristoteles karena tulisan-tulisan itu biasanya dirangkai setelah (melampaui, melewati atau mengikuti) tulisannya yang membahas penyelidikan fisika.
Penyunting karya-karya Aristoteles bernama Andronicus Of Rhodes menyusun buku-buku dalam karya Aristoteles, First Philosophy tepat setelah buku-buku dalam karya Physics dan menyebutnya metafisika yang berarti buku yang terletak setelah buku-buku yang membahas penyelidikan fisika (meta = setelah).
Hal ini kemudian bergeser dipahami oleh para pengamat sebagai ilmu yang mempelajari sesuatu hal yang melampaui fisik.
Aristoteles memulai dengan membuat sketsa/gambaran tentang sejarah-filsafat.
Bagi Aristoteles, filsafat muncul secara historis setelah kebutuhan-dasar terpenuhi/terjamin.
Filsafat tumbuh dari rasa-ingin-tahu dan bertanya-tanya, yang oleh mitos-agama hanya diberikan kepuasan-sementara.
Para spekulan-metafisika paling awal misalnya Thales, Anaximenes, Anaximander adalah filsuf-filsuf filsafat-alam.
Para pengikut Pythagoras (pythagorean) berhasil melanjutkan bahasan filsafat-alam dengan abstraksi-matematis.
Tingkat pemikiran murni sebagian dicapai oleh para filsuf-eleatic seperti Parmenides dan Anaxagoras, namun lebih lengkap lagi dalam karya-karya Socrates.
Kontribusi Socrates terutama pada penyusunan ekspresi/ungkapan dari konsepsi-umum menjadi bentuk-definisi yang dicapai melalui induksi dan analogi.
Bagi Aristoteles, subjek-subjek dalam metafisika membahas prinsip-prinsip-pertama pengetahuan-ilmiah dan kondisi-akhir dari semua-eksistensi.
Lebih spesifik lagi, metafisika membahas eksistensi dalam keadaan-nya yang paling mendasar seperti "ada sebagai pengada", berserta sifat-esensial-eksistensi-nya.
Hal ini bertentangan dengan matematika yang membahas eksistensi sebagi garis-atau-sudut dan bukan eksistensi dalam arti eksistensi-benda-dalam-dirinya-sendiri.
Dalam karakter universal-nya, metafisika secara dangkal menyerupai dialektika dan sophistry.
Meskipun demikian, metafisika berbeda dengan dialektika yang bersifat tentatif (tidak-tetap/pasti dan terus-berubah) dan berbeda dengan sophistry yang merupakan kepura-puraan-dari-pengetahuan yang tanpa kenyataan.
Aksioma-aksioma ilmu pengetahuan berada di bawah tinjauan para metafisikawan sejauh aksioma-aksioma itu merupakan sifat-dari-semua-eksistensi.
Aristoteles berpendapat bahwa terdapat kebenaran-universal yang dapat ditangkap manusia.
Melawan para pengikut Heraclitus dan Protagoras, Heraclitus berpendapat bahwa eksistensi-segala-sesuatu adalah selalu-berubah dan Protagoras berpendapat tidak-ada pengetahuan/pengertian yang tetap-dan-benar terhadap eksistensi-benda-benda untuk semua-orang, manusia hanya menangkap dengan indra dan tangkapan ini tidak-sama untuk semua-orang, karena setiap-orang adalah selalu-berubah maka tangkapan-nya juga, lalu apakah artinya berbicara benar dan salah ?
Aristoteles membela pendapat yang bertentangan dengan kedua-hukum itu dan mengeluarkan pendapatnya ditengah-tengah antara keduanya.
Dia melakukan-nya dengan menunjukkan bahwa penolakan-pada-kedua-hukum itu yaitu pendapat eksistensi-segala-sesuatu adalah tetap dan manusia dapat menangkap/memperoleh pengetahuan-benda-benda yang tetap-dan-benar adalah bunuh diri.
Membawa konsekuensi logisnya, penolakan-pada-kedua-hukum ini akan mengarah pada kesamaan semua-fakta dan semua-pendapat yang diyakini kebenaran-nya.
Hal ini juga menyebabkan sebuah perilaku yang tidak-peduli terhadap kebenaran.
Sebagai ilmu tentang "ada sebagai pengada", pertanyaan utama metafisika Aristoteles adalah, apa yang dimaksud dengan hakekat-substansi ?
Plato sudah mencoba memecahkan pertanyaan yang sama dengan menetapkan sebuah unsur-universal-dan-tidak-berubah pada pengetahuan dan eksistensi yaitu forma sebagai satu-satunya yang benar-benar-permanen dibalik fenomena-indra yang berubah-ubah.
Aristoteles menyerang teori-forma Plato dengan tiga alasan dasar yang berbeda.
Pertama, Aristoteles berpendapat, forma-forma tidak berdaya untuk menjelaskan perubahan-benda-benda dan kepunahan-akhir-benda-benda.
Forma-forma bukan penyebab gerak-dan-tujuan untuk objek-fisik-sensasi (objek fisik yang dapat di-indra).
Kedua, forma-forma sama-sama tidak kompeten untuk menjelaskan bagaimana kita sampai pada pengetahuan tentang benda-kongkret-individual.
Sebab, untuk memiliki pengetahuan tentang objek-kongkret-individual, harus memiliki pengetahuan tentang substansi yang ada di dalam benda itu.
Namun, forma-forma menempatkan pengetahuan di luar benda itu.
Lebih jauh lagi, untuk menganggap bahwa kita mengetahui benda-kongkret-individual adalah lebih baik dengan menambahkan konsepsi-umum tentang forma mereka, adalah nyaris sama absurd-nya dengan membayangkan bahwa kita dapat menghitung angka-angka lebih baik daripada mengalikan-nya.
Pada akhirnya, jika forma-forma dibutuhkan untuk menjelaskan pengetahuan kita tentang objek-kongkret-individual, maka forma-forma harus digunakan juga untuk menjelaskan pengetahuan kita tentang objek-seni.
Namun, Platonis tidak mengenali forma untuk objek-seni.
Dasar ketiga dari serangan adalah forma-forma tidak bisa menjelaskan eksistensi-objek-kongkret-individual.
Plato berpendapat bahwa forma-forma tidak terdapat di dalam objek-kongkret-individual yang mengambil bagian/partisipasi dari forma.
Namun, substansi-benda-kongkret-individual tidak bisa lepas dari benda itu sendiri.
Selanjutnya, selain jargon "partisipasi", Plato tidak menjelaskan hubungan antara forma-forma dan benda-kongkret-individual.
Pada kenyataannya, hanyalah bentuk metaforis untuk menggambarkan forma-forma itu sebagai pola dari benda-benda.
Sebab, apa yang disebut genus untuk satu objek adalah suatu spesies untuk kelas/kelompok yang lebih tinggi, gagasan yang sama harus menjadi keharusan bagi keduanya forma dan benda-kongkret-individual pada saat bersamaan.
Akhirnya, berdasarkan penjelasan Plato tentang forma-forma, kita harus membayangkan adanya hubungan-perantara antara forma-forma dan objek-kongkret-individual, dan terus menerus hingga tak-terbatas : pasti harus ada "orang-ketiga" (third-man : kritik terhadap teori-forma) antara manusia-individual dan forma-manusia.
Bagi Aristoteles, forma bukanlah sesuatu yang berada di luar objek, melainkan di dalam fenomena yang bervariasi di dalam akal.
Hakekat-substansi atau ada-yang-sejati, bukanlah forma yang abstrak, melainkan benda-individual-yang-kongkret.
Sayangnya, teori-substansi Aristoteles sama sekali tidak konsisten dengan dirinya sendiri.
Dalam karyanya Categories, pengertian substansi cenderung bersifat nominalistik yang berarti substansi adalah konsep yang kita terapkan pada benda-benda.
Meskipun demikian dalam karyanya Metaphysics, sering condong ke realisme yang berarti substansi memiliki hakekat-eksistensi-dalam-dirinya-sendiri.
Kita juga dilanda oleh kontradiksi yang nyata pada pendapatnya bahwa sains membahas konsep-universal dan substansi dinyatakan sebagai konsep-individual.
Dalam beberapa kasus, menurutnya substansi adalah peleburan materi menjadi forma.
Istilah "materi" digunakan oleh Aristoteles dalam empat-penalaran yang tumpang tindih.
Pertama, ini adalah struktur-dasar-dari-perubahan, terutama perubahan pertumbuhan dan kehancuran/penguraian.
Kedua, adalah sebuah potensi yang secara implisit memiliki kapasitas untuk berkembang menjadi kenyataan.
Ketiga, ini adalah semacam barang tanpa kualitas-khusus dan tidak-pasti dan kontingen.
Keempat, substansi identik dengan forma ketika substansi berada pada tahap-ter-aktualisasi dan tahap-terakhir-nya.
Perkembangan potensialitas menjadi aktualitas adalah salah satu aspek terpenting filsafat Aristoteles.
Ini dimaksudkan untuk memecahkan kesulitan yang telah dipikirkan oleh para pemikir sebelumnya dengan mengacu pada asal-muasal-eksistensi dan hubungan antara-yang-satu dengan yang-banyak. Kondisi benda-benda secara aktual-vs-potensial dijelaskan dalam hal-penyebab yang bekerja pada benda-benda itu agar ada. Menurut Aristoteles, terdapat empat penyebab :
1. Penyebab-material, elemen-materi yang dari sana sebuah benda diproduksi dan dibuat menjadi ada.
2. Penyebab-efisien, sesuatu yang olehnya/melaluinya sebuah benda menjadi ada. Agen yang bertanggung-jawab merubah sejumlah materi menjadi benda yang memiliki forma tertentu.
3. Penyebab-formal, suatu forma yang me-representasi-kan benda apa itu. Forma/struktur yang merealisasikan materi dari sudut pandang materi menjadi benda yang tertentu.
4. Penyebab-akhir, sesuatu yang mengarahkan tujuan benda itu ada. Tujuan dari kombinasi forma-dan-materi contoh: patung diciptakan untuk menghormati seorang pahlawan.
Ambilah contoh adanya-sebuah-patung-perunggu.
Sebagai penyebab-material-nya adalah bahan perunggu itu sendiri.
Sebagai penyebab-efisien adalah pematung, sejauh ia memaksa perunggu itu membentuk patung sesuai dengan gagasan-patung-lengkap yang ada di dalam pikirannya.
Penyebab-formal adalah gagasan-patung-lengkap yang berada di dalam pikiran.
Penyebab-akhir adalah gagasan-membuat-patung ketika gagasan-itu mejadi daya yang mendorong pematung untuk melakukan aksi-penciptaan (misal : menghormati seorang pahlawan) pada bahan perunggu itu.
Penyebab-akhir cenderung sama dengan penyebab-formal dan keduanya dapat disebabkan oleh penyebab-efisien. Dari keempat penyebab itu, penyebab-formal dan penyebab-final adalah yang paling-penting dan yang paling benar-benar dapat memberi penjelasan tentang suatu objek. Tujuan-akhir (teleologi atau final-end) sebuah benda diwujudkan dalam kesempurnaan-penuh dari objek itu sendiri, bukan pada konsepsi (forma) kita tentang benda itu. penyebab-akhir oleh karena itu adalah internal dari sifat objek itu sendiri, dan bukan sesuatu yang secara subjektif kita memaksakan pada-nya.
Bagi Aristoteles, Tuhan adalah yang-pertama-dari-semua-substansi, sumber-pertama yang diperlukan bagi gerak, yang dirinya sendiri tidak-bergerak-dan-tak-tergerakan. Tuhan adalah makhluk dengan kehidupan-abadi dan berkat-sempurna, terlibat dalam perenungan yang tidak-pernah-berakhir.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H4
Pemahaman Pribadi
Penyunting karya-karya Aristoteles bernama Andronicus Of Rhodes menyusun buku-buku dalam karya Aristoteles, First Philosophy tepat setelah buku-buku dalam karya Physics dan menyebutnya metafisika yang berarti buku yang terletak setelah buku-buku yang membahas penyelidikan fisika (meta = setelah).
Hal ini kemudian bergeser dipahami oleh para pengamat sebagai ilmu yang mempelajari sesuatu hal yang melampaui fisik.
Aristoteles memulai dengan membuat sketsa/gambaran tentang sejarah-filsafat.
Bagi Aristoteles, filsafat muncul secara historis setelah kebutuhan-dasar terpenuhi/terjamin.
Filsafat tumbuh dari rasa-ingin-tahu dan bertanya-tanya, yang oleh mitos-agama hanya diberikan kepuasan-sementara.
Para spekulan-metafisika paling awal misalnya Thales, Anaximenes, Anaximander adalah filsuf-filsuf filsafat-alam.
Para pengikut Pythagoras (pythagorean) berhasil melanjutkan bahasan filsafat-alam dengan abstraksi-matematis.
Tingkat pemikiran murni sebagian dicapai oleh para filsuf-eleatic seperti Parmenides dan Anaxagoras, namun lebih lengkap lagi dalam karya-karya Socrates.
Kontribusi Socrates terutama pada penyusunan ekspresi/ungkapan dari konsepsi-umum menjadi bentuk-definisi yang dicapai melalui induksi dan analogi.
Bagi Aristoteles, subjek-subjek dalam metafisika membahas prinsip-prinsip-pertama pengetahuan-ilmiah dan kondisi-akhir dari semua-eksistensi.
Lebih spesifik lagi, metafisika membahas eksistensi dalam keadaan-nya yang paling mendasar seperti "ada sebagai pengada", berserta sifat-esensial-eksistensi-nya.
Hal ini bertentangan dengan matematika yang membahas eksistensi sebagi garis-atau-sudut dan bukan eksistensi dalam arti eksistensi-benda-dalam-dirinya-sendiri.
Dalam karakter universal-nya, metafisika secara dangkal menyerupai dialektika dan sophistry.
Meskipun demikian, metafisika berbeda dengan dialektika yang bersifat tentatif (tidak-tetap/pasti dan terus-berubah) dan berbeda dengan sophistry yang merupakan kepura-puraan-dari-pengetahuan yang tanpa kenyataan.
Aksioma-aksioma ilmu pengetahuan berada di bawah tinjauan para metafisikawan sejauh aksioma-aksioma itu merupakan sifat-dari-semua-eksistensi.
Aristoteles berpendapat bahwa terdapat kebenaran-universal yang dapat ditangkap manusia.
Melawan para pengikut Heraclitus dan Protagoras, Heraclitus berpendapat bahwa eksistensi-segala-sesuatu adalah selalu-berubah dan Protagoras berpendapat tidak-ada pengetahuan/pengertian yang tetap-dan-benar terhadap eksistensi-benda-benda untuk semua-orang, manusia hanya menangkap dengan indra dan tangkapan ini tidak-sama untuk semua-orang, karena setiap-orang adalah selalu-berubah maka tangkapan-nya juga, lalu apakah artinya berbicara benar dan salah ?
Aristoteles membela pendapat yang bertentangan dengan kedua-hukum itu dan mengeluarkan pendapatnya ditengah-tengah antara keduanya.
Dia melakukan-nya dengan menunjukkan bahwa penolakan-pada-kedua-hukum itu yaitu pendapat eksistensi-segala-sesuatu adalah tetap dan manusia dapat menangkap/memperoleh pengetahuan-benda-benda yang tetap-dan-benar adalah bunuh diri.
Membawa konsekuensi logisnya, penolakan-pada-kedua-hukum ini akan mengarah pada kesamaan semua-fakta dan semua-pendapat yang diyakini kebenaran-nya.
Hal ini juga menyebabkan sebuah perilaku yang tidak-peduli terhadap kebenaran.
Sebagai ilmu tentang "ada sebagai pengada", pertanyaan utama metafisika Aristoteles adalah, apa yang dimaksud dengan hakekat-substansi ?
Plato sudah mencoba memecahkan pertanyaan yang sama dengan menetapkan sebuah unsur-universal-dan-tidak-berubah pada pengetahuan dan eksistensi yaitu forma sebagai satu-satunya yang benar-benar-permanen dibalik fenomena-indra yang berubah-ubah.
Aristoteles menyerang teori-forma Plato dengan tiga alasan dasar yang berbeda.
Pertama, Aristoteles berpendapat, forma-forma tidak berdaya untuk menjelaskan perubahan-benda-benda dan kepunahan-akhir-benda-benda.
Forma-forma bukan penyebab gerak-dan-tujuan untuk objek-fisik-sensasi (objek fisik yang dapat di-indra).
Kedua, forma-forma sama-sama tidak kompeten untuk menjelaskan bagaimana kita sampai pada pengetahuan tentang benda-kongkret-individual.
Sebab, untuk memiliki pengetahuan tentang objek-kongkret-individual, harus memiliki pengetahuan tentang substansi yang ada di dalam benda itu.
Namun, forma-forma menempatkan pengetahuan di luar benda itu.
Lebih jauh lagi, untuk menganggap bahwa kita mengetahui benda-kongkret-individual adalah lebih baik dengan menambahkan konsepsi-umum tentang forma mereka, adalah nyaris sama absurd-nya dengan membayangkan bahwa kita dapat menghitung angka-angka lebih baik daripada mengalikan-nya.
Pada akhirnya, jika forma-forma dibutuhkan untuk menjelaskan pengetahuan kita tentang objek-kongkret-individual, maka forma-forma harus digunakan juga untuk menjelaskan pengetahuan kita tentang objek-seni.
Namun, Platonis tidak mengenali forma untuk objek-seni.
Dasar ketiga dari serangan adalah forma-forma tidak bisa menjelaskan eksistensi-objek-kongkret-individual.
Plato berpendapat bahwa forma-forma tidak terdapat di dalam objek-kongkret-individual yang mengambil bagian/partisipasi dari forma.
Namun, substansi-benda-kongkret-individual tidak bisa lepas dari benda itu sendiri.
Selanjutnya, selain jargon "partisipasi", Plato tidak menjelaskan hubungan antara forma-forma dan benda-kongkret-individual.
Pada kenyataannya, hanyalah bentuk metaforis untuk menggambarkan forma-forma itu sebagai pola dari benda-benda.
Sebab, apa yang disebut genus untuk satu objek adalah suatu spesies untuk kelas/kelompok yang lebih tinggi, gagasan yang sama harus menjadi keharusan bagi keduanya forma dan benda-kongkret-individual pada saat bersamaan.
Akhirnya, berdasarkan penjelasan Plato tentang forma-forma, kita harus membayangkan adanya hubungan-perantara antara forma-forma dan objek-kongkret-individual, dan terus menerus hingga tak-terbatas : pasti harus ada "orang-ketiga" (third-man : kritik terhadap teori-forma) antara manusia-individual dan forma-manusia.
Bagi Aristoteles, forma bukanlah sesuatu yang berada di luar objek, melainkan di dalam fenomena yang bervariasi di dalam akal.
Hakekat-substansi atau ada-yang-sejati, bukanlah forma yang abstrak, melainkan benda-individual-yang-kongkret.
Sayangnya, teori-substansi Aristoteles sama sekali tidak konsisten dengan dirinya sendiri.
Dalam karyanya Categories, pengertian substansi cenderung bersifat nominalistik yang berarti substansi adalah konsep yang kita terapkan pada benda-benda.
Meskipun demikian dalam karyanya Metaphysics, sering condong ke realisme yang berarti substansi memiliki hakekat-eksistensi-dalam-dirinya-sendiri.
Kita juga dilanda oleh kontradiksi yang nyata pada pendapatnya bahwa sains membahas konsep-universal dan substansi dinyatakan sebagai konsep-individual.
Dalam beberapa kasus, menurutnya substansi adalah peleburan materi menjadi forma.
Istilah "materi" digunakan oleh Aristoteles dalam empat-penalaran yang tumpang tindih.
Pertama, ini adalah struktur-dasar-dari-perubahan, terutama perubahan pertumbuhan dan kehancuran/penguraian.
Kedua, adalah sebuah potensi yang secara implisit memiliki kapasitas untuk berkembang menjadi kenyataan.
Ketiga, ini adalah semacam barang tanpa kualitas-khusus dan tidak-pasti dan kontingen.
Keempat, substansi identik dengan forma ketika substansi berada pada tahap-ter-aktualisasi dan tahap-terakhir-nya.
Perkembangan potensialitas menjadi aktualitas adalah salah satu aspek terpenting filsafat Aristoteles.
Ini dimaksudkan untuk memecahkan kesulitan yang telah dipikirkan oleh para pemikir sebelumnya dengan mengacu pada asal-muasal-eksistensi dan hubungan antara-yang-satu dengan yang-banyak. Kondisi benda-benda secara aktual-vs-potensial dijelaskan dalam hal-penyebab yang bekerja pada benda-benda itu agar ada. Menurut Aristoteles, terdapat empat penyebab :
1. Penyebab-material, elemen-materi yang dari sana sebuah benda diproduksi dan dibuat menjadi ada.
2. Penyebab-efisien, sesuatu yang olehnya/melaluinya sebuah benda menjadi ada. Agen yang bertanggung-jawab merubah sejumlah materi menjadi benda yang memiliki forma tertentu.
3. Penyebab-formal, suatu forma yang me-representasi-kan benda apa itu. Forma/struktur yang merealisasikan materi dari sudut pandang materi menjadi benda yang tertentu.
4. Penyebab-akhir, sesuatu yang mengarahkan tujuan benda itu ada. Tujuan dari kombinasi forma-dan-materi contoh: patung diciptakan untuk menghormati seorang pahlawan.
Ambilah contoh adanya-sebuah-patung-perunggu.
Sebagai penyebab-material-nya adalah bahan perunggu itu sendiri.
Sebagai penyebab-efisien adalah pematung, sejauh ia memaksa perunggu itu membentuk patung sesuai dengan gagasan-patung-lengkap yang ada di dalam pikirannya.
Penyebab-formal adalah gagasan-patung-lengkap yang berada di dalam pikiran.
Penyebab-akhir adalah gagasan-membuat-patung ketika gagasan-itu mejadi daya yang mendorong pematung untuk melakukan aksi-penciptaan (misal : menghormati seorang pahlawan) pada bahan perunggu itu.
Penyebab-akhir cenderung sama dengan penyebab-formal dan keduanya dapat disebabkan oleh penyebab-efisien. Dari keempat penyebab itu, penyebab-formal dan penyebab-final adalah yang paling-penting dan yang paling benar-benar dapat memberi penjelasan tentang suatu objek. Tujuan-akhir (teleologi atau final-end) sebuah benda diwujudkan dalam kesempurnaan-penuh dari objek itu sendiri, bukan pada konsepsi (forma) kita tentang benda itu. penyebab-akhir oleh karena itu adalah internal dari sifat objek itu sendiri, dan bukan sesuatu yang secara subjektif kita memaksakan pada-nya.
Bagi Aristoteles, Tuhan adalah yang-pertama-dari-semua-substansi, sumber-pertama yang diperlukan bagi gerak, yang dirinya sendiri tidak-bergerak-dan-tak-tergerakan. Tuhan adalah makhluk dengan kehidupan-abadi dan berkat-sempurna, terlibat dalam perenungan yang tidak-pernah-berakhir.
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/aristotl/#H4
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment