a. Pedoman Moral Sementara
Dalam bagian 3 pada Discourse on Method, Descartes menjabarkan pedoman-moral-sementara yang dengan-nya dia berencana untuk menjalani kehidupan saat dirinya terikat oleh metodologi-keraguan untuk mencari kepastian-yang-mutlak.
Pedoman yang terdiri "tiga-atau-empat maksim (aturan)" ini ditetapkan agar dia tidak dibekukan oleh ketidakpastian dalam urusan praktis-kehidupan.
Maksim ini dapat diparafrasekan sebagai berikut :
1. Menaati hukum dan kebiasaan/adat negara saya, berpegang teguh pada agama Katolik, dan mengatur diri terhadap semua hal-hal lain sesuai pendapat paling-moderat yang diterima dalam praktik oleh orang-orang yang paling-masuk-akal.
2. Bersikap setuju serta memutuskan dalam tindakan yang paling-mungkin dan terus mengikuti/memegang pendapat yang paling-meragukan sekalipun begitu pendapat itu telah diputuskan/diambil.
3. Mencoba menguasai diri daripada berharap/menggantungkan pada keberuntungan, dan mengubah hasrat-diri daripada mengubah tatanan-dunia/lingkungan.
4. Tinjau ulang berbagai profesi dan pilih yang terbaik (AT VI 23-28: CSM I 122-125).
Dorongan utama pedoman-moral-pertama adalah untuk menjalani kehidupan yang moderat-dan-masuk-akal ketika kepercayaan yang dipegang sebelumnya telah dibuang/ditinggalkan karena ketidakpastian mereka.
Oleh karena itu, adalah masuk-akal untuk menunda penilaian terhadap masalah-masalah tersebut sampai ditemukan kepastian.
Agaknya Descartes menanggalkan hukum dan kebiasaan/adat di negara tempat dia tinggal karena ketidak-mungkinan mereka mengarahkan-nya ke jalan-yang-salah ketika keyakinan-moral-nya sendiri telah ditangguhkan.
Juga, tindakan orang-orang yang masuk-akal, yang menghindari jalan-ekstrim dan mengambil jalan-tengah, dapat memberikan pedoman-sementara untuk bertindak sampai keyakinan-moral-nya ditetapkan dengan kepastian-yang-mutlak.
Selain itu, meskipun dalam karyanya Meditations, Descartes tampak membawa kepercayaan-agama-nya ke dalam keraguan, dia tidak melakukan-nya dalam karya Discourse on Method.
Karena menurutnya kepercayaan-agama dapat diterima berdasarkan iman tanpa mensyaratkan kepastian-mutlak berdasar penilaian-rasional tertentu kepercayaan-agama bukanlah subjek metodologi-keraguan seperti yang dikenakan dalam karyanya Discourse on Method.
Dengan demikian, keyakinan-agama-nya juga bisa menjadi panduan untuk perilaku moral selama masa keraguan ini.
Oleh karena itu, pedoman-moral-pertama dimaksudkan untuk memberi panduan yang kemungkinan besar akan mengarahkan Descartes pada kinerja tindakan baik-secara-moral.
Pedoman-moral-kedua mengungkapkan sikap-setuju-dalam-wujud-tindakan sehingga menghindari tidak melakukan apa-apa (kelambanan) yang dihasilkan karena keraguan-dan-ketidakpastian.
Descartes menggunakan contoh seorang pengembara yang tersesat di dalam hutan.
Pengembara ini seharusnya tidak sekedar mengharapkan sesuatu (bantuan) atau hanya berdiri diam di tempat, sehingga dia tidak akan pernah menemukan jalan-keluar dari hutan.
Sebagai gantinya, dia harus terus berjalan dengan arah-garis-lurus dan tidak-boleh mengubah arah karena alasan-alasan kecil.
Sehingga, meski pengembara mungkin tidak berakhir di tempat yang dia inginkan, setidaknya dia akan lebih-baik daripada tetap berada di tengah hutan.
Demikian pula, karena tindakan praktis biasanya harus dilakukan tanpa-penundaan, biasanya tidak-ada waktu untuk menemukan serangkaian tindakan yang paling-benar atau paling-pasti, namun seseorang harus mengikuti jalan yang paling-mungkin.
Bahkan, meski tidak-ada-jalan yang tampak paling-mungkin, beberapa jalan harus dipilih dan dipaksakan dengan tepat dan diperlakukan sebagai yang paling-benar dan paling-pasti.
Dengan mengikuti pedoman-moral ini, Descartes berharap untuk menghindari penyesalan yang dialami oleh mereka yang menetapkan sesuatu yang dianggap-baik tetapi pada akhirnya mereka kemudian menilai bahwa itu tidak-baik.
Pedoman-moral-ketiga memerintahkan Descartes untuk menguasai dirinya sendiri dan bukan mengandalkan pada keberuntungan.
Hal ini didasarkan pada kesadaran bahwa semua-yang-ada dalam kendalinya hanyalah pikiran-nya sendiri dan tidak-ada yang lain.
Oleh karena itu, kebanyakan hal adalah di luar kendalinya.
Pandangan ini memiliki beberapa implikasi.
Implikasi-pertama, jika dia telah melakukan yang terbaik namun gagal mencapai sesuatu, maka itu berarti dia tidak-berada dalam kekuatan untuk mencapainya.
Hal ini karena usaha terbaik-nya sendiri tidak cukup untuk mencapai tujuan itu, dan entah bagaimana usaha-apapun yang mencukupi untuk mencapai tujuan itu berada di luar kekuasaanya/kemampuannya.
Implikasi-kedua adalah dia hanya menginginkan hal-hal yang berada dalam kekuasaan/kemampuan untuk memperoleh-nya, dan oleh karena itu dia harus mengendalikan keinginan-nya daripada mencoba menguasai hal-hal di luar kendali-nya.
Dengan cara ini, Descartes berharap untuk menghindari penyesalan yang dialami oleh mereka yang memiliki keinginan yang tidak-dapat dicapai/dipuaskan, karena kepuasan ini berada di luar jangkauan mereka.
Sulit untuk melihat mengapa pedoman-moral-keempat disertakan.
Sesungguhnya, Descartes sendiri tampak ragu untuk memasukkan-nya saat dia menyatakan sejak awal bahwa pedoman-moral-sementara-nya terdiri dari "tiga-atau-empat maksim".
Meskipun dia tidak memeriksa pekerjaan lain, Descartes puas dengan pekerjaannya saat itu karena kebahagiaan yang diperolehnya dengan menemukan kebenaran-baru dan tidak-diketahui secara luas.
Hal ini tampaknya mengandung arti pilihan pekerjaan yang tepat dapat memastikan tingkat-kepuasan yang tidak-dapat dicapai jika seseorang terikat dalam pekerjaan yang tidak-sesuai.
Descartes juga mengklaim bahwa pekerjaannya saat itu adalah dasar bagi tiga-pedoman-moral lain-nya, karena pekerjaan-nya adalah rencana-nya saat itu untuk melanjutkan petunjuk-petunjuk yang telah memunculkan tiga-pedoman-moral itu.
Dia menyimpulkan dengan sebuah diskusi singkat tentang bagaimana pola pekerjaan-nya mengarah pada perolehan pengetahuan, yang pada gilirannya, akan membawa semua hal-hal-baik ke dalam genggaman-nya.
Poin terakhirnya adalah bahwa belajar cara-terbaik untuk menilai apa yang baik-dan-buruk memungkinkan-nya untuk bertindak dengan baik dan mencapai semua kebajikan-dan-kebaikan yang dapat dicapai.
Kebahagiaan terjamin ketika titik ini tercapai dengan kepastian.
b. Kemurahan Hati
Setelah karyanya Discourse on Method pada tahun 1637, Descartes tidak-lagi membahas masalah moralitas dengan serius sampai korespondensi dengan Putri Elizabeth pada tahun 1643, yang kemudian menjadi puncak-topik menonjol tentang kemurahan-hati di bagian 3 dalam karyanya Passions of the Soul.
Mengingat jarak waktu antara refleksi-refleksi utamanya tentang moralitas, mudah untuk melekatkan Descartes dengan dua-sistem-noral yaitu pedoman-moral-sementara dan etika-kemurahan-hati.
Namun, pemikiran moral Descartes selanjutnya mempertahankan versi pedoman-moral-kedua dan ketiga tanpa banyak menyebut pedoman-moral yang pertama dan yang keempat.
Hal ini menunjukkan bahwa teori-moral Descartes benar-benar merupakan pengembangan dari pemikiran awal-nya dengan pedoman-moral-kedua dan ketiga sebagai intinya.
Pada Passions of the Soul, bagian 3, bab 153, Descartes berpendapat bahwa kebajikan kemurahan-hati :
" menyebabkan harga-diri seseorang menjadi sama-besar-nya dengan pengakuan yang ada (yang diperoleh) dan kemurahan-hati memiliki dua-komponen. "
Komponen-pertama adalah mengetahui bahwa hanya kebebasan-menentukan-kehendak berada di dalam kekuasaan siapa-pun.
Oleh karena itu, seseorang seharusnya disanjung atau disalahkan karena menggunakan kebebasan-nya dengan baik-atau-buruk.
Komponen-kedua adalah perasaan/sikap "setuju dan keteguhan yang tetap" untuk menggunakan kebebasan dengan baik sehingga seseorang tidak kehilangan kehendak untuk melakukan apa-pun yang dinilainya terbaik.
Perhatikan bahwa kedua komponen kemurahan-hati berhubungan dengan maksim kedua-dan-ketiga dari pedoman-moral-sementara sebelumnya.
Komponen-pertama mengingatkan pada maksim-ketiga dalam pengakuan kebebasan seseorang untuk memilih serta kontrol yang dimiliki atas keputusan terhadap kehendak-atau-keinginan mereka, dan karena itu mereka harus dipuji dan disalahkan hanya untuk hal-hal yang berada dalam genggaman/jangkauan mereka.
Komponen-kedua berkaitan dengan maksim-kedua yang berhubungan dengan sikap-setuju-yang-teguh dan tindakan-yang-tegas.
Kemurahan-hati mensyaratkan keyakinan-yang-teguh untuk menggunakan kehendak-bebas dengan tepat, sementara maksim-kedua adalah sebuah jeteguhan untuk berpegang pada penilaian yang paling-mungkin mengarah pada tindakan yang baik tanpa-ada alasan yang signifikan untuk mengubah arah.
Meskipun demikian, perbedaan antara dua pedoman-moral ini adalah bahwa pedoman-moral-sementara dalam Discourse on Method berfokus pada penggunaan-yang-benar dan keteguhan-dalam-bertindak terhadap penilaian-penilaian yang mungkin, sedang etika-kemurahan-hati yang ketiga menekankan sebuah sikap-setuju-yang-teguh untuk menggunakan kehendak-bebas dengan tepat/benar.
Oleh karena itu, dalam kedua sistem-moral itu, penggunaan yang benar dari fakultas-mental yang disebut penilaian dan kehendak-bebas, dan usaha yang teguh untuk memburu apa yang dinilainya baik adalah diwujudkan dalam tindakan.
Hal ini, selanjutnya, akan mengarahkan kita pada keadaan kemurahan-hati yang sejati sehingga secara sah menghargai diri kita sendiri karena telah menggunakan fakultas-mental dengan benar yang dengan cara itu manusia adalah paling mirip dengan Tuhan.
Sumber:
http://www.iep.utm.edu/descarte/#H1
Pemahaman Pribadi
No comments:
Post a Comment