Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, April 14, 2023

Keadilan Ala Barat 11 : Modernisme - Kant


Berpindah dari salah satu filosof terbesar pada masa-pencerahan kepada filosof besar lainnya, kita harus memandang Kant membawa tantangan terhadap pernyataan "apa yang-adalah, apa yang-seharusnya" dengan lebih-serius daripada yang telah dilakukan oleh Hume.

Oleh karena keadilan adalah sebuah keutamaan moral dan politik, yang membantu menentukan karakter yang baik maupun perilaku yang benar, pertanyaan tentang bagaimana kewajiban-kewajiban untuk berlaku adil semacam itu muncul adalah krusial.

Bagi Hume, kita harus mengejar keutamaan (termasuk keadilan) karena keutamaan itu adalah (diduga) menyenangkan dan/atau bermanfaat untuk dilakukan.

Namun kemudian, apa hubungan logisnya ? Mengapa kita harus, berbicara moral, berarti berbicara tindakan demi untuk kesenangan dan/atau kemanfaatan ?

Bagi Kant, alasan bahwa kita harus memilih apa yang kita lakukan adalah benar, tidak-ada hubungannya dengan konsekuensi kebaikan dari tindakan yang dilakukan.

Melakukan tindakan-benar hanyalah karena tindakan itu adalah hal yang benar (menurut akal) untuk dilakukan.

Kant mengakui bahwa perintah apa yang "seharusnya" dilakukan (preskripitf) tidak-pernah dideduksi secara logis dari sejumlah pendapat deskripsi-faktual "adalah" apapun, Kant akan meninggalkan pendekatan-empiris terhadap keadilan (dari Hobbes dan Hume) menggantinya dengan jenis pendekataan-rasionalistik yang akan kembali melihat keadilan sebagai sebuah nilai-absolut, yang tidak bisa dikompromikan, terlepas dari keadaan dan konsekuensi-konsekuensi apapun yang mungkin.

Karena itu kita harus mencermati tanggapan dari para utilitarian terhadap hal itu, seperti yang dikembangkan oleh filosof --yang dapat dianggap sebagai konsekuensialis terbesar dalam masa modern--- John Stuart Mill sebagai seorang empirisis seperti Hobbes dan Hume, akan membuat apa-yang-benar merupakan fungsi dari apa-yang-baik.

Immanuel Kant, seorang profesor Jerman abad 18 dari Prussia Timur menemukan keyakinan filsafat-rasionalistik-nya karena sangat ditantang oleh skeptisisme Hume yang begitu mengagumkan dirinya (demikian juga ia sangat terpesona oleh gagasan-gagasan dari Rousseau)

Meskipun ia tidak diyakinkan oleh skeptisisme Hume, Kant cukup terganggu oleh itu dan ia menghabiskan puluhan tahun untuk berupaya menjawab itu, untuk melakukannya ia menciptakan sebuah sistem filsafat baru yang revolusioner.

Sistem Kant melingkupi, namun jauh dari batasan, suatu sistem yang sangat besar, filsafat praktis yang luas, terdiri dari banyak buku dan esai, termasuk sebuah teori keadilan.

Diketahui dengan baik bahwa filsafat praktis ini ---termasuk keduanya teori etika dan filsafat sosial-politik-nya--- adalah contoh yang paling dikenal baik dalam deontologi (dari bahasa Yunani, berarti ilmu yang mempelajari kewajiban)

Teori-teori teologikal atau konsekuensalis (seperti teori dari Hobbes dan Hume) memandang apa-yang-benar sebagai sebuah fungsi-dari dan relatif terhadap tujuan-tujuan yang baik, sedangkan suatu teori deontologis seperti teori Kant melihat apa-yang-benar lepas dari apa yang kita konsepsikan sebagai hal-yang-baik dan karenanya secara potensial adalah absolut

Keadilan secara kategori mensyaratkan penghargaan terhadap kebenaran, dengan mengabaikan kondisi/lingkungan yang tidak-nyaman dan mengabaikan konsekuensi-konsekuensi yang diinginkan dan tidak-diinginkan.

Kemudian soal "apa yang-adalah, apa yang-seharusnya", cara terbaik untuk melanjutkan bahasan adalah dengan menghindari pendekatan empiris yang pasti terikat kepada upaya untuk menurunkan kewajiban-kewajiban dari fakta-fakta yang diduga.

Ini persis merupakan pendekatan Kant dalam buku dasar mengenai sistem filsafat-praktisnya, dalam karyanya Grounding for the Metaphysics of Morals.

Ia berpendapat, dalam kata Pengantar karya itu bahwa karena hukum-moral "harus membawa serta bersamanya kepastian-absolut" dan karena empirisisme hanya memberikan hasil "kontingen dan tidak-pasti", kita harus melanjutkan tinjauan melalui cara "penalaran praktis murni", yang akan ---sampai derajat sejauh mungkin--- memurnikan hukum-moral dari "segala yang-empiris" seperti fisiologis, psikologis dan kondisi/lingkungan yang kontingen.

Dalam pandangan ini soal kebenaran akan sama, dapat-diterapkan kepada semua-orang sebagai agen/pelaku yang secara potensial bersifat otonom dan rasional, mengabaikan perbedaan yang kontingen apapun, mengabaikan identitas gender, ras, atau etnik, status kelas sosial-ekonomi dan lain-sebagainya.

Jika Kant mampu menarik hukum-moral lepas dari "segala-yang-empiris", maka akan membawa hukum-moral lebih-jauh menuju persamaan-kebenaran dibanding filosof lain siapapun yang telah ditinjau sebelumnya disini.

Untuk menetapkan sebuah konsep kebenaran yang tidak-bergantung pada kebutuhan, keinginan dan kepentingan empiris, Kant mengemukakan sebuah prinsip-tunggal untuk semua-kewajiban, yang ia sebut imperatif-kategori, karena memerintah kepada kita sebagai ---seorang manusia--- harus melakukan suatu kewajiban tanpa-syarat apapun.

Imperatif-kategori adalah sebuah ujian yang dapat digunakan untuk membantu kita membedakan secara rasional antara tindakan yang benar dan salah.

Dan Kant menawarkan 3 rumusan berbeda terhadap itu yang ia anggap merupakan 3 cara yang berbeda untuk mengatakan hal yang sama.

(a) yang pertama adalah rumus dapat-di-universalisasi, bahwa kita harus berupaya melakukan tindakan, hanya-apa yang secara akal harus-dapat menjadi sebuah hukum-universal.

(b) yang kedua adalah sebuah rumus tentang menghargai semua-orang, bahwa kita harus selalu berupaya untuk bertindak dengan cara sedemikian rupa sehingga menghormati semua-orang, diri kita sendiri dan semua-orang-lain, karena mengandung nilai intrinsik "tujuan dalam dirinya-sendiri" dan tidak pernah memperlakukan siapapun hanya menjadikan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain.

(c) Dan yang ketiga adalah sebuah "prinsip otonomi", bahwa kita sebagai agen/pelaku rasional yang otonom secara moral, harus berupaya untuk bertindak dengan cara sedemikian rupa sehingga kita mampu membuat undang-undang yang masuk akal untuk suatu moral yang mewakili semua-orang.

Karena harga-diri bagi semua-orang ---menjadikan mereka bernilai secara intrinsik dan mendapat penghormatan--- adalah sebuah fungsi dari kapasitas otonomi-moral mereka.

Dalam karyanya Metaphysics of Morals, Kant mengembangkan sistem-etika-nya, melampaui landasan ini, menjadi sebuah doktrin tentang kebenaran dan keutamaan.

Doktrin tentang kebenaran terdiri dari tugas-kewajiban melakukan keadilan yang ketat, sementara doktrin keutamaan terdiri dari tugas-kewajiban melakukan tindakan-tindakan baik yang lebih luas.

Jelas, adalah kategori yang pertama (doktrin kebenaran), kita berhutang tugas-kewajiban yang harus ditunaikan kepada semua-orang-lain, mengabaikan kondisi dan konsekuensi, sekarang yang menjadi perhatian penting bagi kita adalah keadilan menjadi sebuah persoalan kebenaran yang ketat daripada satu keutamaan nilai-kebaikan.

Pada bagian terakhir dalam karyanya Metaphysics of Morals, Kant dengan singkat membahas "keadilan-Tuhan" dimana dengannya Tuhan secara sah menghukum manusia karena melanggar tugas-kewajiban mereka (Ethical, pp. 2-3, 30-44, 36, 48, 158-161).

Dalam karyanya Metaphysical Elements of Justice, yang menyusun bagian pertama karyanya Metaphysics of Morals, Kant mengembangkan teori keadilan-nya.

(Konsepnya tentang Rechtslehre --secara harafiah berarti "doktrin tentang kebenaran" juga diterjemahkan menjadi "doktrin tentang keadilan" dan doktrin tentang hukum)

Bagi Kant, keadilan terikat erat dengan tugas-kewajiban yang dengannya secara benar kita dituntut untuk menunaikan.

Dengan mengatakan bahwa kita memiliki tugas-kewajiban untuk menegakan keadilan kepada orang-lain adalah untuk menunjukan bahwa mereka memiliki hak-hak, yang dituntut kepada kita, bahwa kita harus menunaikan tugas-kewajiban itu, sehingga tugas-kewajiban menegakan keadilan dan hak-hak adalah korelatif.

Tiga syarat harus dipenuhi agar konsep-keadilan harus diterapkan :

(a) kita harus berurusan dengan perilaku eksternal interpersonal.

(b) berlaku adil harus berhubungan dengan niat-tindakan dan tidak hanya kepada harapan, keinginan dan kebutuhan.

(c) konsekuensi-konsekuensi yang dimaksud/diharapkan adalah tidak-relevan secara moral.

Seseorang tidaklah berlaku tidak-adil dengan pertimbangan karena mencuri harta-benda orang-lain semata atau hanya ingin melakukan pencurian, tetapi ia berlaku tidak-adil hanya oleh tindakan sengaja (dengan niat) memilih/memutuskan bertindak untuk mengambil tanpa ijin.

Dan tindakan itu tidak-dibenarkan apapun konsekuensi-konsekuensi kebaikan yang mungkin dimaksud/diharapkan.

Menurut Kant, hanya ada satu hak-bawaan-alamiah manusia yang dimiliki oleh semua-orang yaitu hak-kebebasan melakukan apapun yang dikehendaki seseorang, selama tindakan itu "sesuai dengan kebebasan orang-lain menurut hukum-universal."

Oleh karena itu, hak seseorang untuk bebas-bertindak tidak-dapat diperluas untuk menabrak/melanggar kebebasan orang-lain atau merusak hak-hak mereka.

Ini mengarah kepada prinsip keadilan universal tertinggi dari Kant, yang dengan sendirinya merupakan sebuah imperatif-kategori:

"Setiap tindakan adalah adil (benar), tindakan yang dalam-dirinya atau dalam-maksimnya sedemikian rupa, sehingga kebebasan-berkehendak dari masing-masing orang dapat ada bersama-sama dengan kebebasan setiap orang dalam kesesuaian dengan sebuah hukum-universal"

Meski penggunaan kekuatan-koersif (pemaksaan) terhadap orang lain melibatkan suatu upaya untuk membatasi kebebasan mereka, ini tidak-pasti selalu tidak-adil, jika pemakaian kekuatan itu digunakan untuk membalas tindakan mereka yang tidak-adil menyalah gunakan kebebasan ---sebagai contoh dalam pembelaan-diri atau menjalani hukuman atau bahkan dalam perang.

Kant sepakat dengan apa yang telah diungkapkan oleh tiga aturan-hukum keadilan kuno:

(1) Kita harus jujur ketika berurusan dengan orang lain.

(2) Kita harus menghindar untuk berlaku tidak-adil kepada orang-lain bahkan jika penghindaran itu perlu upaya kita untuk menghindari mereka semuanya sekaligus.

(3) Dan jika kita tidak dapat menghindari pergaulan dengan orang-lain, setidaknya kita harus berupaya menghormati hak-hak mereka.

Kant membedakan antara keadilan-alamiah atau privat di satu sisi dan keadilan-sipil atau publik di sisi yang lain.

Ia memiliki teori hak-milik-alamiah yang kompleks, yang hanya dapat kita sentuh di sini.

Kita dapat berpendapat, atas nama keadilan memiliki hak-hak untuk :

(a) Kepemilikan fisik seperti mobil anda.

(b) Memperoleh pelaksanaan-kerja tertentu yang dilakukan orang-lain seperti bengkel mobil yang menepati janjinya untuk memperbaiki mobil anda.

(c) Memperoleh karakteristik tertentu dalam hubungan interpersonal dengan mereka yang berada dibawah otoritas kita, seperti kepatuhan anak-anak dan para pelayan yang penuh hormat.

Seseorang yang mencuri mobil anda atau mekanik mobil yang telah setuju memperbaiki mobil anda dan kemudian gagal melakukan itu adalah memperlakukan anda dengan tidak-adil.

Anak-anak, yang sedang berkembang tetapi seorang pribadi yang independen, memiliki hak untuk didukung dan diperhatikan oleh orang-tua mereka, tetapi selanjutnya mereka berhutang kepatuhan kepada orang-tua mereka ketika berada dibawah otoritasnya.

Anak-anak bukanlah milik orang-tua mereka dan harus tidak-pernah diperlakukan seperti benda atau objek dan ketika mereka menjadi independen dari orang-tua mereka, mereka tidak berhutang apapun kepada orang-tua mereka kecuali membalas-jasa.

Demikian juga, seorang tuan harus menghargai pelayan sebagai pribadi seorang-manusia. Pelayan mungkin berada dibawah kontrak untuk melayani sang-tuan, namun kontrak itu tidak bisa permanen atau secara sah melibatkan kepasrahan pribadi si pelayan (dengan kata lain, seseorang tidak dapat dibenarkan masuk ke dalam perbudakan)

Meski sang-tuan memiliki otoritas atas si pelayan, hal itu harus tidak-pernah dipandang sebagai kepemilikan atau melibatkan penyimpangan.

Semua yang ditelaah mengenai keadilan-privat atau alamiah, berkaitan dengan mengamankan hak-hak kepemilikan.

Selanjutnya mari kita menelaah lebih lanjut bagaimana Kant menerapkan teori keadilan-nya pada persoalan kejahatan dan hukuman, dalam wilayah keadilan sipil atau publik yang melibatkan keadilan protektif, komutatif dan distributif, syarat-syarat yang dengannya dapat dipaksakan secara sah oleh masyarakat-sipil.

Ketika seseorang melakukan sebuah kejahatan, hal-itu melibatkan penyalahgunaan kebebasan untuk melanggar kebebasan orang-lain atau merusak hak-hak mereka.

Oleh karena itu, pelaku kriminal kehilangan hak-kebebasan-nya dan dapat menjadi seorang tahanan negara yang sah.

Kant berpikir aturan, bahwa para pelaku kriminal harus dihukum karena tindakan kriminal mereka menjadi "sebuah imperatif-kategori", suatu soal tentang "retribusi" keadilan bukan untuk ditolak atau bahkan dikurangi demi alasan utilitirian (kemanfaatan).

Perluasan hukuman ini menuju hukuman pamungkas, yaitu hukuman-mati : keadilan mensyaratkan bahwa para pembunuh, pelaku kriminal paling keji, harus menerima hukuman mati, karena tidak ada hukuman apapun yang akan membuat adil .

Penerapan ketiga untuk dipikirkan disini adalah penerapan keadilan dalam perang.

Keadilan dalam perang merupakan bagian dari keadilan publik-internasional yang disebut oleh Kant "Hukum Bangsa-Bangsa."

Ia mengambil sebuah versi non-empiris dari teori kontrak-sosial, menafsirkannya bukan sebagai sebuah fakta-sejarah yang secara misterius menciptakan kewajiban-kewajiban namun lebih sebagai sebuah gagasan-hipotetis tentang apa yang dapat disetujui secara rasional oleh pelaku/agen moral yang bebas dan setara melalui cara yang selaras dengan aturan/hukum-keadilan.

Tidak seperti Hobbes, Kant tidak melihat itu sebagai sebuah dasar untuk semua tugas-kewajiban moral. Namun merupakan penjelasan terhadap tugas-kewajiban yang kita miliki kepada bangsa/negara dan warga negara lain.

Negara memiliki tugas-kewajiban kepada negara-lain, dengan demikian ada suatu hukum internasional antar bangsa.

Meskipun negara-negara yang berbeda, dalam kondisi tidak-ada hukum internasional, berada dalam kondisi-alamiah keadaan perang, seperti yang dipikirkan oleh Hobbes, namun Hobbes salah berpikir bahwa dalam kondisi itu segalanya berjalan dengan benar sehingga tidak-ada keadilan di sana.

Perang adalah hal buruk, dan kita harus berusaha meminimalisir kebutuhan itu (perlunya berperang), meskipun Kant bukan seorang pasifis dan ia dapat membenarkan perang untuk tujuan pembelaan-diri.

Kant mengajukan sebuah "Liga Bangsa-Bangsa" internasional guna membantu menyediakan "saling-melindungi melawan agresi eksternal" dan karenanya meredam dan mengurangi kebutuhan untuk pergi berperang.

Tetap saja, ketika perang tidak dapat dihindari, perang harus dinyatakan/diumumkan daripada diluncurkan dengan serangan diam-diam.

Yang kedua, terdapat batasan-batasan yang sah yang melarang, misalnya berupaya membunuh semua warga masyarakat musuhnya. Yang ketiga, ketika perang telah selesai, kelompok pemenang tidak-dapat menghancurkan kebebasan-sipil pada kelompok yang kalah seperti dengan memperbudak mereka dan keempat, "hak-hak damai" tertentu harus dijamin dan dihormati bagi semua yang terlibat perang.

Sehingga tujuan-akhir dari relasi-relasi internasional dan Liga Bangsa-Bangsa haruslah "perdamaian abadi" yang ideal diantara berbagai negara-negara yang memiliki bersama planet kita.(Justice, pp. 41, 43, 91-95, 113, 136-141, 146, 151-158; for more on Kant’s version of the social contract theory, see Writings, pp. 73-85, and for more on his views on war and “perpetual peace,” see Writings, pp. 93-130).

Dengan demikian, kita melihat Kant menerapkan teori-keadilan-nya dalam 3 area :

Dalam area hukum-private berkaitan dengan keamanan hak-hak kepemilikan alamiah (harta-benda), dalam area hukum-publik berkaitan dengan pemungutan-hukuman bagi pelaku kriminal dan dalam area keadilan-internasional terkait dengan perang dan perdamaian.

Apa yang harus kita katakan dengan kritis mengenai teori ini ?

Pertama, teori-keadilan Kant berpendapat untuk sebuah pengertian keadilan dalam terma-objektivitas, tidak sewenang-wenang terhadap hak-hak katakanlah seperti pendapat Hobbes dan Hume.

Kedua, pengertian keadilan merupakan sebuah bagian dengan imperatif-kategori Kant, dalam hal aturan/hukum-keadilan dapat-di-universalisasi, dirancang untuk menghormati orang sebagai mengandung nilai-intrinsik dan sesuai dengan prinsip-otonomi.

Ketiga, jika hume benar dalam mengemukakan pendapat bahwa kita tidak-pernah dapat secara logis menarik kesimpulan apa-yang-harus-dilakukan dari apa-yang-sebenarnya-aktual, maka teori Kant adalah satu-satunya teori yang telah kita tinjau sejauh ini yang mampu melewati ujian itu.

Untuk fokus kepada persoalan, pertanyaan yang dikemukakan, mengapa kita harus menjadi adil ?

Bagi Plato, itu adalah jalan untuk mencapai pemenuhan sebuah jiwa yang teratur dengan baik.

Bagi Aristoteles, pencapaian dan pelatihan bagi keutamaan-moral adalah kondisi yang pasti dari perkembangan manusia.

Bagi Agustinus dan Aquinas, hukum kekal Tuhan mensyaratkan bahwa kita sebagai mahluk personal ciptaan Tuhan, harus menjadi adil, dengan pertaruhan keselamatan kita.

Bagi Hobbes, melakukan keadilan adalah diperlukan untuk kepentingan diri yang tercerahkan.

Bagi Hume, walaupun kita menjadi adil mungkin tidak memberi keuntungan kepada kita secara langsung sepanjang waktu, menjadi adil adalah kondusif bagi kemanfaatan-umum atau kebaikan bagi masyarakat didalamnya kita merupakan anggotanya

Namun kepada masing-masing pendapat itu, kita bisa mengajukan pertanyaan, lalu bagaimana ?

Jika ada kombinasi apapun dari pendapat-pendapat itu adalah benar, kita tetap sah bertanya mengapa kita oleh karena itu harus menjadi adil.

Apakah kita berasumsi bahwa kita harus melakukan apapun-itu untuk mencapai suatu jiwa yang teratur/tertata dengan baik, atau untuk perkembangan-jiwa atau untuk selaras dengan kehendak Tuhan atau untuk memenuhi kepentingan-kita sendiri atau kemanfaatan-umum ? Mengapa ?

Perhatikan jawaban dari Kant : kita harus berupaya menjadi adil karena itu adalah hal yang benar dan karena itu adalah tugas-kewajiban kita sebagai pelaku/agen moral yang rasional, untuk berusaha melakukan apa yang benar.

Analisis keadilan Kant berhasil dengan baik dan dengan begitu penerapannya kepada hak-hak kepemilikan, tindakan-kejahatan dan hukumannya, dan perang-dan-perdamaian juga mengesankan.

Namun teorinya secara umum ditolak karena terlalu idealistik untuk dapat diterapkan secara "realistik" dalam dunia yang disebut "dunia-nyata" karena mempertahankan sejumlah hal dapat menjadi benar-benar mutlak tidak-adil dan oleh karenanya secara kategoris tidak diijinkan dengan mengabaikan kepada konsekuensi yang mungkin.

Teorinya seperti yang telah dibahas disini adalah suatu contoh paradigma dari pandangan tentang keadilan yang disuarakan/diangkat dalam artikel ini, yaitu mensyaratkan secara mendasar penghargaan kepada orang sebagai agen/pelaku yang bebas dan rasional.

Namun ketidak-fleksibelan teori Kant dari sudut penerapan yang lain, seperti dalam larangan-mutlaknya terhadap 'berbohong' untuk suatu kemungkinan pembunuhan demi menyelamatkan hidup manusia yang tidak bersalah (Ethical, pp. 162-166), gagasannya bahwa para wanita dan pelayan hanyalah "warga-pasif" tidak sesuai kepada pemungutan suara, dan penolakan-kategoris-nya terhadap hak apapun untuk menolak atau revolusi melawan tekanan (Justice, pp. 120, 124-128) adalah probelamtik, yang mengundang suatu alternatif seperti yang diwakilkan oleh utilitirianisme Mill.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi