Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, April 15, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 7 : Kristianitas Abad Pertengahan - Aquinas


Sementara Agustinus dapat dikatakan Platonis Kristiani yang terbesar, maka Thomas Aquinas berasal dari wilayah yang sekarang dikenal dengan Italia, adalah Aristotelian Kristiani terbesar.

Namun demikian, seperti bakal kita lihat, teori keadilannya juga cukup cocok dengan teori keadilan Agustinus.

Aquinas membahas empat keutamaan-moral 'cardinal' yang sama, termasuk didalamnya keadilan, dalam karya master-piecenya Summa Theologica yang terdiri dari banyak volume.

Tidak ada lagi suatu egalitarian sosial-politik yang melebihi Plato, Aristoteles, atau Augustinus, ia menganalisis egalitarian sebagai keharusan kepada kesetaraan-proposional atau persamaan bukan kepada semacam kesamaan-jumlah yang ketat apapun, dan sebagai sebuah fungsi dari kebenaran-alamiah daripada hukum-positif.

Kebenaran-alamiah pada akhirnya bersumber dari kehendak Tuhan yang kekal dan tidak-bisa dirubah, yang menciptakan dunia dan mengaturnya dengan pengaruh kuasa ilahi.

Keadilan-alamiah harus selalu berada sebelum kesepakatan-kontingen dari konvensi-konvensi kita sebagai manusia.

Hukum-manusia harus tidak-pernah berlawanan dengan hukum-alamiah, yang merupakan cara akal untuk memahami hukum-kekal-ilahi.

Ia menawarkan pada kita sebuah definisi Aristotelian, yang mempertahankan pendirian bahwa 'keadilan adalah sebuah kebiasaan dimana seorang manusia memberikan kepada setiap orang haknya dengan kehendak yang terus-menerus dan tetap'.

Sebagai pengikut Aristoteles, ia mendefinisikan konsep-konsep dalam pengertian pengelompokan secara umum dan khusus (genus dan spesies).

Dalam pengelompokan ini, kategori-umum yang mencakup keadilan didalamnya adalah bahwa kategori itu merupakan suatu kebiasaan-moral dari sebuah karakter keutamaan.

Apa yang spesifik membedakan keadilan dari keutamaan-moral yang lain adalah dengan keadilan, seseorang secara konsisten terikat untuk menghargai hak-hak orang lain sepanjang waktu.

Diutarakan dengan batasan-ketat yang tegas keutamaan-keadilan selalu memperhatikan hubungan interpersonal, sehingga hanya secara metaforis bahwa kita dapat menyatakan tentang seseorang yang adil untuk dirinya sendiri.

Sebagai tambahan kepada keadilan-hukum, ---dengannya seseorang terikat untuk melayani 'kebaikan-bersama' bagi seluruh komunitas--- terdapat 'keadilan-khusus' yang mensyaratkan bahwa kita perlu memperlakukan individu-individu dengan cara-cara tertentu.

Keadilan adalah sebuah rerata-rasional diantara ekstrim-ekstrim kekurangan dan kelebihan yang beracun, menyangkut tindakan-tindakan eksternal kita dengan memperhatikan orang-lain.

Seperti kebanyakan pendahulunya, Aquinas menilai keadilan lebih utama diantara keutamaan-moral lainnya.

Ia sepakat dengan Aristoteles dalam menganalisis keadilan-khusus menjadi dua jenis yang disebut keadilan-distributif dan keadilan-komutatif. Keadilan-distributif mengatur pembagian-proposional demi kebaikan-bersama, sedang keadilan-komutatif memperhatikan kesepakatan imbal-balik antar individu dalam transaksi-transaksi sukarela mereka (Law, pp. 137, 139, 145, 147, 155, 160, 163, 165).


Aquinas menerapkan teori keadilan ini kepada banyak persoalan sosial.

Ia tetap mempertahankan pendirian bahwa hukum-alamiah memberi kita hak kepemilikan pribadi atas harta-benda.

Dengan kodrat hak-alamiah ini, pencurian (pencurian harta-benda milik orang-lain tanpa sepengetahuan pemilik) dan perampokan (mengambil secara terbuka dengan paksa atau dengan perlakuan kekerasan) pasti menjadi tidak-adil, meskipun demikian sebuah pengecualian dapat muncul jika si-pencuri dan keluarganya kelaparan dalam lingkungan yang berlebihan, dalam kasus itu pencurian dibenarkan, dan dinyatakan dengan tegas tidak-ada pencurian atau perampokan sama sekali.

Yang kedua, Aquinas menyempurnakan taori perang-yang-adil dari Agustinus dengan mengutarakan tiga syarat yang harus dipenuhi secara berbarengan untuk mencapai perang agar menjadi adil :

(a) Harus dideklarasikan oleh seorang pemimpin dengan otoritas sosial-politik.

(b) Harus dinyatakan diatas alasan-keadilan bahwa orang yang diserang haruslah bersalah dan karenanya layak menerima serangan.

(c) Mereka yang pergi berperang harus bermaksud baik dan menghindari niat jahat.

Tidak dapat dibenarkan dengan sengaja membunuh orang tak-berdosa yang tidak-turut berperang. Adalah sah membunuh orang-lain dalam pembelaan-diri, meskipun demikian niat seseorang harus untuk menyelamatkan dirinya, pencabutan nyawa orang-lain hanyalah menjadi alat yang diperlukan untuk mencapai tujuan yang baik itu (ini, adalah sumber dari apa yang kemudian berkembang menjadi prinsip moral 'efek-ganda')

Bahkan tindakan dalam pembelaan-diri harus dilakukan dalam proporsi yang masuk-akal terhadap situasi, sehingga adalah salah untuk menggunakan kekuatan berlebihan dari yang diperlukan untuk menghentikan agresi.

Bahkan membunuh orang-lain dengan tidak-sengaja bisa menjadi tidak-adil jika dilakukan dalam ikatan kejahatan yang lain atau kelalaian kriminal.

Yang ketiga, meski Aquinas berpikir kita harus mentoleransi keyakinan agama mereka yang tidak-pernah menjadi Kristen, sehingga menjadi tidak-adil mempersekusi mereka, dia berpikir adalah adil untuk menggunakan kekuatan melawan para penganut aliran-sesat namun yang menolak ortodoksi Kristen, bahkan sampai titik untuk melukai mereka, seperti dalam inkuisisi, demi untuk kebaikan jiwa mereka sendiri.

Dalam sebuah kasus ekstrim terhadap penganut aliran-sesat bandel yang tidak akan bisa dibujuk untuk kembali kepada kebenaran Kristianitas, adalah dianggap adil bahwa mereka harus dibasmi dengan eksekusi daripada dibiarkan merusak Kristen yang lain dengan aktivitas mendukung pandangan relijius heterodok mereka.

Keempat, seperti Agustinus, Aquinas menerima perbudakan, selama tidak-ada umat Kristiani yang menjadi budak non Kristiani (ibid., pp. 178-183, 186, 221, 224, 226, 228, 250, 256, 253), dan menilai adil bahwa perempuan harus menjadi 'subjek' secara ekonomi dan politik bagi para lelaki. Meskipun ia menilai perempuan merupakan manusia sepenuhnya, Aquinas setuju dengan Aristoteles bahwa para perempuan lemah dan memiliki kekurangan dengan konsekuensi dianggap inferior dalam pengambilan keputusan secara rasional (Summa, pp. 466-467).


Dari sebuah perspektif kritis, teori umumnya tentang keadilan cukup dikenal hingga sekarang ini, sebagai semacam campuran antara teori Aristoteles dan Agustinus dan ditandai oleh kesalahan yang sama seperti pendapat mereka.

Penerapan dari teori Aquinas itu dapat dinilai sebagai indikasi terhadap karakter problematis pendapat itu :

(a) Asumsi yang ada tentang suatu hak memiliki harta-benda pribadi, bahasannya tentang ketidak-adilan pada pencurian dan perampokan tampak cukup masuk-akal.

(b) Asumsi bahwa kita memiliki hak untuk membela-diri, analisisnya tentang legitimasi terhadap pembunuhan dalam sebuah perang-yang-adil juga sama masuk-akal.

(c) Upayanya mempertahankan persekusi kepada penganut aliran-sesat agama, bahkan hingga mati, mengundang kecurigaan merupakan bagian fanatisme, dogmatik, intoleren pada dirinya.

(d) Penerimaannya terhadap perbudakan dan subjek perempuan secara politis dan ekonomis sebagai adil adalah indikasi sebuah orientasi empiris yang sangat tidak kritis dengan menerima status-quo.

Disini sekali lagi, keyakinan Kristiani bahwa semua manusia adalah mahluk pribadi buah kasih Tuhan dirusak oleh komitmen yang tidak memadai terhadap implikasi keyakinan itu, dengan memperhatikan kesetaraan sosio politik, sehingga hanya sejumlah manusia yang dihargai penuh sebagai pelaku-pelaku yang bebas rasional.

Teori rasionalitas dari Plato dan Agustinus dan teori empiris klasik dari Aristoteles dan Aquinas semuanya meninggalkan harapan pada kita bahwa teori alternatif yang menarik akan segera hadir.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Friday, April 8, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 6 : Kristianitas Abad Pertengahan - Agustinus


Aurelius Augustine terlahir dan dibesarkan di provinsi Afrika Utara yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi, selama hidupnya, ia mengalami ketidak-adilan, perilaku menindas dan merusak dari Kekaisaran Romawi.

Pengalaman personal ini, dalam tegangan-dialektikal dengan gagasan-gagasan Kristianitas, telah memberinya latar belakang yang dramatis terhadap nilai-nilai keagamaannya.

Secara filosofis, dia sangat dipengaruhi oleh pemikir neo-Platonis seperti Plotinus.

Pemikiran Platonisme Kristiani-nya terbukti dalam dialog filosofis pada karyanya berjudul 'Tentang Pilihan Bebas dari Kehendak' (On Free Choice of the Will), dalam karya itu ia menerima dengan antusias pandangan Plato tentang empat pusat keutamaan-moral (yang kemudian disebut 'cardinal' dari bahasa latin yang berarti 'engsel', ini dapat dibayangkan secara metaforis sebagai empat 'engsel' yang menjadi poros pintu moralitas)

Empat keutamaan-moral itu adalah kehati-hatian (pengganti untuk bijaksana), keberanian, pengendalian diri dan keadilan. Konsepsinya tentang keadilan adalah salah satu yang paling dikenal yaitu keadilan sebagai 'sebuah keutamaan dengannya memberi kepada semua orang hak-hak yang dimilikinya'.

Namun konsep keadilan itu terkait dengan sesuatu yang baru dan khas Kristen ---pandangan yang membedakan antara hukum-temporal, seperti hukum-negara dan hukum-kekal-ilahi.

Hukum-kekal-ilahi menetapkan perintah dari kuasa-ilahi. Dan karena semua hukum-temporal atau hukum-manusia harus selaras dengan hukum-kekal-ilahi, Agustinus menarik kesimpulan yang menarik, dan berbicara dengan nada menyerang dalam kalimat 'suatu hukum yang tidak-adil sama-sekali bukanlah hukum' sebuah frasa yang tampak bertentangan (Choice, pp. 20, 11, 8; cf. Religion, p. 89, for an analysis of justice that relates it to love).

Oleh karena itu, suatu hukum-sipil dalam negara yang melanggar hukum-kekal-ilahi tidaklah mengikat secara moral dan sah untuk tidak-dipatuhi dalam kesadaran demi kebaikan. Hal ini memiliki pengaruh yang dalam dan terus berlanjut dalam etika Kristiani.

Dalam karya master-piecenya, Kota Ilahi (The City of God), Agustinus menarik kesimpulan dramatis dari posisi itu, bahwa Kekaisaran Romawi tidak pernah merupakan sebuah masyarakat-politik yang benar-benar adil.

Ia mengekspresikan ketidak-sukaannya pada sejarah panjang kekuasaan Romawi dengan kalimat 'kemuakan pada ketidak-adilan'. Bangsa Romawi selalu menyembah dewa-dewa, termasuk kategori 'Kota Bumi' dan 'keadilan sesungguhnya' dapat ditemukan hanya dalam sebuah 'Kota Ilahi' Kristiani.

Seorang yang adil, bukan orang dengan kekuasaan-penuh harus memerintah untuk kebaikan-bersama bukan untuk memenuhi kepentingan pribadi sendiri.

Ia membandingkan secara gamblang masyarakat yang tidak-adil, berdasar pada kekuasaan/kekuatan bukan berdasar pada kebenaran/hak, dalam kalimat 'gang para-kriminal dengan skala-besar', karena tanpa keadilan, suatu kerajaan atau kekaisaran hanya diatur dengan perintah sewenang-wenang dari otoritas beberapa pemimpin.

Sebuah masyarakat-adil yang asli harus didasarkan pada cinta Kristiani, keteraturan penuh damai ditetapkan dengan dua aturan dasar berikut ---bahwa orang tidak melukai siapapun dan mereka harus berusaha menolong setiap orang hingga tingkatan maksimal yang dapat dilakukan (City, pp. 75, 67, 75, 138-139, 873).


Disamping ikatan Kristiani-nya kepada cinta dan perdamaian, Agustinus bukanlah seorang pasifis dan mendukung 'perang-yang-adil' sebagai suatu yang diijinkan secara moral dan bahkan sebagai kewajiban moral.

Setiap perang bertujuan mencapai sebuah keteraturan di atas semacam perdamaian yang langgeng, sementara suatu perang-yang-tidak-adil bertujuan untuk menetapkan perdamaian-yang-tidak-adil di atas dominasi, perang-yang-adil bertujuan untuk menetapkan suatu 'perdamaian-yang-adil'.

Ia setuju dengan Cicero bahwa suatu perang-yang-adil haruslah defensif daripada agresif ibid., pp. 861-862, 866, 868-869, 1031).

Dalam sebuah surat (# 138) kepada Marcellinus, Agustinus menggunakan kitab-suci untuk menolak pendapat bahwa doktrin Kristen terikat kepada pasifisme, meskipun demikian bila perlu, perang harus dibayar/dibalas dengan cinta-tulus kepada musuh. Dalam sebuah surat (# 189) kepada Boniface, dia tetap bertahan bahwa orang yang saleh dan benar secara moral bisa menjadi anggota pasukan-perang, sekali lagi ia mengutip kitab-suci untuk mendukung posisinya

Ia mengulangi pandangan bahwa sebuah perang-yang-adil harus menuju keadilan dalam perdamaian yang kekal dan berpegang teguh bahwa seseorang harus memegang keyakinan bersama musuh dan sekutunya, meskipun dalam panasnya perang yang mengerikan.

Bahasan yang paling penting terhadap teori perang-yang-adil termaktub dalam tulisannya berjudul Against Faustus the Manichean, dimana ia menganalisa setan-setan perang dalam pengertian nafsu untuk melukai orang-lain dan berharap untuk mendominasi orang-lain.

Sebagai tambahan syarat bahwa suatu perang-yang-adil harus bertujuan pada sebuah perdamaian yang kekal dan adil, syarat kedua adalah bahwa perang-yang-adil harus dideklarasikan oleh seorang pemimpin atau bagian para pemimpin, dengan otoritas untuk melakukan itu, setelah bersepakat bhwa itu adalah keadilan. Sekali lagi Agustinus membuat jelas bahwa dia bukanlah seorang pasifis.(Political, pp. 209, 219-223).


Meskipun hal-itu merupakan penerapan teori-keadilannya yang sangat bernilai, doktrin tentang perang-yang-adil ini bertahan dari ujian-waktu hingga hari ini, namun teori-umum yang menjadi dasar lebih problematis.

Konsepsi keadilan yang tidak asli (dan tidak menginspirasi yaitu memberi kepada yang lain hak-haknya) dikenal telah menjadi basi.

Konsep itu masih tetap rapuh terhadap persoalan serius tentang kejelasan soal yang telah ditinjau sebelumnya : apa kriteria relevan yang harus menentukan siapa menerima apa, dan siapa yang cocok untuk melakukan penilaian itu.

Tetapi Agustinus juga memperoleh suatu manfaat dari konsep keadilan Yunani kuno ketika mencapai sebuah teori keadilan yang didasarkan pada kesamaan-universal dalam penjelasan tentang doktrin Kristianitas (tidak untuk disebutkan karena pengaruh-pengaruh dari Cicero, para Stoik dan Plotinus) bahwa semua manusia adalah sama-anak-ilahi.

Sayang, keinginan kuatnya dalam dakwah Kritiani mengarahkan dirinya melakukan identifikasi keadilan itu sendiri, dalam suatu cara yang mengundang polemik ketidaksetujuan, intoleran terhadap gagasan Kristianitas gereja yang disyaratkan Tuhan, sedemikian rupa sehingga menurutnya hanya suatu masyarakat Kristiani yang mungkin dapat dikualifikasikan adil, seolah jika sebuah masyarakat politik yang adil membutuhkan adanya bentuk pemerintahan teokrasi.

Sehingga, meski dia memiliki pengertian semacam kesamaan moral atau spiritual diantara manusia, itu bukanlah persoalan penghargaan-yang-sama bagi semua orang sebagai pelaku-pelaku (agen) yang bebas, sebagai contoh menerima institusi perbudakan sebagai sebuah hukuman yang adil untuk dosa ---di luar kepercayaan bahwa Tuhan aslinya menciptakan manusia dalam kodrat bebas-alamiah--- karena gagasan bahwa kita semua telah dirusak oleh dosa-asal (City, pp. 874-875).


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Saturday, April 2, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 5 : Kristianitas Abad Pertengahan


Ketika para pemikir Kristen melakukan pencarian untuk mengembangkan filsafat mereka sendiri di abad-pertengahan, mereka menemukan dasar-dasar yang sangat-berharga dalam pemikiran Yunani kuno ('medieval' berarti abad-pertengahan dan 'tengah-tengah' dalam pengertian berada diantara masa-kuno dan modernitas).

Namun dua jalur-dominan yang akan diikuti oleh filsafat abad-pertengahan nyaris selama seribu-tahun perjalanan sejarah sangat kuat diwarnai oleh pemikiran Plato dan Aristoteles.

Lebih spesifik, Augustinus menggunakan filsafat Platonik (dan neo-Platonik) hingga ke tingkatan yang mampu menggabungkan pemikiran Plato dan Aristoteles dengan pemikiran Kristen, beberapa abad kemudian Aquinas mengembangkan sebuah sintesa yang luar-biasa dari pemikiran Kristen (termasuk dari Agustinus) dan filsafat Aristotelian.

Meski demikian, perbedaan besar antara filsafat mereka dan filsafat dari para pemikir Hellenistik seperti Plato dan Aristoteles tumbuh dari keterikatan para pemikir Kristen itu kepada otoritas kitab-kitab suci Yahudi dan Kristen.

Maka Aquinas kemudian sepakat dengan Agustinus (yang menerima perintah dari Isaiah 7:9) bahwa pencarian panjang terhadap pemahaman filosofis harus diawali dengan kepercayaan kepada tradisi-tradisi keagamaan (Choice, pp. 3, 32).

Keduanya baik Perjanjian-Lama dan Perjanjian-Baru menyebut perilaku-adil termasuk dalam bagian orang yang benar secara moral, dengan perilaku-tidak-adil berada pada seorang pendosa yang melawan hukum-ilahi, referensi yang ada terlalu banyak untuk dikutip (lihat Job 9:2, Proverbs 4:18, Proverbs 10:6-7, Ecclesiastes 7:20, Matthew 5:45, Philippians 4:8, and Hebrews 12:23).

Pendapat bahwa keadilan-ilahi akan ditetapkan dalam bentuk penghakiman-ilahi (saat hari pengadilan/pembalasan) merupakan suatu janji kepada orang yang berlaku-adil sekaligus sebuah ancaman bagi yang berlaku-tidak-adil.

Kebenaran secara moral diidentifikasikan dengan kasih-sayang begitu juga dengan keadilan (e.g., Micah 6:8 and Matthew 5:7) dan melibatkan hubungan-kita dengan sang-ilahi juga dengan sesama manusia.

Sepuluh perintah ilahi pada Perjanjian-Lama (Exodus 20:1-17) merupakan perintah-perintah yang terkait dengan bagaimana orang yang benar secara moral dihubungkan dengan sang-ilahi dan manusia-lain.

Dalam perjanjian baru, Yesus dari Nazareth melakukan interpretasi bagaimana orang yang benar secara moral menjalani hidup (Matthew 22:36-40) dalam pengertian cinta, baik kepada sang-ilahi maupun kepada para tetangga mereka, konsep tetangga dimaksudkan untuk memperluas pengertian bahkan termasuk orang-asing, seperti yang digambarkan dalam perumpamaan cerita pendek orang baik Samaria yang menolong (Luke 10:29-37).

Dalam Sabda yang mengawali khotbah di atas sebuah bukit, Yesus memperluas ajaran tentang cinta dengan menyuarakan bahwa para pengikutnya melampaui kewajiban menegakan keadilan dengan berperilaku dalam rasa belas-kasih yang kuat melalui cara-cara tertentu yang sangat ditekankan (Matthew 5:3-12).

Semua tradisi berdasar kitab-suci ini, secara mendasar mempengaruhi para pemikir abad-pertengahan seperti Augustinus dan Aquinas dalam hal cara yang membedakan mereka dari para filosof Yunani kuno seperti Plato dan Aristoteles.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi