Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, February 19, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 2 : Yunani Kuno


Terhadap segala orisinilitas-konsepsi mereka, bahkan filsafat-filsafat Plato dan Aristoteles tidaklah muncul dalam ruang-hampa. Karena jauh kebelakang dalam literatur Yunani kuno seperti Homer, konsep tentang 'dikaion' (keadilan) ---digunakan untuk mendeskripsikan seorang yang adil--- adalah penting.

Dari sana, muncul 'konsep-umum' tentang 'dikaiosune' atau keadilan sebagai sebuah keutamaan yang dapat diterapkan pada masyarakat-politik. Soal mengenai apa yang-dapat atau tidak-dapat dikualifikasikan sebagai keadilan secara logis dapat mengarah kepada kontroversi, terkait dengan perihal asal-muasal keadilan, begitu juga dengan esensinya.

Mungkin bantuan yang efektif untuk memahami kekuatan dari pemikiran mereka adalah dengan memandangnya dalam konteks ajaran-ajaran dari kaum Sofis, guru-guru keliling pada abad ke-5 SM masa Yunani kuno yang mencoba menjadikan diri mereka 'sosok-manusia-bijaksana'

Dalam persidangannya, Sokrates bersusah payah agar dirinya tidak diasosiasikan dengan kaum Sofis, setelah pengakuannya menolak untuk menyelamatkan diri ---seperti tipikal yang biasa dilakukan kaum Sofis--- dengan melakukan aksi-pembangkangan sipil untuk membebaskan diri. (Dialogues, pp. 24-26, 52-56; 18b-19d, 50a-54b)

Plato lebih bertanggung jawab dibanding filsuf-lain karena menjuluki kaum Sofis dengan nama-buruk yang melekat pada mereka hingga saat ini dan Aristoteles mengikuti Plato dengan sedikit menggunakan kaum Sofis sebagai instruktur-instruktur mengenai retorika, filsafat, nilai-nilai dan kunci-kunci untuk kesuksesan

Jadi apa yang telah membuat tiga filsuf besar ini (dibaca harafiah 'pencinta kebijaksanaan') diketahui secara ideologis sangat menolak dan melawan terhadap kaum Sofis ? Jawaban singkat adalah relativisme dan skeptisisme dari kaum Sofis.

Salah satu yang paling penting, Protagoras menangkap relativisme dengan ungkapannya yang terkenal :

"Manusia adalah ukuran segala-sesuatu, untuk suatu yang-ada maka ia ada, untuk suatu yang tak-ada, maka ia tak-ada."

Dan dia berbicara tentang skeptisisme dengan sebuah deklarasi-agnotisme perihal eksistensi dewa-dewa.

Gorgias (Plato memberi judul dialog dalam karyanya dengan nama keduanya Protagoras dan Gorgias) diingat karena pukulan tiga-bagian pernyataan skeptisisme, ia memegang pendapat bahwa :

"Sesungguhnya tidak-ada sesuatupun yang benar-benar ada. Bahwa, bahkan jika sesuatu itu benar-benar ada, kita tidak-dapat merengkuh pengetahuan tentangnya. Dan bahwa jika kita dapat merengkuh pengetahuan sesuatu yang nyata kita tidak dapat mengekspresikan pengetahuan itu kepada orang lain."

Jika semua-nilai adalah subjektif dan/atau tidak-dapat diketahui, maka apa yang menjelaskan keadilan, direduksi menjadi sebuah persoalan perubahan-pendapat (opini). Kita dengan gampang dapat membayangkan, bagaimana kaum Sofis menerapkan relativisme dan skeptisisme dalam konsep keadilan.

Sebagai contoh, Thrasymachus (sosok yang digambarkan pada buku pertama karya Plato berjudul Republic) diduga telah mengatakan bahwa pastilah tidak-ada dewa-dewa yang perduli/memperhatikan kepada kita-manusia, karena sementara keadilan adalah kebaikan-tertinggi kita, manusia umumnya melakukan tindakan ketidak-adilan.

Namun pernyataan kaum Sofis yang paling signifikan perihal keadilan dapat dikatakan berasal dari Antiphon, yang menggunakan perbedaan karakteristik antara adat-kebiasaan (nomos) dan alam (physis) dengan pengaruh yang merusak.

Ia berpendapat bahwa hukum-hukum tentang keadilan, sebagai persoalan konvensi/kesepakatan, harus dipatuhi ketika orang-lain mengamati/mengawasi kita dan dapat mengikat kita dengan pertanggung-jawaban tetapi sebaliknya tidak dengan hukum keadilan-alam, kita dengan begitu-saja harus mengikuti tuntutan-tuntutan hukum keadilan-alam.

Hukum-hukum keadilan-konvensi/kesepakatan bersumber dari luar, dengan kondisi melibatkan pelayanan memberi kebaikan bagi orang-lain, sedang tuntutan-tuntutan hukum keadilan-alam bersifat internal, melayani kepentingan-sendiri.

Antiphon bahkan mengajukan pendapat bahwa mematuhi hukum-hukum keadilan-konvensi/kesepakatan seringkali merubah-keadaan kita yang tak-berdaya menjadi yang-kuat dan tidak menjadi korban. (First, pp. 211, 232, 274, 264-266).

Jika ada suatu nilai-objektif semacam keadilan-alam, maka adalah masuk-akal bagi kita untuk berusaha mencapai sebuah pemahaman-rasional tentangnya.

Di sisi lain, jika keadilan hanyalah sebuah konstruksi tentang konvensi/kesepakatan adat, maka pencarian-panjang seperti itu pasti membuat frustasi dan mengalami kegagalan. Dengan latar-belakang ini, kita seharusnya mampu untuk melihat apa yang telah mendorong Plato dan Aristoteles untuk mencari sebuah alternatif yang kuat terhadap konsepsi keadilan.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi


Thursday, February 17, 2022

Teori Keadilan Ala Barat 1 : Pengantar


Keadilan merupakan salah-satu dari sejumlah konsep moral dan politik yang paling-penting. Kata 'justice' berasal dari bahasa latin 'jus' yang berarti hak/kebenaran atau hukum. Kamus Oxford English Dictionary mendefinisikan seorang-yang-adil ('just' person) sebagai seorang dengan ciri tipikal 'melakukan apa yang benar-secara-moral' dan cenderung-baik untuk 'memberikan kepada setiap-orang hak-hak yang dimilikinya', Kamus ini menawarkan kata 'fair' sebagai sebuah sinonim.

Namun para-filsuf ingin melampaui definisi-definisi etimologi dan kamus-bahasa untuk meninjau keadilan, sebagai contoh, sifat-dasar keadilan sebagai sebuah karakter keutamaan-moral sekaligus sebuah kualitas yang didamba dari suatu masyarakat-politik, begitu juga dengan bagaimana penerapan keadilan pada pengambilan-keputusan etis dan sosial.

Artikel ini akan fokus membahas konsepsi-konsepsi filosofi-barat mengenai keadilan. Konsep-konsep ini merupakan teori-teori terbaik dari masa Yunani kuno (Plato dan Aristotelas) dan dari Kristianitas masa abad-pertengahan (Augustine dan Aquinas), dua dari masa modern-awal (Hobbes dan Hume), dua dari masa modern-yang-lebih-akhir (Kant and Mill) dan beberapa dari masa kontemporer (Rawls dan beberapa penerusnya).

Tipikal artikel ini, tidak hanya meninjau teori-teori mereka tentang keadilan tetapi juga bagaimana para-filsuf menerapkan teori-teori mereka sendiri kepada isu-isu sosial yang kontroversial ---sebagai contoh soal pembangkangan-sipil, hukuman, kesempatan yang sama bagi kaum-wanita, perbudakan, hak-hak kepemilikan dan hubungan-hubungan internasional.

Bagi Plato, keadilan adalah suatu keutamaan menetapkan aturan-rasional, dengan setiap-bagian melakukan sesuai peran masing-masing dan tidak mengganggu fungsi dari bagian-bagian yang lain.

Aristoteles berpendapat keadilan tersusun dari apa yang sah-secara-hukum dan fair, dengan sifat-fair yang melibatkan distribusi-yang-sama dan koreksi terhadap apa-yang-tidak-sama.

Bagi Agustinus, keutamaan-keadilan pada seorang kardinal mensyaratkan bahwa kita berupaya untuk memberikan kepada semua-orang hak-hak yang dimilikinya, bagi Aquinas, keadilan adalah rerata-rasional diantara sejumlah ketidak-adilan, melibatkan distribusi-distribusi proposional dan transanski dua-arah.

Hobbes meyakini keadilan adalah suatu keutamaan-artifisial, kebutuhan mutlak bagi masyarakat-beradab, sebuah fungsi kesepakatan-kesepakatan-sukarela dari kontrak-sosial, bagi Hume, keadilan pada dasarnya melayani kebutuhan-publik dengan perlindungan terhadap kepemilikan (dipahami secara luas).

Bagi Kant, keadilan adalah sebuah keutamaan dimana-dengannya kita menghargai kebebasan, otonomi dan harkat-martabat orang lain dengan tidak mengganggu tindakan-tindakan-sukarela mereka, selama tindakan-tindakan itu tidak melanggar hak-hak orang-lain, Mill berkata keadilan adalah suatu penyebutan-kolektif bagi kebutuhan-kebutuhan-sosial yang paling-penting, yang kondusif bagi pembinaan dan perlindungan kebebasan-manusia.

Rawls menganalisa keadilan dalam hal mengenai persamaan-kebebasan ditinjau dari hak-dan-kewajiban dasar bagi semua anggota masyarakat, menyertai adanya ketidak-samaan sosial-ekonomi memerlukan justifikasi-moral dalam hal kesempatan dan hasil-manfaat yang sama bagi semua anggota masyarakat, dan bermacam filsuf post-Rawlsian mengembangkan konsepsi-konsepsi alternatif yang berbeda.

Para filsuf barat secara umum menilai keadilan sebagai yang-paling-mendasar dari semua-keutamaan untuk mengatur hubungan-hubungan antar personal dan menetapkan serta menjaga suatu masyarakat-politik yang stabil.

Dengan penelusuran peran-historis dari teori-teori ini, apa yang menjadi disuarakan adalah sebuah perkembangan-pemahaman mengenai keadilan dalam hal menghargai seseorang sebagai pelaku (agen-agen) yang bebas dan rasional. Seseorang mungkin dapat tidak-sepakat tentang sifat, dasar dan aplikasi yang legitim mengenai keadilan, namun itu adalah intinya.


Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi