Terhadap segala orisinilitas-konsepsi mereka, bahkan filsafat-filsafat Plato dan Aristoteles tidaklah muncul dalam ruang-hampa. Karena jauh kebelakang dalam literatur Yunani kuno seperti Homer, konsep tentang 'dikaion' (keadilan) ---digunakan untuk mendeskripsikan seorang yang adil--- adalah penting.
Dari sana, muncul 'konsep-umum' tentang 'dikaiosune' atau keadilan sebagai sebuah keutamaan yang dapat diterapkan pada masyarakat-politik. Soal mengenai apa yang-dapat atau tidak-dapat dikualifikasikan sebagai keadilan secara logis dapat mengarah kepada kontroversi, terkait dengan perihal asal-muasal keadilan, begitu juga dengan esensinya.
Mungkin bantuan yang efektif untuk memahami kekuatan dari pemikiran mereka adalah dengan memandangnya dalam konteks ajaran-ajaran dari kaum Sofis, guru-guru keliling pada abad ke-5 SM masa Yunani kuno yang mencoba menjadikan diri mereka 'sosok-manusia-bijaksana'
Dalam persidangannya, Sokrates bersusah payah agar dirinya tidak diasosiasikan dengan kaum Sofis, setelah pengakuannya menolak untuk menyelamatkan diri ---seperti tipikal yang biasa dilakukan kaum Sofis--- dengan melakukan aksi-pembangkangan sipil untuk membebaskan diri. (Dialogues, pp. 24-26, 52-56; 18b-19d, 50a-54b)
Plato lebih bertanggung jawab dibanding filsuf-lain karena menjuluki kaum Sofis dengan nama-buruk yang melekat pada mereka hingga saat ini dan Aristoteles mengikuti Plato dengan sedikit menggunakan kaum Sofis sebagai instruktur-instruktur mengenai retorika, filsafat, nilai-nilai dan kunci-kunci untuk kesuksesan
Jadi apa yang telah membuat tiga filsuf besar ini (dibaca harafiah 'pencinta kebijaksanaan') diketahui secara ideologis sangat menolak dan melawan terhadap kaum Sofis ? Jawaban singkat adalah relativisme dan skeptisisme dari kaum Sofis.
Salah satu yang paling penting, Protagoras menangkap relativisme dengan ungkapannya yang terkenal :
"Manusia adalah ukuran segala-sesuatu, untuk suatu yang-ada maka ia ada, untuk suatu yang tak-ada, maka ia tak-ada."
Dan dia berbicara tentang skeptisisme dengan sebuah deklarasi-agnotisme perihal eksistensi dewa-dewa.
Gorgias (Plato memberi judul dialog dalam karyanya dengan nama keduanya Protagoras dan Gorgias) diingat karena pukulan tiga-bagian pernyataan skeptisisme, ia memegang pendapat bahwa :
"Sesungguhnya tidak-ada sesuatupun yang benar-benar ada. Bahwa, bahkan jika sesuatu itu benar-benar ada, kita tidak-dapat merengkuh pengetahuan tentangnya. Dan bahwa jika kita dapat merengkuh pengetahuan sesuatu yang nyata kita tidak dapat mengekspresikan pengetahuan itu kepada orang lain."
Jika semua-nilai adalah subjektif dan/atau tidak-dapat diketahui, maka apa yang menjelaskan keadilan, direduksi menjadi sebuah persoalan perubahan-pendapat (opini). Kita dengan gampang dapat membayangkan, bagaimana kaum Sofis menerapkan relativisme dan skeptisisme dalam konsep keadilan.
Sebagai contoh, Thrasymachus (sosok yang digambarkan pada buku pertama karya Plato berjudul Republic) diduga telah mengatakan bahwa pastilah tidak-ada dewa-dewa yang perduli/memperhatikan kepada kita-manusia, karena sementara keadilan adalah kebaikan-tertinggi kita, manusia umumnya melakukan tindakan ketidak-adilan.
Namun pernyataan kaum Sofis yang paling signifikan perihal keadilan dapat dikatakan berasal dari Antiphon, yang menggunakan perbedaan karakteristik antara adat-kebiasaan (nomos) dan alam (physis) dengan pengaruh yang merusak.
Ia berpendapat bahwa hukum-hukum tentang keadilan, sebagai persoalan konvensi/kesepakatan, harus dipatuhi ketika orang-lain mengamati/mengawasi kita dan dapat mengikat kita dengan pertanggung-jawaban tetapi sebaliknya tidak dengan hukum keadilan-alam, kita dengan begitu-saja harus mengikuti tuntutan-tuntutan hukum keadilan-alam.
Hukum-hukum keadilan-konvensi/kesepakatan bersumber dari luar, dengan kondisi melibatkan pelayanan memberi kebaikan bagi orang-lain, sedang tuntutan-tuntutan hukum keadilan-alam bersifat internal, melayani kepentingan-sendiri.
Antiphon bahkan mengajukan pendapat bahwa mematuhi hukum-hukum keadilan-konvensi/kesepakatan seringkali merubah-keadaan kita yang tak-berdaya menjadi yang-kuat dan tidak menjadi korban. (First, pp. 211, 232, 274, 264-266).
Jika ada suatu nilai-objektif semacam keadilan-alam, maka adalah masuk-akal bagi kita untuk berusaha mencapai sebuah pemahaman-rasional tentangnya.
Di sisi lain, jika keadilan hanyalah sebuah konstruksi tentang konvensi/kesepakatan adat, maka pencarian-panjang seperti itu pasti membuat frustasi dan mengalami kegagalan. Dengan latar-belakang ini, kita seharusnya mampu untuk melihat apa yang telah mendorong Plato dan Aristoteles untuk mencari sebuah alternatif yang kuat terhadap konsepsi keadilan.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi
Dari sana, muncul 'konsep-umum' tentang 'dikaiosune' atau keadilan sebagai sebuah keutamaan yang dapat diterapkan pada masyarakat-politik. Soal mengenai apa yang-dapat atau tidak-dapat dikualifikasikan sebagai keadilan secara logis dapat mengarah kepada kontroversi, terkait dengan perihal asal-muasal keadilan, begitu juga dengan esensinya.
Mungkin bantuan yang efektif untuk memahami kekuatan dari pemikiran mereka adalah dengan memandangnya dalam konteks ajaran-ajaran dari kaum Sofis, guru-guru keliling pada abad ke-5 SM masa Yunani kuno yang mencoba menjadikan diri mereka 'sosok-manusia-bijaksana'
Dalam persidangannya, Sokrates bersusah payah agar dirinya tidak diasosiasikan dengan kaum Sofis, setelah pengakuannya menolak untuk menyelamatkan diri ---seperti tipikal yang biasa dilakukan kaum Sofis--- dengan melakukan aksi-pembangkangan sipil untuk membebaskan diri. (Dialogues, pp. 24-26, 52-56; 18b-19d, 50a-54b)
Plato lebih bertanggung jawab dibanding filsuf-lain karena menjuluki kaum Sofis dengan nama-buruk yang melekat pada mereka hingga saat ini dan Aristoteles mengikuti Plato dengan sedikit menggunakan kaum Sofis sebagai instruktur-instruktur mengenai retorika, filsafat, nilai-nilai dan kunci-kunci untuk kesuksesan
Jadi apa yang telah membuat tiga filsuf besar ini (dibaca harafiah 'pencinta kebijaksanaan') diketahui secara ideologis sangat menolak dan melawan terhadap kaum Sofis ? Jawaban singkat adalah relativisme dan skeptisisme dari kaum Sofis.
Salah satu yang paling penting, Protagoras menangkap relativisme dengan ungkapannya yang terkenal :
"Manusia adalah ukuran segala-sesuatu, untuk suatu yang-ada maka ia ada, untuk suatu yang tak-ada, maka ia tak-ada."
Dan dia berbicara tentang skeptisisme dengan sebuah deklarasi-agnotisme perihal eksistensi dewa-dewa.
Gorgias (Plato memberi judul dialog dalam karyanya dengan nama keduanya Protagoras dan Gorgias) diingat karena pukulan tiga-bagian pernyataan skeptisisme, ia memegang pendapat bahwa :
"Sesungguhnya tidak-ada sesuatupun yang benar-benar ada. Bahwa, bahkan jika sesuatu itu benar-benar ada, kita tidak-dapat merengkuh pengetahuan tentangnya. Dan bahwa jika kita dapat merengkuh pengetahuan sesuatu yang nyata kita tidak dapat mengekspresikan pengetahuan itu kepada orang lain."
Jika semua-nilai adalah subjektif dan/atau tidak-dapat diketahui, maka apa yang menjelaskan keadilan, direduksi menjadi sebuah persoalan perubahan-pendapat (opini). Kita dengan gampang dapat membayangkan, bagaimana kaum Sofis menerapkan relativisme dan skeptisisme dalam konsep keadilan.
Sebagai contoh, Thrasymachus (sosok yang digambarkan pada buku pertama karya Plato berjudul Republic) diduga telah mengatakan bahwa pastilah tidak-ada dewa-dewa yang perduli/memperhatikan kepada kita-manusia, karena sementara keadilan adalah kebaikan-tertinggi kita, manusia umumnya melakukan tindakan ketidak-adilan.
Namun pernyataan kaum Sofis yang paling signifikan perihal keadilan dapat dikatakan berasal dari Antiphon, yang menggunakan perbedaan karakteristik antara adat-kebiasaan (nomos) dan alam (physis) dengan pengaruh yang merusak.
Ia berpendapat bahwa hukum-hukum tentang keadilan, sebagai persoalan konvensi/kesepakatan, harus dipatuhi ketika orang-lain mengamati/mengawasi kita dan dapat mengikat kita dengan pertanggung-jawaban tetapi sebaliknya tidak dengan hukum keadilan-alam, kita dengan begitu-saja harus mengikuti tuntutan-tuntutan hukum keadilan-alam.
Hukum-hukum keadilan-konvensi/kesepakatan bersumber dari luar, dengan kondisi melibatkan pelayanan memberi kebaikan bagi orang-lain, sedang tuntutan-tuntutan hukum keadilan-alam bersifat internal, melayani kepentingan-sendiri.
Antiphon bahkan mengajukan pendapat bahwa mematuhi hukum-hukum keadilan-konvensi/kesepakatan seringkali merubah-keadaan kita yang tak-berdaya menjadi yang-kuat dan tidak menjadi korban. (First, pp. 211, 232, 274, 264-266).
Jika ada suatu nilai-objektif semacam keadilan-alam, maka adalah masuk-akal bagi kita untuk berusaha mencapai sebuah pemahaman-rasional tentangnya.
Di sisi lain, jika keadilan hanyalah sebuah konstruksi tentang konvensi/kesepakatan adat, maka pencarian-panjang seperti itu pasti membuat frustasi dan mengalami kegagalan. Dengan latar-belakang ini, kita seharusnya mampu untuk melihat apa yang telah mendorong Plato dan Aristoteles untuk mencari sebuah alternatif yang kuat terhadap konsepsi keadilan.
Sumber :
https://iep.utm.edu/justwest/
Pemahaman Pribadi