Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, October 30, 2021

Filsafat Sejarah 10 : Kontemporer


Dicirikan oleh sikap-kritis terhadap Anglophone abad 20 M yang berupaya untuk mendasarkan secara epistemologis penjelasan-historis, objektivitas, dan sebab-akibat sebagai fungsi-fungsi-logika-universal, warisan Postmodern dalam filsafat-sejarah mulai dibahas oleh tiga teoritisi kontemporer khususnya : Hayden White (1928-), Frank Ankersmit (1945-), dan Keith Jenkins (1943-).

Masing-masing mempertahankan pendapat bahwa analisis dari soal-soal-epistemologis ini secara keliru mengelak dari pertanyaan-pertanyaan tentang interpretasi-dan-makna, dan masing-masing menilai pencarian terhadap demonstrasi-demonstrasi yang lengkap-dan-final merupakan suatu upaya untuk menghindari karakter-relativistik dari kebenaran-sejarah.

Hayden White meresmikan 'peralihan-linguistik' dalam penulisan-sejarah ini dengan meta-historis-nya : The Historical Imagination in Nineteenth-Century Europe (1979). Dengan memusatkan perhatian pada struktur-dan-strategi pada penjelasan-sejarah, White mencapai pandangan penulisan-sejarah dan literatur secara mendasar sebagai upaya yang sama.

Para-sejarawan, seperti para-penulis-fiksi menulis sesuai dengan logika-empat-kemungkinan (four-fold logic) dalam rangkaian-peristiwa-sejarah-dengan-sebuah-alur, selaras dengan apakah mereka melihat materi-subjek sebagai roman, tragedi, komedi atau satir.

Tujuan ini tumbuh dari ideologi-politik mereka ---masing-masing anarkis, radikal, konsevatif atau liberal--- dan dikerjakan menggunakan suatu kiasan-retoris yang dominan ---masing-masing metafor, metonimi, sinekdok atau ironi---

Para-filsuf yang mewakili ---Nietzsche, Marx, Hegel, dan Croce--- dan para-sejarawan yang mewakili ---Michelet, Tocqueville, Ranke, dan Burckhardt--- dengan sendirinya terikat dengan metode-metode perangkaian peristiwa sejarah dengan suatu alur.

Sementara arsitekur White menerima kritik karena menjadi terlalu reduktif dalam struktur-nya dan suatu jaminan untuk relativisme, teoritisi-yang-lain telah mengangkat panjinya.

Diantara yang bersikap kritis, Frank Ankersmit mendukung garis-besar-umum dari narativisme White, meski menekankan aspek-sifat-konstruktif terhadap pengalaman masa-lalu kita

Bagi Ankersmit tidak ada 'narasi-ideal', karena pada akhirnya tidak-ada struktur-ontologis kepadanya satu-narasi yang 'tepat' diambil dan diletakan secara korespondensi

Bersama-sama Gianni Vattimo (1936-), Sande Cohen (1946-), dan Alan Munslow (1947-), Keith Jenkins membahas anti-realisme White dalam sebuah gaya dekonstruktivis yang jelas-dan-pasti

Jenkins mendesak mengakhiri penulisan-sejarah seperti yang biasa dipraktikkan.

Karena para-sejarah tidak pernah objektif-sepenuhnya, dan karena penilaian-historis tidak-dapat berpura-pura kepada standar-kebenaran-korespondensial, semua yang tersisa dari sejarah adalah struktur-kekuasaan yang telah beku dari suatu kelas-istimewa.

Dalam sebuah pernyataan yang merangkum banyak teori sejarah-kontemporer, Jenkins menyimpulkan berikut ini :

"Penulisan-sejarah sekarang muncul sebagai suatu referensial-diri, problematika ekspresi dari 'kepentingan-kepentingan', sebuah wacana interpretatif-bersifat-ideologis tanpa akses 'nyata' kepada masa-lalu seperti-itu. Tidak mampu untuk terlibat dalam suatu dialog dengan 'realitas'. Faktanya 'sejarah' sekarang muncul menjadi hanya tidak lebih dari 'ekspresi' dalam sebuah dunia-ekpresi-ekspresi-postmodern yang tentu saja adalah adanya seperti itu." (Jenkins 1995, 9)

Meski filsafat-sejarah abad 21 telah melebarkan jarak-pisah antara para-sejarawan-praktisi dan para-teoritisi-sejarah, dan meski ia telah kehilangan sejumlah popularitas yang dinikmatinya dari awal abad 19 hingga pertengahan abad 20, filsafat-sejarah tetap merupakan sebuah bidang-penelitian yang kuat selama masa-lalu sendiri terus berperan sebagai suatu keingin-tahuan filosofis.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H9
Pemahaman Pribadi




Tuesday, October 26, 2021

Filsafat Sejarah 9 : Anglophone Abad 20 M


Secara umum seperti filsafat-analitik, filsafat-analitik tentang sejarah sebagian dicirikan oleh warisan sifat Anglophone-nya dan sebagian oleh suatu kecenderungan-alami untuk memperlakukan persoalan-persoalan secara individual daripada menawarkan interpretasi-komprehensif terhadap realitas.

Perbedaan utama antara filsafat-analitik dan filsafat-kontinental mengenai sejarah, berkait dengan filsafat-analitik secara eklusif hampir memusatkan kepada soal-soal epistemologis terhadap penulisan-sejarah dan umumnya mengabaikan kepada pertanyaan-pertanyaan kesejarahan (historisitas)

Filsafat-Anglophone tentang sejarah juga ditandai dengan kesadaran diri menjaga-jarak dari sistem-sistem telelogikal dari para Hegelian

Terdapat dua alasan dasar untuk hal ini, satu alasan-politis dan satu alasan-epistemologis diangkat dalam ekspresi yang sangat jelas, pada karya Karl Popper (1902-1994) berjudul The Open Society and Its Enemies (1945) dan The Poverty of Historicism (1957)

Terkait alasan-politis, Popper menuduh bahwa kekuatan-ideologis yang menggerakkan rezim-totaliterian ratusan tahun sebelumnya adalah keyakinan mereka yang sama terhadap sebuah takdir-bangsa atau takdir-relijius yang keduanya dijamin dan dijustifikasi oleh sebuah proses-historis yang besar.

Apakah Bismarck, Komunisme, Fasisme atau Nazisme, semuanya percaya bahwa sejarah merupakan barisan-tak-terkalahkan yang bergerak menuju sebuah rezim-global yang menjamin jalan-hidup mereka dan menjustifikasi tindakan-tindakan atas-nama mereka.

Tradisi Anglophone telah terinspirasi untuk menolak bagian narasi-besar-teologikal sebagai sebuah ketidak-sukaan-politis terhadap cara berpikir ini.

Secara epistemologis, kriteria 'falsifiabilitas' dari pengetahuan-positif yang dikemukakan Popper juga menyasar sistem-sistem-teologikal hingga abad 19 M.

Sebagian besar menerima pendapat ontologi-alam dari Bertrand Russell (1872-1970), Popper berpendapat bahwa teleologis bermula dari asumi-asumsi yang tidak-dapat-disalahkan (non-falsibilitas) mengenai proses-proses-metafisis, yang mengabaikan fakta-fakta-empiris pada masa-lalu demi untuk meletakkan apa yang mereka pikir masa-lalu harus berjalan begitu-adanya.

Pusat perhatian filsafat-sejarah di dalam dunia Anglophone setelah Popper menjauh (meninggalkan) usaha-usaha untuk menyediakan narasi-narasi-besar guna membahas persoalan-persoalan meta-historis yang spesifik.

Satu persoalan, yang turut dibawa dari para-filsuf-sejarah-ilmiah abad 19 M, adalah logika dalam penjelasan-historis

Sama dengan pasangan positivistik-nya, filsafat-sejarah-analitik awal berpendirian penjelasan-penjelasan sejarah terjustifikasi (dibenarkan) sejauh penjelasan-itu mampu menjadikan peristiwa-peristiwa sejarah dapat-diprediksi menggunakan perangkat-deduksi dari peristiwa-peristiwa partikular-nya di bawah suatu hukum-umum. Ekspresi yang paling dikenal baik datang dari C.G. Hempel (1905-1997).

" Penjelasan-sejarah, juga bermaksud untuk menunjukan bahwa peristiwa yang dipertanyakan bukanlah suatu 'masalah-kebetulan', namun peristiwa yang diharapkan dari sudut pandang kondisi-sebelumnya atau kondisi-yang-sama. Harapan yang dimaksud bukanlah ramalan atau ketentuan-ilahi (takdir), namun merupakan antisipasi-rasional-ilmiah yang bersandar pada asumsi hukum-hukum umum. " (Hempel 1959, 348f).

Logika itu sendiri sederhana dan mudah :

" Penjelasan terhadap kejadian sebuah-peristiwa yang merupakan suatu jenis-peristiwa E yang spesifik, pada tempat dan waktu tertentu, untuk mempemperoleh ---seperti yang biasa dinyatakan--- petunjuk utama faktor-faktor-penyebab atau penentu terjadinya jenis-peristiwa E. " (Ibid, 345).

Dalam hal ini, logika pada penjelasan-sejarah tidak berbeda dengan logika pada penjelasan-ilmiah.

Dan meski hukum-hukum itu mungkin lebih sulit untuk ditemukan, begitu hukum-hukum perubahan-sejarah telah ditemukan dengan psikologi, anthropologi, ekonomi, atau sosiologi, kekuatan-prediksi dari penulisan-sejarah harus bersaing secara teoritis dengan ilmu-ilmu-pengetahuan-alam-ilmiah.

Kepercayaan Hempel mengalami serangan dari orang-orang seperti Popper yang berpikir/berpendapat bahwa sejarah tidak mampu menawarkan keteraturan-absolut dan tidak mampu terus-mempertahankan bahwa prediksi-prediksi tidak pernah dapat diganggu gugat namun berada pada tingkatan kemungkinan 'kecenderungan' terbaiknya.

Serangan juga datang dari R.G.Collingwood, yang menolak eksistensi hukum-hukum yang melingkupi-sejarah dan juga menolak dapat-diterapkan mekanisme-mekanisme penjelasan-ilmiah pada sejarah.

Baginya dan juga bagi Michael Oakeshott, sejarah adalah sebuah studi tentang keunikan dari masa-lalu dan bukan generalitas-nya, dan selalu demi pemahaman daripada membuktikan atau memprediksi.

Selaras dengan Aristoteles, Oakeshott meyakini, " ketika momen fakta-fakta-historis dinilai/dipandang sebagai salinan-salinan dari hukum-hukum-umum, sejarah menjadi hilang/bubar " (Oakeshott 1933, 154).

Yang dipelajari studi sejarah adalah hal partikular, khususnya seseorang yang partikular, dan sebagai semacam upaya untuk memprediksi-perilaku mereka secara nomothetik bukan hanya tidak-mungkin namun pertama-tama juga salah memahami alasan sesungguhnya bagi penelitian-sejarah.

Bertentangan dengan Aristoteles karakter dari sejarah-yang-tidak-ilmiah bagi Collingwood dan Oakeshott menjadikannya suatu studi yang bukan tidak-layak.

Bahkan mengikuti para filsuf-sejarah Post-Kantian abad 19 dan pada akhirnya Vico, mereka berpikir bahwa masa-lalu membuktikan dirinya lebih dapat diketahui secara tepat karena objek-objek yang diteliti dapat dipahami dari 'dalam' dibanding dijelaskan dari sebuah sudut-pandang di-luar-objek.

Collingwood berpikir, tugas yang layak dari sejarah bukanlah membahas/memperhatikan hanya pada peristiwa-peristiwa alami (naturalistik) yang umum namun kepada rasionalitas dari tindakan-tindakan spesifik

Suatu migrasi besar dapat dipelajari oleh ahli sosiologi, geografi atau vulkanologi dari 'luar' sebagai sebuah peristiwa-alami.

Sebaliknya, apa yang menandai seorang ahli-sejarah, adalah perhatiannya terhadap tindakan masing-masing secara individual yang bermigrasi dalam pengertian (terma) maksud dan keputusan mereka.

Meskipun, ini mungkin tidak tercatat dalam bukti-bukti apapun yang jelas, Collingwood selaras dengan Herder dalam berpikir bahwa ahli-sejarah harus berusaha untuk 'memperoleh apa yang di dalam kepala' para-pelaku yang sedang diselidiki dibawah pra-asumsi bahwa secara tipikal mereka mengambil pilihan yang masuk-akal yang sama ketika mereka berada dalam situasi yang sama.

Advokasi yang dilakukan Collingwood mengenai semacam proyeksi-empati ke dalam batin para-pelaku di masa-lalu terus dikritisi sebagai tempat-duduk-yang-nyaman bagi psikologisme.

Meski demikian, akan menjadi sulit untuk menolak, bahwa banyak ahli-sejarah yang berkerja mengadopsi intuitivisme Collingwood daripada deduksi-nomotetik Hempelian.

Pada akhir paruh kedua abad 20, sejumlah teori-penjelasan yang berjalan pada garis-tengah antara usulan nomotetik dan idealis telah dikemukakan

W.H. Walsh (1913-1986) kembali kepada jenis-penjelasan konsepsi 'koligasi' dari William Whewell (1794-1866) sebagai sebuah cara untuk membuat masa-lalu dapat diketahui.

Dalam konsepsi'koligasi', di sini usaha bukanlah untuk mendemonstrasikan atau untuk memprediksi namun untuk membawa/mengangkat secara bersamaan bermacam-peristiwa yang relevan disekitar suatu pusat-konsep-gabungan dengan maksud membuat jelas kesaling-terkaitan peristiwa-peristiwa itu.

"Apa yang kita inginkan dari para sejarawan adalah […] sebuah penjelasan yang membawa-keluar koneksi-koneksi materi-materi sejarah dan relevansi satu sama lainnya. Dan ketika para sejarawan berada dalam posisi untuk memberi penjelasan semacam itu, dapat dikatakan bahwa mereka berhasil membuat "masuk-akal tentang" atau "memahami" materi-meteri yang diselidiki mereka." (Walsh 1957, 299)

Melalui cara ini, meta-teori Walsh tidak-sejajar dengan para-filsuf-sejarah 'ilmiah' baik dengan ragam Comteian atau Hempelian juga tidak dengan para idealis-inggris, namun tetap menjaga/mempertahankan bahwa kekuatan-penjelasan dari penulisan-sejarah terletak pada sifat-narasi-nya.

Sama dengan nilai-pedagogis dari suatu narasi tidak-dapat-direduksi menjadi suatu yang dapat didemonstrasikan, sehingga nilai-dari-sejarah terletak pada kemampuannya untuk membuat masuk-akal tentang beragam-sifat kehidupan dan waktu antara satu dari yang lainnya

William Dray (1921-2009) juga berpendapat bahwa penjelasan-historis tidak memerlukan kondisi-kondisi-yang-dipenuhi agar mengapa-sesuatu-terjadi, namun hanya kondisi-kondisi yang diperlukan untuk menggambarkan bagaimana apa-yang-telah-terjadi mungkin dapat terjadi.

Sebagai contoh, jika penjelasan-penjelasan seorang sejarawan pada pembunuhan seorang raja dalam pengertian (terma) kebijakan-kebijakannya yang tidak-populer dan peradilan yang tidak-jujur, maka ini menjelaskan 'bagaimana' pembunuhan mungkin dapat terjadi tanpa bersandar pada deduksi Hempelian dari hukum yang menyatakan bahwa semua-raja dengan kebijakan tidak-populer dan peradilan yang tidak-jujur pasti akan dibunuh.

Persoalan kedua yang dibahas oleh para filsuf-sejarah Anglophone abad ke 20 memperhatikan sifat dan kemungkinan dari objektivitas.

Sementara semua akan setuju dengan Ranke bahwa penulisan-sejarah harus berkerja keras untuk membuang/menghapus bias-bias dan prasangka yang begitu-terang, pertanyaan masih tetap saja tersisa, pertanyaan yang hingga tingkatan-tertentu harus diselesaikan/dijawab.

Carl Becker (1873-1945) mungkin pemikir Anglophone pertama untuk mengangkat pendapat Croce bahwa semua sejarah adalah 'bersifat-kontemporer' dalam pengertian pasti-ditulis dari perspektif kepentingan-kepentingan masa-kini.

Bersama barisan-pendapat ini Charles Beard (1874-1948) mempunyai serangkaian argumen melawan gagasan objektivitas Rankean.

Penulisan-sejarah tidak dapat mengamati/meneliti subjek-materi-nya karena secara-definisi apa yang berada di masa-lalu sudah tidak-ada di masa-kini. Bukti-bukti selalu terpenggal-penggal dan tidak pernah dapat dikontrol dengan cara yang sama bagaimana percobaan-ilmiah mampu mengontrol variabel-variabel. Para-sejarawan memaksakan struktur-struktur yang tidak dimiliki oleh peristiwa-peristiwa itu sendiri, dan penjelasan-penjelasan mereka bersifat-selektif melalui cara-cara yang mengkhianati kepentingan-kepentingan para sejarawan sendiri.

Namun demikian, Beard tidak sampai mendorong semacam narativisme-relativistik pada post-modern-kontinentalnya yang berada di sisi berlawanan.

Pastilah tampak benar untuk mengatakan bahwa para-sejarawan memilih ---sejauh sebagai sebuah peta dengan sendirinya bukanlah jalan--- dan bahwa pilihan mereka adalah suatu soal tentang apa yang mereka nilai/hormati secara personal sebagai diskusi yang memiliki nilai, apakah pada tingkatan topik-umum mereka atau dalam pengertian tentang penyebab-penyebab-mana yang ditimbang oleh mereka, keduanya relevan dalam sebuah penjelasan.

Namun selektivitas itu sendiri tidak berimplikasi prasangka, dan seorang pembaca yang berhati-hati lebih sering mampu daripada tidak untuk membedakan penjelasan-penjelasan dengan prasangka yang begitu-terang dengan suatu penjelasan yang pemilihannya seimbang dan fair.

Lebih lagi, fakta bahwa sikap-selektif mereka tidak berperan sebagai prinsip penyebab-utama ketajaman antara para-sejarawan dan para-saintis, karena para-saintis sama selektifnya di dalam topik lingkup-tinjauan mereka

Bahkan jika, sain dan penulisan-sejarah memilih penyelidikan mereka sebagai sebuah persoalan kepentingan-personal, keduanya beroperasi di bawah norma untuk tidak-memihak, hanya menggunakan bukti-bukti yang dapat-dipercaya, dan untuk menyajikan 'kebenaran-keseluruhan', bahkan seharusnya mempertanyakan hipotesa-hipotasa mereka.

Isaiah Berlin (1909-1997) menimbang persoalan tentang objektivitas-penulisan-sejarah dari perspektif objek-objek yang ditulis daripada perspektif sang-penulis secara eksklusif.

Sementara para saintis memiliki sedikit ikatan-emosional terhadap bahan-kimia atau atom yang sedang diteliti, para-sejarawan seringkali memiliki perasaan-kuat terhadap konsekuensi-konsekuensi moral dari subjek-subjek bahasan mereka.

Pemilihan diantara penanda-penanda sejarah seperti 'teroris', dan 'pejuang-kebebasan' atau 'penguasa' dan 'tiran' secara normatif bersifat konotatif dalam suatu cara bahwa deskripsi-deskripsi ilmiah dapat dengan mudah menghindari.

Namun untuk menulis tentang holocaust atau perbudakan melalui sebuah cara yang dengan sengaja melepas-keterikatan melewatkan intensitas-karakter-personal dari peristiwa-peristiwa ini dan karenanya gagal untuk mengkomunikasikan makna-asli-nya, bahkan jika melakukannya membuang peristiwa dari statusnya sebagai catatan-catatan objektif dengan suatu cara yang tidak diijinkan sejarah-ilmiah.

Para-sejarawan yang dapat-dibenarkan mempertahankan "bahwa tingkatan-minimal-moral atau evaluasi-psikologis yang pasti-terlibat dalam memandang manusia sebagai mahluk dengan maksud dan motif (dan bukan cuma sebagai faktor-faktor sebab-akibat dalam proses terjadinya peristiwa-peristiwa)" (Berlin 1954, 52f)

Namun demikian, Seberapa tingkatan-minimal persisnya dan bagaimana seorang sejarawan yang berkerja dapat mengendalikan wilayah-abu-abu moral tanpa jatuh-kembali kedalam warisan bias-bias bawaan, tetap sulit untuk dijelaskan.

Banyak ketidak-setujuan Beard mengenai kemungkinan objektivitas membuat sejumlah filsuf-sejarah bertanya, apakah masa-lalu adalah sesuatu yang-hanya-ada di dalam pikiran para-sejarawan, dengan kata lain, jika demikian masa-lalu adalah dikonstruksi daripada ditemukan.

Bagi seorang konstruktivis seperti Leon Goldstein (1927-2002), ini tidak berarti ontologikal-anti-realisme dimana didalamnya tidak-ada-yang-lain kecuali objek-objek yang dapat-dipersepsi dipandang nyata.

Bagi Goldstein, menjadi tidak-bisa-dimengerti bagi para sejarawan untuk meragukan bahwa dunia yang mereka pelajari pernah-ada.

Dan bagi keduanya bukti dengannya para-sejarawan berkerja berkait dengan suatu kondisi-masa-lalu saat itu yang asli yang berada diluar pikiran-pikiran mereka sendiri.

Kebermaknaan dari bukti-itu ---apa yang mebuat bukti menjadi bukti 'dari'--- bagi kostruktivitis adalah, hanya diresapi oleh pikiran sejarawan yang meninjaunya.

Sebuah koin-uang Romawi adalah sebuah bukti-penanggalan dari suatu era dan mempu memberi bukti 'tentang' kebijakan keuangan dan perdagangan era itu. Namun koin-itu juga merupakan bukti 'tentang' lingkungan-alam dari setiap peristiwa koin itu tekubur di dalam tanah disana dan seterusnya, memberi bukti ---jika seseorang juga tertarik--- mengenai efek-efek-korosi dari tingkat keasaman didekat tanah-daratan di atas sungai Tiber yang berada di tengah-tengah Itali.

Bahwa bukti adalah membuktikan 'tentang' apa, bergantung pada pikiran-sejarawan yang menggunakannya untuk mengkontruksi suatu penjelasan yang penuh-makna sesuai dengan kepentingan dan keterrarikannya.

Apakah si-peninjau koin benar-benar tidak-menyadari atau lupa tentang Roma atau lingkungan-alam, koin tidak akan berhenti untuk ada, namun tentu saja koin akan berhenti untuk membuktikan kedua topik itu.

Dalam pengertian itu setidaknya, bahkan para filsuf-sejarah Anglophone non-postmodern mengakui pentingnya aspek interpretatif-dan-konstruktif pada penulisan-sejarah.

Peter Novick (1934-) and Richard Evans (1947-) akhir-akhir ini telah mengangkat batas-batas konstruktivisme atas nama para-sejarawan profesional.

Bagaimana fungsi-penyebab dalam penjelasan-penjelasan historis merupakan pertanyaan-utama ketiga bagi para filsuf-sejarah Anglophone abad 20.

Para-sejarawan, seperti kebanyakan orang, cenderung untuk memperlakukan istilah sebab-akibat seperti 'dipengaruhi', 'dibuat', 'dibawa dengan', 'cenderung untuk', 'dihasilkan dalam', diantara yang lain-lain, sebagai diagnosa-diagnosa yang tidak-bermasalah untuk menjelaskan bagaimana peristiwa-peristiwa muncul atau terjadi.

Bagi para-filsuf-umum dan khususnya bagi para-fulsuf-sejarah, sebab-akibat menghadirkan sejumlah persoalan dengan banyak-wajah.

Menurut teori-penjelasan-positivistik sebuah penjelasan sebab-akibat yang memadai menganalisa jumlah-semua kondisi-kondisi-yang-harus-dipenuhi agar suatu peristiwa terjadi.

Batasan ideal ini diketahui sebagai telah-ditetapkan terlalu tinggi untuk para-sejarawan-praktisi, karena disana mungkin ada penyebab-penyebab-yang-diperlukan yang hampir tak-terbatas agar peristiwa-sejarah apapun dapat terjadi.

Bahwa pembunuhan terhadap Archduke Ferdinand adalah sebuah penyebab perang-dunia-pertama adalah jelas. Namun diperlukan juga sejumlah penyebab-lain yang tidak-bisa-dideskripsikan, penyebab ekonomi, sosial, politis, geografis dan bahkan faktor-faktor-personal yang mengarah kepada semacam sebuah fenomena dengan jangkauan-luas dan kompleks agar terjadi persis seperti yang-telah-terjadi.

Apakah Gavrilo Princip tidak diasosiasikan dengan gerakan Young Bosnian, apakah gaya-gravitasi telah gagal-berkerja pada hari yang menyebabkan peluru-peluru melayang ke atas tanpa melukai, apakah aliansi Austro-Hungarian tidak menguasai provinsi-provinsi Slavia selatan, apakah Franz Ferdinand memutuskan untuk tetap tinggal di rumah pada tanggal 28 juni 1914 ---adakah dari kondisi-kondisi diatas aktual, perjalanan sejarah telah dicapai.

Oleh karena itu, pertentangan kondisi -kondisi yang berlawanan adalah diperlukan agar berhasil memproduksi hasil-keluaran-yang-petsis dengan yang-diperoleh.

Karena akan menjadi tidak-mungkin jika tidak konyol, bagi seorang sejarawan untuk berusaha mencatat semua-ini, ia harus mengakui bahwa penjelasannya gagal untuk memuaskan kriteria-positivistik dan oleh karenanya tetaplah hanya suatu penjelasan-yang-parsial ---dalam frase Hempel disebut sebuah 'sketsa-penjelasan'

R.G. Collingwood kembali berpengaruh dalam mengalihkan pandangan-positivis dengan membedakan antara penyebab dan motif. Penyebab-penyebab fisik seperti senjata yang berfungsi baik atau hadirnya gaya-gravitasi adalah pasti-diperlukan bagi pembunuhan-itu dalam suatu pengertian fisik yang ketat.

Namun tidak-ada sejarawan yang risau untuk menyebut penyebab-penyebab itu. Mereka hanya menyebut motif-motif ---alasan-alasan yang dimiliki para-pelaku untuk melaksanakan aksi-aksi mereka---, secara tipikal mengacu pada : Apa motif yang dimiliki Princip untuk menembak dan apa motif-motif yang dimiliki para pemimpin Jerman, Prancis dan Rusia memobilisasi tentara mereka

Bagi Collingwood, suatu penjelasan yang memadai, melibatkan penjelasan alasan-alasan mengapa aktor-aktor-kunci turut berperan dalam sebuah peristiwa persis seperti yang telah dilakukan.

Meski teori Collingwood secara intuitif lebih bersifat memberi-saran dan lebih cocok dengan karakter kebanyakan penjelasan-historis, sejumlah filsuf telah mencatat kekurangannya (ketidak-sempurnaannya)

Yang pertama adalah Collingwood menganggap sebuah kebebasan-memilih yang bersandar pada cara-cara di luar pemahaman-kognitif pada pelaku

Alasan-alasan yang sama yang diduga berpengaruh efektif secara kausalitas seringkali cukup berupa justifikasi-justifikasi-retrospektif yang dipasok oleh para-pelaku, yang dalam realitas bertindak tanpa kesadaran pemikiran dan pertimbangan yang dalam.

Kedua, bahkan jika kebebasan-memilih telah diasumsikan, transparansi terhadap motif yang dimiliki oleh pelaku tidak-ada.

Collingwood seringkali tertarik kepada suatu motif-partikular sebagai apa yang akan dipilih untuk dilakukan oleh suatu ada-yang-rasional dalam situasi tertentu.

Namun, standar-standar mengenai kemasuk-akalan itu lebih sering mengkhianati proyeksi sejarawan itu sendiri daripada sesuatu yang dapat didemonstrasikan secara psikologis.

Ketiga, sebagai sejarawan-sendiri seringkali mencatat, banyak tindakan bukanlah hasil dari motif-motif para-pelakunya namun dari sejumlah-motif dengan hasil-keluaran tidak dapat diprediksi.

Motif Princip Gravilo untuk membunuh sama sekali bukanlah untuk memulai sebuah konflik dunia yang luas, lebih lagi Robert E. Lee yang menangkap John Brown di Harper Ferry jelas bukan dimaksudkan untuk memicu perang saudara Amerika.

Kedua tindakan itu, meski demikian merupakan penyebab-krusial terhadap konsekuensi-konsekuensi yang tidak-mampu dilihat oleh aktor-utama apalagi menginginkannya.

Mengikuti konsep-sebab-akibat dalam teori-hukum yang dikenalkan oleh H.L.A. Hart (1907-1992) and Tony Honoré (1921-), beberapa filsuf menimbang penentuan-asal penyebab-yang-cukup dalam sejarah disamakan dengan sebuah deskripsi mengenai intensi dan abnormalitas.

Sama seperti di dalam kasus-kadus-hukum, dimana kondisi-kondisi dalam sejarah meenjadikan-normal yang abnormal atau keputusan-yang-tidak-tipikal atau peristiwa diberikan beban tanggung-jawab terhadap segala-apa-yang-dihasilkannya.

Dalam contoh kita, tentang penyebab perang-dunia-pertama, sejarah panjang perdebatan/pertentangan politik yang terus-menerus antara kekuatan-kekuatan-besar tentu saja merupakan bagian penting dari cerita, namun peristiwa pembunuhan terhadap Archduke diberi-tanggung-jawab sebagai penyebab karena peristiwa itu berdiri sangat-tidak-tipikal berada di luar konteksnya.

Perubahan dalam berpikir tentang penyebab-penyebab-historis sebagai entitas-metafisis yang menjadi-penyebab perubahan-dirinya menjadi sebuah paket dasar-dasar-epistemologis yang menjelaskan mengapa perubahan yang terjadi telah mengarahkan sejumlah filsuf-masa-kini untuk mengadopsi pemahaman kounterfaktual dari David Lewis (1941-2001)

" Kita berpikir tentang sebuah-penyebab sebagai sesuatu yang membuat sebuah perbedaan, dan perbedaan yang dibuatnya haruslah berbeda dari apa yang akan terjadi tanpanya. Seandainya penyebab-itu tidak-ada ---setidaknya beberapa diantaranya, dan biasanya semuanya--- akan tidak-ada juga. " (Lewis 1986, 161)

Kounterfaktual telah lama digunakan oleh para-sejarawan dengan cara-pengertian-umum bahwa menentukan-asal penyebab-yang-memadai kepada objek atau peristiwa yang memiliki konsekuensi tidak-dapat-terjadi tanpa adanya penyebab itu, dalam bentuk ' jika penyebab itu selain A, B tidak-akan-terjadi' atau 'tidak-ada B tanpa adanya A'

Untuk menyesuaikan contoh kita sebelumnya, seseorang mungkin dapat-dibenarkan berpikir pembunuhan terhadap Archduke Ferdinand adalah penyebab-yang-cukup terjadinya perang-dunia-pertama jika-dan-hanya-jika seseorang berpikir perang-dunia-pertama tidak-akan-terjadi tanpa-adanya peristiwa itu.

Namun, meski kounterfaktual cukup mudah diuji secara ilmiah dengan menjalankan banyak-percobaan yang mengontrol terhadap variabel-variabel yang ditanyakan, sifat ketidak-berulangan peristiwa-peristiwa sejarah menjadikan pernyataan-pernyataan kounterfaktual-tradisional tidak-lebih dari spekulasi-spekulasi yang menarik.

Untuk bertanya bagaimana Roma akan berkembang seandainya Julius-Caesar tidak-pernah menyeberangi sungai Rubicon mungkin suatu percobaan pemikiran yang mengesankan, namun tidak-ada yang dapat-diverfikasi dari kejauhan karena sebuah kondisional bertentangan-dengan-fakta secara definisi tidak-dapat diuji hanya dengan satu terjadinya fakta.

Lewis merevisi pemahaman kounterfaktual-tradisional ini untuk memasukan makna-makna mengenai dunia-dunia yang mungkin paling-mirip, dimana di dalam dua-dunia dianggap identik-seluruhnya kecuali satu-perubahan yang menjadi sebab peristiwa yang ditanyakan terjadi.

Di bawah gambaran sebelumnya tentang kondisi-kondisi yang diperlukan untuk terjadi perang-dunia-pertama, peristiwa pembunuhan Franz Ferdinand ditimbang sebagai kondisi-yang-diperlukan.

Sebagai ganti, versi yang telah direvisi Lewis menyajikan dua-dunia-yang-paling-mirip, dunia 'A' dimana pembunuhan terjadi dan dunia 'B' yang identik pada semua-hal kecuali bahwa pembunuhan tidak terjadi.

Di bawah model ini, adalah yang paling-baik untuk dapat diperdebatkan apakah perang tidak-akan-terjadi di dunia 'B' dalam atmosfir politik yang sangat-tegang di Eropa pada saat itu.

Dan dengan begitu kita dipanggil untuk bertanya apakah pemberian-tanda sebuah peran-penyebab terhadap pembunuhan itu dibenarkan.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H8
Pemahaman Pribadi