Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, September 21, 2019

Objektivitas 4 : Pesoalan Metafisika


Persoalan Metafisika

Dalam metafisika, sebagai contoh dalam studi-filosofis mengenai sifat-dasar-kodrat (nature) pada realitas, topik tentang objektivitas mengemukakan kebingungan filosofis mengenai sifat-dasar dari 'diri' (the-self).

Menurut hampir semua teori metafisika, subjek yang mem-persepsi adalah juga suatu objek-potensial bagi persepsi-persepsi orang-lain. Lebih jauh lagi seseorang dapat mem-persepsi dirinya-sendiri sebagai sebuah objek disamping juga mengetahui kondisi-subjektif yang dimiliki dirinya secara jujur dan langsung.

Diri (the-self) kemudian dipahami baik sebagai objek maupun subjek. Pengetahuan tentang 'diri' sebagai objek tampak sangat berbeda dengan pengetahuan tentang 'diri' sebagai subjek.

Perbedaan-perbedaan yang paling jelas ditemukan pada bukti-bukti yang ditunjukan dalam filsafat-pikiran (philosophy of mind). Para filsuf yang membahas pikiran berupaya untuk mendamaikan, dalam sebuah pengertian, apa yang kita ketahui berkenaan dengan pikiran secara objektif dan apa yang kita ketahui secara subjektif.

Penyelidikan terhadap hal-hal yang-ada-dalam-pikiran (minded-beings) sebagai sebuah objek merupakan pusat-perhatian pada metode-metode psikologi, sosiologi dan sain yang menyelidiki otak manusia.

Mengamati hal-hal yang-ada-dalam-pikiran seseorang dari sudut pandang subjektif adalah sesuatu yang biasa dilakukan oleh kita-semua dan itu adalah pusat dari pemahaman-umum-kita tentang sifat-dasar-kodrat dari pikiran.

Masalah mendasar pada filsafat-pikiran adalah untuk menjelaskan bagaimana suatu-objek seberapa-pun kompleksnya, dapat muncul dalam pikiran seperti kita mengetahui-nya dari sudut pandang subjektif. Yaitu bagaimana bisa suatu 'yang-hanya-benda' membangkitkan kesadaran dengan kompleksitas yang kaya ketika kita mengalami-nya ?

Persoalan tersebut menunjukan cukup dapat dikonsepsikan bahwa terdapat ciptaan yang sama-persis dengan kita ketika dipandang sebagai objek, tetapi tidak memiliki apapun seperti pengertian kesadaran kita terhadap diri-kita sebagai subjek. Sehingga terdapat pertanyaan mengapa kita memiliki kesadaran-subjektif tentang pengalaman dan bagaimana itu terjadi.

Para filsuf juga berjuang untuk menjelaskan jenis hubungan-hubungan apa yang mungkin dapat ditemukan antara pikiran pada saat kita melihat-nya sebagai kesatuan secara objektif dengan pikiran pada saat kita mengalami-nya secara subjektif, sebagai contoh : adakah hubungan sebab-akibat dan bagaimana itu bekerja ?

Topik tentang memandang orang-lain dan bahkan diri-sendiri sebagai objek dalam dunia-objektif adalah persoalan metafisika tetapi juga mengemukakan persoalan etika terkait dengan perlakuan terhadap orang lain. Disamping itu terdapat persoalan-filosofis khusus mengenai penegasan terhadap objektivitas etika.


Sumber :
https://www.iep.edu/objectiv/#H3
Pemahaman Pribadi



Saturday, September 14, 2019

Objektivitas 3 : Persoalan Epistemologis ( 3 )


e. Pembelaan Pengetahuan Objektif

Melawan pandangan skeptisisme terhadap realitas-objektif, dapat dikonsepsikan bahwa terdapat 'penanda-penanda' suatu kategori pada pengalaman-pengalaman-subjektif kita yang membedakan antara persepsi-persepsi yang dapat-diyakini sebagai kebenaran-objektif dengan ilusi-ilusi yang dibangkitkan secara murni-subjektif (misal halusinasi, salah-persepsi, atau persepsi-persepsi terhadap kualitas-sekunder).

Sebagai contoh, Descartes menulis-tentang 'kesan-kesan yang jelas-dan-terpilah' sebagai kesan-kesan yang memiliki satu 'tanda-inheren' seperti ada-nya, sebuah penguji terhadap keyakinan-akan-kebenaran (reliabilitas) yang dimiliki oleh kesan-kesan tersebut sebagai petunjuk (indikator) mengenai bagaimana sesuatu ada secara objektif. Namun sejak Descartes menyatakan kepastian pengetahuan diperoleh dari ide/gagasan yang jelas-dan-terpilah, gagasan ini tidak banyak yang membela sekarang ini.

Yang paling bisa diterima oleh para filsuf hari ini adalah pernyataan yang lebih umum mengenai suatu keyakinan-akan-kebenaran dengan kemungkinan-yang-tinggi pada kesan-kesan-subjektif dihubungkan dengan suatu 'tanda-tanda' tertentu.

'Tanda-tanda' pada kesan-kesan yang dapat di-yakini-kebenaran-nya secara objektif bukanlah 'jelas-dan-terpilah' dalam pengertian Descartes, tetapi 'tanda-tanda' yang mempunyai hubungan dengan pengertian umum gagasan-gagasan yang masuk-akal terkait dengan kondisi-kondisi lingkungan perseptual yang optimal.

Oleh karenanya, para pembela pengetahuan-objektif disarankan lebih baik mencari 'tanda-tanda' yang dapat diakses secara subjektif, yang menunjukan suatu kemungkinan-kebenaran yang tinggi.

Seorang pembela ada-nya peluang (prospek) memperoleh pengetahuan-objektif tampaknya juga menghendaki untuk memberi nilai-penting kepada kesepakatan-antar-subjek.

Penegasan-penegasan terhadap kesepakatan-antar-subjek tentu didasarkan pada kesan-kesan-subjektif seseorang dan subjek-lain yang sepakat dengan penilaian-penilaian yang dimiliki oleh-nya.

Sehingga, kesepakatan-antar-subjek hanyalah satu jenis 'tanda', seseorang dapat menggunakan-nya untuk melakukan identifikasi kepada kesan-kesan yang lebih dapat di-yakini-kebenaran-nya.

Ini adalah penalaran-umum yang sederhana. Kita jauh lebih-yakin terhadap penilaian-penilaian kita (seharusnya) ketika kesan-kesan yang dipersepsi oleh kita juga dimiliki secara virtual oleh siapapun yang dengan-nya kita membahas kesan-kesan itu daripada ketika subjek-lain tidak sepakat. Kesesuaian menunjukan suatu 'tanda' kemampuan perseptual yang normal dan suatu pikiran yang masuk-akal.

Meskipun demikian, sebuah pusat anggapan dibalik pola umum penalaran ini, adalah sesungguhnya terdapat banyak subjek-lain yang juga mem-persepsi objek yang sama dan kita semua, setidaknya kadang-kala, mampu untuk mengetahui realitas-objektif.

Anggapan lain memandang bahwa realitas-objektif adalah konsisten secara logis. Menganggap realitas adalah konsisten, selanjutnya berarti penilaian-penilaian anda dan saya yang tidak-sesuai secara logis mengenai suatu hal/benda keduanya tidak-dapat menjadi benar. Ketidak-sepakatan-antar-subjek menunjukan kesalahan setidaknya salah satu diantara kita.

Seseorang juga dapat mengajukan pendapat bahwa kesepakatan-antar-subjek hanya menunjukan kemungkinan-kebenaran (probabilitas-kebenaran dan bukan kebenaran itu sendiri), karena pemahaman kesepakatan tidak seperti saya dan anda yang sama-sama salah dalam penilaian kita terhadap sebuah objek dan salah melalui cara yang sama persis. Namun sebaliknya, jika kita berdua salah berkenaan dengan suatu objek, hal tersebut seperti masing-masing melakukan penilaian-penilaian-salah yang berbeda, karena terdapat cara yang tak terhitung bagi kita untuk membuat suatu kesalahan penilaian terhadap sebuah objek


f. Tidak adakah jalan lepas dari Subjektivitas ?

Disamping cara-cara masuk-akal dalam berdebat bahwa ketidak-kesepakatan-antar-subjek menunjukan kesalahan dan kesepakatan-antar-subjek menunjukan kemungkinan-kebenaran (probabilitas-kebenaran), para pembela pengetahuan-objektif semuanya menghadapi ketakutan-filosofis yang menantang untuk menyediakan argumen kuat yang menunjukan bahwa apapun yang diduga sebagai satu 'tanda' keyakinan-akan-kebenaran (termasuk kesepakatan-antar-subjek) benar-benar memberi suatu kemungkinan-yang-tinggi terhadap kebenaran secara aktual.

Tugas tersebut tampak mensyaratkan pra-anggapan suatu metode untuk menentukan kebenaran-objektif melalui proses penentuan satu-kategori-tertentu pada kesan-kesan-subjektif sebagai petunjuk yang dapat-diyakini kebenaran-nya.

Begitulah, kita memerlukan suatu cara independen (non-subjektif) dalam menentukan kesan-kesan-subjektif mana yang menjadi dasar pengetahuan realitas-objektif sebelum kita menemukan 'penanda-penanda' pada kesan-kesan-subjektif yang di-yakini-kebenaran-nya yang dapat di akses secara subjektif.

Metode-independen semacam apakah yang bisa diperoleh, karena setiap metode pengetahuan, penilaian atau bahkan pemikiran tampak cukup jelas berlangsung di dalam dunia kesan-kesan-subjektif ?

Sepertinya seseorang tidak dapat keluar dari kesan-kesan-subjektif yang dimiliki-nya untuk menguji tingkat-keyakinan-akan-kebenaran pada kesan-kesan-subjektif.

Peluang (prospek) untuk memperoleh pengetahuan terhadap dunia-objektif dihambat oleh keterbatasan esensial kita di dalam kesan-kesan subjektif itu sendiri.



Sumber:
https://www.iep.utm.edu/objectiv/#SH2e
Pemahaman Pribadi


Objektivitas 3 : Persoalan Epistemologis ( 2 )


c. Kualitas Primer dan Sekunder : Dapatkah Kita Mengetahui Kualitas Primer ?


Locke mengajukan pendapat bahwa ada suatu kualitas-primer dan kualitas-sekunder pada sebuah benda. Menurut perbedaan yang dikemukakan Locke, kesan-kesan-subjektif yang kita miliki adalah tidak-sesuai dengan realitas-objektif-apa-pun dalam benda-benda-yang-di-persepsi oleh kita.

Sebagai contoh, tidak-ada persepsi kita terhadap suara yang-seperti vibrasi-vibrasi fisik aktual yang kita ketahui sebagai asal-penyebab dari pengalaman-subjektif kita. Tidak-ada persepsi kita terhadap warna yang-seperti kombinasi-kombinasi kompleks dari bermacam frekuensi radiasi elektromagnetik yang kita ketahui sebagai asal-penyebab persepsi kita terhadap warna.

Locke menegaskan bahwa melalui sain, kita dapat mencapai/memperoleh pengetahuan mengenai karakteristik-primer suatu objek yang dimiliki-dalam-diri-nya-sendiri.

Dia berkata, sain mengajarkan kepada kita, suara seperti-yang-di-persepsi oleh kita tidak-ada dalam objek itu sendiri sedangkan dimensi spasial (ruang), masa, durasi, gerak dan lain-lain adalah ada-di-dalam objek itu sendiri.

Untuk menanggapi pendapat ini, seseorang dapat menyatakan bahwa, melalui sain kita mengetahui bahwa penyebab tidak-ada-sesuatu-pun-dalam-objek yang sesuai dengan kesan-kesan-subjektif kita tidak-lain adalah sifat-objektif-yang-sebenarnya dari objek itu sendiri.

Sehingga pendekatan Locke mengarah kepada optimisme terhadap pengetahuan-objektif sebagai contoh pengetahuan tentang hal/benda yang tidak-bergantung pada persepsi-persepsi kita kepada-nya.


d. Skeptisisme terhadap Pengetahuan tentang Realitas-Objektif 

Dalam menanggapi terhadap garis penalaran yang diajukan Locke, untuk menandai/menyebut objektivitas-murni Immanuel Kant menggunakan ekspresi/ungkapan/istilah 'benda-dalam-dirinya-sendiri' (the things-in-itself).

Benda-dalam-dirinya-sendiri adalah objek seperti ada-nya-dalam-diri-nya-sendiri, yang tidak bergantung pada sifat-sifat persepsi-subjektif apa-pun terhadap-nya.

Sementara Locke optimis terhadap pengetahuan-saintifik mengenai karakterisitik-objektif-yang-sesungguhnya (primer) dari benda-benda, Kant dipengaruhi oleh argumen-argumen skeptis dari David Hume yang menyatakan bahwa kita tidak-dapat mengetahui apa-pun mengenai sifat-sifat-sesungguhnya dari 'benda-dalam-dirinya-sendiri' selain bahwa itu ada.

Menurut Kant pengetahuan-saintifik adalah pengetahuan-sistematik mengenai sifat-sifat benda sebagai benda yang menampakan-diri kepada kita dan tidak sebagai 'benda-dalam-diri-nya sendiri'.

Menggunakan perbedaan yang dikemukakan oleh Kant, kesepakatan-antar-subjek tidak hanya tampak menjadi bukti-terbaik yang dapat dimiliki kita mengenai kebenaran-objektif tetapi merupakan penyusun kebenaran-objektif-itu sendiri. (Ini mensyaratkan suatu kesepakatan-antar-subjek yang sempurna secara teoritis di bawah kondisi-kondisi ideal)

Berawal dari asumsi bahwa kita dapat memiliki pengetahuan hanya untuk benda-benda yang tampak dalam pengalaman-subjektif, pengertian yang masuk akal untuk istilah objektif akan menjadi penilaian-penilaian yang terhadapnya dapat dicapai kesepakatan-antar-subjek yang universal. Bila secara alternatif kita memutuskan untuk membatasi istilah objektif kepada 'benda-dalam-diri-nya-sendiri' maka, menurut Kant tidak akan ada pengetahuan-objektif. Pemahaman tentang objektivitas oleh karenanya menjadi tidak berguna, bahkan mugkin tidak bermakna sama sekali (katakanlah bagi seorang yang melakukan verifikasi).

Menghadapi setiap serangan skeptisime pengetahuan terhadap realitas-objektif dalam pengertian yang kaku dan ketat, kita harus menggaris-bawahi bahwa pemahaman tentang ada-nya suatu realitas-objektif adalah tidak-bergantung kepada sikap khusus apa-pun terhadap prospek/kemungkinan kita untuk dapat mengetahui realitas-objektif-itu dalam pengertian objektif apapun.

Dengan kata lain, seseorang sepakat bahwa gagasan suatu realitas-objektif, yang ada-seperti-ada-nya terlepas dari persepsi-subjektif-apa-pun terhadap-nya, tampak masuk akal bahkan bagi setiap orang diantara kita yang memegang sedikit harapan untuk dapat mengetahui bahwa ada realitas semacam itu atau mengetahui apa-pun secara objektif mengenai suatu realitas semacam itu.

Mungkin situasi kemanusiaan kita sedemikian rupa sehingga kita tidak dapat mengetahui apa-pun yang melampaui pengalaman kita. Mungkin kita (setiap diri kita secara individual) dibatasi oleh teater/pertunjukan dari pikiran-pikiran kita sendiri. Namun demikian kita dapat menangkap konsep apa makna menyatakan sebuah realitas-objektif yang melampaui arus pengalaman-pengalaman kita.



Sumber:
https://www.iep.utm.edu/objectiv/#SH2c
Pemahaman Pribadi


Wednesday, September 11, 2019

Objektivitas 3 : Persoalan Epistemologis ( 1 )


a. Dapatkah kita mengetahui realitas-objektif ?


Subjektif terutama dicirikan kepada pikiran-yang-mem-persepsi. Objektif dicirikan terutama oleh ekstensi-fisik ke dalam ruang dan waktu.

Beberapa perbedaan paling sederhana antara penilaian-subjektif dan realitas-objektif di-ilustrasi-kan dengan baik oleh contoh yang dikemukakan John Lock dengan seseorang yang mencelupkan tangan-kiri-nya ke dalam air-es sementara tangan-kanan-nya ke dalam air-panas untuk beberapa saat. Selanjutnya, ketika ia memasukan kedua-tangan-nya ke dalam ember yang berisi air-hangat yang suam-suam-kuku, ia sekaligus mengalami dua pengalaman-subjektif yang saling-bertentangan secara bersamaan dan satu realitas-objektif yang sama. Tangan-kiri-nya merasa dingin dan tangan-kanan-nya merasakan panas. Oleh karenanya pikiran seseorang yang mem-persepsi suatu objek dapat menangkap kesan-kesan yang sangat berbeda secara bersamaan dan beriringan dari suatu objek-tunggal.

Dari pengalaman tersebut, tampak akan sesuai bahwa dua pikiran yang berbeda dapat memiliki kesan-kesan yang sangat berbeda terhadap suatu objek-tunggal. Begitulah dua orang dapat memasukan masing-masing tangan-nya ke dalam air yang sama. Satu orang menggambarkannya sebagai air-yang-dingin dan orang yang lain menggambarkan sebagai air-yang-panas. Atau lebih masuk akal lagi, dua orang melangkah keluar rumah, satu orang menggambarkan cuaca di luar yang dingin sedang orang yang lain cuaca yang sejuk.

Kemudian kita melawankan dengan sebuah tantangan epistemologis, apakah dan jika bisa bagaimana, kesan-kesan subjektif dapat menuju kepada pengatahuan realitas-objektif. Seorang 'skeptis' mengajukan pendapat bahwa pengetahuan kita adalah terbatas pada dunia kesan-kesan-subjektif yang kita miliki, yang membuat kita tidak akan memiliki pengetahuan realitas-objektif sebagai benda-dalam-dirinya-sendiri.


b. Apakah kesepakatan-antara-subjek menunjukan pengetahuan-objektif ?

Pengukuran adalah dugaan suatu alat untuk mencapai penilaian-objektif, sebuah penilaian yang setidaknya memiliki kemungkinan-tinggi untuk menyatakan kebenaran mengenai realitas-objektif.

Dengan pengukuran, suatu penilaian-objektif terhadap cuaca, yang sangat-berbeda dengan dua gambaran-subjektif yang saling-bertentangan pada contoh di atas (dingin atau sejuk), akan menggambarkan cuaca sebagai katakanlah udara bersuhu 20 C (68 F).

Penilaian ini dihasilkan dari pemakaian suatu alat ukur. Alat ukur tidaklah seperti dua subjek-yang-mem-persepsi objek seperti contoh di atas, dengan menggunakan fungsi termometer akan memiliki / memperoleh penilaian yang berbeda terhadap udara di luar.

Contoh dari dua orang yang memberikan laporan berbeda mengenai cuaca (dingin atau sejuk) memberi ilustrasi bahwa adanya variasi pada penilaian oleh beberapa subjek yang berbeda adalah indikator kemungkinan subjektivitas dalam penilaian-penilaian mereka.

Adanya kesepakatan/persetujuan kepada satu-penilaian diantara beberapa penilaian-subjek yang berbeda-beda misal dari contoh di atas 'udara bersuhu 20 C' seringkali diterima sebagai indikasi / petunjuk dari objektivitas.

Para filsuf biasa menyebut bentuk kesepakatan/persetujuan seperti itu sebagai kesepakatan-antar-subjek (intersubjective agreement)

Apakah kesepakatan-antar-subjek membuktikan bahwa disana ada kebenaran-objektif ?

Jawabnya adalah tidak, karena mempunyai/adanya satu atau tiga atau bahkan lebih subjek-yang-setuju dengan sebuah gambaran-subjektif, sebagai contoh, gambaran bahwa udara di luar sangat-dingin, tidak mengeluarkan kemungkinan adanya subjek-lain yang berpendapat bahwa udara di luar sama sekali tidak-dingin.

Akankah kita memiliki tingkat kecocokan yang tinggi terhadap kebenaran-objektif jika kita memiliki kesepakatan-antar-subjek dengan jumlah subjek yang sepakat banyak ?

Garis penalaran ini tampak menjanjikan, tetapi tidak bagi penelitian lain dari John Lock mengenai adanya kemungkinan perbedaan antara kesan-kesan-subjektif dan realitas-objektif.


Sumber:
https://www.iep.utm.edu/objectiv/#SH2a
Pemahaman Pribadi


Sunday, September 8, 2019

Objektivitas 2 : Pemakaian Dan Makna


Banyak para filsuf menggunakan istilah 'realitas-objektif' untuk merujuk/menunjuk/mengacu kepada apa-pun yang 'ada' seperti ada-nya, yang tidak-bergantung pada suatu kesadaran apa-pun terhadap-nya (melalui persepsi, pikiran dll)

Objek-fisik umum dengan kategori tengah-tengah antara objek-objek fisik dan non-fisik (misal, warna, suara dll), kepada-nya diterapkan seperti halnya realitas pada seseorang yang memiliki kondisi-subjektif. Realitas-subjektif (ditafsirkan secara luas) kemudian akan mencakup apa-pun yang-keberadaan-nya bergantung pada suatu kesadaran terhadap-nya.

Warna-warna dan suara-suara tertentu (ketika di-persepsi) adalah contoh-utama dari suatu yang 'ada' hanya ketika terdapat kondisi-kesadaran yang sesuai/memadai untuk keberadaan-nya.

Emosi-emosi tertentu (misal, kebahagiaan saya sekarang-ini) juga tampak menjadi suatu realitas-subjektif, suatu yang 'ada' ketika seseorang merasakan-nya dan mengejar untuk 'ada' ketika perasaan (mood) seseorang berubah.

'Pengetahuan-objektif' hanya dapat mengacu kepada pengetahuan mengenai suatu realitas-objektif. Dengan demikian 'pengetahuan-subjektif' merupakan pengetahuan apa-pun tentang realitas-subjektif.

Namun demikian, terdapat pemakaian lain yang berkaitan dengan istilah objektivitas. Banyak filsuf menggunakan istilah 'pengetahuan-subjektif' hanya untuk merujuk/menunjuk/mengacu kepada pengetahuan-pada-seseorang yang memiliki kondisi-subjektif

Pengetahuan semacam itu dibedakan dari pengetahuan-seseorang terhadap kondisi-subjektif yang dimiliki orang-lain dan dari pengetahuan tentang realitas-objektif, yang keduanya menjadi pengetahuan-objektif sesuai definisi yang ada di atas.

Pengetahuan anda mengenai kondisi-subjektif yang dimiliki orang-lain dapat disebut pengetahuan-objektif karena kondisi-subjektif pada orang-lain diperlakukan/dipandang sebagai bagian dunia yang berarti suatu 'objek' bagi anda, sama-persis seperti anda dengan kondisi-subjektif yang dimiliki anda adalah bagian dari dunia yang berarti suatu 'objek' bagi orang-lain

Hal tersebut merupakan perbedaan penting dalam epistemologi (studi-filosofis tentang pengetahuan) karena banyak para filsuf tetap mempertahankan pengetahuan-subjektif dalam pengertian di atas mempunyai status-spesial.

Secara kasar, mereka menegaskan bahwa pengetahuan-seseorang yang memiliki kondisi-subjektif adalah langsung menjadi pengetahuan-subjektif, dalam pengertian bahwa pengetahuan-apa-pun selain-itu tidaklah demikian.

Akan lebih mudah untuk menunjuk/menyebut pengetahuan-pada-seseorang yang memiliki kondisi-subjektif hanya sebagai pengetahuan-subjektif. Mengikuti definisi ini, pengetahuan-objektif merupakan pengetahuan apa-pun selain pengetahuan-seseorang yang memiliki kondisi-subjektif.

Terakhir satu gaya pemakaian yang penting terhadap istilah yang berhubungan dengan objektivitas adalah berkaitan dengan karakteristik klaim-dukungan yang dimiliki pengetahuan tertentu.

'Pengetahuan-objektif' dapat menunjuk kepada klaim-pengetahuan dengan status didukung-penuh atau telah terbukti-kebenarannya. Sesuai dengan itu, 'pengetahuan-subjektif' dapat merujuk kepada klaim-pengetahuan yang tidak mempunyai dukungan atau didukung secara lemah kebenaran-nya.

Adalah lebih akurat untuk menunjuk klaim-pengetahuan sebagai penilaian-penilaian objektif dan subjektif daripada pengetahuan-objektif atau pengetahuan-subjektif, tetapi seseorang seharusnya waspada untuk penggunaan istilah 'pengetahuan' dalam konteks ini

Pemakaian di atas sesuai dengan konotasi-umum terhadap pengertian istilah 'objektivitas' sebagai kebulatan (soliditas), keyakinan/kepercayaan,akurasi, ketidak-berpihakan dan lain-lain. Sementara konotasi-umum untuk banyak pemakaian istilah 'subjektivitas ' termasuk didalamnya adalah ketidak-percayaan, bias, sebuah perspektif (personal) yang tidak lengkap dan lain-lain.

'Penilaian-objektif atau keyakinan' mengacu pada sebuah penilaian atau keyakinan yang didasarkan pada dukungan-kuat bukti-bukti secara objektif, yaitu sejumlah bukti yang akan membangkitkan-keyakinan bagi setiap ada-rasional apa-pun.

Sebuah penilaian-subjektif maka akan tampak menjadi sebuah penilaian atau keyakinan yang didukung oleh bukti-bukti yang membangkitkan-keyakinan pada beberapa ada-rasional (subjek) tetapi tidak bagi ada-rasional yang lain. Hal itu juga dapat merujuk pada sebuah penilaian yang didasarkan pada bukti yang hanya diperlukan bagi sejumlah subjek tertentu.

Yang tersebut di atas adalah pemakaian-utama untuk istilah dalam bahasan-bahasan filosofis. mari kita memeriksa beberapa persoalan-utama epistemologis terhadap objektivitas, dengan terlebih dahulu mengambil asumsi definisi-definisi yang telah disebutkan sebelumnya tentang realitas-objektif dan realitas-subjektif.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/objectiv/#H1
Pemahaman Pribadi



Friday, September 6, 2019

Objektivitas 1 : Pendahuluan


Istilah 'objektivitas' dan 'subjektivitas', dalam pemakaian modern, secara umum berhubungan dengan suatu subjek yang mem-persepsi (biasanya seseorang) dan objek yang di-persepsi atau objek-objek yang tidak-di-persepsi.

Mem-persepsi berarti melakukan proses menangkap, mengenali, mengolah, menyusun, informasi-informasi-sensorik yang diterima melalui indra kemudian melakukan interpretasi/menafsir, membuat kesimpulan atau membentuk konsepsi guna memperoleh gambaran atau pengetahuan/pemahaman tentang objek-yang-di-persepsi, dunia dan lingkungan.

Objek adalah suatu 'ada' yang tidak-bergantung pada persepsi-subjek terhadap-nya (independen). Dengan kata lain, objek ada-di-luar-sana seperti ada-nya, bahkan jika tidak-ada subjek yang mem-persepsi terhadap-nya (menyadari/mengetahui/memahami keberadaan-nya). Oleh karena itu, objektivitas biasanya diasosiasikan dengan gagasan seperti realitas, kebenaran dan hal-hal-dasar-yang-diyakini.

Subjek yang mem-persepsi sebuah objek dapat mem-persepsi secara akurat atau mem-persepsi sifat-sifat objek yang sesungguhnya tidak melekat pada objek tersebut. Sebagai contoh subjek yang menderita sakit-kuning akan mem-persepsi sebuah objek sebagai berwarna-kuning meskipun objek tersebut secara aktual tidaklah berwarna-kuning. Oleh karena itu, istilah 'subjektivitas' biasanya menunjukan kemungkinan-kesalahan.

Adanya potensi ketidak-samaan secara aktual antara sifat-sifat pada kesan-kesan-indrawi (perceptual-impressions) yang ditangkap oleh subjek melalui indra dengan kualitas-kualitas-nyata sesungguhnya yang melekat pada objek yang di-persepsi memunculkan pertanyaan-pertanyaan filosofis.

Juga terdapat pertanyaan-pertanyaan filosofis mengenai sifat-dasar dari realitas-objektif dan sifat-dasar realitas pada diri-kita yang disebut juga realitas-subjektif.

Akibatnya, kita memiliki bermacam pemakaian terhadap istilah 'objektif' dan 'subjektif' dengan asal-muasal bahasa-nya yang sama untuk menyatakan ada-nya kemungkinan perbedaan antara realitas-objektif dan kesan-kesan-indrawi yang subjektif.

Para filsuf menyebut/menunjuk/mengacu kepada kesan-kesan-indrawi (perceptual-impressions) itu sendiri sebagai 'ada' yang subjektif atau objektif.

Penilaian-penilaian sebagai 'objektif' atau 'subjektif' selanjutnya menuju ke tingkatan yang berbeda-beda dan kita membagi realitas ke dalam realitas-objektif dan realitas-subjektif.

Oleh karena itu, adalah penting untuk membedakan beragam pemakaian istilah 'objektif' dan 'subjektif'.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/objectiv/
Pemahaman Pribadi



Sunday, September 1, 2019

Eksistensialisme 4 : Pengaruh Eksistensialisme

a. Seni dan Psikologi

Dalam bidang seni-visual eksistensialisme telah memberi banyak pengaruh, yang paling jelas adalah pada gerakan ekspresionisme.

Ekspresionisme dimulai di Jerman pada awal abad ke-20. Dengan penekanan pada pengalaman-subjektif, kecemasan dan intensitas-emosional. Ekspresionisme Jerman mengejar untuk melampaui representasi-realis-yang-naif dan untuk berurusan dengan kecemasan manusia modern (dicontohkan dengan pengalaman-pengalaman mengerikan Perang-Dunia-Pertama).

Banyak dari para seniman-ekspresionisme membaca Nietzsche dengan intensif dan mengikuti pendapat-pendapat Nietzsche tentang evaluasi menggunakan prinsip-prinsip yang berbeda (transvaluasi) terhadap nilai-nilai yang diuji melalui alternatif gaya-hidup (cara menjalani hidup). Karya ukir dari Erich Heckel berjudul Friedrich Nietzsche dari tahun 1905 adalah sebuah pengingat-kuat terhadap gerakan-gerakan yang berkaitan dengan pemikiran para eksistensialis.

Ekspresionisme-abstrak (yang termasuk didalamnya seniman seperti de Kooning dan Pollock dan teoritis seperti Rosenberg) melanjutkan dengan sejumlah tema-tema yang sama di Amerika Serikat dari tahun 1940-an dan cenderung untuk mengangkat eksistensialisme sebagai salah satu panduan-intelektual, khususnya setelah kuliah-keliling dari Sartre pada tahun 1946 dan sebuah produksi karya-nya 'No Exit' di New York.

Ekspresionisme Jerman secara khusus penting selama kelahiran seni-baru dalam perfilman.

Mungkin karya film yang paling dekat dengan perhatian para eksistensialis peninggalan dari F.W Murnau dengan judul 'The Last Laugh' ( 1924 ) didalamnya gerakan kamera yang terus-menerus (yang membentuk figur-awal pedoman pemakaian camera-tangan pada film 'The Danish', dari gerakan pembuatan film Dogma 95) berupaya untuk menahan kecemasan spiritual seorang lelaki yang tiba-tiba menemukan dirinya dalam sebuah dunia tanpa-makna.

Ekspresionisme menyebar menjadi sebuah gaya yang mendunia dalam dunia-perfilman, khususnya pada sutradara-film seperti Lang yang meninggalkan Jerman dan menuju Hollywood. Karya Jean Genet, 'Un chant d Amour' (1950) sebuah eksplorasi gerak-puitis terhadap nafsu/hasrat. Dalam sel-tahanan yang kotor dengan ketakutan-irrasional-ekstrim hasrat narapidana untuk berhubungan-intim terjadi melawan latar-belakang keputus-asaan yang tak-terelakan bagi eksistensi itu sendiri.

Sutradara Eropa seperti Bergman Godard seringkali diasosiasikan dengan tema-tema eksistensialis. Karya Godard berjudul 'Vivre sa vie' (My Life to Live, Kehidupanku untuk Diihayati, 1962) menyatakan secara eksplisit eksplorasi terhadap sifat-alami kebebasan di bawah kondisi-kondisi ekstrim sosial dan tekanan personal.

Pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 gagasan-gagasan para eksistensialis menjadi umum dalam arus-utama perfilman, meresap dalam karya-karya para penulis dan sutradara seperti Woody Allen, Richard Linklater, Charlie Kaufman dan Christopher Nolan.

Adanya fakta bahwa Sartre dan Camus keduanya seorang novelis dan penulis naskah yang terkenal, membuat pengaruh eksistensialisme terhadap kesusastraan tidaklah mengejutkan.

Meski demikian, pengaruh juga terjadi melalui jalur lain. Novelis seperti Dostoevsky atau Kafka dan penulis-drama Ibsen seringkali dikutip oleh para eksistensialis abad pertengahan sebagai pelopor yang penting, setara dengan Kierkegaard dan Nietzsche.

Dostoevsky menciptakan sebuah karakter Ivan Karamazov (dalam karya The Brothers Karamazov 1880) yang memegang pandangan bahwa jika Tuhan mati, maka segalanya diperbolehkan/diijinkan, baik Nietzsche dan Sartre membahas Dostoevsky dengan antusias.

Di dalam drama, pertunjukan-teater tentang hal-yang-absurd dan yang paling jelas pada Beckett telah dipengaruhi oleh gagasan-gagasan para eksistensialis, kemudian para penulis-naskah seperti Albee, Pinter dan Stoppard meneruskan tradisi ini.

Salah satu sosok-kunci psikologi abad ke-20, Sigmund Freud sangat berhutang pada Nietzsche khususnya pada analisisnya terhadap peran psikologi dalam kebudayaan dan sejarah dan untuk pandangan-nya terhadap artefak-kebudayaan seperti drama atau musik sebagai dokumentasi 'ketidak-sadaran' dari tegangan-tegangan psikologis.

Tetapi suatu pengangkatan tema-tema eksistensialis yang lebih-eksplisit ditemukan dalam gerakan 'psikoterapi-eksistensialis' yang luas.

Sebuah tema umum dalam gerakan ini, sebaliknya adalah kelompok yang sangat beragam memandang bahwa psikologi-sebelumnya keliru memahami terhadap sifat-dasar manusia dan khususnya hubungannya dengan manusia-lain dan terhadap tindakan-tindakan pemberian-makna kehidupan, oleh karenanya juga psikologi-sebelumnya telah keliru memahami suatu perilaku 'sehat' kepada diri, manusia-lain dan kemungkinan pemberian makna.

Sosok kunci disini termasuk psikolog Swiss, Ludwig Binswanger dan kemudian Menard Boss, keduanya merupakan pembaca antusias dari Heidegger, Frankl orang Austria, yang menemukan metode terapi-logo, di Inggris Laing dan Cooper yang secara eksplisit dipengaruhi oleh Sartre dan di Amerika Serikat, Rollo May yang menekankan pentingnya kecemasan yang permanen.

b. Filsafat

Secara keseluruhan, eksistensialisme memberi pengaruh-langsung yang relatif-sedikit dalam filsafat.

Di Jerman, eksistensialisme (dan khususnya Heidegger) telah dikritik karena sifat terlalu kabur, abstrak atau bahkan mistis. Kritik tersebut secara khusus dilakukan oleh Adorno dalam The Jargon of Authenticity, dan dalam Dog Years, novelis Gunter Grass memberi kritik sebuah kemiripan dengan Voltair, suatu satire kasar terhadap Heidegger.

Kritik banyak digemakan dalam tradisi analitik. Heidegger dan para eksistensialis juga dituntut karena kurang memberikan perhatian terhadap struktur-sosial-dan-politik atau nilai yang disertai hasil-hasil yang membahayakan.

Di Perancis, filsuf seperti Sartre dikritisi oleh mereka yang baru dibawah pengaruh strukturalisme karena tidak memberikan perhatian yang cukup terhadap sifat-dasar bahasa dan struktur-struktur impersonal dari makna.

Singkatnya, filsafat terus bergerak dan dalam arah yang berbeda. Para filsuf individual masih berpengaruh, meskipun demikian : Nietzsche dan Heidegger secara khusus adalah topik-topik yang sangat hidup didalam filsafat bahkan dalam abad ke-21.

Meskipun demikian, terdapat sejumlah pengaruh-tidak-langsung yang masih penting. Mari kita angkat tiga contoh.

Kedua persoalan tentang kebebasan berhubungan dengan situasi dan nilai penting secara filosofis terhadap apa yang sebaliknya mungkin-muncul menjadi faktor-faktor-kontekstual-eksternal, tetap menjadi kunci meskipun dalam perubahan-rumusan yang dramatis dalam karya Michael Foucault atau Alain Badiou dua sosok sentral pemikiran Eropa hingga akhir abad ke-20.

Demikian juga, pentingnya secara filosofis bahwa para eksistensialis telah meletakan emosi menjadi berpengaruh melegitimasi wilayah-secara-keseluruhan terhadap penyelidikan filosofis bahkan oleh para filsuf yang tidak tertarik pada eksistensialisme.

Begitu juga, eksistensialisme adalah suatu filsafat yang menegaskan filsafat dapat dan seharusnya berkaitan dengan 'dunia-nyata' secara langsung, topik-topik seperti sex, kematian atau kejahatan, adalah topik-topik yang paling sering didekati secara abstrak dalam tradisi-filosofis.

Mary Warnock menulis tentang eksistensialisme dan khususnya Sartre sebagai contoh, sementara juga memiliki peran publik yang sangat penting dan dalam etika terapan baru-baru ini.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2f
Pemahaman Pribadi