Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, February 24, 2018

Gerung Kritik Akademikus


Menarik untuk menyimak pendapat terhadap persoalan kontemporer dari pengamat yang berada di dalam arus tradisi pemikiran akademik dalam satu forum-terbuka.

Artikel ini tentang interpretasi seorang audien terhadap uraian-pendapat yang disampaikan oleh Rocky Gerung, seorang pengamat politik yang menjadi panelis dalam forum-terbuka dengan judul :

" Kekerasan kepada pemuka agama. Adakah dalangnya ? "

Tema yang mengangkat kekerasan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akhir-akhir ini.


Pijakan Teori

Adalah ciri akademisi yang khas dengan melakukan kategorisasi permasalahan ke dalam bidang-studi-khusus lalu membedahnya secara teoritik. Permasalahan yang dikupas dalam forum-itu tercakup dalam spektrum Filsafat-Politik, bidang yang digeluti olehnya baik secara teoritis maupun praktis. Maka tampak jelas ia begitu fasih mengungkapkan pemahamannya terhadap persoalan yang dibahas dengan penjelasan yang dalam, diksi yang berisi, padat, tajam, rasional serta mengkritisi dengan tepat sasaran kepada institusi negara.

Landasan teori yang digunakan sebagai pijakan interpretasi terhadap uraian-pendapatnya adalah teori-negara dari John-Lock yaitu negara sebagai kontrak-sosial. Namun, ditekankan pada titik-pusat, kewajiban utama negara untuk memenuhi kebutuhan-dasar warganya.

Teori-negara John-Lock menjelaskan asal-usul terbentuknya sebuah negara dari kondisi-alamiah manusia. Lock memandang kondisi-awal kehidupan manusia adalah a-politis dalam arti tidak ada lembaga-kekuasaan yang terpusat. Dengan kemampuan masing-masing, individu berusaha mempertahankan semua hak-alamiah yang dimilikinya. Dalam pandangan Lock, hak-alamiah adalah hak yang dianugrahkan Tuhan kepada semua manusia seperti hak mempertahankan kelestarian kelangsungan hidupnya atau mendapatkan kepemilikan materi yang belum diklaim kepemilikannya.

Menurut Lock, kondisi-alamiah tidak stabil dalam dirinya sendiri. Dalam menjalani kehidupan, individu-individu berada dalam ancaman fisik dan tidak mampu mengejar tujuan-tujuannya yang membutuhkan keadaan-stabil dan kerjasama luas dengan yang lain. Individu-individu yang melihat adanya manfaat otoritas-terpusat untuk mengatasi persoalan kongkret memutuskan memberikan sebagian hak-alamiah mereka kepada otoritas-pusat seraya mempertahankan hak-haknya yang lain. Menurut Lock, ini adalah bentuk kontrak-sosial. Oleh karena, dalam kesepakatan melepaskan hak-hak tertentu, individu mendapat perlindungan dari bahaya fisik, memperoleh keamanan atas kehidupannya dan kepemilikan harta benda, dan jaminan kemampuan untuk dapat berinteraksi dan bekerja sama dengan manusia lain dalam lingkungan yang stabil untuk mencapai tujuan hidupnya.

Menurut Lock, negara dilembagakan oleh warga/anggota itu sendiri. Hal ini membawa sejumlah konsekuensi penting bahwa para penguasa menjadi wajib untuk bersikap responsif terhadap kebutuhan dan keinginan warganya. Selanjutnya dalam membangun negara, warga melepaskan beberapa hak namun tidak semua hak-alamiahnya, dengan demikian tidak ada penguasa yang dapat mengklaim dirinya memiliki kekuasaan mutlak atas segala aspek kehidupan warganya. Hal inilah yang menciptakan ruang penting bagi hak-hak individu atau kebebasan.


Pendapat Rocky

Menimbang pijakan-teori di atas, interpretasi terhadap keseluruhan uraian-pendapat yang disampaikannya dalam forum-itu berada di sekitar konsep :

" Kewajiban negara untuk memenuhi kebutuhan-dasar warganya dan bersikap responsif ketika menghadapi persoalan tentangnya, serta memberi ruang cukup bagi hak-hak individu untuk berpikir dan menyampaikan pendapat. "

Konsep di atas menjadi sandaran-utama dalam melakukan interpretasi untuk menarik rumusan Pendapat-Pokok yang terkandung di dalam keseluruhan uraian.

Dengan menyimak kalimat demi kalimat, dalam upaya memahami makna serta kaitan-kaitannya secara logis, sistematis dan kronologis, langkah-langkah interpretasi terhadap keseluruhan uraian, dapat dirangkum dalam struktur sebagai berikut :

1. Menjawab pertanyaan : Adakah dalangnya ?
2. Persoalan Dasar dan Pendapat-Pokok.
3. Argumen Pendukung Pendapat-Pokok.

Namun, sebelum memasuki bahasan satu demi satu secara terstruktur, sebuah peristiwa menarik patut dicermati, dengan alasan, di sana terkandung kemungkinan adanya sesuatu yang memiliki pengaruh-hermeneutik, yang pada gilirannya menentukan bagaimana seseorang memandang suatu persoalan.

Seperti diketahui, sebelum menyampaikan pendapatnya,  Rocky mengungkap keberatannya akan penempatan-fisik posisi duduknya sebagai panelis, dengan gaya-metaforis ia berkata :

" Saya sebetulnya selalu merasa kurang-lega karena berkali-kali tempat saya di sini, nii ! "

Lebih jauh lagi, dengan sedikit canda, Rocky menyindir sang moderator akan kemungkinan adanya konspirasi dengan maksud-maksud yang dicurigainya.

Peristiwa yang dapat ditangkap sebagai sikap penolakan terhadap tuduhan yang beredar akan kondisi in-absensia-netralitas pada dirinya. Tuduhan yang bersifat merendahkan karena bertentangan dengan keutamaan-etik seorang akademisi yang seharusnya tidak-berpihak dan objektif dalam berpandangan. Rocky seolah ingin membela bahwa dirinya seorang akademisi-luhur yang menjunjung tinggi etika-profesi dan moralitas dalam dunia ilmiah. Atau setidaknya itu menunjukkan keterusikan-hatinya atas tuduhan keberpihakan dan keterlibatan dalam politik praktis dan berkehendak membela diri. Disini, sepertinya ia bermaksud meyakinkan bahwa tuduhan yang mengarah pada dirinya adalah tidak benar dengan cara yang ringan namun menggigit.


1. Menjawab pertanyaan : Adakah dalangnya ?

Pendapat Rocky pada forum-itu langsung, tajam, dalam dan menusuk sasaran. Rocky menjawab tanpa basa-basi pertanyaan-tematik : Kekerasan kepada pemuka agama. Adakah dalangnya ? Dia menjawab tegas : Ada !

Namun menambahkan, permasalahan bukanlah ada atau tidak-ada, tetapi : Soalnya dimanaa ? Dengan gaya metaforis-satiris, dia menjawab sendiri pertanyaan itu :

" Tentu gak di Asmat dalangnya tuhh. Jauuhhh ! Sangat-mungkin berada di sekitaran monas ! "

Kemudian, dengan menunjuk analisis-logis dari panelis sebelumnya, perwakilan dari Anshor, Rocky memandang adalah pantas muncul kecurigaan semacam itu jika berpikir secara logis.

Pada bagian lain, Rocky  menegaskan, dengan melakukan analisa-kecil dapat menunjukan bahwa Psikologi-Massa sekarang ini --kondisi kecemasan dan ketakutan masyarakat yang membebani kehidupan politik kita-- dalangnya memang ada.

Kecurigaan-metaforis yang bisa ditafsirkan mengarah kepada motif kekuasaan yang bisa mengenai siapa saja dan pihak mana saja yang terlibat dalam pergulatan perebutan kekuasaan.


2. Persoalan Dasar dan Pendapat-Pokok

Malam itu, Rocky membawa kepada perspektif persoalan mendasar yang menurutnya penting diperhatikan. Dan persoalan itu bukanlah masalah ada atau tidak-ada dalang ataupun kecurigaan terhadap siapa atau pihak mana yang menjadi dalang tetapi mengenai kewajiban-negara yaitu bagaimana negara memenuhi kewajibannya kepada warganya.

Pada bagian awal, Rocky melihat bahwa negara tidak menjalankan kewajibannya dengan baik, dengan tidak memberi respon yang memadai terhadap persoalan kebutuhan-dasar warganya akan keamanan dan kestabilan-lingkungan.

Ia meyakinkan  pandangannya dengan penjelasan yang didasarkan pada tangkapan-fenomenologis dari ucapan kepala-negara ketika menanggapi persoalan yang terjadi.

Rocky menangkap, negara menunjukkan sikap kontradiksi terhadap persoalan yang ada. Bahwa kondisi faktual kehidupan berbangsa dan bernegara sekarang ini begitu mengkhawatirkan dan negara tidak merespon persoalan kongkret dan mendesak dengan memadai sesuai kegentingannya.

Terhadap persoalan yang terjadi, Rocky berpendapat, negara semestinya memberi respon-memadai dengan mengeluarkan pernyataan yang ditujukan kepada seluruh rakyat ( public-address ), agar masyarakat merasa tenang atau paling tidak mengurangi rasa cemas dan takut. Tetapi negara tidak melakukan itu. Rocky memperkuat pendapatnya dengan penjelasan yang mengacu kepada ucapan kepala-negara, yang menurutnya hanya-sampai pada pernyataan-sastrawi dengan kandungan isi informasi nol.

" Jadi anda bayangkan ! Ada kegelisahan ! Ada kecemasan ! Kita hidup di dalam Republic of Fear ! Tetapi reaksi istana hanya puisi sebait itu. Puisi yang isinya tautologi itu. Padahal masalahnya luar biasa, kongkret dan mendesak. ", Begitu sabdanya malam itu.

Di titik ini, melalui ungkapan ekspresif di atas, tidaklah terlalu sulit untuk menangkap bahwa Rocky sudah menetapkan Pendapat-Pokoknya yang menjadi pusat dari seluruh-uraian-pendapatnya terhadap persoalan yang ditinjau. Dengan mengacu pada pijakan-teori di atas, Pendapat-Pokok itu dirumuskan dengan kalimat berikut :

" Negara tidak-mampu melakukan kewajibannya memenuhi kebutuhan-dasar warganya akan jaminan keamanan dari bahaya fisik dan kestabilan-lingkungan-hidupnya dan negara tidak menyediakan ruang cukup bagi hak-hak individu untuk berpikir dan menyampaikan pendapat. "

Terlebih pada bagian berikutnya ia menyatakan :

" ...tetapi sampai sekarang tidak ada satu keteranganpun yang bisa membuat masyarakat kembali menjadi teduh ! Yang ada justru komentar-komentar reaksioner, yang justru menambah kecemasan kehidupan politik yang ada ! "

Rocky sekali lagi mengukuhkan pendapatnya dengan penjelasan berdasar pada ucapan presiden yang dianggapnya sekedar sikap reaksioner terhadap persoalan yang dihadapi.

Selebihnya hingga kalimat penutup, uraian-pendapatnya berupa argumen-argumen yang mengokohkan Pendapat-Pokok. Pilar-pilar kecil penyangga rumah mewah nan megah.

Dari sini hingga akhir, Rocky hanya berjalan membawa lentara di siang bolong.


3. Argumen Pendukung Pendapat-Pokok

Pendapat-Pokok Rocky berdiri atas sokongan sejumlah argumen. Argumen-argumen yang disusun dalam uraian yang mengarah kepada keyakinan-logis-faktual akan ketidak-mampuan negara melakukan kewajibannya kepada warganya terkait pemenuhan kebutuhan-dasar dari berbagai tinjauan.

Kondisi Sosial Politik

Rocky memandang, kehidupan sosial politik sekarang yang tidak sehat, membatasi warga untuk mengartikulasikan kebutuhan dan kepentingan mereka secara bebas. Kondisi yang pada akhirnya menekan ruang diskusi kritis yang terbuka bagi semua warga, sehingga  kualitas percakapan-publik merosot karena terganggu keadaan psikologi akan kecemasan dan ketakutan. Pandangan yang ditangkap dalam kalimat :

" Kalau kita, coba bikin analisis kecil-kecil, tadi saya bilang bahwa psikologi massa, dan itu yang membebani kita, dan coba dikanalisasi forum ini, adalah bahwa dalangnya memang ada ! Tetapi mengucapkan itu, membutuhkan keberanian sehingga orang hanya memberi keterangan Post-Factum. Sebelumnya ada begini-begini oleh karena itu akan begini-begini. "

Masalah Sosial

Rocky berpendapat, persoalan kekerasan pada hakekatnya adalah masalah-sosial yang bersumber dari kondisi kehidupan sosial yang ada. Sementara, negara selama ini selalu memandangnya sebagai masalah-teologis dan menggunakan pendekatan-teologis untuk mengatasi persoalan kekerasan yang dihadapi. Hal yang menjadi sebab usaha negara mengatasi persoalan kekerasan berjalan di tempat. Menurutnya, negara perlu melakukan koreksi terhadap kekeliruan mendasar ini agar upaya-upaya yang dilakukan tidak percuma dan mencapai hasil memuaskan. Untuk itu Rocky menyarankan agar negara membedah persoalan kekerasan dari kondisi-sosial demi menemukan akar permasalahan sebenarnya agar mampu mengatasi dengan efektif dan efisien. Pandangan ini dapat ditangkap dalam kalimat :

" Problem kita sebetulnya setiap ada konflik horisontal yang diundang pertama ke istana adalah pemuka agama padahal problemnya adalah problem sosial. Akibatnya kita selalu melihat soal ini adalah soal teologis, tidak dibongkar kondisi sosial dari kekerasan. Itu yang mesti diterangkan dari dalam Istana. "

Kondisi Sosial Ekonomi

Mendukung keyakinannya persoalan kekerasan berakar pada kondisi-sosial, Rocky mengambil contoh kasus kekerasan serupa yang terjadi di India. Dengan menimbang faktor-ekonomi sebagai latar terjadinya peristiwa itu, ia menekankan perlunya negara berpikir ulang mengenai asal-muasal kekerasan dari kondisi-sosial. Dari kondisi-sosial, ia kemudian bergerak menuju tinjauan dari sudut-ekonomi.

" Kita berada dalam situasi yang sama hari-hari ini, ada krisis ekonomi, ada daya beli yang rendah, ...maka meningkatlah semacam... orang gila, ya ! Orang gila yang rasional ! "

Pada ungkapan di atas, Rocky memulai dengan melakukan penilaian terhadap kondisi-ekonomi sekarang ini yang dinilainya buruk. Secara tidak langsung, ia menunjuk ketidak-mampuan negara dalam mengelola perekonomian selama ini. Negara tidak berhasil membawa perubahan kondisi-ekonomi ke arah yang lebih baik. Dan tekanan kondisi-ekonomi yang buruk ini pada akhirnya menjadi penyebab maraknya peristiwa kekerasan akhir-akhir ini.

Selanjutnya Rocky berpendapat, kemajuan ekonomi semestinya diiringi dengan meningkatnya kesejahteraan rakyat. Capaian pengendalian makro-ekonomi harus dapat dinikmati secara nyata sampai tingkat komunitas terkecil, individu sebagai manusia. Oleh karenanya, menjadi keharusan bagi negara untuk mengetahui tingkat kesejahteraan rakyatnya dengan ukuran yang jelas, serta dapat dinyatakan secara kuantitatif.

Menurutnya, justru disinilah letak kelemahan negara, tidak mempunyai ukuran pasti mengenai kesejahteraan warganya. Ketidak-mampuan menilai secara kuantatif ini, berarti pula negara tidak mampu menganalisis kondisi-sosial, oleh karenanya terjebak dalam kesalahan yang sama, dengan menganalisis persoalan kekerasan secara kualitatif sebagai masalah-teologis.

" Tingkat kebahagiaan tidak di ukur dengan model-model makro tetapi tentang apa yang sekarang kita sebut Human-Development-Index, kesejahteraan komunitas, kesejahteraan manusia, ukuran itu, kita tidak ada hari ini,  itu menimbulkan ketidakmampuan kita untuk menganalisis. Ketidakmampuan menganalisis kuantitatif, yang menyebabkan kita pergi ke analisa kualitatif. Ini adalah suatu pertandingan teologi. Disini pokok perkaranya. "

Kewarganegaraan

Rocky kembali menyinggung aspek kewarganegaraan yang telah disentuh panjang lebar oleh Sahal, panelis sebelumnya, ia memulai pendapatnya dengan sebuah pertanyaan :

" Apakah Indonesia punya konsep kewarganegaraan ? "

Menjawab pertanyaan itu, Rocky mencuplik komentar dari Sutan Syahir ketika meninjau topografi bangsa ini, melalui perjalanan udara di sekitar tahun 1950-an. Saat itu Sutan Syahrir berkomentar :

" Bangsa ini sebetulnya melarat dari aspek kewarganegaraan. "

Rocky lalu memaparkan alasan dibalik komentar Sutan Syahrir itu, sekaligus mengacu pada kondisi sekarang ini.

" ...karena yang dilihat adalah desa-desa komunal  yang tak terhubung dengan institusi modern. Jadi seolah-olah ini gumpalan-gumpalan komunal yang tidak terkoneksi dengan ayat konstitusi. Maka timbulah semacam doktrinasi. "

Rocky berpendapat, kondisi hubungan antar warga dengan negara belum mencapai totalitas ikatan yang kuat yang terhubung melalui konstitusi. Ikatan yang dilandasi pada pemenuhan hak dan kewajiban antara warga dan negara sebagai institusi berdasar konstitusi. Keadaan yang belum beranjak dari masa lalu. Oleh sebab itu negara tetap terjebak dalam cara-cara doktrinasi untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Cara usang yang menurutnya sudah harus ditinggalkan.

Selanjutnya Rocky berpendapat, persoalan kekerasan sekarang ini merupakan akibat dari imbal-balik pertukaran karena negara terlalu mengutamakan kebijakan pembangunan infrastruktur fisik. Sehingga menjadi abai untuk memperhatikan kehidupan kewarganegaraan serta membangun dasar-dasar dan nilai-nilai kehidupan demokrasi yang baik. Pandangan yang dapat ditangkap dalam pernyataannya :

" Jadi kita hari ini, ingin bangun jalan tol buat menghubungkan aktivitas ekonomi. Tapi aktivitas demokrasi tidak akan dihubungkan oleh jalan tol. Aktivitas demokrasi tidak mungkin dihubungkan dengan jalan tol. Jadi kita lihat, ada trade-off, membangun infrastruktur dengan tidak membangun infrastruktur demokrasi adalah konflik horisontal akibatnya tuh. "

Menurutnya, negara semestinya menemukan ide-ide baru dan segar, terobosan-terobosan dari negara untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara terutama membangun konektivitas erat antara warga dan negara berdasar konstitusi. Tetapi ia menilai, negara tidak mempunyai kapabilitas untuk melakukan itu.

" Nah kita, atau saya paling tidak ingin suasana lain, diucapkan dari pusat kekuasaan tentang tadi, ide berwarganegara. Tapi presiden tidak mampu mengucapkan itu. Terbatas kosa katanya. Ini soalnya tuh. "

Rocky memperkuat pendapatnya dengan mengambil contoh latar pertunjukan yang ditampilkan pada malam itu, untuk menunjukan ketidak-mampuan negara dalam memahami persoalan kewarganegaraan dan kekerasan..

" Itu standar cara berpikir negara, setiap ada kekerasan yang dimunculkan adalah upaya menghindarinya, dengan menimbulkan, mencuatkan simbol-simbol agama. Jadi negarapun gak ngerti bagaimana mengucapkan citizenship gitu. Jadi, soal yang menganggu sebenarnya, sehingga kita hari ini, gak dapat sinopsis apa masalahnya. "

Demokrasi  Dan Ranah-Percakapan-Publik

Rocky berpendapat, negara tidak menyediakan ranah-percakapan-publik yang cukup sebagai ruang interaksi bertukar informasi, pandangan, pendapat dan pikiran terhadap persoalan-persoalan yang menjadi perhatian umum. Ruang bersama untuk berdialog menyampaikan argumen-argumen secara rasional guna mencapai pendapat umum untuk mengatasi persoalan bersama.

Menurutnya, negara harus membuka lebih luas ranah-percakapan-publik yang melibatkan diskusi terbuka tentang semua isu yang menjadi keprihatinan umum, di mana argumentasi-argumentasi mencapai konsensus rasional yang bersifat sosial dengan lebih mengutamakan kepentingan publik.

" Reaksi yang diberikan pemerintah standar yaitu perbanyak seminar Pancasila walaupun DPR gak kasih APBN. Laa, solusinya bukan perbanyak seminar. Selama Pancasila dinyatakan final buat apa diseminarkan. Seminar itu artinya membuka peluang interpretasi tentang pancasila loo, tapi negara bilang udah final. Jadi orang jengkel terhadap cara negara untuk melebarkan percakapan publik. Itu sebabnya dalang memanfaatkan itu. Sehingga sekarang kita hidup dalam kecemasan teologis setiap ada masalah lihat Pancasila tuh. Padahal yang terjadi sebaliknya, kita tidak mempraktekan Ketuhanan Yang Maha Esa sebetulnya. Kita berupaya mencari manfaat dari interpretasi Ketuhanan Yang Maha Esa. "

Pada bagian penutup uraiannya, Rocky menyarankan agar negara membaca wacana publik sebagai sumber untuk menetapkan pilihan jalan keluar yang memadai. Sehingga setiap persoalan kekerasan tidak selalu dipahami secara teologis. Negara harus menciptakan iklim demokrasi yang baik, memberi ruang yang cukup bagi warga akan kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan pikiran dan hak untuk secara bebas berpartisipasi dalam perdebatan politik dan pengambilan keputusan.

Kehidupan demokrasi akan berjalan menuju kesempurnaan, manakala institusi-institusi negara memungkinkan warga untuk memperdebatkan masalah-masalah yang menjadi kepentingan publik serta mencari jalan keluar dari persoalan yang dihadapi.

" Jadi saya ingin mengusulkan kepada negara, pemerintah, supaya perhatikan dikursus publik, jangan terus di bawa kepada interpretasi teologis. Itu sebabnya kita di dalam upaya menyelenggarakan demokrasi, demokrasi tidak bisa dituntaskan dengan membangun jalan tol, demokrasi membutuhkan jalan pikiran. Itu yang defisit pada negara !  ", Begitu ia menutup uraiannya.


Pendapat Atas Pendapat

Pendapat Rocky bergerak dalam tataran konseptual. Melihat secara mendasar persoalan yang terjadi pada negara, dengan menunjuk lobang-lobang besar yang menganga sambil menunjukkan sedikit jalan kecil untuk meloloskan diri. Pandangan yang berada jauh dari gapaian solusi-praktis didukung argumen-argumen bersifat sintesis yang memerlukan justifikasi-faktual untuk meyakininya.

Oleh karenanya, pendapat Rocky layak mendapat gelar sebuah-kritik lebih tepatnya kritik serius, tajam dan keras dari seorang akademikus, yang meragukan kapabilitas negaranya untuk melaksanakan kewajiban memenuhi kebutuhan-dasar warganya.

Kritik Rocky dapat dilihat positif dalam arti mengandung petunjuk konseptual, jalan-jalan yang seharusnya ditempuh untuk mengatasi berbagai persoalan menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Kritik Rocky bisa bermanfaat dengan alasan menunjukan kekurangan negara dalam upaya mengelola berbagai aspek kehidupan berbangsa dan negara. Juga membangunkan kesadaran negara untuk bekerja lebih keras mengingat persoalan yang berlimpah dan rumit. Permasalahan yang sangat tidak mungkin seluruhnya diselesaikan oleh satu pemerintah dalam satu periode pemerintahan.

Proporsi uraian Rocky, lebih besar mengarah kepada negara sebagai penyebab-dan-penanggung-jawab tunggal terhadap persoalan kekerasan. Dan Rocky, acapkali merepresentasikan negara secara personal sebagai presiden yang menjabat kepala-negara dan pemerintahan dengan sedikit mengunakan eufemisme. Hal yang menyebabkan pendapatnya terdengar-nyaring " menyasar " pemerintah yang berkuasa. Meski sah dan mungkin baik, akan menjadi bijak apabila dirinya memperluas pengertian negara dalam bahasannya, yang mencakup pemerintahan, warga, wilayah dan lingkungan-dunianya. Sehingga horizon tinjauannya menjadi meluas sekaligus proposional dengan tidak semata melihat penyebab-dan-penanggung-jawab tunggal negara-sebagai-pemerintah apalagi representasi-personifikasi.

Pada titik tertentu, pendapat Rocky tidak-linier. Ini terlihat ketika meninjau persoalan kekerasan sebagai masalah-sosial dari faktor-ekonomi. Ia tidak melihat upaya keras pemerintah dalam membangun infrastruktur mengandung sisi positif tetapi memandang sepenuhnya negatif dengan meninjau dari sudut yang lain ( trade-off atau aktivitas demokrasi ). Tidak-linier karena itu adalah wujud usaha negara untuk memperbaiki kondisi-ekonomi yang juga merupakan jalan untuk mengatasi persoalan kekerasan melalui pendekatan-sosial dari sisi-ekonomi. Dan Rocky menutup mata terhadap konsep-konsep pembangunan-ekonomi yang positif dari negara seperti orientasi Indonesia sentris, konsep kemaritiman dan distribusi perekonomian.

Pendapat Rocky minim solusi-positif-praktis, apa yang memantul dari sana adalah gaung keras hingar-bingar tentang semaraknya ketakberdayaan pemerintah mengatasi persoalan. Ketidakmampuan pemerintah mengelola kehidupan sosial-politik, ekonomi, demokrasi dan kewarganegaraan. Monolog yang indah, penghibur bagi kaum yang berseberangan.

Demi menambah dramatis pertunjukan, dengan suara bergetar nan puitis, mestinya Rocky tidak mengeluhkan posisi tempat duduknya, tetapi bangga membusungkan dada, menatap garang kamera lalu dengan lantang membaca prolog :

" Ya ! Saya duduk di sini, memang harus di sini ! Kursi ini empuk ! Saya merasa nikmat dan nyaman, dan saya akan terus menggonggong menjaga anda agar terus terjaga ! Wahai penguasa ! "


Catatan Akhir

Yang diuraikan di atas adalah interpretasi sebagai audien yang berupaya menangkap makna yang terkandung dibalik uraian kata-kata dan kalimat yang diucapkan seorang panelis, kemudian merumuskannya dalam sebuah Pendapat-Pokok dan memberi pendapat atasnya. Interpretasi di atas tidak mengejar objektivitas apalagi kebenaran, penafsir/penulis hanya berupaya untuk menghindari atau mengurangi ketika menyadari hadirnya prasangka. Distraksi pasti ada. Tidak ada jaminan sama sekali bahwa makna yang ditangkap penafsir/penulis bebas dari bias atau persis-sama dengan makna yang dimaksud panelis atau makna yang bercokol di kepala anda jika sebelum membaca artikel ini anda telah menonton dan memahaminya.

Kutipan berikut dari filsuf hermeneutik terkemuka dari Jerman, Hans Georg Gadamer, rasanya lebih dari cukup untuk menangkap maksud di atas.

" Tidak ada kesadaran yang objektif, jernih dan telanjang. seorang penafsir yang mencoba memahami tidak terlindung dari distraksi pengaruh-pengaruh yang telah ada sebelumnya yang tidak berasal dari hal-hal yang hendak dipahami itu sendiri. Memahami selalu melibatkan pengaruh yang telah ada sebelumnya, suatu pra-struktur pemahaman. "

" Tidak ada objektivitas seperti yang dikejar oleh pengetahuan ilmiah. Objektivitas satu-satunya disini adalah konfirmasi akan adanya suatu pengaruh yang telah ada sebelumnya yang sedang bekerja. "

Tentu saja kutipan di atas berlaku juga pada tafsir panelis dan pendapatnya terhadap persoalan yang dibahas di dalam forum-itu. Juga tafsir anda terhadap artikel ini, ketika sedang dan setelah membacanya.



Sumber :
Pemahaman Pribadi
Pemahaman Otodidak



Kelapa Gading, 23 Februari 2018


Saturday, February 10, 2018

Moralitas Modern Dan Etika Kuno 1 : Perbedaan Dan Kesamaan


Adalah hal biasa untuk menganggap bahwa ada Perbedaan-Signifikan antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern. Misalnya, tampak terlihat adanya Perbedaan-Signifikan antara Etika-Kebajikan ( Etika-Kuno ) dan Moralitas-Modern dengan Etika-Kewajiban ( Etika-Deontologis-Kantianisme) dan Konsekuensialisme ( Utilitarianisme ). Meskipun demikian, secara sekilas seseorang mengakui bahwa kedua Pendekatan-Etik itu memiliki lebih banyak Kesamaan daripada yang mungkin ditunjukkan oleh anggapan Stereotip-Perbedaan yang ada.

Penyederhanaan-Yang-Berlebihan, Interpretasi-Yang-Keliru, dan begitu juga Variasi-Yang-Luas pada sebuah Teori-Etik tertentu membuatnya --secara umum-- lebih sulit untuk menentukan Perbedaan-Dan-Kesamaan yang nyata antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern.

Tetapi mengapa kita harus repot-repot membahas soal Etika-Kuno ? Apa manfaatnya membandingkan Kekuatan-Dan-Kelemahan dari Pendekatan-Pendekatan-Etik tertentu ?

Jawaban umumnya adalah bahwa pemahaman yang benar dan memadai tentang Kekuatan-Dan-Kelemahan pada Teori-Etika-Kebajikan dan Teori-Moralitas-Modern dapat digunakan untuk mengatasi/menjawab Masalah-Etika saat ini dan untuk memulai perkembangan yang bermanfaat dalam Penalaran-Etik dan Pengambilan-Keputusan.

Artikel ini membahas Perbedaan-Dan-Kesamaan antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern dengan menganalisis dan membandingkan ciri-ciri utama-nya untuk menunjukkan bahwa Perbedaan diantara Kedua-Pendekatan-Etik itu tidaklah seperti yang diperkirakan/diduga.

Bagian pertama artikel ini menguraikan Pendekatan-Utama-Etika dalam Etika-Yunani-Kuno dengan memusatkan perhatian pada Etika-Sinisme ( Cynics ), Etika-Sirenaisme ( Cyrenaics ), Etika-Moral-Aristoteles, Epikuruneanisme ( Epicureans ), dan Stoikisme ( Stoics ). Bagian ini juga secara singkat menguraikan Dua-Pendekatan-Etika-Modern terkemuka, yaitu Kantianisme dan Utilitarianisme, dalam hal-hal yang lebih umum untuk memberikan latar belakang pengetahuan yang memadai.

Bagian kedua menyediakan sebuah tabel rinci yang menunjukan ciri-ciri utama dari Stereotip-Perbedaan yang saling bertentangan antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern.

Tiga persoalan utama --Kehidupan-Yang-Baik versus Tindakan-Yang-Baik, penggunaan istilah Keharusan-Moral, dan apakah Orang-Yang-Bijak dapat bertindak dengan cara yang tidak berbudi luhur-- dijelaskan lebih rinci di bagian ketiga artikel ini secara berurutan. untuk menunjukkan bahwa Kedua-Pendekatan-Etik memiliki lebih banyak Kesamaan daripada yang mungkin diajukan oleh Stereotip-Perbedaan yang ada.

Bahasan bagian keempat berkaitan dengan gagasan Kewajiban-Moral dalam Etika-Kuno.


Etika Kuno Dan Moralitas Modern

Setidaknya ada Dua-Kriteria-Utama yang harus dipenuhi oleh setiap Teori-Moral :

1. Kriteria-Pembenaran ( Justifikasi ).
Yaitu Teori-Moral tertentu tidak boleh mengandung kontradiksi apapun.

2. Kriteria-Penerapan ( Aplikasi ).
Yaitu Teori-Moral tertentu harus memecahkan persoalan konkret dan menawarkan Orientasi-Etik.

Namun, banyak Teori-Moral ( Tradisional ) tidak dapat memenuhi Kriteria-Kedua dan hanya jauh di bawah tingginya tuntutan Etika-Terapan untuk memecahkan masalah moral yang kompleks pada zaman kita. Mengapa demikian ? Poin utamanya adalah Teori-Moral-Tradisional tidak cukup diperlengkapi dengan baik untuk menangani persoalan-persoalan yang sepenuhnya baru seperti masalah tenaga nuklir, teknologi gen, kloning dan sebagainya.

Oleh karena itu, selalu ada minat untuk memperbarui dan meningkatkan Teori-Moral tertentu agar sesuai dengan tuntutan terakhir. Sebagai contoh adalah Neo-Aristotelians seperti pandangan Hursthouse pada karyanya Abortion (1991) dan Nature (2007), serta Neo-Kantians seperti pandangan Regan pada karyanya Animal (1985), pandangan Korsgaard secara umum dan khusus pada karyanya Animal And Nature (1996), dan Altman pada Volume yang telah disunting pada karyanya The Use and Limits of Kant's Pratical Philosophy in Applied Ethics (2011). Ini adalah proses yang sulit dan seringkali sangat kompleks.


a. Etika Dan Moralitas

Ketika seseorang membahas tentang Pendekatan-Etik di zaman-kuno, mereka mengacu Pendekatan-Ini dengan menggunakan kata Etika-Kuno dan bukan Moralitas-Kuno. Mereka berbicara mengenai Etika-Kebajikan dan bukan tentang Moralitas-Kebajikan. Namun, mengapa hal ini terjadi ?

Menurut Annas ( 1992:119-120 ), pertanyaan yang menantang adalah Apakah Cendekiawan-Kuno seperti Plato dan Aristoteles juga Kaum-Stoa dan Epikurean benar-benar berbicara tentang Moralitas, karena perhatian-utama mereka terbatas pada Kebahagiaan-Individual, yang jelas Tidak-Terdengar-Seperti-Moralitas ( 119 ).

Bahkan jika seseorang mengatahui fakta bahwa Kebahagiaan berarti kehidupan yang memuaskan dan bermartabat sesuai dengan Nilai-Etika dan tidak hanya berarti Momen-Saat-Bahagia, namun tetap saja Tidak-Terdengar-Seperti-Moralitas.

Lebih jauh lagi, gagasan umum dalam Etika-Kebajikan, menyatakan Kebaikan-Orang-Lain memasuki latar-bahasan dengan menjadi bagian dari Kebaikan-Yang-Dimiliki-Oleh-Seseorang oleh karena itu pengertian gagasan Adil dimasukan sebagai Sifat-Karakter dan bukan sebagai Gagasan-Tentang-Hak-Orang-Lain ( lihat, frase Dworkin, Keunggulan-Hak ), membuat jelas bahwa Ada-Perbedaan-Sistematis antara pengertian Etika dan Moralitas.

Etika-Kuno adalah tentang Menjalani-Kehidupan-Yang-Baik dan Kehidupan-Yang-Berbudi-Luhur sesuai dengan Kebajikan-Etik, yaitu Menjadi-Orang-Yang-Berbudi-Luhur, sementara gagasan Modern tentang Moralitas terutama difokuskan pada Perhatian/Kepentingan-Orang-Lain dan gagasan tentang Batasan-Kewajiban. Artinya, seseorang bertindak secara Moral karena seseorang harus memenuhi standar tertentu ( Kewajiban ) dan bukan karena ia mendukung Kehidupan-Yang-Baik bagi dirinya.

Tetapi bahkan gambaran sederhana itu mungkin terlalu dini, tergantung pada bagaimana seseorang memahami Gagasan-Motivasi-Moral dalam Etika-Kuno ( lihat di bawah ).

Bahasan secara historis --dari sudut pandang yang berbeda-- adalah tidak ada bukti istilah mana yang paling sah/tepat. Dalam sejarah Yunani-Kuno, istilah Yunani untuk Etika adalah : Ethos yang berarti sesuatu seperti Karakter. Oleh karena itu, ketika Aristoteles menganalisis Kehidupan-Yang-Baik dalam Etika-Nicomachean dan Etika-Eudemian, dia memusatkan pada topik-utama Karakter-Sifat-Baik dan Karakter-Sifat-Buruk yaitu Kebajikan dan Keburukan. Dalam pengertian asli ini, Etika berarti analisis terhadap Karakter atau Sifat-Dari-Karakter.

Meskipun demikian, dalam pemikiran Romawi-Kuno, yang pada dasarnya dipengaruhi oleh Cicero, istilah Yunani : Ethikos yaitu kata sifat dari Ethos diterjemahkan dengan bahasa Latin : Moralis yang merupakan kata sifat dari Mores sedang arti sesungguhnya Mores dalam bahasa Latin adalah Kebiasaan-Dan-Adat.

Adalah mungkin untuk menerjemahkan istilah Yunani Ethos dengan Kebiasaan-Dan-Adat, tetapi lebih tampak terjemahan Ethikos dengan Moralis adalah terjemahan yang keliru. Istilah Moralis lebih mengacu pada Ethos dalam bahasa Yunani yang arti utamanya adalah Kebiasaan-Dan-Adat. Jika istilah Moralitas mengacu pada kata Mores, maka istilah Moralitas berarti totalitas semua Kebiasaan-Dan-Adat-Masyarakat tertentu. Istilah Moralis menjadi sebuah Terminus-Technicus dalam Filsafat-Bentuk-Latin, yang mencakup makna masa kini dari istilah tersebut.

Di zaman Modern, Kebiasaan-Dan-Adat-Masyarakat tertentu disebut Konvensi, yang memiliki wibawa dalam kehidupan sosial pada masyarakat. Namun, Moralitas bukanlah sekadar persoalan Konvensi belaka, dan Konvensi sering bertentangan dengan Moralitas ( misalnya, Konvensi yang tidak bermoral ). Oleh karena itu, tampaknya tidak pantas untuk mempersingkat/menyederhanakan istilah Moralitas dengan Konvensi ( Steinfath 2000 ).

Saat ini, setidaknya ada Empat kemungkinan berbeda untuk membedakan antara Etika dan Moralitas :

1. Etika dan Moralitas sebagai bidang yang berbeda.
Etika berkaitan dengan usaha untuk mencapai kebahagiaan, kesejahteraan, dan gaya hidup pribadi seseorang, yaitu bagaimana kita harus hidup untuk mewujudkan kehidupan yang baik bagi diri kita sendiri. Moralitas berkaitan dengan kepentingan orang lain dan Batasan-Kewajiban ( misalnya pandangan Jürgen Habermas ).

2. Etika dan Moralitas adalah sama ( misalnya pandangan Peter Singer ).

3. Moralitas sebagai bidang khusus dalam Ranah-Etika.
Etika adalah istilah generik untuk persoalan-persoalan Etika dan Moral dalam pengertian yang telah disebut di atas. Moralitas adalah bagian khusus dari Etika ( misalnya, pandangan Bernard Williams ).

4. Moralitas sebagai Objek-Etika.
Etika adalah Teori-Filosofi tentang Moralitas yang merupakan analisis sistematis terhadap norma dan nilai moral ini adalah pengertian-standar ( standard reading ).

Pada akhirnya adalah selalu penting untuk bertanya bagaimana istilah Etika dan Moralitas digunakan dan bagaimana seseorang menggunakannya untuk diri sendiri. Sudah pasti bahwa seseorang tidak hanya membuat diferensiasi tekstual tetapi juga konseptual dengan berpendapat bahwa kedua istilah itu berbeda makna.


b. Etika Kuno

Adalah tidak mungkin untuk memberikan gambaran lengkap tentang sejarah Pemikiran-Etik dan Pengambilan-Keputusan yang begitu beragam di zaman-kuno di sini. Oleh karena itu, fokus bagian ini menyangkut Garis-Utama dari Pemikiran-Etik pada Ajaran-Filosofi terpenting dalam masa Periode-Klasik dan Helenistik. Gambaran yang agak disederhanakan ini cukup memadai untuk tujuan kita. Orang dapat secara kasar membedakan Periode-Klasik dan Helenistik menjadi Empat-Bagian yang berbeda namun saling terkait erat.

Bagian-Pertama menyangkut Socrates dan argumen-argumen-nya melawan Kaum-Sofis yaitu masa paruh kedua abad ke-5 SM.

Bagian-Kedua mencakup pembentukan Ajaran-Filosofi penting Pasca-Socrates yang sangat dipengaruhi oleh Pemikiran-Socrates misalnya Ajaran-Antisthenes tentang Sinisme, Ajaran-Aristippus mengenai Sirenaisme, dan Akademi-Plato yang merupakan sekolah kuno paling berpengaruh yaitu masa paruh kedua abad ke-5 hingga abad ke-4 SM.

Bagian-Ketiga ditandai pada satu sisi, oleh pembentukan satu Ajaran-Filsafat-Utama-Baru yaitu sekolah Peripatetik-Aristoteles, yang dikembangkan dari Akademi-Plato, dan di sisi lain oleh pertukaran argumen di antara sekolah-sekolah yang ada pada saat itu mengenai berbagai Persoalan-Etik yaitu pada abad ke-4 SM.

Bagian-Keempat menyangkut pembentukan dua Ajaran-Filsafat-Baru-Yang-Penting, yang menjadi sangat berpengaruh dalam zaman-kuno. Pertama, Epikureanisme dari Epicurus yang berdiri dalam Tradisi-Sirenaisme dan Yang-Kedua, Ajaran-Stoikisme dari Zeno yang sebagian dikembangkan dari Ajaran-Sinisme yaitu pada paruh kedua abad ke-4 hingga ke-3 SM.

Pada saat itu, semua Ajaran-Filsafat saling asing satu sama lain tetapi masih disatukan dengan kenyataan bahwa mereka sangat memperhatikan Pertanyaan-Etik-Yang-Paling-Penting tentang Bagaimana-Menjalani-Kehidupan-Yang-Baik dan Bagaimana-Mencapai-Kebahagiaan. Tanggapan mereka terhadap pertanyaan-pertanyaan penting itu tentu saja beragam.


Gambar 1. Ajaran-Filosofi Paling Terkemuka di Yunani Kuno

Gambaran singkat berikutnya berfokus pada asumsi dasar dari Etika pada Ajaran-Filosofi-SinismeSirenaisme, Peripatetik-Aristoteles, Epikureanisme, dan Stoikisme. Ajaran-Socrates dan Akademi-Plato ditinggalkan ( tidak dibahas ) karena Socrates tidak menyediakan Etika-Sistematis yang tertulis. Posisi-Etik-nya yang Tidak-Sistematis ini, terutama digambarkan dalam dialog awal karya Plato, misalnya pada Laches, Charmides, Protagoras dan beberapa karya Xenophon, seperti Apology, Symposium, dan Memorabilia. Plato sendiri tidak memberikan Etika-Sistematis yang sebanding dengan Ajaran-Kuno-Utama lainnya, walaupun seseorang pasti dapat merekonstruksi --setidaknya sampai batas tertentu-- sudut pandang Etik-nya dalam dialog Politeia. Selain itu, sebagian besar Karya-Etik dalam Periode-Klasik dan Helenistik hilang dalam kegelapan sejarah. Yang tersisa adalah Kumpulan-Fragmen, Ungkapan-Ungkapan, dan ( bagian dari ) Surat-Surat dari berbagai filsuf penting serta dari para komentator/pengamat yang berdiri di dalam Tradisi-Ajaran-Tertentu saat itu. Banyak pandangan yang saling bersaing tentang Etika telah dimediasi melalui karya Plato dan Aristoteles, di mana mereka mengkritik lawan-lawan mereka. Selain itu, beberapa Dasar dan Testimonial ini juga dimediasi oleh penulis terkenal dan politisi seperti Xenophon sekitar abad ke-5 hingga ke-4 SM dan sejarawan penting filsafat Diogenes Laetios pada abad ke-3 Masehi. Aristoteles adalah satu-satunya Filsuf-Kuno yang memiliki dua kontribusi Etik dan Substansial yang lengkap yaitu Etika-Nicomachean dan Etika-Eudemian --tidak memasukan Magna-Moralia yang penciptanya tidak jelas-- berhasil bertahan meskipun semua dialognya termasuk dialog yang membahas Etika dan Persoalan-Persoalan-Etika juga hilang.

b.i. Ajaran Sinisme dan Sirenaisme - Yang Ekstrem

Pendiri Ajaran-Sinisme yaitu Antisthenes dari Athens, mengajarkan bahwa Kebajikan dalam pengertian Kebijaksanaan-Praktis adalah sebuah Kebaikan dan juga cukup untuk Eudaimonia yaitu Kebahagiaan. Keburukan adalah sebuah Kejahatan dan segala sesuatu yang lain Tidak-Bernilai ( Bukan-Kebaikan-Atau-Keburukan ).

Sesuai dengan Ajaran-Socrates, Antisthenes berpendapat bahwa Kebajikan adalah dapat diajarkan dan Anthisthenes juga menerima pendapat tentang Kesatuan-Kebajikan yang merupakan gagasan umum bahwa jika seseorang memiliki Satu-Kebajikan-Etik, maka dia juga memiliki Semua-Kebajikan-Etik-Lain-nya ( untuk kontribusi pembahasan baru-baru ini terhadap doktrin kontroversial ini, lihat Russell, 2009 ).

Satu-satunya Kebaikan-Manusia adalah Apa-Yang-Dimiliki-Secara-Khusus oleh dirinya, yaitu Kemampuan-Berpikir. Melawan pendapat Sirenaisme, Antisthenes berpendapat bahwa Kesenangan/Kenikmatan bukanlah Kebaikan. Hal-hal seperti kematian, penyakit, perbudakan, kemiskinan, aib, bersusah-payah, dan pekerjaan berat Hanyalah-Dianggap-Buruk, tetapi bukanlah Kejahatan-Sesungguhnya. Seseorang seharusnya memandang kepemilikan kehormatan, properti, kekayaan, kebebasan, kesehatan dan kehidupan Bukanlah-Kebaikan-Atau-Keburukan.

Para penganut Sinisme, secara umum menjalani kehidupan sebagai seorang peminta-minta dan yang mungkin merupakan Manusia-Kosmopolitan-Nyata-Pertama dalam sejarah manusia. Sebuah ciri yang secara perlahan dianut oleh Kaum-Stoikisme dengan sepenuh hati. Mereka juga menentang ritus dan praktik umum budaya dan agama, sebuah ciri utama yang yang juga dimiliki oleh Kaum-Sofis. Mereka mengambil Keberanian-Socratian menuju Ekstrem dan mencoba untuk menjadi sebebas mungkin dari barang-barang material, misalnya Diogenes dari Sinope yang tinggal di Sebuah-Tong. Lebih jauh lagi, seseorang harus menjauhkan diri dari Hal-Hal-Buruk dan mencari sikap Tanpa-Nafsu-Dan-Ketenangan-Jiwa, yang juga merupakan ciri penting Ajaran-Stoikisme yang diadopsi dari Ajaran-Sinisme. Menurut Kaum-Sinisme, ada dua kelompok orang :

Pertama, Orang-Yang-Bijaksana yaitu seseorang yang menjalani sebuah kehidupan yang sempurna dan bahagia. Mereka tidak dapat kehilangan Kebajikan begitu mencapai kondisi ini ( mirip dengan ajaran Aristoteles ).

Kedua, Orang-Yang-Bodoh yaitu seorang yang tidak bahagia dan melakukan kesalahan-kesalahan ( Diogenes Laertios VI, 1 dan 2; Zeller 1883: 116-121; Long 2007: 623-629 ).

Aristippus dari Kirene dikenal dan sangat dihormati di kalangan filsuf di zaman-kuno dan merupakan Murid-Socrates-Pertama yang menarik uang sebagai imbalan pelajaran yang diberikan. Dia adalah pendiri Sirenaisme sebuah Ajaran-Filosofi yang terkenal para anggotanya khusus mengabdi kepada Hedonisme-Sensualistik yang tentu telah mempengaruhi versi Utilitarianisme-Hedonis dari Jeremy Bentham di zaman-modern.

Dengan demikian, Ajaran-Sirenaisme berdiri melawan keras pendapat Ajaran-Sinisme. Aristippus berpendapat bahwa Pengetahuan-Bernilai hanya sejauh Berguna-Dalam-Hal-Hal-Praktis sebuah ciri yang juga dimiliki oleh Ajaran-Sinisme, semua tindakan seharusnya berusaha untuk mencapai Kesenangan/Kenikmatan semaksimal mungkin karena Kesenangan/Kenikmatan adalah Kebaikan-Tertinggi. Menurutnya, terdapat perbedaan kualitatif secara gradual dari Kebaikan. Tidak seperti Aristoteles, yang meyakini bahwa Kebahagiaan dipahami sebagai sebuah Keadaan-Jangka-Panjang, dan merupakan Tujuan-Keseluruhan-Dalam-Hidup, Ajaran-Hedonisme berpendapat Kebahagiaan adalah Kenikmatan-Tubuh-Pada-Saat-Itu, yang merupakan Tujuan-Hidup. Masa lalu telah berlalu dan masa depan tidak pasti karena hanya di sini dan sekarang ini yang sangat menentukan karena Perasaan-Langsung adalah satu-satunya panduan terhadap Apa-Yang-Benar-benar-Bernilai.

Kebijaksanaan-Praktis adalah Prasyarat-Kebahagiaan yang berguna sebagai alat untuk mencapai Kesenangan/Kenikmatan. Aristippus dan Kaum-Sirenaisme mencari Kesenangan/Kenikmatan-Maksimal setiap saat tanpa tenggelam oleh-nya. Aristippus --yang dikenal dengan sifat ceria dan karakter terpuji serta pengendalian diri yang kuat-- sangat terkenal berpendapat bahwa seseorang harus menjadi Tuan-Setiap-Saat :

" Saya memiliki, tetapi saya tidak dimiliki ! "

A. A. Long berpendapat dengan tepat mengenai hal itu :

" Aristippus Senior telah bertindak sebagai paradigma kehidupan yang otomatis dan tanpa susah payah mengubah keadaan menjadi sumber kenikmatan tubuh. " (2007: 636).

Aristippus adalah seorang Master-Sejati dalam membuat yang terbaik dari setiap situasi. Dia juga mengajarkan bahwa seseorang harus dapat membatasi harapan/keinginan jika cenderung menimbulkan masalah berat bagi dirinya sendiri, untuk menjaga Pengendalian-Diri ciri umum yang juga dimiliki pada Ajaran-Socrates, untuk mengamankan/mempertahankan Kebahagiaan seseorang, untuk mencari Kebebasan-Batin, dan untuk Selalu-Ceria.

Jelas ajarannya tentang sebuah kehidupan yang semata-mata mengabdi untuk Kesenangan/Kenikmatan-Tubuh yaitu pengejaran akan hasrat dan pandangan akan tidak penting-nya pengetahuan, adalah bertentangan dan menyerang Ajaran-Socrates juga terhadap Ajaran-Plato dan Aristoteles.

Murid-muridnya --terutama cucunya yang dikenal sebagai Aristippus-Muda, Theodoros, Anniceris ( yang membebaskan Plato dari Tiran-Dionysius di Sisilia dengan sejumlah uang ), dan Hegesias-- mendirikan Ajaran-Sirenaisme-Baru yang menawarkan Versi-Hedonisme yang lebih maju dengan mengambil Kebajikan dari perselisihan antara  Ajaran-Epikuruneanisme dan Ajaran-Sinisme ( untuk gambaran singkat tentang Murid-Murid-Aristippus, lihat A.A Long 2007: 632-639 dan untuk ajarannya, misalnya, Diogenes Laetios II, 8; Zeller 1883: 121-125; Döring 1988. Untuk pandangan bahwa Hedonisme-Aristippus tidak terbatas pada Kesenangan/Kenikmatan-Tubuh, lihat Urstad 2009 ).

b.ii. Ajaran Peripatetik - Etika Kebajikan Aristoteles

Aristoteles mengajukan versi Etika-Kebajikan yang paling menonjol dan paling maju di zaman-kuno dan ajarannya telah menjadi Otoritatif bagi banyak cendekiawan dan masih tetap hidup dalam kontribusi vital pada Neo-Aristotelian dalam Filsafat-Kontemporer. Karya-Etik-Utama-nya adalah Etika-Nicomachean, karyanya yang kurang menonjol namun tetap bernilai dan otentik adalah Etika-Eudemian sementara Aristoteles sebagai penulis Magna-Moralia sangat dipertanyakan/diragukan.

Aristoteles berpendapat bahwa Kebahagiaan/Eudaimonia adalah Kebaikan-Tertinggi. Itulah tujuan akhir, sempurna, dan ada di dalam diri, yang harus diperjuangkan dengan keras oleh semua orang. Secara khusus, Kebahagiaan adalah Tujuan-Hidup, yaitu sebuah kehidupan yang dikhususkan untuk Melakukan-Filsafat/Berpikir ( EN X, 6-9 ).

Apakah seseorang bisa disebut Bahagia hanya ditentukan pada akhir kehidupan-nya, secara retrospektif. Untuk gambaran umum dan baik tentang jawaban Etika-Aristoteles terhadap pertanyaan itu lihat Broadie ( 1991 ) dan Wolf ( 2007 ).

Gagasan bahwa Hidup harus diabdikan untuk Berfilsafat/Berpikir mengikuti argumen penting Aristoteles mengenai Fungsi-Manusia ( EN I, 5, 6 ) di mana dia mencoba menunjukkan --dengan analogi-- bahwa manusia juga harus memiliki Fungsi-Yang-Tepat jika dibandingkan dengan Benda-Benda-Lain. Sebagai contoh, sebuah Gunting, Fungsi-Yang-Tepat adalah untuk memotong dan Pemain-Seruling, Fungsi-Yang-Tepat adalah bermain seruling dan sebagainya.

Jika Fungsi-Yang-Tepat dilakukan dengan Cara-Yang-Baik, maka Aristoteles berpendapat, hal itu memiliki Kebaikan/Keutamaan ( Aretê ). Misalnya, jika Fungsi-Yang-Tepat dari Gunting adalah memotong, maka Fungsi-Gunting-Yang-Tepat adalah Memotong-Dengan-Baik demikian juga berlaku pada semua kasus yang lain. Karena Fungsi-Manusia-Yang-Tepat --menurut Aristoteles-- adalah Untuk-Berpikir, Kebaikan-Manusia bergantung pada Performa-Yang-Baik dari Fungsi-Manusia-Yang-Tepat yaitu Berpikir-Dengan-Baik.

Sebenarnya, Aristoteles berpendapat bahwa Kebaikan-Manusia tidak hanya terdiri dari Performa-Fungsi-Yang-Tepat yaitu Berpikir-Dengan-Baik, melainkan dalam Kualitas-Karakter-Mental mereka. Pendapat ini dibuktikan dengan contoh tentang Orang-Baik dan Orang-Jahat yang tidak dapat dibedakan satu sama lain Selama-Keduanya-Tidur jika seseorang melakukan penilaian hanya mengacu pada Performa-Aktif-Mereka. Satu-satunya cara yang mungkin untuk membedakannya adalah dengan mengacu pada Kualitas-Karakter-Mental-Mereka yang berbeda. Ini adalah masalah perdebatan Apakah ada fungsi manusia tertentu seperti yang diajukan oleh Aristoteles.

Secara keseluruhan, seseorang dapat membedakan Empat-Garis-Penalaran yang berbeda dalam Etika-Aristoteles yaitu :
1. Gagasan tentang Kebajikan-Orang-Baik ( interpretasi standar ).
2. Gagasan tentang tindakan yang berorientasi pada Etika-Kebajikan,
3. Penerapan Kebijaksanaan-Praktis.
4. Gagasan tentang Nilai-Intrinsik-Kebajikan.

Pendekatan yang berbeda-beda itu dibahas secara berurutan berikut ini.

1. Kebajikan-Orang-Baik ( EN II, 3, 4 )
Menurut Aristoteles, sebuah Tindakan disebut Baik atau Benar jika Seorang-Yang-Bajik akan melakukan Tindakan-Yang-Sama dalam Situasi-Yang-Sama. Tindakan itu Buruk atau Salah --dan karenanya dilarang-- jika Seorang-Yang-Bajik tidak pernah melakukan tindakan semacam itu.

Menurut Aristoteles Tiga-Kriteria harus dipenuhi, untuk memastikan bahwa sebuah Tindakan itu Bajik karena Pelaku/Agen berada dalam kondisi tertentu saat melakukan-nya :
(i.) Pelaku harus memiliki pengetahuan terhadap situasi/keadaan/lingkungan tindakan tersebut ( tindakan tidak boleh terjadi secara kebetulan/tidak di sengaja )
(ii.) Tindakan dilakukan dibawah pertimbangan terhadap pilihan-pilihan yang ada dan dilakukan demi Kebaikan-Diri
(iii.) Tindakan dilakukan tanpa hasutan dan tekanan, yaitu tindakan dilakukan oleh seseorang dengan Karakter-Kebajikan-Yang-Stabil.

2. Tindakan yang berorientasi pada Etika-Kebajikan ( EN II, 6, 1107a10-15 ).
Etika-Kebajikan Aristoteles mengandung beberapa petunjuk bahwa dia tidak hanya mematuhi tafsiran standar, namun juga berpendapat bahwa ada beberapa tindakan yang Selalu-Tercela-Secara-Moral dalam situasi apapun, Artinya, beberapa tindakan secara intrinsik memang Buruk. Apakah Baik atau Mulia dan Adil mensyaratkan Orang-Bajik untuk tidak melakukan atau menahan diri dari melakukan hal-hal tersebut, misalnya, tidak membunuh ( khususnya, tidak membunuh orang tua ), tidak melakukan perzinahan, dan tidak melakukan pencurian. Garis-Penalaran ini mengandung Batasan-Deontologis karena Orang-Yang-Bajik tidak lagi menjadi Standar-Keseluruhan-Penilaian, namun Orang-Yang-Bajik itu sendiri harus memenuhi beberapa Kriteria-Etik untuk memenuhi tuntutan eksternal, misalnya sebutan Yang-Mulia atau Yang-Adil untuk bertindak dengan Bajik.

3. Kebijaksanaan Praktis ( EN VI ).
Dalam beberapa bagian dalam buku VI Etika-Nicomachean, Aristoteles berpendapat bahwa adalah Kebijaksanaan-Praktis kita yang membuat pertimbangan praktis kita Baik, baik yang berkaitan dengan Kehidupan-Yang-Baik atau Bajik dan berkaitan dengan tujuan khusus kita. Dia mengklaim bahwa Seorang-Bijaksana secara praktis memiliki Kepekaan-Khusus atau Keterampilan-Khusus-Menangkap untuk mengevaluasi situasi secara moral benar atau sesuai. Di sini, penekanannya terletak pada Kebijaksanaan-Praktis sebagai Kapasitas-Penalaran-Etik dan Pengambilan-Keputusan dari pada mematuhi standar Etika-Tunggal, meskipun Aristoteles mengklaim bahwa tidak mungkin menjadi Bijaksana secara Praktis tanpa memiliki Kebajikan-Etika dan sebaliknya.

4. Nilai intrinsik dari kebajikan.
Mengikuti interpretasi standar tentang peran Kebajikan-Etika sehubungan dengan Menjalani-Kehidupan-Yang-Baik, Aristoteles berpendapat dalam Etika-Nicomachean ( EN X, 6-9 ) bahwa Kebajikan-Kebajikan ini agak kurang penting ketika menjadi Tujuan-Keseluruhan yaitu Kebahagiaan dalam Menjalani-Hidup-Yang-Baik. Tujuan-Utama-nya adalah Menjalani-Hidup yang dikhususkan untuk Melakukan-Filsafat/Berpikir dan dengan demikian akan Menjalani-Kehidupan-Yang-Baik. Tujuan-Sekunder-nya adalah untuk Menjalani-Kehidupan di antara orang lain yang membuatnya perlu untuk menerapkan Kebajikan-Etik.

b.iii. Ajaran Epikureanisme dan Stoikisme

Epicurus --yang dididik oleh seorang pengikut Ajaran-Plato yaitu Pamphilus dan sangat dipengaruhi oleh ajaran penting dari Democritus-- mengembangkan Ajaran-Filosofi-Epikureanisme yang melawan Ajaran-Sirenaisme dan Ajaran-Stoikisme sekaligus menghadapi ketidak-setujuan dan tantangan keduanya. Pertukaran argumentasi yang semarak mengenai persoalan vital Bagaimana-Menjalani-Kehidupan-Yang-Baik membuat Epicurus menempati posisi-nya yang berhasil mengartikulasikan Versi-Hedonisme yang halus dan lebih maju, yang dianggap lebih unggul dari Ajaran-Filosofi saingannya yaitu Sirenaisme.

Dia berpendapat bahwa Sensasi adalah satu-satunya standar untuk mengukur Kebaikan-Dan-Kejahatan. Epicurus memiliki pandangan yang sama dengan Sirenaisme bahwa semua makhluk hidup berusaha untuk memperoleh Kesenangan/Kenikmatan dan mencoba menghindari Rasa-Sakit. Tetapi, tidak seperti Ajaran-Sirenaisme, dia berpendapat bahwa Kebahagiaan tidak hanya terdiri dari Momen-Kenikmatan-Tubuh-Pada-Saat-Tertentu saja tetapi Berlangsung-Seumur-Hidup serta mengandung Kesenangan/Kenikmatan-Mental, yang menurutnya lebih baik dari Kenikmatan/Kesenangan-Tubuh-Fisik. Dalam bukunya Letter to Menoceus, Epicurus berkomentar tentang ketidak-sempurnaan pandangan dari Posisi-Etik-nya dan berpendapat :

" Apa yang menghasilkan kehidupan yang menyenangkan bukanlah minum dan pesta terus-menerus atau hubungan seksual dengan sesama jenis atau dengan seorang wanita atau kenikmatan ikan dan hidangan lainnya dari sebuah meja mahal, tetapi adalah Penalaran-Yang-Bijak [...] " ( Epic EP, Men, 132, in: Long and Sedley 2011: 114 ).

Tujuan akhir dalam hidup bukanlah untuk mengupayakan/mencapai Kesenangan-Positif tetapi untuk mencari Ketiadaan-Rasa-Sakit. Tidak seperti Aristippus, pendapat-pendapat Epicurus mendukung pentingnya Keadaan-Mental bahwa Kesenangan/Kenikmatan-Tubuh dan Rasa-Sakit terbatas pada situasi di sini dan saat ini, sementara Jiwa juga berkaitan dengan keadaan menyenangkan dan menyakitkan dari masa lalu dan kesenangan dan kesengsaraan di masa yang akan datang. Dengan demikian, Sensasi berdasarkan pengingatan-kembali, harapan dan ketakutan dalam konteks Keadaan-Mental terkait masa lalu dan masa depan jauh lebih kuat daripada Kenikmatan/Kesenangan-Tubuh-Saat-Ini.

Menjadi-Bijak adalah prasyarat dari Ketenangan yaitu Damai dan Bebas-Dari-Ketakutan, yang sangat berhubungan erat dengan Kebahagiaan. Sebagai tambahan, Epicurus juga mengajarkan bahwa seseorang harus membebaskan diri dari prasangka, menguasai dan membatasi keinginan diri, menjalani kehidupan yang wajar --misalnya kehidupan yang tidak ditujukan untuk mencapai kemuliaan dan kehormatan-- tetapi tidak menyingkirkan Kesenangan-Tubuh, dan untuk menumbuhkembangkan persahabatan/persaudaraan, dimana Epikureanisme sangat terkenal akan hal itu ( lihat, Diogenes Laertios X, 1; Zeller 1883: 263-267; Erler dan Schofield 2007: 642-674; Long and Sedley 2000: §20-§25 ).

Sesaat setelah munculnya Epikureanisme, Zeno dari Citium --pendiri Stoikisme-- mendirikan sebuah sekolah baru di Athena. Para anggota mereka terkenal karena pandangan Kosmopolitanisme yaitu gagasan bahwa semua manusia termasuk dalam satu komunitas yang harus dilestarikan ( pandangan Kaum-Stoikisme yang sangat mirip dengan pandangan Aristippus ), Gaya-Hidup-Mandiri dan perhatian mendalam pada Persahabatan/Persaudaraan, juga kepatuhan mereka terhadap Ataraxia yaitu Kebebasan-Dari-Hasrat seperti kesenangan, keinginan, dukacita, dan ketakutan yang membahayakan Kebebasan-Batin.

Kaum-Stoa dipengaruhi oleh Ajaran-Kaum-Sinisme. Manusia, menurut Stoikisme, mampu memahami Hukum-Alam melalui Akal dan bertindak sesuai dengan itu. Kehidupan terbaik adalah Kehidupan-Yang-Selaras-Dengan-Alam ( Zeller 1883: 243 ). Zeno percaya bahwa Naluri paling umum adalah Naluri-Pelestarian-Diri, untuk setiap makhluk hidup satu-satunya yang Mempunyai-Nilai adalah apa yang menyebabkan/mendukung Pelestarian-Diri dan dengan demikian memberi kontribusi pada Kebahagiaan-Sang-Makhluk. Misalnya, pada Makhluk-Rasional hanya Apa-Yang-Sesuai-Dengan-Akal itulah yang berharga. Hanya Kebajikan --yang perlu dan cukup untuk Kebahagiaan-- adalah Baik.

Mengikuti Kaum-Sinisme, Kaum-Stokisme berpendapat bahwa kehormatan, harta, kesehatan dan kehidupan Bukanlah-Kebaikan dan bahwa kemiskinan, aib, penyakit, dan kematian Bukanlah-Kejahatan. Bertentangan dengan Sirenaisme dan Epikureanisme, mereka berpandangan bahwa Kesenangan/Kenikmatan bukanlah sesuatu yang Baik dan tentunya Bukan-Kebaikan-Tertinggi, mereka setuju dengan Aristoteles bahwa Kesenangan/Kenikmatan adalah Konsekuensi-Dari-Tindakan tetapi Bukan-Tujuan-Itu-Sendiri.

Dua doktrin utama sangat penting dalam Ajaran-Stoikisme adalah :
1. Pentingnya Ataraxia.
2. Gagasan untuk melakukan tindakan selaras dengan tuntutan alam.

Pertama, Kebahagiaan adalah Ataraxia yaitu kebebasan dari hasrat dan gaya hidup mandiri.
Kedua, gagasan bahwa seseorang harus bertindak Selaras-Dengan-Alam dalam hal bertindak dengan Baik, sangat berbeda dengan Ajaran-Filosofi lainnya pada saat itu. Selain itu, Motif-Tindakan yang tepat mengubah Performa-Melakukan-Kewajiban seseorang menjadi Tindakan-Yang-Bajik, sepenuhnya terlepas dari Hasil-Tindakan tertentu ( sebuah ciri penting yang akan ditemukan lagi dalam Etika-Kant ).

Mengikuti Socrates dan Plato, Kaum-Stoa percaya bahwa Kebajikan adalah Pengetahuan-Etik dan bahwa orang-orang yang tidak berbudi luhur tidak memiliki Pengetahuan-Etik, karena Kebajikan terdiri dari Keadaan-Jiwa yang masuk akal, yang mengarah pada Pandangan-Yang-Benar. Gagasan-Sinisme tentang perbedaan jumlah yang tajam antara keberadaan Beberapa-Orang-Bijak dan Banyaknya-Orang-Bodoh yaitu semua Orang-Yang-Tidak-Bijaksana akan menjadi berkurang tajam selama proses berjalannya waktu.

Sebagai tambahan, filsuf dan politikus Romawi-Cicero ( 106-43 SM ) adalah penulis pertama yang karyanya De Officiis membahas Gagasan-Kewajiban yang masih tetap bertahan, dalam karya itu, dia meneliti gagasan tersebut dengan sangat rinci pada abad 44 SM. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa para filsuf Panaitios Rhodes ( 180-110 SM ) telah menerbitkan sebuah buku penting mengenai Gagasan-Tentang-Kewajiban sebelum Cicero. Karya Panaitios telah hilang tetapi kita mengetahui beberapa gagasan penting dari hal itu dimediasi melalui Cicero karena dia sering merujuk pada Panaitios dalam karyanya De Officiis. Ajaran-Stoikisme hidup lebih lama dari pada Ajaran-Filosofi lain berkenaan dengan Etika-nya dengan menempati posisi yang menarik bagi banyak orang dan filsuf serta politisi terkemuka seperti Seneca pada abad pertama Masehi dan Marcus Aurelius ( abad kedua M ) di Roma-Kuno. ( lihat, Diogenes Laertios VII, 1; Zeller 1883: 243-253; Inwood dan Donini 2007: 675-738; Long and Sedley 2000: §56-§67 ).


c. Moralitas Modern

Dua Teori-Moral-Utama dari Etika-Kebajikan-Modern atau Neo-Aristotelianisme adalah Etika-Deontologi dari Kant dan Etika-Utilitarianisme. Kedua-Teori tersebut telah diadopsi dan dimodifikasi oleh banyak cendekiawan dalam sejarah akhir-akhir ini untuk membuatnya sesuai dengan tuntutan-terkini dalam Pemikiran-Etik dan Pengambilan-Keputusan, secara khusus dengan mempertemukan dengan tujuan-tujuan yang muncul dari Etika-Kebajikan-Modern. Penjelasan berikut ini, secara singkat menggambarkan Kantianisme dalam bentuk aslinya dan ciri utama dari Utilitarianisme.

c.i. Kantianisme

Filsuf Jerman Immanuel-Kant adalah pendiri Etika-Deontologis. Etika-nya, yang terutama dikemukakan dalam karyanya --Groundwork of the Metaphysics of Morals (1785), Critique of Practical Reason (1788), dan Metaphysics of Morals (1797)-- adalah salah satu Teori yang paling menonjol dan sangat dihormati dalam Modernitas. Etika-Kant bersifat Deontologis dalam arti seseorang harus mematuhi Tugas-Dan-Kewajiban yang berasal dari Prinsip-Tertinggi-Moralitas, yaitu Imperatif-Kategoris :

" Bertindak hanya sesuai dengan Maksim yang dengannya, pada saat yang sama, Anda akan membuat Maksim itu menjadi Hukum-Universal. " ( Kant 1785 ).

Imperatif-Kategoris adalah ujian untuk Maksim --yang pada akhirnya-- menentukan apakah tindakan tertentu memiliki Nilai-Moral atau tidak. Sebuah Maksim adalah Prinsip-Subyektif-Individu atau Aturan-Kehendak ( dalam bahasa Jerman, das subjektive Prinzip des Wollen ), yang memberitahu kepada individu Apa-Yang-Harus-Dilakukan dalam Situasi-Tertentu. Jika Maksim dapat menjadi Universal, maka Maksim itu adalah Valid dan seseorang harus bertindak sesuai dengan-nya.

Sebuah Maksim tidak dapat menjadi Universal ketika menghadapi dua hal yang merusak :
(i.) Adanya-Inkonsistensi-Logis yang bertentangan dengan Kewajiban-Sempurna. Sebagai contoh adalah Bunuh-Diri.
(ii.) Adanya-Kemustahilan menghendaki Maksim untuk menjadi Universal. Sebagai contoh, gagal menumbuhkan talenta seseorang, yang bertentangan dengan Kewajiban-Tidak-Sempurna.

Kewajiban-Sempurna adalah Kewajiban-Kewajiban yang patut disalahkan jika tidak sesuai dengan kemanusiaan misalnya seperti contoh Bunuh-Diri di atas.
Kewajiban-Tidak-Sempurna, memungkinkan keinginan-manusia dan karena itu tidak sekuat Kewajiban-Sempurna namun tetap terikat secara moral dan orang tidak-mudah menyalahkan jika tidak memenuhinya/mencapainya misalnya seperti contoh gagal menumbuhkan bakat seseorang dia atas.

Etika-Kant bersifat Universal dalam arti Sistem-Kewajiban-Moral ditujukan pada semua Makhluk-Rasional ( tidak hanya manusia ). Moralitas tidak didasarkan pada Kepentingan ( seperti pada teori kontrak sosial ), Emosi dan Intuisi atau Kesadaran, tetapi hanya berdasar pada Akal.

Inilah alasan mengapa Etika-Kant menjadi Tidak-Heterogen --dengan menjadi Teori-Etika-Ilahi di mana Tuhan memerintahkan apa yang harus dilakukan kepada manusia ( misalnya Alkitab, Sepuluh Perintah Allah ) atau Konsepsi-Hukum-Alam dimana Alam itu sendiri memerintahkan apa yang harus dilakukan manusia dengan menyediakan/memberi manusia Fakultas-Akal, yang pada gilirannya, mendeteksi apa yang harus dilakukan dalam Masalah-Moral-- tetapi benar-benar berlaku Otomatis terhadap Makhluk-Rasional, yang membuat Keputusan-Moral mereka berdasar prinsip Rasional-Praktis-Murni.

Meskipun demikian, Rasional-Praktis-Murni dalam penetapan/penentuan Hukum-Moral atau Imperatif-Kategoris, menentukan apa yang harus dilakukan tanpa-mengacu pada Faktor-Kontingen-Empiris ( yaitu Antropologi dalam pengertian luas termasuk Ilmu-Pengetahuan-Empiris, lihat pengantar karyanya Groundwork ) seperti Keinginan-Seseorang atau Kecenderungan-Pribadi ( dalam bahasa Jerman, Neigungen ). Rasional-Praktis-Murni tidak dibatasi oleh Kodrat-Khusus-Penalaran-Manusia, tetapi oleh sumber-sumber dan bidang dari Norma-Universal, yang berasal dari pengertian umum tentang Makhluk-Rasional seperti itu ( lihat, Eisler 2008: 577; Paton 1967; Timmermann 2010 ; Altman 2011 ).

c.ii. Utilitarianisme

Secara historis, Jeremy Bentham melalui karyanya Introduction to the Principles of Morals and Legislation (1789) dan John Stuart Mill melalui karyanya Utilitarianism (1863) adalah pendiri Ajaran-Utilitarianisme, sementara Francis Hutcheson (1755) dan William Paley (1785) dapat dipandang sebagai pelopor-yang-sah dengan menunjukkan bahwa Manfaat/Kegunaan ( Utilitas ) harus dipandang sebagai sebuah Standar-Evaluasi yang penting dalam Penalaran-Etik dan Pengambilan-Keputusan.

Bentham berpendapat bahwa Durasi dan Intensitas Kesenangan/Kenikmatan dan Rasa-Sakit adalah Yang-Paling-Penting dan bahkan menurutnya adalah mungkin untuk mengukur Tindakan-Yang-Benar dengan menerapkan Kalkulus-Hedonistik untuk menentukan/menghitung Manfaat-Yang-Tepat dari sebuah Tindakan. Tindakan dengan Hasil-Hedonis-Terbaik adalah yang harus dilakukan. Pendirian itu disebut Hedonisme-Kuantitatif-Radikal. Mill tidak mempertanyakan Gagasan-Kalkulus-Hedonistik, Mill berpendapat bahwa seseorang harus membedakan antara Kesenangan/Kenikmatan-Mental dan Kesenangan/Kenikmatan-Tubuh dengan memberi bobot lebih kepada Kesenangan/Kenikmatan-Mental. Pendirian ini disebut Hedonisme-Kualitatif. Formula dasar Utilitarianisme dari Mill adalah sebagai berikut :

" Keyakinan yang menerima Prinsip-Manfaat ( Prinsip-Utilitas ) atau Prinsip-Kebahagiaan-Terbesar sebagai Dasar-Moral, berpendapat bahwa Tindakan adalah Benar karena secara proposional Tindakan-Itu cenderung untuk meningkatkan Kebahagiaan dan Salah karena Tindakan-Itu cenderung menghasilkan Kebalikan-Dari-Kebahagiaan. Dengan Kebahagiaan yang dimaksud adalah Kesenangan/Kenikmatan dan Tidak-Adanya-Rasa-Sakit dan yang dimaksud Ketidak-Bahagiaan adalah Rasa-Sakit dan Tidak-Adanya-Kesenangan/Kenikmatan. " ( Utilitarianism, Mill, bab 2 )

Ada kesepakatan luas bahwa terdapat banyak Teori-Utilitarian yang berbeda dalam Etika-Modern. Oleh karena itu, tidak mungkin memberikan gambaran yang memadai tentang semua uraian penting dalam bagian singkat ini. Namun, Empat-Aspek utama berikut ini khas untuk setiap Teori-Utilitarian.

1. Prinsip Konsekuensi
Utilitarianisme bukanlah tentang Tindakan tapi tentang Konsekuensi-Dari-Tindakan. Teori semacam ini adalah bentuk Konsekuensialisme, yang berarti Nilai-Moral dari suatu Tindakan ditentukan oleh Hasil-Dari-Tindakan.

2. Kebahagiaan
Utilitarianisme adalah Teori-Teleologis, sejauh ini, Kebahagiaan --bukan dalam pengertian kuno-- adalah Tujuan-Utama yang harus dicapai.

Tujuan mencapai Kebahagiaan ini dapat diidentifikasi dengan :
(i.) Meningkatkan Kenikmatan/Kesenangan.
(ii.) Penghindaran dari Rasa-Sakit atau Hal-Hal-Yang-Melukai.
(iii.) Pemenuhan Keinginan atau Ketertarikan pada sesuatu.
(iv.) Selaras dengan beberapa Tujuan mencapai Keadaan-Yang-Baik.

3. Prinsip Kebahagiaan Terbesar
Utilitarianisme bukan tentang Kebahagiaan semata tapi tentang Kebahagiaan-Terbesar yang dapat dicapai. Utilitarianisme adalah Teori dengan satu prinsip yang menilai Konsekuensi-Tindakan berdasar Manfaat/Kegunaan dari Tindakan-Itu, yang merupakan Tujuan-Umum dari suatu Tindakan. Kebenaran-Moral atau Kesalahan-Tindakan bergantung pada Tujuan mencapai Kebahagiaan-Terbesar bagi Jumlah-Makhluk-Hidup-Yang-Paling-Banyak, singkatnya adalah mencapai Kebahagiaan-Terbesar untuk Jumlah-Terbesar.

4. Memaksimalkan
Jumlah-Kolektif-Manfaat terhadap makhluk hidup yang Terkena-Dampak-Tindakan harus dimaksimalkan. Garis-Penalaran ini mengandung Pendapat-Altruistik yang kuat karena --dapat dimengerti-- bahwa orang hanya boleh memilih Tindakan yang memperbaiki Kebahagiaan-Makhluk-Hidup-Lain-nya.

Selanjutnya, satu perbedaan Metodologis-Utama harus dijelaskan secara singkat karena Metodologis benar-benar membagi semua Teori-Utilitarian ke dalam Dua-Kelompok yang berbeda dengan menerapkan Prinsip-Manfaat terhadap Tindakan atau Aturan. Dua-Kelompok itu adalah Utilitarianisme-Tindakan ( Act-Utilitarianism ) dan Utilitarianisme-Aturan ( Rule-Utilitarianism ).

Dalam Utilitarianisme-Tindakan atau Utilitarianisme-Langsung, Prinsip-Manfaat diterapkan kepada Tindakan-Tertentu. Dalam kasus ini, seseorang bertanya Apakah Tindakan yang dimaksud Benar atau Salah secara Moral dalam situasi tertentu.

Dalam Utilitarianisme-Aturan atau Utilitarianisme-Tidak-Langsung, Prinsip-Manfaat hanya diterapkan pada Aturan yang pada akhirnya diterapkan pada Tindakan-Tertentu dan menjadi pedoman perilaku manusia untuk menjamin Kebahagiaan-Terbesar-Untuk-Jumlah-Terbesar. Di sini, pertanyaan pentingnya adalah Apakah Aturan tertentu memaksimalkan Manfaat-Umum atau Tidak.

Seiring berjalannya waktu, terjadi bahwa Manfaat-Umum akan mencapai maksimal oleh Utilitarianisme-Aturan ke tingkat yang lebih rendah daripada yang mungkin dapat dicapai oleh Utilitarianisme-Tindakan. Misalnya, seseorang harus bertindak sesuai dengan Aturan-Umum yang mengatakan bahwa seseorang harus menepati janji --dalam jangka panjang-- akan memaksimalkan Manfaat-Umum. Namun, dalam beberapa kasus akan lebih baik untuk mematuhi Utilitarianisme-Tindakan karena memaksimalkan Manfaat-Umum ke tingkat yang lebih tinggi tergantung pada situasi dan keadaan tertentu dari kasus yang bersangkutan.


d. Kesimpulan Bahasan

Gambaran Pandangan-Etik dari beberapa Ajaran-Filosofi penting serta saling-keterkaitan-nya pada zaman-kuno dan garis besar Dua-Teori-Moral terkemuka dalam Moralitas-Modern menunjukkan --terlepas dari adanya Perbedaan-Sistematis mengenai pentingnya pertanyaan tentang Kehidupan-Yang-Baik-- terdapat tumpang tindih yang signifikan dalam Garis-Penting-Penalaran. Selain itu, Dugaan-Perbedaan antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern mengandung banyak pendapat yang menyesatkan.

Socrates dapat dilihat sebagai Penyala-Api-Pertama dari beragamnya Pendekatan-Etika-Kebajikan seperti Ajaran-Sinisme, Sirenaisme, Aristotelianisme, Epikureanisme, dan Stoikisme. Semua Ajaran-Filosofi itu memperhatikan kepada pertanyaan penting tentang Bagaimana-Menjalani-Kehidupan-Yang-Baik dan Bagaimana-Mencapai-Kebahagiaan dengan menunjukkan Tindakan-Apa-Yang-Tepat. Ajaran-Filosofi yang beraneka-ragam di zaman-kuno secara garis besar dan singkat adalah mendukung pandangan ini.

Moralitas-Modern berbeda karena fokus perhatian-nya adalah menjawab pertanyaan mendasar tentang Bagaimana-Seseorang-Harus-Bertindak. Sedangkan pertanyaan kuno tentang Bagaimana-Seharusnya-Seseorang-Hidup adalah sekunder. Namun, Moralitas-Modern khususnya Kantianisme dan Utilitarianisme tidaklah dimulai tanpa dasar sama-sekali tetapi sudah memiliki beberapa pendahulu yang penting dan sangat berpengaruh di zaman-kuno. Misalnya, gagasan Kantian untuk melakukan hal yang benar diatur oleh pikiran berakar pada Ajaran-Stoikisme ( lihat, Cooper 1998, Schneewind 1998 ) dan Gagasan-Utilitarianisme untuk menjalani kehidupan yang bahagia menurut Kenikmatan/Kesenangan berakar pada Ajaran-Sirenaisme ( misalnya Bentham 1789 ) dan Epikureanisme ( misalnya Mill 1863 ).

Sejarah dari gagasan-gagasan mengantarkan/membawa Pandangan-Etik penting yang diturunkan dari zaman-kuno ke Modernitas. Gagasan bahwa ada perbedaan yang jelas dan mudah dilihat antara Etika-Kebajikan dan Teori-Moralitas-Modern terlalu dini dan menyesatkan. Bahkan, ada beberapa perbedaan penting, tetapi seseorang harus mengakui fakta sederhana bahwa tidak ada kesatuan atau konsensus yang luas diantara para cendekiawan Etika-Kebajikan-Kuno mengenai pertanyaan Bagaimana-Menjalani-Kehidupan-Yang-Baik dan Tindakan-Mana-Yang-Harus-Dianggap-Berbudi-Luhur. Dengan demikian selaras dengan hal itu, tidak ada Etika-Kuno seperti itu tetapi banyak Pendekatan-Etik-Moral yang penting dan beragam, yang memiliki Kesamaan dengan Moralitas-Modern.

Selain itu, Moralitas-Modern khususnya Moralitas-Kontemporer, dicirikan oleh fakta bahwa beberapa cendekiawan terkemuka telah mengembangkan Versi-Modern dari Etika-Kebajikan-Klasik Aristoteles pada abad ke-20. Para cendekiawan ini berpendapat bahwa Etika-Kebajikan cukup berhasil dalam memecahkan persoalan Etika di zaman-kuno dan mereka percaya bahwa mengikuti Versi-Etika-Kebajikan yang telah disaring tidak hanya bermanfaat, tetapi juga unggul dalam memecahkan masalah Moral-Modern kita. Di antara cendekiawan Neo-Aristotelian yang paling penting adalah Anscombe (1958), Foot (1978, 2001), Hursthouse (1999), MacIntyre (1981), Nussbaum (1992, 1993, 1995), Slote (2001), Swanton (2003), dan Williams (1985) yang berpendapat bahwa Teori-Etika-Tradisional seperti Etika-Deontologis ( Kantianisme ) dan Konsekuensialisme ( Utilitarianisme ) ditakdirkan untuk gagal.

Secara umum, mereka setidaknya mematuhi dua hipotesis utama :
(i) Masyarakat di zaman-kuno sudah menggunakan cara Penalaran-Etik dan Pengambilan-Keputusan yang sangat efisien.
(ii) Cara yang khas ini telah hilang dalam modernitas dan belum tergantikan dengan memadai.

Oleh karena itu, seseorang harus mengatasi Teori-Etika-Modern yang kurang dan lagi-lagi mengikuti Etika-Kebajikan sebagai alternatif yang layak tanpa --tentu saja-- meninggalkan perkembangan Etika yang ada ( lihat Bayertz 2005: 115 ).

Bagian selanjutnya menggambarkan Stereotip-Perbedaan yang sudah lama namun masih bertahan antara Etika-Kuno dan Moralitas-Modern untuk lebih memperdalam pemahaman kita tentang Perbedaan dan Kesamaan yang seharusnya dan nyata dari kedua Pendekatan-Etik tersebut.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/anci-mod/
Pemahaman Pribadi