Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, October 30, 2016

Plato 2 : Karya Periode Awal


Pengelompokan karya Plato yang biasa dilakukan oleh para ahli filsafat secara kronologis adalah sebagai berikut:

Karya Periode-Awal
Semua karya yang ditulis Plato setelah kematian Socrates, tetapi sebelum perjalanan pertama Plato ke Sisilia pada tahun 387 SM :
Apology, Charmides, Crito, Euthydemus, Euthyphro, Gorgias, Hippias Major, Hippias Minor, Ion, Laches, Lysis, Protagoras, Republic Bk. I

Karya Periode-Transisi-Awal
Karya yang ditulis Plato pada akhir Periode-Awal dan pada awal Periode-Tengah antara tahun 387-380 SM :
Cratylus, Menexenus, Meno

Karya Periode-Tengah
Karya yang ditulis Plato antara tahun 380-360 SM :
Phaedo, Republic Bk. II-X, Simposium

Karya Periode-Transisi-Akhir
Karya yang ditulis Plato pada akhir Periode-Tengah dan pada awal Periode-Akhir antara tahun 360-355 SM :
Parmenides, Theaetetus, Phaedrus

Karya Periode-Akhir
Karya yang ditulis Plato pada Periode-Akhir antara tahun 355-347 SM, mungkin secara kronologis sbb :
Sophis, Statesman, Philebus, Timaeus, Critias, Laws


Karya Plato : Periode Awal


a. Akurasi Sejarah

Meskipun tidak-ada yang berpendapat bahwa Plato mencatat kata-demi-kata setiap kalimat atau pidato yang sebenarnya diucapkan Socrates. Argumen telah dibuat bahwa tidak-ada pidato Socrates yang tertulis dalam karyanya Apology, yang tidak diucapkan dalam sejarah persidangan Socrates.

Bagaimanapun, adalah cukup-umum bagi para sarjana untuk memperlakukan karya Plato, Apology sebagai sumber kuno yang paling dapat diandalkan untuk menjelaskan sejarah Socrates.

Dialog dalam karya Plato pada periode-awal lainnya tentu kreasi Plato sendiri. Tetapi seperti yang telah dikatakan sebelumnya, kebanyakan ahli memperlakukan ini sebagai hal yang --kurang lebih-- akurat mewakili filosofi dan perilaku Socrates, meskipun para ahli tidak mendukung dengan catatan-sejarah literal percakapan Socrates yang sebenarnya. Beberapa dialog awal termasuk anakronisme membuktikan ketidaktepatan sejarah mereka.

Tentu saja, adalah mungkin bahwa semua dialog sepenuhnya merupakan karya Plato dan tidak-ada hubungan sama-sekali dengan sejarah kehidupan dan filsafat Socrates. Para ahli kontemporer umumnya mendukung salah-satu dari empat sudut-pandang berikut berkaitan dengan dialog dan representasi pemikiran Socrates dalam periode awal karya Plato :

Pandangan Kesatuan (The Unitarian View)
Pandangan ini, yang lebih populer di awal abad ke-20 daripada sekarang, menyatakan bahwa hanya ada filosofi-tunggal yang dapat ditemukan dalam semua karya Plato (dari setiap periode, bahkan jika periode tersebut dapat diidentifikasi dengan jelas dan meyakinkan). Menurut para sarjana yang mendukung pandangan ini, tidak ada alasan sama sekali, untuk berbicara tentang filsafat Socrates. Setidaknya dari apa saja yang ditemukan di dalam karya Plato, segala sesuatu dalam dialog karya Plato adalah filsafat Plato sendiri. Salah satu versi terbaru dari pandangan ini telah dikemukakan oleh Charles H. Kahn (1996). Jauh pada waktu sebelumnya, tetapi masih pada jaman yunani-kuno, pendekatan mereka untuk interpretasi karya Plato pada dasarnya adalah Unitarian. Meskipun demikian Aristoteles adalah pengecualian.

Pandangan Gaya Tulisan Atomis (The Literary Atomist View)
Pendekatan interpretasi ini disebut gaya-tulisan-atomis karena mereka yang mengusulkan pandangan ini memperlakukan setiap dialog dalam karya Plato sebagai sebuah keseluruhan karya tulis yang lengkap. Penafsiran yang tepat harus dicapai tanpa menggunakan referensi karya Plato yang lain. Mereka yang mendukung pandangan ini menolak sepenuhnya relevansi atau validitas pemilahan atau pengelompokan dialog-dialog karya Plato kedalam kelompok-kelompok, dengan alasan setiap pemilahan tersebut tidak mempunyai nilai untuk mencapai penafsiran yang tepat dari setiap dialog yang diberikan. Dalam pandangan ini, tidak ada alasan untuk membuat perbedaan antara filsafat Socrates dan filsafat Plato dan semua filsafat yang ditemukan dalam karya Plato harus dikaitkan hanya dengan Plato sendiri.

Pandangan Perkembangan (The Developmentalis View)
Menurut pandangan ini, yang mencakup paling luas dari semua pendekatan interpretasi yang ada, perbedaan antara dialog dalam karya Plato pada Periode-Awal dan Periode-Akhir menunjukan perkembangan pemikiran filosofi Plato dan gaya tulisannya. Ini mungkin atau mungkin-tidak, terkait dengan upaya Plato untuk melestarikan ingatan akan sejarah Socrates pada setiap dialog dalam karyanya. Perbedaan itu hanyalah menunjukan perubahan pandangan filosofis Plato sendiri. Para ahli yang mendukung pandangan ini, umumnya mengidentifikasi posisi karya Plato pada Periode-Awal sebagai pemikiran filsafat Socrates dan karya Periode-Akhir sebagai filsafat-Plato tetapi tidak memperhatikan hubungan antara pemikiran filsafat-Socrates dan karya Plato dengan sejarah Socrates yang sebenarnya.

Pandangan Sejarah (The Historis View)
Mungkin posisi filosofi yang paling umum dari pandangan-perkembangan adalah pendapat bahwa perkembangan yang terlihat mencolok antara dialog dalam karya Plato pada Periode-Awal dan pada Periode-Akhir bersumber dari upaya Plato untuk menampilkan kembali sejarah Socrates yang ---kurang lebih--- akurat dalam dialog karya Plato pada Periode-Awal. Meski begitu, mungkin karena perkembangan genre-tulisan-tulisan tentang Socrates pada saat itu, dimana para penulis lainnya tidak berupaya mengaitkan tulisannya dengan sejarah Socrates, Plato kemudian lebih leluasa untuk menempatkan pandangannya sendiri melalui mulut karakter Socrates dalam karya-karyanya. Mahasiswa Plato sendiri, Aristoteles, tampaknya memahami dialog dengan cara ini.

Kini, beberapa ahli yang meragukan seluruh program pengurutan dialog ke dalam kelompok secara kronologis dan yang oleh karena itu berpendapat dengan ketat tanpa mengaitkan dengan sejarah (lihat, misalnya, Cooper 1997,xii-xvii) tetap menerima pandangan bahwa karya Plato Periode-Awal adalah pemikiran filsafat Socrates dalam nada maupun isinya. Meskipun demikian, dengan beberapa pengecualian, para ahli sepakat bahwa jika kita tidak mampu membedakan suatu kelompok dialog adalah sebuah karya Plato Periode-Awal atau merupakan pemikiran filsafat Socrates atau bahkan jika kita dapat membedakan suatu kelompok merupakan filsafat Socrates tetapi tidak bisa mengidentifikasi filsafat yang koheren dalam karya-karya itu, maka menjadi sedikit masuk-akal untuk membahas tentang filsafat Socrates dalam karya-karya Plato. Adalah terlalu sedikit (dan yang terlalu sedikit itulah justru yang menarik) yang dapat ditemukan pada karya penulis kuno lainnya yang bisa dikaitkan dengan Socrates. Pada akhirnya, setiap perhatian filosofis yang serius pada Socrates harus diupayakan melalui studi karya Plato pada Periode-Awal atau pada dialog-dialog Plato yang mereprentasikan pemikiran filsafat Socrates.


b. Karakter Socrates Dalam Tulisan Karya Plato

Dalam dialog yang secara umum diterima sebagai karya Plato pada Periode-Awal, tokoh utama selalu adalah Socrates. Socrates ditampilkan sebagai seorang yang sangat lincah melakukan tanya-jawab, yang kemudian dikenal sebagai metode-mengajar Socrates atau elenchus atau elenchos dari istilah bahasa Yunani yang berarti sanggahan. Dalam dialog, Socrates hampir selalu memainkan peran sebagai seorang penanya karena Socrates mengakui tidak memiliki kebijaksanaan dalam dirinya untuk dibagi dengan orang lain. Dalam karya Plato periode ini, Socrates adalah seorang yang mahir mengurangi kebingungan dan kontradiksi dari pendapat lawan bicaranya bahkan untuk hal yang paling sulit dan bandel sekalipun. Dalam Apology, Socrates menjelaskan bahwa perbuatannya yang membuat malu begitu banyak teman-temannya adalah karena perkataan Oracle di Delphi yang disampaikan kepada Chaerephon temannya (Apology 21a-23b), yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih bijaksana dari Socrates. Sebagai hasil dari usahanya untuk mengungkap arti sebenarnya yang dimaksud perkataan Oracle ini, Socrates mendapat tugas menjalankan misi-ilahi di Athena untuk membongkar kesombongan kebijaksanaan yang palsu. Penyelidikannya yang telah membuat malu banyak teman-temannya, pada saat itulah yang menurutnya merupakan akar penyebab dirinya dituntut atas tuduhan penghinaan agama (Apology 23c-24b) sehingga itu bukanlah suatu kesalahan seseorang tetapi merupakan pengorbanannya karena telah memilih menjalani kehidupan-yang-tidak-diuji (lihat 38a).

Cara Plato menampilkan kembali Socrates yang menjalankan misi-ilahi-nya di Athena memberikan penjelasan yang masuk-akal, mengapa warga Athena membawanya ke pengadilan dan menghukumnya, yang terjadi di tahun penuh pergolakan setelah akhir perang Peloponnesia, dan juga mengapa Socrates tampak tidak benar-benar bersalah atas tuduhan yang dihadapinya. Meski demikian, bahkan lebih penting lagi, dialog awal Plato memberikan argumen menarik dan sanggahan-sanggahan terhadap posisi pendapat filosofis yang ada, hal yang menarik minat dan tantangan para pembaca filsafat. Dialog Plato tetap disertakan diantara bacaan yang diperlukan di kelas pengantar filsafat dan kelas lebih lanjut, tidak hanya agar para siswa siap menerima, tetapi juga karena menimbulkan banyak masalah filosofi yang paling mendasar. Lebih lagi, tidak seperti kebanyakan karya-karya filsafat lainnya, Plato membingkai diskusi dengan menyajikannya secara dramatis, yang terutama membuat isi diskusi ini menjadi menarik. Misalnya, dalam karyanya Crito, kita menemukan Socrates membahas tugas warga-negara untuk mematuhi hukum-negara saat ia menunggu eksekusi dirinya yang diperintahkan secara hukum di dalam penjara. Sifat dramatis karya Plato telah mendapatkan perhatian bahkan dari para ahli sastra yang relatif tidak tertarik dengan filsafat seperti itu. Oleh karena itu, apapun nilai yang mereka berikan pada penelitian sejarah, dialog Plato akan terus dibaca dan diperdebatkan oleh mahasiswa dan sarjana dan Socrates yang ditemukan dalam karya Plato Periode-Awal atau filsafat Socrates akan terus didiskusikan di antara para filsuf barat yang terbesar.


c. Posisi Etika

Posisi filosofis hampir semua para ahli adalah sepakat bahwa pandangan moral atau etika berikut ini, dapat ditemukan secara langsung, didukung atau setidaknya disarankan/dikemukakan dalam dialog karya Plato pada Periode-Awal.

- Penolakan terhadap sikap balas-dendam atau membalas perbuatan menyakiti dengan cara menyakiti atau membalas perbuatan jahat dengan cara berbuat jahat (Crito 48b-c, 49c-d; Republic I.335a-e).

- Mengakui bahwa melakukan ketidakadilan merugikan bagi jiwa seseorang. Keadilan adalah hal yang paling berharga bagi seseorang dan oleh karenanya lebih baik menderita/menerima ketidakadilan daripada melakukannya (Crito 47D-48a; Gorgias 478c-e, 511c-512B; Republic I .353d-354a).

- Beberapa bentuk, apa yang disebut eudaimonism adalah kebaikan harus dipahami dalam kerangka untuk kebahagiaan manusia, kesejahteraan, atau kejayaan, yang juga dapat dipahami sebagai menjalani hidup-dengan-baik atau melakukan-hal-yang-baik (Crito 48b; Euthydemus 278e, 282a; Republic I. 354a).

- Pandangan bahwa hanya keutamaan (virtue) yang baik dalam dirinya sendiri. Hal lain yang baik adalah baik hanya sejauh berfungsi atau digunakan untuk kebajikan atau dengan kebajikan (Apology 30b; Euthydemus 281d-e).

- Pandangan bahwa ada sejenis kesatuan antara kebajikan. Dalam beberapa hal, semua kebajikan adalah sama (Protagoras 329b-333b, 361a-b).

- Pandangan bahwa warga negara yang telah setuju untuk hidup dalam sebuah negara harus selalu mematuhi hukum negara itu, atau membujuk negara untuk mengubah hukum-hukumnya, atau meninggalkan negara (Crito 51b-c, 52a-d).


d. Posisi Psikologi

Socrates juga muncul untuk berdebat atau langsung membuat beberapa pandangan psikologi berikut ini:

- Semua kesalahan dilakukan karena ketidaktahuan, semua orang hanya menginginkan sesuatu yang baik (Protagoras 352a-c; Gorgias 468B; Meno 77E-78b).

- Semua orang benar-benar percaya pada prinsip-prinsip moral tertentu, meskipun beberapa mungkin berpikir mereka tidak memiliki keyakinan seperti itu, dan mungkin menolaknya dengan menyampaikan argumen (Gorgias 472b, 475e-476a).


e. Posisi Religi

Dalam dialog ini, juga ditemukan Socrates yang ditampilkan kembali sebagai seorang yang memegang suatu keyakinan agama, seperti:

- Para dewa adalah yang benar-benar bijaksana dan baik (Apology 28a; Euthyphro 6a, 15a; Meno99B-100b).

- Sejak masa kecilnya (lihat Apology 31d) Socrates telah mengalami suatu-yang-ilahi (Apology 31c-d; 40a; Euthyphro 3b; lihat juga Phaedrus 242b), yang berupa suara (Apology 31d; lihat juga Phaedrus 242c), atau tanda (Apology 40 c, 41d, Euthydemus 272e; lihat juga Republic VI.496c; Phaedrus 242b) yang mencegah Socrates pada saat akan melakukan sesuatu yang salah (Apology 40a, 40c).

- Berbagai bentuk wahyu dapat memungkinkan manusia untuk mengenali/memahami kehendak Tuhan (Apology 21a-23b, 33c).

- Penyair dan seniman mampu menulis dan melakukan hal-hal indah. Yang mereka tulis dan lakukan, bukanlah dari pengetahuan atau keahlian mereka, tetapi berasal dari inspirasi-ilahi. Hal yang sama dapat dikatakan untuk utusan dan peramal, meskipun mereka tampak memiliki beberapa jenis keahlian. Mungkin hanya beberapa teknik yang digunakan untuk menempatkan mereka pada sikap penerimaan yang memadai terhadap ilahi (Apology 22b-c; Laches 198e-199a; Ion 533d-536a, 538d-e; Meno 99c).

- Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah kematian, tetapi masuk-akal untuk berpikir bahwa kematian bukanlah suatu hal yang buruk. Dan mungkin ada kehidupan setelah kematian, di mana jiwa-jiwa baik dihargai, dan jiwa-jiwa orang jahat dihukum (Apology 40 c-41c; Crito 54b-c; Gorgias 523a-527a).


f. Posisi Metodologi dan Epistemologi

Selain itu, Socrates dalam dialog karya Plato Periode-Awal mungkin masuk-akal dianggap memiliki keyakinan metodologis atau epistemologis tertentu, termasuk diantaranya :

- Definisi pengetahuan dalam pemahaman etika setidaknya adalah kondisi yang diperlukan untuk melakukan penilaian handal terhadap nilai etis dari hal-hal yang spesifik (Euthyphro 4e-5d, 6e; Laches 189e-190B; Lysis 223b; Besar Hippias 304d-e; Meno 71a-b, 100b ; Republic I.354b-c).

- Sebuah daftar yang berisi sejumlah contoh nilai-nilai etis, bahkan jika semuanya merupakan kasus otentik dari nilai tersebut, tidak akan menyediakan analisis yang memadai untuk memahami apa nilai etis itu, atau tidak akan memberikan definisi yang memadai tentang istilah nilai yang mengacu pada nilai etis tersebut. Definisi yang tepat harus menyatakan apa yang umum untuk semua contoh nilai etis tersebut (Euthyphro 6d-e; Meno 72c-d).

- Mereka yang menguasai pengetahuan tingkat ahli atau memiliki kebijaksanaan mengenai sebuah subjek, tidak akan salah dalam melakukan penilaian terhadap subjek itu (Euthyphro 4e-5a; Euthydemus 279d-280b), karena mereka mengerjakan urusan dalam bidang keahliannya secara rasional dan teratur (Gorgias 503e- 504b), dan mereka juga dapat mengajar dan menjelaskan mengenai subjek tersebut (Gorgias 465a, 500e-501B, 514a-b; Laches 185B, 185e, 1889e-190B); Protagoras 319b-c).


Sumber:
www.iep.utm.edu/plato
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 27 Oktober 2016


Monday, October 24, 2016

Plato 1 : Kisah Hidupnya


Plato adalah salah satu filsuf paling dikenal dan paling banyak dibaca serta dipelajari di dunia.

Dia adalah murid Socrates dan guru dari Aristoteles. Ia menulis karya-karyanya pada pertengahan abad 4 SM di wilayah Yunani kuno.

Meski terutama dipengaruhi oleh Socrates, sejauh Socrates merupakan tokoh utama dalam banyak tulisan karya Plato, ia juga dipengaruhi oleh Heraclitus, Parmenides, dan Pythagoras.

Ada kontroversi dalam berbagai tingkat berkaitan dengan ontetisitas karya Plato, serta bagaimana urutan karya Plato ditulis, hal ini dikarenakan kunonya karya-karya itu dan disebabkan oleh cara-pelestariannya melalui waktu.

Meskipun demikian, karya-karya Plato yang paling-awal, umumnya dianggap sebagai sumber-sumber kuno yang paling dapat diandalkan untuk menjelaskan mengenai Socrates, dan karakter Socrates yang kita kenal melalui tulisan ini dianggap menjadikan dia sebagai salah satu filsuf-terbesar diantara filsuf kuno lainnya

Karya Plato pada periode-tengah hingga periode-akhir termasuk karyanya yang paling terkenal, Republic, umumnya dianggap sebagai filsafat hasil pemikiran Plato sendiri, di mana karakter-utama dalam karya itu berbicara selaku Plato sendiri.

Karya-karya ini mencampurkan etika, filsafat politik, psikologi moral, epistemologi, dan metafisika menjadi sebuah filosofi yang saling berhubungan dan sistematis.

Diatas semua itu, dari Plato kita mendapatkan teori-forma, yang berpandangan bahwa dunia yang kita ketahui melalui indera hanyalah-tiruan dari dunia-forma yang murni, kekal, tidak-berubah dan transenden.

Karya Plato juga mengandung asal-muasal keluhan yang sering terdengar bahwa seni bekerja dengan mengobarkan-nafsu dan hanya merupakan ilusi-belaka.

Kita juga diperkenalkan dengan ide cinta-platonis dalam hal ini Plato melihat cinta sebagai suatu yang dimotivasi oleh kerinduan pada ide-keindahan-tertinggi dalam dunia-forma yaitu hakikat-keindahan itu sendiri dan cinta sebagai kekuatan-pendorong untuk meraih prestasi-tertinggi yang mungkin dapat dicapai.

Meskipun demikian karena cinta cenderung mengalihkan perhatian untuk menerima sesuatu yang kurang dari potensi-tertinggi yang dimiliki, pandangan Plato salah dipercayai dan secara-umum dipahami menganjurkan ekspresi-cinta-secara-fisik.


a. Kelahiran

Sudah diterima secara luas bahwa Plato adalah filsuf Athena yang lahir pada tahun 428/427 SM dan meninggal pada usia delapan-puluh atau delapan-puluh-satu pada tahun 348/447 SM, meskipun demikian tanggal tersebut tidak sepenuhnya tepat.

Menurut Diogenes Laertius (DL), yang mengikuti kronologi Apollodorus, Plato lahir pada tahun ketika Pericles meninggal dunia, enam tahun lebih muda dari Isokrates, dan meninggal pada usia delapan puluh empat (DL 3,2-3,3). Jika tanggal kematian Plato versi Apollodorus benar, Plato akan lahir pada tahun 430 SM atau 431 SM.

Diogenes berpendapat bahwa Plato lahir pada tahun Pericles meninggal dunia akan menempatkan kelahirannya pada tahun 429 SM. Kemudian (pada 3,6), Diogenes mengatakan bahwa Plato berumur dua puluh delapan ketika Socrates dihukum-mati pada tahun 399 SM yang akan menempatkan tahun kelahirannya pada tahun 427 SM.

Disamping ketidakpastian tanggal kehidupan Plato yang disebutkan di atas, yang didasarkan pada perhitungan Eratosthenes, secara tradisional data tersebut telah diterima sebagai hal yang akurat.


b. Keluarga

Sedikit yang dapat diketahui tentang kehidupan awal Plato. Menurut Diogenes dengan kesaksian yang sangat meragukan diperoleh informasi bahwa orang tua Plato adalah Ariston dan Perictione (atau Potone- lihat D.L. 3.1).

Kedua belah pihak keluarga orang-tua Plato mengaku mempunyai nenek-moyang yang sama yaitu Poseidon (D.L. 3.1).

Diogenes melaporkan bahwa kelahiran Plato adalah hasil perkosaan Ariston kepada Perictione (D.L. 3.1), ini adalah contoh yang baik dari gosip yang belum terkonfirmasi di mana Diogenes begitu sering memanjakannya.

Dari orang tua yang sama, Plato memiliki dua kakak laki-laki yaitu Glaucon dan Adeimantus dan seorang adik perempuan bernama Potone (lihat D.L. 3.4).

Pada buku karya WKC Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. 4, 10 n. 4 berpendapat masuk-akal bahwa Glaucon dan Adeimantus adalah kakak dari Plato.

Setelah kematian Ariston, ibu Plato kemudian menikah dengan pamannya sendiri yaitu Pyrilampes (dalam karya Plato berjudul Charmides, disebutkan bahwa Pyrilampes adalah paman Charmides dan Charmides adalah saudara dari ibu Plato). Dari pernikahan dengan Pyrilampes ibu Plato mempunyai anak-lain bernama Antiphon, saudara-tiri Plato (lihat Plato, Parmenides 126A-b).

Plato berasal dari salah-satu keluarga terkaya dan paling-aktif secara politik di Athena. Meskipun demikian kegiatan politik mereka tidak dilihat sebagai suatu hal yang patut-dipuji oleh para sejarawan.

Salah satu paman Plato, Charmides adalah anggota dari tiran-tiga-puluh yang terkenal karena menggulingkan demokrasi Athena pada tahun 404 SM. Paman Charmides sendiri yaitu Critias adalah pemimpin tiran-tiga-puluh.

Keluarga Plato sendiri tidak secara eksklusif terkait dengan faksi-oligarki di Athena namun demikian ayah tirinya Pyrilampes dikatakan menjadi rekan dekat Pericles, ketika ia memimpin faksi-demokrasi.

Sepertinya nama lahir Plato yang sebenarnya mengikuti nama kakeknya yaitu Aristocles. Plato yang berarti bidang atau luas pada awalnya merupakan nama-panggilan yang mungkin pertama diberikan oleh guru gulatnya untuk menunjukan fisiknya, atau luas gayanya, atau bahkan luas dahinya (semua dijelaskan di DL 3.4).

Meskipun demikian nama Aristocles masih diberikan pada Plato sebagai nama pada salah satu dari dua-nisan di makamnya (lihat D.L. 3,43) dan sejarah mengenalnya sebagai Plato.


c. Perjalanan Awal Dan Pendirian Academy

Ketika Socrates meninggal, Plato meninggalkan Athena, menetap pertama kali di Megara. Tetapi kemudian berpindah ke beberapa tempat lainnya, termasuk mungkin Kirene, Italia, Sisilia (Syracuse), dan bahkan Mesir.

Strabo (17,29) mengaku ditunjukkan di mana Plato hidup ketika ia mengunjungi Heliopolis di Mesir. Plato sesekali menyebut Mesir dalam karya-karyanya tetapi tidak untuk mengungkapkan banyak konsekuensi apapun (lihat, sebagai contoh, Phaedrus 274c-275b; Philebus 19b ).

Bukti yang lebih baik dapat ditemukan untuk kunjungan Plato ke Italia dan Sisilia, terutama dalam Seventh-Letter.

Menurut penjelasan yang diberikan di sana, Plato pertama kali pergi ke Italia dan Sisilia ketika dia berumur "sekitar empat puluh tahun" (Seventh-Letter 324a). Ketika ia menetap di Sisilia, Plato menjadi instruktur untuk Dion, adik-ipar dari tiran Dionysius I.

Menurut cerita yang diragukan dari masa yang lebih kuno, selama kunjungan ini Dionysius menjadi kesal dengan Plato untuk beberapa hal dan mengatur agar sang-filsuf dijual sebagai budak (Diod 15.7; Plut Dion 5; DL 3.19-21).

Pada suatu kesempatan, Plato kembali ke Athena dan mendirikan sekolah, yang dikenal sebagai Academy. Dari sinilah kita mendapatkan kata Akademi. Academy diambil sebagai nama berdasar-lokasi dimana sekolah didirikan pada sebuah tempat-sakral yang dipenuhi pohon yang rimbun untuk menghormati pahlawan Academus atau Hecademus (lihat DL 3.7) berjarak satu setengah kilometer atau lebih di luar tembok Athena.

Situs ini masih dapat dikunjungi di Athena modern, namun pengunjung hanya akan menjumpai depresi kekosongan dari monumen atau fitur yang menarik.

Kecuali dua perjalanan ke Sisilia berikutnya, Academy tampaknya menjadi rumah tinggal bagi Plato selama menghabiskan sisa hidupnya.


d. Perjalanan Terakhir Ke Sisilia Dan Kematian

Dari dua petualangan terakhir Plato di Sisilia, yang pertama terjadi setelah Dionysius I meninggal dan putranya Dionysius II naik tahta. Pamannya/kakak ipar Dion membujuk tiran-muda itu untuk mengundang Plato, guna membantu dia menjadi seorang filsuf-penguasa seperti yang dijelaskan dalam karya Plato Republic.

Meskipun sang-filsuf yang sudah berumur enam-puluhan-tahun tidak sepenuhnya dibujuk (Seventh-Letter 328b-c), ia setuju untuk berangkat ke Sisilia. Meskipun demikian, perjalanan ini seperti sebuah perjalanan terakhir, tidak berjalan dengan baik sama-sekali.

Dalam beberapa bulan kemudian, Dionysius muda mengirim Dion ke pengasingan karena penghasutan (Seventh-Letter 329c, Third-Letter 316C-d) dan Plato efektif menjadi tahanan rumah sebagai Tamu-Pribadi sang diktator (Seventh-Letter 329c-330B).

Plato akhirnya berhasil mendapatkan izin dari tiran untuk kembali ke Athena (Seventh-Letter 338A). Ia dan Dion berkumpul kembali di Academy (Plut. Dion 17).

Dionysius setuju bahwa Setelah-Perang mungkin Perang-Lucanian yang terjadi pada tahun 365 SM (Seventh-Letter 338A) ia akan mengundang Plato dan Dion kembali ke Sisilia (Third-Letter 316e-317a, Seventh-Letter 338A-b).

Dion dan Plato selanjutnya tinggal di Athena selama empat-tahun pada 365-361 SM. Dionysius kemudian memanggil Plato, tetapi menghendaki Dion tetap tinggal di Athena untuk menunggu beberapa saat.

Dion menerima syarat itu dan mendorong Plato untuk segera berangkat ke Sisilia (Third-Letter 317a-b, Seventh-Letter 338b-c), tapi Plato menolak undangan (Third-Letter 317a,Seventh-Letter 338c). Hampir setahun berlalu, Dionysius mengirim sebuah kapal yang membawa salah-satu teman Plato pengikut filsuf Pythagoras bernama Archedemus, teman dari Archytas (Seventh-Letter bagian 339a-b dan berikutnya) di atas kapal memohon Plato untuk kembali ke Sisilia.

Sebagian karena antusiasme temannya Dion pada rencana tersebut, Plato akhirnya berangkat sekali lagi ke Sisilia. Meskipun demikian, sekali lagi keadaan di Sisilia sama-sekali tidak disukai Plato. Dionysius sekali lagi efektif memasukan Plato ke penjara di Sisilia, dan pada terakhir Plato mampu melarikan-diri lagi dengan bantuan dari temannya dari Tarentum (Seventh-Letter 350A-b).

Dion kemudian mengumpulkan tentara bayaran dan menyerbu tanah airnya sendiri. Tapi kesuksesannya itu hanya berumur-pendek, dia dibunuh dan kekacauan di Sisilia menjadi berkurang. Plato, mungkin sekarang benar-benar muak dengan politik, ia kembali ke Academy-nya tercinta, di mana dia menghabiskan tiga-belas-tahun masa terakhir hidupnya.

Menurut Diogenes, Plato dimakamkan di sekolah yang ia dirikan (D.L. 3.41) namun makamnya, belum ditemukan oleh investigasi arkeologi.


e. Pengaruh Pada Plato

Heraclitus
Aristoteles dan Diogenes setuju bahwa Plato memiliki beberapa hubungan awal yang baik dengan filsafat Heraclitus dari Ephesus atau dengan satu atau lebih dari pengikut sang-filsuf (lihat Aristoteles Metaph. 987a32, D.L. 3,4-3,5). Efek dari pengaruh ini mungkin dapat dilihat dalam konsepsi matang Plato tentang dunia-indra yang tak-henti-hentinya-berubah.

Parmenides dan Zeno
Tidak ada keraguan bahwa Plato juga sangat dipengaruhi oleh Parmenides dan Zeno, keduanya dari Elea, dalam teori-forma Plato, yang jelas dimaksudkan untuk memenuhi-syarat filsafat Parmenides tentang kesatuan-metafisik dan stabilitas dalam dunia-indra. Parmenides dan Zeno juga muncul sebagai karakter dalam dialog karya Plato berjudul Parmenides. Diogenes Laertius juga mencatat pengaruh penting lainnya:

" Dalam karya-karyanya, Plato mencampur argumen Heraclitus, Pythagoras, dan Socrates. Mengenai dunia-indra, ia meminjam ide dari Heraclitus; mengenai inteligensi, dari Pythagoras; dan tentang politik, dari Socrates. (D.L. 3.8) "

Pythagoras
Diogenes Laertius (3.6) mengklaim bahwa Plato mengunjungi beberapa pengikut filsafat Pythagoras di Italia-Selatan (salah satunya adalah Theodorus yang juga disebutkan sebagai teman Socrates di dalam karya Plato berjudul Theaetetus). Dalam Seventh-Letter (lihat 339d-e), kita belajar bahwa Plato adalah teman Archytas dari Tarentum, seorang negarawan dan pemikir pengikut filsafat Pythagoras yang terkenal, dan di dalam karyanya Phaedo, Plato menyebut Echecrates seorang pengikut Pythagoras lain, berada dalam kelompok di sekitar Socrates di hari terakhirnya di penjara. Pengaruh filsafat Pythagoras pada Plato tampaknya jelas dalam kekagumannya dengan matematika dan dalam beberapa cita-cita politiknya (lihat filsafat politik Plato), hal ini dinyatakan dalam berbagai cara di beberapa dialog.

Socrates
Meskipun demikian, jelas bahwa tidak ada pengaruh yang lebih besar dari Socrates pada Plato. Hal ini terbukti tidak-hanya di banyak doktrin dan argumen yang kita temukan dalam dialog Plato tetapi mungkin yang paling-jelas adalah pilihan Plato pada Socrates sebagai tokoh utama di sebagian besar karya-karyanya. Menurut Seventh-Letter (324e), Plato menjelaskan Socrates sebagai Manusia-Paling-Adil. Menurut Diogenes Laertius(3.5), Socrates dan Plato saling menghormati.


Sumber:
www.iep.utm.edu/plato
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 24 Oktober 2016


Tuesday, October 18, 2016

Buatmu


Kau sebut kawan ?
Tak perlu dipaksa
Bukan kenapa
Takut kau tertimpa siksa !

Siap terima bencimu
Jangan sebut kawan !
Tak murni, kau tekan
Buat apa !

Buang saja !
Tak bangga juga denganku
Cukup ambil yang kau perlu
Sudah terima bukan !

Kawan, penghargaan
Melulu sejak dulu
Apa arti buatmu ?
Tak ada !

Simpan saja baikmu
Siapa pula aku
Sungguh !
Tak butuh itu !


Kebon Jeruk, 18 Oktober 2016


Saturday, October 15, 2016

Politik Dongeng : Si Baik Dan Si Jahat


Pertarungan politik merebut kekuasaan di Ibu Kota Negara selalu menarik untuk diperhatikan dan diikuti. Hal ini dikarenakan Pilkada Jakarta memiliki posisi strategis untuk menentukan peta kekuatan politik di tingkat nasional. Hampir semua partai politik paham dan menyadari hal ini. Di Pilkada Jakarta, sebagai representasi mini peta politik negeri ini, partai-partai mengukur sekaligus mempersiapkan diri dan mencoba kekuatan melalui modeling pertarungan politik dengan tujuan akhir meraih kekuasaan tertinggi di negeri ini. Untuk itu hampir semua partai mengerahkan upaya maksimal guna memenangkan pertarungan mini itu. Bahkan para ketua dan petinggi partai pun langsung turun memimpin pasukannya berlaga di medan tempur. Frase pendek 'Pertarungan Para Dewa' sangat baik dan indah mendeskripsikan hal itu.

Isu SARA

Masa berperang memang belum dimulai, tetapi genderang sudah bertalu. Pertarungan sesungguhnya sudah terjadi sejak partai-partai menentukan calon definitif untuk kandidat yang akan menduduki kekuasaaan. Strategi pun sudah mulai dijalankan.

Medan pertarungan politik adalah medan terbuka yang sangat memungkinkan pemakaian segala cara untuk memperoleh kemenangan dan meraih kekuasaan. Oleh karena itu adalah hal wajar, bila dalam pertarungan politik terlihat adanya penggunaan strategi yang diyakini kotor baik oleh masyarakat umum maupun oleh para pelaku politik itu sendiri. Isu SARA adalah salah satu diantaranya.

Pemahaman lama berpendapat, isu SARA merupakan senjata efektif dan efisien untuk menjatuhkan lawan. Tetapi sedikit yang menyadari bahwa senjata itu akan bekerja normal pada iklim demokrasi dan keadaan sosial masyarakat tertentu. Pada kondisi yang lain, isu SARA justru dapat berbalik menjadi bumerang yang melemahkan penyerangnya dan sebaliknya melipatgandakan kekuatan lawan dengan tidak kalah efektif dan efisiennya. Isu SARA sangat bergantung pada bagaimana, kapan, dimana, dan secerdik apa memainkannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Seperti kota-kota besar pada umumnya, kecenderungan pemilih di Jakarta bergerak ke arah penggunaan rasio dan meninggalkan alasan-alasan SARA dalam menentukan pilihannya. Akses informasi yang begitu mudah serta peristiwa-peristiwa politik besar yang sangat gamblang tergelar di depan mata dengan dilengkapi berbagai analisa politik yang logis membuat pemilih di Jakarta sangat-sangat terlatih untuk melakukan penilaian politik secara rasional dalam menentukan pilihannya. Setidaknya dua pemilu besar sebelumnya menunjukan itu.

Peristiwa Surat Al-Maidah

Riuh rendahnya peristiwa Surat Al-Maidah sangat menarik dicermati  untuk membaca fenomena penggunaan isu SARA yang dimainkan untuk mencapai tujuan politik. Pihak mana yang diuntungkan atau dirugikan dalam hal ini bergantung pada pihak yang lebih lihai dan cerdik menggunakan senjata ini.

Sebelum peristiwa Surat Al-Maidah terjadi, muncul peristiwa yang cukup menarik perhatian publik. Seorang pembina partai islam -dengan nama besarnya dan dengan vulgarnya- menggunakan istilah-istilah keagamaan untuk menyerang Sang-Petahana bahkan menggunakan even peringatan sakral agamanya untuk melakukan propaganda menjatuhkan karakter Sang-Petahana. Sosok lama yang mempunyai 'template' khas berperang dengan menerapkan pola pikir lama dan strategi lama dengan asumsi-asumsi lama dicampur nafsu menggebu yang mengaburkan perhitungan politik yang cermat. Strategi yang sangat mudah dibaca karena Sang-Petahana justru menyadari betul sisi lemahnya dan sudah berpengalaman menghadapi lawan yang sejenis.

Persepsi publik pada saat itu menunjukan reaksi kurang simpatik dan memberikan sinyal yang kuat akan ketidaksukaan pada peristiwa itu. Hal ini sepertinya dipahami oleh Sang-Petahana dengan jernih dan jeli sebagai bukti empiris yang memastikan bahwa demokrasi benar-benar telah bekerja atas dasar rasionalitas dan sebagai 'penanda' bahwa pihak lawan mengusung senjata lama, bekas pertarungan sebelumnya tanpa modifikasi sama sekali. Beberapa saat kemudian isu ini mereda tetapi pertarungan masih terus berlanjut.

Peristiwa Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu -entah sengaja atau tidak- kemudian terjadi. Peristiwa ini memancing sekaligus memicu isu SARA bergaung dengan intensitas lebih memekakkan telinga. Pihak Non-Petahana sepertinya memahami peristiwa ini sebagai 'blunder' yang dilakukan Sang-Petahana. Seperti melihat celah pertahanan yang terbuka, dengan agresif pihak Non-Petahana menggunakan kesempatan ini untuk menyerang dengan tajam sekaligus meluapkan kegusarannya. Sementara Sang-Petahana dengan cerdik memilih tidak begitu menanggapi serangan itu, bersikap lebih bertahan dan hati-hati, bereaksi hanya untuk mengimbangi ala kadarnya. Sikap  yang memberikan keuntungan pada Sang-Petahana karena publik dapat dengan mudah dan jelas membedakan sekaligus mengidentifikasi pihak mana yang aktif memainkan isu SARA.

Peristiwa demonstrasi kemudian menyusul meneruskan gelombang serangan berdasar peristiwa Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu. Pihak Non-Petahana seperti merasa diatas angin dengan berhasil mengumpulkan ribuan pendemo pada aksi tersebut. Sementara Sang-Petahana masih belum menunjukan perlawanan yang memadai apalagi all-out, bahkan cenderung diam dan pasif. Akibat reaksi yang kontras dari Sang-Petahana atas peristiwa ini adalah mengokohkan persepsi publik yang semakin mantap mengidentifikasi pihak mana yang sesungguhnya intensif memanfaatkan isu SARA. Ini diperkuat dengan kredibilitas peserta dan organisasi yang terlibat demonstrasi yang lekat dengan politik aliran ditambah kehadiran sosok tua yang khas dengan usaha-usaha untuk melengserkan Sang-Petahana.

Dongeng Si Baik Dan Si Jahat

Sepanjang sejarah perkembangan manusia dongeng selalu menyertai kehidupan. Dalam berbagai peradaban, dongeng digunakan untuk menanamkan nilai-nilai moral selain sebagai penghibur hidup manusia yang naik dan turun. Moralitas direpresentasikan dengan tokoh Si Baik dan Si Jahat beserta sifat-sifat yang menempel padanya. Alur cerita biasanya dimulai dengan Si Jahat yang memperlakukan Si Baik dengan tidak adil dan menindas serta perlakuan buruk lainnya, Si Baik umumnya digambarkan dengan tokoh yang teraniaya, lemah dan tidak mampu melawan. Cerita kemudian berjalan dengan peristiwa-peristiwa menarik yang menunjukan bahwa alam dan penciptanya berpihak pada Si Baik. Dan pada ujung cerita, dongeng berakhir dengan kebahagiaan atau kemenangan Si Baik. Sebaliknya Si Jahat menerima akhir yang menyedihkan, sial atau mengenaskan.

Cerita yang disertai nilai-nilai moral sepert ini telah tertanam dalam masyarakat. Proses internalisasi telah lama berjalan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka dapatlah dipahami mengapa masyarakat begitu mudah merasa simpati dan berempati kepada individu yang teraniaya atau ikut memaki dan mengutuk pada individu yang menurutnya bertindak amoral.

Isu SARA disisi lain dapat menggiring pemilih untuk memahami pertarungan politik seperti memahami dongeng Si Baik dan Si Jahat. Melalui refleksi, pemilih akan meng-analogi-kan tokoh dongeng dengan masing-masing kandidat yang bertarung. Berdasar pada analisa terhadap peristiwa politik yang terjadi dan tingkah laku sang kandidat dan tim pemenangannya selama menjalani pertempuran, kesadaran pemilih melakukan identifikasi mana Si Baik dan mana Si Jahat sesuai dengan persepsi pada masing-masing kandidat. Selanjutnya pada saat pemilihan tiba, pemilih akan mengekspresikan pembelaannya pada kandidat yang dinilainya sebagai Si Baik dengan memilihnya.

Dengan melihat fakta pertarungan politik diatas, kedua belah pihak sesungguhnya memanfaatkan isu SARA untuk memperebutkan persepsi pemilih agar menilai kandidatnya sebagai tokoh Si Baik. Sang-Petahana memposisikan diri -secara pasif- sebagai orang biasa yang baik dan lemah sedang pihak Non-Petahana memposisikan diri -secara aktif- sebagai penguasa kebenaran yang kuat dan sangat berkuasa. Sayangnya isu SARA mempunyai konotasi makna negatif yang lebih rasional berkorelasi dengan perlakuan buruk Si Jahat kepada Si Baik dalam dongeng. Oleh karena itu semakin intens/aktif pemakaian isu SARA akan cenderung membuat kandidat mengalami kekalahan karena ditinggal pemilih. Sedikitnya perilaku negatif yang dilakukan oleh kandidat dan tim pemenangannya merupakan pertimbangan utama bagi pemilih dalam menentukan persepsi siapa yang dinilai Si Baik.


Sumber:
Pengalaman Hidup
Pemahaman Otodidak


Kelapa Gading, 16 Oktober 2016


Sunday, October 9, 2016

Konsekuensi Negatif Modernisme : Pemicu Postmodernisme


Yang dimaksud dengan Modernisme dibidang filsafat adalah gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang diinspirasikan oleh Descartes yang kemudian dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung) dan mengabdikan dirinya hingga abad duapuluh satu ini melalui dominasi sains dan kapitalisme.

Gambaran dunia semacam ini, beserta tatanan sosial yang dihasilkan ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk pada kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Pada taraf praksis, beberapa konsekuensi negatif itu adalah sebagai berikut :

i. Eksploitasi Alam
Pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi Subjek-Objek, Spiritual-Material, Manusia-Dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini -kita tahu- telah mengakibatkan krisis ekologi.

ii. Manusia Sebagai Objek
Pandangan modern yang bersifat Objektivis dan Positivitis akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.

iii. Disorientasi Moral-Religius
Dalam modernisme ilmu-ilmu positif dan empiris mau tidak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini, adalah nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbulah disorientasi moral-religius, yang pada akhirnya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain-lain.

iv. Materialisme
Bila kenyataan terdasar tidak ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Materialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis yaitu hidup pun menjadi keinginan yang tak ada habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Dan aturan utama adalah survival of the fittest atau dalam skala besar persaingan dalam pasar. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern.

v. Militerisme
Karena norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma-norma umum objektif pun hilang juga. Akibatnya kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang dari hal ini adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Meskipun demikian religi pun bisa sama kerasnya manakala dihayati secara fundamentalis, oleh karena dalam fundamentalisme Tuhan biasanya juga dilihat sebagai kekuasaan yang menghancurkan pihak musuh. Jika religi dihayati dengan cara demikian maka justru menjadi alat legitimasi militerisme.

vi. Tribalisme
Bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan yang keras. Sesungguhnya secara teoritis religi-religi telah selalu berusaha mengatasi tribalisme dan menggantikannya dengan universalisme. Namun religi kini tidak memiliki cukup kekuatan dan otoritas hingga pengaruhnya tak amat terasa. Lebih celaka lagi setelah perang ideologi selesai kini religi menjadi kategori identitas penting yang jusrru mendukung kelompok-kelompik yang saling bertengkar dengan kata lain justru mendukung tribalisme.

Demikian konsekuensi negatif itu akhirnya telah memicu berbagai gerakan postmodern yang hendak merevisi paradigma modern.


Sumber:
I. Bambang Sugiharto
Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat