Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, June 30, 2016

Sinisme


Sinisme adalah sebuah paham atau aliran-filsafat yang berasal dari ajaran-filsafat Hellenisme yunani-kuno sekitar pertengahan abad ke-4 SM. Paham Sinisme mengaku mempunyai hubungan dengan ajaran Socrates. Dalam sebuah kalimat, Plato menyebut paham Sinisme sebagai :

" Socrates yang gila ! "

Meskipun demikian, untuk menyebut Sinisme sebagai paham-filsafat-formal-akademis memunculkan kesulitan tersendiri karena paham Sinisme adalah tidak-konvensional dan anti-teori.

Kaum Sinisme memusatkan perhatian utamanya pada bidang etik. Akan tetapi konsep etik Sinisme lebih pada cara-menjalani-hidup daripada doktrin yang memerlukan berbagai detail penjelasan teoritis. Seperti melakukan askesis ----bahasa Yunani yang berarti melatih-diri---- merupakan hal-fundamental pada ajarannya.

Paham Sinisme ----juga dengan Stoikisme yang mengikuti ajarannya---- keduanya mempunyai ciri-khas-sama yaitu apa yang disebut jalan-hidup Sinisme (the-cynics-way-of-life). Sebuah cara-menjalani-hidup sebagai jalan-pintas mencapai kemuliaan. Meskipun kaum Sinisme berpendapat telah menemukan jalan-tercepat dan mungkin-paling-pasti menuju kemuliaan-hidup, kaum Sinisme mengakui betapa-sulitnya menempuh jalan-itu.

Bentuk cara-hidup Sinisme yang beraneka-ragam memunculkan sejumlah permasalahan tersendiri. Keberhasilan paham Sinisme menjadi sebuah aliran-filosofi-formal serta dokumentasi-akademis ciri-khasnya diperoleh melalui proses diskusi yang rumit terhadap sejarah-individu-tokoh-tokohnya. Kerumitan semakin bertambah karena jarangnya sumber-sumber yang menjelaskan paham-ini. Bukti-bukti Sinisme terbatas pada kata-kata-pendek, kalimat-bijak dan kabar atau cerita dari mulut-kemulut dari masa lalu. Tidak ada karya-tertulis peninggalan kaum Sinisme yang bertahan. Tradisi mencatat dan merekam prinsip-ajaran-pokok Sinisme berdasar pada bagaimana para-penganut Sinisme menjalani-hidupnya, melalui praktek yang biasa dilakukan, dan melihat kepribadiannya, yang kemudian bisa membuat dimengerti apa-perbedaan antara etik Sinisme dengan paham-yang-lain.


Sejarah Nama

Asal kata Sinisme (cynic) adalah kunikos kata dari bahasa Yunani yang berarti seperti-anjing (dog-like) sebuah kata yang menjadi pangkal-perdebatan. Terdapat dua-cerita yang bersaing menjelaskan asal-muasal nama itu, yang-pertama menggunakan figur Antisthenes dan yang-kedua menggunakan figur Diogenes dari Sinope.

Antisthenes adalah seorang guru yang mengajar di sebuah-tempat yang disebut cynosarges sebuah kata Yunani yang berarti anjing-putih, anjing-yang-lincah atau daging-anjing. Cynosarges adalah sebuah tempat belajar dan berkumpul, disana terdapat pula kuil tempat pemujaan bagi kaum Nothoi yaitu sebutan untuk seorang bukan-warga Athena yang disebabkan terlahir sebagai budak, orang asing atau pelacur. Seseorang juga disebut Nothoi jika terlahir dari pasangan warga Athena tetapi tidak melakukan pernikahan dengan legal.

Berdasar pada penjelasan pertama, istilah Sinisme (cynic) diambil dari nama-tempat dimana gerakan pendiri aliran Sinisme melakukan kegiatan praktek dan lebih penting lagi belajar mengajar. Sejauh ini, hal tersebut masih berupa-dugaan seperti yang dilakukan oleh para-penulis jaman berikutnya yang membuat cerita berdasar analogi yang sama dimana istilah Stoic berasal dari Stoa-Poikile yang menunjukan tempat dimana Zeno dari Citium mengajar pada murid-muridnya. Meski dapat dipastikan adanya hubungan antara Antisthenes atau kaum Sinisme dengan cynosarges. Antisthenes sendiri adalah seorang Nothos dan kuil yang ada adalah tempat pemujaan terhadap Hercules, pahlawan kaum Sinisme yang paling-dihormati.

Kemungkinan asal-muasal kedua, bersumber dari dugaan julukan bagi Antisthenes yaitu haplokuon sebuah kata yang sangat mungkin berarti seekor-anjing yang menunjukan bagaimana cara Antisthenes menjalani-hidup dengan sederhana-dan-murni. Meski Antisthenes dikenal sebagai orang yang kasar, primitif, tidak-tahu-sopan-santun, sederhana-dan-murni ----hal yang mungkin menyebabkan dirinya diberi julukan anjing---- teman seangkatan seperti Plato dan Xenophon tidak menyebutnya seperti itu. Justru para-pengarang jaman berikutnya seperti Aelian, Epictetus dan Stobaeous yang mengidentifikasikan Antisthenes dengan kuon (anjing). Hal tersebut memberi keyakinan pada pengertian bahwa julukan-itu diberikan pada Antisthenes setelah kematiannya dan hanya setelah Diogenes dari Sinope ilustrasi filsuf-anjing muncul kembali.

Jika Antisthenes bukan orang-pertama penganut Sinisme yang dari sana diambil nama-paham Sinisme maka asal-muasal sebutan Sinisme jatuh kepada Diogenes dari Sinope, seorang yang memang dikenal menjalani hidup mirip dengan seekor-anjing. Istilah itu mula-mula merupakan bentuk-hinaan dan cemooh pada gaya-hidup Diogenes, khususnya pada kecenderungannya untuk melakukan semua-aktivitas-di-tempat-umum. Tidak mempunyai rasa-malu, yang membuat Diogenes menggunakan setiap-tempat untuk melakukan-apa-saja adalah alasan-utama untuk memberi julukan padanya yaitu Diogenes si-anjing (Diogenes-the-dog)

Sumber akurat mengenai asal-muasal istilah Sinisme (cynic) menjadi tidak-penting daripada kesesuaian pengertiannya. Kaum Sinisme (cynic) yang pertama, dimulai paling jelas pada Diogenes dari Sinope yang memperoleh gelar-julukan dengan cara-membentak pada mereka yang membuatnya tidak-senang, menolak etik Athena dan hidup-dari-alam. Dengan kata-lain, apa yang pada awalnya merupakan julukan olok-olok menjadi sebuah penanda untuk suatu-paham-filosofis dan kaum-yang-menganutnya.

Akhirnya karena paham Sinisme menunjukan cara-hidup. Sangatlah tidak-tepat untuk menyamakan Sinisme dengan sekolah-paham lainya pada saat itu. Sinisme tidak-mempunyai perangkat dan tempat untuk melakukan aktivitas belajar-mengajar seperti Garden sekolah-ajaran Epicurus, Lyceum sekolah-ajaran Aristoteles atau Academi sekolah-ajaran Plato. Bagi Diogenes dan Crates jalan-jalan di Athena merupakan tempat-yang-baik untuk mengajar atau melakukan-praktek, lebih dari itu kaum Sinisme mempunyai sikap mengabaikan dan sering-kali menganggap konyol terhadap pandangan-pandangan filosofi-yang-spekulatif. Kaum Sinisme adalah pengkritik-keras terhadap pemikiran-yang-dogmatis, teori-teori yang mereka anggap tidak-berguna serta esensi-dari-metafisika.


Etik Sinisme

Hal-utama untuk memahami konsep-etik Sinisme ialah pendapatnya bahwa kemuliaan dicapai dengan-cara menjalani-hidup-selaras-dengan-alam. Menurut kaum Sinisme, alam telah memberi petunjuk yang jelas bagaimana manusia harus menjalani-hidupnya-dengan-baik sebuah perilaku-hidup yang dicirikan dengan kesesuaian-akal, kecukupan-diri dan kebebasan. Meskipun demikian, kaum Sinisme berpendapat kesepakatan-sosial menghalangi seseorang untuk menjalani-hidup-dengan-baik. Hal ini dikarenakan kesepakatan-sosial mengkompromikan kebebasan dan menentukan sejumlah aturan-yang-bertentangan-dengan-alam-dan-akal. Kesepakatan pada dasarnya bukan-hal-yang-buruk meski menurut Sinisme kesepakatan sering-kali absurd dan penuh-kekonyolan. Kaum Sinisme mencemooh-pemujaan pada dewa-dewa Olympic serta para politkus atau filsuf yang menghadiri tempat-peribadatan, pakaiannya dan berdoa untuk memohon kejayaan-dan-keberuntungan atau hal-hal-semacamnya.

Begitu seorang berhasil-melepaskan-diri dari batasan-yang-menghambat untuk menjalani-hidup-etik, maka Ia dapat disebut sebagai-orang-yang-benar-benar-bebas. Oleh karena itu, kaum Sinisme (cynic) menganjurkan askesis atau latihan daripada teori sebagai-alat untuk membebaskan-diri dari kesepakatan-sosial, meningkatkan-rasa-kecukupan-diri dan hidup-selaras-dengan-alam. Askesis mengarahkan penganut Sinisme untuk hidup-dalam-kemiskinan, bertahan-dalam-penderitaan (kekurangan kebutuhan pokok), bekerja-keras-sepanjang-waktu dan mengijinkan pengikutnya untuk berbicara-bebas mengenai kebodohan dan kebiasaan-buruk. Kaum Sinisme terus berusaha menggali prinsip-prinsip paling-murni dari kebudayaan Athena, tetapi hal-itu dilakukan untuk mengganti dengan prinsip-lain yang sesuai-dengan-akal-alam-dan-kemuliaan.

Meskipun perintah hidup-selaras-dengan-alam lebih-tepat dikaitkan dengan paham Stoikisme. Paham Stoikisme sesungguhnya mengikuti paham Sinisme yang terlebih-dahulu berpendapat demikian. Diogenes dari Sinope sangat-menolak kesepakatan-sosial (nomos) dengan bersikap mencemooh kesegala-arah, pada tatanan-sosial-masyarakat Athena, pandangan-relijius, norma-politik, menginjak-injak otoritas keagamaan dan para-pemimipin-politik. Hal mendasar dari sikap-ini adalah melakukan definisi-ulang terhadap pertanyaan bagaimana menerima-rasa-malu. Tubuh Diogenes adalah semrawut, berantakan dan tak-terawat sebuah penampilan-yang-memalukan bagi warga Athena tetapi sebaliknya merupakan tempat-penampungan untuk prinsip-tanpa-rasa-malu bagi penganut Sinisme.

Diogenes menggunakan tubuhnya untuk membalikkan nilai-nilai-kepantasan hasil kesepakatan-sosial menjadi sebuah-kebaikan. Dia mematahkan etika dengan melakukan di-depan-umum aktivitas yang biasa dilakukan secara pribadi oleh orang-orang Athena. Sebagai contoh Diogenes makan, minum dan melakukan masturbasi di pasar dan mengejek perasaan-malu seseorang ketika tubuhnya tampak-kikuk, gugup dan canggung. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti Diogenes tidak mempunyai pandangan mengenai bagaimana seseorang seharusnya menghadapi rasa-malu. Sebuah anekdot ketika Diogenes mengamati seseorang yang sedang menyelaraskan-nada pada harpa, dia berkata :

" Apakah anda tidak malu ? "

Diogenes kemudian melanjutkan :

" Untuk memberikan kayu itu suara yang harmonis, sedang anda sendiri gagal melakukan harmonisasi antara jiwa dan kehidupan anda ! "

Kepada seorang yang melakukan protes kepadanya dan berkata :

" Saya tidak-cocok belajar filsafat ! "

Diogenes menjawab :

" Jika kamu tidak-peduli dengan hidup yang baik. Lalu, mengapa menjalani hidup ?! "

Karena Diogenes melakukan penilaian-kembali terhadap rasa-malu, kaum Sinisme bukanlah penganut relativitis-etik. Nilai-nilai-alam mengganti kesepakatan-sosial sebagai standar-penilaian. Kaum Sinisme meyakini hanyalah melalui alam seseorang dapat-hidup-dengan-baik dan tidak melalui kesepakatan-sosial seperti etika atau agama.

Diogenes dari Sinope akan marah bila melihat seorang yang berdoa memohon-hal yang tampak-baik buat mereka, bukan-memohon sesuatu yang benar-benar-baik. Hal ini memotret hal paling-penting mengenai ajaran hidup-selaras-dengan-alam yang berlawanan dengan kesepakatan-sosial. Memohon kemakmuran, kejayaan atau bentuk-hiasan-lain kesepakatan-sosial mengarahkan seseorang untuk meyakini kebaikan sebagai suatu hal-yang-menyenangkan. Menurut paham Sinisme, ini merupakan suatu keyakinan-yang-keliru. Hidup seperti yang ditentukan alam sudah-penuh-dengan-petunjuk bagaimana menjalani-hidup-dengan-baik, tetapi manusia tersesat, dipermalukan oleh hal-hal-rendah dan berjuang dengan keras mengejar hal-hal yang justru tidak-penting. Akibat selanjutnya adalah kebebasan yang hilang oleh kesepakatan-sosial.

Kaum Sinisme jelas menghargai kebebasan, tetapi tidak sekedar kebebasan-personal seperti kemerdekaan-yang-negatif. Kebebasan yang dianjurkan paham Sinisme mempunyai tiga-bentuk yang saling-berhubungan yaitu :

Eleutheria yang artinya kemerdekaan
Autarkeia yang berarti kecukupan-diri dan
Parrhēsia yang berarti kebebasan-berbicara atau keterusterangan.

Konsep-kebebasan mereka mengandung hal-yang-sama dengan ajaran-kuno-yang-lain. Paham otonomi yang berasal dari penekanan bahwa akal-mengendalikan-nafsu ditemukan pada banyak pemikir klasik dan Hellenisme. Khusus untuk paham Sinisme, kebebasan terbukti dan ditemukan pada Parrhēsia

Elemen Parrhēsia ----yang dapat ditinjau ketika didefinisikan sebagai bebas-berbicara atau berterus terang---- adalah resiko yang menyertai ketika berbicara-bebas dan berterus-terang sepenuhnya . Contoh legendaris kebebasan berbicara tanpa-rasa-takut terjadi dalam percakapan antara Diogenes dengan Alexander Agung, ketika Diogenes sedang berbaring berjemur sendiri di Cranium, Alexander menghampiri dan berdiri dihadapannya sehingga menutupi sinar-matahari yang menghangatkan badannya. Alexander lalu berkata dengan sopan :

" Mintalah padaku anugerah apapun yang kau inginkan. "

Pada pertanyaan itu Diogenes menjawab :

" Minggirlah ! Jangan halangi aku dari matahariku ! "

Di percakapan lain Alexander menunjukan reputasinya pada Diogenes dengan berkata :

" Saya Alexander, Raja-Yang-Agung ! "

Diogenes juga membalas dengan menyebut reputasinya :

" Saya, Diogenes-Si-Anjing ! "

Contoh diatas mendemonstrasikan pertemuan humor-yang-unik, berbicara kebenaran tanpa-rasa-takut dan perlawanan-politis yang menunjukan perbedaan cara-hidup Sinisme dengan paham-yang-lain.

Dengan beberapa catatan-pengecualian, para filsuf-kuno sering-kali terikat dan dipengaruhi oleh aturan-aturan lingkungannya. Plato, Aeschines, dan Aristippus semua melakukan-pemujaan pada Dewa-Dionysius, Xenophon berkaitan-erat dengan Cyrus, Aristoteles dengan keluarga penguasa Macedonia, dan sebagainya. Sebaliknya paham Sinisme, membuat sebuah-titik untuk menghindari kontak-tersebut. Kaum Sinisme berjuang untuk mencapai kecukupan-diri dan kekuatan, bukan kemampuan untuk mempertahankan-pengaruh dengan masuk ke dalam suatu kesepakatan permainan politik. Kehidupan seorang filsuf-miskin, tapi berbudi-luhur dan mandiri adalah lebih-baik daripada kehidupan seorang filsuf yang sangat menginginkan memperoleh-pengaruh dari lingkungan.

Diogenes Laertius meriwayatkan bahwa, Plato melihat Diogenes dari Sinope sedang mencuci selada, dia lalu menghampirinya dan dengan tenang Plato berkata :

" Jika anda sudah memberi persembahan pada dewa Dionysius, anda sekarang tidak-akan mencuci selada. "

Diogenes dengan ketenangan yang sama menjawab :

" Jika anda telah mencuci selada, anda tidak-perlu memberi persembahan pada dewa Dionysius. "

Pelajaran yang dipetik dari percakapan ini adalah jelas bahwa Plato memandang memberi persembahan berarti membebaskan seseorang dari kemiskinan, sebaliknya kaum Sinisme melihat kemiskinan berarti membebaskan seseorang dari keharusan untuk memberi persembahan pada dewa-dewa sesuai aturan yang ada. Pengertian kebebasan seperti yang terakhir sangat-dianjurkan oleh kaum Sinisme, yaitu kebebasan yang terdiri dari Autarkeia atau kecukupan-diri dan Parrhēsia atau kebebasan-berbicara-kebenaran. Seseorang yang berada di dalam tempat persembahan tidak-pernah-bebas untuk melakukan sesuatu. Maka tidak mengherankan bila Diogenes ditanya :

" Hal apa yang paling indah di dunia ? "

Jawab Diogenes adalah :

" Parrhēsia ! "

Untuk menjalani cara-hidup Sinisme, seseorang harus terbiasa dengan bermacam kesulitan-fisik yang selalu mengikuti jika ingin memperoleh kebebasan. Oleh karena itu, untuk menjalani kehidupan yang baik memerlukan pelatihan-konstan dan terus-menerus atau askēsis. Istilah askēsis didefinisikan sebagai semacam pelatihan-diri tetapi yang juga berarti latihan-fisik yang diadopsi dari pelatihan-fisik cabang olah-raga atletik. Bukan melatih tubuh untuk meraih kemenangan di Olimpiade, memenangkan pertempuran di medan perang atau sekedar untuk menjaga kesehatan tetapi kaum Sinisme melatih tubuh demi kebaikan-jiwa.

Ada bermacam contoh pelatihan yang dilakukan oleh kaum Sinisme. Antisthenes memuji kerja-keras-dan-kesulitan sebagai kebaikan, Diogenes dari Sinope berjalan tanpa-alas-kaki di atas salju, memeluk patung yang dingin, dan bergulingan di atas pasir musim-panas yang panas di dalam kontainer besarnya, Crates melepaskan kekayaannya yang besar untuk menjadi penganut Sinisme. Kemampuan untuk hidup tanpa-memakai suatu komoditas biasanya dianggap keliru karena merupakan suatu yang tidak mungkin untuk dihindarkan. Tetapi bagi kaum Sinisme hal-itu berarti membebaskan-diri dan suatu yang menguntungkan. Hal-ini merupakan pelajaran yang sulit. Diogenes dari Sinope sebagai seorang pelatih mengatakan bahwa ia meniru metode yang dilakukan oleh pelatih-paduan-suara. Pelatih mengatur nada dengan suara-yang-lebih-keras, untuk memastikan bahwa yang-lain mengeluarkan nada-yang-tepat.


Sumber:
www.iep.utm.edu/cynics
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading, 26 Juni 2016


Sunday, June 19, 2016

Informasi dan Kekuasaan


Beruntunglah diri ini diberi usia yang cukup sehingga dapat mengalami periode perubahan sejarah bangsa ini setahap demi setahap. Sebuah perjalanan yang mengesankan dari sebuah bangsa untuk bertahan, mencari jati-diri dan menentukan kejayaannya di masa depan. Bangsa ini layak membusungkan dada karena berhasil melewati dengan baik fase-fase krusial tanpa menuju ke arah kehancuran-dan-perpecahan. 

Periode-Orde-Baru saya lewati cukup panjang sejak dilahirkan hingga mengalami keruntuhannya pada saat masih menjalani kuliah. Saya pun ikut terlibat didalamnya meski hanya mengikuti beberapa demo di kampus dan sekedar berjalan kaki dari Balairung-UGM hingga Alun-Alun-Utara-Keraton-Yogjakarta, kota yang indah di mana saya menuntut ilmu.

Periode-Transisi merupakan waktu yang singkat, saya lewati pada saat menjelang akhir-masa-kuliah dan beberapa lama saat saya bekerja. Pada periode-ini, saya menyaksikan bagaimana peralihan kekuasaan yang cukup-halus dari bangsa ini yang membuat tidak terjebak dalam gejolak berkepanjangan.

Periode-Reformasi saya nikmati ketika menjalankan profesi hingga sekarang saya mempunyai seorang anak berusia tujuh tahun. Periode dimana rakyat memperoleh kebebasan terutama dalam bidang-politik, kebebasan-berpendapat, berekspresi, memperoleh-informasi, berkumpul-serta-berserikat.

Berdasar periode yang saya alami, saya mencoba menganalisa arus-informasi baik dari-penguasa-kepada-rakyatnya atau sebaliknya dari-rakyat-kepada-penguasanya. Hal ini didasarkan pada pandangan, bahwa pola-arus-informasi sangat menentukan perjalanan suatu bangsa dalam mewujudkan cita-citanya.


Orde Baru

Periode-ini adalah masa dimana bangsa ini baru lepas dari keadaan kritis-dan-traumatis. Keadaan yang melahirkan kondisi kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya serta psikologi masyarakat yang carut-marut. Suatu keadaan yang mendesak harus diatasi agar bangsa ini keluar dari kesulitan yang bisa jadi semakin berat dan tidak tertanggulangi dimasa depan.

Sebagai penguasa tentu melihat semua permasalahan yang ada dengan seksama, mencari solusi dan menentukan prioritas penyelesaiannya. Bisa dipahami bahwa pada awal kekuasaannya, Orde-Baru lantas merumuskan suatu tujuan-pemulihan-dan-normalisasi-keadaan. Untuk mencapainya penguasa menetapkan strategi yang disebut trilogi-pembangunan-nasional yang terdiri menjaga-stabilitas-politik-dan-keamanan, menjalankan-pembangunan-nasional dan pemerataan-pembangunan. Selanjutnya konsentrasi-bangsa diarahkan untuk melaksanakan trilogi-pembangunan-nasional tersebut. Hampir semua sektor dan bidang dikontrol demi keberhasilan mencapai tujuan. Semua segmen masyarakat dan sumber-daya dikerahkan dan dikonsolidasikan untuk menjalankan strategi yang diyakini mampu melepaskan bangsa ini dari kesulitan dan membawa kearah yang lebih-baik.

Pada periode-ini informasi berada di tangan penguasa dan digunakan sebagai alat untuk propaganda pelaksanaan trilogi-pembangunan-nasional dan jaminan kepastian pencapaiannya. Arus-informasi lebih berjalan satu arah yaitu dari-penguasa-ke-rakyatnya. Informasi dikontrol secara ketat-dan-sentralistik untuk kepentingan yang mendesak. Tidak jarang pula manipulatif demi tujuan yang tak bisa ditawar-tawar. Melalui kontrol terhadap pers, penguasa mengatur informasi dan menyaring sesuai dengan kebutuhan. Informasi yang dianggap mengganggu jalannya trilogi-pembangunan-nasional akan disingkirkan dan diredam. Yang membahayakan dimatikan. Penguasa lebih-banyak-bersuara dari pada mendengar. Informasi lebih dipenuhi dengan slogan, doktrinasi dan sosialisasi program-penguasa serta tetek-bengek keberhasilannya. Informasi dikendalikan dengan ketat memberi ruang yang kecil untuk menampung informasi dari rakyat yang sesungguhnya sangat perlu untuk didengar dan diperhatikan. Penguasa cenderung menutup telinga terhadap suara rakyatnya disertai rasa-percaya-diri dan keyakinan-penuh akan membawa bangsa ini menuju cita-citanya.

Seiring berjalannya waktu, sungguh disayangkan bahwa penguasa tidak melakukan evaluasi dan menyadari kekurangannya. Tidak terlihat sama sekali adanya upaya nyata yang signifikan atau gradual untuk merubah kondisi arus-informasi yang ada. Sebaliknya kebijakan yang ketat terus dipelihara. Bahkan meningkat semakin-keras. Informasi dari rakyat semakin banyak diabaikan bahkan sering-kali ditenggelamkan. Semakin waktu berlalu, kian menguatkan bukti bahwa motif telah bergeser kearah mempertahankan kekuasaan dan menutupi kekuasaan yang korup. Niat awal yang tulus telah dikotori oleh nafsu melanggengkan kekuasaan.

Trilogi-pembangunan-nasional menjadi topeng-dan-kamuflase yang menipu. Rakyat dengan telanjang melihat kemunafikan menghampar di depan mata. Kesadaran rakyat terbangun, sedikit demi sedikit bangkit dan bergerak mengadakan perlawanan. Hingga akhirnya rakyat menghendaki perubahan. Mantra stabilitas-pembangunan-dan-pemerataan menjadi omong-kosong yang tak-dipercaya. Informasi dari penguasa hanya dianggap asap tak bermakna, rakyat lebih percaya pada informasi yang informal dan gelap, yang beredar dan bersumber dari dan oleh rakyat sendiri. Isu dan gosip menjadi lilin penerang yang mengungkap kebenaran. Hingga datang krisis-ekonomi yang menghantam, mendorong rakyat untuk menuntut pergantian kekuasaan dengan memaksa dan segera. Akhirnya masa Orde-Baru tumbang oleh desakan kehendak rakyatnya sendiri.


Periode Transisi

Periode-ini mewarisi keadaan yang tidak jauh berbeda dengan peninggalan Orde-Lama. Ekonomi terpuruk, rakyat tidak percaya pada penguasa dan keadaan stabilitas-politik-dan-keamanan yang belum terjaga. Penguasa yang dianggap penerus status-quo terlihat ragu mengambil langkah yang berani. Penguasa lebih memusatkan perhatian untuk memenuhi tuntutan-rakyat demi menyelesaikan agenda reformasi yang tertunda. Penguasa didesak menyiapkan proses-suksesi pergantian kekuasaan melalui pemilu yang harus dilaksanakan secepatnya. Energi penguasa sepertinya terkuras untuk melewati masa-transisi dengan aman dalam waktu yang terbatas tanpa banyak melakukan hal.

Pada periode-ini, penguasa tampak lemah dan tidak mampu mengendalikan informasi. Penguasa yang tidak mempunyai legitimasi terdesak oleh tuntutan-dari-rakyatnya. Tidak ada pilihan lain dari penguasa selain mengikuti kehendak-rakyatnya. Penguasa terpojok, rakyat begitu berdaulat setelah berhasil menumbangkan penguasa dengan paksa. Dengan sukarela, penguasa membuka saluran-saluran kebebasan hampir di segala bidang. Penguasa hampir selalu merespon secara-positif setiap tuntutan kebebasan dari rakyatnya. Periode ini merupakan euforia-kebebasan-informasi yang meluap-luap. Arus-informasi cenderung bergerak-tak-terkontrol. Media begitu bebas mendapat dan menyampaikan informasi. Sementara rakyat menggunakan sebagai alat-perjuangan untuk menyampaikan tuntutan dan menekan penguasa agar mengikuti kehendaknya. Di sisi lain penguasa menyadari kelemahannya, dengan bijak penguasa memilih sikap-pasif dengan melihat dan membaca informasi untuk menentukan langkah-terbaik mengantarkan bangsa-ini melalui masa-transisi dengan selamat. Penguasa menjadi lebih banyak mendengar daripada bersuara. Informasi dipenuhi oleh bermacam kehendak dan tuntutan-rakyat akan demokratisasi-dan-pelaksanaan-agenda-reformasi. Arus-informasi lebih banyak mengalir dari-rakyat-ke-penguasa. Pada periode-ini informasi berpindah-tangan, rakyat yang berkuasa-atas-informasi.


Periode Reformasi

Awal periode-ini, bangsa-ini baru saja lepas dari keadaan yang terkungkung. Penguasa baru dengan legitimasi yang cukup telah terpilih melalui proses yang transparan dan disaksikan seluruh rakyat. Penguasa lahir dari rakyat melalui pemilu yang kredibel. Bangsa ini merasa tengah memasuki era-baru yang menjanjikan kejayaan. Era demokrasi-dan-kebebasan.

Memasuki periode-ini penguasa menghadapi keadaan dimana demokrasi baru dilahirkan dan belum matang. Situasi dimana rakyat menikmati kebebasan-berlebihan dan gagap-akan-arah. Adalah kewajiban penguasa untuk berupaya agar demokrasi-dan-kebebasan yang baru diperoleh tidak menjelma menjadi monster yang menelan penciptanya. Untuk itu penguasa memperkokoh landasan yang kuat agar nilai-nilai-demokrasi dapat bertahan dalam jangka-waktu-panjang dan membawa bangsa kearah yang positif. Sebuah pilihan yang sesuai kebutuhan-dan-kondisi-nyata yang ada. Kebebasan-rakyat atas informasi dalam menyampaikan dan memperolehnya tetap diwujudkan. Kanal-kanal yang sudah terbuka makin diperlebar. Penguasa dengan sengaja membiarkan informasi mengalir begitu bebas meski resiko mengancam kekuasaannya. Penguasa benar-benar menghendaki arus-informasi mengalir secara-alamiah dari rakyatnya. Membiarkan rakyat mengisi sesuai kehendaknya sementara penguasa tidak mencoba mengendalikan sama-sekali. Penguasa hanya mengimbangi dengan maksud untuk mengarahkan kebebasan dan memperkuat nilai-nilai-demokrasi. Hal-hal negatif dari aktivitas-kebebasan direspon dengan keras tanpa berusaha meredam atau membungkam. Penguasa berupaya mengarahkan demokrasi berjalan di rel yang benar, tidak-destruktif menghancurkan diri-sendiri melainkan bersifat-produktif untuk kemajuan bangsa. Periode-ini adalah masa pemahaman dan penanaman nilai-demokrasi kepada rakyat. Internalisasi yang lebih mengakar dan mendalam. Penguasa hanya bersikap reaktif ketika rakyat bertindak berlebihan dan merugikan. Arus-informasi tetap mengalir lebih kuat dari rakyat. Rakyat menjadi benar-benar berdaulat. Tidak mengherankan bila kemudian penguasa terguncang karena tidak mampu menguasai informasi yang ada tetapi itulah harga yang harus dibayar. Dengan melepas arus-informasi kepada rakyat, berarti juga merelakan kekuasaannya untuk diambil kembali oleh rakyat. Tampaknya penguasa menyadari hal itu. Penguasa tidak-tertarik untuk mempertahankan kekuasaan tetapi lebih untuk memastikan demokrasi tetap-hidup sebagai prinsip-yang-baik untuk berbangsa dan bernegara serta mewujudkan cita-cita di masa depan.

Memasuki pertengahan periode-ini, bangsa-ini mulai beranjak dewasa, terjadi banyak perubahan yang cukup signifikan. Hal ini terlihat dengan jelas dari kondisi yang mulai stabil. Euforia-kebebasan sudah mulai meredup. Nilai-nilai-demokrasi dan kebebasan yang positif sudah cukup tertanam. Rakyat sudah mampu menggunakan kebebasannya secara proporsional. Penguasa tidak direpotkan lagi dengan berbagai macam tuntutan sehingga penguasa dapat lebih-berkonsentrasi untuk melakukan pembangunan dan memperbaiki keadaan ekonomi.

Penguasa baru merupakan produk-demokrasi yang lebih-kokoh dari sebelumnya. Arus-informasi yang bebas --yang dijaga dan diperjuangkan oleh penguasa sebelumnya-- menyumbang andil besar munculnya penguasa-baru yang semakin sesuai dengan kehendak-rakyat. Dalam keadaan-ini, tidak ada pilihan bagi penguasa berikutnya selain meneruskan memelihara dan menjaga arus-informasi yang ada. Karena merubah berarti melawan kehendak dan mengkhianati rakyat. Belajar dari pengalaman sebelumnya, penguasa menyadari sekaligus memahami bahwa informasi-yang-bebas dikuasai rakyat beresiko besar membahayakan kekuasaannya. Dalam hal ini, penguasa tidak-ingin kekuasaanya-jatuh di tengah jalan. Penguasa dengan cerdik berupaya memutar situasi dengan mengendalikan secara-halus arus-informasi yang berada ditangan rakyat. Penguasa tidak mendominasi atau mengambil alih-kuasa tetapi dengan aktif-mengimbangi tersedianya informasi tanpa melakukan usaha pengaturan dan pembatasan. Informasi yang mengalir dari rakyat diimbangi dengan reaksi yang simpatik dan menarik-hati disertai dengan kualitas yang mencukupi. Sedemikian rupa hingga arus-informasi seperti-mengalir dari dua-arah dengan seimbang. Keadaan ini mendorong terciptanya kondisi yang lebih-tenang. Dengan caranya, penguasa berusaha menjaga arus-informasi bergerak seimbang dengan maksud menciptakan kestabilan dan menghindari gejolak. Meski tak-dipungkiri terselip motif lain dibelakang sikap-manis-dan-santunnya yaitu melindungi-kekuasaan dan menjaga-citra-kekuasaannya.  Tetap hal ini membuat penguasa merasa-nyaman karena kekuasaan yang tidak terancam sedang rakyat merasa diperhatikan. Dengan begitu penguasa dapat berusaha lebih-maksimal untuk melakukan pembangunan-ekonomi tanpa terganggu oleh gejolak-gejolak yang tidak-perlu. Tampaknya cara ini efektif dalam rentang-waktu yang tidak-terlalu-panjang. Hal ini dikarenakan bentuk keseimbangan-informasi-yang-semu dan tidak-alami terutama informasi yang mengalir dari penguasa yang terkesan lebih-mementingkan-kekuasaan dan citra serta reaksi-reaksi-nyata yang kurang-memuaskan-rakyat. Sekilas arus-informasi memang tampak-berimbang tetapi pada kenyataanya rakyat menangkap sesuatu yang berbeda dengan persepsi-penguasa. Pada akhir periode-ini, rakyat akhirnya memutuskan memilih penguasa-baru yang menunjukan kualitas-diri berpihak kepada kepentingannya dan pribadi yang menunjukan konsistensi-antara-kata-dan-realita.


Masa Sekarang

Mengamati pergerakan arus-informasi hingga saat-ini, tampaknya bangsa-ini sedang menapaki jalan yang benar. Sebuah proses menuju keseimbangan-alami dimana rakyat-dan-penguasa mampu menyediakan informasi secara seimbang. Arus-informasi mengalir dari dua-arah tanpa-ada-dominasi atau saling-menguasai. Penguasa-dan-rakyat saling mengisi dan bertukar informasi produk dari pers-dan-media yang bebas. Komunikasi tampak berjalan dengan lancar. Penguasa menggunakan informasi sebagai pertimbangan untuk menentukan kebijakan-yang-akan-diambil. Sebaliknya rakyat memanfaatkan untuk mengontrol-kebijakan-yang-telah-dipilih-penguasa. Penguasa dengan mudah melakukan-validasi terhadap langkah-langkahnya, memastikan bahwa apa yang dilakukan adalah benar-benar-bermanfaat-bagi-rakyat serta mencapai sasaran-yang-tepat. Sebaliknya rakyat dengan gampang menyampaikan-pendapatnya atau menunjukan-kesalahan yang dilakukan penguasa. Dengan bersikap-aktif mendengar informasi dari rakyatnya, penguasa dapat mengetahui dengan segera kesalahan-yang-dilakukan untuk kemudian dengan cepat memperbaikinya. Rakyat pun mempunyai jalan-yang-lapang untuk memberi masukan-dan-kritik terkait hal-hal yang dilakukan penguasa. Pada kondisi-ini, penguasa cenderung lebih-tepat mengambil langkah dan rakyat cenderung merasa-puas karena kehendak yang terpenuhi. Dialektika telah terjadi antara penguasa-dan-rakyatnya menuju kebaikan untuk mewujudkan cita-cita. Jika penguasa bersikap mawas-diri dan tidak-tergoda-keserakahan, dengan situasi-dialektik berjalan konsisten dan terus-terjaga maka akan tercipta kondisi yang stabil-dan-dinamis. Stabil karena tidak muncul gejolak-gejolak yang menghambat perjalanan bangsa-ini untuk mencapai cita-cita. Sedang dinamis karena bangsa ini secara aktif-bekerja-sama saling-mengisi dan bergerak untuk memperbaiki-nasib dan mengejar-tujuan-bersama. Penguasa tidak merasa terancam sedang rakyat dapat menikmati kebebasan dengan wajar dan merasakan apa yang telah diupayakan penguasa. Sebuah kondisi-ideal untuk melakukan banyak-hal serta bergerak-maju menuju cita-cita bersama. Situasi yang kondusif untuk melaksanakan-pembangunan, mengejar-ketertinggalan menuju kejayaan, masyarakat adil-dan-makmur dalam bingkai-wilayah Negara-Kesatuan-Republik-Indonesia yang Bhineka-Tunggal-Ika, berdasar Pancasila dan Undang-Undang-Dasar 1945.


Sumber:
Pengalaman Hidup
Pemahaman Otodidak


Kelapa Gading, 20 Juni 2016



Friday, June 17, 2016

Antara Filsafat dan Agama


Filsafat dan Agama meliputi bidang yang sama yaitu bidang yang Ultimate. Bidang yang dianggap paling-penting bagi manusia dan bukan merupakan persoalan remeh. Perbedaan antara Agama dan Filsafat bukan terletak pada bidangnya tetapi pada caranya-menyelidiki bidang itu sendiri.

Filsafat berarti berpikir sedangkan Agama berarti mengabdikan-diri. Orang yang belajar Filsafat tidak-hanya mengetahui persoalan Ilmu-Filsafat itu sendiri tetapi lebih penting dari itu, ia dapat berpikir dengan mendalam tentang suatu hal. Begitu juga mempelajari Agama, tidak-hanya puas dengan memperoleh pengetahuan Agama, tetapi juga harus mampu membiasakan-diri dengan menjalani hidup secara Agama. Seorang ahli-agama William Temple berpendapat :
" Filsafat menuntut pengetahuan untuk memahami sedang Agama menuntut pengetahuan untuk beribadat. "

 Dia menambahkan lagi bahwa : 

" Pokok dari Agama bukan pengetahuan tentang Tuhan melainkan hubungan antara manusia dengan Tuhan. "

Seorang ahli agama lain, C.S. Lewis menyatakan perbedaan-lain antara Agama dan Filsafat yaitu Enjoyment dan Contemplation. Sebagai contoh seorang pria yang mencintai seorang wanita. Rasa-cinta, itu yang dimaksud Enjoyment, sedang memikirkan rasa-cintanya sendiri yang dimaksud Contemplation. Agama dapat dibandingkan dengan Enjoyment yang dianalogikan dengan rasa-cinta seseorang. Sedang Filsafat adalah Contemplation yakni si-pecinta yang memikirkan tentang rasa-cintanya itu. Seorang yang mempelajari Agama dengan berpikir-mendalam ibarat seorang-pecinta yang memikirkan rasa-cintanya.

Hal yang cukup-penting diketahui tentang Agama ialah sikap rasa-pengabdian ( Dedication atau Contentment ). Setiap penganut Agama merasa ia harus mengabdikan-diri sekuat-kuatnya kepada Agama yang dipeluknya. Rasa-pengabdian ini harus dihargai oleh orang-lain yang ingin mempelajari atau berdebat mengenai Agama. Hal-ini disebabkan rasa-pengabdian itu mungkin berasal dari pengertian yang diperoleh melalui penyelidikan-yang-seksama dan pemikiran-mendalam. Meskipun sesungguhnya makna pengabdian lebih-dalam daripada sekedar-pengertian. Sikap-pengabdian merupakan wujud-keyakinan dan kesediaan untuk menghubungkan nasib-diri seorang pada pengertian-itu. Pengabdian merupakan-keterikatan pada pengertian-itu-sendiri.

Perbedaan-lain adalah Agama lebih berhubungan dengan hati sedang Filsafat dengan pikiran yang dingin-dan-tenang. Agama diumpamakan dengan air-sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya sedang Filsafat dapat diumpakan dengan air-telaga yang tenang-dan-jernih yang dapat dilihat dasarnya. Seorang yang berfilsafat jika berhadapan dengan penganut aliran-yang-lain biasanya bersikap lunak oleh karena dia akan sanggup meninggalkan-pendiriannya jika dia menilai pendapatnya-salah, sebaliknya seorang beragama jika berdebat tentang agamanya biasanya mempertahankan habis-habisan oleh karena dia sudah mengikat-diri dan mengabdikan-hidup kepadanya.

Filsafat walaupun bersifat tenang dalam pekerjaannya sering mengeruhkan-pikiran pemeluknya sedang Agama walaupun memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian-diri mempunyai efek yang menenangkan-jiwa pemeluknya. Seorang yang berfilsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap pendirian dan argumennya sendiri. Karena sikap-itu, jika ia menjumpai suatu pendapat yang mengandung kekurangan, ia tidak-lekas mencela dan meninggalkan pendapat itu akan-tetapi membandingkan dengan pendapat-lain yang mungkin mengandung kekurangan yang jauh lebih-besar dari pada kekurangan yang ditemukan pada pendapatnya sendiri.

Pendirian semacam itu amat-penting dalam membicarakan soal Agama. Seorang beragama yang mendasarkan pendiriannya hanya pada pandangan-filosofi yang memuji-muji agamanya adalah kurang-tepat karena pendirian-itu akan menjauhkan dirinya pada pandangan-lain yang mungkin ada-baiknya jika dia mengetahuinya. Yang lebih bermanfaat adalah seperti pendirian seorang penganut-agama yang bersedia mendengarkan uraian penganut-agama-lain atau paham-lain dan meminta kepadanya untuk membuktikan kebenarannya dari pahamnya atau agamanya.

Berpikir atau berfilsafat adalah penting dalam mempelajari Agama. Oleh karena manusia telah banyak berpengalaman dan telah banyak melakukan-kekeliruan dalam berpikir maka ia mampu menemukan bermacam-cara atau metode untuk menghindarkan-diri dari kekeliruan-itu. Metode-metode ini tentu sangat-berguna bagi seorang yang mempelajari Agama.

Untuk mencapai suatu kebenaran biasanya seorang tidak-cukup mengikuti satu-jalan saja, akan tetapi harus menempuh beberapa-jalan yang akhirnya bertemu pada satu-titik. Walaupun begitu hasilnya tidak-akan memberikan suatu kebenaran-yang-mutlak karena dalam perjalanan selalu akan menemui bahan-bahan-yang-kompleks. Dan karena sikap-dan-pikiran yang tidak-selalu tepat untuk menghadapi bahan-yang-rumit tersebut. Kemungkinan mencapai kebenaran akan menjadi lebih-besar dengan bertambahnya-pendekatan melalui jalan-jalan yang akan menuju kepadanya.


Sumber:
David Trueblood
Philosophy Of Religion
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading, 17 Juni 2016



Tuesday, June 14, 2016

Ketulusan


Ketulusan/keikhlasan sebuah kata yang sering kita dengar. Terimalah dengan ikhlas atau lakukanlah dengan tulus. Adalah kalimat yang sering lalu lalang melewati telinga kita dalam kehidupan sehari hari. Sekilas kita bisa menangkap makna kata itu karena makna telah tersimpan dengan baik dalam ingatan kita. Tetapi pernahkah kita memikirkan dengan mendalam makna itu ? Jangan jangan kita hanya menerima pendapat begitu saja tanpa bersikap kritis terhadapnya. 

Selain sulitnya mencari referensi objektif tentang ketulusan/keikhlasan, tulisan ini hanyalah sebuah usaha subjektif untuk memahami sebuah makna yang cukup penting untuk menjalani hidup. Benar atau tidaknya diserahkan sepenuhnya pada intepretasi pembaca. Disertai dengan sikap tulus/ikhlas tentunya.


Dimensi Ketulusan

Ketulusan/keikhlasan adalah kata yang mengandung makna kebaikan. Makna yang bersifat positf.  Yang bisa dipahami sebagai sesuatu yang meningkatkan nilai kualitas dari tindakan yang kita lakukan. Perbuatan baik yang dilakukan tentu mempunyai bobot nilai yang lebih tinggi jika disertai dengan ketulusan/keikhlasan. Sebaliknya nilai akan menurun bahkan menjadi tidak bernilai atau bernilai negatif jika tidak diiringi dengan ketulusan/keikhlasan.

Ketulusan/keikhlasan mempunyai dimensi vertikal dan horisontal. Vertikal mengacu pada hubungan dengan Tuhan sedang horisontal mengacu pada hubungan dengan sesama manusia. Keduanya terkait dengan sikap batin seorang individu dalam melakukan suatu tindakan serta menerima dan mengalami suatu perbuatan, peristiwa atau keadaan. 


Dimensi Vertikal

Secara vertikal -dalam makna sempit- ketulusan/keikhlasan bisa dipahami sebagai sikap batin ketika melakukan perbuatan yang mengandung nilai ibadah sebagai wujud keimanan dan ketaqwaan. Makna ketulusan/keikhlasan hadir menguatkan sikap batin yang lain yang biasa disebut sebagai Niat. Dalam pengertian luas, makna ketulusan/keikhlasan dapat diartikan sebagai sikap batin yang menerima dengan tulus/ikhlas untuk menjalani kehidupan ini. Bahwa semua yang terjadi di dunia ini dilingkupi oleh kebaikan illahi. Bahwa segalanya Dia-lah yang mengatur dan semua yang terjadi adalah atas kehendak-Nya. Dalam agama, kita mengenalnya sebagai takdir. Perlu ditekankan bahwa makna ketulusan/keikhlasan di sini tidaklah sama dengan pasrah. Dalam sikap batin tulus/ikhlas tidak berarti diam atau menerima begitu saja apa yang terjadi. Sebaliknya ketulusan/keikhlasan harus mewujud dalam tindakan kita dengan berusaha menjalani hidup sebaik baiknya. Sebaik mungkin yang mampu kita capai. Tidak bisa dipungkiri bahwa kita sebagai manusia tidak selalu mampu untuk memandang semua hal yang terjadi dalam hidup kita sebagai sebuah kebaikan. Adakalanya penilaian kita terbalik. Disinilah kita perlu berusaha mencari makna kebaikan dibalik peristiwa yang terjadi sekaligus menentukan sikap untuk menghadapi dan melaluinya. Dalam ketulusan/keikhlasan kita bisa secara aktif bersikap secara nyata terhadap hal hal yang kita hadapi.

Dalam pemahaman agama (Islam), ketulusan/keikhlasan menjadi hal yang menentukan apakah perbuatan ibadah yang dilakukan diterima sebagai amal baik atau tidak. Mendapat pahala atau tidak. Dalam hal ini ketulusan/keikhlasan berkedudukan sangat penting karena menjadi syarat utama suatu ibadah mendapat nilai amal atau tidak. Pandangan agama berpendapat bahwa hanya beribadah dengan niat yang tulus/ikhlas karena Tuhan dan untuk Tuhan semata serta dilakukan dengan cara yang benar sesuai dengan tuntunan yang ada yang dapat diterima oleh Yang Maha Kuasa dan mendapat nilai amal kebaikan. Hal yang cukup menyulitkan, nilai ibadah ditentukan oleh sikap batin, suatu yang sulit diukur dan diketahui. Hanya Tuhan-lah yang mampu mengetahui dengan pasti hadirnya ketulusan/keikhlasan di dalam batin kita.


Dimensi Horisontal

Dalam dimensi horisontal ketulusan/keikhlasan merupakan sikap batin seorang individu menyangkut tindakan yang dilakukan kepada sesama serta sikap batin ketika mengalami perbuatan yang dilakukan oleh orang lain pada dirinya. 

Dalam melakukan suatu perbuatan kepada sesama, ketulusan/keikhlasan berarti sikap batin yang hanya berisi maksud objektif dari tindakan itu sendiri. Keadaan batin yang tidak dikotori oleh maksud maksud lain (selain maksud objektif). Ketika menolong orang lain, sikap batin kita adalah hanya ingin menolong orang tersebut, mengurangi rasa sakit atau mengurangi beban penderitaan yang bersangkutan. kita sama sekali tidak berkeinginginan untuk disebut seorang yang baik hati, seorang kaya yang dermawan atau yang lain. Kita juga tidak berharap akan balas budi dari siapapun. Oleh karena itu ketulusan/keikhlasan dalam dimensi horisontal dekat dengan perbuatan yang instingtif dan spontan. Sebuah tindakan serta merta yang hanya berisi kehendak objektif untuk melakukan sesuatu. Suatu tindakan yang murni tanpa kontaminasi. Jika kita melihat seorang yang memerlukan bantuan, batin kita serta merta mendorong badan untuk bergerak melakukan pertolongan.

Dalam menerima perlakuan dari orang lain, ketulusan/keikhlasan berarti sikap batin yang menerima apa yang dialami sebagai hal yang semestinya terjadi. Sikap batin yang rela menerima sepenuhnya tanpa diiringi prasangka, tendensi dan emosi negatif serta memandang sebagai hal yang positif yang mengarahkan diri ke kebaikan. Membentuk kita menjadi manusia yang lebih mulia. Tidak ada hal yang membuat resah batin kita atau merubah diri kita menjadi berkurang kualitasnya.


Penilaian Ketulusan

Penilaian ketulusan/keikhlasan berada di luar diri kita. Secara vertikal ada di tangan Yang Maha Kuasa. Secara horisontal berada di tangan manusia lain. Meskipun kita bisa melakukan penilaian sendiri terhadap sikap batin kita, itu hanyalah penilaian subjektif. Jika bukan kesombongan, itu adalah bentuk pengakuan sepihak yang belum diakui. Kita bisa saja mengaku melakukan tindakan ini dan itu dengan tulus/ikhlas tetapi orang lain belum tentu menilai seperti itu. Kita juga bisa merasa melakukan ibadah dengan penuh ketulusan/keikhlasan tetapi penilaian Tuhan siapa yang tahu ? Penilaian atas ketulusan/keikhlasan ada di luar kita secara objektif.

Dalam hubungan personal dengan Tuhan, perbuatan ibadah diterima sebagai amal baik atau tidak bukanlah kita yang menentukan. Sekeras apapun usaha untuk melakukan dan memenuhi syarat ibadah tetap saja nilai ibadah kita berada di luar jangkauan kita. Kita sesungguhnya tidak tahu pasti apakah ibadah kita diterima atau tidak. Berapa nilai pahala yang kita terima adalah rahasia Illahi. Oleh karena itu sebesar apapun usaha yang dilakukan dalam beribadah, kita selayaknya tetap bersikap rendah hati dan tidak merasa lebih dari yang lain. Kita hanya bisa berusaha sebaik mungkin, mengenai hasil kita hanya bisa menerima. 

Dalam hubungan dengan sesama, ketulusan/keikhlasan berkaitan dengan moralitas sebagai manusia yang bermartabat. Hal ini berarti menyangkut nilai baik dan buruk di mata manusia. Perbuatan baik akan sempurna jika kita melakukan dengan tulus/ikhlas. Pengakuan orang lain sebagai manusia yang baik dan mulia akan datang dengan sendirinya jika kita melakukan dengan konsisten dan terus menerus. Baik dan tidaknya seseorang dalam kehidupan tidak hanya ditentukan oleh perbuatannya sendiri tetapi juga penilaian objektif dari orang lain yang melihat, mengalami dan merasakan tindakan tindakan yang kita lakukan, yang mencerminkan keberadaan kita sebagai manusia di antara manusia lain.


Sumber:
Pengalaman Hidup
Pemahaman Otodidak


Kelapa Gading, 13 Juni 2016


Wednesday, June 8, 2016

Manusia Mulia Ala Stoa


Stoikisme juga disebut Stoa (bahasa Yunani: Στοά) adalah nama sebuah ajaran atau aliran filsafat-hellenisme yunani-kuno yang didirikan di kota Athena, Yunani, oleh Zeno dari Citium pada awal abad ke-3 SM. Setelah Zeno, orang yang paling berjasa mempertahankan sekolah Stoa adalah Cleanthes dari Assos dan Chrysippus dari Soli.


Kosmologi fisik Stoikisme

Menurut Stoikisme, alam-semesta adalah material, substansi-rasional yang kita kenal sebagai Tuhan atau Alam (God or Nature). Tuhan (God) adalah alam-semesta itu sendiri.

Alam-semesta tersusun oleh unsur aktif dan pasif yang berinteraksi sebagai sebuah kesatuan. Substansi-pasif adalah material, sebuah substansi yang berada pada keadaan diam/lemas dan siap untuk diapakan saja. Substansi-pasif tetap diam, jika tidak ada yang menggerakan. Substansi-aktif disebut juga hukum-absolut/takdir (fate) atau akal-universal (absolut-reason/universal-reason/logos) adalah yang menggerakan material-pasif. Hubungan antara substansi-pasif dan aktif adalah seperti hubungan badan dan jiwa pada manusia.

Stoikisme mempunyai pendapat bahwa dunia diatur oleh subtansi-rasional (akal/reason). Dunia bergerak sesuai aturan/hukum akal-universal. Hal ini mengandung arti bahwa ada sebuah-tujuan dalam gerak-dunia dan oleh karena itu dunia menjadi teratur, harmonis, indah dan merupakan suatu rancangan. Dunia merupakan subjek dari hukum-absolut yang ditentukan oleh kepastian-yang-ketat berupa hukum-sebab-akibat.

Dalam keadaan itu, seorang manusia menjadi tidak bebas. Tidak ada kebebasan yang sebenar benarnya dimiliki manusia dalam dunia yang diatur dengan kepastian. Manusia bisa berpendapat, bahwa dia memilih untuk melakukan hal ini atau itu dan beranggapan semua tindakannya dilakukan secara sukarela-tanpa-paksaan. Tetapi manusia sesungguhnya hanya menyetujui apa yang harus dilakukannya dan apa yang dilakukan tidak-lain ditentukan oleh suatu penyebab-yang-pasti.

Stoikisme berpandangan bahwa jiwa manusia dan binatang merupakan hasil emanasi dari substansi-rasional-primodial-alam-semesta oleh karena itu jiwa ---seperti yang lain---- merupakan subjek bagi akal-universal. Hal ini juga mengandung arti bahwa jiwa adalah substansi-rasional (akal/reason) yang merupakan esensi dari manusia.


Etik Stoikisme

Stoikisme sesungguhnya memberikan penjelasan yang menyeluruh dan integral tentang alam-semesta, yang terdiri dari logika-formal, fisika-monistik dan etik-naturalistik. Dari semuanya itu, Stoikisme menekankan etik sebagai perhatian utama dari pengetahuan manusia.

Etik Stoikisme berlandaskan pada dua-prinsip kosmologi fisiknya yaitu dunia diatur oleh hukum-absolut yang berarti tidak ada pengecualian (bersifat mutlak terhadap semua) dan jiwa sebagai esensi manusia merupakan substansi-rasional (akal/reason) yang berasal dari akal-universal.

Keduanya tercakup dalam slogan kaum Stoa yang terkenal yaitu hidup-selaras-dengan-alam. Semboyan ini mempunyai dua aspek. Yang pertama, manusia harus menyesuaikan diri dengan dunia dalam arti-luas yaitu pada hukum-alam-semesta. Yang kedua, manusia harus menyesuaikan dengan dunia dalam arti-sempit pada esensi-diri-nya sendiri yaitu jiwa sebagai substansi-rasional (akal/reason). Keduanya merupakan hal-yang-sama.

Stoikisme mengajarkan bahwa emosi yang destruktif/negatif dihasilkan karena penilaian (judgment) yang salah terhadap hubungan-aktif antara aturan-kosmos yang pasti dengan kebebasan-manusia untuk memilih tindakan yang dilakukan. Stoikisme memegang keyakinan bahwa keutamaan/kemuliaan manusia adalah menjaga kesesuaian antara kehendak-bebas-manusia untuk bertindak dengan hukum-akal-universal. Karena itulah Stoikisme menyajikan filosofi sebagai cara-menjalani-hidup (way of live) dan berpendapat bahwa indikasi-kualitas-manusia yang utama/mulia adalah bukan apa yang diucapkan tapi bagaimana bertingkah-laku. Untuk menjalani-hidup-yang-baik, seorang manusia harus memahami aturan-akal-universal karena Stoikisme berpandangan bahwa segalanya berdasar, berasal, bersumber pada alam-semesta.

Pengikut Stoikisme berikutnya, Seneca dan Epictetus menekankan lebih-lanjut bahwa keutamaan/kemuliaan manusia adalah syarat-cukup untuk mencapai kebahagiaan. Seorang yang telah mencapai keutamaan/kemuliaan melalui pencarian filosofi akan terhindar dari kesialan/hal-hal-buruk. Kaum Stoa memandang hanya mereka yang mencapai keutamaan/kemuliaan dapat dianggap benar-benar-bebas dan mereka menganggap semua kerusakan-moral sebagai racun.

Stoikisme mengajarkan bagaimana manusia mengembangkan pengendalian-diri (self-control) dan ketabahan sebagai cara untuk mengatasi emosi destruktif/negatif. Filosofinya berpendapat bahwa berpikir-jernih dan tidak-bias membuat manusia bisa memahami hukum-absolut. Aspek sasaran-utama dari Stoikisme adalah meningkatkan etik dari individual dan mempunyai moral-yang-baik. Keutamaan/kemuliaan sebagai manusia tersusun dari kehendak tindakan-tindakan yang sesuai dengan hukum-absolut. Prinsip ini juga diterapkan pada hubungan antar-sesama seperti untuk bebas dari rasa marah, iri dan cemburu dan memandang setara kepada manusia-lain bahkan seorang budak sekalipun karena semua manusia dipandang-sama sebagai produk alam-semesta.

Etik Stoikisme mendukung pandangan determinisme bahwa dunia bergerak dengan pasti atas dasar hukum-absolut. Penganut Stoikisme yang belum mencapai keutamaan, oleh Cleanthes diibaratkan seorang yang diikat dan ditarik oleh kereta dan terpaksa mengikuti kemanapun kereta berjalan. Tentu dia berada dalam keadaan yang belum memahami hukum-absolut. Dia belum bisa memahami kemana kereta akan membawanya dan mengapa kereta menuju kesana atau kesini. Maka ketika melakukan penilaian (judgment), dia mempunyai kemungkinan menghasilkan penilaian yang benar atau salah. Jika penilaiannya benar, maka dia berkeyakinan kereta menuju ke tempat yang baik dan dia merasa bahagia. Sebaliknya jika penilaiannya salah, dia berkeyakinan kereta menuju ke suatu tempat yang buruk dan dia merasa tersiksa.

Sebaliknya keutamaan/kemuliaan menurut Stoikisme sanggup merubah keadaan jiwa/apa yang hadir dalam jiwa dan menjaganya. Hal itu disebabkan keadaan yang sudah memahami hukum-absolut. Penilaian dilakukan dengan jernih dan memegang keyakinan bahwa semua kejadian adalah kepastian yang tak-bisa dihindari dan memahami dengan pasti mengapa hal ini atau itu terjadi. Dia sudah memahami dengan pasti kemana kereta akan membawanya, dan dia paham dengan pasti mengapa kereta menuju kesana atau kesini. Sehingga penilaiannya selalu menghasilkan kebenaran sesuai dengan hukum-absolut yang ada. Dalam sebuah kalimat Epictetus berkata :

" Dalam sakit tetap bahagia, dalam bahaya tetap bahagia, dalam keadaan sekarat tetap bahagia, dalam pelarian tetap bahagia, dalam pembuangan tetap bahagia, dalam keadaan malu yang sangat pun tetap bahagia "

Dengan demikian manusia yang utama/mulia menggunakan kehendak-bebas-nya secara mandiri dan pada saat yang sama menyelaraskan dengan hukum-absolut yang kaku menjadi sebuah kesatuan menyeluruh.

Stoikisme kuno seringkali salah dipahami karena istilah yang digunakan menyinggung konsep yang berbeda di masa lalu dan apa yang dipahami sekarang. Kata Stoa sekarang memiliki arti tidak-mempunyai-emosi (unemotional) atau tidak merasakan penderitaan/kepedihan dikarenakan etik Stoikisme mengajarkan kebebasan dari penderitaan/kepedihan (passions) dengan cara mengikuti akal (reason). Tetapi Stoikisme tidak mengajarkan untuk menghilangkan sama sekali emosi destruktif/negatif tetapi merubahnya. Kemampuan ini diperoleh melalui-latihan terus-menerus (askestis) yang membuat seseorang mampu mengembangkan penilaian-jernih (clear-judgment) dan jiwa-yang-tenang (inner-calm). Logika, refleksi dan konsentrasi adalah metode pelatihan untuk disiplin diri.

Meminjam pandangan dari paham Sinisme landasan pandangan dari etik Stoikisme adalah keutamaan/kemuliaan berada di-dalam-keadaan-jiwa itu sendiri dalam bentuk sikap-bijaksana (wisdom) dan kontrol-diri (self-control). Etik Stoikisme menekankan aturan yang mengikuti kemana akal (reason) mengarah. Oleh karena itu seseorang harus berjuang membebaskan-diri dari penderitaan/kepedihan (passions). Dalam pengertian Stoikisme, eupathea adalah perasaan yang dihasilkan dari penilaian-yang-jernih sedang passions merupakan perasaan yang berasal dari penilaian-yang-salah terhadap peristiwa yang terjadi.

Ide etik Stoikisme adalah membebaskan-diri dari kepedihan/penderitaan melalui apathea yang berarti ketenangan-jiwa (peace-of-mind). Sebuah keadaan-jiwa tanpa emosi destruktif/negatif (passions). Ketenangan-jiwa dipahami sebagai jiwa-yang-objektif-rasional yang mampu melakukan penilaian-secara-jernih dan menjaganya untuk menghadapi kehidupan yang naik dan turun.

Bagi kaum Stoa, jiwa sebagai substansi-rasional (akal/reason) tidak hanya berarti menggunakan-logika tetapi juga memahami-proses yang terjadi pada alam-semesta. Akal-universal adalah inheren dalam segala benda. Bagi mereka, menjalani hidup sesuai akal/reason dan keutamaan/kemuliaan berarti hidup-harmoni dengan aturan-alam-semesta.


Sumber:
www.iep.utm.edu/stoicism
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Stoicism
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading, 6 Juni 2016


Friday, June 3, 2016

Burung Putih


Burung-Putih, berbulu bersih tinggi melayang. Terbang kesana kemari mencari harapan. Pada Mendung, ia coba menyapa. Pada Awan, ia tersenyum ramah. Tetapi sayang, tak ada sedikitpun kebaikan yang ia terima. Si-Mendung mukanya bertambah masam ketika disapa. Sedang Si-Awan membalasnya dengan memalingkan muka.

Burung-Putih kecewa. Hatinya gelisah tiada tara. Lama ia berputar putar berpikir hendak kemana. Tanpa sengaja, ia bertemu Sang-Surya yang setia menerangi setiap mahluknya. Burung-Putih menyunggingkan senyum meski murung masih merajai mukanya. Ia mengirim keramahan dengan segenap ketulusan yang tersisa. Seperti biasa, Sang-Surya membalas dengan pancaran sinar kehangatan. Ia persembahkan sinar yang paling indah pada mahluknya. Burung-Putih terpesona. Ia tertegun sekaligus berbunga. Sepertinya ia belum pernah menikmati pagi ketika Sang-Surya menyapa semua mahluknya atau duduk di tepi pantai kala Sang-Surya beranjak menuju peraduannya. Hati Burung-Putih menari nari. Wajahnya berseri. Bulunya memancarkan kemilau kebahagiaan. Dengan riang, ia kembali terbang ke sarang. Tak henti hentinya ia bersiul mendendangkan lagu harapan. Tentang pagi yang indah. Tentang senja yang mempesona.

Sesampainya di rumah, Burung-Putih membasuh muka, membersihkan paruh dan kakinya. Ia mengurai bulu bulunya sambil melangkah menuju peraduannya. Burung-Putih melempar tubuh melepas lelah. Ia terlentang, matanya menatap ke awang menikmati kerlap kerlip Bintang yang mengintip dari sela dedaunan. Bunga warna warni memekar dalam hati. Ia berharap pagi segera menjelang. Agar dapat merasakan belaian kehangatan Sang Surya, menikmati pancaran kebaikan hatinya, menikmati keramahan pribadinya dan merasakan semua keindahan yang ada di sana. Burung-Putih terpejam membayangkan hari esok yang akan selalu dan semakin indah. Burung-Putih terlelap dibuai impiannya.

Esok pagi menjelang, Burung-Putih terjaga. Angin yang berdesir dan suara gesekan daun membangunkan tidurnya. Burung Putih merasa berat bangun dari tumpukan jerami yang menyelimuti tubuhnya. Ia tahu Si-Angin datang untuk menyapa. Ia tahu Si-Angin menunggu di depan beranda. Lama ia termenung seraya berbaring, perasaan malas menggelanyuti tubuhnya. Sekali lagi terdengar suara Si-Angin menyapa dengan lembut. Perasaan Burung-Putih mulai runtuh. Perasaannya tak enak. Dari dalam menyeruak perasaan tak tega untuk menolak. Sementara Si-Angin menunggu dengan sabar di luar. Lesu Burung-Putih menanggalkan selimutnya, dengan gontai ia bangkit menyeret kakinya. Pelan pelan tangannya menarik daun pintu. Sedikit demi sedikit, raut muka Si-Angin menyembul dihadapannya. Ia tersenyum bahagia melihat mahluk yang disayanginya menyambut kehadirannya. Tanpa diminta Si-Angin melangkah masuk, suaranya berdesir menyentuh telinga. Bersungut sungut Burung-Putih berbalik mengikuti langkahnya, mereka lalu duduk berhadapan berbincang bincang kesana kemari tak tentu arah. Bagi Si-Angin ini adalah saat saat terindahnya sedang bagi Si-Burung-Putih ini merupakan bagian yang paling membosankan dalam hidupnya.

Ada perasaan yang selalu menekan nuraninya, menyentak nyentak memaksa dari dasar hatinya. Tetapi Burung-Putih tak kuasa mengungkapkan. Ia khawatir melukai perasaan Si-Angin. Burung-Putih takut melawan ketulusan. Sementara Si-Angin terus berkicau, ia tak perduli yang tersimpan di kedalaman sana. Rasa bahagianya tak terkendali, perasaannya terus mengalir ke lautan suka cita. Bahagia dan hanya bahagia yang ia rasa. Sedang hati Burung-Putih melanglang entah kemana, ia mengarungi kebimbangan. Sendiri, terombang ambing oleh keraguan. Ia bingung lalu jatuh terpekur.

Si-Angin tersentak, ia menatap Burung-Putih yang terdiam dan lesu. Ia mengunci bibirnya rapat rapat. Mulutnya terkatup. Suasana berubah kikuk. Sepi menyelip diantara mereka. Perasaan tak enak melingkupi suasana pagi yang cerah. Kebahagiaan Si-Angin lenyap seketika. Ia bingung harus berbuat apa. Ia memandang dinding, ditatapnya daun kering satu satu, dihitungnya ranting ranting atap untuk menghibur diri. Lambat laun Si-Angin merasa pengap. Dadanya sedikit demi sedikit menyesak. Hingga Si-Angin tak lagi kuasa menahan gerah. Ia berdiri mendekati jendela, dibukanya daun jendela itu lebar lebar.

Sinar Sang-Surya langsung berkelebat menerobos jendela melewati wajahnya. Terus meluncur merangkul tubuh Burung-Putih yang menunduk termenung resah. Penuh gemulai ia membelai halus bulu Burung-Putih dengan kehangatan. Ia hidupkan kembali keindahan pagi yang hilang. Burung-Putih yang terpekur tiba tiba merasa kehangatan menyusur sekujur tubuhnya. Matanya terpejam, menikmati belaian lembut dari Sang-Surya. Wajahnya menengadah, lehernya yang jenjang menahan kenikmatan yang meluap tak terbendung. Tanpa terasa kakinya melayang sendiri ke udara, sayapnya mengepak tanpa sadar. Ia ikuti getaran rasa yang menuntunnya. Dengan tenang, ia terbang ke arah jendela, mengabaikan begitu saja Si-Angin yang hanya terdiam kaku membisu. Tepat di hadapan pintu jendela, Burung-Putih membuka matanya. Sambil tersenyum ia mendesis bahagia "Suryaaa...!", Sang-Surya segera menyambut dengan keindahan sinarnya. Burung-Putih kembali terpesona, serta merta ia terbang ke luar, mengepak cepat, melesat mengejar Sang-Surya. Meninggalkan Si-Angin yang terbengong kosong tak mengerti. Si-Angin hanya memandang hampa. Pandangannya kabur. Tubuhnya lemas. Si-Angin lalu jatuh terkulai tak berdaya. Segalanya berubah tak terlihat. Burung-Putih pun menghilang di telan gelap.


Pulo Mas, 16 Februari 2001



Thursday, June 2, 2016

LG(BT) Dan Dunia Sosial - Analisa Sosiologi Fenomenologis - Peter Berger


LG(BT) :

Dimaksudkan bahwa analisa berikut hanya untuk fenomena-sosial LG tetapi teori yang sama dapat digunakan untuk menganalisa fenomena-sosial (BT).


Sekilas Teori Sosiologi Fenomenologis Peter Berger

Berger menggunakan logika-dialektika untuk mengemukakan teori-sosiologi tentang perkembangan-masyarakat dan dunia-sosial. Obyek (Matter) dan Subyek (Mind) ialah dialektis. Hal-mengada menciptakan hal-menyadari dan hal-menyadari menciptakan hal-mengada. Karl Max menjelaskan hal-mengada menciptakan hal-menyadari (ekonomi mendasarkan hal-rohani) sedang Berger menjelaskan hal-rohani menciptakan hal-mengada. Mereka menjelaskan dua-segi dari satu-dialektika. Mark menjelaskan Matter menciptakan Mind dan Berger menjelaskan Mind menciptakan Matter.

Berger berpendapat bahwa dasar dunia kita adalah fakultas-manusia yang lebih dalam yaitu kesanggupan-berbicara. Dengan Bahasa manusia menciptakan realitas. Dengan memberi-nama manusia melakukan Tipefikasi (pengecapan) dan berdasar-nama-nama itu terjadi lembaga-lembaga dalam dunia kita. Institusionalisasi berdasarkan eksternalisasi, obyektifasi dan internalisasi. Ini cukup untuk menjelaskan seluruh-dunia-manusia.

Manusia menciptakan dunianya sendiri. Kita menciptakan dunia kita bersama-sama. Mengapa tingkah-laku kita dalam dunia kita tampak sebagai tingkah-laku yang teratur ? Cosmos bukan Chaos ? Bukan karena badan-kita-yang-sama. Nature badan-kita bukan jaminan untuk tingkah-laku-yang-teratur. Menurut Berger ada dua-jawaban untuk pertanyaan diatas.

1. Tingkah-laku-individual adalah sekunder terhadap tingkah-laku-yang-teratur-secara-sosial. Dalam arti tingkah-laku-individu diatur sesuai dengan Social-Behaviour melalui pendidikan misalnya atau sosialisasi.

2. Aturan bisa ditemukan di dalam dunia-sosial sendiri. Aturan-sosial adalah produk-manusia-sendiri. Aturan-sosial ialah produksi-manusia yang terus-berjalan. Tingkah-laku kita menjadi teratur karena terjadi Perlembagaan.  

Sumber-Perlembagaan adalah tingkah-laku-manusia-sendiri yang sering-dilakukan kemudian menjadi-kebiasaan. Tingkah-laku yang diulang-terus-menerus membentuk corak-tingkah-laku. Menjadi lebih gampang dilakukan dan diketahui orang lain sebagai suatu-corak misalnya memacul, tidur dll. Proses-Habitualisasi mendahului Proses-Perlembagaan. Bagaimana terjadi Perlembagaan itu ? Perlembagaan terjadi ketika kali orang mengecap-tingkah-laku dari yang lain. Tidak hanya tingkah-laku-yang-dicap tetapi pelakunya juga. Begitulah yang terjadi misalnya sang petani, sang pegawai, sang ayah, dukun dll. Bercocok tanam harus begini-dan-begitu, dan pelakunya disebut petani. Jelaslah bahwa lembaga-lembaga mempunyai sejarah.


LG(BT) Dan Dunia Sosial

Adalah fakta bahwa sekarang dunia-sosial-manusia secara keseluruhan menganggap kaum LG(BT) sebagai Deviant-Behaviour (tingkah-laku-yang-menyimpang dari dunia-sosial yang ada). Bagaimana hal ini terjadi ? Bagaimana Hidup-Hetero menjadi lembaga-dunia-sosial Kita ? Dunia-sosial adalah kita yang menciptakan secara bersama-sama melalui serangkaian-proses yang bersejarah. Berasal dari tingkah-laku manusia-sendiri yang menjalani hidup dengan memilih-pasangan-berjenis-kelamin-berbeda. Hal ini dilakukan tentu untuk mencapai suatu tujuan. Sebagai mahluk hidup dorongan untuk mempertahankan-hidup dan melestarikan-keberadaannya di alam adalah faktor-utama bagi manusia dalam memilih dan melakukan suatu-tindakan. Itulah mengapa kita menemukan fakta-kuantitatif bahwa manusia yang menjalani Hidup-Hetero jauh lebih banyak dari pada LG(BT).

Hidup-berpasangan dengan lawan-jenis merupakan habitualisasi yaitu perbuatan-rutin/biasa yang dilakukan manusia dari waktu ke waktu. Tingkah-laku hidup-berpasangan dengan lawan-jenis menjadi perbuatan yang terus menerus dilakukan, menjadi corak-tingkah-laku-manusia untuk menjalani kehidupan. Corak menjadi hal yang mudah diketahui oleh yang lain. Tipefikasi/Pengecapan kemudian terjadi. Kita yang mengetahui orang-lain hidup-berpasangan dengan lawan-jenis kemudian menyebut orang itu menjalani Hubungan-Hetero. Orang lain pun menyebut hal-yang-sama ketika kita melakukan hal tersebut. Tipefikasi/Pengecapan berlangsung resiprositas. Saling melabel/mengecap ini terjadi dalam situasi-sosial yang berlangsung-terus-menerus yaitu dalam pergaulan-dan-komunikasi antar sesama manusia. Tipefikasi/Pengecapan menjadi milik-semua-manusia (anggota masyarakat). Dengan bahasa, kita juga melabel/mengecap pelaku perbuatan itu dengan Seorang-Hetero, Manusia-Hetero, Manusia yang mencintai-lawan-jenis dll. Selanjutnya terjadi Perlembagaan, tingkah-laku-biasa menjelma menjadi sebuah lembaga disertai perangkat-aturan yang mengatur begini dan begitu. -Seorang Hetero harus mencintai-lawan-jenisnya dan tidak-mencintai sesama-jenisnya-

Lembaga ini kemudian diteruskan oleh nenek-moyang kepada anak-anaknya oleh orang-tua, nenek, kakek dll. Lembaga berubah tidak lagi ad-hoc tetapi menjadi-hal-yang-bersejarah. Dengan men-sejarah, terjadi pula Eksternalisasi dan Obyektifasi. Hal yang sesungguhnya dibuat-sendiri dialami sebagai hal-di-atas-kita-dan-di-luar-kita. Menjalani Hidup-Hetero dialami sebagai hal-yang-luhur, perintah Tuhan dll. Lembaga dialami sebagai hal-yang-mempunyai-realitas-sendiri. Hadirnya pasangan Hetero di tengah-tengah kita dianggap sesuatu-yang-luhur, mengikuti-perintah-Tuhan, begitulah semestinya manusia menjalani hidup dll. Perlembagaan menjadi dunia-sosial-yang-realitas-dan-obyektif, yang kemudian diteruskan lagi pada turunan berikutnya.

Hingga turunan berikutnya ini sudah tidak mengerti lagi makna-asli dari kebiasaan-nenek-moyangnya. Kabur terhadap makna-dibalik-perbuatan. Untuk meneruskan lembaga terjadilah Proses-Legitimasi agar lembaga yang sudah menjadi dunia-sosial-yang-realitas-dan-obyektif dapat lebih-mudah-diterima dan masuk-akal. Legitimasi berjalan melalui dua proses.

1. Bagaimana Legitimasi menjelaskan lembaga itu, ini terjadi dengan memberi-pengetahuan dan pemahaman-kognitif pada makna-makna dalam lembaga itu.
-Seorang Hetero adalah manusia yang mencintai lawan jenisnya dan tidak mencintai sejenis.

2. Bagaimana Legitimasi mensyahkan lembaga, ini dilakukan dengan cara memberi-status-norma pada perintah-perintah dari lembaga itu.
-Seorang manusia harus mencintai lawan jenisnya dan tidak mencintai sejenisnya.
-Seorang yang mencintai sesama jenis diancam, terkena hukuman, dihinakan, dianggap berbuat dosa dll.

Legitimasi mengandung komponen-kognitif-dan-norma, pengetahuan dan ukuran-tingkah-laku, pengetahuan dan nilai-nilai. Legitimasi dilakukan melalui pendidikan-dan-pengajaran di sekolah-sekolah dan lembaga-lembaga-pendidikan.

Dengan cara itu pula pengetahuan diinternalisasikan sebagai kebenaran-yang-umum, norma diinternalisasikan sebagai kebaikan-yang-diterima-secara-sosial. Yang pada akhirnya generasi itu terbentuk sesuai dengan lembaga-dunia-sosial yang ada. Melakukan tingkah-laku-yang-teratur sesuai aturan-dan-norma lembaga dunia sosial yang didiami. Pengetahuan-dan-norma membentuk-manusia. Mind menciptakan Matter.


Usaha Kaum LG(BT)

Humanisme mempunyai pandangan bahwa manusia adalah pusat-segalanya. Manusia adalah merdeka. Bebas menentukan dirinya, bebas menentukan tujuan hidupnya, bebas memilih bagaimana menjalani hidupnya bahkan bebas pula mengakhiri hidupnya. Sebagai manusia bebas, kaum LG(BT) adalah manusia yang memilih pasangan-sejenis untuk menjalani hidup melalui kebebasannya. Dalam dunia-sosial sekarang kaum LG(BT) adalah Deviant-Behaviour. Keadaan yang membuat mereka tidak-nyaman bahkan menyiksa untuk menjalani hidup dalam dunia-sosial yang didiami-bersama. Tentu mereka tidak tinggal diam dan menerima keadaan begitu saja. Mereka berusaha dan terus berjuang agar hidupnya nyaman.

Salah satu cara yang bisa ditempuh adalah dengan membentuk dunia-sosial yang sesuai dengan tingkah-laku mereka. Kaum LG(BT) harus membentuk lembaga-dunia-sosial yang memandang bahwa menjalani hidup dengan pasangan-sejenis adalah suatu-yang-luhur, hal yang sama dengan Hidup-Hetero. Kaum LG(BT) harus mencita-citakan tingkah-laku mereka menjadi sebuah lembaga. Dengan kata lain kaum LG(BT) harus berusaha melepaskan-diri dari status Deviant-Behaviour. Mungkinkah usaha ini berhasil ?

Habitualisasi dari tindakan harus mengawali sebelum terbentuknya lembaga. Berupa tingkah-laku-yang-rutin/biasa-dari-manusia-itu-sendiri dan ini sangat dipengaruhi oleh faktor manusia sebagai mahluk-hidup yang secara imanen mempunyai kehendak untuk melestarikan-kehidupannya. Reproduksi adalah jalan yang harus ditempuh untuk mempertahankan-keberadaan mahluk-hidup di alam ini. Secara sadar atau tidak kaum LG(BT) justru memilih untuk menutupnya. Dengan kebebasannya memilih, kaum LG(BT) sesungguhnya melakukan usaha memusnahkan spesiesnya sendiri secara berlahan. Manusia nyaris tidak mungkin memilih tindakan yang membahayakan keberadaan dirinya di alam menjadi sebuah perbuatan rutin. Tanpa habitualisasi lembaga tidak akan terbentuk. Oleh karena itu tingkah-laku LG(BT) untuk menjadi lembaga-dunia-sosial-manusia secara-keseluruhan sangatlah kecil jika tidak disebut mustahil.

Kaum LG(BT) tampaknya menyadari hal itu. Mereka mengalihkan usahanya untuk mengubah-sikap dan perlakuan-yang-lebih-baik terhadap mereka. Berharap reaksi masyarakat menjadi-lunak terhadap penyimpangan anggotanya. Sosialisasi dan kampanye mereka bukanlah mari hidup sebagai LG(BT) tapi perlakukanlah kami sebagai manusia yang berhak-menikmati-kehidupan. Anggap kami sebagai manusia karena bagaimanapun kami adalah manusia. Usaha ini sepertinya mulai menampakan hasil. Dunia-sosial kita sekarang mulai bergerak-melunak untuk menghukum kaum LG(BT) sebagai Deviant-Behaviour. Deviant-Behaviour mulai bisa menikmati kehidupan dengan nyaman.

Dengan kondisi itu apakah kaum LG(BT) membuang cita-cita untuk menciptakan dunia-sosial sendiri ? Tentu tidak. Bukankah hidup dalam dunia-sendiri jauh lebih nikmat-dan-nyaman. Mereka akan terus berusaha menciptakan lembaga dalam kondisi yang lebih-ringan dari tekanan. Keadaan yang lebih menguntungkan mereka. Tetapi tetap saja bahwa pilihan hidup berpasangan dengan sejenis akan terhambat oleh kebutuhan-alami-dan-imanen dalam diri-manusia-sendiri untuk melestarikan-keberadaanya di alam ini. Usaha mereka menjadi terbatas menciptakan lembaga-dunia-sosial bagi kaumnya. Sebagai dunia Deviant-Behaviour di bawah naungan dunia-sosial manusia secara keseluruhan yang Hetero.

Apakah kondisi ini berlangsung selamanya ? Setidaknya sepanjang usia saya kondisi sekarang tidak berubah. Yang bergeser adalah sikap-perlakuan-masyarakat yang lebih manusiawi kepada kaum LG(BT) sebagai Deviant-Behaviour.


Sumber :
M.A.W Brouwer
Psikologi Fenomenologis
Pemahaman Otodidak



Kelapa Gading, 2 Juni 2016