Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Tuesday, December 20, 2016

Plato 4 : Karya Periode Akhir


Pengelompokan karya Plato yang biasa dilakukan oleh para ahli filsafat secara kronologis adalah sebagai berikut:

Karya Periode-Awal
Semua karya yang ditulis Plato setelah kematian Socrates, tetapi sebelum perjalanan pertama Plato ke Sisilia pada tahun 387 SM :
Apology, Charmides, Crito, Euthydemus, Euthyphro, Gorgias, Hippias Major, Hippias Minor, Ion, Laches, Lysis, Protagoras, Republic Bk. I

Karya Periode-Transisi-Awal
Karya yang ditulis Plato pada akhir Periode-Awal dan pada awal Periode-Tengah antara tahun 387-380 SM :
Cratylus, Menexenus, Meno

Karya Periode-Tengah
Karya yang ditulis Plato antara tahun 380-360 SM :
Phaedo, Republic Bk. II-X, Simposium

Karya Periode-Transisi-Akhir
Karya yang ditulis Plato pada akhir Periode-Tengah dan pada awal Periode-Akhir antara tahun 360-355 SM :
Parmenides, Theaetetus, Phaedrus

Karya Periode-Akhir
Karya yang ditulis Plato pada Periode-Akhir antara tahun 355-347 SM, mungkin secara kronologis sbb :
Sophis, Statesman, Philebus, Timaeus, Critias, Laws



Karya Plato : Periode Akhir


a. Metodologi Filsafat

Salah satu hal baru dalam dialog karya Plato setelah Periode-Tengah adalah pengenalan metode filosofis baru. Metode ini kemungkinan diperkenalkan baik di bagian akhir dialog karya Plato Periode-Tengah atau dalam dialog karya Plato Periode-Transisi-Akhir, yang kemudian semakin menjadi penting dalam dialog karya Plato Periode-Akhir. Dalam dialog karya Plato Periode-Awal, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, metode berfilsafat adalah penyanggahan dengan cara tanya-jawab yang disebut Elenchos atau Metode-Socrates. Meskipun dalam dialog karya Plato pada Periode-Tengah selalu menunjukkan Socrates yang mengajukan pertanyaan, pertanyaaan Socrates dalam dialog ini menjadi jauh lebih terang-terangan dan mengarahkan. Metode berfilsafat tertinggi yang dibahas dalam dialog karya Plato pada Periode-Tengah, disebut Dialektika, metode ini tidak pernah dijelaskan dengan sangat baik oleh Plato (yang terbaik, nyaris ditemukan pada penjelasan gambar garis berbagi pada bagian akhir Book VI Republic). Metode berfilsafat yang benar, disampaikan Plato dalam karya pada Periode-Akhir, yaitu metode yang dikenal sebagai Pengelompokan-Dan-Pembagian yang kemungkinan pertama kali disebut dalam karya berjudul Phaedrus 265e. Dalam metode ini, sang filsuf mengelompokkan benda-benda dengan membuat beberapa kategori yang memiliki karakteristik-umum yang sama dan kemudian membagi lagi ke dalam jenis tertentu sampai pada akhirnya tidak dapat dibagi lagi. Metode ini secara eksplisit dan secara luas dipamerkan dalam karya Sophist, Statesman, dan Philebus.


b. Kritik Teori Forma Awal

Salah satu bagian yang paling membingungkan dari dialog karya Plato pada Periode-Akhir adalah pembahasan kembali Teori-Forma melalui beberapa cara penjelasan. Meskipun dalam dialog karya Plato pada Periode-Akhir masih tampak menjelaskan Teori-Forma (meski teori ini, cukup mencolok, tetapi tidak dijelaskan sepenuhnya dalam karyanya Theaetetus, pada dialog bagian akhir yang membahas sifat pengetahuan), di mana Teori-Forma benar-benar muncul dalam dialog berikutnya, tampak telah mengalami modifikasi dalam beberapa hal dari konsepsi awal yang terdapat dalam karya Plato Periode-Tengah. Mungkin tanda yang paling dramatis dari perubahan Teori-Forma muncul pertama dalam Parmenides, yang muncul sebagai Teori-Forma versi Periode-Tengah dan menjadi subjek yang dibahas dalam tanya jawab "Socrates", hanya saja kali ini, penyanggah utama adalah filsuf Eleatic yang lebih tua Parmenides, dan korban malang dari sanggahan itu adalah Socrates yang lebih muda. Argumen paling terkenal dan kritik mematikan yang diberikan oleh Parmenides dalam dialog ini dikenal sebagai Third-Man-Argument yang menunjukkan bahwa konsepsi partisipasi, yang dengannya objek individual mengambil karakter Forma, jatuh ke dalam kemunduran yang tak terbatas. Jika seorang laki-laki individual merupakan lelaki dalam partisipasi Forma-Man-1, dan Forma-Man-1 itu sendiri adalah lelaki, maka apa yang sama pada Forma-Man-1 dan laki-laki individual harus berpartisipasi dalam satu Forma yang lain, katakanlah, Forma-Man-2. Tetapi kemudian, jika Forma-Man-2 adalah lelaki, maka kesamaan sifat Forma-Man-2 dengan laki-laki individual adalah dalam partisipasi Forma yang lain berikutnya, sebutlah Forma-Man-3, dan seterusnya dan seterusnya. Bahwa Teori-Forma dari Plato terbuka untuk masalah ini didukung dari gagasan, yang sudah disebutkan di atas, bahwa Forma adalah eksemplar. Jika Forma-Man-1 sendiri merupakan lelaki yang sempurna, maka Forma-Man-1 berbagi sifat yang sama dengan semua laki-laki yang berpartisipasi di dalamnya. Tetapi karena Teori-Forma mensyaratkan bahwa untuk setiap kelompok entitas dengan sifat yang sama, harus ada satu Forma untuk menjelaskan kesamaannya, hal itu menunjukkan bahwa teori ini memang menimbulkan kemunduran yang meracuni Teori-Forma.

Ada kontroversi yang cukup besar selama bertahun-tahun tentang apakah Plato percaya bahwa Teori-Forma rentan terhadap kritik Third-Man-Argument, seperti yang diyakini Aristoteles, sehingga menggunakan Parmenides untuk mengumumkan penolakannya terhadap Teori-Forma, atau sebaliknya Plato percaya bahwa Third-Man-Argument dapat dihindari dengan melakukan penyesuaian terhadap Teori-Forma. Tidak relevannya diskusi ini adalah pengurutan relatif dari karya Timaeus dan Parmenides, karena Teori-Forma ditemukan sangat banyak dalam dialog karya Plato Periode-Tengah yang memainkan peran penting, seperti dalam karyanya Timaeus. Dengan demikian meletakan karya Timaeus pada urutan terakhir menunjukkan bahwa Plato tidak menganggap keberatan kepada Teori-Forma yang dijelaskan dalam karya Parmenides sebagai jalan keluarnya. Dalam hal apapun, disepakati dari semua sisi bahwa ketertarikan Plato dalam Teori-Forma semakin meningkat dalam karyanya Sophist dan Stateman dengan melakukan eksplorasi hubungan yang logis antara entitas abstrak yang terus dipertahankan. Dalam Laws, karya Plato terakhir (dan belum selesai), Teori-Forma tampak putus sama sekali. Apapun nilainya, Plato percaya bahwa pengetahuan tentang entitas abstrak dimiliki untuk perilaku yang tepat dalam berfilsafat, ia tampaknya tidak lagi percaya bahwa pengetahuan tersebut diperlukan untuk menjalankan suatu komunitas politik dengan baik.


c. Gerhana Socrates

Dalam beberapa dialog karya Plato pada Periode-Akhir, Socrates dipinggirkan lebih jauh. Dia direpresentasikan sebagai sosok yang mengamati dari pinggir dan hampir bisu seperti dalam Sophist dan Statesman, atau bahkan tidak ditampilkan sama sekali sebagai karakter seorang tokoh seperti dalam Law dan Critias. Namun dalam karya berjudul Theaetetus dan Philebus, Socrates ditemukan dalam peran utama yang menonjol. Gejala yang disebut Gerhana" pada Socrates ini, dalam beberapa dialog karya Plato pada Periode-Akhir kemudian terus menjadi subjek dalam banyak diskusi ilmiah oleh para ahli.


d. Mitos Atlantis

Mitos terkenal Plato tentang Atlantis pertama kali dijelaskan dalam karyanya Timaeus, yang menurut para ahli sekarang umumnya sepakat berpendapat cukup terlambat, meskipun secara dramatis ditempatkan pada satu hari setelah diskusi, yang kembali diceritakan dalam karyanya Republic. Mitos Atlantis dilanjutkan dalam dialog yang belum selesai dimaksudkan untuk menjadi sekuel Timaeus, Critias.


e. Penciptaan Alam Semesta

Timaeus juga terkenal dengan penjelasannya tentang penciptaan alam semesta oleh Demiurge. Berbeda dengan penjelasan penciptaan alam oleh Tuhan menurut para teolog abad pertengahan, Plato Demiurge tidak menciptakan alam dari Ketiadaan (ex nihilo), melainkan lebih mengatur kosmos untuk terlepas dari kekacauan materi dasar yang merupakan duplikasi dari Forma yang kekal. Plato mengambil empat elemen dasar, api, udara, air, dan tanah (yang Plato menyatakan akan disusun dari berbagai agregat segitiga), menciptakan berbagai senyawa berdasar elemen dasar ini menjadi apa yang disebutnya Tubuh-Semesta. Dari semua karya Plato, Timaeus menyediakan dugaan yang paling rinci dalam bidang yang sekarang kita anggap sebagai ilmu-ilmu alam: fisika, astronomi, kimia, dan biologi.


f. Hukum

Dalam karya terakhir Plato berjudul Laws, sang filsuf sekali lagi kembali ke pertanyaan tentang bagaimana cara terbaik untuk mengatur suatu masyarakat. Meskipun demikian tidak seperti pembahasan sebelumnya dalam karyanya Republic, dalam Laws tampak kurang membahas 'negara seperti apa yang terbaik dan paling mungkin' tetapi lebih membahas proyek perancangan sebuah negara yang benar-benar dapat diterapkan, jika memang tidak diakui membahas bentuk pemerintahan yang ideal. Para pendiri komunitas digambarkan dalam karya Laws menyibukkan diri dengan rincian pengalaman kenegaraan, membentuk aturan untuk melakukan antisipasi terhadap banyak hal-hal tak terduga (kontingensi) yang cenderung muncul di "dunia nyata" urusan manusia. Sebuah karya besar yang panjang dan kompleks, yang sudah menghabiskan 345 halaman Stephanus, tetapi karya Laws belum juga selesai hingga saat kematian Plato. Menurut Diogenes Laertius (3,37), itu yang tersisa ditulis pada tablet lilin.


Sumber:
www.iep.utm.edu/plato
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 25 November 2016


Saturday, November 26, 2016

Topeng


...1

Bersiaplah, jangan kemana-mana
Kurasa, angin berdesir kencang
Pegang topeng erat-erat !
Awas, jatuh terlepas !

Dia berputar !
Berhenti menunjuk !
Pegang topeng erat-erat !
Apa melekat di rautmu ?

Lihat, dia mengarahmu
Diam, jangan ke mana-mana
Pegang topeng erat-erat !
Berhenti memukul !

Awas, awas topengmu !
Ahh... terjatuh bukan ?!
Kenapa lari ?
Tak kau dengar katamu ???

Mana, mana tangan itu ?
Tutup tutup rautmu !
Apa kau bilang ??
Tuhanmu hilang ????


...2

Akan tersapu angin
Jatuh bergulingan
Dari bukit ketinggian hati
Merendahkan yang sepoi
Bahkan badai yang datang !

Topengpun berserakan
Disamping tubuh luka dan lebam
Tidak merintih atau menghiba
Bahkan bangga dengan kemuliaan
Karena terbutakan !


Kelapa Gading, 26 November 2016


Sunday, November 20, 2016

Plato 3 : Karya Periode Tengah


Pengelompokan karya Plato yang biasa dilakukan oleh para ahli filsafat secara kronologis adalah sebagai berikut:

Karya Periode-Awal
Semua karya yang ditulis Plato setelah kematian Socrates, tetapi sebelum perjalanan pertama Plato ke Sisilia pada tahun 387 SM :
Apology, Charmides, Crito, Euthydemus, Euthyphro, Gorgias, Hippias Major, Hippias Minor, Ion, Laches, Lysis, Protagoras, Republic Bk. I

Karya Periode-Transisi-Awal
Karya yang ditulis Plato pada akhir Periode-Awal dan pada awal Periode-Tengah antara tahun 387-380 SM :
Cratylus, Menexenus, Meno

Karya Periode-Tengah
Karya yang ditulis Plato antara tahun 380-360 SM :
Phaedo, Republic Bk. II-X, Simposium

Karya Periode-Transisi-Akhir
Karya yang ditulis Plato pada akhir Periode-Tengah dan pada awal Periode-Akhir antara tahun 360-355 SM :
Parmenides, Theaetetus, Phaedrus

Karya Periode-Akhir
Karya yang ditulis Plato pada Periode-Akhir antara tahun 355-347 SM, mungkin secara kronologis sbb :
Sophis, Statesman, Philebus, Timaeus, Critias, Laws


Karya Plato : Periode Tengah


a. Perbedaan Dialog Awal Dan Tengah

Upaya ilmiah melakukan pengurutan relatif kronologis untuk dialog karya Plato pada Periode-Transisi-Awal dan Periode-Tengah adalah problematis karena semua sepakat bahwa dialog utama dalam karya Plato pada Periode-Tengah, Republic, memiliki beberapa sifat yang membuat pengurutan itu justru sangat sulit dilakukan dengan tepat. Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, banyak sarjana berpendapat buku Republic-I termasuk salah satu kelompok dialog dalam karya Plato pada Periode-Awal. Tetapi orang-orang yang membaca seluruh buku Republic akan melihat bahwa buku Repuplic-I juga memberikan pengantar yang alami dan efektif untuk buku-buku berikutnya yang tersisa dari Republic. Sebuah studi terbaru oleh Debra Nails ("The Dramatic Date of Plato's" The Classical Journal 93.4, tahun 1998, 383-396) mencatat beberapa anakronisme yang menunjukkan bahwa proses penulisan karya itu dan mungkin proses editing ulangnya berlangsung dalam waktu yang sangat lama. Jika karya sentral pada periode ini sulit untuk ditempatkan ke dalam konteks yang spesifik, maka tidak ada jaminan yang besar untuk meletakan karya-karya lain pada posisi apapun relatif terhadap karya ini.

Meskipun demikian, tidak memerlukan studi hati-hati terhadap dialog karya Plato pada Periode-Transisi-Awal dan pada Periode-Tengah untuk melihat perbedaan yang jelas dalam gaya dan konten filosofis dengan dialog karya Plato pada Periode-Awal. Perubahan yang paling jelas adalah cara bagaimana Plato menampilkan karakter Socrates :

Dalam dialog karya Plato pada Periode-Awal, Socrates hanya mengajukan pertanyaan, menunjukan kebingungan lawan bicaranya sambil mengakui ketidakmampuannya sendiri untuk menumpahkan setiap cahaya yang positif pada subjek-bahasan, sedangkan dalam dialog karya Plato pada Periode-Tengah, Socrates tiba-tiba muncul sebagai seorang ahli dengan sikap positif yang bersedia untuk menegaskan dan membela teorinya sendiri tentang banyak hal penting. Lebih lagi, Socrates dalam dialog karya Plato Periode-Awal, terutama membahas subjek etika yang dikaitkan dengan beberapa pandangan keagamaan, metodologis, dan epistemologis yang tersebar dalam diskusi-diskusi yang terutama membahas bidang etika. Socrates dalam dialog karya Plato pada Periode-Tengah memperluas pembahasannya ke hampir setiap wilayah penyelidikan yang ditanyakan manusia. Posisi filosofis Socrates dalam dialog ini berkembang jauh lebih sistematis, termasuk pertanyaan teoritis yang luas berkaitan dengan hubungan antara bahasa dan realitas (dalam Cratylus), pengetahuan dan penjelasan (dalam Phaedo dan Republic, Buku V-VII ). Tidak seperti Socrates dalam dialog karya Plato pada Periode-Awal, yang merupakan "manusia-yang-paling-bijaksana" hanya karena ia mengakui sepenuhnya ketidaktahuannya sendiri, Socrates dalam karya Plato pada Periode-Tengah mengakui kemungkinan pengetahuan manusia yang sempurna terutama di perumpamaan yang terkenal tentang cahaya, perumpamaan tentang matahari dan kebaikan dan perumpamaan tentang garis bagi dalam Buku VI dan perumpamaan tentang gua dalam Buku VII Republic. Dalam pengertian kebijaksanaan ini menjadi mungkin adanya semacam kontak khusus kognitif dengan forma atau ide (Eide) yaitu suatu realitas yang ada di luar dunia indra yang hanya terdapat dalam alam pikiran. teori-forma ini, memperkenalkan dan menjelaskan dalam berbagai konteks di setiap dialog dalam karya Plato pada Periode-Tengah dan mungkin merupakan aspek yang paling terkenal dan aspek paling definitif dari apa yang kemudian dikenal sebagai Platonisme.


b.Teori Forma

Dalam banyak dialognya, Plato menyebut adanya entitas di luar dunia indra (supra-sensibel) yang ia sebut forma atau idea. Sebagai contoh, dalam karyanya Phaedo, kita diberitahu bahwa suatu benda yang sama dalam dunia indra, misalnya beberapa tongkat yang sama atau beberapa batu yang sama (lihat Phaedo 74a-75D) adalah "sama" karena adanya "partisipasi" atau "berbagi" sifat/karakter yang bersumber dari satu entitas-forma yang sama, yang berada di dalam dunia supra-sensibel, yang benar-benar kekal, yang tidak berubah, sempurna dan memiliki esensi yang sama. Plato seringkali mencirikan partisipasi forma pada benda-benda ini sebagai semacam gambaran, pencitraan, salinan atau pendekatan forma yang ada dalam dunia supra-sensibel. Hal yang sama dapat dikatakan untuk benda yang lebih besar atau lebih kecil dengan forma-besar atau forma-kecil (Phaedo 75 c-d), atau benda yang tinggi dengan forma-yang-tinggi(Phaedo 100e), atau sesuatu yang cantik dengan forma-kecantikan (Phaedo 75 c-d, Simposium 211E, Republic V.476c). Ketika Plato menulis tentang forma pada benda-benda dunia indra mendekati forma dunia supra-sensibel, mudah untuk menyimpulkan bahwa bagi Plato, forma dalam dunia supra-sensibel adalah merupakan model. Jika demikian, Plato percaya bahwa forma-kecantikan adalah kecantikan yang sempurna, forma-keadilan adalah keadilan yang sempurna dan sebagainya. Konsep model-forma ini adalah penting bagi Plato karena memungkinkan para filsuf yang berusaha menjangkau entitas dapat mencapai kemampuan terbaiknya untuk menilai sejauh mana forma pada benda-benda dalam dunia indra merupakan salinan yang baik dari forma dalam dunia supra-sensibel.

Para sarjana tidak setuju tentang ruang lingkup, apa yang sering disebut teori-forma dan mempertanyakan apakah Plato mulai dengan memegang pendapat bahwa hanya ada rentang kecil forma untuk sifat pada benda-benda seperti tinggi, kesetaraan, keadilan, keindahan, dan sebagainya, dan kemudian melebarkan cakupannya dengan menyertakan forma yang sesuai dengan setiap hal yang dapat diterapkan pada duplikasi benda-benda. Dalam Republic, ia menulis seolah-olah adalah mungkin ada begitu banyak duplikasi forma, misalnya, dalam Buku X dari karya itu, Plato menulis tentang forma tempat-tidur (lihat Republic X.596b). Plato percaya bahwa pada setiap kelompok benda yang berbagi/memiliki beberapa sifat/properti yang sama, terdapat satu forma yang menyatukan benda-benda dalam kelompok tersebut (dan kesamaan pada hal itu menunjuk kepada setiap anggota dalam kelompok benda-benda tersebut). Pengetahuan melibatkan pengenalan pada forma (Republic V.475e-480a), dan penerapan pengetahuan yang terpercaya akan melibatkan kemampuan untuk membandingkan sifat/property benda-benda tertentu dalam dunia indra dengan forma dalam dunia supra-sensibel.


c. Imortalitas Dan Renkarnasi

Socrates dalam dialog karya Plato pada Periode-Transisi-Awal, Meno, memperkenalkan gagasan Orphic dan gagasan Pythagoras bahwa jiwa adalah abadi dan telah ada sebelum kelahiran kita. Ia menjelaskan semua pengetahuan sebenarnya dikumpulkan kembali dari ingatan keberadaan jiwa sebelumnya. Pada bagian yang mungkin paling terkenal dalam dialog ini, Socrates memunculkan ingatan tentang geometri dari salah satu budak Meno (Meno 81a-86b). Ketertarikan Socrates pada pengetahuan yang cukup sempurna dari matematika muncul sepenuhnya baru dalam dialog ini. Bagaimanapun ketertarikan ini muncul jelas dalam dialog karya Plato pada Periode-Tengah, terutama di buku tengah Republic.

Beberapa argumen untuk teori keabadian jiwa dan gagasan bahwa jiwa mengalami reinkarnasi kedalam bentuk-bentuk kehidupan yang berbeda, juga ditampilkan dalam karya Plato berjudul Phaedo. Termasuk adegan yang terkenal di mana Socrates meminum hemlock dan mengucapkan kata-kata terakhirnya. Jika berdasar gaya penulisan, buku Phaedo cenderung diletakan diantara dialog karya Plato pada Periode-Awal sedang jika berdasar analisis kandungan filosofis cenderung menempatkannya pada bagian awal dialog karya Plato pada Periode-Tengah. Cerita yang sama tentang perpindahan jiwa dengan rincian yang agak berbeda dapat ditemukan dalam Buku X Republic dan dalam Phaedrus, serta di beberapa dialog pada Periode-Akhir, termasuk Timaeus dan Laws. Tidak ada jejak doktrin ingatan, atau teori-reinkarnasi atau perpindahan-jiwa, dapat ditemukan dalam dialog karya Plato pada Periode-Awal.


d. Psikologi Moral

Psikologi moral dalam dialog karya Plato pada Periode-Tengah juga tampak sangat berbeda dari apa yang ditemukan pada Periode-Awal. Dalam dialog karya Plato pada Periode-Awal, Socrates adalah seorang intelektualis yang mengklaim bahwa orang selalu bertindak dengan cara yang mereka percaya terbaik bagi mereka (pada saat aksi, pada setiap tingkat). Oleh karena itu, semua kesalahan mencerminkan beberapa kesalahan kognitif. Namun dalam karya Plato pada Periode-Tengah, ia menunjukan konsep-jiwa memiliki (setidaknya) tiga bagian :

1. Bagian rasional yaitu bagian yang mencintai kebenaran, yang harus memerintah atas bagian-bagian lain dari jiwa melalui penggunaan akal.

2. Bagian semangat yaitu bagian yang mencintai kehormatan dan kemenangan.

3. Bagian appetitive yaitu bagian yang menginginkan makanan, minuman, dan seks.

Dan keadilan merupakan kondisi-jiwa di mana setiap tiga bagian ini melakukan kerjanya-sendiri dan tidak mengganggu kerja dari bagian yang lain (lihat esp. Republic IV.435b-445b). Tampak jelas dari cara Plato menggambarkan apa yang bisa salah dalam jiwa, meskipun demikian, dalam gambaran baru psikologi moral ini, hanya bagian appetitive jiwa yang dapat menolak penilaian akal. Dalam penjelasan psikologi ini, salah satunya dapat menderita/mengalami, apa yang disebut akrasia atau kelemahan-moral di mana seseorang melakukan suatu tindakan yang dipercaya olehnya bukan suatu hal yang benar untuk dilakukan (lihat khususnya Republic IV.439e-440B). Socrates dalam karya Plato pada Periode-Awal, membantah adanya akrasia. Seseorang mungkin mengubah pikirannya pada menit terakhir terhadap apa yang seharusnya dia lakukan dan kemudian, mungkin mengubah pikirannya lagi untuk menyesali apa yang telah dilakukan. Tetapi sesorang tidak pernah bisa melakukan sesuatu yang benar-benar dipercaya sebagai hal yang salah pada saat dia melakukan hal itu.


e. Kriktik Seni

Buku Republic juga memperkenalkan kritik terkenal Plato tentang seni-visual dan seni-tiruan. Socrates dalam karya Plato pada Periode-Awal, berpendapat bahwa penyair tidak memiliki kebijaksanaan, tetapi ia juga mengakui bahwa para penyair "mengatakan-banyak-hal-yang-baik". Sebaliknya dalam karyanya Republic, Plato berpendapat hanya ada sedikit hal yang baik, yang ditemukan dalam puisi atau seni rupa lainnya. Sebagian puisi dan seni rupa lainnya terkena sensor sehingga keluar dari keberadaan dalam "keadaan-yang-mulia" (kallipolis). Plato dalam buku Republic, mendeskripsikan seni seperti ini hanya sebagai tiruan penampilan permukaan saja (bukan realitas) dan menunjukan bangkitnya emosi dan selera berlebihan yang tidak wajar (melihat esp. Republic X.595b-608b).


f. Cinta Platonis

Plato dalam karyanya Simposium, yang biasa diletakkan pada posisi awal dalam karya Plato Periode-Tengah dan dalam karyanya Phaedrus yang diletakkan pada posisi akhir dalam karya Plato Periode-Tengah, memperkenalkan teorinya tentang eros yang biasa diterjemahkan sebagai cinta. Beberapa subjek pembahasan dan gambar pada dialog ini terus muncul dalam budaya barat, sebagai contoh, gambar sepasang kekasih sebagai kesatuan masing-masing setengah-dari-lainnya, yang diserahkan Plato kepada Aristophanes dalam karyanya Simposium. Dalam dialog itu, kita juga diberitahu mengenai tangga-cinta yang dengannya sang pencinta bisa naik untuk melakukan kontak langsung secara kognitif dengan hakikat-keindahan. Dalam Phaedrus cinta menampakan diri sebagai kegilaan-ilahi yang melaluinya sayap-jiwa sang pencinta tumbuh/keluar, sehingga sang pecinta mampu terbang menuju semua aspirasi dan prestasi tertinggi yang mungkin dicapai oleh manusia. Dalam kedua dialog tersebut, Plato jelas menganggap kontak-fisik atau hubungan-seksual antara sang pecinta sebagai bentuk yang terdegradasi dan bentuk yang tak berguna dari ekspresi cinta. Karena tujuan sebenarnya dari cinta adalah keindahan yang sesungguhnya dan keindahan yang sesungguhnya adalah forma-keindahan, apa yang disebut oleh Plato sebagai hakikat-keindahan, cinta menemukan pemenuhannya hanya dalam filsafat Plato hanya jika cinta menyalurkan kekuatannya kepada pengejaran yang lebih tinggi yang berujung pada pengetahuan forma-keindahan. Eros ditakdirkan untuk frustrasi. Dengan alasan ini, Plato berpendapat bahwa kebanyakan orang menyia-nyiakan kekuatan sebenarnya dari cinta dengan membatasi dirinya hanya untuk kesenangan kecantikan fisik belaka.


Sumber:
www.iep.utm.edu/plato
Pemahaman Pribadi

Kelapa Gading , 20 November 2016

Sunday, October 30, 2016

Plato 2 : Karya Periode Awal


Pengelompokan karya Plato yang biasa dilakukan oleh para ahli filsafat secara kronologis adalah sebagai berikut:

Karya Periode-Awal
Semua karya yang ditulis Plato setelah kematian Socrates, tetapi sebelum perjalanan pertama Plato ke Sisilia pada tahun 387 SM :
Apology, Charmides, Crito, Euthydemus, Euthyphro, Gorgias, Hippias Major, Hippias Minor, Ion, Laches, Lysis, Protagoras, Republic Bk. I

Karya Periode-Transisi-Awal
Karya yang ditulis Plato pada akhir Periode-Awal dan pada awal Periode-Tengah antara tahun 387-380 SM :
Cratylus, Menexenus, Meno

Karya Periode-Tengah
Karya yang ditulis Plato antara tahun 380-360 SM :
Phaedo, Republic Bk. II-X, Simposium

Karya Periode-Transisi-Akhir
Karya yang ditulis Plato pada akhir Periode-Tengah dan pada awal Periode-Akhir antara tahun 360-355 SM :
Parmenides, Theaetetus, Phaedrus

Karya Periode-Akhir
Karya yang ditulis Plato pada Periode-Akhir antara tahun 355-347 SM, mungkin secara kronologis sbb :
Sophis, Statesman, Philebus, Timaeus, Critias, Laws


Karya Plato : Periode Awal


a. Akurasi Sejarah

Meskipun tidak-ada yang berpendapat bahwa Plato mencatat kata-demi-kata setiap kalimat atau pidato yang sebenarnya diucapkan Socrates. Argumen telah dibuat bahwa tidak-ada pidato Socrates yang tertulis dalam karyanya Apology, yang tidak diucapkan dalam sejarah persidangan Socrates.

Bagaimanapun, adalah cukup-umum bagi para sarjana untuk memperlakukan karya Plato, Apology sebagai sumber kuno yang paling dapat diandalkan untuk menjelaskan sejarah Socrates.

Dialog dalam karya Plato pada periode-awal lainnya tentu kreasi Plato sendiri. Tetapi seperti yang telah dikatakan sebelumnya, kebanyakan ahli memperlakukan ini sebagai hal yang --kurang lebih-- akurat mewakili filosofi dan perilaku Socrates, meskipun para ahli tidak mendukung dengan catatan-sejarah literal percakapan Socrates yang sebenarnya. Beberapa dialog awal termasuk anakronisme membuktikan ketidaktepatan sejarah mereka.

Tentu saja, adalah mungkin bahwa semua dialog sepenuhnya merupakan karya Plato dan tidak-ada hubungan sama-sekali dengan sejarah kehidupan dan filsafat Socrates. Para ahli kontemporer umumnya mendukung salah-satu dari empat sudut-pandang berikut berkaitan dengan dialog dan representasi pemikiran Socrates dalam periode awal karya Plato :

Pandangan Kesatuan (The Unitarian View)
Pandangan ini, yang lebih populer di awal abad ke-20 daripada sekarang, menyatakan bahwa hanya ada filosofi-tunggal yang dapat ditemukan dalam semua karya Plato (dari setiap periode, bahkan jika periode tersebut dapat diidentifikasi dengan jelas dan meyakinkan). Menurut para sarjana yang mendukung pandangan ini, tidak ada alasan sama sekali, untuk berbicara tentang filsafat Socrates. Setidaknya dari apa saja yang ditemukan di dalam karya Plato, segala sesuatu dalam dialog karya Plato adalah filsafat Plato sendiri. Salah satu versi terbaru dari pandangan ini telah dikemukakan oleh Charles H. Kahn (1996). Jauh pada waktu sebelumnya, tetapi masih pada jaman yunani-kuno, pendekatan mereka untuk interpretasi karya Plato pada dasarnya adalah Unitarian. Meskipun demikian Aristoteles adalah pengecualian.

Pandangan Gaya Tulisan Atomis (The Literary Atomist View)
Pendekatan interpretasi ini disebut gaya-tulisan-atomis karena mereka yang mengusulkan pandangan ini memperlakukan setiap dialog dalam karya Plato sebagai sebuah keseluruhan karya tulis yang lengkap. Penafsiran yang tepat harus dicapai tanpa menggunakan referensi karya Plato yang lain. Mereka yang mendukung pandangan ini menolak sepenuhnya relevansi atau validitas pemilahan atau pengelompokan dialog-dialog karya Plato kedalam kelompok-kelompok, dengan alasan setiap pemilahan tersebut tidak mempunyai nilai untuk mencapai penafsiran yang tepat dari setiap dialog yang diberikan. Dalam pandangan ini, tidak ada alasan untuk membuat perbedaan antara filsafat Socrates dan filsafat Plato dan semua filsafat yang ditemukan dalam karya Plato harus dikaitkan hanya dengan Plato sendiri.

Pandangan Perkembangan (The Developmentalis View)
Menurut pandangan ini, yang mencakup paling luas dari semua pendekatan interpretasi yang ada, perbedaan antara dialog dalam karya Plato pada Periode-Awal dan Periode-Akhir menunjukan perkembangan pemikiran filosofi Plato dan gaya tulisannya. Ini mungkin atau mungkin-tidak, terkait dengan upaya Plato untuk melestarikan ingatan akan sejarah Socrates pada setiap dialog dalam karyanya. Perbedaan itu hanyalah menunjukan perubahan pandangan filosofis Plato sendiri. Para ahli yang mendukung pandangan ini, umumnya mengidentifikasi posisi karya Plato pada Periode-Awal sebagai pemikiran filsafat Socrates dan karya Periode-Akhir sebagai filsafat-Plato tetapi tidak memperhatikan hubungan antara pemikiran filsafat-Socrates dan karya Plato dengan sejarah Socrates yang sebenarnya.

Pandangan Sejarah (The Historis View)
Mungkin posisi filosofi yang paling umum dari pandangan-perkembangan adalah pendapat bahwa perkembangan yang terlihat mencolok antara dialog dalam karya Plato pada Periode-Awal dan pada Periode-Akhir bersumber dari upaya Plato untuk menampilkan kembali sejarah Socrates yang ---kurang lebih--- akurat dalam dialog karya Plato pada Periode-Awal. Meski begitu, mungkin karena perkembangan genre-tulisan-tulisan tentang Socrates pada saat itu, dimana para penulis lainnya tidak berupaya mengaitkan tulisannya dengan sejarah Socrates, Plato kemudian lebih leluasa untuk menempatkan pandangannya sendiri melalui mulut karakter Socrates dalam karya-karyanya. Mahasiswa Plato sendiri, Aristoteles, tampaknya memahami dialog dengan cara ini.

Kini, beberapa ahli yang meragukan seluruh program pengurutan dialog ke dalam kelompok secara kronologis dan yang oleh karena itu berpendapat dengan ketat tanpa mengaitkan dengan sejarah (lihat, misalnya, Cooper 1997,xii-xvii) tetap menerima pandangan bahwa karya Plato Periode-Awal adalah pemikiran filsafat Socrates dalam nada maupun isinya. Meskipun demikian, dengan beberapa pengecualian, para ahli sepakat bahwa jika kita tidak mampu membedakan suatu kelompok dialog adalah sebuah karya Plato Periode-Awal atau merupakan pemikiran filsafat Socrates atau bahkan jika kita dapat membedakan suatu kelompok merupakan filsafat Socrates tetapi tidak bisa mengidentifikasi filsafat yang koheren dalam karya-karya itu, maka menjadi sedikit masuk-akal untuk membahas tentang filsafat Socrates dalam karya-karya Plato. Adalah terlalu sedikit (dan yang terlalu sedikit itulah justru yang menarik) yang dapat ditemukan pada karya penulis kuno lainnya yang bisa dikaitkan dengan Socrates. Pada akhirnya, setiap perhatian filosofis yang serius pada Socrates harus diupayakan melalui studi karya Plato pada Periode-Awal atau pada dialog-dialog Plato yang mereprentasikan pemikiran filsafat Socrates.


b. Karakter Socrates Dalam Tulisan Karya Plato

Dalam dialog yang secara umum diterima sebagai karya Plato pada Periode-Awal, tokoh utama selalu adalah Socrates. Socrates ditampilkan sebagai seorang yang sangat lincah melakukan tanya-jawab, yang kemudian dikenal sebagai metode-mengajar Socrates atau elenchus atau elenchos dari istilah bahasa Yunani yang berarti sanggahan. Dalam dialog, Socrates hampir selalu memainkan peran sebagai seorang penanya karena Socrates mengakui tidak memiliki kebijaksanaan dalam dirinya untuk dibagi dengan orang lain. Dalam karya Plato periode ini, Socrates adalah seorang yang mahir mengurangi kebingungan dan kontradiksi dari pendapat lawan bicaranya bahkan untuk hal yang paling sulit dan bandel sekalipun. Dalam Apology, Socrates menjelaskan bahwa perbuatannya yang membuat malu begitu banyak teman-temannya adalah karena perkataan Oracle di Delphi yang disampaikan kepada Chaerephon temannya (Apology 21a-23b), yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih bijaksana dari Socrates. Sebagai hasil dari usahanya untuk mengungkap arti sebenarnya yang dimaksud perkataan Oracle ini, Socrates mendapat tugas menjalankan misi-ilahi di Athena untuk membongkar kesombongan kebijaksanaan yang palsu. Penyelidikannya yang telah membuat malu banyak teman-temannya, pada saat itulah yang menurutnya merupakan akar penyebab dirinya dituntut atas tuduhan penghinaan agama (Apology 23c-24b) sehingga itu bukanlah suatu kesalahan seseorang tetapi merupakan pengorbanannya karena telah memilih menjalani kehidupan-yang-tidak-diuji (lihat 38a).

Cara Plato menampilkan kembali Socrates yang menjalankan misi-ilahi-nya di Athena memberikan penjelasan yang masuk-akal, mengapa warga Athena membawanya ke pengadilan dan menghukumnya, yang terjadi di tahun penuh pergolakan setelah akhir perang Peloponnesia, dan juga mengapa Socrates tampak tidak benar-benar bersalah atas tuduhan yang dihadapinya. Meski demikian, bahkan lebih penting lagi, dialog awal Plato memberikan argumen menarik dan sanggahan-sanggahan terhadap posisi pendapat filosofis yang ada, hal yang menarik minat dan tantangan para pembaca filsafat. Dialog Plato tetap disertakan diantara bacaan yang diperlukan di kelas pengantar filsafat dan kelas lebih lanjut, tidak hanya agar para siswa siap menerima, tetapi juga karena menimbulkan banyak masalah filosofi yang paling mendasar. Lebih lagi, tidak seperti kebanyakan karya-karya filsafat lainnya, Plato membingkai diskusi dengan menyajikannya secara dramatis, yang terutama membuat isi diskusi ini menjadi menarik. Misalnya, dalam karyanya Crito, kita menemukan Socrates membahas tugas warga-negara untuk mematuhi hukum-negara saat ia menunggu eksekusi dirinya yang diperintahkan secara hukum di dalam penjara. Sifat dramatis karya Plato telah mendapatkan perhatian bahkan dari para ahli sastra yang relatif tidak tertarik dengan filsafat seperti itu. Oleh karena itu, apapun nilai yang mereka berikan pada penelitian sejarah, dialog Plato akan terus dibaca dan diperdebatkan oleh mahasiswa dan sarjana dan Socrates yang ditemukan dalam karya Plato Periode-Awal atau filsafat Socrates akan terus didiskusikan di antara para filsuf barat yang terbesar.


c. Posisi Etika

Posisi filosofis hampir semua para ahli adalah sepakat bahwa pandangan moral atau etika berikut ini, dapat ditemukan secara langsung, didukung atau setidaknya disarankan/dikemukakan dalam dialog karya Plato pada Periode-Awal.

- Penolakan terhadap sikap balas-dendam atau membalas perbuatan menyakiti dengan cara menyakiti atau membalas perbuatan jahat dengan cara berbuat jahat (Crito 48b-c, 49c-d; Republic I.335a-e).

- Mengakui bahwa melakukan ketidakadilan merugikan bagi jiwa seseorang. Keadilan adalah hal yang paling berharga bagi seseorang dan oleh karenanya lebih baik menderita/menerima ketidakadilan daripada melakukannya (Crito 47D-48a; Gorgias 478c-e, 511c-512B; Republic I .353d-354a).

- Beberapa bentuk, apa yang disebut eudaimonism adalah kebaikan harus dipahami dalam kerangka untuk kebahagiaan manusia, kesejahteraan, atau kejayaan, yang juga dapat dipahami sebagai menjalani hidup-dengan-baik atau melakukan-hal-yang-baik (Crito 48b; Euthydemus 278e, 282a; Republic I. 354a).

- Pandangan bahwa hanya keutamaan (virtue) yang baik dalam dirinya sendiri. Hal lain yang baik adalah baik hanya sejauh berfungsi atau digunakan untuk kebajikan atau dengan kebajikan (Apology 30b; Euthydemus 281d-e).

- Pandangan bahwa ada sejenis kesatuan antara kebajikan. Dalam beberapa hal, semua kebajikan adalah sama (Protagoras 329b-333b, 361a-b).

- Pandangan bahwa warga negara yang telah setuju untuk hidup dalam sebuah negara harus selalu mematuhi hukum negara itu, atau membujuk negara untuk mengubah hukum-hukumnya, atau meninggalkan negara (Crito 51b-c, 52a-d).


d. Posisi Psikologi

Socrates juga muncul untuk berdebat atau langsung membuat beberapa pandangan psikologi berikut ini:

- Semua kesalahan dilakukan karena ketidaktahuan, semua orang hanya menginginkan sesuatu yang baik (Protagoras 352a-c; Gorgias 468B; Meno 77E-78b).

- Semua orang benar-benar percaya pada prinsip-prinsip moral tertentu, meskipun beberapa mungkin berpikir mereka tidak memiliki keyakinan seperti itu, dan mungkin menolaknya dengan menyampaikan argumen (Gorgias 472b, 475e-476a).


e. Posisi Religi

Dalam dialog ini, juga ditemukan Socrates yang ditampilkan kembali sebagai seorang yang memegang suatu keyakinan agama, seperti:

- Para dewa adalah yang benar-benar bijaksana dan baik (Apology 28a; Euthyphro 6a, 15a; Meno99B-100b).

- Sejak masa kecilnya (lihat Apology 31d) Socrates telah mengalami suatu-yang-ilahi (Apology 31c-d; 40a; Euthyphro 3b; lihat juga Phaedrus 242b), yang berupa suara (Apology 31d; lihat juga Phaedrus 242c), atau tanda (Apology 40 c, 41d, Euthydemus 272e; lihat juga Republic VI.496c; Phaedrus 242b) yang mencegah Socrates pada saat akan melakukan sesuatu yang salah (Apology 40a, 40c).

- Berbagai bentuk wahyu dapat memungkinkan manusia untuk mengenali/memahami kehendak Tuhan (Apology 21a-23b, 33c).

- Penyair dan seniman mampu menulis dan melakukan hal-hal indah. Yang mereka tulis dan lakukan, bukanlah dari pengetahuan atau keahlian mereka, tetapi berasal dari inspirasi-ilahi. Hal yang sama dapat dikatakan untuk utusan dan peramal, meskipun mereka tampak memiliki beberapa jenis keahlian. Mungkin hanya beberapa teknik yang digunakan untuk menempatkan mereka pada sikap penerimaan yang memadai terhadap ilahi (Apology 22b-c; Laches 198e-199a; Ion 533d-536a, 538d-e; Meno 99c).

- Tidak ada yang tahu apa yang terjadi setelah kematian, tetapi masuk-akal untuk berpikir bahwa kematian bukanlah suatu hal yang buruk. Dan mungkin ada kehidupan setelah kematian, di mana jiwa-jiwa baik dihargai, dan jiwa-jiwa orang jahat dihukum (Apology 40 c-41c; Crito 54b-c; Gorgias 523a-527a).


f. Posisi Metodologi dan Epistemologi

Selain itu, Socrates dalam dialog karya Plato Periode-Awal mungkin masuk-akal dianggap memiliki keyakinan metodologis atau epistemologis tertentu, termasuk diantaranya :

- Definisi pengetahuan dalam pemahaman etika setidaknya adalah kondisi yang diperlukan untuk melakukan penilaian handal terhadap nilai etis dari hal-hal yang spesifik (Euthyphro 4e-5d, 6e; Laches 189e-190B; Lysis 223b; Besar Hippias 304d-e; Meno 71a-b, 100b ; Republic I.354b-c).

- Sebuah daftar yang berisi sejumlah contoh nilai-nilai etis, bahkan jika semuanya merupakan kasus otentik dari nilai tersebut, tidak akan menyediakan analisis yang memadai untuk memahami apa nilai etis itu, atau tidak akan memberikan definisi yang memadai tentang istilah nilai yang mengacu pada nilai etis tersebut. Definisi yang tepat harus menyatakan apa yang umum untuk semua contoh nilai etis tersebut (Euthyphro 6d-e; Meno 72c-d).

- Mereka yang menguasai pengetahuan tingkat ahli atau memiliki kebijaksanaan mengenai sebuah subjek, tidak akan salah dalam melakukan penilaian terhadap subjek itu (Euthyphro 4e-5a; Euthydemus 279d-280b), karena mereka mengerjakan urusan dalam bidang keahliannya secara rasional dan teratur (Gorgias 503e- 504b), dan mereka juga dapat mengajar dan menjelaskan mengenai subjek tersebut (Gorgias 465a, 500e-501B, 514a-b; Laches 185B, 185e, 1889e-190B); Protagoras 319b-c).


Sumber:
www.iep.utm.edu/plato
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 27 Oktober 2016


Monday, October 24, 2016

Plato 1 : Kisah Hidupnya


Plato adalah salah satu filsuf paling dikenal dan paling banyak dibaca serta dipelajari di dunia.

Dia adalah murid Socrates dan guru dari Aristoteles. Ia menulis karya-karyanya pada pertengahan abad 4 SM di wilayah Yunani kuno.

Meski terutama dipengaruhi oleh Socrates, sejauh Socrates merupakan tokoh utama dalam banyak tulisan karya Plato, ia juga dipengaruhi oleh Heraclitus, Parmenides, dan Pythagoras.

Ada kontroversi dalam berbagai tingkat berkaitan dengan ontetisitas karya Plato, serta bagaimana urutan karya Plato ditulis, hal ini dikarenakan kunonya karya-karya itu dan disebabkan oleh cara-pelestariannya melalui waktu.

Meskipun demikian, karya-karya Plato yang paling-awal, umumnya dianggap sebagai sumber-sumber kuno yang paling dapat diandalkan untuk menjelaskan mengenai Socrates, dan karakter Socrates yang kita kenal melalui tulisan ini dianggap menjadikan dia sebagai salah satu filsuf-terbesar diantara filsuf kuno lainnya

Karya Plato pada periode-tengah hingga periode-akhir termasuk karyanya yang paling terkenal, Republic, umumnya dianggap sebagai filsafat hasil pemikiran Plato sendiri, di mana karakter-utama dalam karya itu berbicara selaku Plato sendiri.

Karya-karya ini mencampurkan etika, filsafat politik, psikologi moral, epistemologi, dan metafisika menjadi sebuah filosofi yang saling berhubungan dan sistematis.

Diatas semua itu, dari Plato kita mendapatkan teori-forma, yang berpandangan bahwa dunia yang kita ketahui melalui indera hanyalah-tiruan dari dunia-forma yang murni, kekal, tidak-berubah dan transenden.

Karya Plato juga mengandung asal-muasal keluhan yang sering terdengar bahwa seni bekerja dengan mengobarkan-nafsu dan hanya merupakan ilusi-belaka.

Kita juga diperkenalkan dengan ide cinta-platonis dalam hal ini Plato melihat cinta sebagai suatu yang dimotivasi oleh kerinduan pada ide-keindahan-tertinggi dalam dunia-forma yaitu hakikat-keindahan itu sendiri dan cinta sebagai kekuatan-pendorong untuk meraih prestasi-tertinggi yang mungkin dapat dicapai.

Meskipun demikian karena cinta cenderung mengalihkan perhatian untuk menerima sesuatu yang kurang dari potensi-tertinggi yang dimiliki, pandangan Plato salah dipercayai dan secara-umum dipahami menganjurkan ekspresi-cinta-secara-fisik.


a. Kelahiran

Sudah diterima secara luas bahwa Plato adalah filsuf Athena yang lahir pada tahun 428/427 SM dan meninggal pada usia delapan-puluh atau delapan-puluh-satu pada tahun 348/447 SM, meskipun demikian tanggal tersebut tidak sepenuhnya tepat.

Menurut Diogenes Laertius (DL), yang mengikuti kronologi Apollodorus, Plato lahir pada tahun ketika Pericles meninggal dunia, enam tahun lebih muda dari Isokrates, dan meninggal pada usia delapan puluh empat (DL 3,2-3,3). Jika tanggal kematian Plato versi Apollodorus benar, Plato akan lahir pada tahun 430 SM atau 431 SM.

Diogenes berpendapat bahwa Plato lahir pada tahun Pericles meninggal dunia akan menempatkan kelahirannya pada tahun 429 SM. Kemudian (pada 3,6), Diogenes mengatakan bahwa Plato berumur dua puluh delapan ketika Socrates dihukum-mati pada tahun 399 SM yang akan menempatkan tahun kelahirannya pada tahun 427 SM.

Disamping ketidakpastian tanggal kehidupan Plato yang disebutkan di atas, yang didasarkan pada perhitungan Eratosthenes, secara tradisional data tersebut telah diterima sebagai hal yang akurat.


b. Keluarga

Sedikit yang dapat diketahui tentang kehidupan awal Plato. Menurut Diogenes dengan kesaksian yang sangat meragukan diperoleh informasi bahwa orang tua Plato adalah Ariston dan Perictione (atau Potone- lihat D.L. 3.1).

Kedua belah pihak keluarga orang-tua Plato mengaku mempunyai nenek-moyang yang sama yaitu Poseidon (D.L. 3.1).

Diogenes melaporkan bahwa kelahiran Plato adalah hasil perkosaan Ariston kepada Perictione (D.L. 3.1), ini adalah contoh yang baik dari gosip yang belum terkonfirmasi di mana Diogenes begitu sering memanjakannya.

Dari orang tua yang sama, Plato memiliki dua kakak laki-laki yaitu Glaucon dan Adeimantus dan seorang adik perempuan bernama Potone (lihat D.L. 3.4).

Pada buku karya WKC Guthrie, A History of Greek Philosophy, vol. 4, 10 n. 4 berpendapat masuk-akal bahwa Glaucon dan Adeimantus adalah kakak dari Plato.

Setelah kematian Ariston, ibu Plato kemudian menikah dengan pamannya sendiri yaitu Pyrilampes (dalam karya Plato berjudul Charmides, disebutkan bahwa Pyrilampes adalah paman Charmides dan Charmides adalah saudara dari ibu Plato). Dari pernikahan dengan Pyrilampes ibu Plato mempunyai anak-lain bernama Antiphon, saudara-tiri Plato (lihat Plato, Parmenides 126A-b).

Plato berasal dari salah-satu keluarga terkaya dan paling-aktif secara politik di Athena. Meskipun demikian kegiatan politik mereka tidak dilihat sebagai suatu hal yang patut-dipuji oleh para sejarawan.

Salah satu paman Plato, Charmides adalah anggota dari tiran-tiga-puluh yang terkenal karena menggulingkan demokrasi Athena pada tahun 404 SM. Paman Charmides sendiri yaitu Critias adalah pemimpin tiran-tiga-puluh.

Keluarga Plato sendiri tidak secara eksklusif terkait dengan faksi-oligarki di Athena namun demikian ayah tirinya Pyrilampes dikatakan menjadi rekan dekat Pericles, ketika ia memimpin faksi-demokrasi.

Sepertinya nama lahir Plato yang sebenarnya mengikuti nama kakeknya yaitu Aristocles. Plato yang berarti bidang atau luas pada awalnya merupakan nama-panggilan yang mungkin pertama diberikan oleh guru gulatnya untuk menunjukan fisiknya, atau luas gayanya, atau bahkan luas dahinya (semua dijelaskan di DL 3.4).

Meskipun demikian nama Aristocles masih diberikan pada Plato sebagai nama pada salah satu dari dua-nisan di makamnya (lihat D.L. 3,43) dan sejarah mengenalnya sebagai Plato.


c. Perjalanan Awal Dan Pendirian Academy

Ketika Socrates meninggal, Plato meninggalkan Athena, menetap pertama kali di Megara. Tetapi kemudian berpindah ke beberapa tempat lainnya, termasuk mungkin Kirene, Italia, Sisilia (Syracuse), dan bahkan Mesir.

Strabo (17,29) mengaku ditunjukkan di mana Plato hidup ketika ia mengunjungi Heliopolis di Mesir. Plato sesekali menyebut Mesir dalam karya-karyanya tetapi tidak untuk mengungkapkan banyak konsekuensi apapun (lihat, sebagai contoh, Phaedrus 274c-275b; Philebus 19b ).

Bukti yang lebih baik dapat ditemukan untuk kunjungan Plato ke Italia dan Sisilia, terutama dalam Seventh-Letter.

Menurut penjelasan yang diberikan di sana, Plato pertama kali pergi ke Italia dan Sisilia ketika dia berumur "sekitar empat puluh tahun" (Seventh-Letter 324a). Ketika ia menetap di Sisilia, Plato menjadi instruktur untuk Dion, adik-ipar dari tiran Dionysius I.

Menurut cerita yang diragukan dari masa yang lebih kuno, selama kunjungan ini Dionysius menjadi kesal dengan Plato untuk beberapa hal dan mengatur agar sang-filsuf dijual sebagai budak (Diod 15.7; Plut Dion 5; DL 3.19-21).

Pada suatu kesempatan, Plato kembali ke Athena dan mendirikan sekolah, yang dikenal sebagai Academy. Dari sinilah kita mendapatkan kata Akademi. Academy diambil sebagai nama berdasar-lokasi dimana sekolah didirikan pada sebuah tempat-sakral yang dipenuhi pohon yang rimbun untuk menghormati pahlawan Academus atau Hecademus (lihat DL 3.7) berjarak satu setengah kilometer atau lebih di luar tembok Athena.

Situs ini masih dapat dikunjungi di Athena modern, namun pengunjung hanya akan menjumpai depresi kekosongan dari monumen atau fitur yang menarik.

Kecuali dua perjalanan ke Sisilia berikutnya, Academy tampaknya menjadi rumah tinggal bagi Plato selama menghabiskan sisa hidupnya.


d. Perjalanan Terakhir Ke Sisilia Dan Kematian

Dari dua petualangan terakhir Plato di Sisilia, yang pertama terjadi setelah Dionysius I meninggal dan putranya Dionysius II naik tahta. Pamannya/kakak ipar Dion membujuk tiran-muda itu untuk mengundang Plato, guna membantu dia menjadi seorang filsuf-penguasa seperti yang dijelaskan dalam karya Plato Republic.

Meskipun sang-filsuf yang sudah berumur enam-puluhan-tahun tidak sepenuhnya dibujuk (Seventh-Letter 328b-c), ia setuju untuk berangkat ke Sisilia. Meskipun demikian, perjalanan ini seperti sebuah perjalanan terakhir, tidak berjalan dengan baik sama-sekali.

Dalam beberapa bulan kemudian, Dionysius muda mengirim Dion ke pengasingan karena penghasutan (Seventh-Letter 329c, Third-Letter 316C-d) dan Plato efektif menjadi tahanan rumah sebagai Tamu-Pribadi sang diktator (Seventh-Letter 329c-330B).

Plato akhirnya berhasil mendapatkan izin dari tiran untuk kembali ke Athena (Seventh-Letter 338A). Ia dan Dion berkumpul kembali di Academy (Plut. Dion 17).

Dionysius setuju bahwa Setelah-Perang mungkin Perang-Lucanian yang terjadi pada tahun 365 SM (Seventh-Letter 338A) ia akan mengundang Plato dan Dion kembali ke Sisilia (Third-Letter 316e-317a, Seventh-Letter 338A-b).

Dion dan Plato selanjutnya tinggal di Athena selama empat-tahun pada 365-361 SM. Dionysius kemudian memanggil Plato, tetapi menghendaki Dion tetap tinggal di Athena untuk menunggu beberapa saat.

Dion menerima syarat itu dan mendorong Plato untuk segera berangkat ke Sisilia (Third-Letter 317a-b, Seventh-Letter 338b-c), tapi Plato menolak undangan (Third-Letter 317a,Seventh-Letter 338c). Hampir setahun berlalu, Dionysius mengirim sebuah kapal yang membawa salah-satu teman Plato pengikut filsuf Pythagoras bernama Archedemus, teman dari Archytas (Seventh-Letter bagian 339a-b dan berikutnya) di atas kapal memohon Plato untuk kembali ke Sisilia.

Sebagian karena antusiasme temannya Dion pada rencana tersebut, Plato akhirnya berangkat sekali lagi ke Sisilia. Meskipun demikian, sekali lagi keadaan di Sisilia sama-sekali tidak disukai Plato. Dionysius sekali lagi efektif memasukan Plato ke penjara di Sisilia, dan pada terakhir Plato mampu melarikan-diri lagi dengan bantuan dari temannya dari Tarentum (Seventh-Letter 350A-b).

Dion kemudian mengumpulkan tentara bayaran dan menyerbu tanah airnya sendiri. Tapi kesuksesannya itu hanya berumur-pendek, dia dibunuh dan kekacauan di Sisilia menjadi berkurang. Plato, mungkin sekarang benar-benar muak dengan politik, ia kembali ke Academy-nya tercinta, di mana dia menghabiskan tiga-belas-tahun masa terakhir hidupnya.

Menurut Diogenes, Plato dimakamkan di sekolah yang ia dirikan (D.L. 3.41) namun makamnya, belum ditemukan oleh investigasi arkeologi.


e. Pengaruh Pada Plato

Heraclitus
Aristoteles dan Diogenes setuju bahwa Plato memiliki beberapa hubungan awal yang baik dengan filsafat Heraclitus dari Ephesus atau dengan satu atau lebih dari pengikut sang-filsuf (lihat Aristoteles Metaph. 987a32, D.L. 3,4-3,5). Efek dari pengaruh ini mungkin dapat dilihat dalam konsepsi matang Plato tentang dunia-indra yang tak-henti-hentinya-berubah.

Parmenides dan Zeno
Tidak ada keraguan bahwa Plato juga sangat dipengaruhi oleh Parmenides dan Zeno, keduanya dari Elea, dalam teori-forma Plato, yang jelas dimaksudkan untuk memenuhi-syarat filsafat Parmenides tentang kesatuan-metafisik dan stabilitas dalam dunia-indra. Parmenides dan Zeno juga muncul sebagai karakter dalam dialog karya Plato berjudul Parmenides. Diogenes Laertius juga mencatat pengaruh penting lainnya:

" Dalam karya-karyanya, Plato mencampur argumen Heraclitus, Pythagoras, dan Socrates. Mengenai dunia-indra, ia meminjam ide dari Heraclitus; mengenai inteligensi, dari Pythagoras; dan tentang politik, dari Socrates. (D.L. 3.8) "

Pythagoras
Diogenes Laertius (3.6) mengklaim bahwa Plato mengunjungi beberapa pengikut filsafat Pythagoras di Italia-Selatan (salah satunya adalah Theodorus yang juga disebutkan sebagai teman Socrates di dalam karya Plato berjudul Theaetetus). Dalam Seventh-Letter (lihat 339d-e), kita belajar bahwa Plato adalah teman Archytas dari Tarentum, seorang negarawan dan pemikir pengikut filsafat Pythagoras yang terkenal, dan di dalam karyanya Phaedo, Plato menyebut Echecrates seorang pengikut Pythagoras lain, berada dalam kelompok di sekitar Socrates di hari terakhirnya di penjara. Pengaruh filsafat Pythagoras pada Plato tampaknya jelas dalam kekagumannya dengan matematika dan dalam beberapa cita-cita politiknya (lihat filsafat politik Plato), hal ini dinyatakan dalam berbagai cara di beberapa dialog.

Socrates
Meskipun demikian, jelas bahwa tidak ada pengaruh yang lebih besar dari Socrates pada Plato. Hal ini terbukti tidak-hanya di banyak doktrin dan argumen yang kita temukan dalam dialog Plato tetapi mungkin yang paling-jelas adalah pilihan Plato pada Socrates sebagai tokoh utama di sebagian besar karya-karyanya. Menurut Seventh-Letter (324e), Plato menjelaskan Socrates sebagai Manusia-Paling-Adil. Menurut Diogenes Laertius(3.5), Socrates dan Plato saling menghormati.


Sumber:
www.iep.utm.edu/plato
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 24 Oktober 2016


Tuesday, October 18, 2016

Buatmu


Kau sebut kawan ?
Tak perlu dipaksa
Bukan kenapa
Takut kau tertimpa siksa !

Siap terima bencimu
Jangan sebut kawan !
Tak murni, kau tekan
Buat apa !

Buang saja !
Tak bangga juga denganku
Cukup ambil yang kau perlu
Sudah terima bukan !

Kawan, penghargaan
Melulu sejak dulu
Apa arti buatmu ?
Tak ada !

Simpan saja baikmu
Siapa pula aku
Sungguh !
Tak butuh itu !


Kebon Jeruk, 18 Oktober 2016


Saturday, October 15, 2016

Politik Dongeng : Si Baik Dan Si Jahat


Pertarungan politik merebut kekuasaan di Ibu Kota Negara selalu menarik untuk diperhatikan dan diikuti. Hal ini dikarenakan Pilkada Jakarta memiliki posisi strategis untuk menentukan peta kekuatan politik di tingkat nasional. Hampir semua partai politik paham dan menyadari hal ini. Di Pilkada Jakarta, sebagai representasi mini peta politik negeri ini, partai-partai mengukur sekaligus mempersiapkan diri dan mencoba kekuatan melalui modeling pertarungan politik dengan tujuan akhir meraih kekuasaan tertinggi di negeri ini. Untuk itu hampir semua partai mengerahkan upaya maksimal guna memenangkan pertarungan mini itu. Bahkan para ketua dan petinggi partai pun langsung turun memimpin pasukannya berlaga di medan tempur. Frase pendek 'Pertarungan Para Dewa' sangat baik dan indah mendeskripsikan hal itu.

Isu SARA

Masa berperang memang belum dimulai, tetapi genderang sudah bertalu. Pertarungan sesungguhnya sudah terjadi sejak partai-partai menentukan calon definitif untuk kandidat yang akan menduduki kekuasaaan. Strategi pun sudah mulai dijalankan.

Medan pertarungan politik adalah medan terbuka yang sangat memungkinkan pemakaian segala cara untuk memperoleh kemenangan dan meraih kekuasaan. Oleh karena itu adalah hal wajar, bila dalam pertarungan politik terlihat adanya penggunaan strategi yang diyakini kotor baik oleh masyarakat umum maupun oleh para pelaku politik itu sendiri. Isu SARA adalah salah satu diantaranya.

Pemahaman lama berpendapat, isu SARA merupakan senjata efektif dan efisien untuk menjatuhkan lawan. Tetapi sedikit yang menyadari bahwa senjata itu akan bekerja normal pada iklim demokrasi dan keadaan sosial masyarakat tertentu. Pada kondisi yang lain, isu SARA justru dapat berbalik menjadi bumerang yang melemahkan penyerangnya dan sebaliknya melipatgandakan kekuatan lawan dengan tidak kalah efektif dan efisiennya. Isu SARA sangat bergantung pada bagaimana, kapan, dimana, dan secerdik apa memainkannya untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Seperti kota-kota besar pada umumnya, kecenderungan pemilih di Jakarta bergerak ke arah penggunaan rasio dan meninggalkan alasan-alasan SARA dalam menentukan pilihannya. Akses informasi yang begitu mudah serta peristiwa-peristiwa politik besar yang sangat gamblang tergelar di depan mata dengan dilengkapi berbagai analisa politik yang logis membuat pemilih di Jakarta sangat-sangat terlatih untuk melakukan penilaian politik secara rasional dalam menentukan pilihannya. Setidaknya dua pemilu besar sebelumnya menunjukan itu.

Peristiwa Surat Al-Maidah

Riuh rendahnya peristiwa Surat Al-Maidah sangat menarik dicermati  untuk membaca fenomena penggunaan isu SARA yang dimainkan untuk mencapai tujuan politik. Pihak mana yang diuntungkan atau dirugikan dalam hal ini bergantung pada pihak yang lebih lihai dan cerdik menggunakan senjata ini.

Sebelum peristiwa Surat Al-Maidah terjadi, muncul peristiwa yang cukup menarik perhatian publik. Seorang pembina partai islam -dengan nama besarnya dan dengan vulgarnya- menggunakan istilah-istilah keagamaan untuk menyerang Sang-Petahana bahkan menggunakan even peringatan sakral agamanya untuk melakukan propaganda menjatuhkan karakter Sang-Petahana. Sosok lama yang mempunyai 'template' khas berperang dengan menerapkan pola pikir lama dan strategi lama dengan asumsi-asumsi lama dicampur nafsu menggebu yang mengaburkan perhitungan politik yang cermat. Strategi yang sangat mudah dibaca karena Sang-Petahana justru menyadari betul sisi lemahnya dan sudah berpengalaman menghadapi lawan yang sejenis.

Persepsi publik pada saat itu menunjukan reaksi kurang simpatik dan memberikan sinyal yang kuat akan ketidaksukaan pada peristiwa itu. Hal ini sepertinya dipahami oleh Sang-Petahana dengan jernih dan jeli sebagai bukti empiris yang memastikan bahwa demokrasi benar-benar telah bekerja atas dasar rasionalitas dan sebagai 'penanda' bahwa pihak lawan mengusung senjata lama, bekas pertarungan sebelumnya tanpa modifikasi sama sekali. Beberapa saat kemudian isu ini mereda tetapi pertarungan masih terus berlanjut.

Peristiwa Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu -entah sengaja atau tidak- kemudian terjadi. Peristiwa ini memancing sekaligus memicu isu SARA bergaung dengan intensitas lebih memekakkan telinga. Pihak Non-Petahana sepertinya memahami peristiwa ini sebagai 'blunder' yang dilakukan Sang-Petahana. Seperti melihat celah pertahanan yang terbuka, dengan agresif pihak Non-Petahana menggunakan kesempatan ini untuk menyerang dengan tajam sekaligus meluapkan kegusarannya. Sementara Sang-Petahana dengan cerdik memilih tidak begitu menanggapi serangan itu, bersikap lebih bertahan dan hati-hati, bereaksi hanya untuk mengimbangi ala kadarnya. Sikap  yang memberikan keuntungan pada Sang-Petahana karena publik dapat dengan mudah dan jelas membedakan sekaligus mengidentifikasi pihak mana yang aktif memainkan isu SARA.

Peristiwa demonstrasi kemudian menyusul meneruskan gelombang serangan berdasar peristiwa Surat Al-Maidah di Kepulauan Seribu. Pihak Non-Petahana seperti merasa diatas angin dengan berhasil mengumpulkan ribuan pendemo pada aksi tersebut. Sementara Sang-Petahana masih belum menunjukan perlawanan yang memadai apalagi all-out, bahkan cenderung diam dan pasif. Akibat reaksi yang kontras dari Sang-Petahana atas peristiwa ini adalah mengokohkan persepsi publik yang semakin mantap mengidentifikasi pihak mana yang sesungguhnya intensif memanfaatkan isu SARA. Ini diperkuat dengan kredibilitas peserta dan organisasi yang terlibat demonstrasi yang lekat dengan politik aliran ditambah kehadiran sosok tua yang khas dengan usaha-usaha untuk melengserkan Sang-Petahana.

Dongeng Si Baik Dan Si Jahat

Sepanjang sejarah perkembangan manusia dongeng selalu menyertai kehidupan. Dalam berbagai peradaban, dongeng digunakan untuk menanamkan nilai-nilai moral selain sebagai penghibur hidup manusia yang naik dan turun. Moralitas direpresentasikan dengan tokoh Si Baik dan Si Jahat beserta sifat-sifat yang menempel padanya. Alur cerita biasanya dimulai dengan Si Jahat yang memperlakukan Si Baik dengan tidak adil dan menindas serta perlakuan buruk lainnya, Si Baik umumnya digambarkan dengan tokoh yang teraniaya, lemah dan tidak mampu melawan. Cerita kemudian berjalan dengan peristiwa-peristiwa menarik yang menunjukan bahwa alam dan penciptanya berpihak pada Si Baik. Dan pada ujung cerita, dongeng berakhir dengan kebahagiaan atau kemenangan Si Baik. Sebaliknya Si Jahat menerima akhir yang menyedihkan, sial atau mengenaskan.

Cerita yang disertai nilai-nilai moral sepert ini telah tertanam dalam masyarakat. Proses internalisasi telah lama berjalan seiring dengan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka dapatlah dipahami mengapa masyarakat begitu mudah merasa simpati dan berempati kepada individu yang teraniaya atau ikut memaki dan mengutuk pada individu yang menurutnya bertindak amoral.

Isu SARA disisi lain dapat menggiring pemilih untuk memahami pertarungan politik seperti memahami dongeng Si Baik dan Si Jahat. Melalui refleksi, pemilih akan meng-analogi-kan tokoh dongeng dengan masing-masing kandidat yang bertarung. Berdasar pada analisa terhadap peristiwa politik yang terjadi dan tingkah laku sang kandidat dan tim pemenangannya selama menjalani pertempuran, kesadaran pemilih melakukan identifikasi mana Si Baik dan mana Si Jahat sesuai dengan persepsi pada masing-masing kandidat. Selanjutnya pada saat pemilihan tiba, pemilih akan mengekspresikan pembelaannya pada kandidat yang dinilainya sebagai Si Baik dengan memilihnya.

Dengan melihat fakta pertarungan politik diatas, kedua belah pihak sesungguhnya memanfaatkan isu SARA untuk memperebutkan persepsi pemilih agar menilai kandidatnya sebagai tokoh Si Baik. Sang-Petahana memposisikan diri -secara pasif- sebagai orang biasa yang baik dan lemah sedang pihak Non-Petahana memposisikan diri -secara aktif- sebagai penguasa kebenaran yang kuat dan sangat berkuasa. Sayangnya isu SARA mempunyai konotasi makna negatif yang lebih rasional berkorelasi dengan perlakuan buruk Si Jahat kepada Si Baik dalam dongeng. Oleh karena itu semakin intens/aktif pemakaian isu SARA akan cenderung membuat kandidat mengalami kekalahan karena ditinggal pemilih. Sedikitnya perilaku negatif yang dilakukan oleh kandidat dan tim pemenangannya merupakan pertimbangan utama bagi pemilih dalam menentukan persepsi siapa yang dinilai Si Baik.


Sumber:
Pengalaman Hidup
Pemahaman Otodidak


Kelapa Gading, 16 Oktober 2016


Sunday, October 9, 2016

Konsekuensi Negatif Modernisme : Pemicu Postmodernisme


Yang dimaksud dengan Modernisme dibidang filsafat adalah gerakan pemikiran dan gambaran dunia tertentu yang diinspirasikan oleh Descartes yang kemudian dikokohkan oleh gerakan Pencerahan (Enlightenment/Aufklarung) dan mengabdikan dirinya hingga abad duapuluh satu ini melalui dominasi sains dan kapitalisme.

Gambaran dunia semacam ini, beserta tatanan sosial yang dihasilkan ternyata telah melahirkan berbagai konsekuensi buruk pada kehidupan manusia dan alam pada umumnya. Pada taraf praksis, beberapa konsekuensi negatif itu adalah sebagai berikut :

i. Eksploitasi Alam
Pandangan dualistik yang membagi seluruh kenyataan menjadi Subjek-Objek, Spiritual-Material, Manusia-Dunia dan sebagainya, telah mengakibatkan objektivasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena. Hal ini -kita tahu- telah mengakibatkan krisis ekologi.

ii. Manusia Sebagai Objek
Pandangan modern yang bersifat Objektivis dan Positivitis akhirnya cenderung menjadikan manusia seolah objek juga, dan masyarakat pun direkayasa bagai mesin. Akibat dari hal ini adalah masyarakat cenderung menjadi tidak manusiawi.

iii. Disorientasi Moral-Religius
Dalam modernisme ilmu-ilmu positif dan empiris mau tidak mau menjadi standar kebenaran tertinggi. Akibat dari hal ini, adalah nilai-nilai moral dan religius kehilangan wibawanya. Alhasil timbulah disorientasi moral-religius, yang pada akhirnya mengakibatkan pula meningkatnya kekerasan, keterasingan, depresi mental dan lain-lain.

iv. Materialisme
Bila kenyataan terdasar tidak ditemukan dalam religi, maka materilah yang mudah dianggap sebagai kenyataan terdasar. Materialisme ontologis ini didampingi pula dengan materialisme praktis yaitu hidup pun menjadi keinginan yang tak ada habisnya untuk memiliki dan mengontrol hal-hal material. Dan aturan utama adalah survival of the fittest atau dalam skala besar persaingan dalam pasar. Etika persaingan dalam mengontrol sumber-sumber material inilah yang merupakan pola perilaku dominan individu, bangsa dan perusahaan-perusahaan modern.

v. Militerisme
Karena norma-norma religius dan moral tak lagi berdaya bagi perilaku manusia, maka norma-norma umum objektif pun hilang juga. Akibatnya kekuasaan yang menekan dengan ancaman kekerasan adalah satu-satunya cara untuk mengatur manusia. Ungkapan paling gamblang dari hal ini adalah militerisme dengan persenjataan nuklirnya. Meskipun demikian religi pun bisa sama kerasnya manakala dihayati secara fundamentalis, oleh karena dalam fundamentalisme Tuhan biasanya juga dilihat sebagai kekuasaan yang menghancurkan pihak musuh. Jika religi dihayati dengan cara demikian maka justru menjadi alat legitimasi militerisme.

vi. Tribalisme
Bangkitnya kembali tribalisme, atau mentalitas yang mengunggulkan suku atau kelompok sendiri sesungguhnya adalah konsekuensi logis dari hukum survival of the fittest dan penggunaan kekuasaan yang keras. Sesungguhnya secara teoritis religi-religi telah selalu berusaha mengatasi tribalisme dan menggantikannya dengan universalisme. Namun religi kini tidak memiliki cukup kekuatan dan otoritas hingga pengaruhnya tak amat terasa. Lebih celaka lagi setelah perang ideologi selesai kini religi menjadi kategori identitas penting yang jusrru mendukung kelompok-kelompik yang saling bertengkar dengan kata lain justru mendukung tribalisme.

Demikian konsekuensi negatif itu akhirnya telah memicu berbagai gerakan postmodern yang hendak merevisi paradigma modern.


Sumber:
I. Bambang Sugiharto
Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat


Friday, September 30, 2016

Socrates 3 : Metode Berfilsafat


Socrates Yang Ironis

Dugaan bahwa Socrates seorang yang Ironis dapat berarti beberapa hal. Di satu sisi, hal itu dapat menunjukkan bahwa Socrates mengatakan sesuatu dengan maksud menyampaikan makna-yang-berlawanan atau sebaliknya.

Beberapa pembaca misalnya, termasuk sejumlah pembaca di masa lalu, memahami pengakuan --Ketidaktahuan-Socrates-- secara tepat dengan cara ini. Banyak yang menafsirkan pujian Socrates pada Euthyphro, di mana Socrates mengaku bisa belajar dari dia dan akan menjadi muridnya merupakan contoh Ironi ini (Euthyphro 5a-b ).

Di sisi lain, makna kata Eirōneia --asal kata Ironi-- dalam bahasa Yunani dipahami sebagai membawa arti yang tersembunyi, mengganti arti suatu kata --seperti memberi topeng-- dengan maksud untuk mengelabui.

Selain itu, terdapat sejumlah pertanyaan yang terkait dengan sikap Ironi-Socrates ini :
Apakah lawan bicaranya seharusnya menyadari Ironi itu, atau dia seharusnya mengabaikan ?
Apakah itu tugas-pembaca untuk melihat Ironi ini ?
Apakah tujuan Ironi-Retoris dimaksudkan untuk mempertahankan posisi Socrates sebagai pengarah-percakapan, atau pedagogis, yang dimaksudkan untuk mendorong lawan-bicaranya untuk belajar sesuatu ? atau Mungkinkah keduanya ?

Para ahli tidak setuju --dalam arti-- kita seharusnya menyebut Socrates sebagai seorang Ironis. Ketika Socrates meminta Callicles untuk memberi tahu apa yang dimaksud dengan lebih-kuat dan memberi penjelasan yang-mudah pada dirinya sehingga Socrates bisa menangkap maksudnya dengan baik, Callicles mengaku Socrates sedang bersikap Ironis kepadanya (Gorgias 489e ).

Thrasymachus menuduh Socrates menjadi Ironis karena ia berpura-pura tidak memiliki penjelasan tentang keadilan, sementara Socrates sesungguhnya sedang memikirkannya ( Republik 337a ).

Dan meskipun Simposium umumnya tidak dianggap sebagai dialog tentang pikiran Socrates, di dalamnya kita menemukan Alcibiades menuduh Socrates menjadi Ironis sejauh ia bertindak seolah dia tertarik padanya tetapi kemudian menolak usaha pendekatannya (Simposium 216e, 218d).

Adalah tidak-jelas Ironi apa yang dimaksud sesuai dengan contoh-contoh diatas.

Aristoteles mendefinisikan Ironi sebagai upaya --penyangkalan diri-- (Nicomachean Ethics 4.7, 1127b23-26).
Dia berpendapat bahwa --penyangkalan diri-- adalah sikap-kebalikan dari kesombongan. Orang-orang yang melakukan Ironi semacam ini bermaksud menghindari sikap yang akan merendahkan-dirinya dan sekaligus membuat karakter mereka menjadi lebih-menarik. Di atas semua itu, orang-orang seperti itu tidak mengakui hal-hal yang membawa reputasi. Pada wacana ini, Socrates adalah seorang yang rawan untuk meremehkan lawan bicaranya.

Ada beberapa pemikir yang berpendapat Ironi-Socrates tidak-hanya terbatas pada apa yang dikatakan Socrates. Filsuf abad ke-19 Denmark, Soren Kierkegaard berpandangan bahwa Socrates sendiri mempunyai Karakter-Ironis.

Pemikir abad ke-20 Leo Strauss mendefinisikan Ironi sebagai mengaburkan nilai-kemuliaan seseorang. Pada pengertian ini, Ironi-Socrates merupakan sikap-penolakannya untuk menampilkan keunggulan-diri dihadapan lawan-bicaranya yang lemah sehingga pesan yang disampaikan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Dengan demikian, Ironi-Socrates dimaksudkan untuk menyembunyikan pesan yang sesungguhnya dari Socrates.

Bagaimana Metode Socrates Berfilsafat?

Setenar tema-tema pikiran Socrates, Metode-Sokrates dalam berfilsafat adalah sama terkenalnya. Socrates melakukan kegiatan filosofis dengan cara bertanya-dan-menjawab. Kita biasa mengaitkan Socrates dengan Metode-Tanya-Jawab yang disebut Elenchus.

Pada saat yang sama, dalam karya Plato, Socrates menyebut dirinya seorang Bidan-Intelektual yang tidak-memiliki-ide-sendiri tetapi membantu melahirkan-gagasan-orang-lain dan selanjutnya melakukan Dialektika dengan cara mengajukan pertanyaan, melakukan aktivitas pengumpulan-dan-pembagian, atau melanjutkan hipotesis dari prinsip dasar pertama.

a. Metode Tanya-Jawab : Socrates Sang Penyangkal

Metode-Tanya-Jawab khas Socrates adalah pemeriksaan-silang terhadap posisi pendirian tertentu, proposisi, atau definisi, di mana Socrates menguji apa yang dikatakan lawan-bicaranya dan membantahnya.

Namun, ada perdebatan besar di antara para-ahli, tidak hanya mengenai apa yang disangkal tetapi juga apakah Metode-Tanya-Jawab bisa membuktikan kebenaran. Dengan kata lain, terdapat pertanyaan mengenai tema/topik yang dibahas serta tujuan dari Metode-Tanya-Jawab.

i. Tema

Socrates biasanya memulai Metode-Tanya-Jawab dengan pertanyaan : " Apa itu ? "
Sebagai contoh, ia bertanya pada Euthyphro : " Apa itu ketaqwaan ? "

Euthyphro kemudian muncul memberikan jawaban lima-definisi yang terpisah tentang ketaqwaan :
Ketaqwaan adalah melanjutkan perlawanan terhadap siapapun yang melakukan ketidakadilan (5d-6e),
Ketaqwaan adalah apa yang dicintai oleh para dewa (6e-7a),
Ketaqwaan adalah apa yang dicintai oleh semua dewa (9e),
Orang yang taat dan taqwa pada dewa adalah seorang yang hidupnya memperhatikan dan melayani para dewa (12e), dan
Ketaqwaan adalah pengetahuan tentang berkorban dan berdoa (13d-14a).

Menurut beberapa pengamat, apa yang sedang dicari Socrates di sini adalah definisi-ketaqwaan. Pengamat lain berpendapat bahwa Socrates mencari lebih dari sekedar definisi-ketaqwaan tetapi berusaha mencari penjelasan-komprehensif tentang sifat-ketaqwaan. Apapun pendapat para pengamat, sikap Socrates adalah membantah-jawaban yang diberikan kepadanya dalam menanggapi pertanyaan : " Apa itu ? ".

Wacana lain dari Metode-Tanya-Jawab adalah bahwa Socrates tidak hanya memperhatikan jawaban-balasan dari lawan-bicaranya tetapi juga memperhatikan lawan-bicaranya itu sendiri.

Menurut pandangan ini, perhatian Socrates terhadap kebenaran-atau-kesalahan proposisi adalah sama dengan perhatiannya untuk menyempurnakan cara-hidup lawan-bicaranya. Socrates memperhatikan kedua-duanya baik kemajuan-epistemologis-maupun-moral pada lawan-bicaranya dan dirinya-sendiri.

Tidak hanya proposisi atau jawaban yang dibantah, karena Socrates tidak meninggalkan/membiarkan pikiran lawan-bicaranya terisolasi oleh hal-hal yang menahan/membatasi pikiran mereka. Oleh karena itu, Metode-Tanya-Jawab menyangkal bukan hanya pandangan-saja tetapi juga pada-orang yang memegang pandangan tersebut.

Misalnya, Socrates mempermalukan Thrasymachus ketika ia menunjukkan bahwa Thrasymachus tidak dapat mempertahankan pendapatnya bahwa keadilan adalah suatu kebodohan dan ketidakadilan adalah suatu kebijaksanaan (Republik I 350D ).

Dengan Metode-Tanya-Jawab, Socrates menunjukkan Thrasymachus tidak-bisa konsisten menjaga semua pendapatnya tentang sifat-keadilan. Pandangan ini konsisten dengan pandangan yang kita temukan di akhir dialog tulisan Plato yang berjudul Sophist, di mana pengunjung dari Elea mengaku bahwa jiwa tidak-akan mendapatkan keuntungan apapun dari proses-belajar yang diberikan padanya sampai ada seorang yang membuatnya-malu dengan menyanggahnya (230b-d).

ii. Tujuan

Dalam hal tujuan, ada dua-interpretasi umum pada Metode-Tanya-Jawab tersebut. Keduanya telah dikembangkan oleh para-ahli untuk menanggapi apa yang disebut oleh Gregory Vlastos sebagai Masalah-Metode-Tanya-Jawab-Socrates.

Masalahnya adalah bagaimana Socrates dapat menyatakan bahwa posisi W adalah salah, ketika satu-satunya hal yang ia tetapkan adalah inkonsistensi W dengan premis-lain yang kebenarannya tidak diupayakan dalam  proses Tanya-Jawab tersebut.

Tanggapan-pertama adalah apa yang disebut posisi-konstruktif. Interpretasi posisi-konstruktif berpendapat bahwa Metode-Tanya-Jawab dapat menetapkan kebenaran-atau-kesalahan dari jawaban seorang individu. Interpretasi Metode-Tanya-Jawab ini dapat dan memang memiliki hasil-positif.

Vlastos sendiri berpendapat bahwa Socrates tidak-hanya menetapkan inkonsistensi keyakinan lawan-bicaranya dengan menunjukkan inkonsistensi-mereka, tetapi juga menunjukan keyakinan-moral Socrates sendiri yang selalu-konsisten dan mampu menahan-uji dari Metode-Tanya-Jawab.

Oleh karena itu Socrates bisa menarik keluar premis yang salah dalam pertukaran Tanya-Jawab dengan lawan-bicaranya, dan berusaha untuk menggantikan keyakinan lawan-bicaranya yang salah dengan keyakinan Socrates sendiri.

Tanggapan-kedua disebut posisi-non-konstruktif. Posisi ini mengklaim bahwa Socrates berpikir Metode-Tanya-Jawab tidak dapat menetapkan kebenaran-atau-kesalahan dari jawaban seorang individu.

Interpretasi non-konstruktif berpendapat bahwa Metode-Tanya-Jawab hanya dapat menunjukkan inkonsistensi W dengan posisi X, Y, dan Z. Ini tidak dapat menetapkan bahwa ~ W adalah yang benar, dalam hal ini mengganti satu-premis dengan yang-lain, yang untuk itu akan membutuhkan argumen terpisah. Metode-Tanya-Jawab menetapkan kesalahan pada hubungan dari W, X, Y, dan Z, tetapi bukan kebenaran-atau-kesalahan dari masing-masing premis secara individual.

Tujuan dari interpretasi Metode-Tanya-Jawab ini adalah untuk menunjukkan pada lawan-bicaranya bahwa dia mengalami kebingungan dan menurut sebagian-ahli, kebingungan itu digunakan sebagai batu-loncatan dalam perjalanan untuk menentukan keyakinan yang lebih-konsisten atau satu-bentuk keyakinan yang lebih-baik.

b. Socrates Sang Bidan Intelektual

Dalam karya Plato --Theaetetus-- Socrates mengidentifikasi dirinya sebagai Bidan (150b-151b).

Meski umumnya dialog ini tidak dianggap merupakan pikiran Socrates, dialog tersebut merupakan Metode-Tanya-Jawab sejauh menguji dan menyanggah definisi Theaetetus tentang pengetahuan. Dialog ini juga berakhir tanpa-jawaban yang meyakinkan atas pertanyaan yang ada, sebuah karakteristik yang ditemukan dalam sejumlah dialog Socrates.

Socrates mengatakan pada Theaetetus bahwa ibunya Phaenarete adalah seorang Bidan (149a) dan bahwa ia sendiri adalah Bidan-Intelektual.

Jika pada saat bekerja, sorang ahli-bedah (150b-151d) membawa rasa-sakit atau menguranginya untuk membantu seorang wanita melahirkan anaknya, sebaliknya Socrates tidak mengamati tubuh tapi lebih ke jiwa, dan membantu lawan-bicaranya untuk melahirkan-ide.

Socrates kemudian menerapkan Metode-Tanya-Jawab untuk menguji apakah Keturunan-Intelektual (ide baru yang dilahirkan) adalah hantu atau bibit-kebenaran.

Socrates menekankan bahwa dirinya dan Bidan sebenarnya adalah mandul, dan tidak bisa melahirkan anak-anak mereka sendiri (melahirkan ide/gagasan sendiri). Disamping mengakui kekosongan ide-ide dalam dirinya, Socrates mengklaim terampil melahirkankan-gagasan dari orang-lain dan mengujinya.

c. Dialektika: Socrates Yang Konstruktif

Metode-Dialektika dianggap lebih Platonis dari Socrates, meskipun demikian seseorang dapat memahami mengapa banyak orang mengaitkan Metode-Dialektika dengan Socrates.

Di satu sisi, makna kata Dialegesthai --asal kata Dialektika-- dalam bahasa Yunani secara umum hanya berarti " untuk-berkomunikasi " atau " untuk-membahas ". Oleh karena itu ketika Socrates membedakan antara diskusi dengan eksposisi-retoris dalam karya Plato --Gorgias--, kontradiksi tampaknya menunjukkan ketertarikan Socrates pada pertanyaan-dan-jawaban singkat dari pada percakapan yang panjang-lebar (447b-c, 448d-449c).

Ada dua-definisi lain dari Dialektika dalam kumpulan tulisan karya Plato.

Pertama, dalam Republik, Socrates membedakan antara pemikiran Dianoetic, yang menggunakan indra dan mengasumsikan hipotesis, dengan berpikir Dialektis, yang tidak-menggunakan indra dan melampaui hipotesis prinsip pertama (Republik VII 510c-511c, 531d-535a).

Kedua, dalam Phaedrus, Sofis, Statesman, dan Philebus, Dialektika didefinisikan sebagai metode pengumpulan-dan-pembagian. Seseorang mengumpulkan sesuatu-yang-acak ke dalam satu-kategori dan juga membagi masing-masing kategori sesuai dengan jenisnya (Phaedrus 265d-266c).

Beberapa sarjana melihat Metode-Tanya-Jawab dan Dialektika sebagai metode yang berbeda secara fundamental dengan tujuan yang berbeda, sementara yang lain melihat sebagai dua-hal yang konsisten dan dapat digabungkan.

Beberapa bahkan melihat keduanya sebagai dua bagian dari satu prosedur-berpendapat, dimana Metode-Tanya-Jawab yang menyanggah dan Dialektika yang melakukan konstruksi.


Sumber:
www.iep.utm.edu/socrates
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 30 September 2016