Metafisika dan Epistemologi
Unsur paling penting dalam filosofi
metafisika dan epistemologi Kant adalah doktrin
idealisme-transendental, yang dibahas secara penuh dalam karyanya
Critique of Pure Reason (1781-1787).
Idealisme-transendental adalah tesis bahwa
dunia-empiris yang kita alami (
dunia fenomena/penampakan) harus dibedakan dengan
dunia-benda-dalam-dirinya-sendiri (dunia-nomena).
Aspek yang paling signifikan dari perbedaan ini adalah bahwa sementara
dunia-empiris ada di dalam ruang-dan-waktu,
dunia-benda-dalam-dirinya-sendiri tidak spasial maupun temporal.
Idealisme-transendental memiliki konsekuensi yang luas. Di sisi positif, teori
idealisme-tansendental Kant mengikuti
realisme-empiris yang memandang manusia memiliki akses pengetahuan secara langsung terhadap
alam-fisik, dan bahkan dapat memiliki
pengetahuan-apriori mengenai sifat/fitur dasar benda-benda yang dapat dialami. Di sisi negatif,
Kant berpendapat bahwa kita tidak dapat memiliki pengetahuan tentang
benda-dalam-dirinya-sendiri.
Lebih jauh lagi, karena
metafisika-tradisional membahas tentang
benda-dalam-dirinya-sendiri, jawaban atas pertanyaan
metafisika-tradisional misalnya, mengenai
Tuhan atau
kehendak-bebas, tidak pernah bisa dijawab oleh pikiran manusia.
Bagian ini membahas perkembangan
metafisika dan epistemologi Kant dan kemudian merangkum argumen yang paling penting dan kesimpulan dari teori
Kant.
a. Pemikiran Periode Pra-Kritis
Critique of Pure Reason, karya yang mengubah arah filsafat barat, ditulis oleh seorang pria yang sudah berada jauh dari puncak karirnya. Berbeda dengan periode berikutnya
masa-kritis Kant, output filosofis periode-awal
Kant sepenuhnya terperangkap dalam
tradisi-rasionalis Jerman, yang pada saat itu didominasi oleh tulisan-tulisan
Gottfried Leibniz (1646-1716) dan
Christian Wolff (1679-1754). Namun demikian, banyak dari perhatian
Kant selama periode
era-kritis menyiapkan aspek penting dari pemikiran matang
Kant.
Karya filosofis murni
Kant pertama adalah
New Elucidation of the First Principles of Metaphysical Cognition (1755).
Bagian pertama dari esai panjang ini, menyajikan kritik dan revisi terhadap pemahaman
Wolffian terhadap prinsip-prinsip dasar metafisika, terutama
prinsip-identitas (apa-pun yang ada adalah ada, dan apa-pun yang tidak-ada, adalah tidak-ada),
prinsip-kontradiksi (tidak-ada sesuatu yang sekaligus ada dan tidak-ada), dan
prinsip-alasan-yang-memadai (tidak-ada yang benar tanpa alasan mengapa itu benar).
Pada bagian akhir,
Kant membela dua prinsip asli metafisika. Menurut
prinsip-suksesi semua perubahan pada benda mensyaratkan interaksi-timbal-balik antara substansi yang berbeda. Prinsip ini adalah analog metafisik dari prinsip
Newton aksi-dan-reaksi, dan hal itu menyiapkan argumen
Kant dalam
Third Analogy of Experience pada karya
Critique of Pure Reason (
lihat 2f di bawah).
Menurut
prinsip-koeksistensi beberapa substansi hanya dapat dikatakan berada bersama dalam satu dunia yang sama jika kesatuan dunia itu didasarkan pada intelek/akal
Tuhan. Meskipun
Kant kemudian berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat memiliki kognisi-metafisik semacam ini misal hubungan antara
Tuhan dan dunia (setidaknya karena kita tidak-bisa tahu bahwa
Tuhan itu ada),
Kant tetap terus sibuk untuk menjawab pertanyaan bagaimana beberapa substansi yang berbeda dapat menyusun satu-dunia yang manunggal.
Dalam
Physical Monadology (1756),
Kant mencoba untuk memberikan penjelasan metafisik mengenai unsur dasar penyusun substansi-materi yang disebut
monad.
Leibniz dan
Wolff telah menyatakan bahwa
monad adalah suatu yang sederhana, substansi-atom yang membentuk materi.
Kant mengikuti
Wolff menolak pendapat
Leibniz bahwa
monad adalah substansi-pikiran (
mindlike) dan bahwa mereka tidak berinteraksi satu sama lain.
Aspek yang baru dalam penjelasan
Kant terletak dalam pendapatnya bahwa setiap
monad memiliki gaya tarik-menarik dan tolak-menolak, dan bahwa
monad mengisi volume-ruang yang terbatas karena adanya interaksi antara
monad ketika
monad saling menekan satu sama lain dengan gaya tolak-menolak mereka yang saling berlawanan.
Tiga puluh tahun kemudian, dalam karyanya
Metaphysical Foundations of Natural Science (1786),
Kant akan mengembangkan teori-materi yang harus dipahami dalam interaksi gaya tarik-menarik dan tolak-menolak.
Perbedaan utama antara pandangan periode
masa-kritis dan
pra-kritis adalah pada periode
masa-kritis,
Kant sama sekali tidak lagi tertarik membahas
monad, atau substansi-paling-sederhana (
idealisme-transendental mengeluarkan syarat bahwa substansi-sederhana adalah penyusun-materi,
lihat 2gii bawah ).
Publikasi terakhir karya
Kant pada periode
pra-kritis adalah
On the Form and Principles of the Sensible and the Intelligible World, juga disebut sebagai
Inaugural Dissertation (1770), karena karya itu menandai penunjukkan
Kant sebagai
profesor logika dan metafisika di
Universitas Königsberg.
Meskipun
Kant belum memiliki wawasan akhir yang krusial tetapi hal itu mengarah pada pengembangan teori
idealisme-transendental, banyak elemen penting dari metafisika-matang
Kant mulai terbentuk di sini.
Dua aspek utama dalam karya
Inaugural Dissertation yang perlu diperhatikan adalah :
Pertama, terlepas dari pendahulunya,
Kant membedakan dua-fakultas-fundamental-pikiran yaitu :
Fakultas-sensibility, yang merepresentasikan dunia melalui
intuisi-intuisi tunggal dan
Fakultas-understanding, yang merepresentasikan dunia melalui
konsep-konsep umum.
Dalam
Inaugural Dissertation,
Kant berpendapat bahwa
Fakultas-sensibility merupakan representasi dunia-indrawi dari
fenomena sementara
fakultas- understanding merupakan representasi dunia yang dimengerti dari
nomena.
Periode
masa-kritis Kant akan menyangkal bahwa kita dapat memiliki pengetahuan yang pasti dari
nomena, dan bahwa pengetahuan tentang
fenomena membutuhkan kerjasama antara
fakultas-sensibility dan
fakultas-understanding.
Kedua, dalam menggambarkan
bentuk dunia indrawi,
Kant berpendapat bahwa ruang-dan-waktu adalah
bukan sesuatu yang objektif-dan-nyata tetapi
subjektif-dan-ideal (2: 403). Pendapat bahwa ruang-dan-waktu hanya berkaitan dengan penampakan-benda-benda saja, dan tidak dengan benda-dalam-dirinya-sendiri, menjadi salah satu tesis sentral
idealisme-transendental yang matang dari
Kant.
b. Dogma Yang Menidurkan, Sintesa Pengetahuan Apriori, dan Loncatan Copernicus
Meskipun
Kant pada periode awal menunjukkan kehendak sungguh-sungguh untuk tidak-sepakat dengan banyak aspek penting dari pandangan ortodoksi
Wolffian tentang waktu,
Kant menerima begitu saja asumsi dasar kaum-rasionalis bahwa kognisi-metafisik adalah mungkin.
Dalam pernyataan retrospektif
Prolegomena to Any Future Metaphysics (1783),
Kant mengatakan bahwa sikap percayanya pada asumsi-rasionalis ini diguncang oleh pendapat
David Hume (1711-1776), yang bersikap
skeptis terhadap kemungkinan pengetahuan tentang hubungan-yang-pasti antara sebab-dan-akibat, telah menyadarkan
Kant dari
dogma-yang-menidurkan.
Hume berpendapat kita tidak-akan-pernah memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan-sebab-dan-akibat karena pengetahuan tersebut tidak dapat diberikan melalui indera, atau diturunkan secara
apriori sebagai kebenaran-konseptual.
Kant menyadari bahwa masalah
Hume adalah sesuatu yang serius karena sikap
skeptis terhadap pengetahuan-yang-pasti tentang hubungan antara sebab-dan-akibat sudah digeneralisasikan kepada semua pengetahuan-metafisik yang berkaitan dengan kepastian, bukan hanya hukum sebab-akibat secara khusus. Sebagai contoh, adanya pertanyaan mengapa kebenaran matematika
pasti benar di dunia fisik, atau apakah kita bisa mengetahui bahwa
Tuhan pasti ada.
Solusi
Kant untuk
skeptisisme-Hume, yang akan membentuk dasar dari filsafat kritis, adalah dua sisi mata uang. Bagian pertama dari solusi
Kant adalah setuju dengan
Hume bahwa pengetahuan-metafisik (seperti pengetahuan tentang hubungan sebab-akibat) tidak dapat diperoleh melalui indera, juga tidak dapat diketahui secara
apriori melalui analisis-konseptual.
Meskipun demikian,
Kant berpendapat, bahwa ada semacam pengetahuan ketiga yang bersifat
apriori, namun tidak-hanya diketahui dengan analisis-konseptual. Dia menyebut hal ini sebagai
sintesa-pengetahuan-apriori.
Di mana penilaian-analitik dibenarkan oleh hubungan-semantik antara konsep-konsep yang disebutkan (misalnya, semua bujangan tidak menikah), penilaian-sintetik dibenarkan oleh kesesuaiannya dengan objek yang dideskripsikan mereka (misalnya, bola ini di sini adalah merah).
Kesulitan yang ditimbulkan oleh gagasan
sintesa-pengetahuan-apriori adalah adanya keharusan objek untuk diprensentasikan dalam pikiran, tetapi tidak diberikan melalui pengalaman indrawi.
Bagian kedua dari solusi
Kant menjelaskan bagaimana
sintesa-pengetahuan-apriori adalah mungkin. Dia menjelaskan wawasan-kunci masalah ini sebagai
loncatan-Copernican pada pemikirannya tentang hubungan epistemik antara pikiran-dan-dunia.
Copernicus telah menyadari bahwa hanyalah penampakan semu (seolah-olah) matahari dan bintang-bintang berputar di sekitar kita, dan bahwa kita bisa memiliki pengetahuan tentang bagaimana sistem-tata-surya sesungguhnya bergerak jika kita menerima penjelasan-fakta bahwa langit terlihat berjalan karena kita sebagai penerima objek-pengetahuan adalah bergerak.
Analogi,
Kant menyadari bahwa kita harus menolak keyakinan bahwa benda-benda yang menampakan-diri adalah sama dengan hal-hal dalam-benda-itu-sendiri. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa objek-pengetahuan hanyalah mengenai penampakan-dari-benda-benda, dan bukan pengetahuan tentang hal-hal dalam-benda-itu-sendiri.
Membawa pendekatan baru ini ke wilayah metafisika dan epistemologi,
Kant berpendapat bahwa kita harus menyelidiki struktur-paling-dasar dari pengalaman (yaitu, struktur bagaimana cara benda-benda menampakan diri kepada kita), karena struktur-dasar pengalaman akan tepat bersinggungan dengan struktur-dasar benda-benda yang dialami.
Dengan kata lain, hanya mungkin memiliki pengalaman sebuah objek jika objek tersebut sesuai dengan kondisi-kondisi-pengalaman, maka mengetahui kondisi-kondisi-pengalaman akan memberikan kita pengetahuan mengenai setiap objek-pengalaman yang mungkin. Inilah yang pada kenyataannya disebut
sintesa-pengetahuan-apriori.
Kant mengatasi
skeptisisme-Hume dengan menunjukkan bahwa kita dapat memiliki
sintesa-pengetahuan-apriori sebuah benda secara umum jika kita membawanya sebagai objek penyelidikan dalam bentuk objek-pengalaman yang mungkin.
Critique of Pure Reason adalah upaya untuk bekerja melalui semua detail penting dari strategi filosofis dasar ini.
c. Fakultas Kognitif dan Representasinya
Teori
Kant tentang pikiran disusun melalui penjelasannya di sekitar kemampuan-pikiran untuk mengetahui, inilah yang disebut
fakultas-kognitif.
Salah satu inti pendapat
Kant adalah bahwa kapasitas-kognitif-pikiran tergantung pada
dua-fakultas-dasar yang secara fundamental berbeda.
Pertama adalah
fakultas-sensibility, merupakan fakultas-pasif karena tugasnya adalah menerima-representasi dari objek-dunia-luar melalui indera. Melalui
fakultas-sensibility, objek-dunia-luar 'diberikan' kepada pikiran.
Kedua, ada
fakultas-understanding yang merupakan fakultas-aktif dengan tugasnya 'berpikir' yaitu untuk menerapkan konsep-konsep pada objek-pikiran yang telah 'diberikan' melalui
fakultas-sensibility.
Jenis paling dasar dari representasi pada
fakultas-sensibility adalah apa yang disebut
Kant sebagai
intuisi.
Sebuah
intuisi adalah representasi yang mengacu langsung ke objek-individual-tunggal. Ada dua jenis
intuisi.
Intuisi-murni adalah representasi
apriori ruang-dan-waktu itu sendiri (
lihat 2D1 bawah).
Intuisi-empiris adalah suatu representasi
posteriori yang merujuk ke objek-spesifik yang dialami dalam dunia-fisik.
Selain memiliki
bentuk spasio-temporal, intuisi-empiris juga melibatkan
sensasi, yang disebut
Kant sebagai
matter (materi) dari
intuisi dan pengalaman pada umumnya. (tanpa
sensasi, pikiran tidak pernah bisa memiliki pemikiran tentang hal-hal yang nyata, tetapi hanya hal-hal yang mungkin saja.)
Kita memiliki baik
intuisi-empiris dari objek di dunia-fisik (
intuisi-luar) juga objek di dalam pikiran kita sendiri (
intuisi-dalam).
Jenis representasi paling dasar dari
fakultas-understanding adalah
konsep.
Tidak seperti
intuisi,
konsep adalah representasi yang umumnya mengacu pada banyak-objek. (Misalnya, konsep 'kucing' dengan sendirinya mengacu pada semua-kucing, tetapi tidak untuk satu-ekor-kucing tertentu).
Konsep hanya merujuk ke objek secara tidak-langsung karena mereka bergantung pada
intuisi untuk mereferensi ke objek tertentu. Seperti
intuisi, ada dua tipe dasar
konsep.
Konsep-murni adalah representasi
apriori yang membangun karakter struktur-logika yang paling-dasar dari pikiran.
Kant menyebut konsep-konsep ini sebagai
kategori.
Konsep-empiris adalah representasi
posteriori, dan mereka terbentuk atas dasar pengalaman indrawi dengan dunia-nyata.
Konsep-konsep dikombinasikan/digabungkan oleh
fakultas-understanding menjadi
penilaian yang merupakan
unit-terkecil dari
pengetahuan.
Saya hanya dapat memiliki kognisi penuh suatu obyek di dunia nyata setelah saya :
Pertama, memiliki
intuisi-empiris dari objek pengetahuan tersebut.
Kedua, objek dikonseptualisasikan melalui beberapa cara.
Dan
ketiga, membentuk konsep dari objek yang ber-
intuisi menjadi
penilaian.
Ini berarti bahwa keduanya
fakultas-sensibility dan fakultas-understanding harus bekerja sama agar pengetahuan menjadi mungkin.
Seperti
Kant mengungkapkan hal itu :
"
Pikiran tanpa isi adalah kosong, intuisi tanpa konsep adalah buta " (A51 / B75).
Selain dua-fakultas di atas, ada dua-fakultas-kognitif penting lainnya yang harus disebutkan.
Yang pertama adalah
fakultas-imajinasi-transendental, yang berfungsi memediasi/menghubungkan antara
fakultas-sensibility dan
fakultas-understanding.
Kant menyebut fakultas ini
buta karena kita tidak memiliki akses-introspektif untuk mengetahui operasinya. Tetapi
Kant mengatakan bahwa setidaknya kita bisa tahu bahwa ia bertanggung jawab untuk membentuk
intuisi sedemikian rupa sehingga mungkin bagi
fakultas-understanding untuk menerapkan konsep-konsep pada
intuisi.
Yang lain adalah
fakultas-reason, yang beroperasi dengan cara yang mirip dengan
fakultas-understanding, tetapi beroperasi secara independen dari indera. Sementara
fakultas-understanding menggabungkan data dari indera menjadi
penilaian,
fakultas-reason menggabungkan
penilaian-penilaian fakultas-understanding secara bersama-sama menjadi sesuatu yang koheren, terpadu, manunggal, dan seluruhnya sistematis.
Fakultas-reason tidak puas hanya dengan komponen data-data pengetahuan yang terputus-putus.
Fakultas-reason menghendaki semua pengetahuan membentuk suatu sistem-pengetahuan.
Fakultas-reason ini juga merupakan fakultas yang bertanggung jawab untuk
ilusi-metafisika-transenden (
lihat 2g bawah).
d. Idealisme Transendental
Idealisme-transendental adalah teori mengenai hubungan antara pikiran dan objeknya. Tiga tesis dasar yang menyusun teori ini :
Pertama, ada perbedaan antara penampakan-benda (hal-hal yang sesuai dengan penampakan suatu benda oleh indra) dan benda-dalam-dirinya-sendiri.
Kedua,
ruang-dan-waktu adalah
apriori, suatu kondisi-subjektif terhadap kemungkinan adanya pengalaman, dan karenanya hanya berhubungan dengan penampakan-benda, tidak dengan benda-dalam-dirinya-sendiri.
Ketiga, kita dapat memiliki pengetahuan (kognisi) hanya pada benda-benda yang bisa kita alami, oleh karena itu pengetahuan hanya mengenai penampakan-dari-benda-benda, bukan pengetahuan tentang benda-dalam-dirinya-sendiri.
Jalan cepat memahami istilah
idealisme-transendental adalah dengan memahami secara berurutan dari masing-masing istilah tersebut.
Kant biasanya menggunakan istilah
transendental ketika ia menekankan bahwa sesuatu merupakan kondisi-kondisi terhadap kemungkinan adanya pengalaman. Jadi misalnya, bab berjudul
Trancendental Analytic Of Conceps membahas
konsep-konsep yang tanpanya kognisi dari suatu objek tidak mungkin didapat.
Kant menggunakan istilah
idealisme untuk menunjukkan bahwa objek-objek-pengalaman adalah bergantung pada pikiran (meskipun arti yang tepat untuk
bergantung pada pikiran adalah kontroversial
lihat 2D2 bawah). Oleh karena itu,
idealisme-transendental adalah teori yang menyatakan suatu kondisi-kondisi terhadap kemungkinan adanya pengalaman di mana objek-pengalaman bergantung pada pikiran.
i. Idealitas Ruang dan Waktu
Kant berpendapat bahwa
ruang-dan-waktu adalah
apriori, yaitu kondisi-kondisi-subjektif terhadap kemungkinan adanya pengalaman, oleh karena itu adalah
transendental-ideal.
Kant mendasarkan perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri pada realisasi, bahwa sebagai sebuah kondisi-kondisi-subjektif terhadap adanya pengalaman,
ruang-dan-waktu hanya bisa mencirikan hal-hal sesuai dengan penampakan-benda, tidak seperti benda-dalam-dirinya-sendiri.
Selanjutnya, pendapat bahwa kita hanya dapat mengetahui penampakan-dari-benda (tidak benda-dalam-dirinya-sendiri) merupakan konsekuensi dari pendapat bahwa kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang sesuai dengan kondisi-kondisi adanya pengalaman, dan bahwa hanya penampakan
spasio-temporal yang sesuai dengan kondisi-kondisi ini.
Untuk menyampaikan pendapat radikal yang penting dan sistematis ini, apa argumen
Kant untuk itu ? Berikut adalah beberapa argumen
Kant yang paling penting untuk tesisnya.
Satu argumen berkaitan dengan hubungan antara
sensasi-sensasi dan
ruang.
Kant berpendapat bahwa
sensasi pada dirinya sendiri tidak
spasial, tetapi
sensasi (atau bisa dibilang suatu objek yang
sensasi mengacu padanya) direpresentasikan dalam
ruang, '
di luar dan di dekat satu sama lain' (A23 / B34). Oleh karena itu, kemampuan untuk merasakan
objek di dalam
ruang mengandaikan
apriori representasi
ruang, yang kemudian dapat berarti
ruang hanyalah
ideal, oleh karena itu bukan sifat/properti benda dalam dirinya sendiri.
Argumen lain yang disampaikan
Kant berulang kali selama periode kritis adalah
argumen-geometri. Argumen itu terdiri dari dua premis.
Pertama, bahwa kebenaran-geometri adalah pasti-benar, dengan demikian merupakan kebenaran
apriori.
Kedua, bahwa kebenaran-geometri adalah sintesa (karena kebenaran ini tidak dapat diturunkan melalui analisis makna dari konsep-konsep geometri). Jika geometri, yang merupakan studi tentang struktur
ruang, adalah
sintesa apriori, maka objek itu yaitu
ruang hanyalah representasi
apriori dan bukan representasi yang berkaitan dengan benda-dalam-dirinya-sendiri. (
Teori Kant kognisi matematika dibahas lebih lanjut dalam
3b bawah)
Banyak pengamat berpendapat argumen ini kurang memuaskan karena bergantung pada asumsi yang masih dipertanyakan bahwa, jika representasi dari
ruang-dan-waktu apriori maka di sana tidak ada representasi sifat benda-dalam-dirinya-sendiri.
" Mengapa tidak bisa keduanya ? "
Argumen kuat muncul dalam diskusi
Kant dalam karyanya
The First and Second Antinomies of Pure Reason (
dibahas di bawah, 2G2).
Kant berpendapat bahwa jika
ruang-dan-waktu adalah hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri atau bahkan sifat dari hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri, maka kita bisa membuktikan bahwa
ruang-dan-waktu adalah sangat besar
tak-terbatas sekaligus terbatas, dan bahwa materi dalam
ruang bisa sekaligus tidak-bisa dibagi sampai tak-berhingga. Dengan kata lain, asumsi bahwa
ruang-dan-waktu bukanlah
transendental-ideal tetapi
transendetal-nyata mengarah pada kontradiksi, dan dengan demikian
ruang-dan-waktu harus
transendental-ideal.
ii. Penampakan Benda dan Benda-Dalam-Dirinya-Sendiri
Bagaimana
Kant membedakan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri seharusnya dipahami sebagai salah satu topik yang paling kontroversial dalam literatur. Ini adalah pertanyaan central yang penting, karena bagaimana seseorang memahami perbedaan ini menentukan bagaimana seseorang akan memahami seluruh sifat/natur
idealisme Kantian. Berikut kesimpulan ringkas dari pilihan interpretasi-utama , tetapi tidak mengambil sikap menentukan mana yang benar.
Menurut interpretasi '
Dua-Dunia', perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri harus dipahami secara
metafisik dan
ontologis. Penampakan-benda (dan karenanya seluruh dunia fisik yang kita alami) terdiri dari satu-set-entitas, dan benda-dalam-dirinya-sendiri satu-set
ontologis yang berbeda entitas. Meskipun hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri bagaimanapun dapat menyebabkan kita untuk memiliki pengalaman penampakan-benda-benda tetapi penampakan-benda yang kita alami bukanlah benda-dalam-dirinya-sendiri.
Menurut interpretasi '
Satu-Dunia' atau '
Dua-Aspek', perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri harus dipahami secara
epistemologis. Penampakan-benda secara
ontologis adalah hal yang sama dengan benda-dalam-dirinya-sendiri, dan frase '
dalam-dirinya-sendiri' hanya berarti '
tidak dianggap dalam hal hubungan epistemik dengan manusia sebagai yang menerima pengetahuan'.
Keberatan umum terhadap interpretasi '
Dua-Dunia" adalah dapat membuat teori
Kant terlalu mirip dengan teori
Berkeley idealisme-immaterialis (asosiasi yang dengan keras
Kant mencoba untuk menjauhkan diri), dan mereka tampaknya sering mengabaikan karakterisasi
Kant pada perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri dari segi sudut pandang
epistemik yang berbeda.
Dan keberatan umum terhadap interpretasi '
Satu-Dunia' adalah meremehkan beberapa aspek yang dinyatakan revolusioner dalam teori
Kant, dan tampak sering mengabaikan karakterisasi
Kant perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri dari sudut pandang metafisik. Ada upaya interpretasi yang di antara dua pilihan ini. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa
Kant hanya mengakui interpretasi '
Satu-Dunia', tapi perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri adalah tetap
metafisik, bukan hanya
epistemologis.
e. Deduksi Kategori
Setelah menetapkan
idealitas ruang-dan-waktu serta perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri,
Kant melanjutkan dengan menunjukkan bagaimana mungkin untuk memiliki
pengetahuan-apriori dari fitur/sifat penampakan-benda. Pengetahuan tentang penampakan-benda tidak hanya membutuhkan pengetahuan bentuk-benda yang bisa dialami indra (
ruang-dan-waktu), tetapi juga mengharuskan kita mampu menerapkan
konsep-konsep tertentu (misalnya,
konsep sebab-akibat) terhadap penampakan-benda.
Kant melakukan identifikasi
konsep-konsep paling dasar yang dapat kita gunakan untuk berpikir tentang suatu objek sebagai
konsep-murni-pemahaman atau
kategori.
Total ada dua belas
kategori, dan dikelompokan ke dalam empat-kelompok yang berisi tiga-anggota:
1. Quantity (Kuantitas)
Unity (kesamaan)
Plurality (keberagaman-jenis)
Totality (kesatuan-keseluruhan)
2. Quality (Kualitas)
Reality (nyata/ada)
Negation (tidak-nyata/ada)
Limitation (nyata/ada dalam batasan ruang-dan-waktu)
3. Relation (Relasi)
Substance (ada-nya tidak bergantung pada ada-yang-lain)
Causality (ada-nya bergantung pada ada-yang-lain/sebab-akibat)
Community (ada-nya bersama dengan ada-yang-lain)
4. Modality (Cara)
Possibility (cara-ada-nya kontingen/mungkin/tidak-pasti dalam semua-kondisi)
Actuality (menjadi ada dalam suatu kondisi)
Necessity (cara-ada-nya pasti/selalu dalam semua-kondisi)
Tugas dari bab berjudul
deduksi-kategori-transendental adalah untuk menunjukkan bahwa
kategori ini dapat dan harus diterapkan melalui suatu cara kepada setiap objek-yang-mungkin-menjadi-pengalaman, bisa juga kepada objek yang termasuk objek-pengalaman.
Argumen
deduksi-transendental adalah satu momen paling penting dalam
Critique, tetapi juga salah satu argumen yang paling sulit, rumit, dan kontroversial dalam buku ini. Oleh karena itu, tidak akan mungkin untuk merekonstruksi argumen secara rinci di sini. Sebagai gantinya, dijelaskan pendapat-pendapat paling penting dari
Kant dan bergerak ke arah penjelasan
deduksi-kategori-transendental..
Argumen
Kant menyalakan konsepsi
kesadaran-diri atau apa yang dia sebut
apersepsi sebagai sebuah kondisi terhadap kemungkinan mengalami dunia sebagai kesatuan-yang-utuh.
Kant membawanya menjadi tidak kontroversial yaitu bahwa kita sadar terhadap representasi kita sebagai representasi diri kita sendiri. Hal ini tidak hanya bahwa saya dapat memiliki pikiran '
P' atau '
Q'. Saya juga selalu bisa menganggap pikiran ini berasal dari diri saya sendiri: 'Saya berpikir
P' dan 'Saya berpikir
Q'. Lebih jauh lagi, kita juga bisa mengenali bahwa itu adalah sama dengan '
Aku' yang melakukan pemikiran pada kedua kasus '
P' dan '
Q'. Dengan demikian, kita dapat mengenali bahwa 'Saya berpikir
P dan
Q'.
Secara umum, semua pengalaman kita adalah kesatuan karena dapat dianggap berasal dari sesuatu yang satu-dan-sama yaitu '
Aku', dan tentu kesatuan-pengalaman ini tergantung pada
kesatuan-kesadaran-diri dari '
Aku'.
Kant selanjutnya bertanya kondisi-kondisi yang harus dicapai/dipenuhi agar
kesatuan-kesadaran-diri ini menjadi mungkin. Jawabannya adalah bahwa kita harus mampu membedakan antara '
Aku' yang berpikir dan objek yang kita pikirkan. Artinya, kita harus mampu membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dalam pengalaman kita.
Jika kita tidak bisa membuat perbedaan seperti itu, maka semua pengalaman hanya akan menjadi begitu banyak kejadian-mental yang terputus atau terpisah-pisah, semuanya akan menjadi subjektif dan tidak akan ada
kesatuan-apersepsi yang berdiri meliputi dan berlawanan dengan berbagai objek yang direpresentasikan oleh '
Aku'.
Jadi berikutnya
Kant harus menjelaskan bagaimana kita mampu membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dari pengalaman. Jawabannya adalah bahwa representasi adalah objektif jika subjek selalu merepresentasikan objek dengan cara tertentu, yaitu ketika itu tidak sampai pada kekuatan asosiatif-bebas dari imajinasi saya untuk menentukan bagaimana saya merepresentasikan objek itu.
Misalnya, apakah saya berpikir suatu lukisan adalah gambar yang menarik atau apakah lukisan itu memanggil/mengingatkan ke dalam pikiran saya sebuah kenangan peristiwa dari masa kecil, tergantung pada aktivitas
imajinasi-asosiatif saya sendiri. Ukuran kanvas dan komposisi kimia dari zat warna tidak tampak oleh saya jika saya merepresentasi lukisan itu sebagai gambar objektif dari lukisan itu, saya harus merepresentasi lukisan itu dengan cara tertentu. Agar kandungan representasional pasti dengan cara ini, menurut
Kant, adalah untuk itu dikenakan
aturan.
Aturan relevan yang dimiliki
Kant dalam pikirannya adalah kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar dapat dipresentasikan hanya sebagai objek. Dan kondisi-kondisi ini adalah tepat dengan konsep-konsep yang terletak dalam
skema-kategori, yang merupakan konsep dari sebuah
objek-pada-umumnya. Oleh karena itu, jika saya hendak memiliki pengalaman apa saja, saya harus menkonseptualisasikan objek sesuai dengan
kategori apriori.
Argumen
Kant dalam
deduksi adalah
argumen-transendental :
Kant memulai dengan premis yang diterima oleh semua orang, tapi kemudian bertanya kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar premis ini benar.
Kant menganggap bahwa kita memiliki pengalaman terpadu dari banyak objek yang mengisi dunia. Pengalaman terpadu ini tergantung pada
kesatuan-apersepsi.
Kesatuan-apersepsi memungkinkan subjek mampu untuk membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dalam pengalaman. Kemampuan ini, pada gilirannya, tergantung pada representasi benda sesuai dengan aturan, dan aturan-aturan yang dimaksud adalah
kategori-kategori.
Oleh karena itu, satu-satunya cara kita dapat menjelaskan fakta bahwa kita memiliki-pengalaman adalah dengan membandingkan fakta bahwa
kategori-kategori diterapkan pada objek pengalaman.
Perlu menekankan betapa benar-benar radikal kesimpulan dari
deduksi-transendental adalah
Kant membawa dirinya untuk menunjukkan bahwa seluruh-alam tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh
kategori-kategori.
Tapi
kategori-kategori ini adalah
apriori : mereka berasal dalam pikiran sendiri. Ini berarti bahwa urutan dan keteraturan yang kita jumpai di alam ini dibuat mungkin oleh konstruksi pikiran sendiri terhadap alam dan keteraturannya.
Dengan demikian kesimpulan dari
deduksi-transendental sejajar dengan kesimpulan dari
transendental-aesthetic .
Transendental-aesthetic telah menunjukkan bahwa bentuk
sensibility (ruang dan waktu) berasal dalam pikiran dan dikenakan pada dunia, sedang
deduksi-transendental menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pemahaman (kategori) juga berasal dari pikiran dan dikenakan pada dunia.
f. Teori Pengalaman
Deduksi-transendental telah menunjukkan tidak hanya keharusan bagi kita untuk menggunakan
kategori-kategori terhadap pengalaman, tetapi juga menggunakan
kategori-kategori itu untuk melakukan penilaian.
Di seri bab berikut, yang secara bersama diberi judul
Analytic of Principles,
Kant mencoba untuk meningkatkan hasil-hasil
deduksi-transendetal dan membuktikan adanya hukum-pasti-transendental, di mana setiap kemungkinan-objek-pengalaman harus mematuhi aturannya. Dia menyebut prinsip ini sebagai
Principles of Pure Understanding. Prinsip-prinsip ini adalah
sintesa-apriori dalam pengertian yang sudah didefinisikan di atas (
lihat 2b), dan merupakan kondisi-kondisi-transendental terhadap kemungkinan-adanya-pengalaman.
Dua prinsip pertama berkaitan dengan
Kategori Kuantitas dan
Kualitas.
Pertama,
Kant berpendapat bahwa setiap objek-pengalaman harus memiliki bentuk-dan-ukuran-spasial tertentu serta durasi-waktu tertentu kecuali untuk objek-mental yang tidak menempati ruang.
Kedua,
Kant berpendapat bahwa setiap objek-pengalaman harus berisi
matter (materi) yang mengisi
besaran luas/ruang objek-pengalaman.
Matter (materi-pengalaman) harus dideskripsikan sebagai
besaran-intensif.
Besaran luas/ruang objek direpresentasikan melalui
intuisi dari objek (yaitu bentuk dari representasi) dan
besaran-intensif direpresentasikan oleh
sensasi yang mengisi
intuisi (yaitu
matter dari representasi).
Tiga prinsip berikutnya dibahas dalam bab yang penting dan panjang, yang berjudul
Analogies of Experience. Prinsip-prinsip ini diturunkan dari
Kategori Relasional yaitu
Substance,
Causality, dan
Community.
Menurut analogi-pertama, pengalaman selalu melibatkan benda-benda yang harus direpresentasikan sebagai suatu
substansi.
Substansi ini harus dipahami sebagai objek yang selalu-ada-permanen sebagai
substratum dan yang merupakan pelindung dari
kecelakaan yang menyebabkan tidak-selalu-ada.
Menurut analogi-kedua, setiap peristiwa harus memiliki sebab. Satu peristiwa dikatakan sebagai penyebab peristiwa lain ketika peristiwa kedua mengikuti peristiwa pertama sesuai dengan aturan.
Dan
Menurut analogi-ketiga yang mensyaratkan kedua analogi sebelumnya, semua
substansi berada dalam hubungan interaksi timbal-balik satu sama lainnya. Oleh karena itu, dua buah
substansi material masing-masing akan merasakan pengaruh sebab-akibat antara satu sama lain, bahkan jika berada pada posisi yang terpisah.
Prinsip-prinsip
Analogies of Experience adalah prinsip-prinsip metafisik penting, dan jika argumen
Kant pada prinsip-prinsip itu berhasil, prinsip-prinsip itu menandai kemajuan signifikan dalam penyelidikan alam metafisis.
Analogi-pertama adalah bentuk prinsip konservasi-materi : itu menunjukkan bahwa materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan dengan cara alami, tetapi hanya dapat diubah.
Analogi-kedua adalah versi prinsip alasan yang memadai : yang diterapkan pada pengalaman (penyebab menjadi alasan yang memadai bagi efek mereka), dan itu merupakan sanggahan
Kant terhadap skeptisisme
Hume mengenai hubungan sebab-akibat.
Hume berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan antara peristiwa, tetapi kita hanya bisa menerima beberapa jenis peristiwa terus-menerus berkaitan dengan jenis peristiwa lain.
Dalam perdebatan bahwa suatu peristiwa mengikuti peristiwa lain sesuai dengan aturan yang ada,
Kant telah menunjukkan bagaimana kita dapat memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan antara kejadian yang melampaui dan diatas hubungan konstan belaka.
Terakhir,
Kant mungkin bermaksud
analogi-ketiga untuk membangun transendental, dasar
apriori untuk sesuatu seperti hukum
Newton tentang gravitasi-universal, yang mengatakan bahwa tidak-peduli seberapa jauh dua benda terpisah, masing-masing akan mengerahkan beberapa tingkat pengaruh gravitasi satu sama lain.
Postulates of Empirical Thinking in General berisi satu set prinsip-prinsip terakhir dari pemahaman-murni yang diturunkan dari
Kategori Modalitas yaitu
Possibility, Actuality, dan Necessity.
Postulat of Empirical Thinking in General menentukan cara yang berbeda untuk merepresentasikan status modalitas dari sebuah objek, yaitu apakah untuk menjadi-objek pengalaman adalah mungkin, aktual, atau pasti.
Bagian paling penting dari bab
Postulates of Empirical Thinking in General adalah
Refutation of Idealisme, yang merupakan sanggahan terhadap
skeptisisme mengenai pengetahuan dunia-di-luar-pikiran yang ditambahkan oleh
Kant dalam karyanya
Critique of Pure Reason edisi tahun 1787.
Kant telah terganggu oleh review karya edisi pertama yang kurang baik terhadap
idealisme-transendental yang dibandingkan dengan
idealisme-immaterialis karya
Berkeley. Dalam sanggahan tersebut,
Kant berpendapat bahwa sistemnya membawa konsekuensi tidak hanya pengetahuan dunia-di-luar-pikiran (yaitu, yang spasial) adalah mungkin (yang ditolak
Berkeley), tetapi kita tahu juga itu adalah nyata (yang ditanyakan
Descartes dan lain-lain).
Strategi argumentatif
Kant dalam penolakannya adalah cerdik tapi kontroversial. Pendapat
skeptisisme menganggap bahwa kita hanya memiliki pengetahuan tentang keadaan pikiran kita sendiri, tetapi
skeptisisme juga mengatakan bahwa kita tidak bisa memastikan bahwa dunia-di-luar-pikiran sesuai dengan keadaan itu.
Kant memutar pendapat itu dan berpendapat bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang keadaan pikiran kita sendiri (khususnya, urutan secara temporal yang di dalamnya ide-ide kita terjadi) jika kita tidak terus menyadari substansi-permanen yang berada di dalam ruang dan di luar pikiran.
Struktur yang tepat dari argumen
Kant, juga betapa berhasilannya argumen itu, terus menjadi bahan perdebatan sengit dalam literatur-literatur.
g. Kritik Transenden Metafisika
Salah satu keberhasilan paling penting dari teori-pengalaman
Kant yaitu
adalah-mungkin untuk memiliki pengetahuan tentang dunia karena dunia yang kita alami sesuai dengan kondisi-kondisi kemungkinan-adanya pengalaman.
Oleh karena itu,
Kant menyatakan hanya terdapat pengetahuan suatu objek jika ada-kemungkinan bagi objek itu untuk 'diberikan' dalam pengalaman. Aspek subjektif kondisi-kondisi epistemologis manusia sebagai subjek yang mengetahui, membawa konsekuensi adanya wilayah-wilayah penting penyelidikan di mana kita ingin memiliki pengetahuan tentang bidang itu, tetapi kita tidak bisa mendapatkannya.
Berkaitan dengan hal itu,
Kant berpendapat bahwa
metafisika-transenden, yaitu penyelidikan filosofi pada objek
super-sensible yang bukan bagian dunia-empiris, menandai buntunya usaha-usaha filosofis (menemui kegagalan).
(Catatan: Ada perbedaan tipis namun penting antara istilah
transendental dan
transenden bagi
Kant transendental mendeskripsikan kondisi-kondisi kemungkinan-adanya pengalaman, sementara
transenden mendeskripsikan objek yang tidak-dapat diketahui dalam dunia
nomenal dari benda-dalam-dirinya-sendiri)
Kant menyebut konsep-konsep dasar penyelidikan metafisik sebagai
ide-ide. Tidak seperti
konsep dalam
fakultas-understanding, yang berkaitan dengan kemungkinan objek pengetahuan dapat 'diberikan' dalam pengalaman,
ide-ide adalah
konsep fakultas-reason dan tidak berkaitan dengan objek-objek yang mungkin bagi adanya pengalaman.
Tiga
ide yang paling penting, yang dibahas
Kant dalam
Trancendental Dialektic adalah
jiwa,
dunia (dianggap sebagai suatu totalitas), dan
Tuhan. Hal khusus dari
ide-ide fakultas-reason adalah
fakultas-reason bekerja ditentukan oleh struktur yang berfungsi meletakkan objek-objek sesuai dengan
ide-ide. Meski hal itu tidak membantu, tetapi tetap dilakukan karena tugas
fakultas-reason adalah untuk menyatukan pengetahuan menjadi sistematis secara keseluruhan, dan
fakultas-reason menemukan perlunya ada
ide-ide mengenai
jiwa,
dunia dan
Tuhan untuk menyelesaikan penyatuan-sistematis ini.
Kant menyebutnya kecenderungan tak terhindarkan dari
fakultas-reason untuk meletakkan hal-hal yang tidak bisa dialami dan oleh karena itu tidak dapat diketahui, yang berkaitan dengan
ide-ide sebagai
ilusi-transendental.
Kant menyajikan analisis tentang
ilusi-transendental dan kritiknya terhadap
metafisika-transenden dalam serangkaian bab berjudul
Transcendental Dialectic yang memakan sebagian besar paruh kedua karyanya
Critique of Pure Reason. Bagian ini merangkum argumen Kant yang paling penting dari bab
Transcendental Dialectic.
i. Jiwa (Paralogisms of Pure Reason)
Yang dimaksud
metafisika-jiwa oleh Kant adalah suatu penyelidikan yang disebut sebagai
psikologi-rasional yang dibahas dalam bab
Paralogism of Pure Reason. Seperti yang dijelaskan Kant,
psikologi-rasional adalah upaya untuk membuktikan tesis metafisik tentang sifat/natur
jiwa melalui analisis proposisi sederhana, '
Saya berpikir'. Banyak dari penganut rasionalis sebelum Kant dan penganut rasionalis pada zamannya berpikir bahwa refleksi terhadap pengetahuan '
Aku' dalam proposisi '
Saya berpikir' mengungkapkan bahwa '
Aku' adalah selalu berarti suatu
substansi (yang berarti bahwa '
Aku' adalah
jiwa),
suatu kesatuan yang tak terbagi (yang beberapa akan menggunakan untuk membuktikan keabadian
jiwa),
diri-yang-identik (yang relevan dengan pertanyaan mengenai identitas-pribadi), dan
berbeda dengan dunia-di-luar-pikiran (yang dapat mengarah pada
skeptisisme terhadap dunia-di-luar-pikiran). Kant berpendapat bahwa pikiran-pikiran tersebut merupakan hasil dari
ilusi-transendental.
ilusi-transendental dalam
psikologi-rasional muncul ketika '
Aku' yang hanya sebagai
pikiran-saja dalam proposisi '
Saya berpikir' salah dimengerti menjadi
pengetahuan tentang '
Aku' sebagai objek.
Pengetahuan '
Aku' melibatkan
intuisi dan
konsep, sementara '
Aku' sebagai
pikiran-saja hanya melibatkan
konsep. Sebagai contoh, tinjaulah pertanyaan apakah kita dapat mengetahui '
Aku' sebagai suatu
substansi yaitu
jiwa. Padahal, sesuatu diketahui sebagai
substansi ketika direpresentasikan hanya sebagai subjek dari predikat dan tidak pernah menjadi predikat untuk subjek yang lain. '
Aku' dalam proposisi '
Saya berpikir' selalu direpresentasikan sebagai subjek (berbagai pikiran adalah predikatnya). Di sisi lain, sesuatu hanya dapat diketahui sebagai
substansi ketika 'diberikan' sebagai objek yang tetap dalam satu
intuisi (
2f di atas), dan tidak akan ada
intuisi dari '
Aku' sendiri. Oleh karena itu meskipun tidak bisa membantu tetapi berpikir tentang '
Aku' sebagai
jiwa, kita tidak pernah dapat memiliki kognisi dari '
Aku' sebagai
substansi, dan karenanya pengetahuan tentang keberadaan dan sifat
jiwa adalah mustahil.
ii. Dunia (Antinomi of Pure Reason)
Antinomies of Pure Reason membahas
kosmologi-rasional, yaitu penyelidikan metafisis ke dalam sifat-kosmos yang ditinjau sebagai suatu totalitas-keseluruhan.
Antinomy adalah suatu konflik
fakultas-reason dengan dirinya sendiri.
Antinomies muncul ketika
fakultas-reason tampak dapat membuktikan dua proposisi berlawanan dan saling bertentangan dengan kepastian yang jelas. Kant membahas
empat-antinomies dalam karyanya
Critique of Pure Reason edisi pertama (ia juga mengungkapkan
antinomies lainnya dalam tulisan-tulisannya kemudian).
Antinomy-pertama menunjukkan bahwa
fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa alam semesta ini
terbatas sekaligus tak-terbatas dalam ruang-dan-waktu.
Antinomy-kedua menunjukkan
fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa materi
bisa sekaligus tidak-bisa dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil terus-menerus sampai tak-berhingga.
Antinomy-ketiga menunjukkan
fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa
kehendak-bebas tidak dapat menjadi bagian hukum-sebab-akibat yang berlaku dalam dunia (karena alam secara keseluruhan adalah deterministik) dan oleh karena itu harus ada yang menyebabkannya.
Antinomy-keempat menunjukkan bahwa
fakultas-reason tampak dapat membuktikan
ada sekaligus tidak-ada terhadap '
Ada-yang-kekal' atau '
Ada-yang-pasti' atau '
Ada-yang-selalu-ada' (yang beberapa orang mengidentifikasikan sebagai Tuhan).
Pada semua empat kasus tersebut, Kant mencoba untuk menyelesaikan konflik
fakultas-reason dengan dirinya sendiri dengan cara membawa ke
idealisme-transendental. Pendapat bahwa ruang-dan-waktu bukanlah fitur/sifat dari benda-dalam-dirinya-sendiri digunakan untuk menyelesaikan
antinomy-pertama dan
kedua. Karena dunia empiris dalam ruang-dan-waktu diidentifikasi dengan penampakan-benda dan karena dunia sebagai totalitas-keseluruhan tidak pernah bisa 'diberikan' sebagai penampakan-tunggal, bahwa tidak ada fakta materi tertentu berkaitan dengan ukuran alam-semesta. Hal itu bukanlah
pasti-terbatas atau bukan
pasti-tak-terbatas, tetapi itu adalah
besar-tanpa-batas. Demikian pula, materi tidak memiliki atom yang paling sederhana yaitu
monad atau materi tidak-bisa dibagi sampai tak-terbatas tetapi materi dapat dibagi sampai tanpa-batas.
Perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri digunakan untuk menyelesaikan
antinomy-ketiga dan
keempat. Meskipun setiap peristiwa empiris dalam pengalaman dunia penampakan-benda memiliki penyebab alami yang deterministik, setidaknya adalah mungkin secara logis bahwa kehendak-bebas dapat menjadi kekuatan hukum-kausalitas yang manjur di tingkat benda-dalam-dirinya-sendiri. Dan meskipun setiap objek-empiris yang dialami dalam dunia penampakan-benda adalah entitas '
Ada-yang-kontingen', secara logis adalah mungkin bahwa ada
sesuatu-yang-selalu-ada yaitu '
Ada-yang-kekal' di luar dunia penampakan-benda yang menjadi dasar eksistensi '
Ada-yang-kontingen' dalam dunia penampakan-benda. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Kant tidak berpendapat untuk menunjukkan eksistensi dari kehendak-bebas yang transenden atau eksistensi '
Ada-yang-kekal' yang transenden karena Kant menolak kemungkinan pengetahuan benda-dalam-dirinya-sendiri. Tetapi, Kant hanya membawa diri untuk menunjukkan bahwa keberadaan entitas seperti itu secara logis adalah mungkin. Meskipun demikian, dalam teori moral, Kant menawarkan argumen untuk aktualitas dari kebebasan (
lihat 5c bawah).
iii. Tuhan (Ideal of Pure Reason)
Ideal of Pure Reason membahas gagasan tentang
Tuhan dan pendapat bahwa mustahil untuk membuktikan keberadaan
Tuhan. Argumentasi dalam
Ideal of Pure Reason telah disiapkan
Kant dalam karyanya
The Only Possible Argument in Support of the Existence of God (1763), yang membuat aspek pemikiran
Kant menjadi matang sebagai salah satu yang tersisa dan paling signifikan dari pemikiran
Kant pada periode
pra-kritis.
Kant mengidentifikasikan
ide tentang
Tuhan dengan
ide tentang
Ens Realissimum atau
Ada-yang-paling nyata.
Ide ini juga ditinjau dari
fakultas-reason sebagai
Ada-yang-pasti atau
Ada-yang-kekal, yaitu sesuatu yang pasti dan selalu ada (kekal) dan tidak sekedar
Ada-yang-kontingen.
Fakultas-reason cenderung meletakkan
ide seperti itu ketika
fakultas-reason merefleksikan
ide seperti itu pada konsepsi
Ada-yang-terbatas dalam realitas-terbatas dan menyimpulkan bahwa realitas
Ada-yang-terbatas harus berasal dari dan tergantung pada realitas
Ada-yang-tak-terbatas dan
sempurna. Tentu saja, faktanya
fakultas-reason pasti berpikir dari yang paling nyata,
Ada-yang-kekal bukanlah konsekuensi dari eksistensi ada yang seperti itu.
Kant berpendapat bahwa hanya ada tiga kemungkinan argumen bagi keberadaan
Ada-yang-kekal dan semua argumen tersebut tidak ada yang berhasil.
Menurut
argumen-ontologis tentang eksistensi
Tuhan antara lain menurut versi yang diusulkan oleh
St. Anselmus (1033-1109) dan
Descartes (1596-1650),
Tuhan adalah satu-satunya
ada yang
esensi-nya membawa konsekuensi
eksistensi-nya (ada dengan sendirinya).
Kant terkenal keberatan dengan argumen ini. Menurut
Kant, argumen ini keliru karena memperlakukan
eksistensi sebagai
predikat-nyata. Menurut
Kant, ketika saya membuat pernyataan dalam bentuk '
X adalah pasti F', sesungguhnya yang bisa saya maksud hanyalah bahwa '
Jika X ada, maka X pasti F'. Jadi ketika para pendukung
argumen-ontologis berpendapat bahwa
adanya-ide tentang
Tuhan membawa konsekuensi bahwa
Tuhan-tentu-ada semua yang mereka maksud adalah bahwa '
jika Tuhan ada, maka Tuhan ada' yang merupakan tautologi kosong belaka.
Kant juga menawarkan kritik panjang terhadap
argumen-kosmologis bahwa eksistensi
Ada-yang-kontingen mensyaratkan adanya eksistensi
Ada-yang-kekal dan terhadap
argumen-fisiko-teologis, yang juga disebut sebagai
argumen-rancangan bahwa keteraturan dan maksud tujuan dari dunia-empiris hanya dapat dijelaskan oleh sang pencipta Ilahi.
Kant berpendapat bahwa keduanya merupakan implikasi yang bergantung pada
argumentasi-ontologis yang berkaitan dengan eksistensi
Ada-yang-kekal, dan karena argumen itu gagal dibuktikan maka kedua argumen itu gagal juga.
Meskipun
Kant dalam
Trancendental Dialektic berpendapat kita tidak dapat memiliki pengetahuan mengenai
jiwa,
kehendak-bebas atau
Tuhan, dalam tulisan-tulisannya tentang
etika, ia akan semakin mempersulit cerita ini dan berpendapat bahwa kita dibenarkan untuk percaya pada hal-hal itu (
lihat 5c bawah).
Sumber :
http://www.iep.utm.edu/kantview/#H2
Pemahaman Pribadi
Kelapa Gading , 8 Maret 2017