Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, March 26, 2017

Alima


Konon, berdirilah sebuah kerajaan yang sedang menapaki kemasyhuran. Kerajaan itu tidak luas wilayahnya, tetapi tidak juga begitu kecil. Rakyatnya berkecukupan, mereka tak pernah khawatir memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kota-kota terlihat bergairah pada malam hari, sedang pada siang hari cukup banyak orang berlalu lalang, kereta dan kuda bergantian melintasi jalanan. Anak-anak berlarian dengan riang, tawa dan teriakan mereka menggema meramaikan setiap pagi menjelang. Pasar-pasar terlihat ramai, barang-barang memenuhi lapak dagangan yang sesak berderet, sayur mayur dan buah-buahan bertumpuk lengkap beraneka warna. Suara riuh tawar menawar mengisi hari demi hari yang berganti. Damai juga menyenangkan, begitu suasana kerajaan itu.

Sang Baginda masih berusia muda. Ia terpaksa naik tahta enam tahun yang lalu, beberapa hari setelah pemakaman Ayahanda tercinta. Sekarang Ia menginjak usia tiga puluhan tahun. Ia menjalankan pemerintahan dengan didampingi beberapa Penasehat, berada di pusat kerajaan. Istana berdiri megah dengan halaman yang luas dikelilingi oleh tembok pengaman berdinding tebal. Empat buah gerbang besi tempa bakar berdiri kekar, merupakan pintu masuk dan keluar lingkungan Istana. Di sebelah depan, alun-alun menghampar luas, dihiasi empat pohon beringin berdaun lebat, menjadi peneduh di setiap pojok tempat rakyat berkumpul mendengar pengumuman dan titah dari Sang Baginda. Sesekali juga untuk bergembira dengan memanggil bermacam hiburan tatkala Sang Baginda memperingati hari kelahirannya atau acara kerajaan yang penting lainnya.

Temaram senja nyaris menghilang, Sosok Tua menapak turun dari sebuah kereta penumpang. Dengan tenang, Ia menyeberang jalan, melangkah mendekati pintu gerbang sebelah utara. Para Penjaga yang mengamati dari kejauhan bergegas waspada menyambutnya.
"Orang Tua. Siapa gerangan dirimu ? Apa maksud kedatanganmu ?", Tepat di pintu gerbang, salah seorang Penjaga mencecarnya dengan curiga.
"Aku hendak bertemu Rajamu, wahai Penjaga.", Sosok Tua itu menjawab dengan tegas. Suaranya terdengar dalam dan berwibawa.
"Ahh, Bapak Tua. Tidak sembarang orang bisa menghadap Baginda. Pulanglah. Tulislah surat, sampaikan alasan dan maksud tujuanmu. Kirimkan ke petugas pencatat kerajaan, pastilah Dia akan mengatur pertemuanmu dengan Baginda. Percayalah, suatu saat Baginda akan memanggilmu untuk menghadapnya."
"Wahai Penjaga. Rajamu pernah berkunjung ke tempatku. Percayalah. Sampaikan padanya. Aku, Alima mohon bertemu dengan Baginda.", Sosok Tua itu menunjukkan kemuliaannya dengan membungkukkan badan untuk meyakinkan. Para penjaga saling berpandangan, beberapa menatap teliti dari kepala hingga ujung kaki. Mereka ragu sekaligus bingung, sekitar empat jengkal mereka mundur menarik diri. Tampak mereka berbisik-bisik satu sama lain, tak berapa lama salah satu dari mereka berlari bergegas menuju Istana sementara yang lain kembali bergabung menemani Sosok Tua itu menunggu di pintu gerbang.

Deru putaran roda terdengar semakin mendekat, kereta terlihat meluncur dari kejauhan. Debu mengepul mengikuti derap kaki kuda menuju pintu gerbang utara. Sedikit jauh, kereta itu berhenti di dekat Sosok Tua dan para penjaga berkumpul. Seorang Prajurit tampan, berbadan tinggi tegap turun menghampiri Sosok Tua dan para Penjaga yang sedang menunggu. Langkah dan wajahnya terlihat tegas.
"Wahai Orang Tua, Baginda berkenan Kau menghadapnya. Sang Baginda memerintahkan Aku untuk menjemputmu. Mari, Aku antar ke Istana.", Si Tampan mempersilakan Sosok Tua itu naik ke atas kereta. Ia sendiri lalu menyusul ke dalamnya. Tubuh yang tegap dan sosok yang tua kini duduk berdampingan. Sang kusir lantas menghela kuda, dengan hentakkan khasnya, Ia memutar kereta berbalik menuju Istana. Debu mengepul kembali mengikuti putaran laju roda kereta.

Didampingi beberapa Penasehat, Sang Baginda berjejer menunggu sambil bercakap-cakap di tangga teras Istana. Kereta berhenti lurus di hadapannya, Ia melangkah turun menghampiri Sosok Tua yang tersendat keluar dari pintu kereta. Baginda menyambutnya dengan membuka tangan lebar-lebar. Wajahnya bersinar riang, Ia merangkul Sosok Tua itu sambil menempelkan pipi kanan dan kirinya. Sang Baginda lalu bersalaman dan mencium tangannya, para Penasehat kemudian mengikuti bersalaman berurutan. Sang Baginda menyebut nama mereka satu persatu. Mereka lalu berjalan berdampingan masuk ke dalam Istana. Para Penasehat mengiringi dari belakang.
"Ahh, Guru Alima. Apa gerangan yang membawamu kemari ?"
"Sesungguhnya Aku sedang dalam perjalanan pulang menuju rumah, Muridku. Tetapi hari sepertinya tak mencukupi. Hitunganku sampai rumah dini hari dan badanku terasa lelah. Pikirku Aku perlu istirahat, besok kulanjutkan kembali perjalananku.", Sambil berjalan Sang Baginda mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Tadi Aku juga dengar cerita-cerita dari rakyatmu. Mereka bicara hal-hal baik tentangmu. Aku jadi ingin menemuimu, wahai Muridku."
"Aku hendak menyaksikan sendiri keberhasilanmu. Melihatmu di singgasana adalah kepuasanku. Mendengar rakyat memujimu adalah kebanggaanku.", Mereka terus berjalan bergandengan memasuki Istana, Sang Baginda mengajaknya naik ke tahta, satu kursi di samping tahta rupanya telah disiapkan untuk guru yang dihormatinya.

Percakapanpun berlangsung panjang lebar antara murid dan guru. Sekitar lima tahun, mereka tak bertemu. Mereka mengenang kembali saat-saat dimana mereka berbagi peristiwa. Sang Alima tak lupa menceritakan pengalamannya mengajar di kerajaan-kerajaan sekitar. Bagaimana para bangsawan begitu tertarik dengan ajarannya, Ia ceritakan dengan rinci disertai peristiwa-peristiwa lucu saat menjalani hidup di kerajaan-kerajaan itu. Sementara Sang Baginda menceritakan dengan lancar bagaimana dirinya memimpin kerajaan, pengkhianatan yang dialami serta dibumbui betapa sulit dirinya mencari seorang permaisuri. Sebentar-sebentar Sang Baginda tersenyum, lalu tertawa lebar. Beberapa saat kemudian Sang Alima yang berganti terkekeh-kekeh geli. Mereka begitu menikmati pertemuan itu, hingga tak berasa malam pun tiba. Sang Alima dihantar ke ruangan tidur tamu-tamu khusus kerajaan yang dihormati. Sang Baginda berpisah menuju peraduannya sendiri.

Setelah membersihkan diri, Sang Baginda berbaring di atas peraduan. Tatapannya mengawang ke langit-langit kamar, kedua tangannya menyilang ke belakang menahan sandaran bantal di kepala. Pikirannya mengenang saat-saat dahulu dirinya menjadi murid Sang Alima. Beberapa pelajaran melintas kembali dalam benaknya, satu hal berharga tak pernah terlewati mengisi ingatannya. Sebuah pelajaran yang membuatnya mampu bertahan menjadi seorang raja hingga saat ini, tetapi memaksa dirinya untuk mengirim Pamannya ke tiang gantungan dan menjebloskan keluarganya ke dalam penjara. Setelah Ayahanda dan Ibunda meninggalkan dirinya, situasi memang rumit saat itu, namun Sang Paman memang benar-benar bermaksud keji untuk menyingkirkannya diam-diam. Peristiwa delapan tahun silam, saat Sang Baginda menerima pelajaran berputar kembali dalam ingatannya.

Malam itu, Baginda Muda terbangun di pertengahan malam. Perasaan gelisah membuatnya bangkit dari papan tidur kayu yang menahan punggungnya. Diam-diam Ia mengendap keluar kamar, berjalan sendiri menyusuri jalan setapak berbatu menuju pendopo di mana kegiatan belajar mengajar biasa dilakukan. Lampu-lampu pendopo telah lama dimatikan, suasana terasa sepi, hanya sedikit sinar bintang yang membantunya melihat bayang-bayang semak dan pepohonan. Ia memilih duduk di atas batu besar, di depan pendopo, di bawah naungan pohon yang berdaun rindang. Ia terpekur sendiri. Tatapannya kosong. Angin berhembus sepoi menggoyang-goyang helaian rambutnya.

Sang Alima yang baru selesai membaca sebuah buku di perpustakaan memergoki Baginda Muda termenung sendiri. Perasaan iba membelokkan langkah kakinya menghampiri Baginda Muda.
"Apa yang kau pikirkan, wahai Muridku ?", Suara Sang Alima mengagetkannya.
"Aku tak mampu terlelap, wahai Guru.", Baginda Muda menjawab dengan lembut. Wajahnya menekuk murung.
"Baiklah. Apa yang bisa Aku berikan padamu ?", Kata Sang Alima seraya berjongkok mengambil duduk disampingnya. Baginda Muda menggeser duduknya sedikit ke arah kanan. Mereka lalu duduk berdua berdampingan.
"Wahai Guru, selama ini Aku hidup gelisah. Hampir setiap malam Aku terbangun. Aku khawatir pada orang-orang di sekelilingku. Sepertinya mereka bukan manusia !"
"Mereka seperti menungguku lengah, wahai Guru. Untuk menerkamku !", Baginda Muda terdiam sendiri. Senyap sejenak menyusup di antara mereka.
"Lalu, apa yang bisa kubantu, wahai Muridku."
"Tunjukanlah padaku, wahai Guru."
"Siapa sebenarnya manusia paling berbahaya di sekelilingku itu ?", Baginda Muda bertanya dengan menundukkan kepala. Ia masih gelisah, tatapannya menyusur ke bawah, telapak kakinya mengusap-usap tanah dengan sendirinya.
"Dia yang paling dekat denganmu, wahai Muridku. Dia yang Engkau percaya !", Suara lirih Sang Alima menghantam dinding hati Baginda Muda. Ia tersentak, lalu menatap Gurunya heran.
"Benarkah, wahai Guru ?"
"Lalu, buat apa Kau melukai kakimu datang ke tempatku ?!"
"Mohon maaf, wahai Guru. Aku tidak paham dengan yang dikatakan."
"Kau tidak percaya, bukan !"
"Sekali lagi maaf Guru, tidak begitu adanya. Hanya belum mengerti yang Guru katakan. Dia yang Aku percaya selama ini membimbingku dengan penuh kebaikan. Ia selalu menasehati Aku. Ia menunjukkan jalan kebenaran padaku. Ia melindungi Aku. Aku sepenuhnya percaya padanya, wahai Guru. Rasanya Dia tak seperti yang lain...", Baginda Muda tak mampu melanjutkan kalimatnya, tenggorokannya tercekat, lidahnya berubah kelu. Melintas dibenaknya wajah Pamannya yang sangat disayangi.
"Yaahh. Memang begitulah caranya membunuhmu.", Sang Alima menghela nafas panjang.
"Engkau dibuatnya tidur, lalu tak terbangun lagi. Begitulah Dia membunuhmu pelan-pelan. Membuatmu mengantuk, lelap, lalu tak sadar selamanya.", Baginda Muda hanya terbengong, kata-kata Gurunya semakin jauh dari jangkauan pikirannya.
"Bagaimana bisa, wahai Guru ?"
"Yaa ! Engkau mati karena kata-katanya Kau percayai. Kehendakmu hilang. Engkau hanya bertindak mengikuti kata-katanya ! Kau tak mengujinya. Itu membuat jiwamu mati. Itu membunuhmu !", Panjang lebar Sang Alima menjelaskan semua yang dimaksudnya.
"Dengarlah, Engkau tak menentukan kebajikanmu sendiri, bukan ? Apalagi menemukan kebajikan-kebajikan baru untuk hidupmu. Begitulah Ia mengubahmu menjadi mayat.", Ujar Sang Alima melanjutkan.

Malam kian beranjak larut, suara-suara berangsur-angsur menghilang. Gambar-gambar menjadi bergerak bisu, berubah samar, menipis terus menipis lalu menyusul menghilang ditelan kegelapan. Mata Sang Baginda rupanya telah terpejam. Ia tertidur pulas dengan tangan dibawah kepalanya.

Matahari pagi menjelang, Sang Baginda dan Sang Alima duduk berhadapan di sebuah meja makan. Mereka dipisahkan berbagai macam makanan dan buah-buahan yang memenuhi di atas meja. Beberapa jenis minuman tersedia di bagian pinggir meja. Sang Alima hanya sedikit menyantap makanan yang berlimpah serta meneguk satu gelas air kelapa. Setelah merasa perutnya cukup berisi, Sang Alima berencana meneruskan perjalanan kembali ke rumah. Ia bermaksud berpamitan kepada Sang Baginda, tetapi Sang Baginda menahannya.
"Wahai Guru, sudikah kiranya engkau duduk disampingku. Mendampingiku. Membimbingku agar tak terpeleset ke jurang kenistaaan.", Sang Baginda meminta Sang Alima untuk tinggal di Istana.
"Ahh, ini bukan tempatku Baginda. Aku lebih tenang tinggal di ujung gunung sana. Itulah kerajaanku kedamaian dan ketenangan.", Dengan lembut, Sang Alima berusaha menolak  permohonan Sang Baginda.
"Pertimbangkanlah, wahai Guru. Aku membutuhkanmu di sini. Ayah dan Bundaku sudah tiada. Pamanku bahkan mengkhianatiku ! Kepada siapa lagi Aku harus bersandar ?", Sang Baginda mendekati jendela, seberkas sinar menimpa wajahnya.
"Pesan Ayahanda sungguh berat. Meskipun hingga saat ini, Aku mampu melaksanakan, tetapi seandainya Guru ada di sampingku tentu akan mengurangi beban itu."
"Bagaimana Guru, sudikah membantuku membuat maju kerajaan, bertambah wilayahnya, keilmuannya, makmur rakyatnya, kuat pasukannya ?"
"Demi kerajaan dan rakyat Guru !", Suara Sang Baginda mendesis persis di telinga kiri Sang Alima. Ia terus membujuk.

Sang Alima akhirnya, menerima tawaran Sang Baginda. Ia menempati jabatan yang khusus sebagai pendamping Sang Baginda. Banyak keputusan penting diambil karena nasehatnya. Kerajaan sedikit demi sedikit mengalami kemajuan yang membanggakan. Sang Baginda merasa puas dengan keputusan-keputusan yang diambil, kepercayaan pada Sang Alima bertumbuh semakin kuat. Satu tahun berlalu, Sang Baginda memberi penghargaan gelar kehormatan kepada Sang Alima sebagai 'Penasehat Terpercaya'. Penobatannya berlangsung meriah dalam upacara agung yang disaksikan rakyat dan dihadiri semua pejabat kerajaan. Bermacam hiburan digelar di alun-alun Istana hingga dini hari, rakyat berkumpul merayakan kegembiraan.

Waktu terus bergulir, Sang Alima menjadi semakin leluasa mengatur semua segi pemerintahan kerajaan. Para Penasehat tak lama kemudian mengundurkan diri karena nasehatnya sudah tidak didengar lagi. Kata-katanya dianggap angin lalu oleh Sang Baginda. Mereka merasa tak berguna. Sang Baginda hanya percaya penuh kepada 'Penasehat Terpercaya'. Selanjutnya, demi kemajuan yang lebih pesat untuk mencapai tujuan yang didamba Sang Baginda, Sang Alima mengambil langkah menata para pejabat pemerintahan. Satu persatu jabatan penting diganti, lalu diisi dengan saudara handai taulannya. Sekarang para menteri nyaris semuanya mempunyai hubungan darah dengan Sang Alima. Anak satu-satunya 'Putra Maha Alima' memimpin Panglima Perang Kerajaan, di bawah murid-muridnya menguasai lapisan kekuasaan di daerah-daerah sebagai bupati, demang dan bahkan kepala desa. Sang Alima menanam kekuasaan yang mengakar dalam waktu kurang dari tiga tahun, sementara Sang Baginda semakin jarang terlihat.

Hingga suatu hari, kabar berhembus kencang. Sang Baginda sedang menderita sakit. Sang Baginda tidak bisa menemui rakyatnya. Ia perlu istirahat untuk penyembuhan. Begitu kabar memenuhi udara di kerajaan. Para tabib dan ahli pengobatan terlihat mondar-mandir keluar masuk pintu gerbang sebelah selatan. Suasana di dalam Istana tenang tetapi terasa mencekam. Nyaris setiap minggu beredar kabar baru mengenai Sang Baginda. Bukan berita yang menyenangkan tetapi berita miris yang menyayat hati. Dari kuku-kuku Sang Baginda yang berubah hitam sampai wajah yang menjadi tirus dan terlihat tua. Dari kepala yang botak hingga tulang terbalut kulit. Dari mulut yang berbusa sampai lidah biru yang kaku tak bergerak. Entah penyakit apa yang menyerang Sang Baginda, tak seorang pun tahu. Istana sepertinya menutup diri.

Akhirnya hari itu pun tiba, rakyat berbondong-bondong berbaris menuju alun-alun Istana, mereka berkumpul untuk mendengar keputusan penting dari Istana. Pihak Istana telah menyampaikan pengumuman dengan menyebar ke setiap penjuru kerajaan akan adanya acara yang maha penting. Acara yang boleh dihadiri segenap rakyat tanpa terkecuali. Berita dari mulut ke mulutpun telah tersebar. Kabar yang terdengar, pengumuman akan disampaikan oleh 'Penasehat Terpercaya'.

Menjelang siang, semua pejabat sudah berkumpul, mereka bediri rapi di belakang mimbar. Pakaian lengkap kerajaan membuat mereka terlihat gagah dan terhormat. Pasukan kerajaan sudah bersiap sebelum pagi, mereka tegap mengelilingi alun-alun dengan senjata lengkap. Gerbang-gerbang lingkungan Istana juga dijaga ketat. Pasukan khusus pengawal kerajaan telah diperintah Panglima Perang Kerajaan untuk menjaga Istana. Semua terlihat sudah direncanakan rapi, cermat dan matang.

Sang Alima terlihat keluar dari lorong koridor Istana. Langkah kakinya tenang berwibawa, Ia berjalan perlahan memasuki mimbar. Kini, hampir semua mata menatap kepadanya. Para pejabat hanya terdiam sedang rakyat saling berbisik penasaran mengenai apa yang hendak disampaikan oleh 'Penasehat Terpercaya'. Sang Alima menghentikan langkahnya di tengah mimbar, semua pandangan mengarah kepadanya, suara lantang kemudian terdengar mengelilingi alun-alun.
"Wahai rakyatku. Tengah malam Sang Baginda telah mangkat, meninggalkan kita. Pemakaman sedang disiapkan. Tahta Kerajaan sekarang kosong. Perlu disampaikan, bahwa Sang Baginda telah menuliskan surat wasiat untuk menunjuk penggantinya.", Sang Alima berkata seraya mengangkat tinggi-tinggi gulungan kertas putih berikat pita merah yang berada digenggamannya. Suara gemuruh terdengar sebentar. Suasana kemudian mereda tenang. Sang Alima melanjutkan perkataannya.
"Surat wasiat ini menyatakan 'Putra Maha Alima', Sang Panglima Perang Kerajaan untuk menduduki tahta kerajaan ! Siapa yang melawan keputusan ini, surat wasiat memerintahkan dihukum dan diperangi ! Demikian surat wasiat ini menitahkan !"

Tanpa banyak berkata-kata, Sang Alima langsung membalikkan badan. Ia meninggalkan mimbar dengan langkah tetap tenang, pandangannya lurus menuju Istana. Sekali lagi, Ia melewati lorong koridor Istana, di antara tiang-tiang besar yang kokoh menjulang, Ia berhenti menyandarkan tubuhnya. Sendiri Ia terdiam, merenung, lalu menyeringai lebar. Sang Alima melanjutkan langkahnya, baru beberapa langkah, tiba-tiba Ia terbahak sambil melempar gulungan kertas kosong di tangannya ! Ia terus berjalan dengan tergelak !


Bekasi , 25 Maret 2017


Wednesday, March 22, 2017

Immanuel Kant 3 : Teori Moral


Teori moral Kant disusun disekitar gagasan bahwa untuk bertindak secara moral dan untuk bertindak sesuai dengan rasio adalah satu-dan-sama. Menurut Kant, manusia merupakan agen-rasional yaitu entitas yang memiliki substansi-rasional dan mampu menggunakannya untuk mencapai tujuan-tujuan-nya. Di dalam kebajikan manusia sebagai agen-rasional (yang berarti dalam kebajikan yang mengandung prinsip-rasional-praktis, dimana rasio ditarik dan diarahkan kepada tujuan-tertentu), seseorang wajib mengikuti aturan-aturan hukum-moral yang telah ditetapkan berdasar prinsip-rasional-praktis. Melakukan sebaliknya berarti bertindak tidak-rasional. Karena Kant menempatkan penekanannya pada kewajiban yang menyertai tindakan-tindakan manusia sebagai agen-rasional yang memiliki kesadaran-pengetahuan tentang hukum-moral, maka teori Kant dianggap sebagai bentuk deontologi. Kata 'deon' berasal dari bahasa Yunani yang berarti tugas atau kewajiban.

Seperti filsafat teoritisnya, filsafat praktis Kant adalah apriori, formal, dan universal. Hukum-moral diturunkan secara non-empiris dari bentuk struktur-rasional-praktis itu sendiri, dan karena semua agen-rasional termasuk manusia memiliki struktur-rasional-praktis yang sama maka hukum-moral mengikat dan mewajibkan dengan sama kepada semua-orang. Lalu, hukum-moral apakah yang mewajibkan secara universal dan apriori kepada semua-manusia sebagai agen-rasional ? Kant berpendapat hukum-moral ditentukan oleh apa yang disebut imperatif-kategoris, yaitu prinsip-umum yang menuntut seseorang untuk menghormati-kemanusiaan-dalam-dirinya-sendiri-dan-orang-lain, dimana seseorang tidak-membuat pengecualian untuk dirinya-sendiri ketika memutuskan bagaimana harus bertindak, dan secara umum seseorang hanya bertindak sesuai pada aturan yang setiap-orang mampu melakukan dan seharusnya mematuhinya.

Meskipun Kant menegaskan bahwa hukum-moral mengikat dengan sama kepada semua agen-rasional termasuk manusia, ia juga menegaskan bahwa keterikatan terhadap hukum-moral adalah melekat dengan sendirinya. Kita otomatis terikat aturan-aturan hukum-moral kepada diri kita sendiri. Karena Kant berpikir jenis otonomi yang dimaksud hanya mungkin terwujud di bawah pengandaian berdasar pilihan-moral yang bebas transendental, maka batasan hukum-moral yang diterapkan pada manusia sebagai agen-rasional tidak hanya konsisten dengan kehendak-bebas tetapi mensyaratkan adanya itu. Oleh karena itu, salah satu aspek yang paling penting dari proyek Kant adalah menunjukkan bahwa kita dibenarkan dalam mengandaikan bahwa pilihan-moral kita yang signifikan didasarkan pada kebebasan-transendental (kebebasan yang menurut pendapat Kant, kita tidak bisa membuktikan hanya secara teoritis belaka atau menggunakan alasan spekulatif (lihat 2gii di atas).

Bagian ini bertujuan untuk menjelaskan struktur-dan-isi dari teori-moral Kant (5a-b), dan juga pendapat Kant terhadap keyakinan bahwa kehendak-bebas, Tuhan, dan keabadian-jiwa adalah kepastian dari postulat-rasional-praktis (5c). (Pada hubungan antara teori-moral Kant dan teori estetika-nya, lihat 7c bawah.)


a. Niat Baik dan Kewajiban

Kant menjabarkan kasus mengenai teori-moral-nya dalam karyanya Groundwork for the Metaphysics of Morals (1785), Critique of Practical Reason yang juga dikenal sebagai Second Critique (1788), dan Metaphysics of Morals (1797). Argumen-nya yang diambil dari Groundwork for the Metaphysics of Morals adalah yang paling terkenal dan berpengaruh, sehingga uraian berikut ini berfokus terutama pada hal itu.

Kant memulai argumen-nya dari premis bahwa teori-moral harus didasarkan pada penjelasan mengenai pertanyaan 'Apa pengertian dari baik-tanpa-syarat'. Jika suatu hal disebut baik karena adanya-syarat tertentu (selanjutnya disebut baik-dengan-syarat), yaitu jika kebaikan-nya tergantung kepada hal-yang-lain, maka hal-yang-lain itu juga bisa merupakan hal yang baik-dengan-syarat (dalam kasus ini kebaikan-nya kembali tergantung pada hal-yang-lain lagi), atau hal-yang-lain itu merupakan hal yang baik-tanpa-syarat. Sehingga, semua kebaikan pada akhirnya harus dapat dilacak sampai kepada satu-hal yang baik-tanpa-syarat. Ada banyak hal yang biasa kita pikir sebagai sesuatu yang baik tetapi sesungguhnya bukanlah sesuatu yang benar-benar baik-tanpa-syarat. Sumber-sumber yang menguntungkan seperti uang-atau-kekuasaan sering kali dipandang sebagai sesuatu yang baik, tetapi karena dapat digunakan untuk tujuan-kejahatan, kebaikan-nya tergantung pada penggunaan-nya. Kekuatan-karakter umumnya merupakan hal yang baik, tetapi sekali lagi, jika seseorang menggunakan karakternya yang kuat agar berhasil melaksanakan rencana jahat-nya, maka karakter yang kuat menjadi hal yang tidak-baik juga. Bahkan menurut Kant, kebahagiaan bukanlah hal yang baik-tanpa-syarat. Walaupun semua manusia secara umum menginginkan untuk bahagia, jika seseorang bahagia tetapi tidak-layak menerima kebahagiaan itu, misalnya karena kebahagiaan itu berasal dari uang hasil curian milik seorang tua, maka adalah tidak-baik bagi seseorang untuk bahagia. Kebahagiaan hanya baik pada kondisi bahwa kebahagiaan itu layak-diterima.

Kant berpendapat bahwa hanya ada satu-hal yang bisa dianggap baik-tanpa-syarat yaitu niat-baik. Seseorang memiliki niat-baik sejauh membentuk tujuan-nya atas dasar kesadaran-diri untuk menghormati hukum-moral, yaitu menghormati aturan-aturan sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia sebagai agen-rasional. Ini yang kita kenal sebagai kewajiban seorang manusia. Nilai-kebaikan dari niat-baik terletak pada prinsip-prinsip-dasar yang membentuk tujuan-tindakan. Nilai-kebaikan tidak terletak pada konsekuensi-hasil-tindakan. Hal ini benar bahkan jika niat-baik tidak mengarah kepada konsekuensi-hasil-tindakan yang diinginkan 'bahkan jika niat-baik tidak memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan-nya, ia seperti permata, tetap bersinar dengan sendirinya. Sama seperti sesuatu yang memiliki-nilai-manfaat penuh dalam dirinya-sendiri.' (4: 393). Hal ini sejalan dengan penekanan Kant pada kebaikan-tanpa-syarat dalam niat-baik. Jika suatu niat dievaluasi berdasar konsekuensi-hasil-tindakan, maka kebaikan dari niat itu akan tergantung pada konsekuensi dari perbuatan yang dilakukan. Hal ini berarti niat akan dikondisikan sesuai dengan konsekuensi-hasil-perbuatan yaitu tujuan yang ingin dicapai. Dalam hal ini, deontologi Kant bertentangan sekali dengan teori-moral-konsekuensialis, yang mendasarkan evaluasi-moral mereka pada konsekuensi-dari-tindakan daripada niat yang ada di belakangnya.


b. Kategori-Imperatif

Jika niat-baik adalah salah-satu yang membentuk tujuan berdasar prinsip-prinsip tindakan yang benar, maka kita ingin mengetahui seperti apa prinsip-prinsip ini sesungguhnya. Sebuah prinsip yang memerintahkan untuk melakukan suatu tindakan disebut imperatif (keharusan). Kebanyakan imperatif adalah imperatif-hipotetis, yaitu perintah-perintah yang hanya dipatuhi ketika kondisi/syarat tertentu terpenuhi. Misalnya: 'jika anda ingin menjadi seorang pemilik-toko yang sukses, maka anda harus menumbuhkan reputasi-kejujuran'. Ini berarti anda bertindak jujur agar menjadi pemilik-toko yang sukses. Karena imperatif-hipotetis dikondisikan pada keinginan dan konsekuensi-hasil-tindakan, maka imperatif-hipotesis tidak-dapat berfungsi sebagai prinsip-prinsip untuk menentukan tujuan-dan-tindakan dari niat-baik yang baik-tanpa-syarat. Sebaliknya, kita membutuhkan apa yang disebut Kant imperatif-kategoris. Di mana imperatif-hipotetis mengambil bentuk, 'jika Y yang diinginkan/dimaksudkan/dicari, lakukan X', maka imperatif-kategoris hanya mengambil bentuk, 'lakukan X'. Karena imperatif-kategoris dilucuti dari semua hal yang mengacu pada konsekuensi-dari-tindakan, dengan demikian dibebaskan dari semua yang menjadi syarat dan oleh karena itu adalah murni-formal. Dan karena itu tanpa-syarat, maka berlaku universal. Oleh karena itu imperatif-kategoris menyatakan bentuk hukum yang mengikat secara universal. Kant mengatakan dalam kalimat 'Tidak ada yang tersisa kecuali kesesuaian tindakan dengan hukum-universal' (4: 402). Maka untuk bertindak secara moral, adalah untuk membentuk tujuan seseorang berdasar pada gagasan prinsip-prinsip universal dari tindakan.

Konsepsi imperatif-kategoris ini mengarahkan Kant kepada rumusan resmi pertama imperatif-kategoris itu sendiri 'Hanya bertindak sesuai dengan maxim yang dengan-nya pada saat yang sama tindakan sesuai dengan hukum-universal' (4: 421).

Dalam pengertian umum maxim adalah sebuah perangkat-bahasa berupa kalimat sederhana dan mudah diingat, kutipan atau aturan untuk mengambil tindakan dan menjalani hidup yang baik. Sederhananya, maxim merupakan pemikiran dengan nilai-nilai-moral yang bermaksud untuk memotivasi individu menjadi manusia bermoral. Maxim pada kenyataannya merupakan jenis perkataan, atau pernyataan singkat dari pikiran besar tentang kehidupan, terutama dengan singkat dan tegas.

Menurut Kant, sebuah maxim adalah aturan umum yang digunakan sebagai dasar untuk mengambil keputusan melakukan serangkaian tindakan tertentu dalam kondisi/syarat yang tertentu. Misal, 'Seseorang boleh berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'. Maxim itu dapat digunakan oleh seseorang untuk mengambil keputusan berkata-bohong berkaitan dengan hubungan perselingkuhan yang dilakukannya. imperatif-kategoris menawarkan prosedur untuk menentukan apakah serangkaian tindakan tertentu sesuai dengan hukum-moral atau tidak.

Setelah seseorang menentukan maxim apa yang menjadi dasar untuk tindakan yang sedang diuji kebenarannya, seseorang selanjutnya harus bertanya : apakah mungkin, bahwa semua-orang akan memilih tindakan yang sesuai dengan maxim itu. Jika jawabannya adalah mungkin, maka tindakan yang diuji secara moral dibenarkan. Sebaliknya jika jawabannya adalah tidak-mungkin maka tindakan itu secara moral tidak dibenarkan. Tindakan berbohong untuk menutupi perselingkuhan dengan demikian tidak-bermoral karena seseorang tidak-dapat berharap bahwa semua-orang akan bertindak sesuai dengan maxim, 'Seseorang boleh berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'. Perhatikan bahwa itu tidak hanya berarti semua-orang tidak akan memilih tindakan sesuai dengan maxim itu. Bahkan, adalah tidak-mungkin karena pasti ada yang memilih bertindak-jujur. Karena setiap orang mengetahui jika semua orang bertindak sesuai dengan maxim itu, maka tidak akan pernah ada pengandaian bahwa 'setiap orang harus bertindak-jujur'. Tindakan berbohong pada bagian kalimat 'Seseorang boleh berbohong', tentu saja memerlukan pengandaian seperti itu. Oleh karena itu, keadaan selingkuh di mana semua orang berbohong untuk keluar dari masalah tidak pernah bisa tercipta, sehingga maxim itu tidak-dapat dikehendaki menjadi hukum-universal dan gagal dalam ujian imperatif-kategoris.

Secara sederhana langkah-langkah yang dilakukan, digambarkan sebagai berikut :
1. Peristiwa
Saya berbohong dengan menutupi perselingkuhan agar saya keluar dari masalah.
2. Tindakan yang diuji
Apakah tindakan-berbohong yang saya lakukan dibenarkan berdasar hukum-moral ?
3. Menentukan maxim yang mejadi dasar tindakan-berbohong saya. Maxim itu adalah :
'Seseorang boleh-berbohong jika itu membuatnya keluar dari masalah'
4. Bertanya untuk menguji maxim sebagai hukum-universal
Apakah mungkin semua-orang memilih berbohong agar keluar dari masalah itu ?
5. Evaluasi jawaban
Jika jawabannya mungkin berarti tindakan-berbohong saya dibenarkan secara moral.
Jika jawabannya tidak-mungkin berarti tindakan-berbohong saya tidak dibenarkan secara moral.
Dalam contoh kasus ini, jawaban yang terakhir adalah yang benar.

Tujuan Kant selanjutnya meningkatkan rumusan hukum-universal imperatif-kategoris adalah untuk menunjukkan bahwa suatu tindakan secara moral dibenarkan, hanya jika maxim yang menjadi dasar-tindakan bisa diterima sebagai hukum-universal yang setiap orang mematuhinya tanpa kecuali. Maka tanda a-moralitas adalah seseorang membuat pengecualian-untuk-dirinya-sendiri. Artinya, seseorang bertindak dengan cara dimana tidak semua orang menghendakinya. Ketika seseorang memilih berbohong untuk menutupi hubungan perselingkuhannya, seseorang itu secara implisit sesungguhnya berpikir, 'aturan-moral secara umum menyatakan setiap-orang harus bertindak-jujur, tetapi dalam hal ini saya adalah pengecualian dari aturan itu".

Rumusan imperatif-kategoris pertama Kant menjelaskan dalam hal bentuk hukum-universal itu sendiri. Penjelasan resmi ini memisahkan dari konten bahwa hukum-moral dapat dimiliki manusia untuk bernafas, bertahan hidup dan menjalani hidupnya. Kant menawarkan rumusan kedua untuk mengatasi sisi-materi hukum-moral. Karena hukum-moral harus berkaitan dengan tindakan, dan semua-tindakan secara definisi adalah teleologis (yaitu, diarahkan pada tujuan), rumusan-materi imperatif-kategoris mensyaratkan untuk naik mencapai tujuan-akhir dari setiap aktivitas manusia. Beberapa tujuan hanyalah instrumental, yaitu mereka dicari hanya karena mereka berfungsi sebagai 'sarana/alat' untuk mencapai puncak-tujuan selanjutnya. Kant berpendapat bahwa hukum-noral harus ditujukan pada puncak yang tidak hanya instrumental, tetapi merupakan tujuan-dalam-dirinya-sendiri. Hanya agen-rasional, yang menurut Kant, merupakan tujuan-dalam-dirinya-sendiri. Bertindak secara moral berarti untuk menghormati agen-rasional sebagai tujuan itu sendiri. Dengan demikian, imperatif-kategoris dapat dirumuskan sebagai berikut 'Jadi bertindak yang menggunakan kemanusiaan, apakah di dalam pribadi sendiri atau di dalam orang lain, pada-saat-yang-sama selalu sebagai tujuan-akhir dan tidak-pernah hanya sebagai sarana/alat' (4: 429). Ide dasar di sini adalah bahwa tidaklah-bermoral untuk memperlakukan seseorang sebagai sesuatu yang hanya bernilai-sebagai-alat. Seseorang memiliki nilai-intrinsik (non-instrumental) yaitu nilai-kemanusiaan, dan hukum-moral menuntut kita menghormati nilai-intrinsik ini. Kembali ke contoh paragraf sebelumnya, adalah tidak dibenarkan untuk berbohong menutupi hubungan perselingkuhan karena dengan menahan kebenaran, seseorang memanipulasi-orang-lain dengan maksud segalanya lebih-mudah bagi dirinya-sendiri. Manipulasi semacam ini, bagaimanapun, adalah memperlakukan orang-lain sebagai sebuah benda-mati (sebagai sarana/alat semata untuk memperoleh kenyamanan agar tidak mendapatkan kesulitan), dan bukan sebagai pribadi yang layak-dihormati dan berhak akan kebenaran.

Gagasan hukum-universal memberikan bentuk imperatif-kategoris dan agen-rasional sebagai tujuan-akhir dalam dirinya-sendiri, hal ini kemudian memunculkan masalah. Kedua sisi imperatif-kategoris ini selanjutnya digabungkan menjadi rumusan-ketiga, yang meningkat menjadi gagasan tentang kerajaan-akhir. Sebuah kerajaan-akhir dapat dianggap sebagai sekumpulan gagasan-utopia yang sempurna di mana semua warga kerajaan ini dengan bebas menghormati nilai-intrinsik-kemanusiaan kepada semua yang lainnya karena otomatis melekat kepada dirinya-sendiri pengetahuan tentang keterikatan hukum-moral universal kepada semua agen-rasional. Formulasi yang ketiga dari imperatif-kategoris hanyalah gagasan bahwa seseorang bagaimanapun harus bertindak sebagai anggota dalam masyarakat-sempurna yang hanya bertindak dengan cara 'Bertindak sesuai dengan maxim yang merupakan anggota hukum-universal demi mencapai kerajaan-akhir' ( 4: 439). Gagasan tentang kerajaan-skhir adalah ideal (maka 'hanya-mungkin'). Meskipun manusia mungkin tidak akan pernah bisa mencapai keadaan-sempurna ini, setidaknya kita bisa berusaha untuk mendekati keadaan ini ke tingkatan yang lebih-tinggi lagi.


c. Postulat Rasional-Praktis

Postulat adalah pernyataan yang diterima sebagai benar tanpa-sendiri memiliki bukti-logis bagi kebenarannya (tanpa perlu membuktikan kebenarannya) dan digunakan untuk menurunkan pernyataan lain yang membentuk sistem analisis-logis atau logika empiris yang koheren.

Dalam karyanya Critique of Pure Reason, Kant berpendapat bahwa meskipun kita dengan telanjang dapat mengakui kemungkinan-logis, bahwa manusia memiliki kehendak-bebas, bahwa ada jiwa-yang-abadi, dan bahwa ada Tuhan, tetapi ia juga berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat memiliki pengetahuan yang positif mengenai hal-hal tersebut (lihat 2g di atas). Meskipun demikian, dalam tulisannya tentang etika, Kant kian mempersulit cerita ini. Dia berpendapat disamping ketidak-mungkinan teoritis pengetahuan mengenai hal-hal tersebut, kepercayaan terhadap hal-hal tersebut tetap merupakan prasyarat untuk melakukan tindakan-moral (dan untuk pengetahuan praktis pada umumnya). Dengan demikian, kebebasan, keabadian-jiwa dan Tuhan adalah postulat rasional-praktis. Pembahasan berikut terutama diambil dari karya Critique of Practical Reason.

Kita mulai dengan kebebasan. Kant berpendapat bahwa moralitas dan kewajiban yang menyertai-nya hanyalah mungkin jika manusia memiliki kehendak-bebas. Hal ini karena aturan-aturan hukum-universal yang ditetapkan dengan imperatif-kategoris mensyaratkan otonomi (autos=diri ; nomos=hukum). Untuk menjadi otonom adalah menjadi-bebas dari prinsip-prinsip dasar yang dimiliki dalam diri seseorang, atau bebas dari hukum-tindakan. Kant berpendapat bahwa jika kita mengandaikan bahwa manusia adalah rasional dan memiliki kehendak-bebas, maka seluruh teori-moral akan mengikuti secara langsung. Meskipun demikian, masalahnya terletak pada penilaian kebenaran terhadap 'keyakinan bahwa kita benar-benar bebas'. Dalam karyanya Analogies Of Experience, Kant berpendapat bahwa setiap peristiwa di dunia alam ini memiliki 'dasar-yang-pasti', yaitu penyebabnya sehingga semua perbuatan manusia sebagai peristiwa yang terjadi di dunia alam, dengan sendirinya memiliki penyebab yang pasti (lihat 2f di atas). Oleh karena itu, satu-satunya ruang untuk kehendak-bebas terletak dalam ranah dunia benda-dalam-dirinya-sendiri, yang berisi korelasi antara nomenal dengan fenomena diri saya. Karena benda-dalam-dirinya-sendiri tidak dapat diketahui, maka saya tidak pernah mencarinya untuk memperoleh bukti bahwa saya memiliki kebebasan-transendental. Kant memberikan setidaknya dua argumen untuk membenarkan 'keyakinan-akan-kebebasan' sebagai prasyarat teori-moralnya. (Ada banyak kontroversi diantara para pengamat mengenai bentuk yang tepat dari argumen Kant, serta keberhasilan-nya. Tetapi tidak akan mungkin untuk mengadili sengketa mereka secara rinci di sini. Lihat Bagian 10 (Referensi dan Bacaan lebih lanjut) untuk referensi beberapa komentar-komentar ini.)

Dalam karyanya Groundwork for the Metaphysics of Moral, Kant menunjukkan bahwa prasyarat kita bebas merupakan konsekuensi yang mengikuti kenyataan bahwa kita memiliki prinsip-rasional-praktis dan kita menganggap diri kita sendiri sebagai agen-praktis. Setiap kali saya menghadapi pilihan yang memerlukan pengambilan-keputusan, saya harus meninjau pilihan-pilihan yang ada dihadapan saya sebagai sesuatu yang benar-benar terbuka. Jika saya berpikir rangkaian-tindakan-saya telah ditentukan sebelumnya, maka sesungguhnya tidak-akan-ada-pilihan yang benar-benar dibuat oleh saya. Selanjutnya, untuk membawa keputusan saya menjadi nyata, saya juga berpikir hasil dari tindakan yang saya lakukan sebagai 'sesuatu yang disebabkan oleh saya'. Gagasan kausalitas yang berasal diri-sendiri adalah gagasan tentang kehendak-bebas. Jadi fakta saya mengambil keputusan terhadap 'tindakan-apa' yang saya lakukan berarti saya mengandaikan bahwa pilihan-saya adalah nyata dan karenanya saya-bebas. Seperti Kant menyatakan, dalam kalimat 'Semua agen praktis bertindak di bawah ide-kebebasan' (4: 448). Adalah tidak jelas bahwa argumen ini cukup kuat untuk tujuan Kant. Karena posisinya menjadi tampak seperti saya harus bertindak seolah-olah saya-bebas, tetapi bertindak seolah-olah saya-bebas sama sekali tidak-berarti bahwa saya benar-benar bebas. Pengertian paling-baik adalah karena saya-bertindak seolah-olah saya bebas, maka saya harus-bertindak seolah-olah moralitas benar-benar mewajibkan-saya untuk melakukan suatu tindakan. Ini berarti tidak menyatakan bahwa hukum-moral benar-benar menyebabkan saya melakukan suatu tindakan tetapi tindakan yang saya lakukan adalah satu-pilihan-bebas dari beberapa tindakan yang mungkin dilakukan.

Dalam Critique of Practical Reason, Kant menawarkan argumen yang berbeda untuk realitas-kebebasan. Dia berpendapat bahwa itu adalah sebuah fakta-rasional yang kasar (5:31) bahwa imperatif-kategoris (dan juga moralitas secara umum) mewajibkan kita sebagai agen-rasional (manusia). Dengan kata lain, semua agen-rasional termasuk manusia setidaknya menyadari secara implisit adanya keterikatan hukum-moral pada kita. Karena moralitas mensyaratkan kebebasan, maka selanjutnya jika moralitas adalah nyata, maka kebebasan juga harus nyata. Jadi fakta-rasional ini mengijinkan kita untuk mengambil kesimpulan terhadap adanya realitas-kebebasan. Meskipun kesimpulan argumen ini lebih kuat dari argumen sebelumnya, tetapi merupakan premis yang lebih kontroversial. Misalnya, sangat jelas bahwa semua agen-rasional menyadari hukum-moral. Jika memang begitu, mengapa tidak-ada seorang pun yang menemukan hukum-moral yang pasti sebelum 1785 ketika Kant menulis Groundwork for the Metaphysics of Moral ? Sama bermasalahnya adalah tidak jelas mengapa fakta-rasional harus dijelaskan sebagai pengetahuan tentang keterikatan pada hukum-moral. Mungkin saja bahwa kita, tidak bisa tidak-percaya bahwa hukum-moral mewajibkan kita, dalam hal ini, kita sekali lagi hanya bertindak seolah-olah kita-bebas dan seolah-olah hukum-moral adalah nyata.

Sekali lagi, ada banyak perdebatan dalam literatur tentang struktur dan keberhasilan argumen Kant. Bagaimanapun adalah jelas, bahwa keberhasilan proyek moral Kant berdiri atau jatuh bergantung pada argumen untuk menjelaskan kehendak-bebas, dan bahwa kekuatan keseluruhan-teori ini ditentukan oleh tingginya tingkat status-epistemik dari keyakinan kita terhadap kebebasan-kita-sendiri .

Argumen Kant untuk keabadian-jiwa dan Tuhan sebagai postulat-rasional-praktis mensyaratkan bahwa realitas hukum-moral dan kehendak-bebas telah ditetapkan, dan keduanya juga bergantung pada prinsip bahwa 'harus berarti-juga dapat'. Seseorang tidak bisa diwajibkan untuk melakukan sesuatu kecuali hal tersebut dapat/bisa/mampu dilakukan. Misalnya, tidak masuk-akal di mana saya diwajibkan untuk memecahkan masalah kemiskinan-global sendirian, karena hal itu di luar kemampuan saya untuk melakukannya. Menurut Kant, tujuan-akhir dari rasional-moral agen seharusnya menjadi moral-yang-sempurna. Kita wajib berusaha untuk menjadi lebih-bermoral. Sesuai prinsip 'harus berarti-juga dapat', jika kita harus berusaha mencapai kesempurnaan-moral, maka tujuan kesempurnaan-moral harus mungkin dapat dicapai dan kita bisa/mampu menjadi sempurna. Namun, Kant menyatakan bahwa kesempurnaan-moral adalah sesuatu yang membatasi agen-rasional seperti manusia yang hanya dapat bergerak (berkembang) ke arah kesempurnaan-moral, karena manusia tidak benar-benar mencapai kesempurnaan dalam rentang waktu yang terbatas, dan tentu saja tidak dalam satu masa hidup manusia. Dengan demikian hukum-moral menuntut manusia 'terus bergerak maju tanpa henti (endless progress)' menuju 'kesesuaian yang sempurna antara kehendak dengan hukum-moral' (5: 122). 'terus bergerak maju tanpa-henti' menuju kesempurnaan hanya dapat dituntut dari manusia jika keberadaan (eksistensi) manusia sendiri tak-terbatas (tak-ada-habisnya). Singkatnya, keyakinan bahwa seseorang harus berjuang menuju kesempurnaan-moral mensyaratkan kepercayaan pada keabadian-jiwa.

Selain prinsip 'harus berarti-juga dapat', argumen Kant tentang kepercayaan pada Tuhan juga melibatkan elaborasi dengan gagasan 'kebaikan-tertinggi' yang semua tindakan-moral menuju kepada-Nya (setidaknya secara tidak-langsung). Menurut Kant, kebaikan-tertinggi adalah keadaan-sempurna yang paling mungkin bagi sebuah komunitas agen-rasional, di dalamnya tidak hanya semua agen-rasional bertindak-sempurna sesuai dengan hukum-moral. Tetapi juga keadaan di mana semua agen-rasional bahagia. Kant berpendapat bahwa meskipun semua orang secara alami mempunyai keinginan untuk menjadi-bahagia, kebahagiaan hanya baik ketika seseorang layak untuk menerima kebahagiaan itu. Dalam skenario yang ideal dalam komunitas moral yang sempurna dari agen-rasional, setiap orang layak menjadi bahagia. Karena kebahagiaan yang layak adalah hal yang baik, niat-baik-tertinggi terlibat dalam situasi di mana setiap orang bertindak sempurna sesuai dengan hukum-moral dan semua orang benar-benar bahagia karena mereka layak menerimanya. Sekarang karena kita diwajibkan berusaha untuk mencapai kebaikan-tertinggi, suatu hal yang sempurna-dan-universal, dibenarkan secara moral bahwa kebahagiaan harus mungkin (sekali lagi, karena 'harus-berarti-bisa'). Di sinilah sebuah teka-teki muncul. Meskipun kebahagiaan terhubung dengan moralitas pada tingkat konseptual ketika seseorang layak untuk bahagia, disana tidak ada hubungan alami antara moralitas dan kebahagiaan. Kebahagiaan kita tergantung pada dunia-alam (misalnya, apakah kita sehat, apakah bencana alam mempengaruhi kita), dan dunia alam beroperasi sesuai dengan hukum-alam yang benar-benar terpisah dari hukum-moralitas. Dengan demikian, bertindak secara moral secara umum tidak menjamin bahwa dunia-alam akan memungkinkan seseorang untuk menjadi bahagia. Jika ada, berperilaku moral yang seringkali mengurangi kebahagiaan seseorang (untuk melakukan hal yang benar seringkali melibatkan hal-hal yang tidak-nyaman atau sulit dilakukan). Dan kita semua memiliki banyak bukti empiris dalam dunia-alam dimana kita hidup, bahwa hal-hal yang buruk sering terjadi pada orang baik dan hal-hal baik terjadi pada orang jahat. Jadi jika kebaikan-tertinggi (di mana kebahagiaan proporsional dengan kebajikan) adalah mungkin, maka kemudian entah bagaimana caranya harus ada jalan bagi hukum-alam untuk akhirnya mengarah kepada situasi dimana kebahagiaan proporsional dengan kebajikan. (Perhatikan bahwa karena pada titik ini dalam argumen, Kant membawa dirinya untuk menetapkan keabadian sebagai postulat rasional-praktis, ini 'pada-akhirnya' sangat baik ketika berada jauh di masa-depan). Karena hukum-alam dan hukum-moralitas benar-benar saling terpisah, satu-satunya cara keduanya bisa menjadi bersama-sama sebagai kebahagiaan yang berakhir proporsional dengan kebajikan akan terwujud jika penyebab utama-dan-dasar alam mengatur sedemikian rupa sehingga hukum-alam pada akhirnya mengarah pada keadaan-sempurna. Oleh karena itu, kemungkinan kebaikan-tertinggi memerlukan prasyarat bahwa penyebab dunia adalah rasional dan cukup-kuat demi mengatur alam dengan cara yang benar, dan juga itu menghendaki sesuai dengan prinsip keadilan agar pada akhirnya hukum-alam akan menyebabkan terwujudnya keadaan dimana kebahagiaan agen-rasional proporsional dengan kebajikan mereka. Penyebab yang rasional, kuat, dan penyebab satu-satunya alam ini adalah apa yang secara tradisional berjalan dengan nama Tuhan. Oleh karena itu Tuhan adalah postulat rasional-praktis.


Sumber :
http://www.iep.utm.edu/kantview/#H2
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 8 Maret 2017


Friday, March 10, 2017

Lalu


Gerimis, remang, petang
Ke sana, lambaimu menghilang

Labuh, menjauh, lalu tenggelam
Derap angin, menapak muram

Lama, sendiri merasamu
Sepi di sini, merabamu

Pelan, tetes-tetes menggenang
Berkaca-kaca, terbuang malam

Ini perih menitik dada
Nyenyeh, leleh, luka itu

Melepuh, menelan segala indahmu
Diam terjatuh, lalu bersimpuh

Terbenam, hening, mengatup diri
Meresap, pengap, menyusup hati

Senyum kini, mengepak pergi
Lalu, kapan rupa peri kembali ?


Bekasi, 11 Maret 2017


Wednesday, March 8, 2017

Immanuel Kant 2 : Metafisika dan Epistemologi


Metafisika dan Epistemologi


Unsur paling penting dalam filosofi metafisika dan epistemologi Kant adalah doktrin idealisme-transendental, yang dibahas secara penuh dalam karyanya Critique of Pure Reason (1781-1787).

Idealisme-transendental adalah tesis bahwa dunia-empiris yang kita alami (dunia fenomena/penampakan) harus dibedakan dengan dunia-benda-dalam-dirinya-sendiri (dunia-nomena).

Aspek yang paling signifikan dari perbedaan ini adalah bahwa sementara dunia-empiris ada di dalam ruang-dan-waktu, dunia-benda-dalam-dirinya-sendiri tidak spasial maupun temporal.

Idealisme-transendental memiliki konsekuensi yang luas. Di sisi positif, teori idealisme-tansendental Kant mengikuti realisme-empiris yang memandang manusia memiliki akses pengetahuan secara langsung terhadap alam-fisik, dan bahkan dapat memiliki pengetahuan-apriori mengenai sifat/fitur dasar benda-benda yang dapat dialami. Di sisi negatif, Kant berpendapat bahwa kita tidak dapat memiliki pengetahuan tentang benda-dalam-dirinya-sendiri.

Lebih jauh lagi, karena metafisika-tradisional membahas tentang benda-dalam-dirinya-sendiri, jawaban atas pertanyaan metafisika-tradisional misalnya, mengenai Tuhan atau kehendak-bebas, tidak pernah bisa dijawab oleh pikiran manusia.

Bagian ini membahas perkembangan metafisika dan epistemologi Kant dan kemudian merangkum argumen yang paling penting dan kesimpulan dari teori Kant.

a. Pemikiran Periode Pra-Kritis

Critique of Pure Reason, karya yang mengubah arah filsafat barat, ditulis oleh seorang pria yang sudah berada jauh dari puncak karirnya. Berbeda dengan periode berikutnya masa-kritis Kant, output filosofis periode-awal Kant sepenuhnya terperangkap dalam tradisi-rasionalis Jerman, yang pada saat itu didominasi oleh tulisan-tulisan Gottfried Leibniz (1646-1716) dan Christian Wolff (1679-1754). Namun demikian, banyak dari perhatian Kant selama periode era-kritis menyiapkan aspek penting dari pemikiran matang Kant.
Karya filosofis murni Kant pertama adalah New Elucidation of the First Principles of Metaphysical Cognition (1755).

Bagian pertama dari esai panjang ini, menyajikan kritik dan revisi terhadap pemahaman Wolffian terhadap prinsip-prinsip dasar metafisika, terutama prinsip-identitas (apa-pun yang ada adalah ada, dan apa-pun yang tidak-ada, adalah tidak-ada), prinsip-kontradiksi (tidak-ada sesuatu yang sekaligus ada dan tidak-ada), dan prinsip-alasan-yang-memadai (tidak-ada yang benar tanpa alasan mengapa itu benar).

Pada bagian akhir, Kant membela dua prinsip asli metafisika. Menurut prinsip-suksesi semua perubahan pada benda mensyaratkan interaksi-timbal-balik antara substansi yang berbeda. Prinsip ini adalah analog metafisik dari prinsip Newton aksi-dan-reaksi, dan hal itu menyiapkan argumen Kant dalam Third Analogy of Experience pada karya Critique of Pure Reason (lihat 2f di bawah).

Menurut prinsip-koeksistensi beberapa substansi hanya dapat dikatakan berada bersama dalam satu dunia yang sama jika kesatuan dunia itu didasarkan pada intelek/akal Tuhan. Meskipun Kant kemudian berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat memiliki kognisi-metafisik semacam ini misal hubungan antara Tuhan dan dunia (setidaknya karena kita tidak-bisa tahu bahwa Tuhan itu ada), Kant tetap terus sibuk untuk menjawab pertanyaan bagaimana beberapa substansi yang berbeda dapat menyusun satu-dunia yang manunggal.

Dalam Physical Monadology (1756), Kant mencoba untuk memberikan penjelasan metafisik mengenai unsur dasar penyusun substansi-materi yang disebut monad.

Leibniz dan Wolff telah menyatakan bahwa monad adalah suatu yang sederhana, substansi-atom yang membentuk materi. Kant mengikuti Wolff menolak pendapat Leibniz bahwa monad adalah substansi-pikiran (mindlike) dan bahwa mereka tidak berinteraksi satu sama lain.

Aspek yang baru dalam penjelasan Kant terletak dalam pendapatnya bahwa setiap monad memiliki gaya tarik-menarik dan tolak-menolak, dan bahwa monad mengisi volume-ruang yang terbatas karena adanya interaksi antara monad ketika monad saling menekan satu sama lain dengan gaya tolak-menolak mereka yang saling berlawanan.

Tiga puluh tahun kemudian, dalam karyanya Metaphysical Foundations of Natural Science (1786), Kant akan mengembangkan teori-materi yang harus dipahami dalam interaksi gaya tarik-menarik dan tolak-menolak.

Perbedaan utama antara pandangan periode masa-kritis dan pra-kritis adalah pada periode masa-kritis, Kant sama sekali tidak lagi tertarik membahas monad, atau substansi-paling-sederhana ( idealisme-transendental mengeluarkan syarat bahwa substansi-sederhana adalah penyusun-materi, lihat 2gii bawah ).

Publikasi terakhir karya Kant pada periode pra-kritis adalah On the Form and Principles of the Sensible and the Intelligible World, juga disebut sebagai Inaugural Dissertation (1770), karena karya itu menandai penunjukkan Kant sebagai profesor logika dan metafisika di Universitas Königsberg.

Meskipun Kant belum memiliki wawasan akhir yang krusial tetapi hal itu mengarah pada pengembangan teori idealisme-transendental, banyak elemen penting dari metafisika-matang Kant mulai terbentuk di sini.

Dua aspek utama dalam karya Inaugural Dissertation yang perlu diperhatikan adalah :

Pertama, terlepas dari pendahulunya, Kant membedakan dua-fakultas-fundamental-pikiran yaitu :

Fakultas-sensibility, yang merepresentasikan dunia melalui intuisi-intuisi tunggal dan
Fakultas-understanding, yang merepresentasikan dunia melalui konsep-konsep umum.

Dalam Inaugural Dissertation, Kant berpendapat bahwa Fakultas-sensibility merupakan representasi dunia-indrawi dari fenomena sementara fakultas- understanding merupakan representasi dunia yang dimengerti dari nomena.

Periode masa-kritis Kant akan menyangkal bahwa kita dapat memiliki pengetahuan yang pasti dari nomena, dan bahwa pengetahuan tentang fenomena membutuhkan kerjasama antara fakultas-sensibility dan fakultas-understanding.

Kedua, dalam menggambarkan bentuk dunia indrawi, Kant berpendapat bahwa ruang-dan-waktu adalah bukan sesuatu yang objektif-dan-nyata tetapi subjektif-dan-ideal (2: 403). Pendapat bahwa ruang-dan-waktu hanya berkaitan dengan penampakan-benda-benda saja, dan tidak dengan benda-dalam-dirinya-sendiri, menjadi salah satu tesis sentral idealisme-transendental yang matang dari Kant.

b. Dogma Yang Menidurkan, Sintesa Pengetahuan Apriori, dan Loncatan Copernicus

Meskipun Kant pada periode awal menunjukkan kehendak sungguh-sungguh untuk tidak-sepakat dengan banyak aspek penting dari pandangan ortodoksi Wolffian tentang waktu, Kant menerima begitu saja asumsi dasar kaum-rasionalis bahwa kognisi-metafisik adalah mungkin.

Dalam pernyataan retrospektif Prolegomena to Any Future Metaphysics (1783), Kant mengatakan bahwa sikap percayanya pada asumsi-rasionalis ini diguncang oleh pendapat David Hume (1711-1776), yang bersikap skeptis terhadap kemungkinan pengetahuan tentang hubungan-yang-pasti antara sebab-dan-akibat, telah menyadarkan Kant dari dogma-yang-menidurkan.

Hume berpendapat kita tidak-akan-pernah memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan-sebab-dan-akibat karena pengetahuan tersebut tidak dapat diberikan melalui indera, atau diturunkan secara apriori sebagai kebenaran-konseptual.

Kant menyadari bahwa masalah Hume adalah sesuatu yang serius karena sikap skeptis terhadap pengetahuan-yang-pasti tentang hubungan antara sebab-dan-akibat sudah digeneralisasikan kepada semua pengetahuan-metafisik yang berkaitan dengan kepastian, bukan hanya hukum sebab-akibat secara khusus. Sebagai contoh, adanya pertanyaan mengapa kebenaran matematika pasti benar di dunia fisik, atau apakah kita bisa mengetahui bahwa Tuhan pasti ada.

Solusi Kant untuk skeptisisme-Hume, yang akan membentuk dasar dari filsafat kritis, adalah dua sisi mata uang. Bagian pertama dari solusi Kant adalah setuju dengan Hume bahwa pengetahuan-metafisik (seperti pengetahuan tentang hubungan sebab-akibat) tidak dapat diperoleh melalui indera, juga tidak dapat diketahui secara apriori melalui analisis-konseptual.

Meskipun demikian, Kant berpendapat, bahwa ada semacam pengetahuan ketiga yang bersifat apriori, namun tidak-hanya diketahui dengan analisis-konseptual. Dia menyebut hal ini sebagai sintesa-pengetahuan-apriori.

Di mana penilaian-analitik dibenarkan oleh hubungan-semantik antara konsep-konsep yang disebutkan (misalnya, semua bujangan tidak menikah), penilaian-sintetik dibenarkan oleh kesesuaiannya dengan objek yang dideskripsikan mereka (misalnya, bola ini di sini adalah merah).

Kesulitan yang ditimbulkan oleh gagasan sintesa-pengetahuan-apriori adalah adanya keharusan objek untuk diprensentasikan dalam pikiran, tetapi tidak diberikan melalui pengalaman indrawi.

Bagian kedua dari solusi Kant menjelaskan bagaimana sintesa-pengetahuan-apriori adalah mungkin. Dia menjelaskan wawasan-kunci masalah ini sebagai loncatan-Copernican pada pemikirannya tentang hubungan epistemik antara pikiran-dan-dunia.

Copernicus telah menyadari bahwa hanyalah penampakan semu (seolah-olah) matahari dan bintang-bintang berputar di sekitar kita, dan bahwa kita bisa memiliki pengetahuan tentang bagaimana sistem-tata-surya sesungguhnya bergerak jika kita menerima penjelasan-fakta bahwa langit terlihat berjalan karena kita sebagai penerima objek-pengetahuan adalah bergerak.

Analogi, Kant menyadari bahwa kita harus menolak keyakinan bahwa benda-benda yang menampakan-diri adalah sama dengan hal-hal dalam-benda-itu-sendiri. Selanjutnya, ia berpendapat bahwa objek-pengetahuan hanyalah mengenai penampakan-dari-benda-benda, dan bukan pengetahuan tentang hal-hal dalam-benda-itu-sendiri.

Membawa pendekatan baru ini ke wilayah metafisika dan epistemologi, Kant berpendapat bahwa kita harus menyelidiki struktur-paling-dasar dari pengalaman (yaitu, struktur bagaimana cara benda-benda menampakan diri kepada kita), karena struktur-dasar pengalaman akan tepat bersinggungan dengan struktur-dasar benda-benda yang dialami.

Dengan kata lain, hanya mungkin memiliki pengalaman sebuah objek jika objek tersebut sesuai dengan kondisi-kondisi-pengalaman, maka mengetahui kondisi-kondisi-pengalaman akan memberikan kita pengetahuan mengenai setiap objek-pengalaman yang mungkin. Inilah yang pada kenyataannya disebut sintesa-pengetahuan-apriori.

Kant mengatasi skeptisisme-Hume dengan menunjukkan bahwa kita dapat memiliki sintesa-pengetahuan-apriori sebuah benda secara umum jika kita membawanya sebagai objek penyelidikan dalam bentuk objek-pengalaman yang mungkin. Critique of Pure Reason adalah upaya untuk bekerja melalui semua detail penting dari strategi filosofis dasar ini.

c. Fakultas Kognitif dan Representasinya

Teori Kant tentang pikiran disusun melalui penjelasannya di sekitar kemampuan-pikiran untuk mengetahui, inilah yang disebut fakultas-kognitif.

Salah satu inti pendapat Kant adalah bahwa kapasitas-kognitif-pikiran tergantung pada dua-fakultas-dasar yang secara fundamental berbeda.

Pertama adalah fakultas-sensibility, merupakan fakultas-pasif karena tugasnya adalah menerima-representasi dari objek-dunia-luar melalui indera. Melalui fakultas-sensibility, objek-dunia-luar 'diberikan' kepada pikiran.

Kedua, ada fakultas-understanding yang merupakan fakultas-aktif dengan tugasnya 'berpikir' yaitu untuk menerapkan konsep-konsep pada objek-pikiran yang telah 'diberikan' melalui fakultas-sensibility.

Jenis paling dasar dari representasi pada fakultas-sensibility adalah apa yang disebut Kant sebagai intuisi.

Sebuah intuisi adalah representasi yang mengacu langsung ke objek-individual-tunggal. Ada dua jenis intuisi.

Intuisi-murni adalah representasi apriori ruang-dan-waktu itu sendiri (lihat 2D1 bawah).

Intuisi-empiris adalah suatu representasi posteriori yang merujuk ke objek-spesifik yang dialami dalam dunia-fisik.

Selain memiliki bentuk spasio-temporal, intuisi-empiris juga melibatkan sensasi, yang disebut Kant sebagai matter (materi) dari intuisi dan pengalaman pada umumnya. (tanpa sensasi, pikiran tidak pernah bisa memiliki pemikiran tentang hal-hal yang nyata, tetapi hanya hal-hal yang mungkin saja.)

Kita memiliki baik intuisi-empiris dari objek di dunia-fisik (intuisi-luar) juga objek di dalam pikiran kita sendiri (intuisi-dalam).

Jenis representasi paling dasar dari fakultas-understanding adalah konsep.

Tidak seperti intuisi, konsep adalah representasi yang umumnya mengacu pada banyak-objek. (Misalnya, konsep 'kucing' dengan sendirinya mengacu pada semua-kucing, tetapi tidak untuk satu-ekor-kucing tertentu).

Konsep hanya merujuk ke objek secara tidak-langsung karena mereka bergantung pada intuisi untuk mereferensi ke objek tertentu. Seperti intuisi, ada dua tipe dasar konsep.

Konsep-murni adalah representasi apriori yang membangun karakter struktur-logika yang paling-dasar dari pikiran. Kant menyebut konsep-konsep ini sebagai kategori.

Konsep-empiris adalah representasi posteriori, dan mereka terbentuk atas dasar pengalaman indrawi dengan dunia-nyata.

Konsep-konsep dikombinasikan/digabungkan oleh fakultas-understanding menjadi penilaian yang merupakan unit-terkecil dari pengetahuan.

Saya hanya dapat memiliki kognisi penuh suatu obyek di dunia nyata setelah saya :

Pertama, memiliki intuisi-empiris dari objek pengetahuan tersebut.

Kedua, objek dikonseptualisasikan melalui beberapa cara.

Dan ketiga, membentuk konsep dari objek yang ber-intuisi menjadi penilaian.

Ini berarti bahwa keduanya fakultas-sensibility dan fakultas-understanding harus bekerja sama agar pengetahuan menjadi mungkin.

Seperti Kant mengungkapkan hal itu :

" Pikiran tanpa isi adalah kosong, intuisi tanpa konsep adalah buta " (A51 / B75).

Selain dua-fakultas di atas, ada dua-fakultas-kognitif penting lainnya yang harus disebutkan.

Yang pertama adalah fakultas-imajinasi-transendental, yang berfungsi memediasi/menghubungkan antara fakultas-sensibility dan fakultas-understanding. Kant menyebut fakultas ini buta karena kita tidak memiliki akses-introspektif untuk mengetahui operasinya. Tetapi Kant mengatakan bahwa setidaknya kita bisa tahu bahwa ia bertanggung jawab untuk membentuk intuisi sedemikian rupa sehingga mungkin bagi fakultas-understanding untuk menerapkan konsep-konsep pada intuisi.

Yang lain adalah fakultas-reason, yang beroperasi dengan cara yang mirip dengan fakultas-understanding, tetapi beroperasi secara independen dari indera. Sementara fakultas-understanding menggabungkan data dari indera menjadi penilaian, fakultas-reason menggabungkan penilaian-penilaian fakultas-understanding secara bersama-sama menjadi sesuatu yang koheren, terpadu, manunggal, dan seluruhnya sistematis. Fakultas-reason tidak puas hanya dengan komponen data-data pengetahuan yang terputus-putus. Fakultas-reason menghendaki semua pengetahuan membentuk suatu sistem-pengetahuan. Fakultas-reason ini juga merupakan fakultas yang bertanggung jawab untuk ilusi-metafisika-transenden (lihat 2g bawah).

d. Idealisme Transendental

Idealisme-transendental adalah teori mengenai hubungan antara pikiran dan objeknya. Tiga tesis dasar yang menyusun teori ini :

Pertama, ada perbedaan antara penampakan-benda (hal-hal yang sesuai dengan penampakan suatu benda oleh indra) dan benda-dalam-dirinya-sendiri.

Kedua, ruang-dan-waktu adalah apriori, suatu kondisi-subjektif terhadap kemungkinan adanya pengalaman, dan karenanya hanya berhubungan dengan penampakan-benda, tidak dengan benda-dalam-dirinya-sendiri.

Ketiga, kita dapat memiliki pengetahuan (kognisi) hanya pada benda-benda yang bisa kita alami, oleh karena itu pengetahuan hanya mengenai penampakan-dari-benda-benda, bukan pengetahuan tentang benda-dalam-dirinya-sendiri.

Jalan cepat memahami istilah idealisme-transendental adalah dengan memahami secara berurutan dari masing-masing istilah tersebut.

Kant biasanya menggunakan istilah transendental ketika ia menekankan bahwa sesuatu merupakan kondisi-kondisi terhadap kemungkinan adanya pengalaman. Jadi misalnya, bab berjudul Trancendental Analytic Of Conceps membahas konsep-konsep yang tanpanya kognisi dari suatu objek tidak mungkin didapat.

Kant menggunakan istilah idealisme untuk menunjukkan bahwa objek-objek-pengalaman adalah bergantung pada pikiran (meskipun arti yang tepat untuk bergantung pada pikiran adalah kontroversial lihat 2D2 bawah). Oleh karena itu, idealisme-transendental adalah teori yang menyatakan suatu kondisi-kondisi terhadap kemungkinan adanya pengalaman di mana objek-pengalaman bergantung pada pikiran.

i. Idealitas Ruang dan Waktu

Kant berpendapat bahwa ruang-dan-waktu adalah apriori, yaitu kondisi-kondisi-subjektif terhadap kemungkinan adanya pengalaman, oleh karena itu adalah transendental-ideal.

Kant mendasarkan perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri pada realisasi, bahwa sebagai sebuah kondisi-kondisi-subjektif terhadap adanya pengalaman, ruang-dan-waktu hanya bisa mencirikan hal-hal sesuai dengan penampakan-benda, tidak seperti benda-dalam-dirinya-sendiri.

Selanjutnya, pendapat bahwa kita hanya dapat mengetahui penampakan-dari-benda (tidak benda-dalam-dirinya-sendiri) merupakan konsekuensi dari pendapat bahwa kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang sesuai dengan kondisi-kondisi adanya pengalaman, dan bahwa hanya penampakan spasio-temporal yang sesuai dengan kondisi-kondisi ini.

Untuk menyampaikan pendapat radikal yang penting dan sistematis ini, apa argumen Kant untuk itu ? Berikut adalah beberapa argumen Kant yang paling penting untuk tesisnya.

Satu argumen berkaitan dengan hubungan antara sensasi-sensasi dan ruang. Kant berpendapat bahwa sensasi pada dirinya sendiri tidak spasial, tetapi sensasi (atau bisa dibilang suatu objek yang sensasi mengacu padanya) direpresentasikan dalam ruang, 'di luar dan di dekat satu sama lain' (A23 / B34). Oleh karena itu, kemampuan untuk merasakan objek di dalam ruang mengandaikan apriori representasi ruang, yang kemudian dapat berarti ruang hanyalah ideal, oleh karena itu bukan sifat/properti benda dalam dirinya sendiri.

Argumen lain yang disampaikan Kant berulang kali selama periode kritis adalah argumen-geometri. Argumen itu terdiri dari dua premis.

Pertama, bahwa kebenaran-geometri adalah pasti-benar, dengan demikian merupakan kebenaran apriori.

Kedua, bahwa kebenaran-geometri adalah sintesa (karena kebenaran ini tidak dapat diturunkan melalui analisis makna dari konsep-konsep geometri). Jika geometri, yang merupakan studi tentang struktur ruang, adalah sintesa apriori, maka objek itu yaitu ruang hanyalah representasi apriori dan bukan representasi yang berkaitan dengan benda-dalam-dirinya-sendiri. (Teori Kant kognisi matematika dibahas lebih lanjut dalam 3b bawah)

Banyak pengamat berpendapat argumen ini kurang memuaskan karena bergantung pada asumsi yang masih dipertanyakan bahwa, jika representasi dari ruang-dan-waktu apriori maka di sana tidak ada representasi sifat benda-dalam-dirinya-sendiri.
" Mengapa tidak bisa keduanya ? "

Argumen kuat muncul dalam diskusi Kant dalam karyanya The First and Second Antinomies of Pure Reason (dibahas di bawah, 2G2). Kant berpendapat bahwa jika ruang-dan-waktu adalah hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri atau bahkan sifat dari hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri, maka kita bisa membuktikan bahwa ruang-dan-waktu adalah sangat besar tak-terbatas sekaligus terbatas, dan bahwa materi dalam ruang bisa sekaligus tidak-bisa dibagi sampai tak-berhingga. Dengan kata lain, asumsi bahwa ruang-dan-waktu bukanlah transendental-ideal tetapi transendetal-nyata mengarah pada kontradiksi, dan dengan demikian ruang-dan-waktu harus transendental-ideal.

ii. Penampakan Benda dan Benda-Dalam-Dirinya-Sendiri

Bagaimana Kant membedakan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri seharusnya dipahami sebagai salah satu topik yang paling kontroversial dalam literatur. Ini adalah pertanyaan central yang penting, karena bagaimana seseorang memahami perbedaan ini menentukan bagaimana seseorang akan memahami seluruh sifat/natur idealisme Kantian. Berikut kesimpulan ringkas dari pilihan interpretasi-utama , tetapi tidak mengambil sikap menentukan mana yang benar.

Menurut interpretasi 'Dua-Dunia', perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri harus dipahami secara metafisik dan ontologis. Penampakan-benda (dan karenanya seluruh dunia fisik yang kita alami) terdiri dari satu-set-entitas, dan benda-dalam-dirinya-sendiri satu-set ontologis yang berbeda entitas. Meskipun hal-hal benda-dalam-dirinya-sendiri bagaimanapun dapat menyebabkan kita untuk memiliki pengalaman penampakan-benda-benda tetapi penampakan-benda yang kita alami bukanlah benda-dalam-dirinya-sendiri.

Menurut interpretasi 'Satu-Dunia' atau 'Dua-Aspek', perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri harus dipahami secara epistemologis. Penampakan-benda secara ontologis adalah hal yang sama dengan benda-dalam-dirinya-sendiri, dan frase 'dalam-dirinya-sendiri' hanya berarti 'tidak dianggap dalam hal hubungan epistemik dengan manusia sebagai yang menerima pengetahuan'.

Keberatan umum terhadap interpretasi 'Dua-Dunia" adalah dapat membuat teori Kant terlalu mirip dengan teori Berkeley idealisme-immaterialis (asosiasi yang dengan keras Kant mencoba untuk menjauhkan diri), dan mereka tampaknya sering mengabaikan karakterisasi Kant pada perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri dari segi sudut pandang epistemik yang berbeda.

Dan keberatan umum terhadap interpretasi 'Satu-Dunia' adalah meremehkan beberapa aspek yang dinyatakan revolusioner dalam teori Kant, dan tampak sering mengabaikan karakterisasi Kant perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri dari sudut pandang metafisik. Ada upaya interpretasi yang di antara dua pilihan ini. Misalnya, ada yang berpendapat bahwa Kant hanya mengakui interpretasi 'Satu-Dunia', tapi perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri adalah tetap metafisik, bukan hanya epistemologis.

e. Deduksi Kategori

Setelah menetapkan idealitas ruang-dan-waktu serta perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri, Kant melanjutkan dengan menunjukkan bagaimana mungkin untuk memiliki pengetahuan-apriori dari fitur/sifat penampakan-benda. Pengetahuan tentang penampakan-benda tidak hanya membutuhkan pengetahuan bentuk-benda yang bisa dialami indra (ruang-dan-waktu), tetapi juga mengharuskan kita mampu menerapkan konsep-konsep tertentu (misalnya, konsep sebab-akibat) terhadap penampakan-benda. Kant melakukan identifikasi konsep-konsep paling dasar yang dapat kita gunakan untuk berpikir tentang suatu objek sebagai konsep-murni-pemahaman atau kategori.

Total ada dua belas kategori, dan dikelompokan ke dalam empat-kelompok yang berisi tiga-anggota:

1. Quantity (Kuantitas)
Unity (kesamaan)
Plurality (keberagaman-jenis)
Totality (kesatuan-keseluruhan)
2. Quality (Kualitas)
Reality (nyata/ada)
Negation (tidak-nyata/ada)
Limitation (nyata/ada dalam batasan ruang-dan-waktu)
3. Relation (Relasi)
Substance (ada-nya tidak bergantung pada ada-yang-lain)
Causality (ada-nya bergantung pada ada-yang-lain/sebab-akibat)
Community (ada-nya bersama dengan ada-yang-lain)
4. Modality (Cara)
Possibility (cara-ada-nya kontingen/mungkin/tidak-pasti dalam semua-kondisi)
Actuality (menjadi ada dalam suatu kondisi)
Necessity (cara-ada-nya pasti/selalu dalam semua-kondisi)

Tugas dari bab berjudul deduksi-kategori-transendental adalah untuk menunjukkan bahwa kategori ini dapat dan harus diterapkan melalui suatu cara kepada setiap objek-yang-mungkin-menjadi-pengalaman, bisa juga kepada objek yang termasuk objek-pengalaman.

Argumen deduksi-transendental adalah satu momen paling penting dalam Critique, tetapi juga salah satu argumen yang paling sulit, rumit, dan kontroversial dalam buku ini. Oleh karena itu, tidak akan mungkin untuk merekonstruksi argumen secara rinci di sini. Sebagai gantinya, dijelaskan pendapat-pendapat paling penting dari Kant dan bergerak ke arah penjelasan deduksi-kategori-transendental..

Argumen Kant menyalakan konsepsi kesadaran-diri atau apa yang dia sebut apersepsi sebagai sebuah kondisi terhadap kemungkinan mengalami dunia sebagai kesatuan-yang-utuh. Kant membawanya menjadi tidak kontroversial yaitu bahwa kita sadar terhadap representasi kita sebagai representasi diri kita sendiri. Hal ini tidak hanya bahwa saya dapat memiliki pikiran 'P' atau 'Q'. Saya juga selalu bisa menganggap pikiran ini berasal dari diri saya sendiri: 'Saya berpikir P' dan 'Saya berpikir Q'. Lebih jauh lagi, kita juga bisa mengenali bahwa itu adalah sama dengan 'Aku' yang melakukan pemikiran pada kedua kasus 'P' dan 'Q'. Dengan demikian, kita dapat mengenali bahwa 'Saya berpikir P dan Q'.

Secara umum, semua pengalaman kita adalah kesatuan karena dapat dianggap berasal dari sesuatu yang satu-dan-sama yaitu 'Aku', dan tentu kesatuan-pengalaman ini tergantung pada kesatuan-kesadaran-diri dari 'Aku'.

Kant selanjutnya bertanya kondisi-kondisi yang harus dicapai/dipenuhi agar kesatuan-kesadaran-diri ini menjadi mungkin. Jawabannya adalah bahwa kita harus mampu membedakan antara 'Aku' yang berpikir dan objek yang kita pikirkan. Artinya, kita harus mampu membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dalam pengalaman kita.

Jika kita tidak bisa membuat perbedaan seperti itu, maka semua pengalaman hanya akan menjadi begitu banyak kejadian-mental yang terputus atau terpisah-pisah, semuanya akan menjadi subjektif dan tidak akan ada kesatuan-apersepsi yang berdiri meliputi dan berlawanan dengan berbagai objek yang direpresentasikan oleh 'Aku'.

Jadi berikutnya Kant harus menjelaskan bagaimana kita mampu membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dari pengalaman. Jawabannya adalah bahwa representasi adalah objektif jika subjek selalu merepresentasikan objek dengan cara tertentu, yaitu ketika itu tidak sampai pada kekuatan asosiatif-bebas dari imajinasi saya untuk menentukan bagaimana saya merepresentasikan objek itu.

Misalnya, apakah saya berpikir suatu lukisan adalah gambar yang menarik atau apakah lukisan itu memanggil/mengingatkan ke dalam pikiran saya sebuah kenangan peristiwa dari masa kecil, tergantung pada aktivitas imajinasi-asosiatif saya sendiri. Ukuran kanvas dan komposisi kimia dari zat warna tidak tampak oleh saya jika saya merepresentasi lukisan itu sebagai gambar objektif dari lukisan itu, saya harus merepresentasi lukisan itu dengan cara tertentu. Agar kandungan representasional pasti dengan cara ini, menurut Kant, adalah untuk itu dikenakan aturan.

Aturan relevan yang dimiliki Kant dalam pikirannya adalah kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar dapat dipresentasikan hanya sebagai objek. Dan kondisi-kondisi ini adalah tepat dengan konsep-konsep yang terletak dalam skema-kategori, yang merupakan konsep dari sebuah objek-pada-umumnya. Oleh karena itu, jika saya hendak memiliki pengalaman apa saja, saya harus menkonseptualisasikan objek sesuai dengan kategori apriori.

Argumen Kant dalam deduksi adalah argumen-transendental : Kant memulai dengan premis yang diterima oleh semua orang, tapi kemudian bertanya kondisi-kondisi yang harus dipenuhi agar premis ini benar.

Kant menganggap bahwa kita memiliki pengalaman terpadu dari banyak objek yang mengisi dunia. Pengalaman terpadu ini tergantung pada kesatuan-apersepsi. Kesatuan-apersepsi memungkinkan subjek mampu untuk membedakan antara unsur-unsur subjektif dan objektif dalam pengalaman. Kemampuan ini, pada gilirannya, tergantung pada representasi benda sesuai dengan aturan, dan aturan-aturan yang dimaksud adalah kategori-kategori.

Oleh karena itu, satu-satunya cara kita dapat menjelaskan fakta bahwa kita memiliki-pengalaman adalah dengan membandingkan fakta bahwa kategori-kategori diterapkan pada objek pengalaman.

Perlu menekankan betapa benar-benar radikal kesimpulan dari deduksi-transendental adalah Kant membawa dirinya untuk menunjukkan bahwa seluruh-alam tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh kategori-kategori.

Tapi kategori-kategori ini adalah apriori : mereka berasal dalam pikiran sendiri. Ini berarti bahwa urutan dan keteraturan yang kita jumpai di alam ini dibuat mungkin oleh konstruksi pikiran sendiri terhadap alam dan keteraturannya.

Dengan demikian kesimpulan dari deduksi-transendental sejajar dengan kesimpulan dari transendental-aesthetic . Transendental-aesthetic telah menunjukkan bahwa bentuk sensibility (ruang dan waktu) berasal dalam pikiran dan dikenakan pada dunia, sedang deduksi-transendental menunjukkan bahwa bentuk-bentuk pemahaman (kategori) juga berasal dari pikiran dan dikenakan pada dunia.

f. Teori Pengalaman

Deduksi-transendental telah menunjukkan tidak hanya keharusan bagi kita untuk menggunakan kategori-kategori terhadap pengalaman, tetapi juga menggunakan kategori-kategori itu untuk melakukan penilaian.

Di seri bab berikut, yang secara bersama diberi judul Analytic of Principles, Kant mencoba untuk meningkatkan hasil-hasil deduksi-transendetal dan membuktikan adanya hukum-pasti-transendental, di mana setiap kemungkinan-objek-pengalaman harus mematuhi aturannya. Dia menyebut prinsip ini sebagai Principles of Pure Understanding. Prinsip-prinsip ini adalah sintesa-apriori dalam pengertian yang sudah didefinisikan di atas (lihat 2b), dan merupakan kondisi-kondisi-transendental terhadap kemungkinan-adanya-pengalaman.

Dua prinsip pertama berkaitan dengan Kategori Kuantitas dan Kualitas.

Pertama, Kant berpendapat bahwa setiap objek-pengalaman harus memiliki bentuk-dan-ukuran-spasial tertentu serta durasi-waktu tertentu kecuali untuk objek-mental yang tidak menempati ruang.

Kedua, Kant berpendapat bahwa setiap objek-pengalaman harus berisi matter (materi) yang mengisi besaran luas/ruang objek-pengalaman. Matter (materi-pengalaman) harus dideskripsikan sebagai besaran-intensif. Besaran luas/ruang objek direpresentasikan melalui intuisi dari objek (yaitu bentuk dari representasi) dan besaran-intensif direpresentasikan oleh sensasi yang mengisi intuisi (yaitu matter dari representasi).

Tiga prinsip berikutnya dibahas dalam bab yang penting dan panjang, yang berjudul Analogies of Experience. Prinsip-prinsip ini diturunkan dari Kategori Relasional yaitu Substance, Causality, dan Community.

Menurut analogi-pertama, pengalaman selalu melibatkan benda-benda yang harus direpresentasikan sebagai suatu substansi. Substansi ini harus dipahami sebagai objek yang selalu-ada-permanen sebagai substratum dan yang merupakan pelindung dari kecelakaan yang menyebabkan tidak-selalu-ada.

Menurut analogi-kedua, setiap peristiwa harus memiliki sebab. Satu peristiwa dikatakan sebagai penyebab peristiwa lain ketika peristiwa kedua mengikuti peristiwa pertama sesuai dengan aturan.

Dan Menurut analogi-ketiga yang mensyaratkan kedua analogi sebelumnya, semua substansi berada dalam hubungan interaksi timbal-balik satu sama lainnya. Oleh karena itu, dua buah substansi material masing-masing akan merasakan pengaruh sebab-akibat antara satu sama lain, bahkan jika berada pada posisi yang terpisah.

Prinsip-prinsip Analogies of Experience adalah prinsip-prinsip metafisik penting, dan jika argumen Kant pada prinsip-prinsip itu berhasil, prinsip-prinsip itu menandai kemajuan signifikan dalam penyelidikan alam metafisis.

Analogi-pertama adalah bentuk prinsip konservasi-materi : itu menunjukkan bahwa materi tidak dapat diciptakan atau dimusnahkan dengan cara alami, tetapi hanya dapat diubah.

Analogi-kedua adalah versi prinsip alasan yang memadai : yang diterapkan pada pengalaman (penyebab menjadi alasan yang memadai bagi efek mereka), dan itu merupakan sanggahan Kant terhadap skeptisisme Hume mengenai hubungan sebab-akibat. Hume berpendapat bahwa kita tidak pernah dapat memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan antara peristiwa, tetapi kita hanya bisa menerima beberapa jenis peristiwa terus-menerus berkaitan dengan jenis peristiwa lain.

Dalam perdebatan bahwa suatu peristiwa mengikuti peristiwa lain sesuai dengan aturan yang ada, Kant telah menunjukkan bagaimana kita dapat memiliki pengetahuan-pasti tentang hubungan antara kejadian yang melampaui dan diatas hubungan konstan belaka.

Terakhir, Kant mungkin bermaksud analogi-ketiga untuk membangun transendental, dasar apriori untuk sesuatu seperti hukum Newton tentang gravitasi-universal, yang mengatakan bahwa tidak-peduli seberapa jauh dua benda terpisah, masing-masing akan mengerahkan beberapa tingkat pengaruh gravitasi satu sama lain.

Postulates of Empirical Thinking in General berisi satu set prinsip-prinsip terakhir dari pemahaman-murni yang diturunkan dari Kategori Modalitas yaitu Possibility, Actuality, dan Necessity. Postulat of Empirical Thinking in General menentukan cara yang berbeda untuk merepresentasikan status modalitas dari sebuah objek, yaitu apakah untuk menjadi-objek pengalaman adalah mungkin, aktual, atau pasti.

Bagian paling penting dari bab Postulates of Empirical Thinking in General adalah Refutation of Idealisme, yang merupakan sanggahan terhadap skeptisisme mengenai pengetahuan dunia-di-luar-pikiran yang ditambahkan oleh Kant dalam karyanya Critique of Pure Reason edisi tahun 1787.

Kant telah terganggu oleh review karya edisi pertama yang kurang baik terhadap idealisme-transendental yang dibandingkan dengan idealisme-immaterialis karya Berkeley. Dalam sanggahan tersebut, Kant berpendapat bahwa sistemnya membawa konsekuensi tidak hanya pengetahuan dunia-di-luar-pikiran (yaitu, yang spasial) adalah mungkin (yang ditolak Berkeley), tetapi kita tahu juga itu adalah nyata (yang ditanyakan Descartes dan lain-lain).

Strategi argumentatif Kant dalam penolakannya adalah cerdik tapi kontroversial. Pendapat skeptisisme menganggap bahwa kita hanya memiliki pengetahuan tentang keadaan pikiran kita sendiri, tetapi skeptisisme juga mengatakan bahwa kita tidak bisa memastikan bahwa dunia-di-luar-pikiran sesuai dengan keadaan itu.

Kant memutar pendapat itu dan berpendapat bahwa kita tidak memiliki pengetahuan tentang keadaan pikiran kita sendiri (khususnya, urutan secara temporal yang di dalamnya ide-ide kita terjadi) jika kita tidak terus menyadari substansi-permanen yang berada di dalam ruang dan di luar pikiran.

Struktur yang tepat dari argumen Kant, juga betapa berhasilannya argumen itu, terus menjadi bahan perdebatan sengit dalam literatur-literatur.

g. Kritik Transenden Metafisika

Salah satu keberhasilan paling penting dari teori-pengalaman Kant yaitu adalah-mungkin untuk memiliki pengetahuan tentang dunia karena dunia yang kita alami sesuai dengan kondisi-kondisi kemungkinan-adanya pengalaman.

Oleh karena itu, Kant menyatakan hanya terdapat pengetahuan suatu objek jika ada-kemungkinan bagi objek itu untuk 'diberikan' dalam pengalaman. Aspek subjektif kondisi-kondisi epistemologis manusia sebagai subjek yang mengetahui, membawa konsekuensi adanya wilayah-wilayah penting penyelidikan di mana kita ingin memiliki pengetahuan tentang bidang itu, tetapi kita tidak bisa mendapatkannya.

Berkaitan dengan hal itu, Kant berpendapat bahwa metafisika-transenden, yaitu penyelidikan filosofi pada objek super-sensible yang bukan bagian dunia-empiris, menandai buntunya usaha-usaha filosofis (menemui kegagalan).

(Catatan: Ada perbedaan tipis namun penting antara istilah transendental dan transenden bagi Kant transendental mendeskripsikan kondisi-kondisi kemungkinan-adanya pengalaman, sementara transenden mendeskripsikan objek yang tidak-dapat diketahui dalam dunia nomenal dari benda-dalam-dirinya-sendiri)

Kant menyebut konsep-konsep dasar penyelidikan metafisik sebagai ide-ide. Tidak seperti konsep dalam fakultas-understanding, yang berkaitan dengan kemungkinan objek pengetahuan dapat 'diberikan' dalam pengalaman, ide-ide adalah konsep fakultas-reason dan tidak berkaitan dengan objek-objek yang mungkin bagi adanya pengalaman.

Tiga ide yang paling penting, yang dibahas Kant dalam Trancendental Dialektic adalah jiwa, dunia (dianggap sebagai suatu totalitas), dan Tuhan. Hal khusus dari ide-ide fakultas-reason adalah fakultas-reason bekerja ditentukan oleh struktur yang berfungsi meletakkan objek-objek sesuai dengan ide-ide. Meski hal itu tidak membantu, tetapi tetap dilakukan karena tugas fakultas-reason adalah untuk menyatukan pengetahuan menjadi sistematis secara keseluruhan, dan fakultas-reason menemukan perlunya ada ide-ide mengenai jiwa, dunia dan Tuhan untuk menyelesaikan penyatuan-sistematis ini. Kant menyebutnya kecenderungan tak terhindarkan dari fakultas-reason untuk meletakkan hal-hal yang tidak bisa dialami dan oleh karena itu tidak dapat diketahui, yang berkaitan dengan ide-ide sebagai ilusi-transendental.

Kant menyajikan analisis tentang ilusi-transendental dan kritiknya terhadap metafisika-transenden dalam serangkaian bab berjudul Transcendental Dialectic yang memakan sebagian besar paruh kedua karyanya Critique of Pure Reason. Bagian ini merangkum argumen Kant yang paling penting dari bab Transcendental Dialectic.

i. Jiwa (Paralogisms of Pure Reason)

Yang dimaksud metafisika-jiwa oleh Kant adalah suatu penyelidikan yang disebut sebagai psikologi-rasional yang dibahas dalam bab Paralogism of Pure Reason. Seperti yang dijelaskan Kant, psikologi-rasional adalah upaya untuk membuktikan tesis metafisik tentang sifat/natur jiwa melalui analisis proposisi sederhana, 'Saya berpikir'. Banyak dari penganut rasionalis sebelum Kant dan penganut rasionalis pada zamannya berpikir bahwa refleksi terhadap pengetahuan 'Aku' dalam proposisi 'Saya berpikir' mengungkapkan bahwa 'Aku' adalah selalu berarti suatu substansi (yang berarti bahwa 'Aku' adalah jiwa), suatu kesatuan yang tak terbagi (yang beberapa akan menggunakan untuk membuktikan keabadian jiwa), diri-yang-identik (yang relevan dengan pertanyaan mengenai identitas-pribadi), dan berbeda dengan dunia-di-luar-pikiran (yang dapat mengarah pada skeptisisme terhadap dunia-di-luar-pikiran). Kant berpendapat bahwa pikiran-pikiran tersebut merupakan hasil dari ilusi-transendental.

ilusi-transendental dalam psikologi-rasional muncul ketika 'Aku' yang hanya sebagai pikiran-saja dalam proposisi 'Saya berpikir' salah dimengerti menjadi pengetahuan tentang 'Aku' sebagai objek. Pengetahuan 'Aku' melibatkan intuisi dan konsep, sementara 'Aku' sebagai pikiran-saja hanya melibatkan konsep. Sebagai contoh, tinjaulah pertanyaan apakah kita dapat mengetahui 'Aku' sebagai suatu substansi yaitu jiwa. Padahal, sesuatu diketahui sebagai substansi ketika direpresentasikan hanya sebagai subjek dari predikat dan tidak pernah menjadi predikat untuk subjek yang lain. 'Aku' dalam proposisi 'Saya berpikir' selalu direpresentasikan sebagai subjek (berbagai pikiran adalah predikatnya). Di sisi lain, sesuatu hanya dapat diketahui sebagai substansi ketika 'diberikan' sebagai objek yang tetap dalam satu intuisi (2f di atas), dan tidak akan ada intuisi dari 'Aku' sendiri. Oleh karena itu meskipun tidak bisa membantu tetapi berpikir tentang 'Aku' sebagai jiwa, kita tidak pernah dapat memiliki kognisi dari 'Aku' sebagai substansi, dan karenanya pengetahuan tentang keberadaan dan sifat jiwa adalah mustahil.

ii. Dunia (Antinomi of Pure Reason)

Antinomies of Pure Reason membahas kosmologi-rasional, yaitu penyelidikan metafisis ke dalam sifat-kosmos yang ditinjau sebagai suatu totalitas-keseluruhan. Antinomy adalah suatu konflik fakultas-reason dengan dirinya sendiri. Antinomies muncul ketika fakultas-reason tampak dapat membuktikan dua proposisi berlawanan dan saling bertentangan dengan kepastian yang jelas. Kant membahas empat-antinomies dalam karyanya Critique of Pure Reason edisi pertama (ia juga mengungkapkan antinomies lainnya dalam tulisan-tulisannya kemudian). Antinomy-pertama menunjukkan bahwa fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa alam semesta ini terbatas sekaligus tak-terbatas dalam ruang-dan-waktu. Antinomy-kedua menunjukkan fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa materi bisa sekaligus tidak-bisa dibagi menjadi bagian-bagian yang lebih kecil terus-menerus sampai tak-berhingga. Antinomy-ketiga menunjukkan fakultas-reason tampak dapat membuktikan bahwa kehendak-bebas tidak dapat menjadi bagian hukum-sebab-akibat yang berlaku dalam dunia (karena alam secara keseluruhan adalah deterministik) dan oleh karena itu harus ada yang menyebabkannya. Antinomy-keempat menunjukkan bahwa fakultas-reason tampak dapat membuktikan ada sekaligus tidak-ada terhadap 'Ada-yang-kekal' atau 'Ada-yang-pasti' atau 'Ada-yang-selalu-ada' (yang beberapa orang mengidentifikasikan sebagai Tuhan).

Pada semua empat kasus tersebut, Kant mencoba untuk menyelesaikan konflik fakultas-reason dengan dirinya sendiri dengan cara membawa ke idealisme-transendental. Pendapat bahwa ruang-dan-waktu bukanlah fitur/sifat dari benda-dalam-dirinya-sendiri digunakan untuk menyelesaikan antinomy-pertama dan kedua. Karena dunia empiris dalam ruang-dan-waktu diidentifikasi dengan penampakan-benda dan karena dunia sebagai totalitas-keseluruhan tidak pernah bisa 'diberikan' sebagai penampakan-tunggal, bahwa tidak ada fakta materi tertentu berkaitan dengan ukuran alam-semesta. Hal itu bukanlah pasti-terbatas atau bukan pasti-tak-terbatas, tetapi itu adalah besar-tanpa-batas. Demikian pula, materi tidak memiliki atom yang paling sederhana yaitu monad atau materi tidak-bisa dibagi sampai tak-terbatas tetapi materi dapat dibagi sampai tanpa-batas.

Perbedaan antara penampakan-benda dan benda-dalam-dirinya-sendiri digunakan untuk menyelesaikan antinomy-ketiga dan keempat. Meskipun setiap peristiwa empiris dalam pengalaman dunia penampakan-benda memiliki penyebab alami yang deterministik, setidaknya adalah mungkin secara logis bahwa kehendak-bebas dapat menjadi kekuatan hukum-kausalitas yang manjur di tingkat benda-dalam-dirinya-sendiri. Dan meskipun setiap objek-empiris yang dialami dalam dunia penampakan-benda adalah entitas 'Ada-yang-kontingen', secara logis adalah mungkin bahwa ada sesuatu-yang-selalu-ada yaitu 'Ada-yang-kekal' di luar dunia penampakan-benda yang menjadi dasar eksistensi 'Ada-yang-kontingen' dalam dunia penampakan-benda. Dalam hal ini, harus diingat bahwa Kant tidak berpendapat untuk menunjukkan eksistensi dari kehendak-bebas yang transenden atau eksistensi 'Ada-yang-kekal' yang transenden karena Kant menolak kemungkinan pengetahuan benda-dalam-dirinya-sendiri. Tetapi, Kant hanya membawa diri untuk menunjukkan bahwa keberadaan entitas seperti itu secara logis adalah mungkin. Meskipun demikian, dalam teori moral, Kant menawarkan argumen untuk aktualitas dari kebebasan (lihat 5c bawah).

iii. Tuhan (Ideal of Pure Reason)

Ideal of Pure Reason membahas gagasan tentang Tuhan dan pendapat bahwa mustahil untuk membuktikan keberadaan Tuhan. Argumentasi dalam Ideal of Pure Reason telah disiapkan Kant dalam karyanya The Only Possible Argument in Support of the Existence of God (1763), yang membuat aspek pemikiran Kant menjadi matang sebagai salah satu yang tersisa dan paling signifikan dari pemikiran Kant pada periode pra-kritis.

Kant mengidentifikasikan ide tentang Tuhan dengan ide tentang Ens Realissimum atau Ada-yang-paling nyata. Ide ini juga ditinjau dari fakultas-reason sebagai Ada-yang-pasti atau Ada-yang-kekal, yaitu sesuatu yang pasti dan selalu ada (kekal) dan tidak sekedar Ada-yang-kontingen. Fakultas-reason cenderung meletakkan ide seperti itu ketika fakultas-reason merefleksikan ide seperti itu pada konsepsi Ada-yang-terbatas dalam realitas-terbatas dan menyimpulkan bahwa realitas Ada-yang-terbatas harus berasal dari dan tergantung pada realitas Ada-yang-tak-terbatas dan sempurna. Tentu saja, faktanya fakultas-reason pasti berpikir dari yang paling nyata, Ada-yang-kekal bukanlah konsekuensi dari eksistensi ada yang seperti itu. Kant berpendapat bahwa hanya ada tiga kemungkinan argumen bagi keberadaan Ada-yang-kekal dan semua argumen tersebut tidak ada yang berhasil.

Menurut argumen-ontologis tentang eksistensi Tuhan antara lain menurut versi yang diusulkan oleh St. Anselmus (1033-1109) dan Descartes (1596-1650), Tuhan adalah satu-satunya ada yang esensi-nya membawa konsekuensi eksistensi-nya (ada dengan sendirinya). Kant terkenal keberatan dengan argumen ini. Menurut Kant, argumen ini keliru karena memperlakukan eksistensi sebagai predikat-nyata. Menurut Kant, ketika saya membuat pernyataan dalam bentuk 'X adalah pasti F', sesungguhnya yang bisa saya maksud hanyalah bahwa 'Jika X ada, maka X pasti F'. Jadi ketika para pendukung argumen-ontologis berpendapat bahwa adanya-ide tentang Tuhan membawa konsekuensi bahwa Tuhan-tentu-ada semua yang mereka maksud adalah bahwa 'jika Tuhan ada, maka Tuhan ada' yang merupakan tautologi kosong belaka.

Kant juga menawarkan kritik panjang terhadap argumen-kosmologis bahwa eksistensi Ada-yang-kontingen mensyaratkan adanya eksistensi Ada-yang-kekal dan terhadap argumen-fisiko-teologis, yang juga disebut sebagai argumen-rancangan bahwa keteraturan dan maksud tujuan dari dunia-empiris hanya dapat dijelaskan oleh sang pencipta Ilahi. Kant berpendapat bahwa keduanya merupakan implikasi yang bergantung pada argumentasi-ontologis yang berkaitan dengan eksistensi Ada-yang-kekal, dan karena argumen itu gagal dibuktikan maka kedua argumen itu gagal juga.

Meskipun Kant dalam Trancendental Dialektic berpendapat kita tidak dapat memiliki pengetahuan mengenai jiwa, kehendak-bebas atau Tuhan, dalam tulisan-tulisannya tentang etika, ia akan semakin mempersulit cerita ini dan berpendapat bahwa kita dibenarkan untuk percaya pada hal-hal itu (lihat 5c bawah).



Sumber :
http://www.iep.utm.edu/kantview/#H2
Pemahaman Pribadi




Kelapa Gading , 8 Maret 2017