Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, August 25, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (6)

f. Albert Camus (1913-1960)

Albert Camus adalah seorang intelektual, penulis dan jurnalis Perancis.

Karya-karyanya dengan elemen yang beragam begitu juga hubungan-ambivalen-nya dengan filsafat dan eksistensialisme membuat setiap usaha untuk melakukan klasifikasi terhadap dirinya ke dalam 'eksistensialis' merupakan sebuah operasi yang beresiko.

Seorang penerima hadiah nobel kesusastraan pada tahun 1957 utamanya untuk novel-novelnya, ia juga dikenal sebagai seorang filsuf karena karya-karya non-sastra dan hubungan-nya dengan Jean Paul Sartre.

Dan tanggapan-nya kemudian adalah sangat jelas :

"Saya bukan seorang filsuf, karena saya tidak cukup percaya pada akal untuk mempercayai suatu sistem. Apa yang menarik saya adalah mengetahui bagaimana kita harus bersikap dan lebih tepatnya bagaimana untuk bersikap ketika seseorang tidak mempercayai Tuhan atau akal."
(Camus dalam Sherman 2009:1)

Persoalan bukanlah hanya mengenai label 'eksistensialis'. Tetapi lebih menunjuk kepada suatu 'tegangan-yang-dalam' yang terdapat pada pemikiran semua pemikir yang dikaitkan dengan eksistensialisme.

Pertanyaannya adalah :
Dengan berapa banyak suara, pikiran dapat berbicara ?

Seperti yang telah kita lihat, para pemikir eksistensialisme seringkali mengirimkan/mengeluarkan lebih dari satu suara.

Hampir semua dari mereka memiliki kesamaan suatu 'kecurigaan-yang-dalam' terhadap sebuah filsafat yang bekerja/beroperasi dengan akal seperti yang diungkapkan oleh Pencerahan.

Camus memiliki kecurigaan yang sama dan oleh karenanya ia menyebut filsafat-nya tentang absurditas bermaksud untuk menetapkan batas terhadap ambisi-ambisi yang berlebihan pada rasionalitas Barat.

Akal adalah hal-yang-absurd dalam hal akal percaya bahwa dapat menjelaskan totalitas-pengalaman manusia namun tepatnya justru, itu adalah ketidak-mampuan-nya untuk menjelaskan itu sebagai contoh suatu momen dari gagalnya-rancangan (a moment of fall designates).

Sehingga dalam novelnya 'The Fall' narasi riuh dari tokoh protagonis mengungkapkan pengambil-alihan suatu kehidupan dari keajegan/keteraturan-semu oleh kekuatan kegelapan dan irrasionalitas.

"Sebuah neraka borjuis, tentu saja dihuni oleh mimpi-mimpi buruk."
(Camus, 2006:10)

Dengan cara yang sama Camus juga menolak keterkaitannya dengan eksistensialisme.

“Non, je ne suis pas existentialist."
(Tidak, saya bukan seorang eksistensialis)

Adalah judul dari sebuah wawancara terkenal yang diberikan olehnya untuk majalah Les Nouvelles Litteraires pada 15 November 1945.

Persoalan sesungguhnya adalah bahwa penolakan Camus terhadap eksistensialisme lebih diarahkan pada eksistensialisme versi Sartre daripada mengarah untuk meninggalkan persoalan-persoalan utama yang dihadapi oleh para pemikir eksistensialis.

Secara khusus, Camus khawatir bahwa penyembahan Sartre terhadap sejarah (Sartre memproklamirkan diri sebagai seorang Marxis) akan tidak-sesuai dengan afirmasi terhadap kebebasan-personal. Camus menuduh Hegel (selanjutnya Marx juga) telah mereduksi manusia ke dalam sejarah dan oleh karena itu menolak manusia sebagai kemungkinan untuk menciptakan-sejarah-dirinya-sendiri yang merupakan afirmasi kebebasan-nya.

Secara filosofis, Camus dikenal untuk konsepsinya tentang hal-yang-absurd.

Mungkin kita harus membuat jelas sejak awal apa hal-yang-tidak-absurd itu. Hal-yang-absurd bukanlah nihilisme. Bagi Camus penerimaan terhadap hal-yang-absurd tidak mengarah kepada nihilisme (menurut Nitezsche nihilisme menandai keadaan didalamnya nilai-nilai tertinggi meruntuhkan dirinya-sendiri atau mengarah kepada keajegan-keadaan/inersia) tetapi lebih mengarah kepada hal yang berlawanan dengan keduanya : yaitu kepada tindakan dan partisipasi.

Pemahaman terhadap hal-yang-absurd menandai ruangan yang terbuka antara di satu sisi, manusia membutuhkan pengetahuan/penjelasan, dan di sisi lain, 'kebisuan-dunia yang tidak masuk-akal' seperti yang dikatakan Camus dengan indah.

Dalam sebuah dunia tanpa Tuhan, kebenaran-abadi atau prinsip-prinsip panduan apapun, bagaimana manusia mampu menanggung tanggung-jawab terhadap sebuah aktivitas pemberian-makna pada dunia dan kehidupan ?

Manusia-absurd, seperti seorang austronot melihat ke bumi dari atas, seraya berharap apakah sebuah sistem filosofis, sebuah agama, suatu ideologi-politik mampu membuat dunia memberi respon terhadap pertanyaan manusia atau lebih kepada apakah konstruksi-konstruksi semua manusia tidak berarti apapun kecuali riasan-wajah berlebihan seorang badut yang menempel disana untuk menutupi kepedihan-nya. Kecurigaan yang mengerikan ini menghantui manusia-absurd.

Dalam sebuah pembuka yang paling diingat pada sebuah buku non-fiksi ia menyatakan :

"Ada, tetapi hanya satu persoalan filosofis yang benar-benar serius dan itu adalah bunuh-diri. Menilai apakah kehidupan adalah hidup yang bernilai/bermakna atau tidak adalah untuk menjawab pertanyaan mendasar filsafat. Semua-pertanyaan-lain apakah dunia memiliki tiga-dimensi atau tidak, apakah pikiran memiliki sembilan atau dua-belas kategori, muncul kemudian setelahnya. Ini adalah permainan, seseorang pertama-tama harus menjawabnya."
(Camus, 2000:11).

Persoalan bunuh-diri (sebuah persoalan yang sangat pribadi) mewujudkan kondisi-tak-terelakan-yang-mendesak dihadapi untuk memberi respon kepada pemberian-makna pada kehidupan.

Bahkan bagi Camus sebuah respon bunuh-diri terhadap persoalan-makna-kehidupan dapat merupakan konfirmasi bahwa hal-yang-absurd telah mengambil-alih kehidupan sisi dalam manusia. Dapat juga berarti bahwa manusia bukan lagi seekor binatang yang mengejar jawaban, sesuai dengan sejumlah-dorongan dari dalam yang mengarahkan-nya untuk bertindak demi memberi makna pada dunia. Bunuh-diri tidak menjadi-yang-lain selain penerima pasif dari kebisuan-dunia.

"...Hal-yang-absurd... adalah kesadaran sekaligus penolakan secara bersamaan terhadap kematian."
(Camus 2000:54)

Seseorang harus menyadari terhadap kematian --karena kematian tepatnya adalah perwujudan dari mortalitas-manusia, yang mendorong seseorang untuk berjuang memperoleh jawaban-- dan manusia pada akhirnya harus menolak kematian --yaitu menolak bunuh-diri juga menolak menjadi mayat-hidup dalam keajegan dan tanpa-tindakan. Seperti yang dikatakan Camus, pada akhirnya seseorang harus menjaga-hal-yang-absurd tetap hidup. Tetapi apa maksudnya menjaga-hal-yang-absurd itu ?

Dalam The Myth of Sisyphus Camus menceritakan kisah tentang mitos Sisyphus yang telah dikutuk oleh Dewa. Sisyphus dihukum untuk menjalani hidup dengan mendorong batu kepuncak gunung dan kemudian harus membiarkan jatuh-kembali dengan beratnya sendiri. Begitu terus berulang dan berulang Sisyphus harus melakukan-nya. Sisyphus tidak menolak hukuman ia melakukan itu sepanjang hidupnya.

"Sisyphus, proletarian dari para Dewa, yang-lemah dan pemberontak, mengetahui seluruh kondisi malang-nya : itulah yang ia pikirkan selama menuruni puncak-gunung. Kejernihan bahwa kondisi itu menjadi siksaan-nya sekaligus mahkota-kemenangan-nya. Tidak ada takdir yang tidak bisa diatasi dengan cemoohan."
(Camus 200:109)

Seseorang kemudian harus membayangkan kemenangan Sisyphus: takdir dan absurditas telah diatasi dengan suatu hinaan yang penuh kegembiraan. Cemoohan adalah respon yang layak dihadapan wajah hal-yang-absurd, sebutan lain untuk 'cemoohan' disini dipandang sebagai kreasi artistik.

Ketika Camus berkata:

"Seseorang tidak menemukan hal-yang-absurd tanpa digoda untuk menulis sebuah pedoman-kebahagiaan."
(Camus 2000:110)

Ia menulis tentang sebuah momen kegilaan yang menggembirakan, yang merupakan momen kelahiran bagi karya-artistik. Kegilaan, namun yang-demikian-dalam, perhatikan fungsi dari 'The-Fool' dalam karya Shakespear 'King Lear' sebagai seseorang yang mengungkapkan kebenaran-yang-paling-dalam kepada Raja dengan memainkan mimikri dan lagu-lagu. Kegilaan semacam itu dapat mengatasi hal-yang-absurd sekaligus tanpa membuang/menolak-nya.

Nyaris sepuluh tahun setelah publikasi dari The Myth of Sisyphus, Camus menerbitkan karya filosofis besar yang kedua, The Rebel (1951). Camus melanjutkan persoalan yang telah dimulai dalam The Myth of Sisyphus. Sebelumnya, dalam kisah The Myth of Sisyphus pemberontakan atau penciptaan-diri telah dipandang sebagai keharusan-memberi-respon kepada hal-yang-absurd dari eksistensi.

Dalam The Rebel, Camus melanjutkan untuk menguji sifat-alami pemberontakan dan berbagai perwujudan-nya dalam sejarah. Dalam The Myth of Sisyphus, dengan gaya yang benar-benar Nietzschean, Camus berkata :

"Hanya ada satu tindakan yang berguna, yaitu penciptaan-kembali manusia dan bumi.”
(Camus 2000: 31).

Namun demikian, dalam karyanya The Rebel, yang mengingatkan pada Peternakan Hewan milik Orwell, salah satu pokok-pertama yang dibuat olehnya adalah sebagai berikut :

“Si-Budak memulai dengan memohon keadilan dan berakhir dengan ingin memakai mahkota. Si-Budak juga ingin/bermaksud mendominasi.”
(Camus 2000b: 31)

Masalahnya adalah bahwa meski manusia memberontak secara-otentik melawan keduanya, baik kondisi-kondisi sosial yang tidak adil, juga seperti yang dikatakan Camus melawan seluruh-penciptaan, namun demikian dalam administrasi secara praktis terhadap revolusi semacam itu, manusia menjadi menolak kemanusiaan dari yang-lain melalui usaha memaksakan individualitas diri-nya.

Ambillah contoh kasus Marquis de Sade yang terkenal, yang dieksplorasi oleh Camus. Dalam Sade, kekuatan-kekuatan kontradiktif sedang bekerja (lihat The 120 Days of Sodom). Di satu sisi, Sade berharap pembentukan suatu komunitas (yang pasti gila) disertai nafsu menjadi Tuan-Tertinggi, dan di sisi lain nafsu-ini memakan dirinya-sendiri dan semua subjek yang menggantikanya dengan cara-itu.

Camus melanjutkan untuk memeriksa perwujudan-perwujudan pemberontakan dalam sejarah, kasus yang paling menonjol adalah yang terjadi pada Revolusi Perancis.

Camus berpendapat bahwa revolusi berakhir dengan menggantikan nilai-nilai-transenden yang diburu untuk dihapuskan. Semua gagasan tentang keadilan yang sangat-kuat sekarang mengambil-tempat yang sebelumnya dihuni oleh Tuhan.

Saran terkenal yang diajukan oleh Rousseau bahwa di bawah pemerintahan 'kehendak-umum' setiap orang akan 'dipaksa untuk menjadi bebas' (Rousseau dalam Foley 2008: 61) membuka jalan bagi kejahatan-kejahatan yang dilakukan setelah revolusi.

Camus merasa takut bahwa semua revolusi berakhir dengan pembentukan-kembali Negara.

"...Tujuh belas delapan puluh sembilan membawa Napoleon, 1848 Napoleon III, 1917 Stalin, gangguan Italia tahun dua puluhan, Mussolini, Republik Weimar, Hitler”
(Camus 2000b:146).

Camus kemudian beralih memeriksa pandangan para Marxis tentang sejarah sebagai respon terhadap upaya-upaya gagal untuk pembentukan sebuah rezim revolusioner yang hakiki.

Camus meneliti kesamaan antara konsepsi Kristen dan Marxis tentang sejarah. Keduanya menunjukkan sebuah pemikiran borjuis yang hanya memusatkan pada kemajuan. Atas nama masa-depan semuanya dapat dibenarkan :

"masa-depan adalah satu-satunya jenis-kepemilikan yang rela diberikan oleh Tuan kepada para budak."
(Camus 2000b: 162).

Menurut kedua pandangan itu, sejarah adalah kemajuan-linier dari satu permulaan menuju akhir yang pasti (keselamatan metafisik manusia atau keselamatan materialistis-nya dalam masyarakat komunis masa-depan). Dipengaruhi oleh pembacaan karya Kojève tentang Hegel, Camus menafsirkan masa-depan masyarakat-tanpa-kelas ini sebagai 'akhir-sejarah'. 'Akhir-sejarah' menunjukkan bahwa ketika semua kontradiksi berhenti, maka sejarah itu sendiri menjadi berakhir. Camus berpendapat, secara esensial nihilistik : sejarah, dalam akibat, menerima bahwa penciptaan-makna tidaklah mungkin lagi dan ia melakukan bunuh diri.

Karena revolusi-revolusi sejarah sebagian besar merupakan gerakan nihilistik, Camus berpendapat bahwa adalah membuat-mutlak terhadap nilai-nilai-revolusi yang pasti mengarah kepada negasi/penolakan/penghancuran nilai-nilai itu sendiri.
Sebaliknya, suatu konsepsi relatif terhadap nilai-nilai ini akan mampu menopang/mempertahankan suatu komunitas individual-bebas yang tidak lupa bahwa setiap pemberontakan-sejarah telah dimulai dengan menegaskan/menyatakan/menetapkan satu nilai-proto (yaitu solidaritas manusia) yang terhadap-nya setiap-nilai-nilai-lain dapat didasarkan.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2f
Pemahaman Pribadi



Thursday, August 22, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (5)

e. Simone de Beauvoir ( 1908-1986 )

Simone de Beauvoir adalah murid termuda yang pernah lolos melewati ujian-resmi penerimaan siswa pada lembaga-pendidikan-tinggi yang prestisius : Ecole Normale Superieure. Selanjutnya ia menjadi seorang siswa yang cemerlang di sana. Ia adalah seorang penulis, filsuf, feminis, teman-hidup dari Jean Paul Sartre, ia terkenal kurang-baik karena cara hidup yang anti borjuis dan hubungan sex bebasnya, diantaranya sebuah hubungan penuh gairah dengan penulis Amerika Nelson Algren.

Banyak tinta telah ditumpahkan untuk memperdebatkan apakah karya de Beauvoir dibangun dari kerangka-karya-filosofis yang independen atau merupakan sebuah rumusan ulang dari karya Sartre.

Debat tersebut tentu bersandar pada kekeliruan konsep-dasar yang menghendaki sebuah kerangka-karya agar ada dan berkembang secara independen (tidak dipengaruhi oleh) lingkungan intelektual-nya. Objektivitas semacam itu tidak hanya mustahil tetapi juga tidak-dapat dikehendaki : kerangka-karya semacam itu pada akhirnya tidak akan relevan karena tidak-dapat dikomunikasikan.

Sehingga pertanyaan tentang independensi terhadap de Beauvoir dapat diabaikan disini karena tidak-relevan dengan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang muncul dari karya-karyanya.

Pada tahun 1943 Being and Nothingness, karya yang merupakan landasan-dasar dari gerakan Eksistensialis di Perancis dipublikasikan.

Dalam karya itu Sartre memberikan sebuah penjelasan terhadap Kebebasan sebagai elemen-pembentuk-yang-penting secara ontologis kepada subjek. Seseorang tidak-dapat menjadi-yang-lain kecuali menjadi-bebas : ini adalah inti dari konsepsi Kebebasan Sartrean.

Pada tahun 1945 karya Marleau Ponty, Phenomenologi of Perception diterbitkan. Di sana begitu juga dalam esai yang terbit pada tahun yang sama berjudul 'The war has taken place', Marleau Ponty melakukan kritik-keras terhadap pendirian Sartrean, ia memberi kritik sebagai sebuah rumusan ulang dari pokok-pokok ajaran-dasar Stoikisme.

Seseorang tidak dapat menerima Kebebasan dalam isolasi dari Kebebasan yang-lain. Tindakan adalah melibatkan partisipasi (bersifat partisipatif):

"...kebebasan saya adalah terjalin-erat dengan kebebasan oran-lain melalui jalan dunia"
(Marleau Ponty dalam Stewart 1995:315)

Lebih jauh lagi tindakan terjadi dalam suatu konteks-historis tertentu. Bagi Marleau Ponty kehendak-bebas subjektif selalu dalam hubungan dialektis dengan konteks-historis-nya

Pada tahun 1947 karya Simone de Beauvoir Ethics of Ambiguity diterbitkan.

Buku itu adalah sebuah pengantar kepada Eksistensialisme tetapi juga suatu bagian kritik kepada pendirian-pendapat Sartre terhadap Kebebasan dan merupakan bagian pengembangan-parsial dari Eksistensialisme menuju bersifat sosial.

Walau de Beauvoir menggaungkan kritisisme dari Marleau Ponty terkait dengan hubungan antar-subjek yang esensial, namun ia tetap tidak meninggalkan tekanan pentingnya konteks-sosial memainkan peranan dalam proses-analisa masalah-masalah moral. Seperti Sartre hanya pada akhir kehidupannya hal tersebut kemudian diakui oleh-nya.

Dari segi apapun, buku karya de Beauvoir mengendapkan lebih-lanjut sebagian besar pemikiran-ulang dari gagasan Sartre dan hasilnya adalah Notebooks for an Ethics

Dalam Ethics of Ambigiuty de Beauvoir menawarkan sebuah gambar tentang subjek-manusia sebagai osilasi yang terus-menerus antara faktisitas dan transendensi

Meski manusia selalu dibatasi oleh fakta-fakta-yang-tidak-dapat-dijelaskan (brute-fact) mengenai eksistensi-nya, namun demikian kondisi-tersebut selalu memberi inspirasi untuk mengatasi/melampaui situasi itu, demi memilih Kebebasan-nya dan oleh karenanya untuk menciptakan dirinya-sendiri. Tegangan ini harus dipertimbangkan positif dan tidak membatasi tindakan.

Tegangan itu tepatnya disebabkan oleh ontologi manusia adalah sebuah medan-perang dari gerakan-gerakan antitese (sebuah pandangan dari de Beauvoir yang konsisten dengan Hegelianisme) bahwa subjek harus menghasilkan suatu Etika yang akan terus-meneerus bersama inti-ontologis-nya. Istilah untuk menyebut tegangan ini adalah Ambiguitas. Ambiguitas bukanlah suatu kualitas dari manusia sebagai substansi, tetapi karakterisasi dari eksistensi-manusia. Kita adalah 'ada-yang-ambigu', yang ditakdirkan melempar diri-kita ke masa-depan sementara secara bersamaan, adalah hakekat-eksistensi kita-sendiri yang melemparkan kita kembali ke dalam faktisitas.

Dengan kata lain, kembali ke fakta-fakta-yang-tidak-bisa-dijelaskan bahwa kita dalam pengertian telah ditakdirkan untuk gagal --bukan dalam proyek rencana-masa-depan tertentu ini atau itu, tetapi untuk gagal sebagai transendensi murni dan berkelanjutan.

Tepatnya melalui atau disebabkan oleh kegagalan-fundamental ini sehingga kita menyadari bahwa relasi-etis kita dengan dunia tidak dapat berpusat-pada-diri (self-referensial) tetapi juga harus melewati perwujudan takdir-bersama pada manusia sebagai suatu-ada yang-gagal dan memiliki-interrelasi.

Tidak seperti Sartre de Beauvoir adalah seorang pembaca-terdidik ajaran-ajaran Hegel. Pendirian-nya terhadap suatu etika-eksistensial oleh karenanya lebih berat dipengaruhi oleh pandangan Hegel mengenai 'momen-pengenalan' dalam karyanya Phenomenology of Spirit (Hegel 1977:111)

Dalam karya itu Hegel menjelaskan 'momen-pengenalan' sebagai gerakan yang melaluinya kesadaran-diri memproduksi dirinya-sendiri dengan menempatkan yang-lain sebagai kesadaran-diri, bukan sebagai sebuah objek-diam (bisu) tetapi sebagai diri-dengan-kesadaran-diri.

Gerakan 'momen-pengenalan' Hegelian bertahan sebagai salah satu momen yang paling mengesankan dalam sejarah filsafat karena gerakan itu untuk pertama kalinya menyatakan bahwa pembentukan terhadap diri tidak-terjadi dari dalam-diri tetapi dari-luar (tidak seperti yang dijelaskan oleh Descartes, dalam pengertian satu-satunya hakekat-kebenaran adalah kebenaran tentang keberadaan-saya, atau pada Leibniz untuk pengertian monads adalah 'windowless' atau Fichte, untuk pengertian 'Saya' adalah unsur-pembentuk-diri yang absolut).

Hegel mengatakan kepada kita, hanya karena disebabkan orang-lain mengakui-saya sebagai satu-subjek sehingga Saya dapat dikonstruksikan seperti-itu. Di luar dari 'momen-pengenalan' tidak ada kesadaran-diri. De Beauvoir mengambil jantung ajaran Hegelian dan berupaya merumuskan suatu etika darinya.

Akan menjadi seperti apakah etika ini ?

Seperti pada Nietzsche, etika yang dihasilkan mengacu pada suatu cara-menjalani-hidup (a βίος), yang dipertentangkan terhadap moralitas yang berkaitan dengan persetujuan atau pengutukan terhadap perilaku. Sehingga tidak ada resep untuk etika. Ditarik dari ajaran 'momen-pengenalan' Hegel, de Beauvoir menerima pendapat bahwa kemungkinan-perkembangan-manusia adalah didasarkan terutama pada pengakuan-eksistensi-nya oleh yang-lain.

"Manusia dapat menemukan satu justifikasi terhadap eksistensi-dirinya hanya dalam eksistensi pada orang-lain"
(Beauvoir 1976:72)

dan yang kedua pada pengakuan bahwa perkembangan-diri-saya-sendiri (atau dalam bahasa para eksistensialis, kemampuan-saya untuk memiliki proyek-masa-depan) melampaui kemungkinan suatu perkembangan-yang dimiliki oleh setiap manusia.

"Hanya Kebebasan dari yang-lain menjaga masing-masing kita dari pengerasan/pembekuan dalam absurditas dari faktisitas."
(Beauvoir, 1976:73)

de Beauvoir kembali menulis:

"Untuk menghendaki diri-seorang Bebas juga adalah untuk menghendaki yang-lain Bebas"
(1976:71)

The Ethics of Ambiguity berakhir dengan menyatakan keharusan menerima Kebebasan-seseorang dan penegasan bahwa hanya melalui tindakan yang membuat Kebebasan mungkin menciptakan diri.

Ini bukanlah satu inti-pendapat yang mudah diterima. Pendapat itu membangun sebuah gerakan perlawanan terhadap sebuah tradisi panjang dari filsafat yang memahami diri sebagai 'teori' : ketidak-tertarikan kontemplasi kepada sifat-kodrat alam dan dunia

de Beauvoir memiliki persamaan dengan banyak para Eksistensialis, ia memahami filsafat sebagai praksis : keterlibatan tindakan dalam dunia dan partisipasi dalam wacana sejarah. The Second Sex dilahirkan di luar pemahaman tersebut.

Pada tahun 1949 Le Deuxieme Sexe dipublikasikan di Perancis. Di Inggris karya itu muncul sebagai The Second Sex dalam sebuah translasi pendek yang tidak lengkap.

Buku itu dengan segera mencapai best-seller dan kemudian menjadi suatu teks/wacana pendirian Second Wave Feminism (Gelombang Kedua Feminisme) gerakan feminis dari awal 60 hingga 70 yang diinspirasikan oleh gerakan-hak-hak-sipil dan memusatkan pada pengujian teoritis terhadap konsep persamaan, ketidak-samaan, peranan-keluarga, keadilan dan lain sebagainya).

Lebih dari segalanya, The Second Sex membangun sebuah studi dalam eksistensialisme-terapan dimana konsep abstrak 'Wanita' dipasrahkan untuk pengujian terhadap kehidupan sehari-hari seseorang yang berjuang melawan penindasan dan penghinaan kemanusiaan.

Ketika de Beauvoir mengatakan bahwa tidak-ada sesuatu semacam 'Wanita' kita harus mendengar gaung dari pernyataan Kierkegaardian mengenai individu-tunggal melawan abstraksi-abstraksi dari filsafat Hegelian atau mirip dengan peneguhan Sartre pada pentingnya mengutamakan kehidupan-personal terhadap penciptaan-diri seseorang (apa yang disebut Sartre 'eksistensi') sebagai yang-dilawankan dengan suatu pemahaman pra-penetapan-ideal terhadap sesuatu-seharusnya-seperti-apa (apa yang disebut Sartre sebagai 'esensi')

The Second Sex adalah sebuah contoh teks (wacana) yang menunjukan bagaimana sebuah gerakan-filsafat dapat menjadi nyata, efek-efek nyata yang benar-benar dilihat, dirasakan pada kehidupan banyak orang dan latihan yang luar biasa dalam hal filsafat mewujud menjadi apa.

"Saya telah lama ragu (menunda) sebelum menulis sebuah buku tentang wanita. Subjek bahasan yang membuat perih khususnya bagi para-wanita..."
(Beauvoir 2009:3)

The Second Sex memulai dengan pertanyaan yang paling jelas ( tetapi jarang dipertanyakan ) : Apa itu wanita ?

De Beauvoir menemukan bahwa saat ini, tidak ada jawaban untuk pertanyaan itu. Alasannya adalah bahwa tradisi selalu berpikir tentang Wanita sebagai 'selain-laki-laki'

Hanya seorang-lelaki yang membentuk-dirinya sebagai sebuah-subjek (de Beauvoir berkata sebagai sang-Absolut) dan Wanita menentukan dirinya hanya melalui-nya.

"Dia (seorang-wanita) menentukan dan membedakan dirinya dalam hubungan dengan seorang-lelaki dan lelaki-itu tidak berhubungan dengan-nya. Wanita-itu tidak-esensial dihadapan yang-esensial..."
(Beauvoir, 2009:6)

Tetapi mengapa demikian, Wanita menerima atau mentolerir sejak awal proses ini yang dengannya ia menjadi 'selain-laki-laki' ?

De Beauvoir tidak memberi jawaban menyeluruh, sebaliknya dengan beralih kepada pemahaman Sartre tentang keyakinan-buruk (yang mengacu pada kecemasan keberadaan-manusia dihadapan tanggung-jawab yang menyertai perwujudan dari kebebasan-radikal-nya), dia berpikir bahwa wanita berada dalam waktu, terlibat dalam situasi mereka.

Sesungguhnya adalah lebih mudah bagi seseorang --siapapun-- untuk menerima peranan sebuah objek (sebagai contoh seorang ibu rumah-tangga yang dijaga oleh suaminya) daripada mengambil tanggung-jawab untuk menciptakan dia atau dirinya dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan kebebasan bagi yang-lain.

Secara alamiah kondisi keyakinan-buruk bukan selalu persoalannya. Sering kali para-wanita menemukan diri-mereka dalam lingkungan sosial-budaya yang menolak kemungkinan mereka terhadap pengembangan-personal (seperti yang terjadi pada hampir-semua mayoritas komunitas keagamaan)

Sebuah masalah lebih-jauh yang dihadapi para-wanita adalah pemahaman terhadap diri-mereka sebagai sebuah kesatuan yang akan membuat mereka mampu untuk menerima peranan dari pilihan-pilihan mereka.

"Proletariat berkata 'kita'. Begitu juga orang kulit hitam."
(Beauvoir, 2009:8)

Dengan berkata 'kita', mereka mengambil peranan subjek dan merubah orang-lain menjadi 'yang-lain'. Para wanita tidak-mampu untuk menyempurnakan 'kita' ini.

"Mereka hidup terpencar-pencar diantara lelaki, terikat oleh rumah, pekerjaan, kepentingan ekonomi, dan kondisi-kondisi sosial pada lelaki-tertentu --ayah, suami-- lebih dekat daripada pada wanita-wanita lain."

"Sebagai wanita-wanita borjuis, mereka dalam solidaritas dengan para lelaki borjuis dan bukan dengan para wanita proletariat, sebagai wanita kulit putih mereka dalam solidaritas dengan lelaki kulit putih dan tidak dengan wanita kulit hitam."
(Beauvoir, 2009:9)

"Para wanita menggabungkan diri terutama dengan kelas atau ras mereka dan bukan dengan wanita lain. Identitas perempuan adalah sangat terikat dengan identitas lelaki disekitar mereka..."
(Reynolds, 2006:145)

Salah satu yang paling menarik perhatian dalam momen-momen The Second Sex adalah petikan frase:

"Seseorang tidaklah dilahirkan sebagai wanita, melainkan menjadi wanita."
(Beauvoir 2009:293)

Ia menjelaskan :

"Tidak ada takdir biologis, fisik, ekonomi menentukan sosok seorang manusia-perempuan yang diemban ke dalam masyarakat. Adalah peradaban sebagai sebuah keseluruhan yang membuat lebih-rinci produk-tengah antara laki-laki dan lelaki-yang-dikebiri yang disebut feminin."
(Beauvoir, 2008:293)

Bagi sejumlah feminis, ini jelas penasbihan terhadap persoalan perbedaan sex-gender (dimana jenis-kelamin menandai identitas biologis dari seseorang dan gender merupakan pelekatan sifat-sifat oleh kebudayaan terhadap tubuh dengan jenis-kelamin tertentu)

Secara sederhana, mutlak tidak-ada yang menetapkan/menentukan feminitas yang melekat pada seorang wanita (bagaimana seorang wanita bertindak, merasakan, bertingkah-laku), segalanya yang datang ke dalam pikiran kita sebagai feminin adalah suatu konstruksi-sosial bukan suatu pemberian alamiah.

Para feminis yang muncul kemudian seperti Monique Wittig dan Judith Butler akan berpendapat bahwa 'jenis-kelamin' adalah 'gender' dalam pengertian sebuah tubuh dengan jenis-kelamin selalu sudah ada dalam sebuah jalinan hubungan kebudayaan yang menentukan-nya.

Oleh karena itu pemberian tanda jenis-kelamin (seorang dokter yang menyatakan jenis-kelamin pada sorang bayi) adalah pendapat normatif yang di-naturalisasi-kan (tetapi sama sekali tidak-natural) yang mengirimkan manusia ke dalam relasi-relasi kekuasaan.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2e
Pemahaman Pribadi



Friday, August 9, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (4)

c. Jean-Paul Sartre ( 1905-1980 )

Dalam kesadaran publik, setidaknya Sartre dapat dipastikan merupakan sosok-sentral dalam Eksistensialisme.

Semua tema yang kita perkenalkan sebelumnya hadir bersama dalam karya-karya-nya.

Dengan kemungkinan pengecualian terhadap Nietzsche, tulisan-tulisan-nya adalah yang paling luas dikumpulkan dalam karya seni artistik (the lovely, if oversimplifying, exsistensialism and humanism) dan karya-sastra-nya sangat luas dibaca atau dipentaskan (khususnya Novel Nausea).

Meski tidak nyaman dalam sorotan publik, bagaimanapun ia adalah model sesungguhnya dari seorang intelektual publik, menulis ratusan karya pendek untuk disebarkan pada publik dan mengambil sikap tegas, independen dan sering kontroversial berdiri pada peristiwa-peristiwa politik besar.

Tulisan-tulisan-nya yang paling jelas memiliki karakter Eksistensialis mulai dari karya-karya awal Sartre dan periode pertengahan, terutama pada tahun 1930-an dan 1940-an.

Dari tahun 1950 hingga selanjutnya, Satre merubah arah Eksistensialisme-nya menuju ke filsafat, tujuan dari langkah itu adalah untuk memahami kemungkinan suatu politik-revolusioner yang asli/murni.

Sartre berada pada akhir tahun 20-an ketika ia dipertemukan dengan fenomenologi, secara spesifik dengan gagasan-gagasan filsafat dari Edmund Husserl (kita harus menyebut bahwa Heidegger juga sangat dipengaruhi oleh Husserl, tetapi tidak begitu jelas dalam bahasa yang ia gunakan, karena ia meninggalkan bahasa kesadaran dan tindakan-tindakan) lebih khusus dan penting lagi pemikiran Sartre adalah paham intensionalitas dari Husserl.

Dalam interpretasi Sartre terhadap gagasan ini, kesadaran bukanlah diidentifikasikan dengan suatu-benda (misal sebuah pikiran, jiwa atau otak) dengan kata lain semacam suatu tempat-penyimpanan gagasan-gagasan dan gambaran-gambaran suatu benda/hal. Namun, kesadaran tidak-lain adalah keterarahan-kepada-suatu-benda/hal.

Sartre menemukan cara menarik untuk merangkum paham tentang objek-intensional :

"Jika saya mencintai dia, saya mencintai-nya karena dia 'dapat-dicintai' (lovable)."
(Sartre 1970:4-5).

Dalam pengalaman saya, sesuatu yang 'dapat-dicintai' (lovableness) pada dia bukanlah sebuah aspek gambaran-saya tentang dia, melainkan sebuah sifat yang dimiliki olehnya (dan pada akhirnya sebagai bagian dari dunia) yang melalui-nya kesadaran-saya dengan sendirinya mengarahkan diri kepada-nya.

Hal-hal yang saya perhatikan pada dia (senyumnya, tawanya) aslinya tidaklah netral dan kemudian saya melakukan interpretasi ide-ide terhadap hal-hal-itu sebagai 'indah,menarik,menyenangkan' (lovely), hal-hal-itulah aspek-aspek dari dia sebagai 'yang-dapat-dicintai' (lovable). Pemahaman bahwa kesadaran bukanlah suatu benda/hal adalah vital bagi Sartre.

Memang, kesadaran dikarakterisasikan terutama sebagai bukan-benda/hal-apapun : Yang pertama dan terutama bukanlah sesuatu yang disadari-nya. (Sartre menyebut eksistensi-manusia ada-bagi-dirinya-sendiri 'for itself' dan eksistensi-benda-lain ada-dalam-dirinya-sendiri 'in itself')

Karena kesadaran bukan suatu benda/hal, ia bukanlah subjek hukum-benda-benda, secara spesifik, kesadaran bukanlah bagian suatu rangkaian sebab-akibat dan identitas-nya tidaklah seperti suatu Substansi.

Sebelumnya kita telah mengajukan pandangan bahwa sebuah-perhatian terhadap sifat-kodrat-eksistensi dan lebih-khusus terhadap sifat-kodrat-yang-berbeda pada eksistensi-manusia dengan benda-benda-lain adalah menentukan tema-tema Eksistensialis.

Lebih jauh lagi, Eksitensialisme membahas tema kondisi-kesadaran, dan bukan sebuah benda/hal yang merupakan bagian dari rangkaian-sebab-akibat yaitu Saya bebas (tema kebebasan). Dari waktu ke waktu, momen ke momen, setiap tindakan saya adalah milik-saya-sendiri untuk dipilih.

Tentu saja, saya mempunyai sebuah masa-lalu yang tidak dapat ditanggalkan/dilepas, ini adalah bagian dari 'situasi-saya'. Namun demikian, sekali lagi, 'saya-lah' yang pertama dan terutama bukan 'situasi-saya'. Oleh karena itu, setiap saat saya harus memilih apakah melanjutkan alur kehidupan yang ada (saya-masa-lalu) atau menjadi sesuatu yang lain (saya-yang-baru).

Sehingga, eksistensi-saya (fakta satu-satunya bahwa saya-ada) adalah mendahului esensi (apa yang saya ciptakan pada diri-saya melalui pilihan-pilihan-bebas-saya).

Oleh karena itu, saya sangat bertanggung jawab bagi diri-saya-sendiri. Jika tindakan-saya bukan hanya apapun-yang-terjadi di dalam pikiran-saya, maka tindakan-saya membentuk sebuah prinsip-tindakan yang lebih umum.

Prinsip ini juga adalah salah satu yang harus saya pilih dengan bebas dan mengikatkan diri-saya kepada-nya, itu adalah suatu gambaran jenis-kehidupan yang saya yakini memiliki nilai (Dalam cara ini, Sartre bersinggungan dengan penjelasan Kantian yang luas terhadap kebebasan yang sudah kita perkenalkan sebelumnya dalam bagian tematik).

Sebagai yang 'tersituasi', saya juga menemukan diri-saya dikelilingi oleh semacam gambaran-gambaran --dari agama, kebudayaan, politik atau moralitas dan lain-lain-- tetapi tak ada satupun yang memaksa kebebasan saya. (Semua kekuatan-kekuatan ini yang mengejar untuk menyesuaikan/menundukan kebebasan-saya dengan melakukan objektivasi terhadap saya adalah bentuk tema Keramaian versi dari Sartre).

Saya mengada sebagai kebebasan, terutama dikarakterisasikan sebagai 'tidak-ditentukan' oleh apapun-juga, sehingga eksistensi-kontinyu-saya mensyaratkan latihan/tindakan terus menerus yang selalu kembali-membuat-baru kebebasan-saya (oleh karena itu dalam pembahasan tematik kita di atas, paham dari Spinosa dan Leibniz tentang eksistensi disebut sebagai suatu-perjuangan-untuk-ada)

Juga oleh karena itu, ketidak-beradaan-saya (non-eksistensi-saya) dan ketidak-beradaan dari semua-yang-saya-yakini, hanyalah tidak-adanya suatu kebebasan-memilih.

Saya (dalam pengertian sebuah eksistensi-manusia-yang-otentik) adalah bukan 'saya' (masa-lalu yang telah saya akumulasi, hal-hal di sekitar saya, atau cara orang-lain memandang saya)

Saya sendirian dalam tanggung-jawab-saya, sedang eksistensi-saya relatif terhadap segala-hal-eksternal yang mungkin memberinya makna, itu adalah absurd. Berhadapan langsung dengan semacam tanggung-jawab saya merasa 'cemas'.

Perhatikan bahwa meski penjelasan Sartre terhadap 'ketersituasian' memiliki banyak persamaan dengan Nietzsche dan Heidegger, ia melihat 'ketersituasian' terutama dalam pengertian apa yang memberikan makna pada kebebasan-manusia dan batas batasnya.

Nietzsche dan Heidegger secara kontras memandang suatu konsep kebebasan semacam itu sebagai kebebasan metafisis-yang-naif.

Meski demikian, anggaplah bahwa pada satu titik saya menyadari diri-saya melalui sebuah hal seperti berikut ini :

Sebagai contoh : saya berkata, "Saya seorang pelajar." (memperlakukan diri saya sebagai memiliki suatu-yang-tetap, hal seperti identitas) atau "Saya tidak ada pilihan" (memperlakukan diri-saya sebagai milik rangkaian sebab-akibat)

Saya menggambarkan sebuah identitas-tetap atau sejumlah kualitas terhadap diri-saya, cara saya melihat diri-saya mirip dengan saya mengucapkan, "Itu adalah sepotong batu granit" ketika saya melihat sebongkah batu granit.

Dalam kasus tersebut, saya berada dalam penolakan cara-eksistensi-manusia yang berbeda dengan benda-benda-lain. Saya terbang meninggalkan kebebasan-saya.

Ini adalah ketidak-otentikan atau 'keyakinan-buruk'. Seharusnya kita melihat, ketidak-otentikan bukanlah jebakan-kebetulan dalam kehidupan manusia, tetapi esensial terhadap-nya.

Eksistensi manusia adalah sebuah kejatuhan-terus-menerus yang menjauhi pengenalan-otentik terhadap kebebasan-nya.

Sartre disini oleh karena itu menggaungkan paham Heidegger daripada ketidak-otentikan sebagai sebuah kondisi kemungkinan dari eksistensi-manusia.

Intensionalitas memanifestasikan dirinya melalui cara-lain yang penting. Jarang bila saya hanya mengamati dunia, namun sebaliknya saya terlibat didalamnya ketika saya menginginkan untuk melakukan sesuatu, saya memiliki sebuah tujuan yang berada di masa-depan.

Disini, kesadaran-intensional bukanlah keterarahan yang statis kepada benda-benda, tetapi lebih sebuah proyeksi-aktif terhadap masa-depan.

Anggaplah bahwa saya sedang mengejar proyek-saya untuk menikahi kekasih-saya di masa-depan. Ini adalah relasi-intensional terhadap suatu-kondisi di masa-depan mengenai hubungan-cinta-saya.

Karena saya bebas, saya mengikatkan diri-saya kepada proyek-ini dan saya harus menyetujui-kembali terhadap ikatan itu setiap saat. Itu adalah bagian dari proyek-hidup-saya, gambaran dari kehidupan manusia yang saya tawarkan pada diri-saya dan orang lain sebagai sesuatu yang bernilai.

Namun, perhatikan bahwa proyek-saya melibatkan ketidak-otentikan. Saya memproyeksikan diri-saya berada di masa-depan dimana saya sudah-menikahi kekasih-saya (married) --begitulah, saya menetapkan diri-saya sebagai manusia-yang-sudah-menikah (married), seolah-olah saya sebuah ada-yang-tetap.

Oleh karena itu terdapat sebuah tegangan-esensial pada semua proyeksi. Pada satu sisi, fakta satu-satunya bahwa saya memproyeksikan diri-saya ke masa-depan adalah sisipan dari kebebasan-saya, hanya kesadaran-bebas-radikal yang dapat memproyeksikan dirinya-sendiri.

Saya ada sebagai proyeksi terhadap masa-depan, yang sekali lagi, bukanlah saya. Sehingga, saya (dalam pengertian diri yang otentik) adalah bukan-saya (karena proyeksi-saya yang selalu dalam perjalanan menuju masa depan)

Disisi lain, dalam memproyeksikan, saya memproyeksikan diri-saya sebagai suatu-benda, yaitu sebagai satu-benda yang tidak lagi memiliki proyeksi, tidak mempunyai masa-depan, dan tidak bebas.

Maka setiap tindakan, sebagai ekspresi dari kebebasan sekaligus merupakan sebuah jerat-kebebasan. Proyeksi adalah absurd : saya mengejar untuk menjadi objek-yang-tidak-mungkin 'for-it-self-in-it-self', suatu benda yang bebas sekaligus hanya-benda yang tidak-bebas.

Lahirnya tegangan ini, adalah sebuah pengenalan terhadap kebebasan, apa yang disyaratkan-nya dan kerapuhan esensial-nya.

Sehingga, sekali lagi, kita berhadapan dengan kecemasan-eksistensial. (dalam artikel ini, kita tidak menekankan pentingnya konsep waktu bagi Eksistensialisme, tetapi tidak seharusnya dilewati beberapa karya : witness salah satu konsep waktu dari Nietzsche yang paling terkenal ( pengulangan-abadi ) dan beberapa judul sebagian besar karya awal Heidegger Being dan Time.

Dalam keterarahan-intensional kepada kekasih-saya, saya menemukan 'loveable' yang dimiliki-nya

Namun demikian ini juga suatu objektivasi. Dalam tatapan-intensional saya, dia adalah 'loveable' dalam pengertian yang sama bahwa granit adalah keras atau berat.

Sejauh ketika saya jatuh cinta, maka saya mengejar untuk menolak kebebasan-nya

Meski demikian, sejauh ketika saya berharap untuk dicintai oleh-nya, maka dia harus bebas untuk memilih saya sebagai kekasih-nya.

Jika dia bebas, dia melepaskan cinta-saya, jika tidak-bebas, dia tidak bisa jatuh-cinta pada saya.

Adalah dalam pengertian ini bahwa Sartre melakukan analisis terhadap cinta dalam Bagian Tiga dari karyanya Being and Nothingness.

Cinta disini adalah sebuah contoh studi dalam bentuk-bentuk dasar hubungan sosial.

Sartre oleh karenanya bergerak dari kerangka referensi yang sepenuhnya individualistik (diri-saya, kebebasan-saya, dan proyeksi-saya) menuju suatu pertimbangan terhadap diri dalam hubungan-hubungan kongkret dengan orang lain.

Sartre sedang membuat karya --dengan suatu cara yang menurutnya kurang memadai-- persoalan-persoalan yang disajikan oleh dialektika-pengenalan Hegellian, yang telah kita sebutkan di atas.

Neraka dari lingkaran-tindakan-tindakan-kebebasan-tanpa-akhir ini dan objektivasi didramatisasi secara briliant dalam pertunjukan No Exit.

Beberapa tahun kemudian pada akhir tahun 1940, Sartre menulis apa yang telah dipublikasikan sebagai Notebook for an Ethics.

Sartre (pada saat itu dipengaruhi oleh kritisisme dari Marleau-Ponti dan de Beauvoir, dan oleh peningkatan-komitmen-nya kepada politik-kolektivisme) melakukan elaborasi besar terhadap penjelasan eksistensialis-nya tentang hubungan-hubungan dengan ada-yang-lain, mengangkat gagasan Hegellian dengan lebih serius. Dia tidak lagi memikirkan tentang relasi-relasi kongkret dengan terlalu pesimistik.

Meski Nietzsche dan Heidegger keduanya mengajukan kemungkinan sebuah ada-otentik bersama ada-yang-lain, keduanya meninggalkan dibawah-pengembangan secara serius.

Untuk tujuan kita, ada dua kunci gagasan dalam karya Sartre, Notebooks.

Yang pertama adalah bahwa proyeksi-proyeksi-saya dapat diwujudkan hanya dengan berkerjasama dengan ada-yang-lain. Meskipun demikian, kerjasama itu mensyaratkan pra-pemahaman terhadap kebebasan mereka (saya tidak bisa membuat dia mencintai saya), dan penilaian-penilaian mereka terhadap saya harus menjadi perhatian saya.

Oleh karena itu mengijinkan kebebasan kepada ada-yang-lain harus menjadi sebuah bagian-pusat dari semua proyek-proyek saya.

Sartre oleh karenanya mengikatkan diri-nya melawan suatu bentuk-bentuk dominasi politik, sosial atau ekonomi.

Kedua, terdapat kemungkinan terhadap sebuah bentuk organisasi sosial dan aksi didalamnya setiap individual secara bebas memberikan diri-nya kepada suatu proyek bersama : sebuah 'kota terakhir' (ini adalah sebuah karya yang mengangkat kembali gagasan Kant tentang 'kerajaan-terakhir' dalam the Metaphysis of Morals)

Suatu ada-otentik bagi Sartre oleh karena itu berarti dua hal.

Pertama, adalah semacam sebuah 'gaya' dari mengada --seorang yang setiap-saat berada dalam kecemasan dan itu berarti sadar sepenuhnya terhadap absurditas dan kerapuhan kebebasan-nya.

Kedua, meskipun terdapat tingkat minimal dari konten pada setiap proyek-otentik : apapun proyak-saya, juga harus suatu proyek kebebasan, bagi diri-saya dan ada-yang-lain


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2d
Pemahaman Pribadi