Heidegger memiliki suatu pengaruh tak-tertandingi pada pemikiran modern. Tanpa pengetahuan karya-karyanya perkembangan terakhir dalam filsafat modern Eropa (Sartre, Foucault, Gadamer, Arendt, Marcuse, Derrida dan lain-lain) tidak akan dapat dimengerti. Namun, ia masih dikenal-kurang-baik karena keterlibatan-nya dengan Sosialisme Nasional pada tahun 1930-an. Di luar filsafat Eropa, Heidegger hanya kadang-kadang diterima secara serius dan sesungguhnya seringkali konyol (filsuf Oxford terkenal A.J. Ayer menyebut dirinya 'charlatan')
Pada tahun 1945 di Paris, Jean-Paul Sartre memberikan kuliah-umum dengan judul 'Exsistensialism is a Humanism' (Eksistensialisme adalah suatu Humanisme), dimana ia mempertahankan pendapat keutamaan-tindakan serta pendirian bahwa : adalah tindakan-tindakan-manusia yang menentukan kemanusiaan-nya.
Pada tahun 1946, Jean Beaufret dalam sebuah surat kepada Heidegger mengirimkan sejumlah pertanyaan terkait dengan hubungan antara Humanisme dan perkembangan-terkini Eksistensialisme di Perancis.
Tanggapan Heidegger berupa sebuah surat kepada Beaufret yang diterbitkan pada tahun 1947 dalam format-buku berjudul Letter on Humanisme (Surat tentang Humanisme). Dalam buku itu, ia menolak untuk dikaitkan dengan hubungan-apapun-yang-mungkin dengan Eksistensialisme dari Sartre.
Pertanyaan bagi kita disini adalah sebagai berikut :
Apakah mungkin, dengan adanya penolakan Heidegger sendiri dikaitkan dengan Eksistensialisme, tetap memberi karakteristik filsafat Heidegger sebagai Eksistensialis ?
Jawabannya adalah : disamping perbedaan-perbedaan yang dimiliki dengan Sartre, Heidegger dapat diklasifikasikan sebagai seorang pemikir Eksistensialis.
Strategi kita adalah, menekankan hubungan Heidegger dengan beberapa perhatian-kunci para Eksistensialis seperti yang telah diperkenalkan sebelumnya, di bawah judul Eksistensi, Kecemasan dan Keramaian.
Kita telah melihat di atas bahwa suatu prinsip-perhatian dari semua Eksistensialis adalah untuk menyetujui keutamaan-eksistensi-individual dan terhadap penekanan bahwa eksistensi-manusia ditelisik menggunakan metode yang berbeda dengan metode-metode ilmu alam. Itu juga salah satu prinsip-perhatian Heidegger. Karya terbesarnya 'Being and Time' (Ada dan Waktu) adalah sebuah penyelidikan terhadap makna dari ADA (Yang-ADA) sebagai yang-memanifestasikan diri-nya (mewujudkan/menyatakan/menyingkapkan/mengungkapkan/menampakan diri) melalui eksistensi-manusia, Dasein.
Ilmu-ilmu sain terus berulang-ulang mengajukan pertanyaan :
Apa itu manusia ?
Apa itu mobil ?
Apa itu emosi ?
Namun demikian, ilmu-ilmu sain gagal menanyakan sebuah pertanyaan yang mendasari semua pertanyaan semacam itu (karena sifat-kodrati dari ilmu-ilmu sain, ia harus gagal).
Pertanyaan yang dimaksud adalah apa makna dari ADA yang bukan sebuah entitas (seperti ada-ada-yang-lain, sebagai contoh sebuah kursi, sebuah mobil, sebuah batu) dan bukankah hanya melaluinya entitas-entitas memiliki makna ?
Penyelidikan terhadap pertanyaan tentang makna dari ADA, kita menemukan bahwa pertanyaan-itu muncul karena pertanyaan-itu hanya-mungkin dibuat oleh manusia sendiri yang memiliki pertanyaan-itu.
Dasein telah menjadi suatu (pra-konsepsi) pemahaman terhadap ADA karena Dasein adalah 'tempat' dimana ADA memanifestasikan diri-nya.
Tidak seperti pemahaman tradisional terhadap manusia sebagai sebuah hypokeimenon (Aristoteles) --apa yang merupakan pemikiran orang Yunani melalui penyaringan oleh orang Romawi menjadi Substantia (Substansi) yang mendukung semua entitas dan kualitas sebagai dasar dan landasan mereka-- Dasein mengacu pada suatu 'cara' dengan-nya manusia mengada.
"Esensi dari Dasein terletak pada Eksistensi-nya."
(Heidegger 1962: 67)
Dan eksistensi dari Dasein tidaklah tetap seperti eksistensi sebuah Substansi. Inilah mengapa keberadaan-manusia menempati suatu tempat yang terus tidak-stabil dan tidak-tetap.
Tempat virtual yang diduduki Dasein adalah tidak-kosong. Tempat itu diisi bersama ada-ada-yang-lain, yang secara ontologis membentuk kemungkinan-sesungguhnya bagi Dasein. Dasein berada 'di-dalam-dunia'. Dunia bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dasein sebaliknya Dasein tidak dapat dipahami dari luar totalitas-referensial yang menyusun-nya.
Disini Heidegger mengulangi sebuah pola yang telah dikenal dari para Eksistensialis tentang Ketersituasian dari pengalaman.
Sartre, sebaliknya berasal dari tradisi Descartes dan masih percaya penuh dengan tradisi itu.
Dari perspektif Heidegger, strategi Sartre untuk sepakat terhadap keutamaan-eksistensi lebih dari esensi adalah sebuah hasil-samping dari tradisi Humanisme Pencerahan yang bermaksud menegaskan pentingnya manusia sebagai 'ada' yang tertinggi dan paling-besar diantara 'ada-ada-lain-yang-terbatas'.
Eksistensi Sartrean mengacu pada kenyataan yaitu : pada seorang-manusia sedangkan, Eksistensi Heidegger mengacu pada 'cara' yang dengan-nya Dasein terlempar ke dalam sebuah dunia relasi-relasi-referensial dan Dasein semacam itu diakui oleh ADA untuk menjaga/mempertahankan hakekat-nya.
Satre, mengikuti Descartes, berpikir tentang manusia sebagai suatu Substansi yang aktif memproduksi atau mempertahankan entitas-entitas, Heidegger sebaliknya berpikir tentang manusia sebagai suatu pasivitas yang menerima panggilan dari ADA.
"Manusia bukanlah Tuan dari ada-ada."
"Manusia adalah domba-domba gembala dari Yang-ADA"
(Heidegger 1993:245)
Heideggerian kemudian lebih-mengutamakan ADA, dan pentingnya Dasein terletak pada penerimaan-nya terhadap panggilan ADA.
Bagi Kierkegaard, Kecemasan menentukan kemungkinan tanggung-jawab terhadap keluarnya manusia dari keadaan tanpa-dosa dalam Taman Surga dan partisipasi-nya dalam sejarah.
Tetapi tempat-kelahiran Kecemasan adalah pengalaman terhadap Kekosongan, suatu keadaan di dalamnya setiap entitas mengalami penarikan segala fungsionalitas-nya.
"Kekosongan... melahirkan Kecemasan"
(Kierkegaard 1980:41).
Dalam Kecemasan, kita tidak takut terhadap sesuatu secara khusus tetapi kita mengalami teror dari sebuah Kehampaan kedalamnya eksistensi dilemparkan.
Para pemikir Eksistensialis tertarik kepada Kecemasan karena Kecemasan melakukan-individualisasi terhadap seseorang (adalah ketika saya merasa kegelisahan lebih dari apapun, bahwa saya berhadapan langsung dengan eksistensi-individual diri-saya sebagai sesuatu yang terpisah-dan-berbeda dari semua entitas-lain di sekitar saya).
Heidegger berpikir bahwa salah satu cara mendasar dengan-nya Dasein memahami diri-nya di dalam dunia adalah melalui rangkaian 'moods'.
Dasein selalu menemukan diri-nya dalam sebuah 'moods' tertentu. Manusia bukanlah benda-berpikir yang tidak terkait dengan dunia seperti dalam metafisika cartesian, tetapi suatu-ada yang menemukan diri-nya dalam beragam 'moods' seperti Kecemasan atau Kebosanan.
Bagi para Eksistensialis, utamanya dan hampir sebagian besar dari mereka, bukanlah saya-ada karena saya-berpikir (ingat kembali rumus terkenal dari Descartes) tetapi karena 'moods' saya mengungkapkan kepada saya hakekat-fundamental dari eksistensi-saya.
Seperti Kiekegaard, Heidegger juga meyakini bahwa Kecemasan dilahirkan keluar dari teror Kekosongan.
"Ketegaran terhadap 'kekosongan-dan-entah-dimana di dalam dunia' bermakna sebagai sebuah fenomena bahwa dunia seperti ada-nya berhadapan dengan seseorang yang sedang cemas."
(Heidegger 1962:231).
Bagi Kierkegaard kemungkinan Kecemasan mengungkapkan sifat-kodrat-ganda manusia dan karena hal ini dualitas manusia bisa diselamatkan
"Jika seorang manusia adalah binatang-buas atau malaikat, ia tidak mungkin dalam kecemasan. Karena seorang manusia adalah sebuah sintesis, ia bisa di dalam kecemasan, dan semakin-dalam ia dalam kecemasan, semakin hebat dirinya sebagai manusia."
(Kierkegaard 1980:155).
Secara sama bagi Heidegger Kecemasan memanifestasikan kemungkinan Dasein untuk menjalani hidup dalam eksistensi-otentik karena Kecemasan menjadikan-nyata bahwa Keramaian/Kerumunan ada-ada-yang-lain ( apa yang disebut Heidegger 'Mereka' ('They') tidak dapat menawarkan hiburan-apapun terhadap drama-eksistensi.
Dalam artikel ini kita telah membahas ambiguitas atau pada saat sikap-sangat-kritis banyak para Eksistensialis tertuju pada ketidak-kritisan dan ketidak-refleksian dari kerumunan-massa orang-orang yang --secara keseluruhan anti Kantian oleh karena itu anti gerakan Pencerahan-- meletakan makna-eksistensi mereka ke dalam sebuah otoritas-eksternal.
Oleh karena itu, 'Mereka' harus memasrahkan otonomi 'Mereka' (yang tampak benar) sebagai ada-yang-rasional. Bagi Heidegger, Dasein menjalani sebagian besar hidupnya secara tidak-otentik dalam hal bahwa Dasein diserap dalam sebuah cara-hidup yang diproduksi oleh ada-ada-yang-lain, tidak oleh Dasein itu sendiri.
"Kita menerima kesenangan dan kenikmatan kita seperti 'Mereka' ('They') menerima kesenangan. Kita membaca, melihat dan menilai tentang literatur dan karya seni seperti 'Mereka' ('They') melihat dan menilai..."
(Heidegger 1962:164).
Tentu cara-eksistensi ini, 'Mereka' 'They' (Das Man) adalah salah satu Eksistensialia, itu adalah sebuah kondisi-apriori kemungkinan terhadap Dasein yang berarti bahwa ketidak-otentikan disisipkan ke dalam 'cara-mengada' dari Dasein. Hal itu tidaklah berasal dari luar sebagai sebuah pengaruh-buruk yang dapat dibuang/dihapus.
Bahasa Heidegger ambigu pada persoalan tentang ke-tidak-otenti-kan dan pembaca harus membuat keputusan pada status 'Mereka' ('They').
Banyak yang sudah dijelaskan terhadap kemungkinan hubungan-hubungan filsafat Heidegger dengan keterikatan politiknya. Meskipun demikian selalu merupakan sebuah urusan-beresiko untuk membaca karya-karya filsuf besar sebagai manifestasi politik, pandangan pertama tampaknya membuktikan bahwa pemikiran Heidegger dalam wilayah ini layak menerima penyelidikan-cermat seperti yang sudah diterimanya.
Heidegger adalah pemikir yang sangat orisinal. Proyeknya tidak kurang mengatasi metafisika barat dengan mengajukan sebuah pertanyaan tentang ADA yang terlupakan. Ia berdiri diatas hubungan kritis dengan para filsuf-pendahulunya tetapi secara bersamaan ia berhutang-banyak pada mereka, jauh lebih besar dari yang diakui oleh-nya. Ini bukanlah meragukan tentang orisinalitas-nya. Ini bermaksud untuk mengenali bahwa pemikiran bukanlah produk yang keluar-dari-kekosongan, ia datang sebagai sebuah respon terhadap hal-hal masa-lalu, dan bermaksud menuju apa-yang-mungkin dibuat melalui masa-lalu.
Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2c
Pemahaman Pribadi