Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Saturday, July 27, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (3)

c. Martin Heidegger (1889-1976)

Heidegger memiliki suatu pengaruh tak-tertandingi pada pemikiran modern. Tanpa pengetahuan karya-karyanya perkembangan terakhir dalam filsafat modern Eropa (Sartre, Foucault, Gadamer, Arendt, Marcuse, Derrida dan lain-lain) tidak akan dapat dimengerti. Namun, ia masih dikenal-kurang-baik karena keterlibatan-nya dengan Sosialisme Nasional pada tahun 1930-an. Di luar filsafat Eropa, Heidegger hanya kadang-kadang diterima secara serius dan sesungguhnya seringkali konyol (filsuf Oxford terkenal A.J. Ayer menyebut dirinya 'charlatan')

Pada tahun 1945 di Paris, Jean-Paul Sartre memberikan kuliah-umum dengan judul 'Exsistensialism is a Humanism' (Eksistensialisme adalah suatu Humanisme), dimana ia mempertahankan pendapat keutamaan-tindakan serta pendirian bahwa : adalah tindakan-tindakan-manusia yang menentukan kemanusiaan-nya.

Pada tahun 1946, Jean Beaufret dalam sebuah surat kepada Heidegger mengirimkan sejumlah pertanyaan terkait dengan hubungan antara Humanisme dan perkembangan-terkini Eksistensialisme di Perancis.

Tanggapan Heidegger berupa sebuah surat kepada Beaufret yang diterbitkan pada tahun 1947 dalam format-buku berjudul Letter on Humanisme (Surat tentang Humanisme). Dalam buku itu, ia menolak untuk dikaitkan dengan hubungan-apapun-yang-mungkin dengan Eksistensialisme dari Sartre.

Pertanyaan bagi kita disini adalah sebagai berikut :

Apakah mungkin, dengan adanya penolakan Heidegger sendiri dikaitkan dengan Eksistensialisme, tetap memberi karakteristik filsafat Heidegger sebagai Eksistensialis ?

Jawabannya adalah : disamping perbedaan-perbedaan yang dimiliki dengan Sartre, Heidegger dapat diklasifikasikan sebagai seorang pemikir Eksistensialis.

Strategi kita adalah, menekankan hubungan Heidegger dengan beberapa perhatian-kunci para Eksistensialis seperti yang telah diperkenalkan sebelumnya, di bawah judul Eksistensi, Kecemasan dan Keramaian.

Kita telah melihat di atas bahwa suatu prinsip-perhatian dari semua Eksistensialis adalah untuk menyetujui keutamaan-eksistensi-individual dan terhadap penekanan bahwa eksistensi-manusia ditelisik menggunakan metode yang berbeda dengan metode-metode ilmu alam. Itu juga salah satu prinsip-perhatian Heidegger. Karya terbesarnya 'Being and Time' (Ada dan Waktu) adalah sebuah penyelidikan terhadap makna dari ADA (Yang-ADA) sebagai yang-memanifestasikan diri-nya (mewujudkan/menyatakan/menyingkapkan/mengungkapkan/menampakan diri) melalui eksistensi-manusia, Dasein.

Ilmu-ilmu sain terus berulang-ulang mengajukan pertanyaan :

Apa itu manusia ?
Apa itu mobil ?
Apa itu emosi ?

Namun demikian, ilmu-ilmu sain gagal menanyakan sebuah pertanyaan yang mendasari semua pertanyaan semacam itu (karena sifat-kodrati dari ilmu-ilmu sain, ia harus gagal).

Pertanyaan yang dimaksud adalah apa makna dari ADA yang bukan sebuah entitas (seperti ada-ada-yang-lain, sebagai contoh sebuah kursi, sebuah mobil, sebuah batu) dan bukankah hanya melaluinya entitas-entitas memiliki makna ?

Penyelidikan terhadap pertanyaan tentang makna dari ADA, kita menemukan bahwa pertanyaan-itu muncul karena pertanyaan-itu hanya-mungkin dibuat oleh manusia sendiri yang memiliki pertanyaan-itu.

Dasein telah menjadi suatu (pra-konsepsi) pemahaman terhadap ADA karena Dasein adalah 'tempat' dimana ADA memanifestasikan diri-nya.

Tidak seperti pemahaman tradisional terhadap manusia sebagai sebuah hypokeimenon (Aristoteles) --apa yang merupakan pemikiran orang Yunani melalui penyaringan oleh orang Romawi menjadi Substantia (Substansi) yang mendukung semua entitas dan kualitas sebagai dasar dan landasan mereka-- Dasein mengacu pada suatu 'cara' dengan-nya manusia mengada.

"Esensi dari Dasein terletak pada Eksistensi-nya."
(Heidegger 1962: 67)

Dan eksistensi dari Dasein tidaklah tetap seperti eksistensi sebuah Substansi. Inilah mengapa keberadaan-manusia menempati suatu tempat yang terus tidak-stabil dan tidak-tetap.

Tempat virtual yang diduduki Dasein adalah tidak-kosong. Tempat itu diisi bersama ada-ada-yang-lain, yang secara ontologis membentuk kemungkinan-sesungguhnya bagi Dasein. Dasein berada 'di-dalam-dunia'. Dunia bukanlah sesuatu yang terpisah dari Dasein sebaliknya Dasein tidak dapat dipahami dari luar totalitas-referensial yang menyusun-nya.

Disini Heidegger mengulangi sebuah pola yang telah dikenal dari para Eksistensialis tentang Ketersituasian dari pengalaman.

Sartre, sebaliknya berasal dari tradisi Descartes dan masih percaya penuh dengan tradisi itu.

Dari perspektif Heidegger, strategi Sartre untuk sepakat terhadap keutamaan-eksistensi lebih dari esensi adalah sebuah hasil-samping dari tradisi Humanisme Pencerahan yang bermaksud menegaskan pentingnya manusia sebagai 'ada' yang tertinggi dan paling-besar diantara 'ada-ada-lain-yang-terbatas'.

Eksistensi Sartrean mengacu pada kenyataan yaitu : pada seorang-manusia sedangkan, Eksistensi Heidegger mengacu pada 'cara' yang dengan-nya Dasein terlempar ke dalam sebuah dunia relasi-relasi-referensial dan Dasein semacam itu diakui oleh ADA untuk menjaga/mempertahankan hakekat-nya.

Satre, mengikuti Descartes, berpikir tentang manusia sebagai suatu Substansi yang aktif memproduksi atau mempertahankan entitas-entitas, Heidegger sebaliknya berpikir tentang manusia sebagai suatu pasivitas yang menerima panggilan dari ADA.

"Manusia bukanlah Tuan dari ada-ada."
"Manusia adalah domba-domba gembala dari Yang-ADA"
(Heidegger 1993:245)

Heideggerian kemudian lebih-mengutamakan ADA, dan pentingnya Dasein terletak pada penerimaan-nya terhadap panggilan ADA.

Bagi Kierkegaard, Kecemasan menentukan kemungkinan tanggung-jawab terhadap keluarnya manusia dari keadaan tanpa-dosa dalam Taman Surga dan partisipasi-nya dalam sejarah.

Tetapi tempat-kelahiran Kecemasan adalah pengalaman terhadap Kekosongan, suatu keadaan di dalamnya setiap entitas mengalami penarikan segala fungsionalitas-nya.

"Kekosongan... melahirkan Kecemasan"
(Kierkegaard 1980:41).

Dalam Kecemasan, kita tidak takut terhadap sesuatu secara khusus tetapi kita mengalami teror dari sebuah Kehampaan kedalamnya eksistensi dilemparkan.

Para pemikir Eksistensialis tertarik kepada Kecemasan karena Kecemasan melakukan-individualisasi terhadap seseorang (adalah ketika saya merasa kegelisahan lebih dari apapun, bahwa saya berhadapan langsung dengan eksistensi-individual diri-saya sebagai sesuatu yang terpisah-dan-berbeda dari semua entitas-lain di sekitar saya).

Heidegger berpikir bahwa salah satu cara mendasar dengan-nya Dasein memahami diri-nya di dalam dunia adalah melalui rangkaian 'moods'.

Dasein selalu menemukan diri-nya dalam sebuah 'moods' tertentu. Manusia bukanlah benda-berpikir yang tidak terkait dengan dunia seperti dalam metafisika cartesian, tetapi suatu-ada yang menemukan diri-nya dalam beragam 'moods' seperti Kecemasan atau Kebosanan.

Bagi para Eksistensialis, utamanya dan hampir sebagian besar dari mereka, bukanlah saya-ada karena saya-berpikir (ingat kembali rumus terkenal dari Descartes) tetapi karena 'moods' saya mengungkapkan kepada saya hakekat-fundamental dari eksistensi-saya.

Seperti Kiekegaard, Heidegger juga meyakini bahwa Kecemasan dilahirkan keluar dari teror Kekosongan.

"Ketegaran terhadap 'kekosongan-dan-entah-dimana di dalam dunia' bermakna sebagai sebuah fenomena bahwa dunia seperti ada-nya berhadapan dengan seseorang yang sedang cemas."
(Heidegger 1962:231).

Bagi Kierkegaard kemungkinan Kecemasan mengungkapkan sifat-kodrat-ganda manusia dan karena hal ini dualitas manusia bisa diselamatkan

"Jika seorang manusia adalah binatang-buas atau malaikat, ia tidak mungkin dalam kecemasan. Karena seorang manusia adalah sebuah sintesis, ia bisa di dalam kecemasan, dan semakin-dalam ia dalam kecemasan, semakin hebat dirinya sebagai manusia."
(Kierkegaard 1980:155).

Secara sama bagi Heidegger Kecemasan memanifestasikan kemungkinan Dasein untuk menjalani hidup dalam eksistensi-otentik karena Kecemasan menjadikan-nyata bahwa Keramaian/Kerumunan ada-ada-yang-lain ( apa yang disebut Heidegger 'Mereka' ('They') tidak dapat menawarkan hiburan-apapun terhadap drama-eksistensi.

Dalam artikel ini kita telah membahas ambiguitas atau pada saat sikap-sangat-kritis banyak para Eksistensialis tertuju pada ketidak-kritisan dan ketidak-refleksian dari kerumunan-massa orang-orang yang --secara keseluruhan anti Kantian oleh karena itu anti gerakan Pencerahan-- meletakan makna-eksistensi mereka ke dalam sebuah otoritas-eksternal.

Oleh karena itu, 'Mereka' harus memasrahkan otonomi 'Mereka' (yang tampak benar) sebagai ada-yang-rasional. Bagi Heidegger, Dasein menjalani sebagian besar hidupnya secara tidak-otentik dalam hal bahwa Dasein diserap dalam sebuah cara-hidup yang diproduksi oleh ada-ada-yang-lain, tidak oleh Dasein itu sendiri.

"Kita menerima kesenangan dan kenikmatan kita seperti 'Mereka' ('They') menerima kesenangan. Kita membaca, melihat dan menilai tentang literatur dan karya seni seperti 'Mereka' ('They') melihat dan menilai..."
(Heidegger 1962:164).

Tentu cara-eksistensi ini, 'Mereka' 'They' (Das Man) adalah salah satu Eksistensialia, itu adalah sebuah kondisi-apriori kemungkinan terhadap Dasein yang berarti bahwa ketidak-otentikan disisipkan ke dalam 'cara-mengada' dari Dasein. Hal itu tidaklah berasal dari luar sebagai sebuah pengaruh-buruk yang dapat dibuang/dihapus.

Bahasa Heidegger ambigu pada persoalan tentang ke-tidak-otenti-kan dan pembaca harus membuat keputusan pada status 'Mereka' ('They').

Banyak yang sudah dijelaskan terhadap kemungkinan hubungan-hubungan filsafat Heidegger dengan keterikatan politiknya. Meskipun demikian selalu merupakan sebuah urusan-beresiko untuk membaca karya-karya filsuf besar sebagai manifestasi politik, pandangan pertama tampaknya membuktikan bahwa pemikiran Heidegger dalam wilayah ini layak menerima penyelidikan-cermat seperti yang sudah diterimanya.

Heidegger adalah pemikir yang sangat orisinal. Proyeknya tidak kurang mengatasi metafisika barat dengan mengajukan sebuah pertanyaan tentang ADA yang terlupakan. Ia berdiri diatas hubungan kritis dengan para filsuf-pendahulunya tetapi secara bersamaan ia berhutang-banyak pada mereka, jauh lebih besar dari yang diakui oleh-nya. Ini bukanlah meragukan tentang orisinalitas-nya. Ini bermaksud untuk mengenali bahwa pemikiran bukanlah produk yang keluar-dari-kekosongan, ia datang sebagai sebuah respon terhadap hal-hal masa-lalu, dan bermaksud menuju apa-yang-mungkin dibuat melalui masa-lalu.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2c
Pemahaman Pribadi


Sunday, July 14, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (2)

a. Friedrich Nietzsche ( 1844-1900 )

"Aku tahu nasibku ! Suatu hari kelak nama-ku akan dihubungkan dengan ingatan sesuatu semacam monster, dari sebuah krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya di bumi ini..."
(Nietzsche 2007:88)

Sungguh bukan kepalang, apa yang pada tahun 1888 terdengar seperti megalomania beberapa tahun kemudian menjadi kenyataan. Nama 'Nietzsche' telah dihubungkan dengan barisan peristiwa-peristiwa sejarah, konsep-konsep filosofi dan legenda-legenda populer yang tersebar luas. Di atas segalanya, bagaimanapun Nietzsche telah berhasil mengaitkan namanya dengan pusaran suatu krisis.

Untuk beberapa saat, krisis yang dimaksud dikaitkan dengan peristiwa perang-dunia-ke-2. Ledakan-ledakan ajarannya oleh para ideolog-ideolog Nazi (tercatat Alfred Rosenberg dan Alfred Baeumler), meski secara keseluruhan salah-arah, sumber-sumbernya dapat diperdebatkan berasal dari karakter "radikalisme-aristokratik" Nietzsche sendiri.

Lebih umum lagi, krisis yang dimaksud mengacu pada kemungkinan suatu masa-depan tanpa-makna apapun. Ini adalah suatu tema umum bagi semua Eksistensialis tentunya.

Kemungkinan masa-depan terhadap Nihilisme (kemerosotan nilai-nilai-tertinggi), bagi Nietzsche menasbihkan suatu masa didalamnya manusia sendiri, untuk pertama kali dalam sejarahnya, terpanggil untuk memberi makna terhadap keduanya baik kepada eksistensi-dirinya-sendiri maupun kepada eksistensi-dunia.

Nihilisme adalah suatu peristiwa bencana-besar, ketika berada di sana, saat itu pula tidak-ada panduan untuk diikuti, penerang untuk mengarahkan kita, dan tidak-ada hak untuk menjawab tetapi hanya upaya-upaya ujicoba menuju hasil-hasil yang tidak diketahui.

Banyak Eksistensialis, dalam usahanya untuk membedakan nilai eksistensi-individual dari pengaruh-pengaruh-keterasingan-kumpulan-massa, membentuk suatu relasi-yang-buruk dengan nilai-nilai "manusia-biasa" (everyday-man).

'Manusia-biasa' dipandang tidak memiliki kehendak, rasa terhadap hal-hal keindahan dan individualitas, dalam pengertian bahwa penegasan terhadap eksistensi-nya, muncul secara eksklusif dari ikut-sertanya dalam kelompok yang lebih besar dan dari mentalitas 'herd', suatu mentalitas yang dimasukan/ditanamkan oleh kelompok-kelompok kepada para anggotanya.

Nietzsche meyakini bahwa manusia di dalam masyarakat terbagi dan diatur oleh kehendak-dan-kapasitas-nya untuk berperan-serta dalam suatu transformasi kehidupan spiritual dan kebudayaan

Tentu saja tidak setiap orang mengharapkan peran-serta ini dan kutukan Nietzsche terhadap tidak-adanya kehendak untuk menantang keyakinan-keyakinan fundamental mereka adalah sangat kasar. Namun menjadi suatu kekeliruan untuk berpendapat bahwa Nietzsche berpikir kehadiran mereka tidak diperlukan.

Dalam beragam aforisma, ia menekankan pentingnya 'umum' sebagai sebuah keharusan-prasyarat baik bagi perkembangan maupun bagi nilai dari 'kekecualian' (eksepsional).

Gagasan semacam itu bertabrakan dengan pengertian modern kita (diri sebagai suatu produk dari sebuah pelatihan tertentu). Meski demikian, seseorang harus mengenal bahwa tidak ada seorang filsuf tanpa pra-angggapan, dan bahwa keteguhan Nietzsche memegang nilai-nilai 'kekecualian' (eksepsional) menandai awal-dan-pemahaman dirinya terhadap tugas-tugas dari berpikir.

Krisis-makna disamping memunculkan keraguan-politik, krisis-itu-sendiri hanyalah suatu efek-setelah-nya dari suatu tantangan yang lebih besar-dan-dalam, yang diidentifikasi dan dimiliki dalam karya-karya Nietzsche.

Bagi Nietszsche krisis-makna merupakan hubungan tak terpisahkan dengan krisis kesadaran-agama di Barat. Sedang bagi Kierkegaard persoalan makna harus diselesaikan melalui hubungan individual dengan Sang-Ilahi, bagi Nietzsche seorang Anti-Kristian yang militan, persoalan makna hanyalah kemungkinan-kemungkinan-acak yang disebabkan oleh Kematian-Sang-Ilahi.

Seperti yang ia jelaskan dalam karyanya The Genealogy of Morality (Lahirnya Moralitas), hanya setelah penanaman-kebenaran sebagai sebuah-nilai oleh para pendeta maka kebenaran menjadi dipertanyakan nilai-dan-fungsi-nya.

Apa yang sesungguhnya diungkap oleh kebenaran, adalah bahwa di dasar semua kebenaran terletak sebuah-keyakinan kepada nilai-kebenaran yang tidak-dapat-dipertanyakan. Kristianitas dihancurkan, ketika Kristianitas ditekan untuk mengatakan kebenaran-dirinya, ketika ilusi-ilusi dari ideal-ideal-tua masa lalu diungkapkan.

Apa yang disebut 'Kematian-Tuhan' kemudian merupakan kematian dari kebenaran (meski bukan nilai dari kebenaran). Ini adalah suatu peristwa yang membawa konsekuensi sangat-besar bagi masa-depan.

Namun siapapun harus berhati-hati untuk memahami 'Kematian-Tuhan'. Para pembaca dari banyak generasi, dengan terlalu memusatkan perhatian pada peristiwa aktual pengumuman 'Kematian-Tuhan', benar-benar telah melewatkan/mengabaikan kepedihan seorang lelaki-gila yang hadir berkabung mengikuti pengumuman itu.

"Dimana Tuhan ?" Dia berteriak.
"Kuberitahu kau ! Kita telah membunuhnya, kau dan aku !
"Kita semua adalah pembunuhnya."
"Tapi bagaimana kita melakukan ini ?"
"Bagaimana kita mampu meminum lautan ?"
"Siapa yang memberi kita busa untuk menghapus seluruh horizon ?"
"Apa yang akan kita lakukan ketika kita melepaskan ikatan bumi ini dari mataharinya ?"
"Kemana bumi bergerak ?"
"Kemana kita bergerak menuju ?"
"Menjauhi semua matahari ???"
(Nietzsche 2001:125).

Kalimat di atas sangatlah jauh dari deklarasi yang ceria : tak ada seorangpun yang bahagia disana !

Ateisme Nietzsche tidak ada kaitan-nya dengan ateisme-naif pada orang lain (sebagai contoh Sartre) yang tergesa-gesa untuk mengafirmasi kebebasan mereka, seolah-olah sedikit-individualitas mereka mampu mengisi ruangan-kosong-sangat-besar yang ditinggalkan oleh Tidak-Adanya-Tuhan.

Nietzsche tidaklah naif dan karena ia tidak naif ia menjadi lebih pesimistik. Apa yang diumumkan tentang 'Kematian-Tuhan' sesungguhnya adalah 'Kematian-Manusia' seperti yang kita ketahui/pahami.

Siapapun harus memikirkan jeda ini dalam sejarah manusia, melalui pengertian Kantian. Kant menggambarkan Pencerahan sebagai :

"Keluarnya manusia dari penderitaan ketidak-dewasaan-dirinya."

Begitu juga Nietzsche meyakini Kematian-Sang-Ilahi menjadi kesempatan bagi suatu-ada yang menurunkan makna-eksistensi-nya dari dalam dirinya-sendiri dan tidak dari otoritas-eksternal yang memberikan kepada-nya.

Jika makna eksistensi-manusia diturunkan dari Tuhan maka, dengan semesta yang kosong, manusia tidak dapat mengisi-kembali ruangan kosong yang ditinggalkanTidak-Adanya-Tuhan.

Ruangan kosong ini hanya bisa diisi oleh sesuatu yang lebih besar-dan-penuh, yang dalam jargon Nietzschean berarti kesatuan-terbesar dari kekuatan-kekuatan-yang-bertentangan.

Adalah Ubermensch (overhuman) yang bagi Nietzsche menandai usaha menuju produksi kebudayaan dari eksistensi-manusia yang menyadari dualitas-turunan-nya --dari kebinatangan dan rasionalitas-- tanpa mengutamakan salah satunya tetapi tetap menjaganya dalam sebuah keseimbangan-kompetisi (agonistik) sedemikian rupa hingga bentuk-bentuk baru dan menarik dari eksistensi-manusia dapat dilahirkan melalui perjuangan.

Nietzsche telah melalui pelatihan filologi-klasik (dalam pengertian Anglosaxon secara kasar setara dengan keahlian dalam bidang-klasik --teks-teks dari para pengarang-pengarang Yunani kuno dan Roma)

Mungkin karena akrab dengan para penulis kuno, ia menjadi sensitif terhadap pemahaman yang cukup-berbeda tentang pemikiran filosofis pada jamannya.

Bagi orang Yunani, pertanyaan-pertanyaan filosofis mengambil sudut pandang suatu pilihan-hidup tertentu. Jika tidak-ada penghayatan 'kehidupan' maka cukup terpisah dengan kontemplasi terhadap fenomena secara teoritis atau 'dari kejauhan' (theoria dari thea : pemandangan, horan : untuk dilihat). Spekulasi filosofis adalah hasil suatu cara-menghayati-kehidupan tertentu dan upaya penilaian (justifikasi) terhadap kehidupan itu.

Dengan menarik Kant membungkus sikap ini dalam bab bahasan sebagai berikut :

"Kapan anda pada akhirnya akan mulai hidup secara bijaksana ?", Kata Plato kepada seorang-tua yang mengatakan kepadanya bahwa ia mengikuti sekolah kebijaksanaan.

Intinya bukanlah selalu untuk berspekulasi, tetapi pada akhirnya juga untuk berpikir bagaimana menerapkan pengetahuan. Namun, sekarang ini mereka yang menjalani hidup dengan berkompromi terhadap apa yang diajarkan-nya diterima/dinilai sebagai seorang pemimpi.
(Kant in Hadot 2002:xiii).

Kita harus memahami hubungan Nietzsche dengan filsafat dalam konteks ini bukan hanya karena itu menggambarkan sebuah gaya-kontemplasi berbeda tetapi karena mendemonstrasikan cara-berfilsafat yang menggabungkan semua-ragam-cara-berfilsafat.

Sehingga dalam karyanya Twilight of the Idols (Gerhana Idola-Idola), Nietzsche menuduh para filsuf bersikap 'Egyptisme', kenyataan bahwa mereka mengubah segalanya menjadi sebuah konsep di bawah evaluasi / penilaian.

"Semua yang telah ditangani para filsuf selama ratusan tahun adalah konseptual Mummi, tak-ada hal-nyata yang ditinggalkan tangan-tangan mereka tetap-hidup."
(Nietzsche 1998:16).

Konsep-konsep filosofi dapat bernilai sejauh mereka melayani suatu kehidupan yang berkembang, bukan sebagai suatu latihan-latihan akademis.

Di bawah model-baru, filsafat metafisika-lama dan pertanyaan-pertanyaan moral digantikan dengan pertanyaan-pertanyaan baru terkait dengan sejarah, genealogi, kondisi-kondisi lingkungan dan lain sebagainya.

Mari kita ambil sebuah karakteristik bab bahasan pada tahun 1888 :

"Saya tertarik pada suatu pertanyaan dimana penyelamatan-kemanusiaan lebih bergantung kepada-nya daripada kepada benda-langka-bernilai-tinggi para theologian : pertanyaan itu adalah tentang nutrisi. Agar mudah digunakan, seseorang dapat meletakan dalam pengertian : Bagaimana secara pribadi anda memberi asupan-nutrisi diri-anda untuk mencapai kekuatan maksimum, mencapai kebajikan maksimum dalam gaya-pencerahan, kebajikan maksimun bebas-moralitas ?"
(Nietzsche 2007:19).

Apa yang berusaha dikatakan Nietzsche kepada kita disini ?

Dua hal, pertama mengikuti tradisi Spinosa, yaitu gerakan dari transenden menuju immanen melalui rehabilitasi tubuh/badan.

Namun untuk mengatakan itu, tidak berarti hanya menggunakan pola-pikir-sederhana materialisme. Ketika Spinosa mengatakan :

"Tak seorangpun telah menentukan batas kemampuan tubuh/badan."
(Spinoza 2002: 280)

ia tidak sedang menulis sesuatu semacam kekuatan-tubuh/badan tetapi pada kemungkinan sebuah kemunculan tubuh/badan terbebas dari sedimen-sedimen kebudayaan-dan-ingatan. Pola-asli tubuh/badan ini bahkan tidak diketahui dan kita berdiri dalam ketidaktahuan akan kemampuan-nya.

Hal kedua yang dikatakan Nietzsche pada kita dalam bab di atas adalah bahwa filsafat baru immanen pasti mensyaratkan suatu etika-baru.

Seseorang harus dijelaskan di sini karena banyaknya kekeliruan pengertian terhadap etika Niethzschean. Nietzsche utamanya adalah seorang filsuf etika, tetapi etik disini lebih mengacu pada kemungkinan justifikasi sebuah cara-menjalani-hidup, jalan-hidup-yang-mana yang selanjutnya akan menjustifikasi keberadaan-manusia di bumi ini.

Bagi Nietzsche, etika tidak mengacu pada aturan moral dan panduan bagaimana untuk menjalani kehidupan bagi seseorang.

Moralitas, yang ditolak Nietzsche, mengacu pada kebutuhan-obsesif dari manusia untuk melestarikan spesies-nya dan untuk menghargai spesies itu sebagai lebih-tinggi dari binatang lain (suatu kebutuhan atau insting juga bisa di pelajari menurut Nietzsche).

Secara ringkas moralitas adalah arogan. Suatu etika Nietzschean adalah suatu etika biasa/wajar, ia meletakan manusia kembali ke tempat seharusnya diantara binatang-binatang lain.

Meskipun demikian untuk mengatakan itu bukanlah untuk menyamakan manusia dengan binatang. Tidak seperti binatang-non-manusia, manusia adalah produk sejarah yang bisa dikatakan produk dari memori/ingatan. itulah beban dan tanggung jawab mereka.

Dalam karyanya The Genealogy of Morality (Lahirnya Moralitas), Nietzsche menjelaskan moralitas sebagai sebuah sistem yang bertujuan menaklukan kebinatangan-manusia.

Tujuan moralitas adalah eliminasi kekuatan-kreatif dari insting-kebinatangan dan penetapan terhadap sebuah kehidupan yang terlindungi dalam kepompong ideal-ideal-asketis.

Ideal-ideal ini adalah semua nilai-nilai dan ideologi-ideologi yang diciptakan untuk melindungi manusia dari bahaya Nihilisme, sebuah keadaan didalamnya manusia tidak-menemukan-jawaban-apapun untuk menjawab pertanyaan eksistensi-nya.

Moralitas sesuai dengan pelestarian spesies manusia, moralitas dengan keras-kepala menolak kemungkinan sebuah akhir yang terbuka bagi manusia di masa-depan.

Jika kita dapat merangkum anthropolgi filosofis Nietzsche dengan sedikit kata, kita akan mengatakan bahwa : bagi Nietzsche adalah penting untuk berusaha (tak ada jaminan disini) untuk berpikir tentang manusia bukan sebagai sebuah akhir-dalam-dirinya-sendiri tetapi hanya sebagai makna/nilai bagi sesuatu yang lain :

"...sempurna, selesai-sepenuhnya, bahagia, penuh-kuasa, kejayaan, yang tetap meninggalkan sesuatu untuk ditakuti."
( Nietzsche 2007:25 ).


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2b
Pemahaman Pribadi




Saturday, July 13, 2019

Eksistensialisme 3 : Para Filsuf Kunci (1)

a. Soren Kierkegaard ( 1813-1855 )

Kierkegaard mempunyai banyak arti, diantaranya seorang filsuf, penulis-relijius, satiris, psikologis, jurnalis, kritikus-sastra dan secara umum dinilai sebagai 'Bapak-Eksistensialisme'.

Kierkegaard terlahir di Copenhagen, di dalam keluarga yang sejahtera, sehingga membuatnya mampu untuk mengabdikan hidupnya demi memburu keterarikan-intelektual-nya, sekaligus menjauhkan diri dari kehidupan sehari-hari 'lelaki-biasa' pada jamannya.

Karya-karya paling penting dari Kierkegaard menggunakan nama-samaran, ditulis dengan memakai nama-nama-fiksi, bahkan seringkali sangat-fiksi. Persoalan karya-dengan-nama-samaran terus diinterpretasikan secara beragam sebagai sebuah perangkat-sastra, suatu permainan-kata-kata personal, atau sebagai sebuah ilustrasi terhadap 'tegangan-yang-konstan' antara 'kebenaran-filosofis' dan 'kebenaran-eksistensial atau kebenaran-personal'.

Kita telah melihat bahwa bagi para Eksistensialis, adalah sama pentingnya antara apa-yang-dikatakan seseorang dan cara-dengannya-sesuatu-dikatakan. Bentuk ini merupakan bagian dari usaha untuk kembali kepada cara-berfilsafat yang-lebih-otentik, yang pertama-kali dicontohkan oleh para filsuf dari Yunani. Dalam sebuah karya seperti itu (terutama suatu risalah melawan para Hegelian) refleksi-refleksi-teoritis selalu diikuti dengan refleksi-refleksi-emosional bagaimana merayu seorang gadis.

Sudut-pandang ini adalah untuk menekankan beda-jarak antara kebenaran-kebenaran yang dihasilkan secara anonimus-dan-logis dari para penganut-logika dan kebenaran-kebenaran-personal dari eksistensi-individual. Setiap pengarang yang menggunakan nama-samaran adalah sebuah simbol bagi suatu eksistensi-individual dan pada saat yang sama, nama-nya adalah sebuah-kunci terhadap misteri-eksistensi-nya (seperti dalam kasus Johanes de Silentio, nama-pengarang-fiksi pada karya berjudul Fear and Trembling, dimana misteri dari tindakan-tindakan Abraham tidak-bisa diungkapkan, menjadi suatu produk kesenyapan sekaligus milik kesunyian).

Kierkegaard dikaitkan dengan sebuah paham kebenaran-subjektif (atau personal), tetapi apa maksudnya ?

Permasalahan tersebut dihubungkan dengan konfrontasi-terkenalnya melawan Danish Church dan lingkungan-akademis pada masa-nya. Karya Kierkegaard mengambil sisi berlawanan dengan latar-belakang suatu sistem-pengajaran (aliran-pemikiran) yang didominasi oleh dialektika-Hegelian dan suatu masyarakat yang mengurangi/menghilangkan komunikasi dengan Sang-Ilahi dalam pencarian-keseharian pada sisi-ritualistik suatu Kristianitas yang telah terlembaga.

Bagi Kierkegaard Hegel adalah musuh-utamanya, tidak hanya karena apa yang ditulisnya tetapi juga apa yang direpresentasikan-nya. Hegel adalah sebuah kekeliruan bagi Kierkegaard karena dia mengurangi/menghilangkan kebenaran-hidup Kristianitas (fakta bahwa Tuhan menderita dan meninggal disalib) hanya untuk sementara waktu saja, yang kemudian pasti akan muncul-kembali, melalui perkembangan-dialektis dari Roh. Sementara Hegel memperlakukan Tuhan sebagai sebuah 'Begriff' (sebuah konsep), bagi Kierkegaard kebenaran-Kristianitas menandakan paradok-sebuah-keyakinan yaitu :

bahwa adalah mungkin bagi individu untuk melampaui 'hal-hal-etis' dan namun atau lebih karena tindakan ketidaktaatan ini untuk dicintai oleh Tuhan.

Pendapat yang paling terkenal, bagi Hegel 'semua-yang-nyata adalah rasional', dimana rasionalitas berarti terartikulasikan-secara-historis, merupakan gerak-maju-dialektis dari Roh, sedangkan bagi Kierkegaard penanggalan-rasionalitas adalah rahasia-tertinggi dari Kristianitas.

Melawan logika-beku dari sistem Hegelian, Kierkegaard mencari "sebuah kebenaran yang benar bagi saya" (Kierkegaard 1996:32). Kristianitas secara khusus merepresentasikan usaha untuk menawarkan kehidupan-seseorang bagi pelayanan pada Sang-Ilahi. Hal ini tidak-bisa diperdebatkan, tetapi hanya bisa dihayati. Sementara seorang Theologian berusaha berdebat mengenai validitas pendiriannya dengan mengajukan pendapat dan membalasnya, seorang Kristian yang sejati akan berupaya menghayati hidupnya seperti cara Jesus menghayati kehidupan.

Ini sebuah bukti yang menandai kontinyuitas gagasan Hellenis tentang filsafat sebagai cara-menghayati-hidup, yang dicontohkan oleh sosok Socrates yang tidak menulis risalah apapun, tetapi yang meninggal demi gagasan-gagasan-nya. Dihadapan konsep-konsep-logis dari para Theologian (dalam kalimat dari Heidegger yang sangat dipengaruhi oleh Kierkegaard) diungkapkan dengan :

"manusia tidak-dapat bersimpuh sujud dengan rasa-penuh-kagum-dan-pesona sekaligus memainkan musik-dan-berdansa dihadapan Sang-Ilahi" (Heidegger 2002:42).

Gagasan 'kebenaran-subjektif' akan memiliki konsekuensi-konsekuensi serius pada pemahaman filosofis terhadap manusia. Oleh Aristoteles, manusia secara tradisional didefinisikan sebagai 'animale-rasionale' (binatang-yang-berpikir/binatang-rasional) dan dalam jangka waktu panjang dipuja seperti itu oleh banyak generasi pemikir-filosofis, kini Kierkegard muncul untuk mendefinisi-ulang manusia sebagai 'passionate-animal' (binatang-yang-berhasrat/binatang-emosional).

Apa yang menjelaskan tentang manusia adalah intensitas dari emosi-emosi-nya dan kehendak-nya untuk meyakini yang tidak bisa dipahami (berlawanan dengan pandangan manusia yang penuh dengan kekuatan-akal). Pembukaan jalan oleh Kierkegaard terhadap 'terra incognita' (wilayah yang belum terjamah) dari kehidupan-sisi-dalam-manusia menjadi berperan besar bagi para Eksistensialis berikutnya (yang paling penting bagi Nietzsche) dan akan membawa menuju sinar-terang keluar dari kegagalan dan kelemahan sebuah model-filsafat-optimis-berlebihan (karena bentuk-sebelumnya telah dimodelkan oleh ilmu-ilmu alam) yang mengajarkan untuk banyak berbicara mengenai 'kebenaran' tentang manusia, ketika semua hal yang dipahami tentang manusia merupakan suatu versi-terpotong (tidak memandang manusia sebagai totalitas kesesatuan/keseluruhan).

Dalam taman-surga, Adam dan Hawa menjalani hidup dalam keadaan tanpa-dosa ketika berkomunikasi dengan Tuhan dan dalam harmoni dengan lingkungan-fisiknya. Pengusiran dari taman-surga membuka suatu kemungkinan-kemungkinan-baru yang luas bagi mereka dan oleh karenanya muncul persoalan 'kecemasan'. Adam (kata Yahudi yang berarti manusia) sekarang menjadi bebas untuk menentukan jalur segala-sesuatu melalui tindakan-tindakannya. Secara alami-kodrati terdapat suatu 'tegangan' disini. Manusia, diciptakan sesuai dengan 'citra' Tuhan adalah sebuah ada-yang-tak-terbatas. Seperti Tuhan, manusia juga dapat memilih-dan-bertindak sesuai kehendak-nya. Meskipun demikian, secara bersamaan manusia adalah ada-yang-terbatas karena manusia dibatasi oleh tubuhnya, secara khusus oleh kondisi-kondisi sosial ekonomis dan lain sebagainya. 'Tegangan' antara terbatas dan tak-terbatas adalah sumber dari 'kecemasan'. Tetapi tidak seperti analisis Hegelian, Kierkegaard tidak mencari sebuah jalan keluar dari 'kecemasan', sebaliknya ia menekankan peran-positif-kecemasan dalam perkembangan manusia. Seperti yang dikatakan dengan penuh karakter :

"karena manusia adalah suatu sintesa, dia bisa menjadi di dalam kecemasan, dan semakin dalam lagi manusia berada dalam kecemasan, ia semakin hebat menjadi manusia" (Kierkegaard 1980:154).

Mengutamakan 'kecemasan' sebagai sebuah karakteristik eksistensi-manusia adalah sebuah gerak-tipikal para Eksistensialis, yang bermaksud untuk menegaskan peran-positif dari emosi-emosi bagi kehidupan manusia.

Mungkin karya yang paling terkenal dari Kierkegaard adalah Fear and Trembling, sebuah buku-pendek yang menunjukan banyak persoalan yang diangkat olehnya disepanjang karirnya. Fear and Trembling menceritakan kembali kisah pengorbanan Isak oleh ayahnya Abraham. Tuhan memerintahkan bahwa untuk membuktikan keyakinan-nya Abraham harus mengorbankan anak satu-satunya. Abraham mematuhinya, tetapi pada saat-saat terakhir Tuhan turun-tangan dan menyelamatkan Isak.

Moral apakah yang terkandung dari kisah itu ? Menurut keyakinan moral kita, tidak-kah seharusnya Abraham menolak untuk melakukan rencana Tuhan yang kejam ? Bukankah salah-satu keyakinan dasar dari Kristianitas adalah penghargaan terhadap kehidupan orang lain ? Jawaban yang secara alamiah disetujui. Abraham seharusnya menolak perintah Tuhan dan dia seharusnya menghormati hukum-hukum-etika.

Dengan demikian Abraham akan berada dalam sebuah hubungan-baik dengan hukum-itu-sendiri seperti dalam ungkapan 'warga yang selalu mematuhi hukum'. Namun sebaliknya, apa yang coba dicapai oleh Abraham adalah sebuah hubungan-personal dengan pencipta-hukum-moral. Pencipta ini dalam pengertian bukanlah sebuah sosok-figur-atau-ide abstrak, dia adalah seseorang dengan sebuah sebutan.

Sebutan 'Tuhan' Tetragrammaton (YHVE) adalah sulit untuk didefinisikan, ke-tidak-bisa-an untuk didefinisikan menunjukan ketertutupan sekaligus jarak terhadap 'yang-maha-besar'. Sehingga Tuhan-Kristian, sang-pencipta-hukum-moral atas kehendaknya sendiri menangguhkan hukum dan menuntut harapan-yang-tidak-sah-secara-etis untuk dipatuhi. Jacques Derrida menilai bahwa kini godaan bagi Abraham adalah hukum-etis itu sendiri (Derrida 1998:162) yaitu : ia harus menolak hal-etis, ini adalah logika-gila dari Tuhan.

Kisah tersebut secara alami memunculkan sejumlah persoalan. Bukan-kah model-kebenaran-subjektif semacam itu dan agama jelas berbahaya ? Bagaimana jika seseorang mendukung tindakan kekerasan sebagai sebuah perintah Tuhan ? Tanggapan Kierkegaard memberi pendapat bahwa hanya karena Abraham mencintai Isak dengan sepenuh hatinya sehingga pengorbanan bisa terjadi. "Dia harus mencintai Isak dengan seluruh jiwanya.... hanya demikian maka dia mampu mengorbankan-nya" (Kierkegaard 1983:74). Keyakinan Abraham dibuktikan dengan kekuatan-cinta pada dirinya kepada anaknya.

Meskipun demikian, ini bukanlah jawaban-lengkap terhadap pertanyaan tentang legitimasi, bahkan jika kita sepakat bahwa Abraham meyakini Tuhan mencintai-nya sehingga Tuhan akan berbagi perhatian kepada-nya. Kierkegaard juga membedakan antara tindakan Abraham dengan sebuah tindakan kepahlawanan-yang-tragis (seperti Agamemnon mengorbankan putrinya Iphigenia). Tindakan kepahlawanan-yang-tragis adalah sebuah hasil-perhitungan. Apa yang lebih baik untuk dilakukan ? Apa yang akan lebih menguntungkan ? Abraham jauh dari semua-perhitungan-pendek, dia berdiri sendiri, hanya begitu, bebas dihadapan ketakutan relijiusitas, harga dan imbal-balik dari kepercayaan.


Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/#SH2b
Pemahaman Pribadi



Wednesday, July 3, 2019

Eksistensialisme 2 : Tema-Tema Kunci Eksistensialisme (2)

Meskipun eksistensialisme merupakan sebuah tradisi pemikiran yang sangat beragam, tujuh tema dapat diidentifikasikan kepadanya yang memberi suatu kesatuan-pengertian secara keseluruhan.

Di sini, tema-tema akan diperkenalkan dengan singkat yang kemudian dapat menyediakan kita sebuah kerangka-intelektual untuk membahas sosok-sosok yang diambil sebagai contoh dalam sejarah eksistensialisme.

d. Ketersituasian

Tema umum berikutnya, kita menyebut ketersituasian.

Meskipun kebebasan-saya adalah absolut, kebebasan-saya selalu berada di dalam sebuah kontek-khusus. Tubuh-saya dan karakteristiknya, lingkungan-lingkungan-saya, berada di dalam dunia yang mensejarah dan masa-lalu-saya semuanya menambah berat beban kebebasan-saya. Hal inilah yang membuat kebebasan menjadi penuh makna.

Anggaplah saya berusaha mengada sebagai kebebasan walaupun sekedar berpura-pura berada di dalam abstraksi sebuah situasi. Dalam kondisi tersebut, saya tidak paham kemungkinan-kemungkinan apa yang terbuka bagi saya dan pilihan-pilihan apa yang harus saya-ambil di sini dan sekarang ini. Dalam kasus seperti itu, kebebasan-saya menjadi lugu/naif atau hanya bersifat ilusi.

Paham kebebasan yang konkret ini, mempunyai asal kelahiran filosofinya dari Hegel dan secara umum bertentangan dengan kebebasan-rasional-murni yang dideskripsikan oleh Kant.

Ketersituasian dihubungkan dengan paham yang telah kita bahas sebelumnya, berada di dalam tema filsafat sebagai cara-menghayati-hidup dalam hal pentingnya untuk memandang atau memahami kehidupan dan eksistensi dari dalam kehidupan itu sendiri.

Sebagai contoh banyak para intelektual abad ke 19 tertarik pada filsafat periode Yunani-Kuno, Roma dan abad-pertengahan atau filsafat-timur sebagai sebuah bentuk model-alternatif yang lebih terintegrasi dengan kehidupan.

Nietzsche dapat dipastikan turut memberi perhatian pada hal ini tetapi dia bukanlah bersikap tidak-kritis karena kondisi-manusia dicirikan oleh ada-yang-tersituasi-secara-historis, kondisi-manusia tidak dapat diubah hanya dengan memutar balik jarum jam atau diputuskan-begitu-saja menjadi suatu-kondisi yang lain. (Sartre secara khusus memiliki pandangan yang sama). Terkait dengan pandangan di atas, Heidegger menyatakan sebuah pendapat bahwa eksistensi-manusia tidak dapat diabstraksikan dalam dunia-nya karena ada-didunia-ini adalah bagian dari struktur-ontologis eksistensi itu sendiri. Banyak para eksistensialis menerima badan-individual-konkret-saya dan jenis kehidupan spesifik yang dihayati oleh badan-saya sebagai sebuah fakta utama mengenai saya (sebagai contoh Nietzsche, Scheler dan Marleau Ponti).

Saya juga pasti tersituasi-secara-sosial, setiap tindakan-tindakan saya katakanlah mengenai bagaimana saya memandang orang lain, namun secara resiprokal, setiap tindakan-tindakan mereka adalah juga sebuah pandangan mengenai segalanya tentang saya. Kebebasan-saya selalu tersituasi dengan penilaian-penilaian dari orang lain. Pemahaman khusus ini berasal dari analisis Hegel terhadap 'pengenalan' (recognation) dan ditemukan secara khusus pada Sartre, de-Beauvoir dan Jaspers.

Ketersituasian secara umum juga memiliki turunan yang penting secara filosofis, sebagai contoh pada Marx : kondisi-kondisi ekonomi dan politik bukanlah bersifat kontingen terhadap sifat kemanusiaan universal tetapi kondisi yang tumbuh secara alami dari dasar.

e. Eksistensi

Tentu saja, meskipun eksistensialisme mengambil sebutan-nya dari tema-bahasan filsafat eksistensi, ini tidak berarti bahwa terdapat kesamaan dalam cara memahami eksistensi itu sendiri. Namun demikian terdapat satu-titik kesesuaian di sana, yaitu bahwa eksistensi yang dengannya/padanya harus kita perhatikan di sini bukanlah eksistensi-benda-apa-pun tetapi eksistensi-manusia. Oleh karena terdapat perbedaan penting antara eksistensi-manusia yang mempunyai ciri-khusus dengan eksistensi-benda-benda-lainnya dan eksisitensi-manusia bukanlah untuk dipahami menggunakan model eksistensi-benda-benda yaitu sebagai objek-pengetahuan.

Seseorang mungkin berpikir bahwa ini adalah sebuah gagasan lama yang berakar dari perbedaan antara materi-dan-jiwa (matter and soul) yang dikemukakan Plato atau oleh pandangan Descartes melalui perbedaan antara badan-dan-pikiran (extended and thinking things). Namun perbedaan ini tampak hanya merupakan perbedaan antara dua jenis benda. Meskipun demikian, secara khusus Descartes seringkali dikritisi oleh para eksistensialis karena merangkum keduanya badan-dan-pikiran ke dalam satu-pengertian 'substansi' dan oleh karenanya memperlakukan apa yang khusus dalam eksistensi-manusia benar-benar sebagai sebuah eksistensi-benda-atau-objek, sekalipun dengan sifat-sifat yang berbeda. (Apakah karakterisasi eksistensialis terhadap pendapat Plato atau Descartes adalah akurat, itu adalah sebuah pertanyaan yang berbeda.)

Para eksistensialis oleh karena itu melawan konsepsi Plato dan Descartes dengan sebuah model yang lebih mirip dengan pandangan Aristoteles seperti yang dikembangkan dalam karyanya Nichomachean Ethics. Gagasan ini sampai kepada para eksistensialis meski telah melalui penyaringan oleh Leibniz dan Spinosa serta oleh paham-paham yang berupaya mencari pemahaman terhadap eksistensi.

Sama pentingnya adalah peningkatan secara praktis yang melebihi peningkatan teoritis pada para Idealis Jerman. Khususnya pada Kant yang menekankan pada keutamaan 'praktis' dan kemudian pada Fiche dan masa awal dari Schelling, kita menemukan pemahaman bahwa eksistensi adalah tindakan. Begitu juga pada Nietzsche dan Sartre pemahaman bahwa eksistensi-manusia adalah segala dan hanya apa yang dilakukan manusia itu sendiri ('being') dan secara korelatif berarti membebaskan diri dari ketakutan akan kematian, juga dari hal-hal di dalam diri-saya yang merupakan semua tindakan-tindakan yang telah saya-lakukan. Meskipun tindakan-tindakan saya adalah bebas, saya tidak-bebas untuk tidak-bertindak. Oleh karena itu eksistensi juga dicirikan oleh exigency yaitu situasi-sulit yang mendesak dan harus dihadapi (Marcel). Bagi para eksistensialis, eksistensi-yang-otentik melibatkan sebuah tegangan-tertentu yang melaluinya dikenali dan dihayati tetapi tidak-bisa diselesaikan. Tegangan ini dapat berupa tegangan antara binatang-dan-rasionalitas (penting pada Nietzsche) atau antara faktisitas-dan-transenden (Sartre dan de Beauvoir)

Pada abad ke 19 dan 20, ilmu pengetahuan manusia (seperti psikologi, sosiologi atau ekonomi) telah menjadi ilmu-ilmu yang dikenal sangat kuat dan diakui-legitimasinya. Sampai tingkat tertentu, setidaknya asumsi-asumsi dan metode-metode ilmu-sosial dan humaniora tampak dipinjam dari limu-ilmu alam. Meskipun para filsuf seperti Dilthey dan kemudian Gadamer telah memberikan perhatian untuk menunjukan bahwa ilmu-ilmu pengetahuan tentang manusia harus mempunyai metode-khusus, para eksistensialis cenderung untuk bergerak lebih jauh lagi. Kebebasan dan keberadaan-manusia yang tersituasi bukanlah objek dari pengetahuan, dalam pengertian manusia selalu mengada sebagai kemungkinan melampaui setiap pengetahuan apapun tentangnya. Sebuah hubungan yang jelas antara gagasan semacam itu dan paham 'trasendensi-terhadap-yang-lain' ditemukan dalam fenomenologi-etis dari Emmanuel Levinas.

f. Irrasionalitas / Absurditas

Diantara gagasan paling terkenal yang dikaitkan dengan eksistensialisne adalah tentang absurditas. Eksistensi-manusia dapat dideskripsikan sebagai absurditas dalam salah satu pengertian berikut ini.

Pertama, banyak eksistensialis berpendapat bahwa alam sebagai sebuah kesatuan/keseluruhan tidaklah mempunyai rancangan dan, tidak ada alasan yang masuk-akal bagi keberadaannya. Meskipun dunia-alam, dapat dipahami dengan ilmu-ilmu fisik atau metafisik, hal itu mungkin akan lebih baik untuk dipertimbangkan sebagai 'deskripsi' daripada pemahaman atau penjelasan. Sehingga capaian-capaian ilmu-alam tidaklah bersifat mengandung nilai atau makna. Sebagai contoh, seperti sebuah kosmos yang telah tercipta, kita tidak dapat mengharap deskripsi-saintifik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kita berkaitan dengan nilai atau makna. Lebih lagi deskripsi semacam itu muncul dengan pengorbanan sebuah kekeliruan berpikir yang mendalam terhadap alam : sebutlah meletakan entitas-ideal seperti hukum-alam sebagai sebuah dasar argumen atau penggabungan dari semua realitas di bawah sebuah model ada-yang-tunggal.

Manusia dapat dan seharusnya menjadi sangat sadar terhadap adanya ketidak-masuk-akalan dan ketidak-mungkinan sebuah pemahaman dari dalam terhadapnya. Camus, sebagai contoh, berpendapat bahwa dasar pandangan terhadap eksistensi-manusia adalah konfrontasi dirinya dengan irrasionalitas yang tidak dapat diungkapkan.

Makna kedua dari absurd adalah : kebebasan saya bukan hanya tidak-ditentukan oleh pengetahuan atau akal, tetapi juga dari sudut-pandang bahwa kebebasan itu sendiri bahkan tampak absurd.

Absurditas oleh karenanya sangat terkait dengan tema 'ada-pada-dirinya-sendiri', yang telah kita bahas sebelumnya di bawah judul-bahasan kecemasan. Bahkan jika saya memilih untuk mengikuti dan mematuhi sebuah hukum yang kepadanya saya telah mengabdikan/mematuhkan diri, pilihan saya terhadap hukum-itu akan tampak absurd, dan begitu juga pilihan-afirmasi-kembali saya untuk terus menerus setia mematuhinya tampak absurd.

Ketiga, eksistensi-manusia sebagai tindakan adalah situasi-buruk tak terhindarkan yang selalu menghancurkan dirinya. Suatu tindakan-bebas, sekali telah dilakukan menjadi tidak-bebas. Ia berubah menjadi salah satu aspek-dunia, yaitu suatu-benda.

Absurditas eksistensi-manusia kemudian seolah terletak di dalam sebuah fakta bahwa dalam-menjadi-diri-saya (suatu eksistensi yang bebas) saya harus menjadi-bukan-saya yang bukan-suatu-benda. Jika saya tidak menghadapi absurditas ini, dan memilih menjadi atau berpura-pura seperti-benda, dikatakan mengada-secara-tidak-otentik (istilah dalam formulasi ini berasal dari pendapat Sartre)

g. Kerumunan

Eksistensialisme secara umum juga membawa suatu dimensi sosial atau politik. Sejauh ketika seseorang adalah otentik, kebebasan-manusia akan menunjukan suatu 'resolusi' atau 'komitmen' tertentu dan ini akan melibatkan ada-ada-yang-lain (khususnya ada-yang-otentik). Sebagai contoh, Nietzsche berbicara melalui karyanya Zarathustra untuk membantu transformasi-manusia dan di sana Nietzsche juga menyerang analisis terhadap konsep-persahabatan. Bagi Heidegger, pastilah terdapat suatu cara-otentik (authentic-mode) dari ada-bersama-yang-lain, meskipun ia tidak mengembangkan gagasan ini dengan panjang. Aspek sosial dan politik dari komitmen-yang-otentik jauh lebih jelas pada Sartre, de Beauvoir dan Camus. Itulah sisi-positif dari dimensi sosial atau politik eksistensialisme.

Namun demikian, sebagai pengantar bahasan sisi-positif ini, terdapat suatu deskripsi terhadap bentuk-bentuk-tipikal yang diambil oleh eksistensi-sosial-atau-politik-yang-tidak-otentik. Banyak para eksistensialis menggunakan istilah-isitilah seperti kerumunan (Crowd), Horde (Scheler ) atau massa (Masses, Jose Ortega y Gasset). Kemudian pernyataan provokatif dari Nietzsche, 'the Herd' adalah memotret kumpulan-manusia tidak hanya sebagai binatang, tetapi juga sebagai binatang-binatang jinak dan peliharaan-domesitk. Perlu dicermati bahwa semua ini adalah istiliah-istilah kolektif : ke-tidak-otentik-kan mewujud dirinya sebagai 'de-individualisasi' atau 'tanpa-wajah'. Sebagai ganti ada-yang-dibentuk-secara-otentik dalam kebebasan dan kecemasan, nilai-nilai hanya diterima dari yang-lain dengan alasan 'begitulah yang dilakukan setiap orang'

Istilah-istilah itu seringkali membawa suatu gaung-historis-tertentu, membentuk suatu kritik terhadap cara-modern-yang-spesifik bagi eksistensi-manusia. Segala yang mengikutinya dapat dilihat baik sebagai sebab-sebab atau gejala-gejala sebuah dunia yang runtuh atau hancur-terpecah-belah (Marcel) sebagai contoh teknologi komunikasi-massa (Nietzsche menggambarkan secara khusus mengenai surat-kabar dan jurnalis, dalam karyanya 'Two Ages' Kierekgaard berpendapat sebagai sesuatu yang sangat-dikenal), kekosongan ketaatan beragama, spesialisasi pekerja dan peranan-sosial, urbanisasi dan industrialisasi.

Tema-bahasan kerumunan juga mempunyai suatu pertanyaan terhadap dimensi positif sosial atau politik dari eksistensialisme yaitu :

Bagaimana suatu eksistensi-bentuk-kolektif dapat menjadi apapun-yang-lain selain ada-yang-tidak-otentik ?

Abad ke 19 dan 20 menyajikan sejumlah massa-politik-ideologis yang dapat dilihat memiliki lingkungan menantang yang khusus bagi eksistensi-otentik-dan-bebas. Sebagai contoh, nasionalisme menjadi dikritisi khususnya oleh Nietzsche. Setelah perang-dunia-kedua sosialisme dan komunisme, Sartre dapat dipastikan seorang komunis, tetapi kemudian ia tidak-takut untuk memberi kritik kepada keduanya Partai Komunis Perancis dan Uni-Soviet terhadap kekakuan atau ketidak-cukupan pemikiran-revolusionernya. Demokrasi : Aristoteles pada buku 5 dalam karyanya Politics membedakan antara demokrasi dan ochlokrasi, yang kemudian secara esensial berarti pemerintahan oleh mereka yang tidak mampu mengatur bahkan terhadap dirinya-sendiri. Banyak eksistensialis melakukan identifikasi hal itu terhadap konsep bangsa Amerika dan khususnya Perancis dengan 'Democrazy'. Nietzsche dan Ortega y Gasset keduanya telah menganut suatu kriteria aristokratik secara luas bagi kepemimpinan sosial dan politik.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/existent/
Pemahaman Pribadi