Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, May 16, 2021

Filsafat Sejarah 8 : Kontinental Abad 20 M


Betapapun beragamnya filsafat kontinental, bukanlah suatu generalisasi yang tidak-beralasan untuk mengatakan bahwa semua-pemikir dan aliran-pemikiran melalui suatu-cara atau cara-lain telah memusatkan perhatian kepada sejarah. Dan mereka nyaris semuanya juga memusatkan perhatian pada sejarah dalam terma dua-konsep yang berbeda yaitu kesejarahan dan narasitas

Adalah karya Nietzsche berjudul On the Uses and Disadvantages of History for Life (1874) yang pertama-kali mengingatkan kepada pertanyaan, tidak-hanya bagaimana kita dapat pemperoleh pengetahuan tentang masa-lalu, namun juga pertanyaan apakah dan hingga-taraf seberapa upaya-upaya kita untuk mengetahui masa-lalu, merupakan suatu perkembangan aktivitas kehidupan atau melemahnya aktivitas kehidupan itu sendiri.

Sebagai manusia, kita adalah unik dalam dunia-binatang sejauh kita terus-menerus terbebani dengan masa-lalu dan juga masa-depan, pada satu-sisi kita tidak-mampu untuk melupakan peristiwa-peristiwa menyakitkan yang sebaliknya justru lebih-baik untuk menguburnya (dilupakan) dan di sisi-lain kita tidak-mampu mengabaikan (menghindari) apa yang harus terjadi pada kita.

Sejarah bukanlah sekedar sesuatu yang kita pelajari secara objektif, namun sebuah pengalaman yang melaluinya, kita menjalani hidup dan dengan-nya kita seolah tanpa-sadar mengontrol (mengatur sesuai kehendak) beban-kita-sendiri karena berbagai alasan-psikologis.

Karya Martin Heidegger (1889-1976) berjudul Being and Time (1927) berupaya untuk memberikan suatu analisis-komprehensif terhadap pengalaman ini.

Proyek-menyeluruh Heidegger adalah untuk menjawab pertanyaan : 'Apa itu Ada ?‘ (What is Being ?). Namun ketika mengerjakan proyek itu, ia menemukan (mengetahui) bahwa hakikat tentang Ada, yaitu keterbukaan-kita sendiri terhadap pertanyaan Ada ---secara gradual--- telah dan sedang ditutupi dalam sejarah-filsafat.

Dari masa Pra-Sokrates, ketika pertanyaan terhadap makna-ada adalah yang paling-terbuka, hingga masa Nihilistik akademis pada abad 20 M filosofi-sejarah menjadi suatu sejarah mengenai makna-Ada.

Akhir dari filsafat, ketika di dalam filsafat, spesialisasi ilmu-pengetahuan-ilmiah (science) telah menyibukkan diri sepenuhnya dengan ada-ada-partikular namun justru mengabaikan Ada itu sendiri secara keseluruhan, kondisi yang membawa suatu yang baru dan instrinsik yaitu keterlibatan sejarah .

Sesuai dengan itu, penulisan-sejarah tentang filsafat oleh Heidegger merupakan sebuah karya yang bergerak mundur (melihat kebelakang) dari masa-modern-yang-mati ini di dalam harapan-harapan untuk membuka-kembali pertanyaan terhadap Ada itu sendiri.

Meski demikian, penulisan-sejarah oleh Heidegger lebih dari sekedar suatu-pembacaan-kembali (resitasi) secara akademis terhadap apa yang telah dikatakan/disampaikan/ditulis oleh berbagai filsuf-filsuf lain.

Manusia, dengan istilah Heidegger yang terkenal 'Dasein' dikarakterisasikan diatas segalanya dengan keberadaan mereka 'ada di sana' di dalam dunia, 'keterlemparan' mereka di dalam eksistensi, yang tidak-dapat dielakkan mengikuti pendapat Nietzsche tentang relasi-mereka (Dasein) dengan Ada itu-sendiri dalam terma masa-lalu dan sifat eksistensial mereka berbaris menuju horison masa-depan yang sama yaitu 'kematian'.

Diri sebagai Dasein terus-menerus terlibat dalam proyek keluar dari masa-lalunya dan bergerak-menuju masa-depannya sebagai ruang-kemungkinan didalamnya ia sendiri dapat bertindak.

Sebagai sebuah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari seorang manusia adalah faktisitas-historis-nya (kualitas atau kondisi yang menjadi-sebuah-fakta-sejarah).

Dimensi eksistensial pada konsepsi-kesejarahan (historisitas) Heidegger memiliki pengaruh yang dalam pada tokoh seperti sosok Martin Buber (1878-1965), Karl Jaspers (1883-1969), Hannah Arendt (1906-1975), Emmanuel Levinas (1906-1995), Jan Patočka (1907-1977), dan Paul Ricouer (1913-2005). Secara khusus Jean Paul Sartre (1905-1980) memusatkan perhatian pada aspek-eksistensial dari masa-lalu, yang dikonsepsikan dalam terma suatu campuran antara kondisi-kondisi materialistik Marxis bagi tindakan manusia dan suatu semacam pengungkapan psiko-analitis dari diri secara fenomenologis.

Bagi Sartre, seorang manusia adalah sebuah praxis-bersifat-historis, suatu proyek yang terus-berlanjut, yang sedang diproduksi oleh masa-lalunya dan memproduksi masa-depannya melalui suatu cara yang akan menentukan kemungkinan-kemungkinan masa-depan seseorang dan batas-batas-nya.

Konsepsi 'auntensitas' Sartre yang dikenal-baik adalah bersifat-historis-secara-intrinsik sejauh konsep itu melibatkan pengakuan terhadap kebebasan-personal-kita dalam konteks kondisi-kondisi material sejarah yang memaksa kepada kita.

Meski demikian, dalam terma-terma yang kurang-eksistensial, aliran-pemikiran Frankfurt juga telah mendirikan pandangan mereka mengenai subjek dan dunia dalam suatu kombinasi penulisan-sejarah dan analisis-kesadaran materialistik-Marxis.

Pada akhir dekade abad ke 20 M, filsafat kontinental mengenai sejarah telah berubah perhatian-nya kepada pertanyaan-pertanyaan epistemologis tentang narasi-sejarah

Kembali refleksi-refleksi Nietzsche pada sejarah mempunyai pengaruh penting, khususnya gagasan-nya bahwa kebenaran bukanlah korespondensi-langsung atau korespondensi-objektif antara dunia dan proposisi, namun suatu hasil-kontingen proses mensejarah dari pergulatan terus menerus antara kepentingan-kepentingan dari para-penafsir

Dengan demikian, filsafat harus memperhatikan dirinya untuk terlibat dengan suatu penelitian-sejarah tentang bagaimana kebenaran-kebenaran ini menerapkan fungsi didalam dan melawan latar-belakang faktisitas-sejarah mereka.

Michel Foucault (1926-1984) memberi karakterisasi proyek-kerjanya sebagai penelitian-sejarah terhadap produksi makna-makna kebenaran.

Karya-karya awalnya dicirikan oleh apa yang disebut olehnya 'arkeologi'.

History of Madness (1961) memulai serangkaian karya yang menolak suatu makna-tunggal-yang-tetap bagi fenomena, namun dalam jangka-panjang untuk menunjukan bagaimana perubahan-bentuk-makna (transmogrifies) melewati waktu demi waktu melalui suatu serangkaian praktik-praktik kebudayaan.

Dalam karya In The Order of Things (1966), 'arkeologi' dicirikan sebagai suatu deskripsi tentang transisi-transisi antara wacana-kebudayaan melalui sebuah cara yang menekankan makna struktural-dan-kontekstual mereka seraya mengurangi apapun pemahaman-substantif pencipta terhadap wacana-wacana itu.

Karya terakhir Foucault, meskipun tidak pernah menunjukkan penolakan yang kuat terhadap metode arkeologi-nya, dikarakterisasikan sebagai sebuah 'geneologi'.

Sekali lagi upaya, yang tidak sepenuh-nya Nietzschean adalah untuk memahami masa-lalu dalam terma-terma masa-kini, untuk menunjukan bahwa institusi-institusi yang kita temukan hari-ini bukanlah hasil keyakinan-teleologikal dan bukan pula sebuah representasi-kongkrit dari pengambilan-keputusan yang rasional, namun berasal dari suatu permainan kekuatan-wacana yang selalu terbawa melalui masa-lalu.

Ini tidak berarti bahwa sejarah harus mempelajari asal-muasal praktik-praktik itu, sebaliknya menolak pemahaman terhadap asal-muasal sebagai sebuah abstraksi yang tidak-legitim dari apa yang merupakan suatu interaksi terus-menerus antara wacana-wacana.

Sebagai gantinya, sejarah harus memperhatikan dirinya dengan momen-momen ketika kontingensi masa-lalu muncul atau tenggelam terhadap konflik wacana-wacana-nya, bersama dengan masa-lalu mengungkap serangkaian disparitas dari pada langkah-langkah progresif.

Konsepsi mengenai sejarah sebagai suatu permainan pencarian-kekuasaan penerapan wacana direfleksikan kembali diatas praktik-praktik para sejarawan.

Barisan para filsuf postmodernisme seperti Roland Barthes (1915-1980), Paul de Man (1919-1983), Jean-François Lyotard (1924-1988), Gilles Deleuze (1925-1995), Philippe Lacoue-Labarthe (1940-2007), dan Jacques Derrida (1930-2004) sampai pada pandangan bukan hanya peristiwa-sejarah tetapi juga penulisan-sejarah pasti diwarnai oleh subjektivitas yang berdasar-kekuasaan.

Permainan kekuasaan ini mengkristal di dalam struktur-struktur meta-narasi yang dicangkokan di atas dunia oleh para filsuf-sejarah.

Bahkan, karya Lyotard The Postmodern Condition (1979) memberi ciri seluruh proyek-kerja postmodern sebagai “incredulity toward meta-narratives” (Lyotard 1984, xxiv).

Dengan menimbang filsafat-sejarah, ini tidak-dapat-dihindari merupakan penolakan kepada keduanya baik wacana-besar Hegelian ‘master-wacana’ mengenai kemajuan (progress) dan juga kategori-kategori pencerahan mengenai generalisasi yang-dari-sana pelajaran-moral diduga dapat diturunkan (berasal). Lebih dari suatu logika-dialektis yang akan mencari kesamaan (kesatuan) diantara peristiwa-peristiwa masa-lalu, kondisi postmodern mendorong kita untuk melihat ketidak-berhubungan, ketidak-samaan dan keragaman peristiwa dan masyarakat.

Penolakan Lyotard terhadap pandangan tradisional kesamaan/kesatuan menuju kepada suatu post-modernisme seperti Jean-Luc Nancy (1940-) untuk memusatkan kembali sejarah kepada komunitas-komunitas skala-yang-lebih-kecil dan secara imanen menutup-diri seperti komunitas persaudaraan (brother-hood) atau keluargaan daripada kepada masyarakat-yang-besar.

Untuk itu diperlukan, suatu cara-baru terhadap penulisan-sejarah yang merangkul suatu pelipat-gandaan perspektif-perspektif dan standar-standar penilaian dan dengan perluasan, sebuah keinginan untuk merangkul pluralitas-moral dan pelajaran-politik yang dapat ditarik tanpa-adanya keyakinan kepada suatu kebenaran narasi-tunggal.

Teori postmodern telah berpengaruh misal ---sebagai salah satu contoh--- pada post-kolonialisme dalam karya Edward Said (1935-2003) berjudul Orientalism (1978), yang menjadi penting pada upayanya dalam membuka suatu ruangan-non-wacana bagi persaingan narasi-narasi lain yang tidak dominan (disebut 'sub-altern').

Sudut pandang narasi-narasi yang dilakukan dalam ingatan-kebudayaan dan sejarah-lisan memperoleh peningkatan popularitas pada akhir-akhir ini.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H7
Pemahaman Pribadi



Thursday, May 13, 2021

Dialektika Hegelian




Inti dalam konsep dialektika-hegelian adalah gagasan bahwa setiap-yang-ada (every-being) atau segala-suatu-yang-ada (everything that exists) bersifat kontradiktif pada dirinya-sendiri (mengandung pertentangan/kontradiksi dalam dirinya).

Dengan kata lain, pada segala-suatu-yang-ada terkandung negasi-dirinya (suatu-yang-bukan-dirinya) dan merupakan benih pemusnahan dan perubahan atau kehancuran dan transformasi dirinya yang tidak-dapat dielakkan.

Sehingga bagi Hegel, dialektika adalah struktur-formal dari realitas, oleh karenanya dapat dinyatakan bahwa dialektika merupakan esensi dari segala-suatu-yang-ada, baik material ataupun immaterial.

Secara khusus gagasan-esensi merupakan hal penting untuk memahami dialektika-hegelian, ini karena esensi menunjukkan kesatuan/identitas yang tetap di dalam seluruh proses-perubahan yang aktual.

Bagi Hegel ini berarti, suatu-ada (being) pada akhir-proses dialektis adalah sama dengan suatu-ada (being) di awal-proses itu. Sehingga suatu-ada (being) pada akhir-proses hanyalah aktualisasi dari suatu-ada-yang-sama (being-yang-sama), yang berada di awal-proses dialektis itu namun ada di sana berupa ide/gagasan.

Sebagai contoh, perhatikan bagaimana seorang arsitek melakukan tekstualisasi ide/gagasan sebuah ‘rumah’ (menuangkan ide/gagasan sebuah ‘rumah’ menjadi bentuk gambar pada secarik kertas).

Dapat kita lihat, bahwa sebelum ‘rumah’ menjadi sebuah rumah-yang-aktual (bangunan rumah), ‘rumah’ itu sudah-ada di dalam benak arsitek sebagai sebuah ide/gagasan yaitu rencana sebuah 'rumah', maka suatu-ada (being) yang berupa ide/gagasan sebuah ‘rumah’ adalah sudah-ada sebelum rumah-itu diaktualisasikan, oleh karenanya sebuah rumah-yang-aktual (bangunan rumah) yaitu suatu-ada (being) pada akhir-proses dialektis adalah sama dengan suatu-ada (being) yang berupa ide/gagasan ‘rumah’ yang berada di awal-proses dialektis.

Meski demikian perlu ditekankan bahwa konsep Hegel tentang kesatuan/identitas bukanlah dalam pengertian suatu dasar-yang-permanen (sesuatu yang tetap), yang menetapkan suatu-ada (being) melainkan suatu proses yang didalamnya berhasil mengatasi/menyelesaikan segala-pertentangan (kontradiksi) yang terkandung di dalam dirinya (inheren) dan mengungkapkan diri menjadi sebuah hasil.

Dengan alasan ini gagasan esensi dalam dialektika-hegelian tidak seharusnya dipandang dari sudut esensialisme, bagi Hegel --tentu saja-- tidak-ada suatu esensi semacam itu yang menentukan suatu-ada (being) menjadi seperti apa-adanya.

Sebagai contoh, karena bagi Hegel segala-yang-ada adalah dalam proses-perubahan yang terus-menerus, oleh sebab itu kita tidak-dapat membahas mengenai esensi seorang manusia. Bagi Hegel tidak-ada suatu esensi semacam itu sebagai hakekat manusia.

Konsep kesatuan/identitas oleh karenanya tidak lain hanyalah suatu proses-negasi-diri pada setiap-yang-ada atau negativitas.

Sehingga --sekali lagi-- konsep esensi Hegel secara khusus mengacu kepada proses-perubahan yang terus-menerus, proses-penegasian-diri yang konstan dan bukan sesuatu yang membuat suatu-benda menjadi benda sesuai hakekatnya.

Pengertian negativitas yang terkandung pada segala-yang-ada tidak berarti selalu hanya melibatkan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) saja. Negativitas yang merupakan karakter esensial pada setiap-yang-ada, mensiratkan pengertian suatu-ada (being) selalu di dalam proses-kemenjadian (becoming), yang dapat dikatakan adalah proses-perkembangan semua-relasi-pertentangan (kontradiksi) dengan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) dan merupakan sebuah proses suatu-ada (being) mengaktualisasi potensinya dengan mengubah diri menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu dengan menegasikan dirinya-sendiri.

Menurut Hegel, dalam proses-penegasian diri yang terjadi (aktif), suatu-ada (being) musnah namun pada saat yang sama, mengembangkan hakekat potensinya dengan bergerak ke tingkatan yang lebih tinggi, gerak ini terkenal disebut oleh Hegel sebagai ‘aufhebung’ atau ‘sublasi’ yaitu kemusnahan ada-yang-lama sekaligus kelahiran ada-yang-baru, dimana ada-yang-baru bagaimanapun merupakan aktualisasi dari potensialitas yang terkandung di dalam ada-yang-lama (inheren).

Seperti yang ditulis oleh Marcuse suatu bentuk-eksistensi tertentu tidak-dapat mengungkapkan kandungannya/potensialitasnya tanpa pemusnahan diri. Ada-yang-baru harus merupakan penegasian secara aktual dari ada-yang-lama dan tidak hanya sekedar koreksi atau revisi. Adalah pasti bahwa ada-yang-baru bagaimanapun haruslah sudah-ada sebagai bagian dari ada-yang-lama (terkandung di dalamnya) dan berada di sana hanya sebagai sebuah potensialitas dan realisasi materialnya dikeluarkan oleh bentuk aktual adanya (being) pada saat itu.

Proses-kemenjadian (becoming) menjelaskan apa yang disebut oleh Hegel sebagai proses-perubahan (transisi) dari hanya sekedar potensialitas berubah menjadi aktualitas.

Seperti ditulis oleh Marcuse :
“ Ketika sesuatu berubah menjadi suatu-yang-bukan-dirinya --Hegel mengatakan-- ketika sesuatu melawan dirinya-sendiri, sesuatu itu menyatakan esensinya. “

Bagi Marcuse ini adalah momen realisasi diri suatu-ada (being) menjadi aktual, memang ini merupakan momen suatu-ada (being) dan suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) menyatu, oleh karena itu juga dikatakan ketika pertentangan (kontradiksi antara being dan non-being) berhasil diatasi/diselesaikan dan menghasilkan suatu-ada-tertentu dengan bentuk-lain yang memiliki tingkatan lebih tinggi.

Adalah penting untuk diketahui pada titik ini bahwa dalam tulisannya, Hegel tidak pernah menggunakan istilah triadik-momen tentang suatu-ada (being) yang disebut being, non-being, dan becoming atau tesis, antitesis dan sintesis. Tentu saja pengungkapan suatu-ada (being) melibatkan tiga-momen ini tetapi semua-terjadi-sekaligus di dalam sebuah-ada-yang-sama (being-yang-sama), sehingga suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) tidaklah datang/berasal dari luar, menurut Hegel negativitas adalah terkandung di dalam suatu-ada (being) itu sendiri.

Gagasan ‘aufhebung’ atau ‘sublasi’ yaitu realisasi suatu-ada (being) menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) juga bersifat internal sehingga Hegel berpendapat bahwa proses-penghancuran diri suatu-ada (being) yang tidak-dapat dielakkan, dan merupakan akhir-proses transformasi atau proses-kemenjadian (becoming), adalah terkandung di dalam suatu-ada (being) itu sendiri (internal).

Kita ambil contoh proses-transformasi biji atau suatu-ada (being) menjadi bibit-siap-tanam atau suatu-yang-bukan-dirinya (non-being), jika biji belum siap untuk menghancurkan dan mentransformasi diri menjadi bibit-siap-tanam, maka biji akan tetap berupa biji. Sinar matahari, tanah, air dan faktor-faktor lain yang diperlukan untuk transformasi dari biji menjadi bibit-siap-tanam menjadi tidak-berguna, apabila --sekali lagi-- biji tidak siap untuk menghancurkan diri dalam proses transformasi dirinya.

Dengan demikian suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) terkandung di dalam biji itu sendiri, memang adalah biji yang melawan dirinya-sendiri. Sinar matahari, tanah dan air tidak menempati posisi diri sebagai suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) semacam itu, mereka hanyalah faktor yang dapat membantu biji dalam proses-melawan dirinya dan pada akhirnya merubah biji menjadi bibit-siap-tanam.

Sehingga --sekali lagi-- suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu bibit-siap-tanam pada akhir-proses transformasi biji (becoming) semuanya terkandung dan terjadi sekaligus di dalam sebuah-ada-yang-sama (being-yang-sama) yaitu biji.

Dalam gagasan terkenal penghancuran diri masyarakat-kapitalis (being), lawan-masyarakat-kapitalis yaitu suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) terkandung di dalam masyarakat-kapitalis itu sendiri (internal) --sebutlah proletarian yang merupakan kelas-masyarakat yang hidup di dalam masyarakat-kapitalis, yang mempunyai ide/gagasan/rencana mewujudkan ‘masyarakat-komunis'. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa suatu-yang-bukan-dirinya yaitu ‘masyarakat-komunis’ sudah-ada di dalam benak proletarian tetapi berupa ide/gagasan. Karena secara aktual proletarian masih hidup di dalam masyarakat-kapitalis maka 'masyarakat-komunis' terkandung di dalam masyarakat-kapitalis sebagai pontensialitas.

Proletarian --yang memberontak melawan masyarakat-kapitalis-- tidak dengan sendirinya menempati posisi sebagai lawan-masyarakat-kapitalis (non-being) --karena secara aktual ‘masyarakat-komunis’ belum terwujud nyata.

Proletarian hanyalah agen transformasi-sosial yang berperan menangkap situasi yaitu mengambil keuntungan situasi ketika kondisi pertentangan-pertentangan (kontradiksi) di dalam struktur masyarakat-kapitalis telah siap untuk menghancurkan dirinya-sendiri --pada akhir-proses transformasi terwujudlah masyarakat-komunis-yang-nyata, yang merupakan realisasi atau aktualisasi gagasan/ide 'masyarakat-komunis’. Secara aktual masyarakat-kapitalis sendiri musnah menegasikan diri menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) yaitu masyarakat-komunis-yang-nyata, yang merupakan lawan dari masyarakat-kapitalis itu sendiri. Proletarian secara aktual juga musnah tercakup ke dalam masyarakat-komunis-yang-nyata menjadi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) dengan tingkatan yang lebih tinggi sekaligus meniadakan dirinya secara aktual sebagai proletarian.

Pastilah satu-juta semut tidak mungkin menjatuhkan ular yang kuat dan sehat, namun hanya ketika ular lemah dan sekarat yang merupakan realisasi suatu-yang-bukan-dirinya (non-being) semut dapat mengambil keuntungan situasi itu dan memakan ular.

Sumber :
https://youtu.be/BaRUZ81K8bk
Pemahaman pribadi