Socrates Yang Ironis
Dugaan bahwa Socrates seorang yang Ironis dapat berarti beberapa hal. Di satu sisi, hal itu dapat menunjukkan bahwa Socrates mengatakan sesuatu dengan maksud menyampaikan makna-yang-berlawanan atau sebaliknya.
Beberapa pembaca misalnya, termasuk sejumlah pembaca di masa lalu, memahami pengakuan --Ketidaktahuan-Socrates-- secara tepat dengan cara ini. Banyak yang menafsirkan pujian Socrates pada Euthyphro, di mana Socrates mengaku bisa belajar dari dia dan akan menjadi muridnya merupakan contoh Ironi ini (Euthyphro 5a-b ).
Di sisi lain, makna kata Eirōneia --asal kata Ironi-- dalam bahasa Yunani dipahami sebagai membawa arti yang tersembunyi, mengganti arti suatu kata --seperti memberi topeng-- dengan maksud untuk mengelabui.
Selain itu, terdapat sejumlah pertanyaan yang terkait dengan sikap Ironi-Socrates ini :
Apakah lawan bicaranya seharusnya menyadari Ironi itu, atau dia seharusnya mengabaikan ?
Apakah itu tugas-pembaca untuk melihat Ironi ini ?
Apakah tujuan Ironi-Retoris dimaksudkan untuk mempertahankan posisi Socrates sebagai pengarah-percakapan, atau pedagogis, yang dimaksudkan untuk mendorong lawan-bicaranya untuk belajar sesuatu ? atau Mungkinkah keduanya ?
Para ahli tidak setuju --dalam arti-- kita seharusnya menyebut Socrates sebagai seorang Ironis. Ketika Socrates meminta Callicles untuk memberi tahu apa yang dimaksud dengan lebih-kuat dan memberi penjelasan yang-mudah pada dirinya sehingga Socrates bisa menangkap maksudnya dengan baik, Callicles mengaku Socrates sedang bersikap Ironis kepadanya (Gorgias 489e ).
Thrasymachus menuduh Socrates menjadi Ironis karena ia berpura-pura tidak memiliki penjelasan tentang keadilan, sementara Socrates sesungguhnya sedang memikirkannya ( Republik 337a ).
Dan meskipun Simposium umumnya tidak dianggap sebagai dialog tentang pikiran Socrates, di dalamnya kita menemukan Alcibiades menuduh Socrates menjadi Ironis sejauh ia bertindak seolah dia tertarik padanya tetapi kemudian menolak usaha pendekatannya (Simposium 216e, 218d).
Adalah tidak-jelas Ironi apa yang dimaksud sesuai dengan contoh-contoh diatas.
Aristoteles mendefinisikan Ironi sebagai upaya --penyangkalan diri-- (Nicomachean Ethics 4.7, 1127b23-26).
Dia berpendapat bahwa --penyangkalan diri-- adalah sikap-kebalikan dari kesombongan. Orang-orang yang melakukan Ironi semacam ini bermaksud menghindari sikap yang akan merendahkan-dirinya dan sekaligus membuat karakter mereka menjadi lebih-menarik. Di atas semua itu, orang-orang seperti itu tidak mengakui hal-hal yang membawa reputasi. Pada wacana ini, Socrates adalah seorang yang rawan untuk meremehkan lawan bicaranya.
Ada beberapa pemikir yang berpendapat Ironi-Socrates tidak-hanya terbatas pada apa yang dikatakan Socrates. Filsuf abad ke-19 Denmark, Soren Kierkegaard berpandangan bahwa Socrates sendiri mempunyai Karakter-Ironis.
Pemikir abad ke-20 Leo Strauss mendefinisikan Ironi sebagai mengaburkan nilai-kemuliaan seseorang. Pada pengertian ini, Ironi-Socrates merupakan sikap-penolakannya untuk menampilkan keunggulan-diri dihadapan lawan-bicaranya yang lemah sehingga pesan yang disampaikan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Dengan demikian, Ironi-Socrates dimaksudkan untuk menyembunyikan pesan yang sesungguhnya dari Socrates.
Bagaimana Metode Socrates Berfilsafat?
Setenar tema-tema pikiran Socrates, Metode-Sokrates dalam berfilsafat adalah sama terkenalnya. Socrates melakukan kegiatan filosofis dengan cara bertanya-dan-menjawab. Kita biasa mengaitkan Socrates dengan Metode-Tanya-Jawab yang disebut Elenchus.
Pada saat yang sama, dalam karya Plato, Socrates menyebut dirinya seorang Bidan-Intelektual yang tidak-memiliki-ide-sendiri tetapi membantu melahirkan-gagasan-orang-lain dan selanjutnya melakukan Dialektika dengan cara mengajukan pertanyaan, melakukan aktivitas pengumpulan-dan-pembagian, atau melanjutkan hipotesis dari prinsip dasar pertama.
a. Metode Tanya-Jawab : Socrates Sang Penyangkal
Metode-Tanya-Jawab khas Socrates adalah pemeriksaan-silang terhadap posisi pendirian tertentu, proposisi, atau definisi, di mana Socrates menguji apa yang dikatakan lawan-bicaranya dan membantahnya.
Namun, ada perdebatan besar di antara para-ahli, tidak hanya mengenai apa yang disangkal tetapi juga apakah Metode-Tanya-Jawab bisa membuktikan kebenaran. Dengan kata lain, terdapat pertanyaan mengenai tema/topik yang dibahas serta tujuan dari Metode-Tanya-Jawab.
i. Tema
Socrates biasanya memulai Metode-Tanya-Jawab dengan pertanyaan : " Apa itu ? "
Sebagai contoh, ia bertanya pada Euthyphro : " Apa itu ketaqwaan ? "
Euthyphro kemudian muncul memberikan jawaban lima-definisi yang terpisah tentang ketaqwaan :
Ketaqwaan adalah melanjutkan perlawanan terhadap siapapun yang melakukan ketidakadilan (5d-6e),
Ketaqwaan adalah apa yang dicintai oleh para dewa (6e-7a),
Ketaqwaan adalah apa yang dicintai oleh semua dewa (9e),
Orang yang taat dan taqwa pada dewa adalah seorang yang hidupnya memperhatikan dan melayani para dewa (12e), dan
Ketaqwaan adalah pengetahuan tentang berkorban dan berdoa (13d-14a).
Menurut beberapa pengamat, apa yang sedang dicari Socrates di sini adalah definisi-ketaqwaan. Pengamat lain berpendapat bahwa Socrates mencari lebih dari sekedar definisi-ketaqwaan tetapi berusaha mencari penjelasan-komprehensif tentang sifat-ketaqwaan. Apapun pendapat para pengamat, sikap Socrates adalah membantah-jawaban yang diberikan kepadanya dalam menanggapi pertanyaan : " Apa itu ? ".
Wacana lain dari Metode-Tanya-Jawab adalah bahwa Socrates tidak hanya memperhatikan jawaban-balasan dari lawan-bicaranya tetapi juga memperhatikan lawan-bicaranya itu sendiri.
Menurut pandangan ini, perhatian Socrates terhadap kebenaran-atau-kesalahan proposisi adalah sama dengan perhatiannya untuk menyempurnakan cara-hidup lawan-bicaranya. Socrates memperhatikan kedua-duanya baik kemajuan-epistemologis-maupun-moral pada lawan-bicaranya dan dirinya-sendiri.
Tidak hanya proposisi atau jawaban yang dibantah, karena Socrates tidak meninggalkan/membiarkan pikiran lawan-bicaranya terisolasi oleh hal-hal yang menahan/membatasi pikiran mereka. Oleh karena itu, Metode-Tanya-Jawab menyangkal bukan hanya pandangan-saja tetapi juga pada-orang yang memegang pandangan tersebut.
Misalnya, Socrates mempermalukan Thrasymachus ketika ia menunjukkan bahwa Thrasymachus tidak dapat mempertahankan pendapatnya bahwa keadilan adalah suatu kebodohan dan ketidakadilan adalah suatu kebijaksanaan (Republik I 350D ).
Dengan Metode-Tanya-Jawab, Socrates menunjukkan Thrasymachus tidak-bisa konsisten menjaga semua pendapatnya tentang sifat-keadilan. Pandangan ini konsisten dengan pandangan yang kita temukan di akhir dialog tulisan Plato yang berjudul Sophist, di mana pengunjung dari Elea mengaku bahwa jiwa tidak-akan mendapatkan keuntungan apapun dari proses-belajar yang diberikan padanya sampai ada seorang yang membuatnya-malu dengan menyanggahnya (230b-d).
ii. Tujuan
Dalam hal tujuan, ada dua-interpretasi umum pada Metode-Tanya-Jawab tersebut. Keduanya telah dikembangkan oleh para-ahli untuk menanggapi apa yang disebut oleh Gregory Vlastos sebagai Masalah-Metode-Tanya-Jawab-Socrates.
Masalahnya adalah bagaimana Socrates dapat menyatakan bahwa posisi W adalah salah, ketika satu-satunya hal yang ia tetapkan adalah inkonsistensi W dengan premis-lain yang kebenarannya tidak diupayakan dalam proses Tanya-Jawab tersebut.
Tanggapan-pertama adalah apa yang disebut posisi-konstruktif. Interpretasi posisi-konstruktif berpendapat bahwa Metode-Tanya-Jawab dapat menetapkan kebenaran-atau-kesalahan dari jawaban seorang individu. Interpretasi Metode-Tanya-Jawab ini dapat dan memang memiliki hasil-positif.
Vlastos sendiri berpendapat bahwa Socrates tidak-hanya menetapkan inkonsistensi keyakinan lawan-bicaranya dengan menunjukkan inkonsistensi-mereka, tetapi juga menunjukan keyakinan-moral Socrates sendiri yang selalu-konsisten dan mampu menahan-uji dari Metode-Tanya-Jawab.
Oleh karena itu Socrates bisa menarik keluar premis yang salah dalam pertukaran Tanya-Jawab dengan lawan-bicaranya, dan berusaha untuk menggantikan keyakinan lawan-bicaranya yang salah dengan keyakinan Socrates sendiri.
Tanggapan-kedua disebut posisi-non-konstruktif. Posisi ini mengklaim bahwa Socrates berpikir Metode-Tanya-Jawab tidak dapat menetapkan kebenaran-atau-kesalahan dari jawaban seorang individu.
Interpretasi non-konstruktif berpendapat bahwa Metode-Tanya-Jawab hanya dapat menunjukkan inkonsistensi W dengan posisi X, Y, dan Z. Ini tidak dapat menetapkan bahwa ~ W adalah yang benar, dalam hal ini mengganti satu-premis dengan yang-lain, yang untuk itu akan membutuhkan argumen terpisah. Metode-Tanya-Jawab menetapkan kesalahan pada hubungan dari W, X, Y, dan Z, tetapi bukan kebenaran-atau-kesalahan dari masing-masing premis secara individual.
Tujuan dari interpretasi Metode-Tanya-Jawab ini adalah untuk menunjukkan pada lawan-bicaranya bahwa dia mengalami kebingungan dan menurut sebagian-ahli, kebingungan itu digunakan sebagai batu-loncatan dalam perjalanan untuk menentukan keyakinan yang lebih-konsisten atau satu-bentuk keyakinan yang lebih-baik.
b. Socrates Sang Bidan Intelektual
Dalam karya Plato --Theaetetus-- Socrates mengidentifikasi dirinya sebagai Bidan (150b-151b).
Meski umumnya dialog ini tidak dianggap merupakan pikiran Socrates, dialog tersebut merupakan Metode-Tanya-Jawab sejauh menguji dan menyanggah definisi Theaetetus tentang pengetahuan. Dialog ini juga berakhir tanpa-jawaban yang meyakinkan atas pertanyaan yang ada, sebuah karakteristik yang ditemukan dalam sejumlah dialog Socrates.
Socrates mengatakan pada Theaetetus bahwa ibunya Phaenarete adalah seorang Bidan (149a) dan bahwa ia sendiri adalah Bidan-Intelektual.
Jika pada saat bekerja, sorang ahli-bedah (150b-151d) membawa rasa-sakit atau menguranginya untuk membantu seorang wanita melahirkan anaknya, sebaliknya Socrates tidak mengamati tubuh tapi lebih ke jiwa, dan membantu lawan-bicaranya untuk melahirkan-ide.
Socrates kemudian menerapkan Metode-Tanya-Jawab untuk menguji apakah Keturunan-Intelektual (ide baru yang dilahirkan) adalah hantu atau bibit-kebenaran.
Socrates menekankan bahwa dirinya dan Bidan sebenarnya adalah mandul, dan tidak bisa melahirkan anak-anak mereka sendiri (melahirkan ide/gagasan sendiri). Disamping mengakui kekosongan ide-ide dalam dirinya, Socrates mengklaim terampil melahirkankan-gagasan dari orang-lain dan mengujinya.
c. Dialektika: Socrates Yang Konstruktif
Metode-Dialektika dianggap lebih Platonis dari Socrates, meskipun demikian seseorang dapat memahami mengapa banyak orang mengaitkan Metode-Dialektika dengan Socrates.
Di satu sisi, makna kata Dialegesthai --asal kata Dialektika-- dalam bahasa Yunani secara umum hanya berarti " untuk-berkomunikasi " atau " untuk-membahas ". Oleh karena itu ketika Socrates membedakan antara diskusi dengan eksposisi-retoris dalam karya Plato --Gorgias--, kontradiksi tampaknya menunjukkan ketertarikan Socrates pada pertanyaan-dan-jawaban singkat dari pada percakapan yang panjang-lebar (447b-c, 448d-449c).
Ada dua-definisi lain dari Dialektika dalam kumpulan tulisan karya Plato.
Pertama, dalam Republik, Socrates membedakan antara pemikiran Dianoetic, yang menggunakan indra dan mengasumsikan hipotesis, dengan berpikir Dialektis, yang tidak-menggunakan indra dan melampaui hipotesis prinsip pertama (Republik VII 510c-511c, 531d-535a).
Kedua, dalam Phaedrus, Sofis, Statesman, dan Philebus, Dialektika didefinisikan sebagai metode pengumpulan-dan-pembagian. Seseorang mengumpulkan sesuatu-yang-acak ke dalam satu-kategori dan juga membagi masing-masing kategori sesuai dengan jenisnya (Phaedrus 265d-266c).
Beberapa sarjana melihat Metode-Tanya-Jawab dan Dialektika sebagai metode yang berbeda secara fundamental dengan tujuan yang berbeda, sementara yang lain melihat sebagai dua-hal yang konsisten dan dapat digabungkan.
Beberapa bahkan melihat keduanya sebagai dua bagian dari satu prosedur-berpendapat, dimana Metode-Tanya-Jawab yang menyanggah dan Dialektika yang melakukan konstruksi.
Sumber:
www.iep.utm.edu/socrates
Pemahaman Pribadi
Kelapa Gading , 30 September 2016
Dugaan bahwa Socrates seorang yang Ironis dapat berarti beberapa hal. Di satu sisi, hal itu dapat menunjukkan bahwa Socrates mengatakan sesuatu dengan maksud menyampaikan makna-yang-berlawanan atau sebaliknya.
Beberapa pembaca misalnya, termasuk sejumlah pembaca di masa lalu, memahami pengakuan --Ketidaktahuan-Socrates-- secara tepat dengan cara ini. Banyak yang menafsirkan pujian Socrates pada Euthyphro, di mana Socrates mengaku bisa belajar dari dia dan akan menjadi muridnya merupakan contoh Ironi ini (Euthyphro 5a-b ).
Di sisi lain, makna kata Eirōneia --asal kata Ironi-- dalam bahasa Yunani dipahami sebagai membawa arti yang tersembunyi, mengganti arti suatu kata --seperti memberi topeng-- dengan maksud untuk mengelabui.
Selain itu, terdapat sejumlah pertanyaan yang terkait dengan sikap Ironi-Socrates ini :
Apakah lawan bicaranya seharusnya menyadari Ironi itu, atau dia seharusnya mengabaikan ?
Apakah itu tugas-pembaca untuk melihat Ironi ini ?
Apakah tujuan Ironi-Retoris dimaksudkan untuk mempertahankan posisi Socrates sebagai pengarah-percakapan, atau pedagogis, yang dimaksudkan untuk mendorong lawan-bicaranya untuk belajar sesuatu ? atau Mungkinkah keduanya ?
Para ahli tidak setuju --dalam arti-- kita seharusnya menyebut Socrates sebagai seorang Ironis. Ketika Socrates meminta Callicles untuk memberi tahu apa yang dimaksud dengan lebih-kuat dan memberi penjelasan yang-mudah pada dirinya sehingga Socrates bisa menangkap maksudnya dengan baik, Callicles mengaku Socrates sedang bersikap Ironis kepadanya (Gorgias 489e ).
Thrasymachus menuduh Socrates menjadi Ironis karena ia berpura-pura tidak memiliki penjelasan tentang keadilan, sementara Socrates sesungguhnya sedang memikirkannya ( Republik 337a ).
Dan meskipun Simposium umumnya tidak dianggap sebagai dialog tentang pikiran Socrates, di dalamnya kita menemukan Alcibiades menuduh Socrates menjadi Ironis sejauh ia bertindak seolah dia tertarik padanya tetapi kemudian menolak usaha pendekatannya (Simposium 216e, 218d).
Adalah tidak-jelas Ironi apa yang dimaksud sesuai dengan contoh-contoh diatas.
Aristoteles mendefinisikan Ironi sebagai upaya --penyangkalan diri-- (Nicomachean Ethics 4.7, 1127b23-26).
Dia berpendapat bahwa --penyangkalan diri-- adalah sikap-kebalikan dari kesombongan. Orang-orang yang melakukan Ironi semacam ini bermaksud menghindari sikap yang akan merendahkan-dirinya dan sekaligus membuat karakter mereka menjadi lebih-menarik. Di atas semua itu, orang-orang seperti itu tidak mengakui hal-hal yang membawa reputasi. Pada wacana ini, Socrates adalah seorang yang rawan untuk meremehkan lawan bicaranya.
Ada beberapa pemikir yang berpendapat Ironi-Socrates tidak-hanya terbatas pada apa yang dikatakan Socrates. Filsuf abad ke-19 Denmark, Soren Kierkegaard berpandangan bahwa Socrates sendiri mempunyai Karakter-Ironis.
Pemikir abad ke-20 Leo Strauss mendefinisikan Ironi sebagai mengaburkan nilai-kemuliaan seseorang. Pada pengertian ini, Ironi-Socrates merupakan sikap-penolakannya untuk menampilkan keunggulan-diri dihadapan lawan-bicaranya yang lemah sehingga pesan yang disampaikan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Dengan demikian, Ironi-Socrates dimaksudkan untuk menyembunyikan pesan yang sesungguhnya dari Socrates.
Bagaimana Metode Socrates Berfilsafat?
Setenar tema-tema pikiran Socrates, Metode-Sokrates dalam berfilsafat adalah sama terkenalnya. Socrates melakukan kegiatan filosofis dengan cara bertanya-dan-menjawab. Kita biasa mengaitkan Socrates dengan Metode-Tanya-Jawab yang disebut Elenchus.
Pada saat yang sama, dalam karya Plato, Socrates menyebut dirinya seorang Bidan-Intelektual yang tidak-memiliki-ide-sendiri tetapi membantu melahirkan-gagasan-orang-lain dan selanjutnya melakukan Dialektika dengan cara mengajukan pertanyaan, melakukan aktivitas pengumpulan-dan-pembagian, atau melanjutkan hipotesis dari prinsip dasar pertama.
a. Metode Tanya-Jawab : Socrates Sang Penyangkal
Metode-Tanya-Jawab khas Socrates adalah pemeriksaan-silang terhadap posisi pendirian tertentu, proposisi, atau definisi, di mana Socrates menguji apa yang dikatakan lawan-bicaranya dan membantahnya.
Namun, ada perdebatan besar di antara para-ahli, tidak hanya mengenai apa yang disangkal tetapi juga apakah Metode-Tanya-Jawab bisa membuktikan kebenaran. Dengan kata lain, terdapat pertanyaan mengenai tema/topik yang dibahas serta tujuan dari Metode-Tanya-Jawab.
i. Tema
Socrates biasanya memulai Metode-Tanya-Jawab dengan pertanyaan : " Apa itu ? "
Sebagai contoh, ia bertanya pada Euthyphro : " Apa itu ketaqwaan ? "
Euthyphro kemudian muncul memberikan jawaban lima-definisi yang terpisah tentang ketaqwaan :
Ketaqwaan adalah melanjutkan perlawanan terhadap siapapun yang melakukan ketidakadilan (5d-6e),
Ketaqwaan adalah apa yang dicintai oleh para dewa (6e-7a),
Ketaqwaan adalah apa yang dicintai oleh semua dewa (9e),
Orang yang taat dan taqwa pada dewa adalah seorang yang hidupnya memperhatikan dan melayani para dewa (12e), dan
Ketaqwaan adalah pengetahuan tentang berkorban dan berdoa (13d-14a).
Menurut beberapa pengamat, apa yang sedang dicari Socrates di sini adalah definisi-ketaqwaan. Pengamat lain berpendapat bahwa Socrates mencari lebih dari sekedar definisi-ketaqwaan tetapi berusaha mencari penjelasan-komprehensif tentang sifat-ketaqwaan. Apapun pendapat para pengamat, sikap Socrates adalah membantah-jawaban yang diberikan kepadanya dalam menanggapi pertanyaan : " Apa itu ? ".
Wacana lain dari Metode-Tanya-Jawab adalah bahwa Socrates tidak hanya memperhatikan jawaban-balasan dari lawan-bicaranya tetapi juga memperhatikan lawan-bicaranya itu sendiri.
Menurut pandangan ini, perhatian Socrates terhadap kebenaran-atau-kesalahan proposisi adalah sama dengan perhatiannya untuk menyempurnakan cara-hidup lawan-bicaranya. Socrates memperhatikan kedua-duanya baik kemajuan-epistemologis-maupun-moral pada lawan-bicaranya dan dirinya-sendiri.
Tidak hanya proposisi atau jawaban yang dibantah, karena Socrates tidak meninggalkan/membiarkan pikiran lawan-bicaranya terisolasi oleh hal-hal yang menahan/membatasi pikiran mereka. Oleh karena itu, Metode-Tanya-Jawab menyangkal bukan hanya pandangan-saja tetapi juga pada-orang yang memegang pandangan tersebut.
Misalnya, Socrates mempermalukan Thrasymachus ketika ia menunjukkan bahwa Thrasymachus tidak dapat mempertahankan pendapatnya bahwa keadilan adalah suatu kebodohan dan ketidakadilan adalah suatu kebijaksanaan (Republik I 350D ).
Dengan Metode-Tanya-Jawab, Socrates menunjukkan Thrasymachus tidak-bisa konsisten menjaga semua pendapatnya tentang sifat-keadilan. Pandangan ini konsisten dengan pandangan yang kita temukan di akhir dialog tulisan Plato yang berjudul Sophist, di mana pengunjung dari Elea mengaku bahwa jiwa tidak-akan mendapatkan keuntungan apapun dari proses-belajar yang diberikan padanya sampai ada seorang yang membuatnya-malu dengan menyanggahnya (230b-d).
ii. Tujuan
Dalam hal tujuan, ada dua-interpretasi umum pada Metode-Tanya-Jawab tersebut. Keduanya telah dikembangkan oleh para-ahli untuk menanggapi apa yang disebut oleh Gregory Vlastos sebagai Masalah-Metode-Tanya-Jawab-Socrates.
Masalahnya adalah bagaimana Socrates dapat menyatakan bahwa posisi W adalah salah, ketika satu-satunya hal yang ia tetapkan adalah inkonsistensi W dengan premis-lain yang kebenarannya tidak diupayakan dalam proses Tanya-Jawab tersebut.
Tanggapan-pertama adalah apa yang disebut posisi-konstruktif. Interpretasi posisi-konstruktif berpendapat bahwa Metode-Tanya-Jawab dapat menetapkan kebenaran-atau-kesalahan dari jawaban seorang individu. Interpretasi Metode-Tanya-Jawab ini dapat dan memang memiliki hasil-positif.
Vlastos sendiri berpendapat bahwa Socrates tidak-hanya menetapkan inkonsistensi keyakinan lawan-bicaranya dengan menunjukkan inkonsistensi-mereka, tetapi juga menunjukan keyakinan-moral Socrates sendiri yang selalu-konsisten dan mampu menahan-uji dari Metode-Tanya-Jawab.
Oleh karena itu Socrates bisa menarik keluar premis yang salah dalam pertukaran Tanya-Jawab dengan lawan-bicaranya, dan berusaha untuk menggantikan keyakinan lawan-bicaranya yang salah dengan keyakinan Socrates sendiri.
Tanggapan-kedua disebut posisi-non-konstruktif. Posisi ini mengklaim bahwa Socrates berpikir Metode-Tanya-Jawab tidak dapat menetapkan kebenaran-atau-kesalahan dari jawaban seorang individu.
Interpretasi non-konstruktif berpendapat bahwa Metode-Tanya-Jawab hanya dapat menunjukkan inkonsistensi W dengan posisi X, Y, dan Z. Ini tidak dapat menetapkan bahwa ~ W adalah yang benar, dalam hal ini mengganti satu-premis dengan yang-lain, yang untuk itu akan membutuhkan argumen terpisah. Metode-Tanya-Jawab menetapkan kesalahan pada hubungan dari W, X, Y, dan Z, tetapi bukan kebenaran-atau-kesalahan dari masing-masing premis secara individual.
Tujuan dari interpretasi Metode-Tanya-Jawab ini adalah untuk menunjukkan pada lawan-bicaranya bahwa dia mengalami kebingungan dan menurut sebagian-ahli, kebingungan itu digunakan sebagai batu-loncatan dalam perjalanan untuk menentukan keyakinan yang lebih-konsisten atau satu-bentuk keyakinan yang lebih-baik.
b. Socrates Sang Bidan Intelektual
Dalam karya Plato --Theaetetus-- Socrates mengidentifikasi dirinya sebagai Bidan (150b-151b).
Meski umumnya dialog ini tidak dianggap merupakan pikiran Socrates, dialog tersebut merupakan Metode-Tanya-Jawab sejauh menguji dan menyanggah definisi Theaetetus tentang pengetahuan. Dialog ini juga berakhir tanpa-jawaban yang meyakinkan atas pertanyaan yang ada, sebuah karakteristik yang ditemukan dalam sejumlah dialog Socrates.
Socrates mengatakan pada Theaetetus bahwa ibunya Phaenarete adalah seorang Bidan (149a) dan bahwa ia sendiri adalah Bidan-Intelektual.
Jika pada saat bekerja, sorang ahli-bedah (150b-151d) membawa rasa-sakit atau menguranginya untuk membantu seorang wanita melahirkan anaknya, sebaliknya Socrates tidak mengamati tubuh tapi lebih ke jiwa, dan membantu lawan-bicaranya untuk melahirkan-ide.
Socrates kemudian menerapkan Metode-Tanya-Jawab untuk menguji apakah Keturunan-Intelektual (ide baru yang dilahirkan) adalah hantu atau bibit-kebenaran.
Socrates menekankan bahwa dirinya dan Bidan sebenarnya adalah mandul, dan tidak bisa melahirkan anak-anak mereka sendiri (melahirkan ide/gagasan sendiri). Disamping mengakui kekosongan ide-ide dalam dirinya, Socrates mengklaim terampil melahirkankan-gagasan dari orang-lain dan mengujinya.
c. Dialektika: Socrates Yang Konstruktif
Metode-Dialektika dianggap lebih Platonis dari Socrates, meskipun demikian seseorang dapat memahami mengapa banyak orang mengaitkan Metode-Dialektika dengan Socrates.
Di satu sisi, makna kata Dialegesthai --asal kata Dialektika-- dalam bahasa Yunani secara umum hanya berarti " untuk-berkomunikasi " atau " untuk-membahas ". Oleh karena itu ketika Socrates membedakan antara diskusi dengan eksposisi-retoris dalam karya Plato --Gorgias--, kontradiksi tampaknya menunjukkan ketertarikan Socrates pada pertanyaan-dan-jawaban singkat dari pada percakapan yang panjang-lebar (447b-c, 448d-449c).
Ada dua-definisi lain dari Dialektika dalam kumpulan tulisan karya Plato.
Pertama, dalam Republik, Socrates membedakan antara pemikiran Dianoetic, yang menggunakan indra dan mengasumsikan hipotesis, dengan berpikir Dialektis, yang tidak-menggunakan indra dan melampaui hipotesis prinsip pertama (Republik VII 510c-511c, 531d-535a).
Kedua, dalam Phaedrus, Sofis, Statesman, dan Philebus, Dialektika didefinisikan sebagai metode pengumpulan-dan-pembagian. Seseorang mengumpulkan sesuatu-yang-acak ke dalam satu-kategori dan juga membagi masing-masing kategori sesuai dengan jenisnya (Phaedrus 265d-266c).
Beberapa sarjana melihat Metode-Tanya-Jawab dan Dialektika sebagai metode yang berbeda secara fundamental dengan tujuan yang berbeda, sementara yang lain melihat sebagai dua-hal yang konsisten dan dapat digabungkan.
Beberapa bahkan melihat keduanya sebagai dua bagian dari satu prosedur-berpendapat, dimana Metode-Tanya-Jawab yang menyanggah dan Dialektika yang melakukan konstruksi.
Sumber:
www.iep.utm.edu/socrates
Pemahaman Pribadi
Kelapa Gading , 30 September 2016