Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Friday, September 30, 2016

Socrates 3 : Metode Berfilsafat


Socrates Yang Ironis

Dugaan bahwa Socrates seorang yang Ironis dapat berarti beberapa hal. Di satu sisi, hal itu dapat menunjukkan bahwa Socrates mengatakan sesuatu dengan maksud menyampaikan makna-yang-berlawanan atau sebaliknya.

Beberapa pembaca misalnya, termasuk sejumlah pembaca di masa lalu, memahami pengakuan --Ketidaktahuan-Socrates-- secara tepat dengan cara ini. Banyak yang menafsirkan pujian Socrates pada Euthyphro, di mana Socrates mengaku bisa belajar dari dia dan akan menjadi muridnya merupakan contoh Ironi ini (Euthyphro 5a-b ).

Di sisi lain, makna kata Eirōneia --asal kata Ironi-- dalam bahasa Yunani dipahami sebagai membawa arti yang tersembunyi, mengganti arti suatu kata --seperti memberi topeng-- dengan maksud untuk mengelabui.

Selain itu, terdapat sejumlah pertanyaan yang terkait dengan sikap Ironi-Socrates ini :
Apakah lawan bicaranya seharusnya menyadari Ironi itu, atau dia seharusnya mengabaikan ?
Apakah itu tugas-pembaca untuk melihat Ironi ini ?
Apakah tujuan Ironi-Retoris dimaksudkan untuk mempertahankan posisi Socrates sebagai pengarah-percakapan, atau pedagogis, yang dimaksudkan untuk mendorong lawan-bicaranya untuk belajar sesuatu ? atau Mungkinkah keduanya ?

Para ahli tidak setuju --dalam arti-- kita seharusnya menyebut Socrates sebagai seorang Ironis. Ketika Socrates meminta Callicles untuk memberi tahu apa yang dimaksud dengan lebih-kuat dan memberi penjelasan yang-mudah pada dirinya sehingga Socrates bisa menangkap maksudnya dengan baik, Callicles mengaku Socrates sedang bersikap Ironis kepadanya (Gorgias 489e ).

Thrasymachus menuduh Socrates menjadi Ironis karena ia berpura-pura tidak memiliki penjelasan tentang keadilan, sementara Socrates sesungguhnya sedang memikirkannya ( Republik 337a ).

Dan meskipun Simposium umumnya tidak dianggap sebagai dialog tentang pikiran Socrates, di dalamnya kita menemukan Alcibiades menuduh Socrates menjadi Ironis sejauh ia bertindak seolah dia tertarik padanya tetapi kemudian menolak usaha pendekatannya (Simposium 216e, 218d).

Adalah tidak-jelas Ironi apa yang dimaksud sesuai dengan contoh-contoh diatas.

Aristoteles mendefinisikan Ironi sebagai upaya --penyangkalan diri-- (Nicomachean Ethics 4.7, 1127b23-26).
Dia berpendapat bahwa --penyangkalan diri-- adalah sikap-kebalikan dari kesombongan. Orang-orang yang melakukan Ironi semacam ini bermaksud menghindari sikap yang akan merendahkan-dirinya dan sekaligus membuat karakter mereka menjadi lebih-menarik. Di atas semua itu, orang-orang seperti itu tidak mengakui hal-hal yang membawa reputasi. Pada wacana ini, Socrates adalah seorang yang rawan untuk meremehkan lawan bicaranya.

Ada beberapa pemikir yang berpendapat Ironi-Socrates tidak-hanya terbatas pada apa yang dikatakan Socrates. Filsuf abad ke-19 Denmark, Soren Kierkegaard berpandangan bahwa Socrates sendiri mempunyai Karakter-Ironis.

Pemikir abad ke-20 Leo Strauss mendefinisikan Ironi sebagai mengaburkan nilai-kemuliaan seseorang. Pada pengertian ini, Ironi-Socrates merupakan sikap-penolakannya untuk menampilkan keunggulan-diri dihadapan lawan-bicaranya yang lemah sehingga pesan yang disampaikan hanya dipahami oleh orang-orang tertentu saja. Dengan demikian, Ironi-Socrates dimaksudkan untuk menyembunyikan pesan yang sesungguhnya dari Socrates.

Bagaimana Metode Socrates Berfilsafat?

Setenar tema-tema pikiran Socrates, Metode-Sokrates dalam berfilsafat adalah sama terkenalnya. Socrates melakukan kegiatan filosofis dengan cara bertanya-dan-menjawab. Kita biasa mengaitkan Socrates dengan Metode-Tanya-Jawab yang disebut Elenchus.

Pada saat yang sama, dalam karya Plato, Socrates menyebut dirinya seorang Bidan-Intelektual yang tidak-memiliki-ide-sendiri tetapi membantu melahirkan-gagasan-orang-lain dan selanjutnya melakukan Dialektika dengan cara mengajukan pertanyaan, melakukan aktivitas pengumpulan-dan-pembagian, atau melanjutkan hipotesis dari prinsip dasar pertama.

a. Metode Tanya-Jawab : Socrates Sang Penyangkal

Metode-Tanya-Jawab khas Socrates adalah pemeriksaan-silang terhadap posisi pendirian tertentu, proposisi, atau definisi, di mana Socrates menguji apa yang dikatakan lawan-bicaranya dan membantahnya.

Namun, ada perdebatan besar di antara para-ahli, tidak hanya mengenai apa yang disangkal tetapi juga apakah Metode-Tanya-Jawab bisa membuktikan kebenaran. Dengan kata lain, terdapat pertanyaan mengenai tema/topik yang dibahas serta tujuan dari Metode-Tanya-Jawab.

i. Tema

Socrates biasanya memulai Metode-Tanya-Jawab dengan pertanyaan : " Apa itu ? "
Sebagai contoh, ia bertanya pada Euthyphro : " Apa itu ketaqwaan ? "

Euthyphro kemudian muncul memberikan jawaban lima-definisi yang terpisah tentang ketaqwaan :
Ketaqwaan adalah melanjutkan perlawanan terhadap siapapun yang melakukan ketidakadilan (5d-6e),
Ketaqwaan adalah apa yang dicintai oleh para dewa (6e-7a),
Ketaqwaan adalah apa yang dicintai oleh semua dewa (9e),
Orang yang taat dan taqwa pada dewa adalah seorang yang hidupnya memperhatikan dan melayani para dewa (12e), dan
Ketaqwaan adalah pengetahuan tentang berkorban dan berdoa (13d-14a).

Menurut beberapa pengamat, apa yang sedang dicari Socrates di sini adalah definisi-ketaqwaan. Pengamat lain berpendapat bahwa Socrates mencari lebih dari sekedar definisi-ketaqwaan tetapi berusaha mencari penjelasan-komprehensif tentang sifat-ketaqwaan. Apapun pendapat para pengamat, sikap Socrates adalah membantah-jawaban yang diberikan kepadanya dalam menanggapi pertanyaan : " Apa itu ? ".

Wacana lain dari Metode-Tanya-Jawab adalah bahwa Socrates tidak hanya memperhatikan jawaban-balasan dari lawan-bicaranya tetapi juga memperhatikan lawan-bicaranya itu sendiri.

Menurut pandangan ini, perhatian Socrates terhadap kebenaran-atau-kesalahan proposisi adalah sama dengan perhatiannya untuk menyempurnakan cara-hidup lawan-bicaranya. Socrates memperhatikan kedua-duanya baik kemajuan-epistemologis-maupun-moral pada lawan-bicaranya dan dirinya-sendiri.

Tidak hanya proposisi atau jawaban yang dibantah, karena Socrates tidak meninggalkan/membiarkan pikiran lawan-bicaranya terisolasi oleh hal-hal yang menahan/membatasi pikiran mereka. Oleh karena itu, Metode-Tanya-Jawab menyangkal bukan hanya pandangan-saja tetapi juga pada-orang yang memegang pandangan tersebut.

Misalnya, Socrates mempermalukan Thrasymachus ketika ia menunjukkan bahwa Thrasymachus tidak dapat mempertahankan pendapatnya bahwa keadilan adalah suatu kebodohan dan ketidakadilan adalah suatu kebijaksanaan (Republik I 350D ).

Dengan Metode-Tanya-Jawab, Socrates menunjukkan Thrasymachus tidak-bisa konsisten menjaga semua pendapatnya tentang sifat-keadilan. Pandangan ini konsisten dengan pandangan yang kita temukan di akhir dialog tulisan Plato yang berjudul Sophist, di mana pengunjung dari Elea mengaku bahwa jiwa tidak-akan mendapatkan keuntungan apapun dari proses-belajar yang diberikan padanya sampai ada seorang yang membuatnya-malu dengan menyanggahnya (230b-d).

ii. Tujuan

Dalam hal tujuan, ada dua-interpretasi umum pada Metode-Tanya-Jawab tersebut. Keduanya telah dikembangkan oleh para-ahli untuk menanggapi apa yang disebut oleh Gregory Vlastos sebagai Masalah-Metode-Tanya-Jawab-Socrates.

Masalahnya adalah bagaimana Socrates dapat menyatakan bahwa posisi W adalah salah, ketika satu-satunya hal yang ia tetapkan adalah inkonsistensi W dengan premis-lain yang kebenarannya tidak diupayakan dalam  proses Tanya-Jawab tersebut.

Tanggapan-pertama adalah apa yang disebut posisi-konstruktif. Interpretasi posisi-konstruktif berpendapat bahwa Metode-Tanya-Jawab dapat menetapkan kebenaran-atau-kesalahan dari jawaban seorang individu. Interpretasi Metode-Tanya-Jawab ini dapat dan memang memiliki hasil-positif.

Vlastos sendiri berpendapat bahwa Socrates tidak-hanya menetapkan inkonsistensi keyakinan lawan-bicaranya dengan menunjukkan inkonsistensi-mereka, tetapi juga menunjukan keyakinan-moral Socrates sendiri yang selalu-konsisten dan mampu menahan-uji dari Metode-Tanya-Jawab.

Oleh karena itu Socrates bisa menarik keluar premis yang salah dalam pertukaran Tanya-Jawab dengan lawan-bicaranya, dan berusaha untuk menggantikan keyakinan lawan-bicaranya yang salah dengan keyakinan Socrates sendiri.

Tanggapan-kedua disebut posisi-non-konstruktif. Posisi ini mengklaim bahwa Socrates berpikir Metode-Tanya-Jawab tidak dapat menetapkan kebenaran-atau-kesalahan dari jawaban seorang individu.

Interpretasi non-konstruktif berpendapat bahwa Metode-Tanya-Jawab hanya dapat menunjukkan inkonsistensi W dengan posisi X, Y, dan Z. Ini tidak dapat menetapkan bahwa ~ W adalah yang benar, dalam hal ini mengganti satu-premis dengan yang-lain, yang untuk itu akan membutuhkan argumen terpisah. Metode-Tanya-Jawab menetapkan kesalahan pada hubungan dari W, X, Y, dan Z, tetapi bukan kebenaran-atau-kesalahan dari masing-masing premis secara individual.

Tujuan dari interpretasi Metode-Tanya-Jawab ini adalah untuk menunjukkan pada lawan-bicaranya bahwa dia mengalami kebingungan dan menurut sebagian-ahli, kebingungan itu digunakan sebagai batu-loncatan dalam perjalanan untuk menentukan keyakinan yang lebih-konsisten atau satu-bentuk keyakinan yang lebih-baik.

b. Socrates Sang Bidan Intelektual

Dalam karya Plato --Theaetetus-- Socrates mengidentifikasi dirinya sebagai Bidan (150b-151b).

Meski umumnya dialog ini tidak dianggap merupakan pikiran Socrates, dialog tersebut merupakan Metode-Tanya-Jawab sejauh menguji dan menyanggah definisi Theaetetus tentang pengetahuan. Dialog ini juga berakhir tanpa-jawaban yang meyakinkan atas pertanyaan yang ada, sebuah karakteristik yang ditemukan dalam sejumlah dialog Socrates.

Socrates mengatakan pada Theaetetus bahwa ibunya Phaenarete adalah seorang Bidan (149a) dan bahwa ia sendiri adalah Bidan-Intelektual.

Jika pada saat bekerja, sorang ahli-bedah (150b-151d) membawa rasa-sakit atau menguranginya untuk membantu seorang wanita melahirkan anaknya, sebaliknya Socrates tidak mengamati tubuh tapi lebih ke jiwa, dan membantu lawan-bicaranya untuk melahirkan-ide.

Socrates kemudian menerapkan Metode-Tanya-Jawab untuk menguji apakah Keturunan-Intelektual (ide baru yang dilahirkan) adalah hantu atau bibit-kebenaran.

Socrates menekankan bahwa dirinya dan Bidan sebenarnya adalah mandul, dan tidak bisa melahirkan anak-anak mereka sendiri (melahirkan ide/gagasan sendiri). Disamping mengakui kekosongan ide-ide dalam dirinya, Socrates mengklaim terampil melahirkankan-gagasan dari orang-lain dan mengujinya.

c. Dialektika: Socrates Yang Konstruktif

Metode-Dialektika dianggap lebih Platonis dari Socrates, meskipun demikian seseorang dapat memahami mengapa banyak orang mengaitkan Metode-Dialektika dengan Socrates.

Di satu sisi, makna kata Dialegesthai --asal kata Dialektika-- dalam bahasa Yunani secara umum hanya berarti " untuk-berkomunikasi " atau " untuk-membahas ". Oleh karena itu ketika Socrates membedakan antara diskusi dengan eksposisi-retoris dalam karya Plato --Gorgias--, kontradiksi tampaknya menunjukkan ketertarikan Socrates pada pertanyaan-dan-jawaban singkat dari pada percakapan yang panjang-lebar (447b-c, 448d-449c).

Ada dua-definisi lain dari Dialektika dalam kumpulan tulisan karya Plato.

Pertama, dalam Republik, Socrates membedakan antara pemikiran Dianoetic, yang menggunakan indra dan mengasumsikan hipotesis, dengan berpikir Dialektis, yang tidak-menggunakan indra dan melampaui hipotesis prinsip pertama (Republik VII 510c-511c, 531d-535a).

Kedua, dalam Phaedrus, Sofis, Statesman, dan Philebus, Dialektika didefinisikan sebagai metode pengumpulan-dan-pembagian. Seseorang mengumpulkan sesuatu-yang-acak ke dalam satu-kategori dan juga membagi masing-masing kategori sesuai dengan jenisnya (Phaedrus 265d-266c).

Beberapa sarjana melihat Metode-Tanya-Jawab dan Dialektika sebagai metode yang berbeda secara fundamental dengan tujuan yang berbeda, sementara yang lain melihat sebagai dua-hal yang konsisten dan dapat digabungkan.

Beberapa bahkan melihat keduanya sebagai dua bagian dari satu prosedur-berpendapat, dimana Metode-Tanya-Jawab yang menyanggah dan Dialektika yang melakukan konstruksi.


Sumber:
www.iep.utm.edu/socrates
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 30 September 2016


Sunday, September 25, 2016

Socrates 2 : Pikiran-Pikirannya


Apa Yang Dipikirkan Socrates ?

Dengan sumber-sumber yang ada, tugas menjelaskan kembali apa yang dipikirkan Socrates adalah tidak mudah. Meskipun demikian, dengan membaca karya Plato --Apology-- adalah mungkin untuk mengartikulasikan sejumlah hal yang saat ini biasa diasosiasikan dengan Socrates oleh para ahli/sarjana.

Plato sebagai penulis diakui sendiri oleh Socrates, hadir di dalam ruang sidang pembelaan dirinya (Apology 34a). Meski ini tidak berarti Plato mencatat transkrip pembelaan Socrates kata-demi-kata tetapi itu adalah suatu yang paling mendekati untuk menjelaskan apa yang sesungguhnya dikatakan Socrates pada satu-titik dalam kehidupannya yang nyata.

Filsafat Prasokrates Dan Kaum Sofis

Socrates membuka pidato pembelaannya dengan membela diri terhadap beberapa penuduhnya yang lebih-tua (Apology 18a), Socrates menyatakan bahwa pikiran para-juri dalam persidangannya telah diracuni oleh mereka sejak masih muda-belia. Di antara penuduh ini adalah Aristophanes.

Untuk memperkuat pernyataanya, Socrates membuat argumen yang-buruk menjadi lebih-kuat --ada rumor bahwa Socrates menghindar untuk berbicara tentang alam-semesta, hal-hal di atas langit dan di bawah bumi-- Jawaban Socrates untuk rumor itu adalah ia tidak-pernah membahas topik-topik tersebut (Apology 18a-c). Disini, Socrates membedakan dirinya tidak-hanya dari kaum Sofis serta --dugaan-- kemampuan mereka untuk membalikkan argumen yang-kuat menjadi lemah, tetapi juga dari orang-orang yang kita kenal sekarang sebagai para filsuf Prasokrates.

Istilah Prasocrates tidak-hanya merujuk pada filsuf yang datang sebelum Socrates, tetapi juga beberapa filsuf yang hidup-sejamannya. Istilah ini sering digunakan untuk menunjukkan bahwa Socrates memperhatikan bidang Etika sedang para filsuf Prasokrates tidak. Suatu yang menyesatkan, karena terdapat bukti bahwa sejumlah-filsuf Prasocrates juga melakukan eksplorasi pada masalah Etika.

Istilah Prasocrates paling-tepat digunakan untuk merujuk pada kelompok-pemikir yang tidak dipengaruhi Socrates, yang mencari kesatuan-dasar-karakteristik untuk menjelaskan dunia (alam) melalui prinsip-prinsip yang melekat dalam-dirinya. Filsuf abad ke-6 SM Thales dari Miletus, misalnya, percaya bahwa prinsip-dasar dari segala sesuatu (alam) adalah air. Anaximander percaya prinsip-dasar segala sesuatu adalah sesuatu yang-tak-terbatas yang disebut Apeiron, dan untuk Anaxamines itu adalah udara.

Selanjutnya dalam karya Plato (Apology 26d-e), Socrates dengan retoris menanyakan apakah Meletus (salah satu penuntutnya) berpikir akan menuntut Anaxagoras seorang pemikir abad ke-5 SM yang berpendapat bahwa alam-semesta pada awalnya adalah campuran unsur-unsur yang sejak adanya digerakkan oleh Nous atau Mind. Socrates menunjukkan bahwa ia tidak terlibat dalam jenis pertanyaan kosmologis yang sama, yang menjadi fokus-utama dari banyak pemikir Prasocrates.

Kelompok lain yang terhadap mereka Socrates membandingkan-diri adalah kaum Sofis, orang-orang terpelajar yang melakukan perjalanan dari kota-ke-kota mengajar kepada para kaum-muda untuk memperoleh imbalan. Meski Socrates mengklaim, adalah hal yang mengagumkan untuk mengajar seperti Gorgias, Prodicus, atau Hippias yang mengajarkan kebijaksanaan (Apology 20a), Socrates berpendapat ia sendiri tidak-memiliki pengetahuan tentang keunggulan-manusia atau kemuliaan/kebijaksanaan (Apology 20b-c). Meski Socrates mempertanyakan sifat-kebijaksanaan, ia sendiri mengaku tidak-mengetahui apa itu kebijaksanaan, dan tentu saja Socrates tidak-meminta bayaran untuk percakapannya.

Tema Dan Pikiran Socrates Dalam Karya Plato -Apology-

i. Ketidaktahuan Socrates


Dalam karyanya, Plato bergerak maju menjelaskan alasan mengapa Socrates memperoleh reputasi serta mengapa begitu banyak warga tidak-menyukainya. Oracle di Delphi berkata pada teman Socrates, Chaerephon:

" Tidak ada yang lebih bijaksana dari Socrates. " (Apology 21a)

Sebaliknya Socrates justru menjelaskan bahwa ia tidak-mengetahui kebijaksanaan apapun yang dimiliki dirinya. Karena itu Socrates mencari seseorang yang memiliki-kebijaksanaan untuk menunjukkan perkataan Oracle adalah keliru.

Socrates pertama pergi ke para-politisi tetapi menyimpulkan bahwa mereka tidak-mempunyai kebijaksanaan. Selanjutnya, dia mengunjungi para-penyair dan menemukan bahwa, meskipun mereka berbicara dengan ayat-ayat yang indah, mereka melakukannya karena inspirasi-ilahi, bukan karena mereka memiliki-kebijaksanaan apapun. Akhirnya, Socrates menemukan bahwa orang-yang-ahli memiliki pengetahuan tentang karya-mereka-sendiri, tetapi sayang mereka percaya bahwa dirinya mengetahui lebih-banyak dari apa yang sesungguhnya mereka lakukan.

Akhirnya Socrates menyimpulkan bahwa ia lebih-baik dari sesama warga Athena karena, mereka berpikir mereka mengetahui sesuatu padahal sesungguhnya tidak, sedang Socrates menyadari ketidaktahuannya sendiri. Menurutnya, Dewa yang berbicara melalui Oracle adalah yang benar-benar bijaksana, sedang kebijaksanaan-manusia hanya bernilai-sedikit atau tidak-ada sama sekali (Apology 23a ).

Kesadaran seseorang akan tidak-adanya pengetahuan dalam dirinya adalah apa yang dikenal sebagai Ketidaktahuan-Socrates (Socratic Ignorance) dan merupakan hal yang bisa diperdebatkan bahwa hal tersebutlah yang paling membuat Socrates menjadi terkenal.

Ketidaktahuan-Socrates kadang-kadang disebut juga ketidaktahuan-sederhana, agar dapat dibedakan dari ketidaktahuan-ganda para warga Athena yang dengan mereka Socrates berbicara. Ketidaktahuan-sederhana adalah kesadaran seseorang bahwa dirinya tidak-mengetahui sesuatu, sedangkan ketidaktahuan-ganda adalah kesadaran-seseorang yang tidak-menyadari-ketidaktahuannya sementara ia berpikir/menganggap dirinya mengetahui. Seperti yang ditunjukan oleh banyak tokoh berpengaruh di Athena bahwa mereka sesungguhnya tidak-mengetahui apa yang mereka pikir/anggap tahu mengenai sesuatu, Socrates datang untuk dibenci oleh banyak-kalangan.

Socrates mengklaim bahwa dia menyadari ketidaktahuannya dan apa-pun yang ia tahu adalah tidak-bernilai. Socrates memiliki sejumlah keyakinan yang-kuat mengenai apa yang dapat membuat kehidupan menjadi baik, meskipun demikian ia tidak-bisa mengartikulasikan dengan tepat mengapa keyakinannya adalah suatu kebenaran.

Sebagai contoh, ia yakin bahwa tidaklah-adil untuk menyakiti siapa pun, apakah teman atau musuh. Tetapi Socrates tidak bisa memberikan penjelasan yang sistematis sifat-keadilan yang bisa menunjukkan mengapa hal ini benar (setidaknya dalam Buku I Republik).

Karena kesungguhannya terus mengulang pertanyaan dan mencari jawaban, Socrates berhasil menyempurnakan keyakinannya sedemikian rupa sehingga ia dapat memiliki pandangan khusus tentang keadilan seraya tetap menjaga-sikap bahwa dia tidak-tahu sifat-keadilan yang lengkap/sempurna.

Kita bisa melihat kontradiksi ini cukup jelas dalam pemeriksaan silang Socrates pada penuduhnya Meletus. Karena ia dituduh merusak generasi-muda, Socrates bertanya :

" Jadi siapa yang membantu para pemuda untuk mengembangkan diri ? " (Apology, 24d-25a )

Socrates menggunakan analogi yang sama seperti kita mengambil kuda dari seorang pelatih-kuda untuk melatihnya menjadi kuda yang tangkas, Socrates bermaksud mengetahui --dari siapa-- kita mengambil orang-muda untuk mendidik dan meningkatkan dirinya. Meletus hanya terdiam sambil mengutuk dirinya: Dia tidak pernah repot-repot merenungkan hal tersebut, dan karena itu dia tidak menyadari ketidaktahuannya tentang hal yang merupakan dasar dari tuduhannya (Apology 25b-c).

Dalam hal ini, apakah Socrates atau Plato --sesungguhnya-- berpendapat adalah mungkin untuk mencapai keahlian dalam kebajikan dan kebijaksanaan merupakan subjek yang para-sarjana tidak sepakat.

ii. Prioritas Perawatan Jiwa

Sepanjang pidato pembelaannya (Apology 20a-b, 24c-25c, 31b, 32d, 36c, 39d) Socrates berulang kali menekankan bahwa manusia harus merawat/memperhatikan jiwanya lebih dari apa pun (lihat juga Crito 46C-47D, Euthyphro 13b-c , Gorgias 520a4ff).

Socrates menemukan bahwa warga Athenalebih-peduli pada kekayaan, reputasi, dan tubuh mereka sementara mengabaikan jiwa mereka (Apology 29d-30b).Socrates percaya bahwa misinya dari Tuhan adalah untuk memeriksa sesama warga Athena dan membujuk/mengajarkan pada mereka bahwa kebaikan yang paling-penting untuk manusia adalah kesehatan-jiwa.

Socrates bersikeras kekayaan tidak membawa keunggulan, kemuliaan, kebajikan dan kebijaksanaan manusia, namun sebaliknya kebajikan/kebijaksanaan yang membuat kekayaan dan segala sesuatu yang lain menjadi baik bagi manusia (Apology 30b).

Socrates meyakini misinya merawat-jiwa telah meluas ke keseluruhan kota Athena. Dia berpendapat Tuhan mengirim dirinya ke kota Athena sebagai hadiah dan misinya adalah untuk membantu memajukan dan mengembangkan kota Athena. Dengan demikian Socrates mencoba menunjukkan bahwa ia tidak-bersalah melakukan penghinaan agama/keyakinan warga Athena, karena segala yang dilakukannya justru menanggapi Oracle dan untuk melayani Dewa. Socrates mencirikan dirinya sebagai lalat pengganggu dan kota Athena sebagai kuda-lamban yang perlu dicambuk, dikendalikan dan dipacu (Apology 30e).

Tanpa penyelidikan filosofis, demokrasi menjadi stagnan dan puas dengan kondisi yang ada, sehingga demokrasi berada dalam bahaya yang merugikan dirinya sendiri dan yang lain. Sama seperti lalat-pengganggu yang merangsang kuda tetapi sekaligus mendorong/membangkitkan kuda untuk bergerak, Socrates mengandaikan bahwa tujuannya adalah melakukan-agitasi pada orang di sekitarnya sehingga mereka mulai memeriksa/menguji dirinya.

Orang mungkin membandingkan pendapat ini dengan pernyataan Socrates dalam Gorgias bahwa, sementara rekan-sejawatnya pada jamannya bertujuan memperoleh pemberian gratifikasi, Socrates melakukan keahlian-politik yang sejati karena bertujuan meraih apa yang terbaik (521d-e).

Pernyataan tersebut --menguatkan bukti sejarah yang kita miliki-- bahwa pembelaan Socrates yang paling kuat adalah ia tidak menjadi beban bagi demokrasi tetapi aset besar untuk itu.

iii. Hidup Yang Tak Diuji

Setelah juri memutus vonis pada Socrates dan menjatuhkan hukuman-mati, ia membuat salah satu pernyataan yang paling terkenal dalam sejarah filsafat. Dia berkata kepada juri bahwa dia tidak pernah bisa diam, karena

" Kehidupan yang tidak-diuji adalah hidup yang tidak-berguna bagi manusia. " (Apology 38a)

Dalam pendapat Socrates ini, kita menemukan bahwa kita semua diajak untuk merenungkan apa yang kita percaya, sebuah penjelasan untuk apa yang kita ketahui dan tidak-diketahui.

Secara umum Socrates berbicara untuk mencari dan mempertahankan hidup sesuai dengan pandangan/nilai-nilai untuk menjalani-hidup yang baik dan penuh-makna.

Disini beberapa ahli memperhatikan penekanan Socrates pada sifat-manusia dan berpendapat bahwa panggilan untuk menjalani --hidup yang diuji-- bersumber dari sifat kita sebagai manusia.

Kita secara alami dikendalikan oleh kenikmatan dan rasa-sakit. Kita tertarik pada kekuasaan, kekayaan dan reputasi, begitu juga dengan warga Athena yang tertarik pada nilai-nilai yang sama. Panggilan Socrates untuk menjalani --hidup yang diuji-- belum tentu merupakan desakan untuk menolak semua motivasi tersebut, melainkan perintah untuk menilai kebenaran yang berguna bagi jiwa-manusia.

Tujuan dari --kehidupan yang diuji-- adalah untuk merenungkan motivasi kita sehari-hari serta nilai-nilainya dan selanjutnya menyelidiki apa yang benar-benar berguna --setidaknya-- untuk melakukan penyelidikan pada apa yang kita miliki dan yakini. Jika kita tidak memiliki/meyakini suatu nilai atau bahkan jika kita memegang nilai yang berbahaya, semuanya terserah pada kita untuk mengejar hal-hal yang benar-benar bernilai.

Dengan membaca Apology, Seseorang dapat melihat bahwa Socrates menguji kehidupan-juri selama persidangannya. Dengan menegaskan keutamaan --hidup yang diuji-- setelah ia divonis dan dijatuhi hukuman-mati, Socrates yang dituntut justru berperan menjadi jaksa-penuntut, dia diam-diam menuduh orang-orang yang menghukumnya hidup dengan tidak-menghormati kemanusiaan mereka sendiri. Dia mengatakan kepada mereka bahwa dengan membunuh-dia mereka tidak akan berhasil lolos dari ujian kehidupan mereka.

Lolos dari ujian-hidup, memberikan penjelasan, hidup seseorang adalah mungkin baik dan tidak-baik. Socrates berpendapat yang-terbaik adalah mempersiapkan diri untuk menjadi sebaik-mungkin (Apology 39d-e).

Disini kita menemukan konsepsi kehidupan-yang-baik, yang berbeda dari pandangan yang didukung oleh banyak filsuf-kontemporer. Saat ini, kebanyakan filsuf akan berpendapat bahwa kita harus menjalani hidup-yang-baik (meskipun arti hidup-yang-baik ini tentu saja menjadi bahan perdebatan) tetapi untuk menjadi orang-baik, seseorang tidak perlu terlibat dalam diskusi seperti yang dilakukan Socrates sehari-hari.

Orang-baik --kita bisa mengatakan-- adalah seseorang yang menjalani kehidupan-yang-baik sejauh yang dapat dilakukan olehnya, tetapi tidak perlu konsisten terlibat dalam perdebatan-filosofis misalnya tentang sifat-keadilan atau tujuan-negara. Tidak diragukan lagi Socrates tidak-setuju dengan pendapat itu, bukan hanya karena hukum mungkin tidak-adil atau negara mungkin melakukan terlalu banyak atau terlalu sedikit, tetapi karena, sejauh kita adalah manusia, menguji diri selalu bermanfaat bagi kita.

Pandangan Lain Dan Argumen Socrates

Sebagai tambahan, selain tema-tema yang ditemukan dalam Apology, berikut adalah beberapa pandangan lain dalam kumpulan tulisan karya Plato yang biasanya dianggap berasal dari pikiran Socrates.

i. Kesatuan Nilai-Nilai Kebajikan; Semua Nilai Kebajikan Adalah Pengetahuan

Dalam Protagoras (329b-333b) Socrates berpendapat mengenai pandangan bahwa semua nilai-nilai kebajikan seperti keadilan, kebijaksanaan, keberanian, kesalehan, dan sebagainya adalah satu-kesatuan.

Dia memberikan sejumlah argumen untuk tesis ini. Sebagai contoh, sementara adalah biasa untuk berpikir bahwa seseorang dapat menjadi bijak tanpa menjadi temperamental, Socrates menolak pendapat ini dengan alasan bahwa kebijaksanaan dan temperamental keduanya memiliki hal berlawanan yang sama yaitu kebodohan. Jika kedua hal tersebut benar-benar berbeda, maka masing-masing akan memiliki lawan sendiri. Kesamaan lawan keduanya (yaitu: kebodohan) menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat memiliki kebijaksanaan tanpa temperamental dan sebaliknya.

Tesis ini kadang-kadang dipasangkan dengan pandangan Socrates yang lain, yaitu bahwa nilai-nilai kebajikan adalah merupakan bentuk-pengetahuan (Meno 87e-89a; lih Euthydemus 278d-282a). Hal-hal seperti keindahan, kekuatan, dan kesehatan bermanfaat bagi manusia, tetapi juga dapat membahayakan jika tidak disertai dengan pengetahuan atau kebijaksanaan. Jika nilai-nilai kebajikan menjadi bermanfaat pasti karena adanya pengetahuan, karena semua kualitas-jiwa dalam dirinya-sendiri tidaklah menguntungkan dan tidak-berbahaya, tetapi hanya bermanfaat jika disertai dengan kebijaksanaan dan berbahaya jika disertai dengan kebodohan.

ii. Tidak Ada Orang Yang Berbuat Salah Dengan Sadar / Sengaja

Socrates terkenal menyatakan bahwa tidak ada manusia yang keliru atau membuat kesalahan dengan sengaja (Protagoras 352c, 358b-b). Di sini kita menemukan contoh intelektualitas Socrates. Ketika seseorang melakukan sesuatu-dengan-salah, kegagalan mereka untuk melakukan apa-yang-benar adalah kesalahan-intelektual, atau karena ketidaktahuan mereka-sendiri tentang apa-yang-benar. Jika orang tersebut mengetahui apa-yang-benar, ia akan melakukannya. Oleh karena itu, tidak mungkin bagi seseorang secara bersamaan mengetahui apa-yang-benar dan melakukan apa-yang-salah. Jika seseorang melakukan apa-yang-salah, mereka melakukannya karena mereka tidak-mengetahui apa-yang-benar. Jika mereka mengklaim telah mengetahui apa-yang-benar pada saat mereka melakukan yang-salah, mereka sesungguhnya membuat pengakuan-yang-keliru, karena jika mereka benar-benar mengetahui apa-yang-benar, mereka pasti akan melakukannya.

Oleh karena itu Socrates menyangkal kemungkinan Akrasia, atau kelemahan-kehendak. Tidak ada perbuatan-keliru yang sengaja-dilakukan (Protagoras 345c4-e6). Sementara itu mungkin tampak bahwa Socrates menyamakan antara sadar dan sengaja, dengan membaca Gorgias 466a-468e membantu memperjelas tesisnya.

Socrates berkata pada Polus, Tiran memiliki kekuasaan yang lemah terhadap setiap-anggota di dalam kota karena mereka tidak melakukan apa yang dinginkan oleh warganya. Apa yang mereka lakukan adalah tidak-baik atau tidak-menguntungkan meskipun manusia hanya menginginkan apa-yang-baik atau bermanfaat. Dalam keadaan seperti itu kehendak Tiran telah dirusak oleh ketidaktahuan dan selanjutnya tentu akan membahayakan dirinya. Sebaliknya dalam keadaan kehendak-yang-dimurnikan dengan pengetahuan, akan selalu bermanfaat.

iii. Semua Kehendak Adalah Untuk Memperoleh Kebaikan

Salah satu premis dari argumen yang baru disebutkan diatas adalah manusia hanya menginginkan kebaikan. Ketika seseorang melakukan sesuatu demi sesuatu-yang-lain, selalu sesuatu yang-lain-itu yang dia-inginkan. Semua hal-hal buruk atau hal-hal menengah yang dilakukan bukan untuk diri-mereka tetapi demi sesuatu-yang-lain yaitu kebaikan. Sebagai contoh, ketika seorang Tiran mengirim seseorang untuk dihukum-mati, ia melakukan ini karena ia berpikir itu bermanfaat dalam beberapa-hal. Oleh karena itu tindakannya diarahkan menuju kebaikan, karena ini adalah apa yang benar-benar dia inginkan (Gorgias 467-468B).

Sebuah versi yang sama dari argumen ini berada di dalam Meno, 77B-78b. Mereka yang menginginkan hal-hal-buruk tidak mengetahui bahwa hal itu benar-benar-buruk sebaliknya jika mereka mengetahui hal itu adalah sesuatu-yang-buruk maka mereka tidak akan menginginkan atau melakukan itu. Mereka tidak secara alami menginginkan apa-yang-buruk melainkan menginginkan hal-hal yang mereka yakini-baik tetapi sebenarnya-buruk. Mereka menginginkan hal-hal-yang-baik meskipun mereka tidak memiliki pengetahuan tentang apa yang benar-benar-baik.

iv. Lebih Baik Menderita Ketidakadilan Daripada Melakukan Ketidakadilan

Socrates membuat marah Polus dengan argumen bahwa lebih baik menderita-ketidakadilan daripada melakukan-ketidakadilan (Gorgias 475a-d).

Polus setuju bahwa melakukan-suatu-ketidakadilan lebih memalukan, tetapi mempertahankan-ketidakadilan tidaklah-lebih buruk. Hal-terburuk, dalam pandangannya, adalah untuk menderita-ketidakadilan.

Socrates berpendapat bahwa, jika ada sesuatu yang lebih-memalukan, sesuatu itu berarti melampaui keburukan atau rasa-sakit atau melampaui keduanya. Karena melakukan-ketidakadilan tidak lebih menyakitkan daripada menderita-ketidakadilan, melakukan-ketidakadilan tidak dapat melampaui rasa-sakit dan keburukan. Melakukan-ketidakadilan melebihi menderita-ketidakadilan dalam hal keburukanya. Dengan kata lain, melakukan-ketidakadilan lebih buruk daripada menderita-ketidakadilan. Oleh karena itu, jika diberi pilihan diantara keduanya, kita harus memilih untuk menderita-ketidakadilan daripada melakukan-suatu-ketidakadilan.

Argumen ini harus dipahami dalam hal penekanan Socrates pada perawatan-jiwa. Melakukan-ketidakadilan merusak jiwa-seseorang, dan karena itu melakukan-ketidakadilan adalah hal-terburuk yang dapat dilakukan seseorang pada dirinya-sendiri (lih Crito 47D-48a, Republik I 353d-354a).

Jika seseorang melakukan-ketidakadilan, Socrates bahkan lebih-jauh mengklaim bahwa lebih-baik menjalani-hukuman daripada menghindarinya dengan alasan bahwa hukuman akan membersihkan atau menyucikan jiwa dari kerusakan (Gorgias 476d-478e ).

v. Eudaimonism

Kata Yunani untuk kebahagiaan adalah Eudaimonia, yang berarti merasakan sesuatu dengan cara tertentu. Sebuah makna-yang-berbeda Eudaimonia adalah keadaan-yang-baik (well-being).

Banyak sarjana percaya bahwa Socrates memegang dua-prinsip yang saling terkait tetapi tidak setara mengenai Eudaimonia. Pertama, bahwa rasionalitas diperlukan seseorang untuk membuat kebahagiaannya sendiri sebagai pertimbangan dasar atas-perbuatannya. Kedua, bahwa setiap orang pada kenyataannya mengejar-kebahagiaan sebagai dasar pertimbangan untuk tindakan-tindakan yang dilakukan.

Hubungan dengan penekanan Socrates pada kebijaksanaan, tidaklah sepenuhnya jelas apa artinya. Kebijaksanaan bisa identik dengan kebahagiaan --dalam hal ini tidak ada perbedaan antara keduanya-- jika saya orang-yang-bijak --dengan definisi itu-- berarti saya-bahagia. Kebijaksanaan bisa menjadi bagian dari kebahagiaan dalam hal ini jika saya-orang-yang-bijak berarti saya-bahagia meskipun saya bisa menambah-kebahagiaan saya dengan sesuatu yang-lain atau kebijaksanaan bisa menjadi instrumen untuk kebahagiaan, dalam hal ini jika saya-orang-bijak saya mungkin bahagia dan saya tidak-bisa bahagia tanpa-kebijaksanaan, tetapi tidak-ada jaminan bahwa saya-bahagia.

Ada sejumlah ayat dalam Apology yang tampaknya menunjukkan bahwa kebaikan-tertinggi bagi manusia adalah melakukan percakapan-filosofis (36b-d, 37e-38a, 40e-41c).

Meno 87C-89a menunjukkan bahwa pengetahuan tentang kebaikan merupakan panduan bagi-jiwa untuk menuju kebahagiaan (lih Euthydemus 278e-282a). Dan pada Gorgias 507a-c, Socrates menunjukkan bahwa orang berbudi-luhur yang bertindak sesuai dengan kebijaksanaan akan mencapai kebahagiaan (lih Gorgias 478c-e : orang paling-bahagia tidak memiliki keburukan-dalam-jiwanya).

vi. Berkuasa Adalah Sebuah Keahlian

Socrates berpendapat Berkuasa adalah suatu jenis pekerjaan yang membutuhkan keahlian atau seni (techne). Karena itu Berkuasa membutuhkan pengetahuan.

Sama seperti dokter memberikan hasil yang diinginkan oleh pasiennya misalnya kesembuhan. Maka seorang Penguasa harus membawa beberapa hasil yang diinginkan oleh warganya (Republik 341c-d, 342c).

Seorang dokter, karena di dalam pikirannya memiliki kepentingan-yang-terbaik bagi pasiennya maka ia tidak-pernah berusaha untuk mendapatkan keuntungan dari praktek yang dilakukan. Demikian pula, pekerjaan Penguasa adalah melakukan sesuatu bukan untuk kepentingannya-sendiri, tetapi untuk kepentingan warga masyarakat-politik.

Ini tidaklah untuk mengatakan bahwa tidak-mungkin ada sejumlah keuntungan yang diperoleh oleh para praktisi. Dokter, misalnya, mungkin mendapatkan gaji-yang-baik, tetapi keuntungan ini tidak-intrinsik dalam keahliannya mengobati. Seseorang dapat dengan mudah membayangkan seorang dokter yang memperoleh sedikit-uang. Tetapi bagaimanapun, seseorang tidak bisa membayangkan seorang dokter yang tidak-bertindak demi untuk kepentingan-pasiennya.

Analogi hal tersebut adalah Penguasa selalu memerintah demi-kebaikan-warga yang diaturnya dan demi keadilan --berlawanan dengan pendapat yang terkenal dari Thrasymachus --bahwa tidak-semua yang dilakukan untuk kepentingan pihak-yang-berkuasa (Republik 338c-339a).


Sumber:
www.iep.utm.edu/socrates
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 26 September 2016


Wednesday, September 7, 2016

Socrates 1 : Kisah Hidupnya


Socrates adalah satu diantara sedikit orang yang bisa dikatakan sangat berpengaruh membentuk peradaban dan perkembangan intelektual dunia. Tanpa Socrates sejarah dunia akan sangat berbeda.

Socrates paling-dikenal dengan metode tanya-jawab untuk mencari/memperoleh pengetahuan/kebenaran.

Dia mengaku dirinya sebagai seorang Ignoran (yang menyadari dirinya tidak mempunyai pengetahuan) dan berpendapat bahwa hidup yang tidak-diuji adalah hidup yang tak-berguna bagi manusia.

Socrates menjadi inspirasi bagi Plato, seorang muridnya dan pemikir yang sangat diakui sebagai pendiri tradisi filsafat-barat. Plato kemudian menjadi guru Aristoteles, yang kemudian ketiganya menjadi trio-filsuf kuno yang sangat terkenal Socrates, Plato dan Aristoteles.

Tidak seperti filsuf pada saat itu, Socrates tidak pernah menuliskan karyanya tetapi dia mengikat-diri untuk menjalani hidup-sederhana dan menyelidik pandangan sehari-hari masyarakat serta pendapat yang populer di kota tempat tinggalnya yaitu Athena.

Pada umur 70 tahun Socrates dihukum-mati oleh tangan teman-teman satu tanah-airnya dengan tuduhan menghina kepercayaan masyarakat dan meracuni atau merusak generasi-muda. Proses pengadilannya dengan kontek latar belakang sosial, budaya dan politiknya telah diakui kebenarannya sesuai dengan banyaknya penelitian para ahli-sejarah-klasik yang jumlahnya sebanding dengan metode dan pendapat yang diperoleh dari sang filsuf.


Sejarah Hidup Socrates

Kelahiran dan Awal Kehidupan

Socrates lahir di Athena pada tahun 469 SM dari pasangan Sophroniscus seorang yang bekerja sebagai pemahat-patung batu dan Phaenarete seorang yang berprofesi sebagai bidan. Keluarganya tidak sangat-miskin, tapi mereka tidak juga berarti kaya-raya dan Socrates tidak-bisa mengklaim dirinya terlahir sebagai warga terhormat seperti Plato.

Socrates dibesarkan di wilayah politik distrik Alopece. Ketika menginjak usia 18 tahun, dia mulai melaksanakan tugas-politik khusus yang diwajibkan kepada setiap warga laki-laki Athena. Tugas ini termasuk wajib militer dan keanggotaan dalam suatu Majelis, sebuah badan yang bertanggung-jawab untuk menentukan strategi-militer dan undang-undang.

Dalam budaya yang menyembah ketampanan laki-laki, Socrates mengalami nasib-sial karena dilahirkan dengan wajah sangat-jelek. Banyak sumber-sumber kuno yang ada membuktikan penampilan-fisiknya yang tampak-aneh dan Plato lebih dari sekali menunjukan keadaan itu dalam karyanya.

Socrates menderita exophthalmic, yang berarti matanya melotot-keluar dari kepalanya dan tidak lurus tapi fokus ke samping. Dia memiliki hidung pesek, yang membuatnya menyerupai seekor babi, dan banyak sumber menggambarkan dia memiliki perut yang buncit.

Socrates hanya sedikit berupaya untuk memperbaiki penampilan-anehnya, dia sering memakai jubah dan sandal yang sama sepanjang hari, baik di siang maupun malam hari. Plato dalam karyanya Symposium (174a) memberikan salah satu penjelasan mengenai bagaimana penampilan fisik Socrates.

Sebagai seorang pemuda Socrates diberi pendidikan yang sesuai dengan status sosialnya. Pada pertengahan abad ke-5 SM, semua laki-laki Athena diajarkan untuk membaca dan menulis. Meskipun demikian orang tuanya berusaha keras untuk memberikan anaknya pendidikan tambahan tentang budaya terutama puisi, musik, dan atletik.

Dalam karya Plato dan Xenophon ditemukan catatan yang menunjukan Socrates fasih dalam puisi, berbakat di musik dan sering berada di rumah dan di gimnasium.

Sesuai dengan kebiasaan masyarakat Athena, ayahnya juga mengajari ilmu berdagang, meskipun demikian Socrates tidak bermatapencaharian sebagai pedagang. Sebaliknya, dia menghabiskan hari-harinya di Agora (pasar Athena), mengajukan berbagai pertanyaan pada orang-orang yang akan berdiskusi dengannya.

Meskipun dalam keadaan-miskin, Socrates dengan cepat memperoleh sejumlah pengikut dari kalangan aristokrat-muda dan kaya salah satunya adalah Plato yang sangat menikmati, mendengarkan Socrates memberi pertanyaan pada mereka yang mengakui Socrates sebagai orang yang paling bijaksana dan laki-laki yang paling-berpengaruh di kota.

Socrates menikah dengan Xanthippe, dan menurut beberapa sumber, Socrates mempunyai istri-kedua. Hampir semua ahli sejarah berpendapat, bahwa dia pertama kali menikah dengan Xanthippe dan melahirkan anak pertamanya, yang bernama Lamprocles. Dia diduga menikahi istri keduanya, Myrto, tanpa mahar, dan Myrto melahirkan dua anak laki-laki lain yang bernama Sophroniscus dan Menexenus.

Penjelasan lain berpendapat Sophroniscus adalah anak dari Xanthippe. Sementara yang lain bahkan menunjukkan Socrates menikah dengan dua-perempuan secara bersamaan karena pada saat itu di Athena kekurangan laki-laki.

Sesuai dengan kebudayaan Athena, Socrates bersikap terbuka mengenai ketertarikan fisik pada laki-laki muda, meskipun demikian dia menganggap ketertarikan-fisiknya pada mereka tidak begitu-penting daripada gairahnya untuk meningkatkan kualitas-jiwa mereka.

Socrates berjuang dengan gagah-berani selama bergabung di dalam militer Athena. Tepat sebelum Perang Peloponnesia dengan Sparta dimulai pada 431 SM, Ia membantu Athena memenangkan pertempuran Potidaea 432 SM, pada saat itu dia menyelamatkan hidup Alcibiades, seorang jendral Athena yang terkenal.

Dia juga bertarung sebagai salah-satu anggota dari 7.000 anggota pasukan dengan senjata perisai-tombak disamping 20.000 tentara di pertempuran Delium 424 SM dan sekali lagi pada pertempuran Amphipolis 422 SM. Athena mengalami kekalahan pada kedua pertempuran tersebut.

Meski pengabdian dan kesetiaan terus menerus diberikan Socrates kepada kotanya, banyak anggota masyarakat Athena merasa Socrates menjadi ancaman bagi sistem demokrasi mereka dan kecurigaan ini yang memberikan kontribusi besar terhadap vonis kesalahannya di pengadilan. Oleh karena itu penting untuk memahami konteks sejarah pada saat dilakukan pengadilan.


Pengadilan Dan Masa Akhir Kehidupan

Perang Peloponnesia dan Ancaman Sistem Demokrasi

Antara 431-404 SM Athena terlibat perang dalam konflik yang paling berdarah dan paling berlarut-larut melawan tetangganya Sparta, perang yang sekarang kita kenal sebagai Perang Peloponnesia. Selain fakta bahwa Socrates terlibat perang dalam konflik itu, adalah penting adanya penjelasan keterkaitan antara kondisi kehidupan saat itu (sosial dan politik) dan proses pengadilan Socrates karena banyak dari mereka (teman teman Socrates-dengan siapa Socrates menghabiskan waktunya) berubah sikap menjadi bersimpati pada Sparta atau paling buruk berkhianat pada Athena.

Hal ini terjadi khususnya pada orang orang dari keluarga aristokrat Athena, yang cenderung mendukung sistem pemerintahan dengan hirarki yang kaku dan pembatasan kekuasaan seperti di Sparta untuk mengganti distribusi kekuasaan yang demokratis dan lebih luas serta kebebasan berbicara untuk semua warga negara yang diperoleh di Athena.

Plato lebih dari sekali berbicara mengenai karakter Socrates yang memuji Sparta dalam karyanya Protagoras 342b, Crito 53a, lih Republic 544c, dalam karya tersebut hampir semua orang berpendapat konstitusi pemerintahan Sparta adalah yang terbaik. Rezim politik Spartaadalah berbentuk Republik yang ditandai oleh sekelompok kecil elit penguasa yang memimpin warga dalam sebuah kota yang ideal.

Terjadi sejumlah peristiwa sejarah penting selama Perang Peloponnesia berlangsung yang mengarah (mempengaruhi) ke proses pengadilan Socrates, tokoh yang dipersepsikan sebagai seorang pengkhianat. Tujuh-tahun setelah pertempuran Amphipolis yang terjadi pada 422 SM, angkatan laut Athena ditetapkan untuk menyerang pulau Sisilia. Beberapa saat, sebelum pemberangkatan pasukan, di kota Athena terjadi peristiwa penghancuran sejumlah patung Herms --patung yang didedikasikan untuk Dewa Hermes pelindung para pendatang--. Peristiwa ini dijuluki Mutilasi-Herms terjadi pada tahun 415 SM, yang menimbulkan rasa-takut pada warga Athena terhadap orang-orang yang berusaha untuk merusak sistem-demokrasi dan juga terhadap mereka yang tidak menghormati kepercayaan pada Dewa.

Berkaitan dengan kejahatan agama ini, Athena juga menyaksikan penghancuran Misteri-Eleusinian, sebuah ritual-keagamaan yang dilakukan hanya di hadapan imam dan dilakukan di dalam rumah-rumah pribadi tanpa adanya sanksi resmi atau pengakuan dan semacamnya. Di antara mereka yang dituduh dan dianiaya karena dicurigai terlibat dalam kejahatan ini adalah sejumlah teman Socrates, termasuk Alcibiades, yang diberhentikan dari posisinya memimpin ekspedisi ke Sisilia. Daripada menghadapi penuntutan kejahatan, Alcibiades memilih melarikan diri dan mencari suaka di Sparta.

Meskipun Alcibiades bukan satu-satunya rekan Socrates yang terlibat dalam kejahatan-keagamaan (Charmides dan Critias diduga juga terlibat), tetapi dia bisa dianggap tokoh yang berperan-besar dalam peristiwa itu. Banyak keterangan yang menyebutkan Socrates jatuh-cinta dengan Alcibiades. Dalam karyanya Plato menggambarkan Socrates mengejar atau berbicara tentang rasa-cintanya pada Alcibiades dalam banyak dialog Symposium 213c-d, Protagoras 309a, Gorgias 481d, Alcibiades I 103a-104c, 131e-132a.

Dalam dialog tersebut Alcibiades biasanya digambarkan sebagai jiwa-mengembara (Alcibiades I 117c-d), tidak terikat pada salah-satu cara menjalani hidup yang konsisten atau pada nilai-keadilan tertentu. Pada kenyataannya, Alcibiades adalah seorang penjilat seperti bunglon yang bisa berubah dan membentuk dirinya untuk menyenangkan orang banyak dan memenangkan dukungan politik ( Gorgias 482a).

Pada tahun 411 SM, sekelompok warga menentang sistem-demokrasi Athena yang mengarah pada kudeta dengan harapan membangun pemerintahan oligarki/republik seperti di Sparta. Meskipun pemerintahan-demokrasi berhasil meredakan kudeta pada tahun itu juga dan memecat Alcibiades memimpin armada Athena di Hellespont, Alcibiades berhasil membantu pemberontak oligarki (yang didukung Sparta) dengan cara mengamankan mereka dengan membentuk sekutu dengan para gubernur dari Persia. Alcibiades karena itu tidak hanya membantu Sparta tetapi juga bersekutu dengan kepentingan Persia. Hubungan kerjasamanya dengan dua musuh utama Athena sedikit tercermin pada Socrates dan Xenophon menjelaskan bahwa hubungan Socrates yang berulang dan rasa-cintanya pada Alcibiades adalah alat untuk memastikan kecurigaan bahwa Socrates adalah seorang yang mendukung Sparta.

Sparta akhirnya mengalahkan Athena pada tahun 404 SM, hanya lima-tahun sebelum persidangan dan eksekusi Socrates. Untuk mengganti sistem pemerintahan-demokrasi, Mereka memasang sebagai penguasa sekelompok-kecil orang Athena yang setia kepada kepentingan Sparta. Yang dikenal sebagai Kelompok-Tiga-Puluh (The-Thirty) atau kadang-kadang disebut Kelompok-Tiran-Tiga-Puluh (Thirty Tyrants), Mereka dipimpin oleh Critias, seorang yang dikenal sebagai kawan-dekat Socrates. Keponakan Critias --Charmides, yang dalam dialog Plato disebut dengan nama yang sama-- juga merupakan anggota Tiran-Tiga-Puluh.

Meskipun Critias mengajukan hukum yang melarang Socrates untuk melakukan diskusi dengan orang-orang muda di bawah usia 30, hubungan Socrates sebelumnya dengan Critias --serta kesediaannya untuk tetap tinggal di Athena dan mendukung/mempertahankan hukum pemerintahan Tiran-Tiga-Puluh daripada lari-- lebih jauh lagi memberikan kontribusi terhadap kecurigaan yang berkembang bahwa Socrates menentang sistem-demokrasi yang ideal dikotanya.

Tiran-Tiga-Puluh memerintah dengan sewenang-wenang --mengeksekusi sejumlah warga Athena yang kaya serta menyita properti mereka, menangkap mereka yang mendukung sistem pemerintahan-demokratis, serta mengasingkan banyak lainnya-- sampai mereka digulingkan pada tahun 403 SM oleh sekelompok pelarian pendukung pemerintahan-demokrasi yang kembali ke dalam kota.

Critias dan Charmides keduanya tewas dan setelah tercapai perjanjian damai yang disponsori Sparta, sistem pemerintahan-demokrasi dipulihkan. Pemerintahan-demokrasi menyatakan amnesti-umum dan dengan demikian mencegah penuntutan hukum bermotif politik yang bertujuan untuk menebus kerugian yang mengerikan yang terjadi pada masa pemerintahan Tiran Tiga Puluh. Harapan mereka adalah untuk mempertahankan kesatuan selama pembentukan kembali demokrasi mereka.

Salah satu penuduh utama Socrates --Anytus- adalah salah satu dari pelarian pendukung pemerintahan demokrasi yang kembali ke kota untuk membantu penggulingan Tiran-Tiga-Puluh. Dalam karya Plato --Meno-- yang disusun pada tahun 402 SM, menggambarkan percakapan antara Socrates dan Anytus. Di mana Anytus berpendapat bahwa setiap warga Athena dapat mengajarkan kebajikan, pandangan yang sangat demokratis sejauh mengasumsikan bahwa pengetahuan hidup-yang-baik tidak hanya didominasi sekelompok elit masyarakat yang sedikit. Sementara dalam diskusi ini, Socrates berpendapat bahwa jika seseorang ingin tahu tentang kebajikan, maka ia harus berkonsultasi dengan seorang ahli-kebajikan (Meno 91b-94e).

Kekacauan politik yang terjadi, membangun kembali kota Athena menjadi negara-demokrasi setelah hampir tiga-puluh-tahun kehancuran dan pertumpahan darah yang membangkitkan rasa-takut pada warga Athena terhadap ancaman sistem-demokrasi yang datang bukan dari luar tetapi dari dalam kota mereka sendiri.

Meskipun banyak teman temannya menemukan bukti yang cukup terhadap tuduhan pada Socrates, ada juga bukti sejarah tambahan --di samping keterlibatan Socrates dalam dinas militer-- yang menunjukan bahwa Socrates tidak hanya pasif tetapi seorang pendukung aktif sistem pemerintahan-demokrasi.

Dari satu sisi, Socrates merupakan pendukung oligarki tetapi dari sisi yang lain ia juga seorang pendukung pemerintahan-demokrasi, bukti yang ada menunjukan hal itu, termasuk informasi dari keluarga metic Cephalus dan teman Socrates -Chaerephon- pria yang melaporkan bahwa peramal di Delphi telah menyatakan bahwa tidak ada pria lebih bijaksana dari Socrates.

Bukti yang lain adalah ketika ia diperintahkan oleh Tiran-Tiga-Puluh untuk membantu menjemput Jendral Leon pendukung pemerintahan-demokratis dari pulau Salamis untuk dieksekusi mati, Socrates menolak melakukannya. Penolakannya bisa dipahami bukan sebagai pembangkangan terhadap pemerintah yang sah melainkan kesetiaannya kepada proses-hukum yang ideal yang berlaku di bawah pemerintahan-demokrasi sebelumnya.

Memang, dalam karya Plato --Crito-- Socrates menolak untuk melarikan diri dari penjara dengan alasan bahwa ia menjalani seluruh hidupnya dengan kesepakatan tersirat dengan hukum-demokrasi (Crito 50a-54d). Disamping fakta ini, ada kecurigaan yang mendalam bahwa Socrates adalah ancaman bagi sistem-demokrasi di tahun-tahun setelah berakhirnya Perang Peloponnesia.

Tetapi karena adanya amnesti-umum, Anytus dan teman-teman sesama penuduhnya Meletus dan Lycon tidak membawa gugatan terhadap Socrates dengan alasan-politik. Mereka mengganti tuduhan dengan memilih alasan agama/kepercayaan.

Kepercayaan/Agama Yunani dan Penghinaan Socrates

Karena adanya amnesti umum, tuduhan yang dibuat terhadap Socrates dibingkai dengan dasar-agama. Seperti yang dijelaskan oleh Diogenes Laertius (1.5.40), tuduhan itu dinyatakan sebagai berikut:

" Socrates melakukan tindakan kriminal dengan tidak mengakui Dewa yang diakui oleh pemerintah kota Athena, dan lebih jauh lagi dia memperkenalkan Tuhan baru. Dia juga melakukan tindakan kriminal dengan merusak kaum muda. "

(Penjelasan yang sama ditemukan dalam karya: Xenophon, Memorabilia I.I.1 dan Apology 11-12; Plato, Apology 24b dan Euthyphro 2c-3b).

Banyak orang memahami tuduhan tentang merusak-generasi-muda menandakan bahwa Socrates mengajarkan pandangan subversifnya kepada orang lain, sebuah tuduhan yang disangkal dengan tegas dalam pidato pembelaannya dengan menyatakan, bahwa dia tidak memiliki kebijaksanaan untuk mengajar (Plato, Apology 20c) dan bahwa dia tidak bisa bertanggung jawab atas tindakan mereka yang mendengar dia berbicara (Plato, Apology 33a-c).

Sekarang adalah hal yang biasa untuk merujuk pokok-tuduhan yang tertulis pada deposisi yang diajukan ke pengadilan Athena sebagai sebuah tuduhan tindakan-tidak-hormat atau penghinaan. Ritual, upacara dan pengorbanan yang secara resmi diakui oleh pemerintah-kota Athena dan pejabatnya adalah merupakan ciri-khas kepercayaan masyarakat Yunani kuno yang dipegang teguh. Kesakralan terjalin dalam praktek/pengalaman sehari-hari warga yang menunjukkan ketaatan/kesalehan mereka dengan mengikuti secara-benar tradisi leluhur mereka. Interpretasi para Dewa di kuil-kuil mereka adalah domain eksklusif dari imam yang diangkat dan diakui oleh pemerintah-kota.

Oleh karena itu, batas dan pemisahan antara agama dan hal-hal-sekuler yang kita temukan di banyak negara saat ini tidak terdapat di kota Athena. Sehingga sebuah tindakan kejahatan terhadap kepercayaan/agama di Athena mempunyai konsekuensi menjadi tindakan penyerangan tidak hanya terhadap para Dewa, tetapi juga terhadap pemerintahan dan warga kota itu sendiri.

Socrates dan orang pada jaman itu hidup dalam masyarakat politeistik, sebuah masyarakat di mana para Dewa tidak menciptakan dunia, namun para Dewa yang diciptakan oleh masyarakat sendiri. Socrates tumbuh dan dibesarkan bersama cerita para Dewa yang dikisahkan dalam Hesiod dan Homer, di mana para Dewa digambarkan mempunyai sifat Tidak-Maha-Tahu dan Tidak-Kekal melainkan seperti mahluk super yang haus kekuasaan yang secara teratur melakukan intervensi dalam urusan manusia.

Salah satu yang menjadi contoh adalah kisah Dewa-Aphrodite yang menyelamatkan Paris dari kematian oleh tangan Menelaus (Homer, Iliad 3,369-382) atau Dewa-Zeus yang mengirim Apollo untuk menyelamatkan mayat Sarpedon setelah kematiannya dalam pertempuran (Homer, Iliad 16,667-684). Manusia yang takut kepada para Dewa, memberi persembahan korban kepada mereka dan menghormati mereka dengan mengadakan festival dan memohon doa.

Sebaliknya Socrates tampaknya memiliki konsepsi Tuhan/Dewa yang selalu-baik, benar, jujur, berwibawa, dan bijaksana. Baginya, sifat ke-Ilahi-an selalu beroperasi sesuai dengan standar rasionalitas. Meskipun demikian konsepsi ketuhanan Socrates menolak konsepsi ketuhanan-tradisional dalam hal berdoa dan melakukan pengorbanan yang dimotivasi oleh harapan mendapat balasan material.

Teori-Tuhan-Socrates tampak membuat ritual yang paling-penting dan acara pengorbanan di kota Athena menjadi sama-sekali tidak berguna, karena jika para Dewa semua baik, manusia tetap mendapatkan manfaat/keuntungan terlepas dari apakah manusia memberi persembahan dan berdoa kepada mereka atau tidak.

Para-juri di persidangan Socrates mungkin berpendapat bahwa, dengan sikap tanpa berharap imbalan materi atau perlindungan dari para Dewa, Socrates berarti melepaskan kepercayaan/agama dari akar praktek-ritual dan identitas kewarganegaraan kota Athena.

Pada saat Socrates mengkritisi sikap penerimaan buta terhadap para Dewa dan mitos seperti yang ditemukan dalam cerita Hesiod dan Homer, hal yang tentu terdengar keras di Athena pada saat itu. Solon, Xenophanes, Heraclitus, dan Euripides semuanya telah berbicara menentang ketidakteraturan dan perbuatan berlebihan/keterlaluan dari para Dewa tanpa mendapat hukuman sedikitpun.

Hal itu mungkin yang membuat para juri di persidangan tidak mendakwa Socrates karena mempertanyakan Dewa atau menginterogasi arti sebenarnya dari ketaatan/kesalehan. Memang, tidak ada definisi hukum ketaatan/kesalehan di Athena pada waktu itu dan oleh karena itu para juri dalam kondisi membutuhkan penyelidikan apa arti ketaatan/kesalehan yang sebenarnya.

Mereka berada dalam kondisi yang sama seperti kondisi Socrates yang kita temukan dalam karya Plato Euthyphro. Yang menjadi perhatian para juri tampaknya tidak hanya tantangan Socrates terhadap interpretasi tradisional para Dewa yang diakui pemerintah-kota Athena, tetapi sikap mencolok kesetiaannya kepada Tuhan yang sama sekali baru dan asing bagi siapa pun warga kota.

Tuhan/Dewa baru ini adalah apa yang disebut sebagai Daimon Socrates. Meskipun hal yang umum untuk memahami Daimon sebagai roh atau suatu perwujudan Tuhan (misalnya, Simposium 202E-203A), dalam agama Yunani kuno pengertian Daimon bukanlah semata-mata sejenis Tuhan tetapi lebih berarti modus aktivitas atau kekuatan yang mendorong seseorang berbuat sesuatu ketika tidak-ada agen ilahi tertentu yang diketahui (Burkett, 180).

Socrates mengaku telah mendengar Petunjuk (wahyu) berupa tanda atau suara pada saat anak anak yang membimbing dan melarang dia untuk mengikuti melakukan serangkaian tindakan tertentu (Plato, Apology 31c-d, 40a-b, Euthydemus 272e-273a, Euthyphro 3b, Phaedrus 242b, Theage 128-131a, Theaetetus 150C-151b, Rep 496c; Xenophon, Apology 12, Memorabilia 1.1.3-5).

Xenophon menambahkan bahwa Petunjuk (wahyu) itu juga menyampaikan/mengeluarkan perintah perintah yang baik (Memorablia 1.1.4, 4.3.12, 4.8.1, Apology 12). Petunjuk (wahyu) ini hanya dapat dipahami oleh Socrates sendiri secara pribadi dan internal untuk pikirannya sendiri.

Apakah Socrates menerima pengetahuan moral secara berurutan dari Petunjuk (wahyu) itu, hal tersebut merupakan masalah perdebatan ilmiah, tetapi yang tidak diragukan lagi adalah sikap aneh Socrates yang sangat meyakinkan, bahwa ia memperoleh Petunjuk (wahyu) secara pribadi dari Dewa yang tidak diakui oleh pemerintah-kota Athena.

Yang semua itu membuat juri menjadi tahu, bahwa Dewa tersebut dapat menjadi musuh/bahaya bagi kepentingan Athena. Daimon-Sokrates oleh karena itu sangat berpengaruh dalam dakwaannya dengan tuduhan menyembah Dewa-Baru yang tidak dikenal oleh pemerintah-kota (Plato, Euthyphro 3b, Xenophon, Memorabilia I.1.2).

Pada akhirnya, keyakinannya bahwa ia memiliki akses-langsung secara pribadi dengan yang Ilahi membuatnya tampak bersalah yang membuat para-juri merasa cukup memutuskan Socrates dijatuhi hukuman mati.


Sumber:
www.iep.utm.edu/socrates
Pemahaman Pribadi


Kelapa Gading , 7 September 2016