Mungkin ketidak-puasan yang paling-umum terhadap pemikiran sejarah Hegelian adalah sistem-sistem-spekulatif mereka, telah mengabaikan fakta-fakta-empiris sejarah.
Sampai taraf tertentu, ini menjelaskan pembagian/pemisahan --yang baru pada abad 19 M--- antara filsuf-sejarah dengan para sejarawan-praktisi, yang mereka sendiri para sejarawan-praktisi seringkali cukup-reflektif kepada persoalan-persoalan filosofis dalam disiplin ilmu mereka.
Friedrich August Wolf (1759-1824), orang pertama yang masuk ke dalam jajaran akademisi Jerman sebagai seorang filologis-klasik, adalah contoh dalam hal ini (sejarawan-praktisi).
Meski lebih-terpusat pada sejarawan Religius dan Romantik, Wolf menolak secara umum sistem-sistem-teleologikal melaui tuntutannya bahwa interpretasi didasarkan pada sebuah-kombinasi antara pengertian-yang-komprehensif dalam konteks-keseluruhan terhadap suatu era-sejarah-partikular dan juga perhatian-yang-ketat terhadap detail-detail bukti tekstual.
Karya Wolf Prolegomena zu Homer 1795, adalah sebuah landmark dalam kritisisme-sumber-sejarah dan upaya-modern yang pertama untuk memperlakukan sejarah sebagai suatu pengetahuan-ilmiah-murni/asli.
Sementara para sejarawan Romantik berusaha mengambil aspek holistik-dan-intuitif dari Wolf, pengaruh dari metodologi-ketatnya dimiliki pula oleh dua-aliran-pemikiran pesaingnya mengenai kemungkinan pengetahuan terhadap masa-kuno yaitu aliran sprachphilologen dan sachphilologen
J.G.J. Hermann (1772-1848), memimpin aliran sprachphilologen di Leipzig bersama dengan pengikutnya Karl Lachmann (1793-1851) dan Moritz Haupt (1808-1874).
Bagi mereka, pengetahuan tentang masa-kuno secara prinsip menyangkut kepada kondisi-kemampuan-nya untuk dapat diverifikasi (dibuktikan secara faktual).
Karena pendapat apapun mengenai apa yang 'dimaksud' oleh Plato, Euripides, atau Caesar mensyaratkan suatu demonstrasi-pembuktian terhadap ucapan-ucapan (kata-kata) mereka yang aktual, tugas para-filologis secara prinsip harus memperhatikan dengan pelekatan suatu edisi/bagian dari teks/tulisan mereka yang sesempurna-mungkin.
Pada abad 21, warisan sprachphilologie dapat dilihat pada sebuah tradisi 'edisi-kritis' dalam suatu karya dari para pengarangnya. Sachphilologen menerima tuntutan kritis-yang-ketat tetapi menolak bahwa pengetahuan kita tentang masa-kuno harus dibatasi dengan teks-teks tertulis.
August Boeckh (1785-1867), F.G. Welcker (1784-1868), dan Karl Otfried Müller (1797-1840) menerima secara serius metode-kritis Wolf, tetapi melemparkan sebuah jaring yang lebih-luas untuk menggabungkan/memasukan artefak, seni dan kebudayaan.
Jika bukti-bukti kuat/ketat dikorbankan, dengan demikian maka itu dibalas/diganti kembali dengan pengertian yang lebih-komprehensif terhadap kehidupan-asli masa-kuno.
Meskipun kadang-kala diremehkan oleh para-sejarawan yang menggeluti penulisan-sejarah, perdebatan ini membangkitkan dua-kelompok penyebaran bidang-bidang yang berpengaruh luas :
Tuntutan sprachphilologie terhadap bukti-bukti-ketat adalah suatu tanda-tanda penulisan-sejarah 'ilmiah' pada pertengahan abad 19 dan 20 M
Holisme dari sachphilologie meletakan landasan pada karya-karya serius dalam arkeologi, anthropologi, epigraph, numismatika dan sejumlah disiplin sejarah lainnya.
Apa yang telah dilakukan Wolf untuk filologi, dilakukan oleh Leopold von Ranke (1795-18860) pada penulisan-sejarah secara umum.
Meski memunculkan perdebatan, pendapatnya yang terkenal bahwa para sejarawan tidak-harus menginterpretasikan masa-lalu secara subjektif tetapi merepresentasikan-nya 'seperti apa adanya', menjadi lomba-teriakan bagi para sejarawan-praktisi untuk menolak bangunan sistem Hegelian dan narasi-narasi Romantik.
Dan dimana Wolf mencari karakter 'ilmiah' sejarah melalui kemampuan dapat-didemonstrasikan bukti-bukti-nya, Ranke dan para propaganda seperti Heinrich von Sybel (1817-1895) mencari-nya pada karakter yang tidak-disukai oleh para peneliti-nya.
Seorang sejarawan, seharusnya menjadi sebuah cermin-yang-bening bagi masa-lalu, tanpa bias-bias, tujuan-tujuan politik dan antusiasme religius yang mendistorsi gambaran masa-lalu yang nyata dan asli.
Dalam menentang masa-masa Hegelian dan Marxist menurut sejumlah kriteria-apriori, Ranke berpihak pada Herder dalam mempercayai 'setiap masa adalah semakin dekat dengan Tuhan'
Untuk mencegah generalisasi kecurigaan dan reaksi tergesa-gesa, para sejarawan harus merasa tidak-nyaman terhadap kabar-kabar burung namun bekerja secara intensif dengan dokumen-dokumen dan catatan-catatan arsip yang resmi.
Namun demikian, dalam abad 20 dan dengan tokoh-tokoh yang beragam seperti .H. Carr (1892-1982) dan Walter Benjamin (1892-1940), harapan Ranke terhadap objektivitas-empiris telah dikarakterisasikan sebagai realis-naif atau lain-nya sebagai contoh-ironis bagaimana dunia Barat, Kristen, keistimewaan secara ekonomis dan sudut-pandang-lelaki menyamar sebagai objektivitas.
Aliran pemikiran Annales dari Perancis (The French Annales School) dipimpin oleh Fernand Braudel (1902-1985), mencari jawaban untuk menghadapi/melayani tantangan ini ketika melakukan restorasi terhadap pandangan Rankean tentang penulisan-sejarah yang objektif.
Pertengahan tahun 1800-an menunjukan kemunculan kelompok lain teoritis-teoritis-sejarah yang perhatian-nya secara prinsip untuk menunjukan bahwa karakter-ilmiah pada penulisan-sejarah menggunakan pemakaian logika yang sama dengan penjelasan yang digunakan oleh para ilmuwan pengetahuan-alam.
Auguste Comte (1798-1857), pendiri positivisme, menimbang sejarah menjadi semacam 'fisika-sosial', yang membatasi penjelasan kepada relasi-relasi antara fenomena yang dapat diamati.
Pendapat apapun yang merangkul 'hakekat esensi' dibalik data-empiris dilarang sebagai suatu keterlibatan metafisika-spekulatif.
Melalui penelitian empiris saja kita dapat menemukan hukum-alam yang mengatur perubahan sejarah.
Karya Henry Thomas Buckle (1821-1862 History of Civilization in England (1857) membuat jadi-jelas bahwa hukum-hukum ini tidak-dapat ditentukan secara filosofis atau dengan gagasan-teologis tentang kehendak sang-ilahi yang sudah ada sebelumnya, namun dapat dideskripsikan secara statistik sesuai dengan metode-metode empiris ilmu pengatahuan-alam.
Kemajuan yang paling komprehenif dalam logika penelitian sejarah muncul pada saat itu dari John Stuart Mill (1806-1873).
Bahkan ketika dia menolak hipotesa-reduktif-yang-berlebihan bahwa semua manusia dituntun hanya oleh kesenangan-dan-penderitaan, John Stuart Mill tetap mempertahankan kemungkinan penemuan hukum-hukum-perilaku yang akan membuat kita dapat untuk menyimpulkan/memperoleh makna tindakan-tindakan partikular dan memperkirakan masa-depan setidaknya dengan tingkat kepastian tertentu:
" Kesamaan-kesamaan pada eksistensi-bersama yang ditemukan/diperoleh diantara fenomena yang merupakan efek-efek dari penyebab-penyebab, pasti merupakan konsekuensi dari hukum-hukum sebab-akibat dengan-nya fenomena sesungguhnya ditentukan. […] Oleh karena itu, masalah dasar bagi sosial-sain adalah untuk menemukan hukum-hukum yang menurutnya apapun keadaan suatu masyarakat memproduksi keadaan yang terus melanjutkan-nya dan menggantikan-nya. " (Mill 1843, 631)
Disamping membatasi penjelasan-penjelasan mereka kepada hal-empiris, banyak para positivis memegang keyakinan bahwa sejarah adalah bergerak-maju sebagai suatu aturan-hukum yang pasti dalam terma-terma perkembangan moral dan intelektualnya.
"Hukum tiga-tahap" dari Comte, sebagai contoh, berpegangan bahwa pikiran-manusia dan melalui ekstensi institusi-institusi kebudayaan yang dihasilkan dari-nya mengikuti suatu perkembangan-ketat dari suatu pandangan-teologis terhadap berbagai-hal menuju pandangan-metafisis dan pada akhirnya kepada pandangan-ilmiah (saintifik).
Banyak para kritikus dipenuhi-emosi bahwa dalam cara-ini Comte sedikit lebih baik dari Hegel dalam meletakan suatu struktur yang melingkupi-seluruh peristiwa dan semangat tertentu mengenai kemajuan manusia.
Namun demikian, penegasan Comte bahwa hukum-hukum empiris dapat dideduksikan/disimpulkan dari dan dapat memperkirakan perilaku manusia mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan sosiologi dan psikologi-sosial, khususnya dalam tulisan Émile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920), begitu juga terhadap penjelasan-positivisme abad ke 20.
Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H5
Pemahaman Pribadi