Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Sunday, December 27, 2020

Filsafat Sejarah 6 : Penulisan Sejarah Ilmiah Abad 19 M


Mungkin ketidak-puasan yang paling-umum terhadap pemikiran sejarah Hegelian adalah sistem-sistem-spekulatif mereka, telah mengabaikan fakta-fakta-empiris sejarah.

Sampai taraf tertentu, ini menjelaskan pembagian/pemisahan --yang baru pada abad 19 M--- antara filsuf-sejarah dengan para sejarawan-praktisi, yang mereka sendiri para sejarawan-praktisi seringkali cukup-reflektif kepada persoalan-persoalan filosofis dalam disiplin ilmu mereka.

Friedrich August Wolf (1759-1824), orang pertama yang masuk ke dalam jajaran akademisi Jerman sebagai seorang filologis-klasik, adalah contoh dalam hal ini (sejarawan-praktisi).

Meski lebih-terpusat pada sejarawan Religius dan Romantik, Wolf menolak secara umum sistem-sistem-teleologikal melaui tuntutannya bahwa interpretasi didasarkan pada sebuah-kombinasi antara pengertian-yang-komprehensif dalam konteks-keseluruhan terhadap suatu era-sejarah-partikular dan juga perhatian-yang-ketat terhadap detail-detail bukti tekstual.

Karya Wolf Prolegomena zu Homer 1795, adalah sebuah landmark dalam kritisisme-sumber-sejarah dan upaya-modern yang pertama untuk memperlakukan sejarah sebagai suatu pengetahuan-ilmiah-murni/asli.

Sementara para sejarawan Romantik berusaha mengambil aspek holistik-dan-intuitif dari Wolf, pengaruh dari metodologi-ketatnya dimiliki pula oleh dua-aliran-pemikiran pesaingnya mengenai kemungkinan pengetahuan terhadap masa-kuno yaitu aliran sprachphilologen dan sachphilologen

J.G.J. Hermann (1772-1848), memimpin aliran sprachphilologen di Leipzig bersama dengan pengikutnya Karl Lachmann (1793-1851) dan Moritz Haupt (1808-1874).

Bagi mereka, pengetahuan tentang masa-kuno secara prinsip menyangkut kepada kondisi-kemampuan-nya untuk dapat diverifikasi (dibuktikan secara faktual).

Karena pendapat apapun mengenai apa yang 'dimaksud' oleh Plato, Euripides, atau Caesar mensyaratkan suatu demonstrasi-pembuktian terhadap ucapan-ucapan (kata-kata) mereka yang aktual, tugas para-filologis secara prinsip harus memperhatikan dengan pelekatan suatu edisi/bagian dari teks/tulisan mereka yang sesempurna-mungkin.

Pada abad 21, warisan sprachphilologie dapat dilihat pada sebuah tradisi 'edisi-kritis' dalam suatu karya dari para pengarangnya. Sachphilologen menerima tuntutan kritis-yang-ketat tetapi menolak bahwa pengetahuan kita tentang masa-kuno harus dibatasi dengan teks-teks tertulis.

August Boeckh (1785-1867), F.G. Welcker (1784-1868), dan Karl Otfried Müller (1797-1840) menerima secara serius metode-kritis Wolf, tetapi melemparkan sebuah jaring yang lebih-luas untuk menggabungkan/memasukan artefak, seni dan kebudayaan.

Jika bukti-bukti kuat/ketat dikorbankan, dengan demikian maka itu dibalas/diganti kembali dengan pengertian yang lebih-komprehensif terhadap kehidupan-asli masa-kuno.

Meskipun kadang-kala diremehkan oleh para-sejarawan yang menggeluti penulisan-sejarah, perdebatan ini membangkitkan dua-kelompok penyebaran bidang-bidang yang berpengaruh luas :

Tuntutan sprachphilologie terhadap bukti-bukti-ketat adalah suatu tanda-tanda penulisan-sejarah 'ilmiah' pada pertengahan abad 19 dan 20 M

Holisme dari sachphilologie meletakan landasan pada karya-karya serius dalam arkeologi, anthropologi, epigraph, numismatika dan sejumlah disiplin sejarah lainnya.

Apa yang telah dilakukan Wolf untuk filologi, dilakukan oleh Leopold von Ranke (1795-18860) pada penulisan-sejarah secara umum.

Meski memunculkan perdebatan, pendapatnya yang terkenal bahwa para sejarawan tidak-harus menginterpretasikan masa-lalu secara subjektif tetapi merepresentasikan-nya 'seperti apa adanya', menjadi lomba-teriakan bagi para sejarawan-praktisi untuk menolak bangunan sistem Hegelian dan narasi-narasi Romantik.

Dan dimana Wolf mencari karakter 'ilmiah' sejarah melalui kemampuan dapat-didemonstrasikan bukti-bukti-nya, Ranke dan para propaganda seperti Heinrich von Sybel (1817-1895) mencari-nya pada karakter yang tidak-disukai oleh para peneliti-nya.

Seorang sejarawan, seharusnya menjadi sebuah cermin-yang-bening bagi masa-lalu, tanpa bias-bias, tujuan-tujuan politik dan antusiasme religius yang mendistorsi gambaran masa-lalu yang nyata dan asli.

Dalam menentang masa-masa Hegelian dan Marxist menurut sejumlah kriteria-apriori, Ranke berpihak pada Herder dalam mempercayai 'setiap masa adalah semakin dekat dengan Tuhan'

Untuk mencegah generalisasi kecurigaan dan reaksi tergesa-gesa, para sejarawan harus merasa tidak-nyaman terhadap kabar-kabar burung namun bekerja secara intensif dengan dokumen-dokumen dan catatan-catatan arsip yang resmi.

Namun demikian, dalam abad 20 dan dengan tokoh-tokoh yang beragam seperti .H. Carr (1892-1982) dan Walter Benjamin (1892-1940), harapan Ranke terhadap objektivitas-empiris telah dikarakterisasikan sebagai realis-naif atau lain-nya sebagai contoh-ironis bagaimana dunia Barat, Kristen, keistimewaan secara ekonomis dan sudut-pandang-lelaki menyamar sebagai objektivitas.

Aliran pemikiran Annales dari Perancis (The French Annales School) dipimpin oleh Fernand Braudel (1902-1985), mencari jawaban untuk menghadapi/melayani tantangan ini ketika melakukan restorasi terhadap pandangan Rankean tentang penulisan-sejarah yang objektif.

Pertengahan tahun 1800-an menunjukan kemunculan kelompok lain teoritis-teoritis-sejarah yang perhatian-nya secara prinsip untuk menunjukan bahwa karakter-ilmiah pada penulisan-sejarah menggunakan pemakaian logika yang sama dengan penjelasan yang digunakan oleh para ilmuwan pengetahuan-alam.

Auguste Comte (1798-1857), pendiri positivisme, menimbang sejarah menjadi semacam 'fisika-sosial', yang membatasi penjelasan kepada relasi-relasi antara fenomena yang dapat diamati.

Pendapat apapun yang merangkul 'hakekat esensi' dibalik data-empiris dilarang sebagai suatu keterlibatan metafisika-spekulatif.

Melalui penelitian empiris saja kita dapat menemukan hukum-alam yang mengatur perubahan sejarah.

Karya Henry Thomas Buckle (1821-1862 History of Civilization in England (1857) membuat jadi-jelas bahwa hukum-hukum ini tidak-dapat ditentukan secara filosofis atau dengan gagasan-teologis tentang kehendak sang-ilahi yang sudah ada sebelumnya, namun dapat dideskripsikan secara statistik sesuai dengan metode-metode empiris ilmu pengatahuan-alam.

Kemajuan yang paling komprehenif dalam logika penelitian sejarah muncul pada saat itu dari John Stuart Mill (1806-1873).

Bahkan ketika dia menolak hipotesa-reduktif-yang-berlebihan bahwa semua manusia dituntun hanya oleh kesenangan-dan-penderitaan, John Stuart Mill tetap mempertahankan kemungkinan penemuan hukum-hukum-perilaku yang akan membuat kita dapat untuk menyimpulkan/memperoleh makna tindakan-tindakan partikular dan memperkirakan masa-depan setidaknya dengan tingkat kepastian tertentu:

" Kesamaan-kesamaan pada eksistensi-bersama yang ditemukan/diperoleh diantara fenomena yang merupakan efek-efek dari penyebab-penyebab, pasti merupakan konsekuensi dari hukum-hukum sebab-akibat dengan-nya fenomena sesungguhnya ditentukan. […] Oleh karena itu, masalah dasar bagi sosial-sain adalah untuk menemukan hukum-hukum yang menurutnya apapun keadaan suatu masyarakat memproduksi keadaan yang terus melanjutkan-nya dan menggantikan-nya. " (Mill 1843, 631)

Disamping membatasi penjelasan-penjelasan mereka kepada hal-empiris, banyak para positivis memegang keyakinan bahwa sejarah adalah bergerak-maju sebagai suatu aturan-hukum yang pasti dalam terma-terma perkembangan moral dan intelektualnya.

"Hukum tiga-tahap" dari Comte, sebagai contoh, berpegangan bahwa pikiran-manusia dan melalui ekstensi institusi-institusi kebudayaan yang dihasilkan dari-nya mengikuti suatu perkembangan-ketat dari suatu pandangan-teologis terhadap berbagai-hal menuju pandangan-metafisis dan pada akhirnya kepada pandangan-ilmiah (saintifik).

Banyak para kritikus dipenuhi-emosi bahwa dalam cara-ini Comte sedikit lebih baik dari Hegel dalam meletakan suatu struktur yang melingkupi-seluruh peristiwa dan semangat tertentu mengenai kemajuan manusia.

Namun demikian, penegasan Comte bahwa hukum-hukum empiris dapat dideduksikan/disimpulkan dari dan dapat memperkirakan perilaku manusia mempunyai pengaruh yang menentukan terhadap perkembangan sosiologi dan psikologi-sosial, khususnya dalam tulisan Émile Durkheim (1858-1917) dan Max Weber (1864-1920), begitu juga terhadap penjelasan-positivisme abad ke 20.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H5
Pemahaman Pribadi



Sunday, December 6, 2020

Filsafat Sejarah 5 : Sistem Teleologikal Abad 19 M


Nama G.W.F. Hegel (1770-1831 M) nyaris sinonim dengan filsafat-sejarah dalam dua-pengertian, kedua-pengertian itu tertangkap dalam sebuah frase yang dinyatakan olehnya:

" Terkait dengan sejarah, satu-satunya pemikiran yang turut dibawa serta filsafat adalah pemikiran-sederhana tentang akal-budi. Pemikiran bahwa akal-budi mengatur dunia dan bahwa oleh karenanya sejarah-dunia menjadi rasional dalam jalur yang dilaluinya ." (Hegel 1988, 12f).

Sejarah mengungkapkan dirinya mengikuti suatu rencana-rasional dan kita dapat mengetahui rencana-ini secara tepat karena pikiran (akal) yang memeriksanya mengungkapkan diri dari kepastian-pengetahuan-langsung-indrawi (pengertian pertama melalui indra) menuju pengetahuan-absolut dalam suatu pola-teleologikal yang teratur.

Proses yang sama yang mengatur gerak-sejarah, juga mengatur karakter spekulasi-filosofis yang terkandung (inheren) di dalam momen-momen sejarah-itu.

Dan pada era spekulasi-filosofis, kita dapat memahami gerak-keseluruhan dari sejarah sebagai sebuah proses-rasional pengungkapan-kesadaran akan sebuah kebebasan-rasional yang selalu makin-besar.

Suatu hakekat penjelasan terhadap keseluruhan-realitas, yang dengan sendirinya hanya sebuah upaya filsafat, harus menimbang segala yang nyata adalah nyata sejauh itu dapat dipahami dengan akal-budi ketika ia mengungkapkan dirinya melalui perjalanan-sejarah yang pasti. Akal-budi bagi Hegel adalah kenyataan itu sendiri dan keduanya akal-budi dan kenyataan dipahami sebagai kesejarahan.

Rangkaian kuliah Hegel dalam karyanya the Introduction to the Philosophy of History (dipublikasikan secara anumerta pada tahun 1837) adalah semacam eskatologi-sekuler, didalamnya perjalanan-realitas dipikirkan/dipandang sebagai sebuah era-evolusi-tunggal menuju terjadinya suatu keadaan-akhir yang sudah ada dan pasti.

Ini dikenali melalui suatu pengungkapan-kesadaran yang makin meningkat sesuai dengan rencana-rasional yang sama itu.

Ketika Hegel menurunkan agama menjadi suatu tempat-pelayanan menuju pengetahuan-absolut dalam karyanya Phenomenology of Spirit (1807), dengan demikian Hegel juga mengganti konsepsi sejarah-sakral dengan pengungkapan-fenomenologis dari akal-budi.

Pandangan Hegel terhadap struktur-umum pengungkapan akal-budi dan sejarah mengarah kepada konsekuensi-konsekuensi yang spesifik dalam penulisan-sejarah teleologikal-nya.

Akal-budi terdiri dari kesadaran-akan-kontradiksi dan peng-ekspresian-nya melalui tindakan-tindakan sintesis spekulatif yang menghasilkan sebuah pengakuan-diri yang makin besar.

Secara analogi, perkembangan sejarah tersusun dalam suatu struktur pertentangan-pertentangan yang bergerak-maju dan ekspresi-ekspresi sintesa-nya yang pasti, yang selalu menuju kepada semakin meningkatnya kesadaran-diri akan kebebasan.

Gerak-pasti itu diilustrasikan dalam penjelasannya terhadap tiga rangkaian-peristiwa sejarah-dunia

Dalam masa-kuno, hanya para penguasa-lalim yang bebas, kebebasan-nya hanya terdiri dari kebiadaban yang sewenang-wenang dari kehendak-nya. Masyarakat terkungkung dalam batasan identitas negara-dan-agama.

Perlawanan terhadap penguasa-lalim dan subjek-subjeknya sampai taraf tertentu muncul dari pengakuan bangsa Roma dan Yunani terhadap kewarga-negaraan, yang dibawahnya kebebasan-individual memahami dirinya dibatasi oleh kehormatan yang melampaui dan berada di atas hukum-hukum negara.

Tetap saja, dalam dunia-kuno sebagian besar orang tidak-bebas. Hanya dalam ikatan pengakuan seorang Kristian terhadap kesucian-hidup dan definisi liberal-modern tentang moralitas yang terkandung (inheren) dalam hubungan antar-manusia (inter-subjek) dan rasionalitas yang menjamin kebebasan bagi semua-manusia.

" Melalui kristianitas, orang-orang Jerman adalah yang pertama mencapai kesadaran bahwa setiap manusia adalah bebas karena keberadaan-nya sebagai manusia dan bahwa kebebasan-roh menyusun sifat kemanusiaan kita. " (Hegel 1988, 21).

Pemikiran-pemikiran Hegel telah dan terus menarik, begitu juga pemikiran-pemikiran dari banyak pengikutnya. Para pengikut-awal kita dapat menyebut Thomas Carlyle (1795-1881) dan aliran sejarah dari Basel seperti J.J. Bachofen (1815-1887), Jacob Burckhardt (1818-1897), dan Friedrich Nietzsche (1844-1900) muda.

Apa yang menyatukan mereka adalah sebuah keyakinan yang sama bahwa penulisan-sejarah harus menyoroti daripada menyembunyikan/mengaburkan capaian-capaian individual dibawah slogan kepastian gerak-maju-rasional, suatu cemoohan yang umum kepada proses-sejarah apapun yang mengangkat tentang keberuntungan tujuan-tujuan akhir dihadapan penderitaan global yang berlebihan, suatu pendirian politik anti-state dan suatu penolakan kepada gerak-maju sebagai kelanjutan dari perkembangan kesejahteraan sosial, intelektualisme dan kemanfaatan.

Rangkaian peristiwa masa-lalu bukanlah sekedar landasan persiapan dalam perjalanan menuju kemapanan-modern negara Hegelian atau Marxis, namun secara inheren berdiri sendiri sebagai kebudayaan-superior dan model-model yang lebih sehat dari kebudayaan dalam kehidupan manusia.

Bagi Bachofen dan Nietzsche, ini berarti orang-orang Yunani kuno, bagi Burckhardt adalah para aristokrat Renesaince dari Italia.

Begitu juga seharusnya para individu yang menonjol pada era ini dilihat sebagai pahlawan-pahlawan yang penuh-kehendak daripada sebagai individu-individu dalam dunia sejarah Hegelian yang muncul hanya ketika proses dunia membutuhkan suatu dorongan ke arah tujuan yang telah tersedia dan terpilih yang terpisahkan dari mereka.

Pada kelompok berikutnya, kita dapat memasukan pengikutnya baik yang aliran-pemikiran kiri maupun kanan dan ahli-ahli teori sejarah terkemuka seperti Ludwig Feuerbach (1804-1872), David Friedrich Strauss (1808-1874), Eduard von Hartmann (1842-1906), Max Stirner (1806-1856), Georg Lukács (1885-1971), Arnold Toynbee (1889-1975), Herbert Marcuse (1898-1979), Alexandre Kojève (1902-1968), and Theodor Adorno (1903-1969).

Baru-baru ini garis besar filosofi sejarah Hegel telah diadopsi dalam karya Francis Fukuyama (1952—) yang kontroversial The End of History (1992).

Namun tanpa perlu pertanyaan lagi, keterkaitan-filosofis yang paling penting dalam penulisan-sejarah Hegelian adalah bahwa dari Karl Marx (1818-1883), yang memiliki penjelasan terhadap masa-lalu seringkali ditimbang semacam versi 'terbalik' dari sebuah contoh revolusi-dunia Hegelian.

Meskipun Marx mempertahankan keyakinan Hegel terhadap gerak-maju-dialektis dan tak-terelakan dari sejarah, ia menggantikan metode-spekulatif-nya dengan suatu materialisme-sejarah yang memandang perubahan rangkaian-peristiwa sejarah dalam terma-terma hubungan antara produksi dan kepemilikan.

Penjelasan Marx mengenai masa-lalu jelas dipenuhi pengaruh-pengaruh politik dan ekonomi namun filsafat-sejarahnya juga memperoleh daya tarik diantara praktisi-sejarah modern dan kontemporer yang menimbang kondisi-kondisi material dipertentangkan dengan kondisi-kondisi motivasi adalah memadai bagi penjelasan-sejarah.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/History/#H4
Pemahaman Pribadi