Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Thursday, May 30, 2019

Sofisme 5 : Perbedaan antara Filsafat dan Sofisme


Perbedaan antara Filsafat dan Sofisme dalam dirinya-sendiri merupakan sebuah persoalan filosofis yang sulit.

Bagian penutup ini memeriksa upaya Plato untuk menetapkan garis-batas-pemisah yang jelas antara Filsafat dan Sofisme.

Seperti telah sedikit disinggung di atas, istilah Filsuf dan Sofis masih menjadi persoalan pada abad ke-5 dan ke-4 SM, merupakan subjek perdebatan antara aliran-aliran pemikiran yang saling bersaing.

Sejarah Filsafat cenderung dimulai dari Thales seorang 'fisikawan' Ionia, tetapi orang-orang Pra-Sokrates menunjuk aktivitas yang terkait dengan kegiatan mereka sebagai Historia (penyelidikan) daripada Philosophia (filsafat), dan meskipun hal itu mungkin memiliki suatu tingkat validitas sebagai sebuah proyeksi-sejarah, gagasan bahwa Filsafat dimulai dari Thales berasal dari pertengahan abad ke-19 M.

Adalah Plato yang pertama-tama dengan jelas dan konsisten merujuk kepada aktivitas Filsafat dan banyak dari apa yang telah dikatakan olehnya, adalah yang paling-baik bisa dipahami secara eksplisit atau implisit, jauh berbeda dengan aliran-aliran pemikiran pesaingnya dari para Sofis dan Isocrates (yang juga mengklaim gelar-filosofi untuk program pendidikan retoris-nya).

Pertanyaan-pertanyaan terkait seperti apakah Sofis itu dan bagaimana kita dapat membedakan seorang Filsuf dari seorang Sofis ditanggapi dengan sangat serius oleh Plato.

Plato juga mengakui kesulitan yang terkandung dalam mengejar jawaban pertanyaan-pertanyaan itu dan hal itu mungkin merupakan pengungkapan bahwa dialog dalam karyanya Sophist yang didedikasikan untuk tugas tersebut, mencapai puncak dalam sebuah diskusi tentang suatu-yang-ada (being) dari ketiadaan (non-being).

Socrates bercakap-cakap dengan para Sofis dalam karyanya Euthydemus, Hippias Major, Hippias Minor, Gorgias, Protagoras, dan Republic serta mendiskusikan panjang lebar para Sofis dalam karya Appology, Sophist, Statesman, dan Theaetetus.

Oleh karena itu dapat dikemukakan bahwa pencarian makna Sofis dan perbedaan antara Filsafat dan Sofisme bukan hanya tema-sentral dalam dialog-dialog Platonis, tetapi juga merupakan unsur-penyusun dalam gagasan dan praktik filsafat itu sendiri, setidaknya dalam arti aslinya seperti yang diartikulasikan oleh Plato.

Poin ini telah diakui oleh para pemikir post-strukturalis baru-baru ini seperti Jacques Derrida dan Jean Francois-Lyotard dalam konteks proyek studi serius mereka untuk meletakan pertanyaan-inti mengenai pra-anggapan terhadap tradisi-filosofis-barat yang berasal dari Plato.

Derrida menyerang usaha-usaha penghakiman yang terus menerus oleh Plato terhadap para Sofis melalui sebuah pandangan :

" untuk membangun monumen konseptual yang menandai garis-batas pertempuran antara Filsafat dan Sofisme " (1981, 106).

Lyotard memandang kaum Sofis sebagai memiliki wawasan-unik dalam pengertian wawasan yang mengandung wacana-wacana mengenai sesuatu yang tidak hanya bisa melampaui dunia-opini dan permainan-pragmatis-bahasa (1985, 73-83).

Prospek keberhasilan untuk menetapkan sebuah pemisahan-metodologis yang jelas antara Filsafat dan Sofisme adalah buruk.

Terlepas dari pertimbangan-pertimbangan yang disebutkan dalam bagian 1, akan menyesatkan untuk mengatakan bahwa kaum Sofis tidak-peduli sama sekali terhadap kebenaran atau penyelidikan teoritis-murni dan Socrates jelas melakukan kesalahan penalaran yang keliru dalam banyak dialog-dialog Platonis.

Dalam karyanya Sophist, sesungguhnya Plato menyiratkan bahwa teknik-dialektika-penyanggahan Socrates merepresentasikan semacam 'Sofisme-Yang-Mulia' (Sophist, 231b).

Ini sebagian besar menjelaskan mengapa studi-akademis kontemporer yang membahas mengenai perbedaan antara Filsafat dan Sofisme cenderung terpusat pada perbedaan-karakter-moral.

Nehamas, misalnya berpendapat bahwa :

" Socrates tidak berbeda dari para Sofis dalam hal metode tetapi dalam tujuan-keseluruhan. " (1990, 13).

Nehamas mengaitkan tujuan-keseluruhan ini dengan metode-elenchus dari Socrates, ia mengemukakan pendapat bahwa penolakan Socrates terhadap pengetahuan dan kemampuan untuk mengajar arete membedakan Socrates dari para Sofis.

Namun Nehamas berpendapat, cara memisahkan praktik Socrates dari praktik Sofisme lawan-lawannya seperti itu, tidak dapat membenarkan perbedaan Platonis selanjutnya antara Filsafat dan Sofisme, sejauh Plato telah melakukan kesalahan untuk mempertahankan perbedaan itu ketika ia mengembangkan sebuah pengajaran filsafat substantif, yaitu teori-forma.

Tidak ada keraguan, terkandung banyak kebenaran dalam pendapat bahwa Plato dan Aristoteles menggambarkan para Filsuf mengejar sebuah cara/jalan-hidup yang berbeda dari para Sofis, namun untuk mengatakan bahwa Plato mendefinisikan Filsuf baik melalui suatu perbedaan dalam tujuan-moral ---seperti dalam kasus Socrates--- atau melalui suatu anggapan-metafisik mengenai eksistensi forma-forma-transenden ---seperti dalam karya-karyanya kemudian--- tidak dengan sendirinya cukup mencirikan kritik Plato kepada orang-orang Sofis sejamannya.

Begitu kita memperhatikan perlakuan Plato terhadap perbedaan antara Filsafat dan Sofisme, dua-tema dengan cepat membuat jadi jelas yaitu karakter 'tentara-bayaran (demi-uang)' dan perkiraan yang berlebihan terhadap kekuatan-kata-kata (bahasa/ucapan/pidato) dari para Sofis.

Bagi Plato, setidaknya dua-aspek dari pendidikan Sofistik ini memberi tahu kita tentang suatu kepribadian para Sofis sebagai perwujudan sikap yang berbeda terhadap pengetahuan.

Bagi pembaca modern, fakta bahwa para Sofis yang mengajar demi memperoleh 'keuntungan-uang' mungkin tampak tidak begitu memberatkan, dengan fakta bahwa saat ini sebagian besar profesor universitas akan enggan mengajar secara gratis. Ini jelas merupakan masalah-utama bagi Plato.

Plato nyaris tidak-pernah menyebut para Sofis tanpa-penghinaan yang mengacu pada aspek 'tentara-bayaran (demi-uang)' dari perdagangan yang dilakukan mereka : contoh-contoh khusus yang mengungkapkan penghinaan Plato atas 'perburuan-uang' dari para Sofis dan ketamakannya ditemukan dalam karyanya Apology 19d, Euthydemus 304b-c, Hippias Major 282b-e, Protagoras 312c- d dan Sophist 222d-224d, dan semua yang disebut bukanlah daftar lengkap dari semua yang ada.

Sebagian dari persoalan yang ada di sini, tidak diragukan lagi adalah komitmen Plato terhadap cara/jalan-hidup yang didedikasikan bagi pengetahuan-dan-kontemplasi.

Sehingga adalah memiliki arti penting bagi para siswa di Academy, yang bisa dikatakan institusi pendidikan tinggi pertama, tidak diharuskan membayar biaya. Meski demikian, ini hanyalah sebagian cerita dari perbedaan antara Filsuf dan Sofis.

Lebih jauh, titik-awal yang baik adalah dengan menimbang sisi etimologi dari istilah Philosophia seperti yang dikemukakan oleh karya Plato, Phaedrus dan Simposium.

Setelah menyelesaikan puisi-lagu-nya dalam karya Phaedrus, Socrates mengungkapkan harapannya bahwa ia tidak akan pernah membuang arti penting seni 'Erotis' pada dirinya.

Sedang di sisi lain, penulis-pidato Lysias menyajikan Eros (keinginan,hasrat,cinta) sebagai pemborosan yang tidak berguna (Phaedrus, 257a), dalam pidatonya kemudian Socrates menunjukkan bagaimana Eros mendorong jiwa untuk naik menuju kesempurnaan (forma).

Kepada para pengikut Zeus, atau filsafat, Socrates menyarankan agar mendidik objek Eros yang dimiliki mereka untuk meniru dan turut-serta dalam jalan-jalan Tuhan.

Demikian pula dalam karya Simposium, Socrates menunjukkan sebuah pengecualian terhadap pengakuan ketidak-tahuan-nya.

Sepakat dengan saran dari Phaedrus bahwa sebelum pesta-minum dimulai, setiap yang hadir memberi pidato untuk memuja Eros, Socrates menyatakan bahwa 'ta erotika' (hal-hal erotis) adalah satu-satunya subjek yang terhadapnya ia mengaku memiliki pengetahuan yang mendalam (Symposium, 177 d-e).

Ketika tiba giliran untuk menyampaikan pidato, sebelum Socrates menyampaikan ajaran-ajaran Diotima tentang Eros yang direpresantasikan sebagai Daimonion atau perantara semi-ilahi antara makhluk fana dan ilahi, Socrates mengeluhkan ketidak-mampuan-nya untuk bersaing dengan Agathon seorang retoris yang dipengaruhi Gorgias.

Dengan demikian, Erōs disajikan sebagai analogi dengan Filsafat dalam pengertian etimologis-nya, yaitu perjuangan demi kebijaksanaan atau kesempurnaan yang hanya dapat dicapai sementara dalam kehidupan ini melalui perenungan terhadap forma-forma-ideal dari yang-indah dan yang-baik (204a-b).

Filsuf adalah seseorang yang mengejar kebijaksanaan ---seorang teman atau pencinta kebijaksanaan--- bukan seseorang yang memiliki kebijaksanaan sebagai sebuah produk-akhir, seperti yang diakui dilakukan oleh para Sofis dan sebagai dasar sebutan bagi diri mereka.

Penekanan Plato pada Filsafat sebagai aktivitas 'Erotis' dalam memperjuangkan kebijaksanaan, dan bukan sebagai kondisi-akhir dari kebijaksanaan-yang-sempurna, sebagian besar menjelaskan ketidaksukaan Plato kepada 'perburuan-uang' para Sofis.

Menurut Plato, para Sofis menganggap pengetahuan sebagai produk-siap-pakai yang dapat dijual tanpa pengecualian kepada siapapun yang datang kepadanya.

The Theages, sebuah dialog Socrates ---yang penulis-nya masih diperselisihkan oleh beberapa cendekiawan--- tetapi yang menunjukan sentimen-sentimen yang konsisten dengan dialog Platonis lainnya, membuat poin ini dengan sangat jelas.

Petani Demodokos membawa putranya bernama Theages, yang sangat berhasrat mencapai kebijaksanaan kepada Socrates.

Ketika Socrates menanyakan kepada murid potensial-nya mengenai kebijaksanaan seperti apa yang ia cari, jawabannya kemudian menjadi bukti bahwa Theages mencari kekuasaan di kota dan pengaruhnya terhadap manusia lain.

Karena Theages mencari kebijaksanaan-politik, Socrates merujuknya kepada negarawan dan kaum Sofis.

Socrates menolak untuk bersaing kemampuan dengan keahlian Gorgias dan Prodicus dalam bidang itu, meskipun demikian Socrates tetap mengakui pengetahuan-nya tentang hal-hal Erotis, subjek yang menurutnya ia tahu lebih banyak daripada siapapun yang pernah hidup sebelumnya atau bahkan yang akan datang (Theages, 128b).

Menanggapi saran dari Socrates bahwa ia harus belajar kepada seorang Sofis, Theages mengungkapkan niatnya untuk menjadi murid Socrates.

Mungkin enggan untuk mengambil seorang murid yang tidak menjanjikan, Socrates menegaskan bahwa ia harus mengikuti perintah Daimonion-nya, yang akan menentukan apakah bekerja-sama dengannya bisa membuat suatu kemajuan yang bermanfaat bagi Theages (Theages, 129c).

Dialog berakhir dengan kesepakatan bahwa semua pihak mengadakan sidang untuk menilai apakah Daimonion mengijinkan hubungan kerja-sama itu atau tidak.

Seseorang perlu mengikuti pendapat yang dikemukakan melalui karya Simposium bahwa Eros adalah Daimonion, untuk melihat bahwa pendidikan Socrates ---seperti yang disajikan oleh Plato--- adalah sesuai dengan semacam 'Erotis' yang terkait dengan 'yang-indah' dan 'yang-baik', yang dinilai sebagai 'yang-alami' berbeda dengan 'yang-murni-konvensional/kesepakatan'.

Di sisi lain para Sofis menerima murid tanpa pandang-bulu, asalkan mereka memiliki uang untuk membayar, sedangkan Socrates diarahkan oleh hasrat-nya untuk menumbuhkan 'yang-indah' dan 'yang-baik' sesuai dengan alam.

Singkatnya, perbedaan antara Socrates dan orang-orang Sofis sejaman-nya, sebagaimana yang disampaikan Xenophon, adalah perbedaan antara seorang kekasih dan seorang pelacur.

Bagi Xenophon, para Sofis adalah pelacur kebijaksanaan karena mereka menjual barang-dagangan (kebijaksanaan) kepada siapapun yang mampu membayar (Memorabilia, I.6.13).

Ini ---yang agak paradoksal--- menjelaskan rasa-malu Socrates ketika dibandingkan dengan orang-orang Sofis sejaman-nya, yaitu kesediaan-nya untuk mengikuti argumen kemanapun itu mengarah.

Sebaliknya dalam dialog-dialog yang menyebut nama mereka, Protagoras dan Gorgias ditunjukkan bersikap lemah terhadap pendapat-pendapat konvensional/kesepakatan dari ayah para murid yang membayarnya, suatu kelemahan yang memberi kontribusi kepada sikap penolakan terhadap mereka.

Oleh karena itu, para Sofis dicirikan oleh Plato berada dibawah pengejaran kebenaran demi kesuksesan-duniawi, dengan sebuah cara yang mungkin mengingatkan pada aktivitas seorang eksekutif-periklanan kontemporer atau seorang konsultan-manajemen.

Terlalu melebih-lebihkan kekuatan-kata-kata (bahasa/ucapan/pidato) seorang manusia adalah tema lain yang muncul dengan jelas dalam kritik Plato (dan Aristoteles) terhadap kaum Sofis.

Dalam karyanya Sophist, Plato mengatakan bahwa dialektika ---pembagian dan pengelompokan menurut jenis--- adalah pengetahuan yang dimiliki oleh manusia-bebas atau Filsuf (Sophist, 253c).

Di sini Plato memasukkan kembali perbedaan antara retorika 'yang-benar' dan 'yang-salah', yang secara tidak langsung telah disinggung pada karyanya Phaedrus, menurutnya retorika 'yang-benar' mengandaikan kapasitas untuk melihat kesamaan dalam keberagaman atau melihat satu-hal dalam banyak-hal (Phaedrus, 266b).

Pendapat Plato adalah bahwa kapasitas untuk membagi dan mensintesa yang selaras dengan sebuah-forma menjadi syarat bagi keahlian Logos 'yang-benar'.

Apa pun yang dilakukan seseorang terhadap penjelasan Plato tentang pengetahuan kita mengenai forma-forma, itu jelas melibatkan pemahaman terhadap penangkapan wujud yang lebih-tinggi daripada persepsi-indra dan ucapan.

Maka, Sang-Filsuf menimbang ucapan-rasional sebagai sesuatu yang diarahkan oleh pemahaman/pengetahuan asli yang sejati mengenai wujud-atau-alam.

Sebaliknya, para Sofis dikatakan oleh Plato menempati/berada dalam dunia-kepalsuan, mengeksploitasi kesulitan dialektika dengan menghasilkan/menciptakan kemiripan diskursif, atau fantasi, terhadap hakekat wujud-sejati (Sophist, 234c).

Para Sofis menggunakan kekuatan pidato-persuasif untuk membangun atau menciptakan gambaran-gambaran dunia dan dengan demikian mereka adalah semacam penyihir yang mencipta mantra/kata-kata sihir (enchanter) dan peniru.

Aspek kritik Plato terhadap Sofisme ini tampaknya bertentangan dengan pemahaman retorika dari Gorgias, baik yang ditemukan dalam dialog-dialog Platonis maupun fragmen-fragmen yang masih ada yang dikaitkan dengan Gorgias secara historis.

Menanggapi pertanyaan Socrates, Gorgias menegaskan bahwa retorika adalah sebuah kekuatan yang memahami segalanya, dimana semua aktivitas dan peristiwa-peristiwa lain dibawah kendali-nya (Gorgias, 456a).

Gorgias kemudian berpendapat bahwa hal itu berkaitan dengan suatu kebaikan-tertinggi bagi manusia, yaitu kata-kata (bahasa/ucapan/pidato) terutama yang memungkinkan seseorang untuk mencapai kebebasan dan menguasai orang lain, secara khusus tetapi tidak-eksklusif dalam latar politik (452d).

Seperti yang dikemukakan di atas, dalam konteks kehidupan-publik di Athena kemampuan untuk membujuk adalah prasyarat kesuksesan politik.

Namun, untuk tujuan saat ini, poin kuncinya adalah bahwa kebebasan dan kekuasaan atas orang lain, keduanya merupakan bentuk-kekuatan. Yang pertama kekuatan dalam arti kebebasan atau kapasitas untuk melakukan sesuatu, yang menunjukkan tidak adanya hambatan yang relevan, dan yang kedua, kekuatan dalam arti dominasi atas yang lain.

Gorgias mengemukakan bahwa retorika, sebagai keahlian melakukan pidato-persuasif, adalah sumber-kekuatan dalam arti yang cukup komprehensif (mencakup kedua pengertian kekuatan di atas) dan bahwa kekuatan itu adalah 'kebaikan'.

Apa yang kita pahami di sini adalah pernyataan tentang kemahakuasaan-kata-kata (bahasa/ucapan/pidato), paling tidak dalam kaitannya dengan penentuan urusan-urusan manusia.

Posisi pendirian Socrates, kemudian menjadi jelas dalam diskusi dengan Polus (466d-e), dan juga dikemukakan dalam karya Meno (88c-d) dan Euthydemus (281d-e), bahwa kekuatan tanpa pengetahuan tentang kebaikan bukanlah kebaikan-sejati.

Tanpa pengetahuan semacam itu, tidak hanya kebaikan-kebaikan 'eksternal' seperti kekayaan dan kesehatan, juga tidak hanya bidang-bidang keahlian yang membuat seseorang mampu mencapai apa yang disebut kebaikan-kebaikan, tetapi jelas kapasitas-sesungguhnya untuk mencapai kebaikan-kebaikan-itu meskipun tidak-mengandung-nilai atau membahayakan/merugikan.

Ini sebagian besar yang menjelaskan apa yang disebut paradoks-Socrates bahwa kebajikan adalah pengetahuan.

Kritik Plato kepada perkiraan yang berlebihan dari para Sofis terhadap kekuatan-kata-kata (bahasa/ucapan/pidato) seharusnya tidak dicampur-adukan dengan keterikatan Plato dengan teori-tentang-forma.

Bagi Plato para Sofis mengurangi proses berpikir menjadi semacam membuat sesuatu : dengan menegaskan kemahakuasaan-kata-kata (bahasa/ucapan/pidato) manusia kaum Sofis kurang memberi perhatian terhadap batas-batas alami dari pengetahuan-manusia dan status kita sebagai pencari pengetahuan bukan sebagai pemilik pengetahuan.

Kritik terhadap kaum Sofis mensyaratkan keterikatan-minimum kepada sebuah perbedaan antara penampakan dan realitas.

Tetapi adalah penyederhanaan yang berlebihan untuk berpendapat bahwa perbedaan antara Filsafat dan Sofisme yang dikemukakan oleh Plato hanya bersandar pada sebuah elemen-penting teori-metafisika, sebagian besar disebabkan oleh pengetahuan terhadap forma-forma yang menurut Plato dalam diri-sendirinya adalah etis.

Plato, seperti Socrates-nya membedakan para Filsuf dengan para Sofis terutama melalui kebajikan-kebajikan jiwa yang dimiliki para Filsuf.

Socrates adalah perwujudan dari keutamaan-moral, tetapi juga cinta kepada forma-forma-ideal yang mempunyai konsekuensi terhadap karakter para Filsuf.

Terdapat aspek etis dan politis lebih jauh dari kritik Platonis dan Aristotelian tentang penilaian berlebihan para Sofis terhadap kekuatan-kata-kata (ucapan/pidato).

Dalam buku sepuluh Etika Nicomachean, Aristoteles mengemukakan bahwa kaum Sofis cenderung mereduksi politik menjadi retorika (1181a12-15) dan terlalu menekankan peran yang dapat dimainkan oleh persuasi-rasional dalam ranah politik.

Sebagian dari poin-poin Aristoteles adalah bahwa ada suatu elemen untuk menjalani hidup dengan baik yang melampaui kata-kata (ucapan/pidato).

Seperti yang dikatakan Hadot dengan fasih, mengutip dari sumber-sumber Yunani dan Romawi :

" secara tradisional orang-orang yang mengembangkan wacana yang tampak filosofis tanpa berusaha menjalani kehidupan sesuai dengan wacana mereka, dan wacana mereka yang tidak-memancar dari pengalaman hidup mereka, disebut Sofis " (2004, 174).

Kesaksian Xenophon, seorang jenderal Yunani dan tokoh aksi, adalah sebuah petunjuk.

Dalam risalahnya tentang berburu, (Cynēgeticus, 13.1-9), Xenophon memberi komentar Socratik atas pendidikan Sofistik mengenai aretē, tidak hanya dengan alasan bahwa para Sofis memburu kaum muda-dan-kaya dan bersikap menipu, tetapi juga karena mereka lebih memilih kata-kata daripada tindakan.

Pentingnya konsistensi antara kata-kata dan tindakan-tindakan seseorang jika ingin benar-benar berbudi luhur adalah hal yang lumrah dalam pemikiran Yunani, dan adalah satu penghormatan penting di mana kaum Sofis, setidaknya dari perspektif Platonis-Aristotelian, adalah gagal dalam hal itu.

Seseorang mungkin berpikir bahwa penolakan terhadap garis-batas antara Filsafat dan Sofisme yang dikemukakan Plato terus didorong hanya karena para Sofis secara historis memberikan kontribusi-kontribusi murni pada filsafat.

Tetapi ini tidak berarti kemudian perbedaan antara Filsafat dan Sofisme dari Plato menjadi tidak diakui (tidak-absah).

Begitu kita menyadari bahwa Plato terutama menunjuk pada sebuah orientasi-etis mendasar yang berkaitan dengan kepribadian masing-masing Filsuf dan Sofis, daripada sebuah perbedaan metodologis atau teoretis semata, ketegangan itu menjadi hilang.

Ini bukan untuk menyangkal bahwa orientasi-etis dari para Sofis tampak cenderung mengarah pada jenis filsafat tertentu, yaitu yang berusaha menguasai alam, manusia dan dunia-eksternal, daripada memahaminya sebagaimana adanya.

Sofisme bagi Socrates, Plato, dan Aristoteles mewakili sebuah pilihan cara/jalan-hidup tertentu, yang mewujud dalam sebuah sikap-khusus terhadap pengetahuan yang memandangnya sebagai satu produk-akhir untuk dikirimkan kepada semua yang datang.

Perbedaan antara Filsafat dan Sofisme yang dikemukakan Plato bukan hanya sebuah sudut pandang subjektif dalam suatu perselisihan perebutan-hak penamaan, tetapi lebih didasarkan pada sebuah perbedaan mendasar dalam orientasi-etis.

Orientasi ini dapat direduksi menjadi berkaitan dengan kebenaran, atau daya meyakinkan dari konstruksi-konstruksi teoretis seseorang, meskipun sesungguhnya hal itu tidak terkait.

Dimana Filsuf berbeda dari Sofis adalah dalam hal pilihan terhadap cara/jalan-hidup yang diorientasikan oleh pengejaran pengetahuan sebagai kebaikan dalam dirinya-sendiri sambil tetap sadar akan sifat sementara dari pengejaran ini.



Sumber :
https://www.iep.utm.edu/sophists/#H4
Pemahaman Pribadi