Keadilan Ala Barat : Filsuf Kontemporer - Rawls

Dari sejak pendiriannya, pemikiran politik Amerika memiliki daya-tahan lama untuk memusatkan perhatian/bahasan pada keadilan. Pembukaan...

Monday, May 8, 2017

Namamu


"Mas..", Dari seberang jalan lelaki empat puluhan itu menegur. Bibir tipisnya menyungging, sebaris gigi putih mengintip malu-malu. Aku sekedar membalas senyumnya seraya mengingat sosok itu. Rasa-rasanya pernah mengenalnya, dulu, entah di mana. Samar dan kabur, meraba serpihan masa lalu yang terlanjur jauh, terbuang, dan mungkin tidak perlu.

Hampir setiap berbelok di pertigaan itu, di ujung jembatan kecil pejalan kaki, di pinggiran sungai yang membelah dua jalur berlawanan, di bawah lindungan pepohonan berdaun rindang, terlihat sekumpulan lelaki mengenakan jaket hijau dengan sepeda motor berjejer rapi di dekatnya. Beberapa orang asyik di atas jok mengamati handphone dengan mimik serius. Beberapa lagi berdiri berbincang dan bersenda gurau, sementara yang lain duduk-duduk santai memainkan asap rokok yang mengepul dari sela-sela bibirnya. Mereka seperti menunggu sesuatu. Saat melintas, sayup-sayup terdengar percakapan mereka, tak begitu jelas apa yang mereka bicarakan, sepintas terdengar rumit, hitungan berseling angka silih berganti memukul gendang telingaku. Sesekali, teriakkan juga tawa mereka menyela suasana lengang di siang hari. Lelaki itu sering berada di sana tetapi terkadang menghilang begitu saja. Sembari melempar senyum, ia selalu menyapa 'Mas' setiap berpapas pandang, sulit dipungkiri, keramahannya mengalir menyiram dadaku. Sepekan berlalu, aku berusaha mengingatnya namun semua sia-sia. Sosok itu tak melintas sama sekali dalam benakku. Celakanya, lelaki itu seperti benar-benar mengenalku dan sampai hari ini aku tak kunjung menyapanya.

Siang yang terik, waktu makan sedikit terlewat, jarum menunjuk pukul satu lebih sepuluh menit, perut terasa panas melilit-lilit, segera kulangkahkan kaki memenuhi tuntutan yang meronta. Setapak demi setapak kususur jalan sepanjang tepian sungai itu, bayang teduh pepohonan rimbun bergandengan memayungi kepalaku. Semilir angin sejuk berdesir menepis sinar yang bertubi-tubi menyengat kulitku. Melambat sedikit, kulayangkan pandang ke seberang jalan. Tak ada yang berubah, sejumlah orang berseragam hijau berkumpul di pertigaan. Lelaki itu tak berada di sana. Hari ini, rupanya saat yang tepat baginya untuk menghilang, batinku menggumam. Kuteruskan langkah ke arah kiri, warung bercat merah terlihat sepi dari kejauhan. Tak ada hiruk pikuk, kesibukkan atau antrian berjejal yang mengular, bangku-bangku panjang nyaris tak berpenghuni. Diam, bertopang dagu seorang Bapak mengapit segelas kopi yang tinggal setengah.

"Naaah, ini dia Pak Dokter ! Siangan, Dok ?", Girang, Bu Sumi menyambut kedatanganku. Nama lengkapnya Sumiyati, aku biasa memanggilnya Bu Sumi, umurnya menginjak enam puluh satu tahun. Sudah lebih tiga minggu dengan setia kunikmati olahan masakannya, menurutnya, wajahku mirip seorang dokter yang tinggal di lingkungan komplek itu. Persis ! Begitu ia pernah berkata.
"Makan apa, Dok ?", Tanpa basa-basi, Bu Sumi bangkit menodong. Tangannya gegas menarik selembar piring dan langsung mengusapnya. Gesit ia melampir kain lap kembali ke pundak, meraih centong lalu membuka tempat nasi dengan tangkas. Bau asap nasi panas mengepul ke angkasa, sebentar udara terasa pengap. Asap meluap-luap memenuhi ruangan. Gerah berkeringat, Bu Sumi sibuk menuangkan nasi ke atas piring.
"Tar deh Bu. Rokok dulu dua batang.", Potongku seenaknya.
"Ama susu putih !", Pintaku lagi menambah pesanan. Sekejap dahinya mengerenyit, bongkahan nasi dituang kembali ke tempat asal. Serta merta nasi bergelimpangan tumpah ruah. Sekali ayun piring nyaris kosong, hanya beberapa bulir putih menempel tertinggal di dasar piring.
"Emas mah aneh ! Kalo orang mah, makan dulu baru ngerokok !", Sergahnya menahan gemas. Jari telunjuknya meloncat memburu hidungku. Sontak kepala kutarik berkelit, jemari Bu Sumi lolos menusuk angin.
"Abis makan 'kan ngerokok lagi, Bu !", Timpaku meledek sambil mengambil duduk di ujung bangku, di sebelah Bapak yang terkucil tak perduli itu. Bu Sumi tak menjawab, bersungut-sungut ia melirik ke arahku. Tempat nasi ditutup kembali, kepulan asap seketika lenyap. Diletakkan kembali piring ke atas tumpukan yang cukup tinggi, berlapis-lapis bak menara tampak putih dan bersih. Suara benturan piring mengiris perasaanku. Tergopoh-gopoh, ia berbalik menuju pintu warung kopi yang menempel di samping kiri warung makannya. Tak berapa lama berselang, tubuh gemuknya raib tertelan dinding papan. Denting adukan bercampur seduhan air terdengar nyaring kemudian.

Sebentar menunggu, wajah bulatnya menyembul dari balik pintu, lenggak-lenggok tubuhnya melangkah menghampiri, hati-hati ia mengulurkan segelas susu putih bersama dua batang rokok menyilang di atas bibir gelas. Hidangan pertama kuterima suka ria. Bu Sumi menatapku. Rasa sebalnya berangsur mereda. Dua batang rokok kusisihkan, susu kental lantas kutiup berulang-ulang. Cemas bercampur was-was, kuhirup susu sedikit demi sedikit. Benar saja, tak ada rasa manis menyentuh lidah, susu terasa panas menganga. Bibir tersentak, bergetar, seolah ribuan semut berkerumun menyedot darahku. Cepat-cepat kutaruh gelas ke atas meja.

Sebatang rokok aku sulut. Bara api merambat, membakar gulungan tembakau menjadi abu rapuh yang kian memanjang. Dengan jentikan kecil, sesekali abu kubuang ke asbak. Sekali waktu suam-suam susu berganti menghangatkan tenggorokan yang kerontang. Rokok kuhisap dalam-dalam, kuhembus asap ke udara berkali-kali, asap putih meliuk-liuk mengikuti angin yang menari kesana kemari, warna putih akhirnya menguap percuma. Lenyap terbawa angin, hilang tiada berbekas. Hanya berkisar sepuluh menit asap-asap itu menghiburku, membawa segenap perasaanku, selebihnya puntung aku lempar ke tanah lalu kuinjak sepuasnya. Satu puntung pertanda satu kenikmatan berakhir sekaligus kenikmatan baru menjelang di depan mata, makan siang tiba. Hidangan kedua siap tersaji di atas meja. Kutarik piring lebih dekat. Sepiring nasi putih, pepes ikan mas, satu mangkuk sayur asam, dan dua tempe goreng tanpa tepung selanjutnya aku santap dengan lahap. Lambung sekejap kenyang membusung. Perut menggelembung mengikat kencang. Sebagai penutup, sebatang rokok kunyalakan, kuhirup habis susu dingin yang tersisa. Sungguh benar adanya, merokok setelah makan rasanya lebih nikmat dan menenangkan.

"Mas..", Suara seorang laki-laki, tak begitu asing, tiba-tiba mengusikku. Puntung penutup kubuang jauh-jauh. Kualihkan pandangan ke samping, tak seorangpun ada di sana. Seonggok gelas berisi sisa ampas hitam tergolek sendiri. Si Bapak rupanya pergi diam-diam, pikirku. Aku berputar ke sumber suara, seorang lelaki berjaket hijau sibuk mengaduk-aduk kotak pendingin minuman. Seperti berjongkok merogoh kolong, kepala hingga lehernya tenggelam tertutup oleh badannya yang membungkuk dan lebar. Sejenak Aku menunggu penasaran, sambil menarik tutup botol lelaki itu tegak membalikkan badan, matapun bertabrak pandang. Lelaki itu tersenyum, rautnya tampak berat dan lelah. Keringat dan minyak melumuri sebagian wajahnya.

"Ohh, kaa-muu !", Aku menyapa ragu. Tersendat, bibirku kaku bergerak. Lelaki itu beranjak mendekat, tepat di bawah palang pintu ia menyandarkan punggung, air mukanya terpampang jelas dihadapanku. Potongan rambutnya, kulitnya yang hitam, rahang yang tegas, alis mata yang tebal dengan sorot mata yang tajam, hidung yang bangir, bibir yang tipis hingga gigi-gigi kecil yang berbaris rapi, melemparku ke peristiwa belasan tahun silam kala beriringan menjabat tangannya di atas panggung kayu pernikahan yang sederhana.

Waktu itu, menjelang sore, matahari mulai meredup, senja masih gamang membentang, di bawah naungan tenda kecil beratap terpal, dengan aneka hiasan rangkaian janur kuning, berpadu untaian warna-warni potongan kertas krep seadanya. Di antara kursi-kursi plastik berserakan di sana-sini, di tengah iringan musik marawis riuh menghentak, dia mengucapkan terima kasih berkali-kali sambil meremas tanganku erat-erat. Di sampingnya, seorang wanita anggun mengulum senyum, sikapnya menghormat dengan tangan menguncup sembah di dada. Bingung membersit dari balik wajahnya. Aku memang tidak mengenal mereka, saat itu seorang teman memaksaku menemaninya hadir dalam upacara agung itu. Undangan tak pernah kuterima, apalagi membacanya. Seperti yang lain, peristiwa terjadi begitu saja. Tak ada yang istimewa. Yang aku tahu, lelaki itu Betawi tulen yang tinggal di sebelah belakang dan wanita itu seorang pendatang dari Wonogiri. Mulai sejak itu, lelaki itu memanggilku 'Mas' di manapun bertemu muka, sengaja atau tidak. Mungkin karena istrinya orang jawa atau bisa jadi dia tahu aku pendatang dari jawa. Entahlah, yang pasti dia tak pernah menyebut namaku, demikian pula aku, tak pernah sekali pun memanggil namanya. Meski sempat sekali duakali nama itu melewati telingaku.

Kupilah tumpukan cerita yang menggunung, menggali satu persatu gumpalan ingatan yang mengendap di dasar kepala. Mengurai kembali kenangan lama yang keras membatu. Tak kujumpai nama lelaki itu di sana. Kutelisik ulang sudut demi sudut masa silam yang terbenam, satupun tak kutemukan petunjuk yang membantu. Justru, teman-teman lamaku berhamburan berebut memenuhi kepalaku.

"Kerja di sini ?", Tanyaku canggung.
"Ga, Mas. Ngojek saya.", Jawabnya singkat.
"Ni baru nganter. Ngaso bentar. Tar jalan lagi, Mas.", Ujarnya melanjutkan kalimat yang terputus karena dahaga. Sesaat, ia meneguk minuman. Tenggorokannya naik dan turun. Lega segera memercik di wajahnya.
"Masih tinggal di sana ?". Tanyaku lagi menyambung percakapan.
"Iya, Mas. Masih di belakang.", Lelaki itu jeda terdiam. Dari saku celana, ia menarik sehelai kain lalu menyeka peluh yang meleleh dari dahi hingga pipinya. Kilapan di wajah kontan menghilang. Kulitnya berubah kering tetapi terlihat pucat.

Tempat di pinggiran timur kota ini melintas di benakku. Sebuah kampung yang padat dengan danau kecil di tengahnya. Sudut yang sesak dengan gang-gang sempit bercabang-cabang, diapit oleh bangunan bertingkat kayu berdinding papan, menjulang saling berdesakkan. Aspal jalanan yang mengelupas tak rata, berlobang, bergelombang, bercampur tanah yang siap menjadi kubangan kapan saja hujan menghantam. Saluran air yang tak mengalir, hitam pekat, penuh lumpur mampat dengan bau menyengat. Sampah yang berceceran di sana-sini serta lambaian jemuran bergantungan tak teratur, pemandangan sehari-hari yang kunikmati selama tiga tahun menghabiskan waktu di sana.

"Amad, masih di situ ?"
"Masih, Mas. Bulutangkisnya masih jalan juga, dia.", Amad seorang pendatang yang beruntung, ia berhasil menyunting puteri Betawi. Lelaki itu mengingatkanku pada hobinya bermain bulutangkis. Tak diragukan, dia pemain handal. Meski tubuhnya tidak terlalu tinggi, dia selalu diturunkan untuk merebut poin pertama. Loncatannya yang tinggi serta smas yang tajam menghujam seringkali membuat mati langkah lawan-lawannya. Permainan netnya juga cantik, senjata ampuhnya melewati saat-saat kritis kala angka saling berkejaran dengan ketat. Bola-bola pendek tipuannya tak jarang pula menambah angka tak terduga. Hampir setiap turun ke lapangan, Dia menyumbang kemenangan dan ini menaikan semangat pemain berikutnya. Karena itulah kami selalu sepakat menunjuknya sebagai pemain tunggal pertama. Kadang bahkan tak perlu berunding sama sekali. Selain tangkas bermain bulutangkis, Amad piawai mendendangkan lagu dangdut, suara baritonnya merdu empuk bertenaga, kontrol nadanya jarang meleset terdengar enak dan pas di telinga. Sering gitarku dipakai mengiringinya bernyanyi sekedar untuk menghibur dan menciptakan suasana menyenangkan kala senggang menikmati bersama hembusan angin malam serta cahaya bintang gemintang. Cengkoknya yang khas Si Raja Dangdut membuat kagum banyak orang. Pernapasannya memang bagus, kabarnya dia pernah menjuarai lomba membaca ayat-ayat suci.

"Madi ?"
"Kurirnya berhenti, Mas. Sekarang sekuriti dia."
"Ghifari dah SMA kali ya ?"
"Belum, Mas. Masih SMP dia. Kelas sembilan kalo ga salah.",  Tak pasti lelaki itu menjawab, tetapi cukup masuk diakal. Kucoba menduga umur anak itu. Seingatku, ia masih merangkak, belum genap satu tahun ketika aku meninggalkan tempat itu, sekarang tentu menginjak remaja. Dia anak pertama 'Madi' seorang Betawi tulen yang cukup akrab denganku. Sifatnya keras tetapi rajin serta tekun beribadah. Nakal tetapi juga fasih membaca kitab suci. Setia kawan serta jago bermain bola. Pribadi khas pemuda Betawi pada umumnya. Dialah yang mengajakku hadir di pernikahan lelaki yang sekarang berada di hadapanku.

"Bang Patela, gimana kabarnya ?"
"Baik, Mas. Sehat. Sekarang tinggal di rumah sendiri. Di depan."
"Kemaren baru ketemu !", Kata lelaki itu meyakinkan. Diam-diam hatiku bersyukur karena kehidupannya bertambah baik. Aku memanggilnya 'Bang' karena umurnya jauh terpaut dariku. Sementara aku masih membujang, saat itu dia sudah mempunyai dua orang anak. Yang pertama kelas empat sekolah dasar, perempuan dan yang paling kecil, laki-laki, baru dua bulan masuk paud. Menurut cerita istrinya, orang-orang memanggilnya 'Patela' karena lidahnya yang pendek. Katanya lagi, hal itulah penyebab bicaranya cedal sejak kecil. Sebenarnya, nama pemberian orang tuanya 'Fatahilah'. Diambil dari nama Sang Pahlawan yang konon gagah berani merebut kota ini dari penjajah kompeni sekian abad yang silam. Bang Patela Betawi tulen, ia Ketua RINUM, singkatan Remaja Islam Nurul Muhajirin. Sebuah organisasi kecil yang didirikan bersama-sama oleh remaja yang aktif berkegiatan ibadah di Mushola Nurul Muhajirin. Dari sekian banyak pendatang, aku termasuk yang sedikit bergabung di dalamnya. Dia menantu Haji Mail, takmir di Mushola itu. Tubuhnya kecil mungil tetapi gesit dan lincah saat membawa mobil.

Bak peluru berhamburan dari moncong senapan mesin, teman-teman lamaku meluncur tak terkendali. Mulutku membabi buta, bergerak sendiri, menyebut satu persatu rentetan nama yang berderet di belakang kepala. Dan aku tak mampu membendungnya.

"Anak-anak dah jarang nongkrong, Mas. Dah pada males. Umur kali ya. Saya juga, pulang palingan ngaso. Ngilangin cape. Brangkat pagi soalnya. Begitu tiap hari."
"Kok, sama. Umur abis di jalan !", Gurauku menyela. Lelaki itu tertawa kecil. Hambar.
"Di depan masih rame ?"
"Ga tau, Mas. Saya jarang ke depan. Sejak istri meninggal."
"Inalillahi. Kapan ?"
"Enem taunan lalu, Mas. Pas anak tujuh bulan."
"Melahirkan ?", Kejarku.
"Ga, Mas. Sakit paru. Ada cairan di paru-paru. Kaya kanker gitu. Sore sesek, bawa ke rumah sakit. Malem, masih di UGD ga ketolong."
"Kandungan pas tujuh bulan, Mas !", Kalimatnya terhenti sendiri. Rautnya mendadak berubah murung. Matanya mengambang berkaca-kaca. Wajahnya yang pucat melayu semakin pasi. Ia menekuk wajahnya dalam-dalam. Tubuhnya tampak lunglai. Badannya yang besar menyusut, lemah dan rapuh.
"Bayangin, Mas. Lima tahun menunggu. Seneng-senengnya bakal punya momongan. Tapi Tuhan... Ahh sudahlahh ! Apa mau dikata !", Ujarnya sendiri penuh emosi. Nadanya meninggi lalu menukik pasrah. Dengus nafasnya dalam. Dadanya naik dan turun gelisah. Aku hanya bisa terdiam.
"Sekarang kalo balik ke rumah, perasaan ga tau, Mas. Bawaan males. Jadi inget yang dulu-dulu. Dah ga ada siapa-siapa gitu. Enakan di jalan, lupa semuanya."

Dering suara pengingat menyela keras, dari saku atas jaket lelaki itu mengeluarkan handphone. Sejenak ia mengamati dengan cermat lalu jemarinya mengetuk layar beberapa kali.
"Maap, Mas. Mesti jalan nih. Jemput pelanggan. Lain kali kita sambung, moga dikasih umur panjang !", Lelaki itu berpamitan, meninggalkanku dengan langkah gontai. Lesu, ia berjalan menuju pertigaan itu. Semakin menjauh badannya semakin mengecil, sebentar dia berhenti, kembali mengangkat telpon, kemudian berbincang dengan temannya, jarinya menunjuk-nunjuk ke udara, berputar, bergerak-gerak dengan arah tak beraturan. Dia menarik sepeda motor, memasang helm, selanjutnya deru suara tarikan gas menyusul memecah keheningan. Motor melaju, menghilang di tengah padatnya lalu lintas kendaraan di siang hari.

                                                                      =====

Pagi di lantai tiga, pintu kaca aku geser perlahan. Tipis bias sinar menyusup melalui kisi jendela dari ruangan sebelah. Udara pengap bercampur debu menyerbu lorong hidungku. Lampu dan pendingin ruangan segera kunyalakan, putaran kipas aku tambah berlipat-lipat, temperatur kuturunkan jauh menyentuh dasar, angin sejuk mengguyur sekujur tubuhku. Sejengkal, pintu sengaja kubiarkan terbuka agar udara berganti segarnya pagi. Kutarik kursi, kusandarkan kepala merebahkan penat yang menyesakkan dada. Dingin mulai merambat. Sedikit menahan nafas, satu tombol aku tekan, dengungan panjang menyusul menghiasi ruangan, layar monitor berpijar terkembang lebar. Sebuah situs berita aku kunjungi.

Hitungan detik halaman utama terbentang di depan mata, lalu-lalang iklan berkelebat menyergap perhatianku, promosi bermacam-macam barang menarik-narik pandanganku. Mondar-mandir, berkedap-kedip menggoda, tak sedikitpun membuat beralih pandang. Aku bergeming. Tatapanku tak berubah, pandangan terpaku pada headline berita di bagian atas dengan gambar terpampang besar nyaris menutup sepertiga halaman. Sebuah foto dengan dominasi kerumunan massa berjaket hijau dilengkapi pelindung kepala berwarna senada berbaris memenuhi sisi kiri jalur lambat. Di jalur cepat pemandangan tampak mencekam, di bagian tengah batu, bambu, batangan kayu dan pecahan kaca terlihat berserakan di sana-sini. Suasana terkesan kacau dan berantakan. Bangkai sepeda motor tergeletak gosong mengepul asap. Di bawah jembatan penyeberangan, terlihat dua orang polisi berjongkok berhadapan mengamati sebuah tubuh yang terkapar tak berdaya. Satu tangannya mendekap perut menahan sakit, tangannya yang lain memeluk dada menutup luka, bercak darah kontras melumuri penutup tubuhnya. Di sudut yang lain, terlihat barisan polisi bergandengan menahan kerumunan massa berjaket hijau yang terlihat marah dan beringas. Beberapa orang mengangkat tangan mengepal geram. Bambu dan kayu panjang menusuk-nusuk ke udara. Di belakang kerumunan, beberapa orang tertangkap basah melempar batu dengan merentang tangan sekuat tenaga. Di sisi yang lain para polisi berderet rapat menutup jalan memisahkan kerumunan massa berseragam biru laut bergabung dengan massa berseragam khas sopir berwarna oranye. Mobil angkot dan sejumlah taksi berderet panjang di kanan kiri jalur lambat, beberapa kaca jendela pecah. Rontok berserakan. Beberapa badan mobil penyok karena pukulan dan amukan. Seorang polisi terlihat berjalan merangkul seorang pria yang menunduk dengan kedua tangan menyilang terikat borgol. Permasalahan ternyata belum selesai, negosiasi dan kesepakatan gagal tercapai. Bentrokkan tak bisa dihindarkan setelah dua minggu ini tenang. Kali ini jatuh korban. Di bagian bawah foto tertulis judul berita, tebal dan menonjol " Bentrok Kembali Terjadi , Jatuh Satu Korban ! ".

Seperti hari-hari yang lain, di kota ini waktu bergulir begitu cepat. Satu hari selalu kurang untuk menyelesaikan pekerjaan. Pekerjaan masih juga menumpuk, beberapa pelanggan menelpon menagih janji minggu yang lalu. Perbaikan belum juga selesai. Sementara rongga mulut terasa asam, perut kosong gemetar mulai mengganggu. Kuputuskan berhenti sejenak mencari udara segar sekaligus sesuap nasi untuk bertahan. Sehabis makan semangat biasanya berlipat, pekerjaan pun selesai dengan cepat. Aku bangkit dari duduk, bergegas menuruni tangga, lalu memburu ke luar menuju warung Bu Sumi.

Sesampai di pertigaan, kuterawang ke seberang jalan. Di sana sepi, hanya terlihat seorang berdiri di tengah jembatan kecil pejalan kaki yang melintang menyeberangi sungai, menunduk sendiri, menatap gemericik air yang entah ke mana mengalir. Beberapa helai daun berjatuhan terombang-ambing angin. Aku berbelok ke arah kiri. Sebuah mobil berwarna putih parkir di pinggir jalan, sekitar lima orang sedang bercakap-cakap di depan warung Bu Sumi. Satu orang lelaki memakai seragam Linmas, berkumis, tinggi dan tegap. Seorang Ibu mengenakan seragam krem khas perangkat kelurahan, bermacam emblem menempel di dada dan bahunya, duduk di kursi bakso berwarna merah mencolok. Sisanya yang lain, semua laki-laki mengenakan celana pendek dan memakai kaos seadanya, hanya satu orang bercelana panjang mengenakan kemeja terlihat berpendidikan dan berwibawa. Mereka membentuk setengah lingkaran, seperti melaksanakan rapat membicarakan sesuatu yang genting. Bu Sumi sendiri tidak berada di antara mereka.

Tak perduli, aku melintas memasuki warung Bu Sumi. Mataku langsung menyapu ke sekeliling hingga sudut ruangan tak terlewati. Meja-meja tampak bersih, tak terlihat kotoran sisa makanan atau bercak bekas tumpahan air minuman. Bangku-bangku panjang kali ini benar-benar kosong, tertata rapi tak tersentuh. Di etalase sama sekali tak ada timbunan makanan siap saji. Tak ada pula kepulan asap, juga gemuruh suara kompor gas yang mengganggu. Tidak juga terdengar suara minyak mendidih atau dentingan piring yang beradu. Pelan-pelan, aku panggil nama Bu Sumi, suaraku menggema karena lengang. Wajah Bu Sumi menyeruak dari balik pintu warung kopinya. Wajahnya yang bulat terlihat segar. Rambutnya basah panjang berkilat-kilat. Mengenakan pakaian hitam dengan sedikit corak bunga kecil berwarna ungu terkesan rapi tak biasa. Naga-naganya Bu Sumi hendak berpergian jauh. Pulang kampung, mungkin. Atau setidaknya keluar kota.
"Eeii, Pak Dokter !", Bu Sumi menyapa, sambil menarik sisir yang menyangkut di ujung rambutnya.
"Ga masak, Bu ?", Tanyaku heran menahan lapar.
"Ga jualan, Dok ! Ni, mau brangkat. Dah ditunggu tuh !", Bu Sumi terus menyisir rambutnya. Dagunya mengangkat menunjuk orang-orang yang berkumpul di luar. Matanya melirik kearahku.
"Ciieee, piknik nih ?", Godaku usil.
"Takziaah, Pak Dokterr !", Balasnya meninggi.
"Brodin meninggal, Dok ! Di tusuk orang !", Lanjutnya.
"Inalillahi. Brodin siapa, Bu ?"
"Iiiihhhh. Ituuuuh. Yang kemaren ngobrol ama Emas !"
"Ojek onlain !"

Sontak aku terdiam. Bungkam. Bengong. Bibir tersendat menelan ludah. Pelan hatiku mengulang nama lelaki itu, dengan terbata.



Kelapa Gading, 15 Juni 2017